Anda di halaman 1dari 5

TERAPI

1. Hepatitis Akut
Umumnya bersifat suportif, meliputi tirah baring, serta menjaga agar asupan nutrisi dan
cairan tetap adekuat. Sekitar 95% kasus hepatitis B akut akan mengalami resolusi dan
serokonversi spontan tanpa terapi antiviral. Bila terjadi komplikasi hepatitis fulminan makan
dapat diberikan lamivudine 100-150 mg/hari hingga 3 bulan setelah serokonversi atau setelah
muncul anti-HBe pada pasien HBsAg positif.1,2,3
2. Hepatitis Kronis
a. Tujuan terapi
Hingga saat ini, pengobatan hepatitis B hanya bersifat penekanan virus dan
stimulasi sistem imunitas namun tidak menghilangkan (eradikasi) virus hepatitis B
sehingga pasien membutuhkan pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu tujuan terapi
jangka panjang ialah meningkatkan kualitas hidup, mencegah progresi penyakit sirosis,
sirosis dekompensata, dan karsinoma hepatoseluler (KHS). Sementara tujuan terapi
jangka pendek ialah menekan replikasi virus, menurunkan jumlah DNA HBV serta
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe.2,4,5
b. Inisiasi terapi
Pengobatan harus dimulai pada penyakit hati yang aktif (ditandai dengan
peningkatan ALT >2 nilai batas atas normal dalam 2x pengukuran yang berbeda dengan
selang waktu minimal 1 bulan), atau bila biopsy hati menunjukkan kerusakan yang
signifikan (skor inflamasi: sedang-berat, skor fibrosis METAVIR F2). Sebaliknya,
pengobatan dapat ditunda pada fase imunotoleransi, serta diduga memiliki risiko kecil
untuk menjadi sirosis dan KHS.3,5
c. Pilihan dan regimen terapi
Modalitas terapi yang tersedia berupa pegylated interferon (peg-IFN) dan analog
nukleos(t)ida. Keduanya bekerja sebagai antiviral sekaligus imunomodulator, namun
memiliki keunggulan dan efek samping yang berbeda.1,2,3,4,5
Secara umum peg-IFN memiliki waktu pemberian yang pasti dan tidak
menimbulkan resistensi, namun pemberian dilakukan secara injeksi subkutan sehingga
memiliki banyak efek samping dan kontraindikasi. Sebaliknya analog nukleos(t)ida
diberikan secara oral dengan efek samping minimal, tetapi durasi terapi lebih panjang dan
memiliki risiko resistensi obat termasuk resistensi silang.2,5
Kontraindikasi pemberian peg-IFN antara lain:
Psikosis atau depresi tidak terkontrol, epilepsi, penyakit autoimun
Sirosis dekompensata

Hamil atau tidak ingin menggunakan kontrasepsi, menyusui


Infeksi berat
Hipertensi, gagal jantung, diabetes, PPOK yang tidak terkontrol
Akan menjalani transplantasi kecuali transplantasi hati3,4

Gambar 1. Algoritme Terapi Hepatitis B Kronis pada Kelompok HBeAg Positif1,2

Gambar 2. Algoritme Terapi Hepatitis B Kronis pada Kelompok HBeAg Negatif1,2


Tabel 1. Profil Regimen Obat Hepatitis B Kronis1,2
Peg-Interferon
Peg IFN-2a
Peg IFN-2b
Analog Nukleos(t)ida
1. Analog Nukleosida:
Lamivudin (3TC)
Telbivudin (LdT)
Entecavir (ETV)
2. Analog Nukleosida:
Adefovir (ADV)
Tenofovir (TDF)

Efektivitas
30%

Dosis

Resistensi
Tidak ada

180 g/minggu SC
1-1,5 g/kgBB/minggu SC
<50%
<70%
>90%
<50%

100 mg/hari PO
600 mg/hari PO
0,5-1 mg/hari PO

70% pada 5 tahun


30% pada 5 tahun
<1%
30-40%
<1%

10 mg/hari PO
300 mg/hari PO

d. Pemantauan dan penghentian terapi


Pada prinsipnya pengobatan diberikan hingga tujuan terapi jangka pendek tercapai.
Penghentian pengobatan tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya relaps virus dan
hepatitis flare (peningkatan mendadak ALT 5x batas atas normal).1,2,3
Pemberian interferon dilakukan dalam periode yang sudah dipastikan dan tidak
tergantung pada hasil pengobatan karena pengaruh imunologi dari interferon dapat
menetap setelah terapi dihentikan. Saat ini peg-IFN umunya diberikan selama 12 bulan,
baik untuk kasus HBeAg postif ataupun HBeAg negatif. Sementara pada pemberian
analog nukleos(t)ida, consensus Asia Pasifik merekomendasikan penghentian terapi pada
kasus HBeAg negatif dan anti-HBe positif bila kadar DNA HBV tidak terdeteksi (dengan
pemeriksaan PCR) selama 3x berturut-turut dalam selang 6 bulan.3,4,5
e. Terapi pada kehamilan
Setiap wanita hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HBsAg pada
kunjungan prenatal pertama. Risiko bayi untuk mendapatkan HBV dari ibu dengan
HBsAg negatif atau HBeAg positif adalah sebesar 80-90% jika bayi tidak diberikan HBIg
dalam kurun waktu 12 jam pasca kelahiran.6

Terapi sebaiknya ditunda hingga trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal.


Agen terapi yang direkomendasikan ialah telbuvudin dan tenofovir (kategori keamanan
kelas B), sementara lamivudine, entecavir, dan adefovir masuk dalam kategori keamanan
kelas C. Penggunaan peg-IFN dikontraindikasikan pada kehamilan.6
Pencegahan transmisi perinatal dilakukan dengan pemberian HBIg 0,5 mg pada
neonatus dalam 12 jam setelah lahir, yang dikombinasika dengan 3 dosis vaksinasi
hepatitis B. Perempuan yang sedang menjalani terapi hepatitis B sebaiknya tidak
menyusui.6
KOMPLIKASI
Infeksi kronis HBV dapat menyebabkan sirosis dan komplikasinya, termasuk ascites,
hipertensi porta, perdarahan, dan karsinoma hepatoseluler. Surveilans untuk karsinoma
hepatoseluler pada infeksi HBV dilakukan tiap 12 bulan dengan menggunakan tumor marker fetoprotein dan USG abdomen. Pada penelitian dengan randomized control trial pada individu
sebanyak 18.816 orang dengan infeksi HBV kronis, didapatkan penurunan mortalitas sebanyak
37 persen selama 1 tahun dibandingkan dengan yang tidak di screening. Karsinoma hepatoseluler
relatif jarang di US (2.8 kasus per 100.000 orang kulit putih dan 6.1 kasus per 100.000 orang
kulit hitam), namun insidensinya meningkat 71.4 persen dibandingkan dengan 30 tahun yang
lalu. Koinfeksi dengan virus hepatitis D bisa didapatkan pada individu yang terinfeksi HBV
kronis; hal ini meningkatkan risiko terjadinya sirosis dan hepatitis fulminan.4,5
PROGNOSIS
Insidens kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis hepatitis B kronis menjadi sirosis hati
ialah 8-20%, dan insidens kumulatif 5 tahun dari sirosis kompensata menjadi sirosis
dekompensata pada hepatitis B kronis yang tidak diobati ialah 20%. Pada kondisi sirosis
dekompensata tersebut, angka survival dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%.1,4,5

Sumber Pustaka:

1. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis


B di Indonesia. Jakarta: PPHI; 2012.
2. Liaw YF, Kao JH, Piratvisuth T, Chan HL, Chien RN, Liu Cj, dkk. Asian-Pacific consensus
statement on the management of chronic hepatitis B. Hepatol Int. 2012;6(3):531-61.
3. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines:
management of chronic hepatitis B virus infection. J Hepatol. 2012;57(1):167-85.
4. Longo DL, Fauci AS. Chronic hepatitis. Dalam: Harrisons gastroenterology and hepatology.
Edisi ke-2. Philadelphia:McGraw-Hill;2013.
5. McMahon BJ. Chronic hepatitis B virus infection. Med Clin North Am. 2014;98(1):39-54.
6. Dunkelberg JC, Berkley EM, Thiel KW, Leslie KK. Hepatitis B and C in pregnancy: a review
and recommendation for care. J Perinatol. 2014.

Anda mungkin juga menyukai