EKLAMPSIA
Disusun oleh :
dr. Irvan Raharjo
Pendamping :
dr. Rosalia Th. Daten Beyeng, Sp.A
Pembimbing :
dr. Maria Ina Tukan, Sp.OG
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (16/5/2018)
WBC 11.270/ul
HGB 12,2 g/dl
HCT 34,03%
PLT 330.000/ul
SGOT/SGPT 33 / 34 U/L
Ureum/kreatinin 44,9 / 0,48 mg/dl
Urinalisis (16/5/2018)
BT 1 menit
CT 12 menit
Tatalaksana:
- Terapi cairan + akses intravena
- Antikonvulsi (IVFD MgSO4 4 gr bolus 5-10 menit, maintenance 1-2 gr/ jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir)
- Antihipertensi (Nifedipine 10mg sublingual)
- Cek Complete Blood Count, clotting time, bleeding time, golongan darah, urinalisis,
SGOT/SGPT, Ureum/Kreatinin
- Pro terminasi kehamilan dengan ekspektasi pervaginam: pematangan servix (misoprostol
50mcg retrocervix, evaluasi tiap 6 jam), induksi saat sudah inpartu (drip oksitosisn 5 IU
dalam RL 500 cc, mulai dari 8 tpm, evaluasi, naik 4 tpm tiap 15 menit, maksimal 40 tpm)
- SCTP emergency jika terdapat tanda-tanda impending eklampsia atau eklampsia
Eritrosit urin +2
WBC 12.150/ul
PLT 320.000/ul
OT/PT 35/38
Ur/Cr 43,8/0,45
Proteinuria +2
Eritrosit urin +1
Daftar Pustaka :
ACOG (2013). Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of
Obstetricians and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong CY (2010).
Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics 23th Edition. USA: The McGraw-
Hil Companies.
English FA, Kenny LC, McCarthy FP (2015). Risk factors and effective management of
preeclampsia. Dovepress:Integrated Blood Pressure Control. 2015:8.
POGI (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
eklamsia.
Hasil Pembelajaran
1. Penanganan pertama pada pasien eklampsia, harus meliputi penilaian primer mulai
dari penilaian jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi (circulation),
disabilitas (disability), dan pajanan (exposure). Semua aspek harus ditangani secara
berurutan untuk mencegah tingkat mortalitas dan morbiditas meningkat. Dilakukan
juga evaluasi keadaan janin.
2. Setelah pasien dalam keadaan stabil, penanganan awal meliputi terminasi
kehamilan segera.
3. Evaluasi kondisi pasien setelah terminasi kehamilan, terutama kondisi organ di
seluruh tubuh.
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :
1. Subyektif
Pasien wanita usia 26 tahun, hamil preterm, mengeluh mual dan pusing, diikuti dengan
kejang.
2. Obyektif
TD 160/120 mmHg, HR 72x/m, RR 24 x/m, T 37 o C. Kepala: edema palpebra (+/
+). Ekstremitas: edema kaki (+/+) minimal
Status obstetrik: Doppler DJJ (-), letak kepala, inpartu (-)
3. Assessment
Diagnosa pasien G1P0000 gravid 32-33mg J/T + Intra uterine fetal death + Eklampsia
ditegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik, dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium.
4. Plan
– Diagnosa
Penegakkan diagnosa eklampsia dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
laboratorium juga diperlukan untuk mengetahui komplikasi dari eklampsia.
– Pengobatan
Terminasi kehamilan.
– Pendidikan
Edukasi dengan menjelaskan kondisi pasien dan rencana tindakan pengobatan serta
perawatan, komplikasi, dan prognosis.
– Konsultasi
Dijelaskan bahwa dengan kondisi pasien sekarang, pasien akan dikonsultasikan ke dokter
spesialis Obstetri dan Ginekologi.
A. PREEKLAMPSIA
Definisi
Etiologi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang secara
teori dapat memengaruhi seluruh sistem organ manusia (Cunningham et al.,
2010). Patogenesis terjadinya preeklamsia sendiri masih belum diketahui
secara pasti. Namun, sudah diketahui bahwa plasenta merupakan suatu pusat
masalah preeklampsia, karena saat plasenta sudah diambil, hampir semua
gejala preeklampsia menghilang, langsung atau perlahan (Dekker, 2014;
Phipps et al, 2016).
Penelitian-penelitian terbaru (Dekker, 2014; Phipps et al, 2016; Jim et
al, 2016) menunjukkan bahwa proses patofisiologi preeklampsia dapat dibagi
menjadi 2 stage, yaitu:
COMT, catechol-O-methyltransferase;
HTN, hypertension;
Faktor Risiko
Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
Anamnesis:
Umur > 40 tahun
Nulipara
Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Kehamilan multipel
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Hipertensi kronik
Penyakit Ginjal
Sindrom antifosfolipid (APS)
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
Indeks masa tubuh > 35
Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
(POGI, 2016)
Penatalaksanaan:
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi
dengan selamat.
Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.
Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.
1. Perawatan aktif, yaitu mengakhiri kehamilan.
Indikasi: bila terdapat satu atau lebih kelainan berikut ini:
Ibu:
a. Usia kehamilan lebih dari 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
Janin:
a. Terdapat tanda-tanda gawat janin
b. Terdapat tanda-tanda IUGR
Laboratorium:
a. Adanya sindroma HELLP
Terapi medikamentosa untuk perawatan aktif dapat diberikan:
a. Infus Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4 4 gr selama 5-10 menit, maintenance 1-2gr/
jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir.
2. Perawatan ekspektatif/ konservatif, yang berarti mempertahankan
kehamilan.
Indikasi: Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-
tanda impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
Dilakukan dengan evaluasi ketat:
Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu)
Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan
Pencegahan:
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan
untuk prevensi preeklampsia pada wanito dengan risiko tinggi.
Suplementasi kalsium minimal 1 gram/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah.
Pembatasan garam untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya
selama kehamilan tidak direkomendasikan. Pemberian vitamin C dan E
tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan preeklampsia.
(POGI, 2016)
Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung.
Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.
B. HELLP SYNDROME
Definisi Sindrom HELLP
Sindrom HELLP adalah kelainan multisistem yang merupakan
komplikasi kehamilan dengan pemeriksaan laboratorium menandakan
hemolisis, disfungsi hepatik, dan trombositopenia. Kelainan ini pertama kali
dijelaskan oleh Weinstein pada tahun 1982, dan kemudian disebut sindrom
HELLP yang merupakan akronim dari hemolysis (H), elevated liver enzyme
(EL), low platelets (LP).
Sindrom HELLP paling sering berhubungan dengan preeklampsia
berat atau eklampsia, namun juga bisa didiagnosis tanpa diawali kelainan-
kelainan tersebut. Kelainan ini dapat berupa murni komplikasi PEB atau
merupakan fenomena sekunder pada pasien dengan adult respiratory distress
syndrome (ARDS), gagal ginjal, dan kerusakan organ multipel dengan DIC.
Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua
kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus
sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada
usia kehamilan 27-37 minggu; 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27
minggu, dan 20% setelah 37 minggu.
Faktor Risiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsia. Pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-
rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit
puih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga.
Faktor Risiko
Multipara Nullipara
Usia ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40
Ras kulit putih
tahun
Riwayat keluaran kehamilan
Riwayat keluarga eklampsia
yang jelek ANC yang buruk
Diabetes mellitus
Hipertensi kronis
Kehamilan multipel
Patogenesis
Sindrom Hellp seringkali terjadi mendadak pada usia kehamilan
antara 28-36 minggu. Etiologi dan pathogenesis dari penyakit ini masih
belum dipahami secara pasti. Secara umum, kelainan ini dihubungkan dengan
pendesakan plasenta (placenta-instigated), kondisi inflamasi akut pada hepar,
dengan kelainan proses imunologi. Seperti pada preeklampsia, sindroma ini
berasal dari kegagalan pembentukan dan fungsi, serta iskemia dari plasenta.
Iskemia ini kemudian memicu pelepasan faktor-faktor yang merusak endotel
melalui hilangnya relaksasi vascular, pelepasan vasokonstriktor, dan aktivasi
platelet. Hemolysis yang merupakan karakterisasi dari sindrom ini berasal
dari kelainan mikroangiopati. Sel darah merah menjadi terfragmentasi saat
mereka melewati pembuluh darah kecil yang mempunyai kelainan deposit
fibrin dan endothelium yang rusak. Obstruksi aliran darah hepar oleh deposit
fibrin pada sinusoid hepar berdampak pada naiknya enzim hepar (elevated
liver enzymes), dan nekrosis periportal. Pada kasus yang berat, dapat timbul
perdarahan intrahepatik, subkapsular hematoma, bahkan rupture hepar.
Trombositopenia, yang merupakan manifestasi ketiga dari trias Sindrom
HELLP berasal dari peningkatan konsumsi dan destruksi platelet (Hemant et
al., 2009).
Tanda dan Gejala
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan sindrom HELLP mempunyai gejala klinis yang
bervariasi. Gejalanya mirip dengan gejala pasien preeklampsia tanpa
sindrom HELLP. Pasien biasanya mengeluh nyeri perut di bagian
epigastrik atau di kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual
dan muntah (45 – 86%), pasien lain bisa mempunyai gejala klinis yang
menyerupai gejala infeksi virus yang tidak spesifik. Kebanyakan pasien
(90%) mempunyai riwayat badan lemah beberapa hari sebelum serangan.
gejala nyeri perut bagian epigastrik atau di kuadran kanan atas disebabkan
adanya obstruksi aliran darah di sinusoid hepar yang disebabkan deposit
fibrin intravaskuler.
Karena diagnosis awal sangat diperlukan untuk penatalaksanaan
pada Sindrom HELLP, wanita hamil yang memiliki gejala seperti malaise
pada separuh masa kehamilan mereka harus segera dievaluasi dengan cek
darah lengkap. Gejala umum lain yang perlu diperhatikan antara lain nyeri
epigastrium atau perut kanan atas, mual, muntah, sakit kepala dan
gangguan penglihatan. Pada beberapa kasus dapat terjadi nyeri alih dari
hepar yang terdapat pada leher dan bahu.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan,
karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
(Hemant et al., 2009).
1) Hemolisis
a) Kelainan apusan darah tepi, yaitu ditemukannya sel burr, sel helmet,
schistocyte dan atau fragmentosit.
b) Total bilirubin > 1,2 mg/dL
c) Penurunan level serum haptoglobin
d) Penurunan level hemoglobin
2) Peningkatan enzim hepar
a) Serum AST > 70 U/L
b) LDH > 600 U/L
3) Trombositopenia
Hitung trombosit < 100.000/mm3.
Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi
Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP adalah hemolisis,
peningkatan kadar enzim hepar, dan jumlah trombosit yang rendah. Dua
sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama
adalah klasifikasi menurut Tennessee yang membagi menjadi sindrom
HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP
total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko
menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan
sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang
parsial diterapi konservatif.
Klasifikasi kedua adalah menurut Mississippi, yang membagi sindrom
HELLP menjadi tiga kelas berdasarkan jumlah trombositnya. Sindrom
HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm 3. Jumlah trombosit
50.000-100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit
antara 100.000-150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam
memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran
maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan kelas II
dan kelas III.
Kriteria Diagnostik Sindrom HELLP
Klasifikasi Klasifikasi Tennessee Klasifikasi Mississippi
Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsia berat.
Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian
obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
a. Perlemakan hati akut dalam kehamilan
b. Apendisitis
c. Gastroenteritis
d. Kolesistitis
e. Batu ginjal
f. Pielonefritis
g. Ulkus peptikum
h. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
i. Trombositopeni purpura trombotik
j. Sindrom hemolitik uremia
k. Ensefalopati dengan berbagai etiologi
Tatalaksana
a. Tatalaksana Awal
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi
ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Pasien sindrom HELLP harus diterapi MgSO4, untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20%
sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 gram/jam. Pemberiannya harus
diawasi dengan memeriksa secara rutin produksi urin dan tanda serta
gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, segera berikan 10-20 ml
kalsium glukonat 10% IV.
Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk
sistolik, dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Obat anti hipertensi
yang bisa diberikan adalah hidralazin bolus 5 mg, bisa diulang 15-20 menit
hingga dosis maksimum 20 mg/jam. Obat lain yang bisa diberikan adalah
labetolol IV 20-40 mg setiap 10-15 menit hingga dosis maksimum 220 mg
dalam 1 jam, atau nifedipin oral 10-20 mg, dapat diulang dalam 30 menit
hingga dosis maksimum 40 mg dalam 1 jam. Selama periode observasi,
kondisi ibu dan janin diperiksa dan diawasi.
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kesejahteraan janin
dengan NST, profil biofisik atau pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menentukan apakah perlu segara mengakhiri kehamilan
atau tidak.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34
minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau
janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah
mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru
janin belum matur, dapat diberikan kortikosteroid untuk akselerasi
pematangan paru janin. Regimen yang direkomendasikan adalah
betametason (12 mg IM per 24 jam, dua dosis) atau deksametason (6 mg
IM per 12 jam, 4 dosis). Regimen tersebut bermanfaat untuk mempercepat
pematangan baru, dan cepat melewati sawar plasenta dengan risiko
kompliksi mineralkortikoid terhadap janin yang minimal.
b. Tatalaksana Konservatif
Beberapa penelitian memberikan sugesti untuk melakukan
tatalaksana konservatif pada pasien sindrom HELLP dengan tujuan untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin yang masih immatur (<26
minggu masa kehamilan). Perpanjangan masa kehamilan dilakukan sampai
umur kehamilan minimal 34 minggu atau telah tercapainya kematangan
paru janin. Terapi yang diberikan adalah bed rest, kontrol tekanan darah,
kortikosteroid dosis tinggi, dan terapi dengan plasma volume expansion.
c. Persalinan
Jika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau
lebih, atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada
ibu maupun janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada
DIC dan paru janin belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat kematangan paru dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.
Sindrom HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk
dilakukannya terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam
menjadi pilihan utama bila tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks
sudah matang, maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin
per infus. Jika serviks belum matang dapat dilakukan pematangan serviks
dengan menggunakan regimen progtaglandin, atau dengan SC elektif.
d. Tatalaksana Postpartum
Sindrom HELLP dapat terjadi baik pada antepartum maupun
postpartum. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari
postpartum, dengan kejadian tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan.
Tatalaksana sindrom HELLP postpartum hampir mirip dengan sindrom
HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang dan obat
antihipertensi. Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak
ada risiko peredaran ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi
ketat selama 48 jam pertama postpartum di perawatan intensif.
Kebanyakan pasien akan memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika
terjadi perburukan, maka harus diterapi dan diperiksa ada tidaknya
komplikasi atau melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis
bandingnya.
Komplikasi
a. Komplikasi Maternal
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%.
Sedangkan morbiditas ibu disebabkan oleh edema pulmo (8%), gagal
ginjal akut (3%), DIC (15%), solusio plasenta (9%), kegagalan atau
perdarahan hepar (1%), ARDS, sepsis dan stroke (<1%). Kehamilan
dengan komplikasi sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan
risiko ruptur hepar dan kebutuhan transfusi darah maupun produk-produk
darah. Perkembangan sindrom HELLP pada periode postpartum
meningkatkan risiko gagal ginjal dan edema paru. Adanya solusio plasenta
meningkatkan risiko DIC, kebutuhan transfusi darah, edema paru, dan
gagal ginjal. Pasien dengan asites, berisiko tinggi mengalami komplikasi
kardiopulmonal.
b. Komplikasi perinatal
Kematian perinatal mencapai 7,4-20,4%. Kematian perinatal yang
tinggi terutama pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, dan
berhubungan dengan IUGR berat atau solusio plasenta. Angka persalinan
prematur mencapai 70%, dimana 15% terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 28 minggu. Akibatnya bayi-bayi dengan kelahiran prematur berisiko
tinggi terkena komplikasi akut neonatal seperti RDS, displasia
bronkopulmonal, perdarahan intraserebral dan nekrosis enterokolitis.
Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko
sampai 43% untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Warrington JP, George EM, Palei AC, Spradley FT, Granger JP. 2013. Recent
advances in the understanding of the pathophysiology of
preeclampsia. Hypertension, 62(4): 666-73.
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam
Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.