Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

EKLAMPSIA

Disusun oleh :
dr. Irvan Raharjo

Pendamping :
dr. Rosalia Th. Daten Beyeng, Sp.A

Pembimbing :
dr. Maria Ina Tukan, Sp.OG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LEWOLEBA


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 2017-2018
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Irvan Raharjo
Nama Wahana : RSUD Lewoleba
Topik : Eklampsia (Kasus Kegawatdaruratan)
Tanggal (kasus) : 16 Mei 2018
Nama Pasien : Ny. FKW No RM : 11****
Tanggal Presentasi : 3 Juni 2018 Nama Pendamping : dr. Rosalia Beyeng Sp.A
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medis RSUD Lewoleba
Objektif Presentasi :
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi Wanita 26 tahun
Tujuan Mengenali, melakukan deteksi dini, menegakkan diagnosis serta
melakukan penanganan kegawatdaruratan pada kasus
preeklampsia dan eklampsia.
Bahan bahasan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara membahas  Diskusi  Presentasi dan  Email  Pos
diskusi
Data pasien Nama : Ny. FKW No registrasi : 11****
Nama klinik : RSUD Lewoleba Telp : Terdaftar sejak : 2004
0383-41535
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis : G1P0000 gravid 32-33mg J/T + Intra uterine fetal death + Eklampsia
2. Gambaran Klinis:
Pasien wanita usia 26 tahun datang ke IGD/PONEK RSUD Lewoleba
pukul 12.00 dengan keluhan rasa gerak anak berkurang sejak 3 hari SMRS.
Awalnya rasa gerak anak masih dirasakan, namun berangsur-angsur semakin
jarang, hingga 1 hari SMRS diakui tidak ada gerakan. Keluar air-air dari jalan
lahir disangkal, lendir dan darah disangkal, nyeri atau kencang-kencang di
perut disangkal. Kedua kaki bengkak, diakui sejak 1 bulan SMRS, namun
menurut pengakuan berangsur-angsur berkurang. Pusing dan nyeri kepala
disangkal, nyeri ulu hati disangkal, gangguan pengelihatan disangkal, sesak
napas disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Tanda-tanda vital TD
140/110 mmHg (dilakukan 2x dengan jarak waktu 15 menit pada lengan yang
sama), HR 84x/m, RR 20 x/m, T 37 o C, DJJ tidak didapatkan. Pasien kemudian
didiagnosis dengan G1P0000 gravid 32-33mg J/T + Intra uterine fetal death +
Preeklampsia berat, diberikan penanganan dengan rencana terminasi kehamilan
pervaginam.
Sekitar 5 hari SMRS, Pasien baru saja dipulangkan atas persetujuan dokter
setelah menjalani perawatan ekspektatif untuk preeklampsia berat selama 7
hari di RSUD Lewoleba.
Sekitar 12 jam setelah didiagnosis, dirawat, dan diberi penanganan di
IGD/PONEK (pukul 24.00), pasien tiba-tiba mengeluhkan pusing dan mual.
Sekitar 5 menit setelahnya pasien mengalami kejang 1x. Kejang terjadi di
seluruh tubuh dengan keempat ekstremitas mengalami kelojotan, rahang
membuka dan menutup, serta mata mendelik ke atas. Selama kejang pasien
mengalami penurunan kesadaran. Kejang berlangsung selama sekitar 20 detik.
Setelah kejang pasien sempat pingsan sekitar 1 menit, kemudian terbangun,
menangis dan lemas. Tanda-tanda vital TD 160/120 mmHg, HR 72x/m, RR 24
x/m, T 37 o C; didiagnosa dengan G1P0000 gravid 32-33mg J/T + Intra uterine fetal
death + Eklampsia, kemudian dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP-emergency.
3. Riwayat pengobatan : perawatan ekspektatif untuk preeklampsia berat di RSUD
Lewoleba, membaik, dipulangkan dengan rencana perawatan poliklinik rutin.
4. Riwayat kesehatan/ penyakit: Tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.
5. Riwayat keluarga: Tidak ada anggota keluarga lain memiliki keluhan yang sama.
6. Riwayat pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
7. Kondisi lingkungan sosial dan fisik
Pasien menikah 2 tahun yang lalu, tinggal di kota dengan suami.
8. Lain-lain:
Pemeriksaan Fisik:
 Kepala: konjungtiva anemis (-/-), edema palpebra (+/+)
 Leher: pembesaran KGB (-/-)
 Thorax
o Pulmo
– Inspeksi : Simetris dalam statis dan dinamis, retraksi dinding dada -/-
– Palpasi : Stem fremitus kanan kiri, depan belakang sama kuat.
– Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
– Auskultasi : Pernapasan vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
o Jantung
 Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V
 Perkusi : Redup
• Batas kanan atas : ICS II linea sternalis dextra
• Batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
• Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
• Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen:
• Inspeksi : Tampak cembung
• Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar dan lien tidak teraba membesar.
• Perkusi : Timpani.
• Auskultasi : Bising usus normal.
 Ekstremitas: Akral hangat, Edema (tangan -/-, kaki +/+ minimal), sianosis (tangan -/-,
kaki -/-)
 Pemeriksaan obstetri
Abdomen:
• Inspeksi : Tampak cembung, sikatriks (-), striae gravidarum (+)
• Palpasi :
• Leopold 1: Tinggi fundus uteri 23 cm, teraba bokong bayi pada fundus
uteri, his (-)
• Leopold 2: Punggung bayi teraba di sisi kanan
• Leopold 3 dan 4: Teraba kepala bayi pada bagian terendah uteri,
engagement (+)
• Auskultasi : Doppler: DJJ (-)
Vagina:
• Inspeksi : keadaan vulva dan perineum dalam batas normal
• Vaginal toucher : pembukaan 1 cm, effisment 25%, lendir (+), darah (-), teraba
kulit ketuban, kedudukan kepala turun Hodge 1

Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (16/5/2018)

WBC 11.270/ul
HGB 12,2 g/dl
HCT 34,03%
PLT 330.000/ul
SGOT/SGPT 33 / 34 U/L
Ureum/kreatinin 44,9 / 0,48 mg/dl

Urinalisis (16/5/2018)

Warna dan kejernihan Kuning agak keruh


pH 8
Leukosit +1 6-8/lpk
Nitrit (-)
Protein +2
Glukosa (-)
Keton (-)
Eritrosit +2 2-3/lpk
Epitel 2-3/lpb
Silinder (-)
Kristal (-)

Bleeding Time & Clotting time


(16/5/2018)

BT 1 menit
CT 12 menit

 Tatalaksana:
- Terapi cairan + akses intravena
- Antikonvulsi (IVFD MgSO4 4 gr bolus 5-10 menit, maintenance 1-2 gr/ jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir)
- Antihipertensi (Nifedipine 10mg sublingual)
- Cek Complete Blood Count, clotting time, bleeding time, golongan darah, urinalisis,
SGOT/SGPT, Ureum/Kreatinin
- Pro terminasi kehamilan dengan ekspektasi pervaginam: pematangan servix (misoprostol
50mcg retrocervix, evaluasi tiap 6 jam), induksi saat sudah inpartu (drip oksitosisn 5 IU
dalam RL 500 cc, mulai dari 8 tpm, evaluasi, naik 4 tpm tiap 15 menit, maksimal 40 tpm)
- SCTP emergency jika terdapat tanda-tanda impending eklampsia atau eklampsia

Catatan rekam medis pasien


Tanggal/ Subyektif Obyektif Assesment Planning
Jam

3/5/18 Hamil 30-31 TD 160/100 mmHg G1P0000 Perawatan konservatif


(11.30) minggu, sakit gravid 30-31
kepala sejak 1 DJJ 138 x/m mg J/T/H + IVFD MgSo4 4 gr
hari SMRS, Preeklampsia bolus, maintenance 6
His (-) gr dalam 6 jam
tanda Berat
persalinan (-) Hb 11,3 g/dl Nifedipin 3x10mg
WBC 7.150/ul Inj dexametason 1x12
PLT 122.000/ul mg (2 hari)

Proteinuria +2 Kalk 3x1

Leukosit urin +3 DC+balance cairan

Eritrosit urin +2

10/5/18 Hamil 31-32 TD 140/100 mmHg BPL, plan kontrol


minggu, poliklinik rutin
(14.00) sedang rawat DJJ 146 x/m
inap, tidak ada Nifedipin 3x10mg
His (-)
keluhan Kalk 3x1
Hb 11,8 g/dl

WBC 12.150/ul

PLT 320.000/ul

OT/PT 35/38

Ur/Cr 43,8/0,45

Proteinuria +2

Leukosit urin (-)

Eritrosit urin +1
Daftar Pustaka :
ACOG (2013). Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of
Obstetricians and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong CY (2010).
Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics 23th Edition. USA: The McGraw-
Hil Companies.
English FA, Kenny LC, McCarthy FP (2015). Risk factors and effective management of
preeclampsia. Dovepress:Integrated Blood Pressure Control. 2015:8.
POGI (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
eklamsia.

Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu


Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.

Hasil Pembelajaran
1. Penanganan pertama pada pasien eklampsia, harus meliputi penilaian primer mulai
dari penilaian jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi (circulation),
disabilitas (disability), dan pajanan (exposure). Semua aspek harus ditangani secara
berurutan untuk mencegah tingkat mortalitas dan morbiditas meningkat. Dilakukan
juga evaluasi keadaan janin.
2. Setelah pasien dalam keadaan stabil, penanganan awal meliputi terminasi
kehamilan segera.
3. Evaluasi kondisi pasien setelah terminasi kehamilan, terutama kondisi organ di
seluruh tubuh.
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :
1. Subyektif
Pasien wanita usia 26 tahun, hamil preterm, mengeluh mual dan pusing, diikuti dengan
kejang.

2. Obyektif
 TD 160/120 mmHg, HR 72x/m, RR 24 x/m, T 37 o C. Kepala: edema palpebra (+/
+). Ekstremitas: edema kaki (+/+) minimal
 Status obstetrik: Doppler DJJ (-), letak kepala, inpartu (-)
3. Assessment
Diagnosa pasien G1P0000 gravid 32-33mg J/T + Intra uterine fetal death + Eklampsia
ditegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik, dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium.
4. Plan
– Diagnosa
Penegakkan diagnosa eklampsia dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
laboratorium juga diperlukan untuk mengetahui komplikasi dari eklampsia.
– Pengobatan
Terminasi kehamilan.
– Pendidikan
Edukasi dengan menjelaskan kondisi pasien dan rencana tindakan pengobatan serta
perawatan, komplikasi, dan prognosis.
– Konsultasi
Dijelaskan bahwa dengan kondisi pasien sekarang, pasien akan dikonsultasikan ke dokter
spesialis Obstetri dan Ginekologi.

Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan


Menerima dan memeriksa Dilakukan pada saat di Primary survey dilaksanakan
pasien IGD/PONEK, dilakukan dan kelainan yang ditemukan
pemeriksaan menyeluruh dan langsung ditangani yaitu
primary serta secondary survey. eklampsia sebagai
kegawatdaruratan. Hasil
pemeriksaan kemudian dicatat
secara objektif dan struktural
Penanganan keluhan pasien Dilakukan pada saat pasien di Jika ditemukan gangguan
IGD/PONEK, berupa sirkulasi dan komplikasi lainnya
penanganan airway, breathing, yang mengancam nyawa dan
circulation, disability, dan keluhan pasien dapat ditangani
exposure dini.
Edukasi Dilakukan pada saat pasien di Pasien dan keluarga memahami
IGD/PONEK. kondisi pasien dan janin, serta
menyetujui penanganan berupa
terminasi kehamilan
TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
Definisi

Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan-kumpulan gejala


yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari
trias: proteinuri, hipertensi,dan edema, yang kadang-kadang disertai konvulsi
sampai koma. Ibu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan-kelainan
vaskular atau hipertensi sebelumnya. Dulu, preeklampsia didefinisikan
sebagai penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan
tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus
hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia. Bentuk
serangan kejang pada eklampsia adalah kejang ‘grand mal’ dan dapat timbul
pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul
lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan
oleh lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat.

Etiologi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang secara
teori dapat memengaruhi seluruh sistem organ manusia (Cunningham et al.,
2010). Patogenesis terjadinya preeklamsia sendiri masih belum diketahui
secara pasti. Namun, sudah diketahui bahwa plasenta merupakan suatu pusat
masalah preeklampsia, karena saat plasenta sudah diambil, hampir semua
gejala preeklampsia menghilang, langsung atau perlahan (Dekker, 2014;
Phipps et al, 2016).
Penelitian-penelitian terbaru (Dekker, 2014; Phipps et al, 2016; Jim et
al, 2016) menunjukkan bahwa proses patofisiologi preeklampsia dapat dibagi
menjadi 2 stage, yaitu:

1. Stage 1: Remodeling arteri spiralis di uterus yang tidak sempurna,


sehingga berkontribusi pada terjadinya iskemi plasenta.
2. Stage 2: Lepasnya faktor-faktor antiangiogenik dari plasenta yang
iskemik ke dalam sirkulasi maternal, yang berkontribusi pada
kerusakan/ disfungsi endotel.

AT1-AA, autoantibodies to angiotensin receptor 1;

COMT, catechol-O-methyltransferase;

HTN, hypertension;

LFT, liver function test;

PlGF1, placental growth factor 1;

PRES, posterior reversible encephalopathy syndrome;

sEng, soluble endoglin;

sFlt-1, soluble fms–like tyrosine kinase 1;

sVEGFR1, soluble vascular endothelial growth factor receptor 1;

VEGF, vascular endothelial growth factor


Gagalnya remodelling arteri spiralis di uterus diduga merupakan asal
muasal terjadinya preeklampsia. Ada beberapa hal yang diduga menyebabkan
gagalnya remodelling arteri spiralis sehingga menyebabkan iskemi arteri
spiralis (Stage 1):

1. Invasi sel trofoblas yang abnormal


Pada kehamilan yang normal, terjadi invasi sel trofoblas ke dalam
lapisan otot arteri spiralis, menimbulkan degenerasi lapisan otot,
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis (remodelling). Hal ini
menyebabkan aliran darah ke janin tercukupi (Cunningham et al.,
2010). Pada preeklampsia, diduga terjadi invasi sel trofoblas yang
abnormal, sehingga terjadi kegagalan remodelling dari arteri
spiralis. Lumen arteri spiralis yang demikian tidak memungkinkan
untuk terjadi vasodilatasi, sehingga aliran darah uteroplasenta
menurun, terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Penyebab invasi
sel trofoblas yang abnormal ini belum jelas, sehingga teori ini masih
merupakan dugaan saja (Warrington et al., 2013).
2. Stress oksidatif
Stress oksidatif telah diketahui dapat menjadi penyebab sekaligus
akibat gagalnya remodelling plasentasi. Pada kehamilan, terjadi
kondisi di mana plasenta berada pada status stres oksidatif karena
meningkatnya aktivitas mitokondria plasental, sehingga sering
menghasilkan reactive oxygen species (ROS). Hal ini menyebabkan
kurang baiknya aliran darah plasental (Burton et al, 2004; Myatt
dan Cui, 2004).
Selanjutnya, gagalnya remodelling plasentasi menyebabkan darah
maternal masuk ke rongga antar vili dengan tekanan dan kecepatan
yang tinggi. Hal ini menyebabkan konsentrasi oksigen yang
fluktuatif, terjadi hipoksia, yang selanjutnya membentuk stres
oksidatif yang akan menyebabkan proses inflamasi pada ibu
(Jebbink et al., 2012).
Stress oksidatif yang berlebihan menyebabkan penyebaran lipid
plasenta dan modifikasi protein oksidatif yang mana merupakan pro
inflamasi kuat. Stress oksidatif juga menyebabkan stres pada
mitokondria dan retikulum endoplasma, menyebabkan apoptosis
dan nekrosis jaringan. Nekrosis dan apoptosis dari trofoblas
menghasilkan debris-debris yang akan beredar dalam sirkulasi darah
dan menyebabkan terjadinya inflamasi. Selanjutnya respon
inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel (via IL-6), sel
makrofag/ granulosit, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi
yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu (Jebbink et
al., 2012).
3. Nitrit oxide pathway (defisiensi nitrit oxide)
Nitrit oxide (NO) merupakan vasodilator poten yang menginduksi
relaksasi sel otot polos vaskuler via jalur cyclic guanosine
monophosphate. Sehingga defisiensi NO, telah dilaporkan oleh
beberapa penelitian, akan mengurangi aliran darah uteroplasental,
diameter arteri spiralis, dan panjang arteri spiralis. Hal ini berujung
pada tidak optimalnya arteri spiralis (Quillon et al, 2015; Dai et al,
2013; Phipps et al, 2016).
4. Heme oxygenase pathway (defisiensi heme oxygenase)
Heme oxygenase dihasilkan oleh trofoblas, berfungsi mendegradasi
heme menjadi carbon monoxide (CO) yang merupakan vasodilator
kuat. Kurangnya CO dikatikan dengan iskemi plasenta (Phipps et al,
2016).
5. Auto-antibodi terhadap receptor angiotensin 1 (AT1-AA)
AT1-AA merupakan hipotesis imunologis preeklampsia yang paling
banyak dikaitkan dengan kejadian preeklampsia (Phipps et al,
2016). AT1-AA menyebabkan regulasi ROS dan NADPH oksidase
meningkat, yang kemudian memperkuat hipotesis terjadi
preeklampsia karena stres oksidatif (Jebbink et al, 2012; Phipps et
al, 2016).
6. Faktor imunologis genetik
Implantasi plasenta yang tidak baik diduga karena toleransi
imunologi yang maladaptif antara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
Pada kehamilan normal, sistem imunitas tidak menolak hasil
konsepsi yang seharusnya bersifat asing. Hal ini disebabkan karena
adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan
dalam modulasi respon imunitas, sehingga tubuh ibu menerima
hasil konsepsi. HLA-G ini melindungi trofoblas janin dari lisis oleh
sel Natural Killer (NK) ibu. HLA-G juga mempermudah invasi sel
trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Invasi ini penting agar
jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis. Pada preeklampsia, kemungkinan
terjadinya sistem imunitas yang maladaptif (gagal beradaptasi)
sehingga proses di atas tidak terjadi (Cunningham et al., 2010).
Selain HLA-G, HLA-C (dari paternal) yang diekspresikan oleh sel
trofoblas yang invasif juga diduga berkaitan dengan toleransi
imunologi yang maladaptif pada kehamilan. HLA-C merupakan
ligan yang dominan untuk Killer Immunoglobulin-like Receptor
(KIR) yang diekspresikan oleh sel NK ibu. Hasil konsepsi yang
sudah berupa embrio akan mengekspresikan antigen paternal (HLA-
C), yang mana merupakan sesuatu yang asing bagi ibu (dikenali
oleh sel T dan sel NK). Oleh karenanya diperlukan regulasi sistem
imunitas yang baik agar kehamilan dapat tetap berlangsung. HLA-C
yang polimorfis memiliki 2 haplotipe, yaitu A dan B. Menurut
penelitian, ibu dengan KIR genotip AA memiliki risiko lebih besar
untuk terjadi preeklampsia. Sedangkan fetus dengan paternal HLA-
C2 juga berisiko untuk menyebabkan preeklampsia. Kombinasi dari
keduanya akan sangat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia
(Jebbink et al., 2012). Oleh karena hipotesis terkait HLA-C inilah
mulai muncul teori ‘dangerous father’, yang artinya bahwa seorang
pria yang pernah menjadi ayah dari sebuah kehamilan preeklampsia,
sangat mungkin untuk memicu preeklampsia lain walaupun pada
wanita yang berbeda (Dekker, 2014).
7. Faktor genetik lain (gen predisposing dan epigenetik/ environmental
genetic)
Setidaknya ada sekitar 178 gen yang dicurigai berkaitan dengan
kejadian preeklampsia melalui berbagai proses biologis yang
berbeda-beda, mulai dari proses apoptosis, siklus sel, pertumbuhan
sel, adhesi sel, dan lain-lain (Jebbink et al., 2012). Belum jelas gen
mana saja yang memiliki andil besar dalam patofisiologi
preeklampsia.
Klasifikasi dan Diagnosis
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat (PEB). Kriteria minimal preeklampsia:
1. Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau
90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
2. Protein urin :Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstik >positif 1
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu
dibawah ini: (jika salah satu di bawah ini terpenuhi, maka dikatakan sebagai
preeklampsia berat)
1. Trombositopeni: Trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal: Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi
dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya, atau oligouri (urine ≤400
mL/24jam).
3. Gangguan Liver: Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru atau sianosis
5. Gejala Neurologis: Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Dikatakan preeklampsia berat bila tekanan darah sistolik > 160 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan
berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama, atau proteinuria (> 5
g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif, atau disertai
dengan salah satu dari enam gejala sistem organ di atas.
Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai
dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.
Preeklampsia beratdi bagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending eklampsia
b. PEB dengan impending eklampsia dengan gejala-gejala impending di
antaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri
epigastrium, dan nyeri abdomen kuadran kanan atas
(POGI, 2016; ACOG, 2013)

Faktor Risiko
Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
Anamnesis:
 Umur > 40 tahun
 Nulipara
 Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
 Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
 Kehamilan multipel
 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
 Hipertensi kronik
 Penyakit Ginjal
 Sindrom antifosfolipid (APS)
 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
 Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
 Indeks masa tubuh > 35
 Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
 Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
(POGI, 2016)

Penatalaksanaan:
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi
dengan selamat.
Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah.
Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.
1. Perawatan aktif, yaitu mengakhiri kehamilan.
Indikasi: bila terdapat satu atau lebih kelainan berikut ini:
Ibu:
a. Usia kehamilan lebih dari 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
Janin:
a. Terdapat tanda-tanda gawat janin
b. Terdapat tanda-tanda IUGR
Laboratorium:
a. Adanya sindroma HELLP
Terapi medikamentosa untuk perawatan aktif dapat diberikan:
a. Infus Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4 4 gr selama 5-10 menit, maintenance 1-2gr/
jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir.
2. Perawatan ekspektatif/ konservatif, yang berarti mempertahankan
kehamilan.
Indikasi: Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-
tanda impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
Dilakukan dengan evaluasi ketat:
 Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
 Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
 Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
 Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu)
 Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan

Terapi medikamentosa untuk perawatan ekspektatif:


Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia berat diperlukan karena
dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia
serebri menjadi lebih kecil. OAH yang dapat digunakan adalah hydralazine,
labetolol, dan nifedipin. Terapi antihipertensi dimulai jika tekanan darah
sistolik >= 160 mmHg atau diastolik >=110 mmHg.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 %
secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Pemberian
kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat ini masih
kontroversi, namun tetap diberikan pada usia kehamilan <= 34 minggu
menurut guideline PNPK POGI, 2016. Untuk penderita preeklampsia
diperlukan anestesi dan sedativa lebih banyak dalam persalinan. Namun,
untuk saat ini teknik anestesi yang lebih sering digunakan adalah anestesi
epidural lumbal.
Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan
dalam otak lebih besar, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau
vakum. Pada gawat janin, dalam kala I, dilakukan segera sectio caesaria;
pada kala II dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.
(POGI, 2016; ACOG, 2013)

Pencegahan:
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan
untuk prevensi preeklampsia pada wanito dengan risiko tinggi.
Suplementasi kalsium minimal 1 gram/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah.
Pembatasan garam untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya
selama kehamilan tidak direkomendasikan. Pemberian vitamin C dan E
tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan preeklampsia.
(POGI, 2016)

Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung.
Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.

B. HELLP SYNDROME
Definisi Sindrom HELLP
Sindrom HELLP adalah kelainan multisistem yang merupakan
komplikasi kehamilan dengan pemeriksaan laboratorium menandakan
hemolisis, disfungsi hepatik, dan trombositopenia. Kelainan ini pertama kali
dijelaskan oleh Weinstein pada tahun 1982, dan kemudian disebut sindrom
HELLP yang merupakan akronim dari hemolysis (H), elevated liver enzyme
(EL), low platelets (LP).
Sindrom HELLP paling sering berhubungan dengan preeklampsia
berat atau eklampsia, namun juga bisa didiagnosis tanpa diawali kelainan-
kelainan tersebut. Kelainan ini dapat berupa murni komplikasi PEB atau
merupakan fenomena sekunder pada pasien dengan adult respiratory distress
syndrome (ARDS), gagal ginjal, dan kerusakan organ multipel dengan DIC.

Epidemiologi
Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua
kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus
sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada
usia kehamilan 27-37 minggu; 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27
minggu, dan 20% setelah 37 minggu.

Faktor Risiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsia. Pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-
rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit
puih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga.
Faktor Risiko

Sindrom HELLP Preeklampsia

Multipara Nullipara
Usia ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40
Ras kulit putih
tahun
Riwayat keluaran kehamilan
Riwayat keluarga eklampsia
yang jelek ANC yang buruk
Diabetes mellitus
Hipertensi kronis
Kehamilan multipel

Patogenesis
Sindrom Hellp seringkali terjadi mendadak pada usia kehamilan
antara 28-36 minggu. Etiologi dan pathogenesis dari penyakit ini masih
belum dipahami secara pasti. Secara umum, kelainan ini dihubungkan dengan
pendesakan plasenta (placenta-instigated), kondisi inflamasi akut pada hepar,
dengan kelainan proses imunologi. Seperti pada preeklampsia, sindroma ini
berasal dari kegagalan pembentukan dan fungsi, serta iskemia dari plasenta.
Iskemia ini kemudian memicu pelepasan faktor-faktor yang merusak endotel
melalui hilangnya relaksasi vascular, pelepasan vasokonstriktor, dan aktivasi
platelet. Hemolysis yang merupakan karakterisasi dari sindrom ini berasal
dari kelainan mikroangiopati. Sel darah merah menjadi terfragmentasi saat
mereka melewati pembuluh darah kecil yang mempunyai kelainan deposit
fibrin dan endothelium yang rusak. Obstruksi aliran darah hepar oleh deposit
fibrin pada sinusoid hepar berdampak pada naiknya enzim hepar (elevated
liver enzymes), dan nekrosis periportal. Pada kasus yang berat, dapat timbul
perdarahan intrahepatik, subkapsular hematoma, bahkan rupture hepar.
Trombositopenia, yang merupakan manifestasi ketiga dari trias Sindrom
HELLP berasal dari peningkatan konsumsi dan destruksi platelet (Hemant et
al., 2009).
Tanda dan Gejala
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan sindrom HELLP mempunyai gejala klinis yang
bervariasi. Gejalanya mirip dengan gejala pasien preeklampsia tanpa
sindrom HELLP. Pasien biasanya mengeluh nyeri perut di bagian
epigastrik atau di kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual
dan muntah (45 – 86%), pasien lain bisa mempunyai gejala klinis yang
menyerupai gejala infeksi virus yang tidak spesifik. Kebanyakan pasien
(90%) mempunyai riwayat badan lemah beberapa hari sebelum serangan.
gejala nyeri perut bagian epigastrik atau di kuadran kanan atas disebabkan
adanya obstruksi aliran darah di sinusoid hepar yang disebabkan deposit
fibrin intravaskuler.
Karena diagnosis awal sangat diperlukan untuk penatalaksanaan
pada Sindrom HELLP, wanita hamil yang memiliki gejala seperti malaise
pada separuh masa kehamilan mereka harus segera dievaluasi dengan cek
darah lengkap. Gejala umum lain yang perlu diperhatikan antara lain nyeri
epigastrium atau perut kanan atas, mual, muntah, sakit kepala dan
gangguan penglihatan. Pada beberapa kasus dapat terjadi nyeri alih dari
hepar yang terdapat pada leher dan bahu.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan,
karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
(Hemant et al., 2009).
1) Hemolisis
a) Kelainan apusan darah tepi, yaitu ditemukannya sel burr, sel helmet,
schistocyte dan atau fragmentosit.
b) Total bilirubin > 1,2 mg/dL
c) Penurunan level serum haptoglobin
d) Penurunan level hemoglobin
2) Peningkatan enzim hepar
a) Serum AST > 70 U/L
b) LDH > 600 U/L
3) Trombositopenia
Hitung trombosit < 100.000/mm3.
Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi
Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP adalah hemolisis,
peningkatan kadar enzim hepar, dan jumlah trombosit yang rendah. Dua
sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama
adalah klasifikasi menurut Tennessee yang membagi menjadi sindrom
HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP
total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko
menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan
sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang
parsial diterapi konservatif.
Klasifikasi kedua adalah menurut Mississippi, yang membagi sindrom
HELLP menjadi tiga kelas berdasarkan jumlah trombositnya. Sindrom
HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm 3. Jumlah trombosit
50.000-100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit
antara 100.000-150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam
memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran
maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan kelas II
dan kelas III.
Kriteria Diagnostik Sindrom HELLP
Klasifikasi Klasifikasi Tennessee Klasifikasi Mississippi

Kelas 1 Trombosit ≤ 100.109 /L Trombosit ≤ 50.109/L

AST ≥ 70 U/L AST atau ALT ≥ 70 U/L

LDH ≥ 600 U/L LDH ≥ 600 U/L

Kelas 2 Trombosit ≥ 50.109/L


sampai ≤ 100.109/L

AST atau ALT ≥ 70 U/L

LDH ≥ 600 U/L

Kelas 3 Trombosit ≥ 100.109/L


sampai ≤ 150.109/L

AST atau ALT ≥ 40 U/L

LDH ≥ 600 U/L

Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsia berat.
Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian
obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
a. Perlemakan hati akut dalam kehamilan
b. Apendisitis
c. Gastroenteritis
d. Kolesistitis
e. Batu ginjal
f. Pielonefritis
g. Ulkus peptikum
h. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
i. Trombositopeni purpura trombotik
j. Sindrom hemolitik uremia
k. Ensefalopati dengan berbagai etiologi

Tatalaksana
a. Tatalaksana Awal
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi
ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Pasien sindrom HELLP harus diterapi MgSO4, untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20%
sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 gram/jam. Pemberiannya harus
diawasi dengan memeriksa secara rutin produksi urin dan tanda serta
gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, segera berikan 10-20 ml
kalsium glukonat 10% IV.
Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk
sistolik, dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Obat anti hipertensi
yang bisa diberikan adalah hidralazin bolus 5 mg, bisa diulang 15-20 menit
hingga dosis maksimum 20 mg/jam. Obat lain yang bisa diberikan adalah
labetolol IV 20-40 mg setiap 10-15 menit hingga dosis maksimum 220 mg
dalam 1 jam, atau nifedipin oral 10-20 mg, dapat diulang dalam 30 menit
hingga dosis maksimum 40 mg dalam 1 jam. Selama periode observasi,
kondisi ibu dan janin diperiksa dan diawasi.
Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kesejahteraan janin
dengan NST, profil biofisik atau pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menentukan apakah perlu segara mengakhiri kehamilan
atau tidak.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34
minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau
janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah
mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru
janin belum matur, dapat diberikan kortikosteroid untuk akselerasi
pematangan paru janin. Regimen yang direkomendasikan adalah
betametason (12 mg IM per 24 jam, dua dosis) atau deksametason (6 mg
IM per 12 jam, 4 dosis). Regimen tersebut bermanfaat untuk mempercepat
pematangan baru, dan cepat melewati sawar plasenta dengan risiko
kompliksi mineralkortikoid terhadap janin yang minimal.

b. Tatalaksana Konservatif
Beberapa penelitian memberikan sugesti untuk melakukan
tatalaksana konservatif pada pasien sindrom HELLP dengan tujuan untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin yang masih immatur (<26
minggu masa kehamilan). Perpanjangan masa kehamilan dilakukan sampai
umur kehamilan minimal 34 minggu atau telah tercapainya kematangan
paru janin. Terapi yang diberikan adalah bed rest, kontrol tekanan darah,
kortikosteroid dosis tinggi, dan terapi dengan plasma volume expansion.

c. Persalinan
Jika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau
lebih, atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada
ibu maupun janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada
DIC dan paru janin belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk
mempercepat kematangan paru dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.
Sindrom HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk
dilakukannya terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam
menjadi pilihan utama bila tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks
sudah matang, maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin
per infus. Jika serviks belum matang dapat dilakukan pematangan serviks
dengan menggunakan regimen progtaglandin, atau dengan SC elektif.

d. Tatalaksana Postpartum
Sindrom HELLP dapat terjadi baik pada antepartum maupun
postpartum. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari
postpartum, dengan kejadian tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan.
Tatalaksana sindrom HELLP postpartum hampir mirip dengan sindrom
HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang dan obat
antihipertensi. Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak
ada risiko peredaran ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi
ketat selama 48 jam pertama postpartum di perawatan intensif.
Kebanyakan pasien akan memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika
terjadi perburukan, maka harus diterapi dan diperiksa ada tidaknya
komplikasi atau melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis
bandingnya.

Komplikasi
a. Komplikasi Maternal
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%.
Sedangkan morbiditas ibu disebabkan oleh edema pulmo (8%), gagal
ginjal akut (3%), DIC (15%), solusio plasenta (9%), kegagalan atau
perdarahan hepar (1%), ARDS, sepsis dan stroke (<1%). Kehamilan
dengan komplikasi sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan
risiko ruptur hepar dan kebutuhan transfusi darah maupun produk-produk
darah. Perkembangan sindrom HELLP pada periode postpartum
meningkatkan risiko gagal ginjal dan edema paru. Adanya solusio plasenta
meningkatkan risiko DIC, kebutuhan transfusi darah, edema paru, dan
gagal ginjal. Pasien dengan asites, berisiko tinggi mengalami komplikasi
kardiopulmonal.
b. Komplikasi perinatal
Kematian perinatal mencapai 7,4-20,4%. Kematian perinatal yang
tinggi terutama pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, dan
berhubungan dengan IUGR berat atau solusio plasenta. Angka persalinan
prematur mencapai 70%, dimana 15% terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 28 minggu. Akibatnya bayi-bayi dengan kelahiran prematur berisiko
tinggi terkena komplikasi akut neonatal seperti RDS, displasia
bronkopulmonal, perdarahan intraserebral dan nekrosis enterokolitis.

Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko
sampai 43% untuk mengalami preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

ACOG (2013). Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College


of Obstetricians and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy.
Washington.
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-
Gestosis). Surabaya: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK
UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.
Budiono W (2009). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Burton GJ, Jauniaux E (2004). Placental oxidative stress: Frommiscarriage to
preeclampsia. J Soc Gynecol Investig 11: 342–352.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark (2005).
William’s Obstetrics 20th. Prentice-Hall International, Inc.
Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, and Spong
CY (2010). Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics 23th
Edition. USA: The McGraw-Hil Companies.
Dai B, Liu T, Zhang B, Zhang X, Wang Z (2013). The polymorphism for
endothelial nitric oxide synthase gene, the level of nitric oxide and the
risk for pre-eclampsia: A meta-analysis. Gene 519: 187–193.
Dekker GA (2014). Pre-eclampsia – a disease of an individual couple. An
International Journal of Women’s Cardiovascular Health 4 (2014)
241–247.
English FA, Kenny LC, McCarthy FP (2015). Risk factors and effective
management of preeclampsia. Dovepress:Integrated Blood Pressure
Control. 2015:8.
Haddad B, and Sibai BM (2005). Expectant management of severe
preeclampsia: proper candidates and pregnancy outcomes. Clin Obstet
Gynecol, 48: 430-40.
Haram K, Svendsen E, and Abildgaard U (2009). The HELLP syndrome:
Cinical issues and management. A Review: BMC Pregnancy and
Childbirth, 9:8.
Hemant S, Chabi S, Frey D (2009). HELLP Syndrome. Journal of Obstetric
and Gynecologic India. 59:1.
Jameil et al (2014). A Brief overview of preeclampsia. J Clin Med Res.Vol 6
Issue 1. Page:1-7.
Jebbink J, Wolters A, Fernando F, Afink G, van der Post J, Ris-Stalpers C.
2012. Molecular genetics of preeclampsia and HELLP syndrome - a
review. Biochim Biophys Acta, 1822(12): 1960-9.
Jim B, Bramham K, Maynard SE, Hladunewich MA. 2016. Pregnancy and
kidney disease. Nephrol Self Assess Program15: XXX.
Mochtar R (2007). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGCRoesli M, Tampubolon
OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam:
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. CV
Infomedika. Jakarta: 9.
Myatt L, Cui X (2004). Oxidative stress in the placenta. HistochemCell Biol
122: 369–382.
POGI (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, Diagnosis dan
Tatalaksana Pre-eklamsia.
Quillon A, Fromy B, Debret R (2015) Endothelium microenvironment
sensing leading to nitric oxidemediated vasodilation: A reviewof
nervous and biomechanical signals.NitricOxide 45: 20–26.

Warrington JP, George EM, Palei AC, Spradley FT, Granger JP. 2013. Recent
advances in the understanding of the pathophysiology of
preeclampsia. Hypertension, 62(4): 666-73.
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam
Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.

Anda mungkin juga menyukai