Anda di halaman 1dari 30

TEKNIK AUTOPSI FORENSIK

I.

STANDAR KOMPETENSI
Sesuai Standar Kompetensi

Dokter

Indonesia

tahun

2012,

Keterampilan klinik melakukan teknik Autopsi merupakan tingkat


kemampuan 2 yaitu pernah melihat atau didemontrasikan artinya lulusan
dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan
penekanan pada clinical reasoning dan problem solving serta berkesempatan
untuk melihat dan mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk
demontrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat.
II.

KERANGKA PENULISAN
J
D
IT
P
K
a
n
e
f
rn
sk
m
k
n
sm
lsa
in
e
n
d
ib
a
n
rsie
m
a
n
ik
k
h
p
js
H
p
g
k
a
u
i
e
u
a
k
sA
lsA
k
n
u
a
i
u
tp
a
st
m
S
a
o
n
p
o
e
n
p
A
b
sL
D
P
s
A
iu
a
e
tin
u
la
rto
a
u
p
k
o
m
n
s
jp
i
a
sT
i
n
a
n
g
d
a
n
a
k
a
A
u
n
t
o
A
u
p
ts
i
o
p
s
i

III.

PENDAHULUAN

Pada zaman dahulu orang Mesir tidak menggunakan tubuh orang mati
untuk mempelajari perjalanan suatu penyakit, organ tubuh pada mayat
hanya dipakai untuk diawetkan. Orang Yunani dan Indian melakukan
kremasi tanpa dilakukan pemeriksaan; bangsa Romawi, Cina, dan Muslim
menganggap tabu untuk memotong tubuh manusia. Pada abad pertengahan,
pembedahan mayat tidak diijinkan.1
Pembedahan mayat untuk pembelajaran dilakukan pertama kali
pada tahun 300 SM oleh Herophilus dan Erasistratus, ilmuwan Alexandria.
Namun yang pertama kali menemukan adanya hubungan antara tanda dan
gejala pada pasien adalah ilmuwan Yunani, Galen dari Pergamum. Ini
merupakan perkembangan yang signifikan yang mengarah ke autopsi dan
mematahkan pandangan lama untuk pengembangan ilmu kedokteran.1
Kelahiran kembali anatomi terjadi selama Renaissance, dikerjakan
oleh Andreas Vesalius (De humani corporis fabrica, 1543) yang membuat
mungkin untuk menentukan penyakit berdasarkan anatomi normal.
Leonardo da Vinci membedah 30 mayat dan menulis kelainan anatomi.
Begitu juga Michaelangelo yang melakukan beberapa pembedahan. Pada
awal abad ke 13, Frederick II meminta dua tubuh korban eksekusi kriminal
setiap dua tahun untuk dikirim ke sekolah kedokteran. Antonio Benivieni,
pada abad ke 15 melakukan 15 autopsi untuk menentukan sebab kematian
dan secara signifikan memiliki hubungan antara gejala dan apa yang
ditemukan. 1
Autopsi berkembang oleh Giovanni Morgagni, bapak Patologi
modern, yang pada tahun 1761 mendeskripsikan apa yang bisa dilihat
dengan mata telanjang. Pada penelitiananya yang besar On the Seats and

Causes of Diseases as Investigated by Anatomy, ia membandigkan gejala


dan observasi pada 700 pasien dengan temuan anatomis pada pemeriksaan
tubuh. 1
Oleh Karl van Rokitansky dari Vienna (1804-1878), autopsi
dengan mata telanjang mencapai puncaknya. Rokitansky menggunakan
mikroskop dan terbatas oleh teori humoralnya. Seorang ahli patologi
Jerman, Rudolf Virchow (1821-1902), yang memperkenalkan doktrin
selular, perubahan-perubahan pada sel merupakan dasar untuk memahami
suatu penyakit pada patologi dan autopsi.
Autopsi modern sudah diperluas termasuk penerapan berbagai ilmu
dan semua instrument dari spesialisasi dasar ilmu modern. Pemeriksaan
diperluas bahwa struktur sel terlalu kecil untuk dilihat kecuali dengan
menggunakan mikroskop elektron.1

IV.

TINJAUAN PUSTAKA
IV.1 Pengertian Autopsi
Secara etimologis, autopsi berasal kata dari Auto yang artinya sendiri
dan Opsis yang artinya melihat.1-3 Yang dimaksudkan dengan autopsi adalah
pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang terdiri dari pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun bagian dalam dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan
penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian.3

IV.2 Jenis jenis Autopsi


Berdasarkan tujuannya autopsi digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu
autopsi klinik dan autopsi forensik atau autopsi medikolegal.3
IV.2.1 Autopsi klinik; dilakukan terhadap mayat seseorang yang menderita
penyakit, dirawat di Rumah Sakit tetapi kemudian meninggal. Jenis
autopsi ini mutlak diperlukan izin dari keluarga terdekat mayat yang
bersangkutan.
Adapun tujuan dilakukan autopsi klinik adalah 3,4 :
Menentukan sebab kematian yang pasti
Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan

sesuai dengan diagnosis post-mortem


Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan

diagnosis klinis dan gejala gejala klinik


Menentukan efektifitas pengobatan
Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter

IV.2.2 Autopsi Forensik atau Medikolegal; dilakukan terhadap mayat


seseorang berdasarkan peraturan perundang undangan. Untuk
melakukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan
pemeriksaan atau pembuatan Visum et Repertum (VeR) dari pihak
yang berwenang, dalam hal ini pihak penyidik. Izin keluarga tidak
diperlukan, bahkan apabila ada seseorang yang menghalang halangi
dilakukannya autopsi forensik, yang bersangkutan dapat dituntut
berdasarkan undang undang yang berlaku.2
Adapun tujuan dilakukannya autopsi forensik adalah :
Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan cara kematian
serta memperkirakan saat kematian

Mengumpulkan serta mengenali benda benda bukti untuk


penentuan identitas benda penyebab serta identitas pelaku

kejahatan
Membuat laporan tertulis yang obyektif dan berdasarkan fakta

dalam bentuk visum et repertum


Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu dalam
penentuan identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah

IV.3 Dasar Hukum Pelaksanaan Autopsi


Aspek hukum yang terkait dengan autopsi antara lain; pihak yang
berhak meminta VeR, dasar hukum autopsi forensik, barang bukti, dan
menentukan saat kematian.
Pihak yang berhak meminta VeR adalah; penyidik (KUHAP I butir 1,
6, 7, 120, 133, PP RI No 27 Th 1983) yakni pejabat polisi negara RI tertentu
sekurang-kurangnya berpangkat PELDA (AIPDA) serta berpangkat bintara
dibawah PELDA (AIPDA). Selanjutnya penyidik pembantu (KUHAP I
Butir 3,10, PP RI No 27 Th 1983) yaitu pejabat polisi Negara RI tertentu
yang sekurang-kurangnya berpangkat SERDA polisi (BRIPDA). Selain itu
Provos berdasarkan UU No I Darurat Th 1958, Keputusan Pangab No
Kep/04/P/II/1984. Terakhir adalah hakim pidana (KUHAP 180).5
Dasar hukum autopsi forensik adalah KUHAP 133, KUHAP 134,
KUHP 222, Reglemen pencatatan sipil Eropa 72, Reglemen pencatatan sipil
Tionghoa, STBL 1871/91, UU RI No 23 Th 1992 Pasal 70.5
Dasar hukum yang berkaitan dengan barang bukti berdasarkan
KUHAP 42, yakni barang bukti harus diperiksa oleh dokter untuk dicatat

kemudian dilaporkan dalam VeR; barang bukti setelah diperiksa diserahkan


kepada penyidik secepatnya dengan disertai surat tanda penerimaan yang
ditanda-tangani oleh penyidik.5
Untuk menentukan saat kematian berdasarkan PP No 18 th 1981,
yakni secara konvensional; seseorang telah meninggal dunia apabila
keadaan insane yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa
fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.
Khusus untuk transplantasi; saat kematian ditentukan oleh dua dokter yang
tidak ada hubungan dengan dokter yang melakukan transplantasi dan
penentuan kematian di RS modern menggunakan EEG, yaitu alat yang
mencatat aktivitas otak.6
IV.4 Persiapan Sebelum Tindakan Autopsi
Sebelum memulai autopsi, ada beberapa hal yang penting untuk
dipersiapkan yaitu sebagai berikut :
Pertama, kelengkapan surat-surat yang berkaitan dengan autopsi yang
akan dilakukan. Dalam hal autopsi forensik, perhatikan apakah surat
permintaan atau pembuatan Visum et Repertum telah ditandatangani oleh
pihak penyidik yang berwenang untuk autopsi forensik, mutlak dilakukan
pemeriksaan lengkap yang meliputi pembukaan seluruh organ tubuh dan
pemeriksaan seluruh organ.3
Kedua, pastikan mayat yang akan diautopsi benar-benar adalah
mayat yang dimaksudkan dalam surat yang bersangkutan dalam hal ini surat
permintaan VeR. Dalam hal autopsi forensik, perhatikan terhadap mayat
yang akan diperiksa telah dilakukan identifikasi oleh pihak yang berwenang
berupa penyegelan dengan label polisi yang diikatkan pada ibu jari kaki
6

mayat. Hal ini untuk memenuhi ketentuan mengenai penyegelan barang


bukti. Label dari polisi ini memuat antara lain nama, alamat, tanggal
kematian, dan sebagainya yang harus diteliti apakah sesuai dengan data
data yang tertera dalam Surat Permintaan Pemeriksaan.3
Ketiga, kumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya
kematian selengkap mungkin. Pada kasus autopsi forensik, informasi
mengenai kejadian yang mendahului kematian, keadaan pada TKP dapat
memberi petunjuk bagi pemeriksaan serta dapat membantu menentukan
jenis pemeriksaan khusus yang mungkin diperlukan. Kurang atau tidak
terdapatnya keterangan keterangan tersebut di atas dapat mengakibatkan
terlewat atau hilangnya bukti bukti yang penting, misalnya saja tidak
diambilnya cairan empedu, padahal korban kemudian ternyata adalah
seorang pecandu narkoba.3
Keempat, periksa kelengkapan alat - alat yang diperlukan sepanjang
pelaksanaan autopsi. Untuk melakukan autopsi yang baik, tidaklah
diperlukan alat alat yang mewah, namun tersedianya beberapa alat
tambahan kiranya perlu mendapat perhatian yang cukup.3
IV.5 Perlengkapan Untuk Autopsi
Untuk melakukan suatu autopsi yang baik, diperlukan alat alat
sebagai berikut3 :
Kamar autopsi
Meja autopsi
Peralatan autopsi
Peralatan untuk pemeriksaan tambahan
Peralatan tulis menulis dan fotografi
IV.6 Pemeriksaan Luar
Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan luar dimulai dari
pemeriksaan label pada jempol kaki mayat yang berasal dari pihak
7

kepolisian. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan.


Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label
rumah sakit, untuk identifikasi di kamar zenazah, harus tetap ada pada tubuh
mayat.3
Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat. Mencatat jenis/bahan, warna, corak,
serta kondisi (ada tidaknya bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat
tali pengikatnya bila ada. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari
yang dikenakan di atas sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam.
Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil,
bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial,
dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada
tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat
isinya.3
Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek,
bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. Mencatat
benda di samping mayat. Mencatat perubahan tanatologi : Lebam mayat;
letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.3
Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada

tidaknya spasme kadaverik.


Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu
ruangan pada saat tersebut.
Pembusukan.
Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras,

perkiraan umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan,
disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut. Mencatat segala
8

sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi


rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat pada
tubuh.3
Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari
rambut. Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan
cara memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6
lokasi kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam
kantungan yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.
Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup,
tanda kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola
mata, warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau
bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau
patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat
ukuran pupil, bandingkan kiri dan kanan.
Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan
hidung. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi
geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu,
kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya. Bagian leher diperiksa jika ada
memar, bekas pencekikan atau pelebaran pembuluh darah. Kelenjar tiroid
dan getah bening juga diperiksa secara menyeluruh.
Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat
kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada
wanita dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret
liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya
luka, benda asing, darah dan lain-lain. Perlu diperhatikan kemungkinan

terdapatnya

tanda

perbendungan,

ikterus,

sianosis,

edema,

bekas

pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.3


Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap.
Setiap luka pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan
penyebab luka, lokasi, ukuran, dan lain lain. Dalam luka diukur dan
panjang luka diukur setelah kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis
dengan mengambil beberapa patokan, antara lain : garis tengah melalui
tulang dada, garis tengah melalui tulang belakang, garis mendatar melalui
kedua puting susu, dan garis mendatar melalui pusat. Pemeriksaan ada
tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.3
IV.7 Teknik Autopsi
Terdapat empat teknik autopsi dasar yang dikenal dalam pembedahan
mayat namun pada umumnya setiap teknik autopsi hanya memiliki sedikit
perbedaan atau merupakan modifikasi dari empat teknik autopsi dasar
tersebut. Perbedaan terutama dalam hal pengangkatan keluar organ, baik
dalam hal urutan pengangkatan maupun jumlah atau kelompok organ yang
dikeluarkan pada satu waktu, serta bidang pengirisan pada organ yang
diperiksa.
Adapun keempat teknik autopsi dasar tersebut adalah sebagai berikut 39

:
IV.7.1 Teknik Virchow
Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah
dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ organ dikeluarkan satu persatu
dan langsung diperiksa. Dengan demikian kelainan kelainan yang terdapat
pada masing masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan
anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistim menjadi

10

hilang. Dengan demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada
autopsi forensik, terutama pada kasus penembakan dengan senjata api dan
penusukan dengan senjata tajam, yang perlu dilakukan penentuan saluran
luka, arah serta dalamnya penetrasi yang terjadi.
IV.7.2 Teknik Rokitansky
Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan
melakukan beberapa irisan in situ, baru kemudian seluruh organ organ
tersebut dikeluarkan dalam kumpulan kumpulan organ (en bloc). Teknik
ini jarang dipakai karena tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas
teknik lainnya. Teknik ini pun tidak baik digunakan untuk autopsi forensik.
IV.7.3 Teknik Letulle
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher, dada, diafragma dan perut
dikeluarkan sekaligus (en masse). Kepala diletakkan di atas meja dengan
permukaan posterior menghadap ke atas. Plexus coeliacus dan kelenjar para
aorta diperiksa, aorta dibuka sampai arcus aortae dan Aa. Renales kanan dan
kiridibuka serta diperiksa.
Aorta diputus di atas muara arteri renalis. Rectum dipisahkan dari
sigmoid. Organ urogenital dipisahkan dari organ lain. Bagian proksimal
jejunum diikat pada dua tempat dan kemudian diputus antara dua ikatan
tersebut dan usus dapat dilepaskan. Esofagus dilepaskan dari trakea, tetapi
hubungannya dengan lambung dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta
diputus di atas diafragma dan dengan demikian organ leher dan dada dapat
dilepas dari organ perut.
Dengan pengangkatan organ organ tubuh secara en masse ini,
hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan
dari tubuh. Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu,

11

serta agak sukar dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ


organ yang dikeluarkan sekaligus.
IV.7.4 Teknik Ghon
Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan
bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga
kumpulan organ (bloc).
Saat ini berkembang teknik autopsi yang merupakan modifikasi dari
teknik Letulle. Organ tidak dikeluarkan secara en masse, tetapi dalam 2
kumpulan. Organ leher dan dada sebagai satu kumpulan, organ perut serta
urogenital sebagai kumpulan yang lain, setelah terlebih dahulu

usus

diangkat mulai dari perbatasan duodenojejunal sampai perbatasan


rectosigmoid.

Gambar 1. Skema Perbedaan Teknik Autopsi


(Diambil dari kepustakaan no.3)

IV.8 Pemeriksaan Dalam3-10


Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan
hati-hati dan dicatat:
1.

Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan


pita pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada

12

batas inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan


2.
3.

adanya pembesaran.
Bentuk. Ada deformitas yang terjadi atau tidak.
Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang
lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika

terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.


4.
Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh
5.

tersebut.
Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang anatar jaringan pada organ
itu. Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh
pada saat ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan
kohesi yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi

6.

yang kuat.
Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur
permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna
organ tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh
jumlah darah yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan,
infiltrasi lemak, lipofisi, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah
warna organ. Warna yang pucat merupakan tanda anemia.
Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit.

Pemeriksaan khusus juga bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu,


tergantung dari dugaan penyebab kematian.
Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu :
1. Dada :
a)
Seksi Jantung :
Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena
kava inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong.

13

Ujung pisau dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi


bilik kanan dan bagian ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan
arteri pulmonalis dan otot jantung mulai dari apeks dipotong sejajar
dengan septum interventrikulorum.
Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena
pulmonalis kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan
melalui katup mitral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong.
Ujung pisau kemudian dimasukkan melalui katup aorta dan otot
jantung dari apeks dipotong sejajar dengan septum inetrventrikulorum.
Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot kapiler, chorda
tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum.
Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5
mm mulai dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di
pertengahan sejajar dengan epikardium dan endokardium, demikian
pula dengan septum interventrikulorum.
b)
Paru-paru :
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi
dan pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena
pulmonalis dibuka dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir
arteri pulmonalis. Paru-paru diiris longitudinal dari apeks ke basis.
Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm
dari sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan
dengan bagian tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan
dengan tangan yang lain menekan pada punggung pisau. Pemotongan
dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan
dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian dilepaskan

14

mediastinum

anterior.

Rongga

paru-paru

diperiksa

adanya

perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur.


Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam
rongga paru-paru, bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan
no.1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke lateral, kemudian bagian
tajam pisau diarahkan ke sendi sternoklavikularis dengan menggerakgerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi
yang lainnya.
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens.
Perikardium dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan perikardium,
normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning.
Apeks jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan
diperiksa adanya embolus yang menutup arteri pulmonalis. Kemudian
dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan
memotong pembuluh besar dekat perikardium.
2. Perut
a)
Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit.
Esofagus diikat ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati
dan esofagus dan unit tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak
ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati dilepaskan terlebih
dahulu.
Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum.
Perhatikan isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian.
Kandung empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian
dibuka dengan gunting ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah

15

hati, lalu kandung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya


batu.
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke
pankreas. Pankreas dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong
transversal. Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan,
kemudian dipotong longitudinal. Usus halus dan usus besar dibuka
b)

dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa dan isinya, cacing.


Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urine:
Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal
dengan suatu insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan
memotong pembuluh darah di hilus, kemudian ureter dilepaskan
sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum dilepaskan dengan
cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan dengan
cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian
dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat bertemunya kedua
jari telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu,
kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas dengan demikian rektum
lepas dari sakrum. Rektum dan kandung urine dipotong sejauh dekat
diafragma pelvis.
Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan
longitudinal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai
kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya.
Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urine melalui
uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan

16

demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong transversal,


perhatikan besarnya penampang.
Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris
longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli
c)

semineferi dapat ditarik seperti benang.


Urogenital Perempuan :
Kandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan
uterus dibuka dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus
insisi ke kanan dan ke kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris
tegak lurus pada jarak 1 - 1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal.
Pada abortus provokatus kriminalis yang dilakukan dengan
menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung urine, uterus dan
vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari, setelah itu
dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm,
kemudian semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran
tusuk akan terlihat sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah
ini dibuat sediaan histopatologi.
Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan,
duodenum dan rektum diikat ganda kemudian dipotong. Limpa :
dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan

septa.
3. Leher
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil
dikeluarkan sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas,
kelenjar gondok dan tonsil. Pada kasus pencekikan tulang lidah harus
dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.
4. Kepala

17

Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri
dengan mata pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut
terlalu banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke
belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan menggergajinya.
Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa
ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Durameter diinsisi
paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting dibagian muka.
Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke
belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di
belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal
otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal,
terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikiaan
pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya
edema, kontusio, laserasi serebri.
5. Tengkorak Neonatus :
Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan
menggunting sutura yang masih terbuka dan tulang ditekan ke luar,
sehingga otak dengan mudah dapat diangkat.

IV.9 Insisi
Insisi dilakukan hingga mencapai kedalamaan setebal kulit saja. Insisi
berbentuk huruf I merupakan insisi yang paling ideal. Insisi I dimulai di
bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus
kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusat sampai simfisis, dengan
demikian tidak perlu melingkari pusat. Atas indikasi kosmetik insisi Y

18

tidak dianjurkan. Insisi melalui lekukan suprastenal menuju simfisis pubis,


lalu dari lekukan suprasternal ini dibuat sayatan melingkari bagian leher.3,4

Gambar 2. Skin Insisi (diambil dari kepustakaan no.5)

Gambar 3. Skin Insisi (diambil dari kepustakaan no.9)


Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus
dalam tindakan otopsi, antara lain : insisi Y, insisi pada kasus dengan
kelainan leher, tes emboli udara, tes apung paru, tes pada

pneumothorax,

dan tes alphanaphthylamine.4


1. Insisi Y
Insisi Y, tidak dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik,
sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan

19

adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat. Ada dua macam insisi
Y, yaitu :
a)

Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan


pada tubuh pria.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka


dan sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga

bertemu pada bagian tengah (incisura jugularis).


Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah
bawah tepat di garis pertengahan sampai ke sympisis os pubis

menghindari daerah umbilikus.


Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke
rahang bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat

pertama kali.
Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh,

alat-alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan.


Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah
mayat yang biasa.
Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk

b)

kaum wanita.

Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada,


dimulai dari bagian lateral menuju bagaian medial (proc.
Xiphoideus); bagian lateral disini dapat dimulai dari ketiak, ke arah
bawah sesuai dengan arah garis ketiak depan (linea axillaris
anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain (kiri

dan kanan).
Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai
simphisis os pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan

20

alat-alat yang berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada
lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal.
2. Insisi pada Kasus dengan Kelainan di Daerah Leher

Buat insisi I, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah

seperti biasa, sampai ke simpisis os pubis.


Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-

iga.
Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava inferior,

v.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.


Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah
leher akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas
ke arah tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan
demikian pemeriksaan dapat dimulai.
Insisi ini dimaksudkan agar daerah leher dapat bersih dari darah,

sehingga kelainan yang minimalpun dapat terlihat; misalnya pada kasus


pencekikan, penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari teknik ini
adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir.
3. Tes emboli udara

Buat sayatan I, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah

sampai ke symphisis pubis,


Potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan
iga dan tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan

iga ke-3,
Potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke3,
21

Setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan


kandung jantung dengan insisi I, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter;
kedua ujung sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset

(untuk mencegah air yang keluar)


Masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah
dibuat tadi, sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap
terapung, maka hal ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik

jantung,
Tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung
kanan, yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian
putar pisau itu 90 derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar

menandakan tes emboli hasilnya positif,


Bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a.
Pulmonalis, ke arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung

udara,
Bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan
dengan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir

pada jantung,
Semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli
pulmoner, untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak
perbedaannya adalah

pada tes emboli sistemik tidak dilakukan

penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria


sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan
pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang
keluar,

22

Dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan


untuk emboli sistemik hanya beberapa ml.
Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner,

tidak jarang terjadi.Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh


vena yang ada di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma
daerah mediastinum yang merobek paru-paru dan merobek pembuluh
venanya.
Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk
melalui pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada
daerah leher bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang
sedang hamil); dapat pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena
pergelangan tangan sewaktu diinfus, dan udara masuk melalui jarum
infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil
dari tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan pada vena, vena
tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi dengan pergerakan
pernapasan, yang menyedot.
4. Tes Apung Paru-paru

Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada

dalam satu kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang

kanan.
Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan
pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri
dua lobus.

23

Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan

mana yang terapung.


Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong

dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.


Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan
potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan
menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam

air.
Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung

udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.


Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan
partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.
Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang

diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya


sama dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara
melakukan tes apung paru-paru:
Tes Pada Pneumothoraks

Buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu

sekitar iga ke 4 dan 5 (udara akan berada pada tempat yang tertinggi),
Buat kantung dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya

dari daerah iga 4 dan 5 (sekitar 10 x 5 cm)


Pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk
dengan pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada
pneumothorax; dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut

tampak kollaps,
Cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit
besar dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit
24

tersebut; bila ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara


pada spuit tadi.
Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,
sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ventil di mana udara yang
masuk ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak
dapat keluar kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat
paru-paru akan kolaps dan korban akan mati. Diagnosa pneumothorax
yang fatal semata-mata atas dasar test ini, bila test ini tidak dilakukan,
diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara melakukan test ini adalah sebagai
berikut:
5. Tes Alpha Naphthylamine

Kertas saring Whatman

direndam

dalam

larutan

alpha-

naphthylamine, dan keringkan dalamoven, hindari jangan sampai

terkena sinar matahari,


Pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butirbutir mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang

telah diberi alpha-naphthylamine,


Di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi

ditaruh lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,


Keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain
yang akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine

dan kertas saring yang basah,


Test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour),
pada kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintikbintik merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu

25

pada pakaian. Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir


mesiu khususnya pada pakaian korban penembakan.
Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke
dalam rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan
jaringan otak dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali
tulang dada dan iga yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada.
Jahitkan kulit dengan rapi menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu
sampai ke daerah simfisis. Atap tengkorak diletakkan kembali pada
tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot temporalis, baru kemudian
kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum
mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.

IV.10 Pemeriksaan Penunjang3,12


Pada otopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu :
1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.
Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x1 cm kubik dan
difiksasi dalam formalin 10%.Organ yang diambil adalah: paru-paru,
hati, limpa, pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok,
ginjal, prostat, uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain
yang menunjukkan adanya kelainan.
2. Pemeriksaan toksikologi

Lambung dan isinya.

Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatanikatan pada pada usus setiap jarak sekitar 60 cm.

26

Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari
perifer (v. jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50
ml dan dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain

tidak diberi bahan pengawet.


Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat

khususnya atau bila urine tidak tersedia.


Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan
sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang
mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah

mengalami pembususkan.
Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan
diekskresikan melalui urine, khususnya pada test penyaring untuk

keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.


Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan
otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan
otak.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil

sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk


pemeriksaan histopatologik. Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan
alkohol dan larutan garam jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1%
dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel cair.
Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk
pengawet urine.
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan
sediaan limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar
27

dengan menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan


darah jantung diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah
dalam tabung reagen yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara
tersebut di atas dan dengan pinset dan gunting yang steril diambil
sepotong limpa dan dimasukkan dalam tabung reagen yang steril dan
kedua tabung dikirim ke laboratorium bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati.
Mungkin perlu dilakukan untuk melihat parasit malaria. Sediaan
hapus lainnya adalah dari tukak sifilis atau cairan mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa
biokimia.
6. Pemeriksaan urine dan feces.
7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.
8. Cairan uretra.

V.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
Autopsi merupakan

suatu pemeriksaan terhadap tubuh mayat yang

terdiri dari pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam.


Tujuan autopsi : menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,
melakukan interpretasi atas penemuan penemuan tersebut serta mencari
sebab akibat antara kelainan kelainan yang ditemukan dengan

penyebab kematian
Ada dua jenis autopsi yaitu autopsi klinik dan autopsi forensik.
Autopsi forensik atau medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik
yang tertuang dalam Surat Permintaan Visum et Repertum.

28

Ada empat teknik dasar autopsi / pengeluaran organ yaitu teknik


Virchow, teknik Rokitansky, teknik Letulle dan teknik Ghon. Teknik

yang sekarang paling sering digunakan adalah teknik modifikasi Letulle.


Cara insisi yang dikenal dalam autopsi adalah insisi Y dan insisi I.
Selain pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam, pemeriksaan
laboratorium juga dibutuhkan jika ada indikasi khusus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. The Autopsy Past And Present dalam
Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2 nd Edition. Philadelphia : Saunders;
2009. Hal.1-11
2. Adelman HC. The Autopsy dalam Kobilinsky L: editor : Forensic Medicine.
New York : Chelsea House Publisher; 2007. Hal. 28-34
3. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2010. Hal.1-45
4. Shepherd R. The Autopsy dalam Simpsons Forensic Medicine 12th Edition.
London : Arnold Hodder Headline Group; 2003. Hal.34-5
5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis sert Transplantasi dan atau jaringan Tubuh Manusia
7. Sheaff MT, Hopster DJ. General Inspection and Initial Stages of Evisceration
dalam Post Mortem Technique Handbook 2nd Edition. London : Springer;
2005. Hal.56-81
8. Sheaff MT, Hopster DJ. Evisceration Technique dalam Post Mortem
Technique Handbook 2nd Edition. London : Springer; 2005. Hal 82-110

29

9. Ludwig J. Principles of Autopsy Techniques. Immediate, and Restricted


Autopsies, and Other Special Procedures dalam Handbook of Autopsy
Practice 3rd Edition. New Jersey : Human Press; 2002. Hal.3
10. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. Basic Postmortem Examination dalam
Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2 nd Edition. Philadelphia : Saunders;
2009. Hal.34-55
11. Collins KA, Hutchins GM. An Introduction To Autopsy Technique : Step-byStep Diagram. College of American Pathologists : Advancing Excellence;
2005. Hal.1-22
12. Mozayani A. Toxicology in The Crime Laboratory. In: Mozayani A, Noziglia

C, editors. The Forensic Laboratory Handbook Procedures and Practice. New


Jersey: Humana Press; 2006. Hal.249-264

30

Anda mungkin juga menyukai