TRAUMA KEPALA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di
unit gawat darurat suatu rumah sakit No head injury is so serious that is should be
despaired of nor so trivial as to be lightly ignored , menurut Hippocrates bahwa tidak
ada cedera kepala yang perluh dikhwatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan
tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat
mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya di
rawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua
jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara
semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala
dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi,
Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa
trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006).
Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia
65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8
juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005).
Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga
dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma
kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan
terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami
tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien
anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi,
Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang
menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg,
Fenley, 1991).
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998
terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak
60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma
kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala
mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 .Bila dilihat prevalensi penderita trauma
kepala cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun, hal ini menjadi perhatian
khusus bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat . Supaya lebih meningkatkan
pengetahuan tentang trauma kepala , sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih
baik dan maksimal dibidangnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian dari trauma kepala?
Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
Apa saja etiologi dari trauma kepala?
Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?
Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala?
Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
Penatalaksanaan apa yang dilakuka n pada pasien trauma kepala?
C. TUJUAN
1. Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami
asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan
2. Tujuan Instruksional Khusus
Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran
penderita yang mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut:
a. Anatomi dan fisiologi kepala
b. Pengertian trauma kepala
c. Etiologi trauma kepala
d. Klasifikasi trauma kepala
e. Patofisiologi trauma kepala
f. Manifestasi klinik trauma kepala
g. Penatalaksanaan trauma kepala
h. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawatan trauma kepala
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi Kepala
1. Kulit Kepala
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub
-
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum .
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses
penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan .
5. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Tentorium
Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat
Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
D. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium
dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang
mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre
coup dapat terjadi pada keadaan .;
1. Rear end Impact
Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama kali
akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya
bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.
2. Backward/forward motion of head
Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak
terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang
tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak
terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang
tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak
bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi
tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan
kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah
otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah
dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi
pergerakan kepala ke depan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2 :
a. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal
b. Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan/keluaran penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain;
penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan
infeksi)
Perdarahan intrakranial
Kompensasi
Perdarahan ekstrakranial
Terganggunya
kelistrikan otak
TIK
PK.
Kejang
Koordinasi motorik
terganggu
Dekompensasi
Hipoksemia
Menekan reflek
muntah di
medula
Kesadaran
Iskemia
serebral
Penurunan
reflek batuk
Muntah proyektil
Nyeri kepala
Intake
PK. Koma
Resti cedera
Kelemahan otot yang
diperlukan untuk
mengunyah dan
menenelan
Peningkatan
mukus
Nyeri
akut
Output
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Bersihan
jalan nafas
tidak efektif
Ggn. autoregulasi
Ggn. Perfusi
jaringan cereberal
E. MEKANISME KLINIS
Gejala :
1. Jika klien sadar ---- Sakit kepala hebat
2. Muntah proyektil
3. Papil edema
4. Kesadaran makin menurun
5. Perubahan tipe kesadaran
6. Tekanan darah menurun, bra dikardia
7. An isokor
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan
Tipe / macam trauma kepala antara lain :
1. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak
dan melukai :
-
Saraf otak
Jaringan otak
Battle sign
Hemotympanum
Periorbital echymosis
Rhinorrhoe
Orthorrhoe
Brill hematom
gejala nyeri kepala, pusing, muntah. Disorientasi sementara, tidak ada gejala
sisa, MRS kurang 48 jam kontrol 24 jam, observasi tanda-tanda vital, tidak
ada terapi khusus, istirahat mutlak setelah keluhan hilang coba mobilisasi
bertahap, duduk-berdiri-pulang. Setelah pulang-kontrol aktivitas sesuai,
istirahat cukup, diet cukup
b) Kontosio
-
Gejala :
-
c) Hematom epidural
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering temporal
dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang). Penurunan kesadaran
ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit - beberapa jam) ---penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor,
nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.
d) Hematom subdural
- Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
- Akut :
Gejala 24 - 48 jam. Sering berhubungan dengan cidera otak & medulla
oblongata. PTIK meningkat. Sakit kepala, kantuk, reflek melambat,
-
Sistem Pernapasan
Sistem Kardiovaskuler
Sistem metabolisme
F. KOMPLIKASI
Koma : Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh .
Seizure : Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurangkurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
Infeksi : Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain .
Kerusakan saraf : Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .
1. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah,
proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita
dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran .
2. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko
perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson.
Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera
G. PEMERIKSAAN KLINIS
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan
darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu badan Pengukuran tingkat keparahan
pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang
digunakan sebagai standar internasional.
Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan
wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan.
Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika
terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal terjadinya herniasi.
Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar
untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis. Respon sensorik dapat
dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada
kulit penderita CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita
cedera kepala CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan
kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT scan dapat
memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan
darah (hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan
otak .Selain itu juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken
tomografik terkomputerisasi. Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi
penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi
yang cepat sangat penting.
H. PENATALAKSANAAN
Tindakan dan Terapi
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit . Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat .
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
: A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis
otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan.Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar
dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak
sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah,
atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
melindungi vertebra servikalis (cervicalspinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat
melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang
memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan
memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat
dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur,
penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan
di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi
dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut
arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut
arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik
hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan
penekanan pada luka. Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu
resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan duajalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena
cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan
keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik
adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher)
karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intracranial. Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan
penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll's eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea. Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di
rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada,
hasil CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan,
kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini
dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid,
furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Indikasi pembedahan pada penderita cedera
kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak
terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati
adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat Kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak
karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII,
IX, XII.
4. Penatalaksanaan medis pada trauma kepala
Obat-obatan :
- Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
-
makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure
nitrogennya.
- Pembedahan
5. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif :
Bedrest total
Pemberian obat-obatan
Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul adalah :
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4. Keterbatasan aktivitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos-koma)
5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien
6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer
C. INTERVENSI
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
Tujuan :
resiko infeksi.
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
tekanan intrakranial.
Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan
ruangan.
Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
yang menonjol.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam
Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1) Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk
membatasitrauma kepala bila terbentur benda tumpul
2) Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian trauma kepala.
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera
kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh
mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau
hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan
berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan
terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak
menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah hemoragi, infeksi, odema dan herniasi.
Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24
jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi
untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
Pencernaan : defekasi klien tidak ada gangguan, tidak ada kesulitan saat BAB,
frekuensi 1x sehari, dengan konsistensi lembek.
: Mandiri
: dibantu sebagian
: tidak mampu
Skala tingkat ketergantungan klien terhadap perawat yaitu 3 dengan scoring 21.
Tonus otot klien 4. HR: 80x/menit, RR: 20x/menit
e. Pola Kognitif Perceptual
Klien mengatakan saat kejadian setelah tersadar merasa cemas dan takut.
Kesadaran : Compos mentis, merespon terhadap rangsangan nyeri, pendengaran
baik, penglihatan adekuat, pembicaraan terarah dan dapat berinteraksi dengan
orang lain. Nyeri dairasakan klien seperti ditusuk-tusuk dengan skala 5.
f. Pola Istirahat Tidur
Tidak terjadi gangguan dalam pola ini, karena sering merasakan nyeri. Klien tidak
pernah menggunakan obat tidur. Jumlah tidur klien siang 45-90 menit dan jumlah
tidur malam klien 7-9 jam.
g. Pola Persepsi Konsep Diri
Klien berjenis kelamin perempuan dan merupakan seorang anak yang keehariang
belajar.
Saat
dilakukan
pengkajian
klien
tidak
dapat
menjalankan
aktivitas/tugasnya sebagai seorang siswa karena sakit yang dialami. Untuk itu
klien berharap kesembuhan yang secepatnya.
Kepala
Inspeksi
: terdapat nyeri
Mata
Inspeksi
Palpai
Hidung
Inspeksi
Palpasi
Mulut
Inspeksi
Palpasi
Leher
Inspeksi
Palpasi
Trorax/ dada
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: tidak kembung
Auskultasi
Ekstremitas
Atas
ada udema
Bawah
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi pada tanggal 6 November 2015
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematrokit
Trombosit
MCH
MCHC
MCV
Nilai Rujukan
4000-10000 /uL
4,70-6,10 10^6/uL
11,5-16,5 g/dL
37,0-47,0 %
150-450 10^3/uL
27-35 pg
30-40 fL
80-100 fL
Hasil
13100 /uL *
4,62 10^6/uL
13,1 g/dL
37,5 %
293 10^3/uL
27 pg
32 g/dL
81,2 fL
4. Terapi
Nama Obat
Rute
Dosis
Waktu
Indikasi
IV
1000cc
IV
IV
50 ml
1gr
24 jam
12:00, 18:00
06:00, 18:00
Ranitidine
IV
25 ml
06:00, 18:00
pencegahan
infeksi
Menetralkan
asam
lambung
Neuroline
06:00, 18:00
5. Analisa Data
No
1
Data
DS :
Pathway
Gangguan oksigenasi
Masalah
Nyeri
Kekurangan suplay
oksigen
DS :
Gangguan nyeri
Gangguan oksigenasi
Kekurangan suplay
oksigen
Intoleransi aktivitas
Gangguan aktivitas
Trauma jaringan lunak
DS :
Klien
mengatakan
nyeri
Resiko infeksi
pada
kepala
Ketidakadekuatan
DO :
pertahan primer
-
Cedera
pada
bagian
kepala
4
DS :
Klien
Perubahan status
mengatakan
kurang
Kurang pengetahuan
kesehatan
Kurang terpajan
sering
bertanya
tentang
informasi
penyakitnya
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b/d peningkatan trauma kepala
2. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan intra kranial
3. Resiko infeksi b/d laserasi kulit kepala
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d kurang paparan
terhadap informasi
1. Mon
dipe
2. Obse
jika
3. Buat
4. Kaji
kual
hubu
5. Ajar
relak
klien
nyer
6. Beri
(pen
dan
7. Kola
indik
Intoleransi aktivitas b/d peningkatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
intra kranial
Kelemahan berkurang
Berpartisipasi dalam perawatan diri
Mempertahankan
kemampuan
3
aktivitas
seoptimal mungkin
Resiko infeksi b/d laserasi kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
kepala
18:0
1
2
yang dijelaskan
Klien kooperatif saat dilakukan tindakan
1. Kaji
2. Jelas
tand
mun
3. Beri
perk
4. Beri
kelu
dilak
5. Disk