Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH PERILAKU CARING PERAWAT TERHADAP

TINGKAT KECEMASAN PASIEN DENGAN PENYAKIT DIABETES


MELLITUS
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah salah satu penyakit yang berbahaya yang kerap
disebut sebagai silent killer selain penyakit jantung, yang merupakan salah satu masalah
kesehatan yang besar. Diabetes Mellitus dari bahasa Yunani: , diabanein,
tembus atau pancuran air dan bahasa Latin: Mellitus, (rasa manis) yang juga dikenal di
Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula atau kencing manis yaitu kelainan
metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia
kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Komplikasi jangka
lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab
utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan
saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi (Supriadi
S, 2013).
Data dari Studi Global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus
pada tahun 2011 telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukam,
jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030. Diabetes
Mellitus telah menjadi penyebab dari 4,6 juta kematian.
Lembaga kesehatan dunia, atau World Health Organisation

(WHO)

mengingatkan prevalensi penderita diabetes di Indonesia berpotensi mengalami kenaikan


drastis dari 8,4 juta orang pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta penderita di 2030 nanti.
Lonjakan penderita itu bisa terjadi jika negara kita tidak serius dalam upaya pencegahan,
penaganan dan kepatuhan dalam pengobatan penyakit. Pada tahun 2006, terdapat lebih
dari 50 juta orang yang menderita DM di Asia Tenggara (Trisnawati, 2013).
Diabetes kini menjelma menjadi penyebab kematian keenam pada semua
kelompok umur di Indonesia. Ada kecenderungan penyakit tidak menular seperti

Diabetes Mellitus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perilaku hidup tidak
sehat yang terus berkembang di masyarakat. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007
menunjukan pada saat ini prevalensi diabetes di wilayah perkotaan mencapai 5,7 persen.
Yang memprihatinkan, 73,7 persen pasien diabetes tersebut tidak terdiagnosa dan tidak
mengonsumsi obat (Trisnawati, 2013).
Departemen Kesehatan RI (2008), menyebutkan bahwa jumlah pasien diabetes
Mellitus rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari
seluruh penyakit endokrin dan 4% wanita hamil menderita diabetes. Data Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dari berbagai penelitian epidemiologi sebagaimana
diungkapkan Ketua Pengurus Besar Perkeni dr Sidartawan Soegondo, SpPD,
menunjukkan sekitar tahun 2006 prevalensi diabetes pada penduduk di atas usia 15 tahun
adalah 1,5-2,3%. Dan hasil penelitian tahun 2008 di kota Surabaya mendapatkan
prevalensi 1,43% pada penduduk di atas 20 tahun. Di pedesaan Jawa Timur tahun 2008,
prevalensinya 1,47%. Sedangkan hasil penelitian di Jakarta menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi diabetes dari 1,7% (2007) menjadi 5,7% (2008). Sementara di
Depok dan Jakarta, tahun 2008 angkanya 12,8%. Prevalensi diabetes di Makassar
meningkat dari 1,5% (2007) menjadi 2,9% pada tahun 2008 (Hidayat, 2009).
Semua jenis DM memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada tingkat lanjut.
Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka
lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab
utama dialysis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan
saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangrene dengan risiko amputasi.
Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila dikontrol kadar gula darah buruk.
(Hermawan, 2009).
DM ada dua jenis, yakni DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada DM tipe 1 pankreas
menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin, sedangkan DM
tipe 2, pancreas tetap menghasilkan insulin, namun kadarnya lebih tinggi dan tubuh
kebal/menolak (resistant) terhadap hormone insulin yang dihasilkan pancreas. DM tipe 2
ini dapat menyerang anak-anak remaja, tetapi lebih banyak menyerang orang di atas usia
30 tahun. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia)
2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa > 126
mg/dL dan tes sewaktu >200 mg/dL. (Hermawan,2009).

Saat seseorang didiagnosis menderita DM maka respon emosional yang biasanya


muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit
kronis lain (Taylor, 1995).
Penderita DM mengalami banyak perubahan dalam hidupnya, mulai dari
pengaturan pola makan, olah raga, kontrol gula darah, dan lain-lain yang harus dilakukan
sepanjang hidupnya. Perubahan dalam hidup yang mendadak membuat penderita DM
menunjukan beberapa reaksi psikologis yang negatif diantaranya adalah marah, merasa
tidak berguna, kecemasan yang meningkat dan depresi. Selain perubahan tersebut jika
penderita DM telah mengalami komplikasi maka akan menambah kecemasan pada
penderita karena dengan adanya komplikasi akan membuat penderita mengeluarkan lebih
banyak biaya, pandangan negatif tentang masa depan,dan lain-lain. (Shahab, 2006)
Reaksi-reaksi psikis yang mungkin muncul merupakan masalah lain bagi dokter
disamping masalah DM itu sendiri, yang selanjutnya akan mempengaruhi penanganan
penderita. Dari sudut pandang psikiatri hal ini berarti menambah prevalensi gangguan
jiwa ringan dan merupakan resiko terjadinya gangguan jiwa berat. Munculnya problema
psikiatri tersebut berarti bahwa ilmu kedokteran jiwa dapat memainkan peranannya
dalam penanganan penderita, terutama mereka yang mengalami problema psikiatri seperti
di atas. Hal ini harus disadari oleh para perawat agar dapat mengambil sikap yang bijak
dalam menghadapi penderita DM, terlebih bila dihubungkan dengan kencederungan
meningkatnya prevalensi DM di Indonesia (Novarina, 1994).
Pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang strategis dan merupakan faktor
yang paling menentukan untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal dengan
asuhan keperawatan yang bermutu. Untuk mewujudkan asuhan keperawatan yang
bermutu diperlukan beberapa komponen yang harus dilaksanakan oleh perawat,
diantaranya adalah dengan memperhatikan sikap caring ketika memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien.
Konsep caring dalam keperawatan adalah fundamental. Perawat dikatakan
bermoral, jika mereka bertindak menurut aturan yang benar. Caring adalah ide moral
keperawatan yang menghasilkan perlindungan, peningkatan, dan pemeliharaan martabat
manusia (Reilly&Behrens-Hanna, 1991).
Dalam penelitian Watson, penyakit mungkin saja teratasi dengan upaya
pengobatan. Akan tetapi, tanpa perawatan, penyakit itu akan tetap ada dan kondisi sehat
tidak akan tercapai. Caring merupakan intisari keperawatan dan mengandung arti respon

antara perawat dan klien. Caring dapat membantu seseorang lebih terkontrol, lebih
berpengetahuan, dan dapat meningkatkan kesehata (Asmadi, 2005).
Lydia E. Hall dalam model keperawatannya mengungkapkan 3 aspek penting
dalam keperawatan, yaitu care, core dan cure. Salah satu aspek pentingnya yaitu care,
menunjukan bahwa keperawatan dan care atau caring adalah sesuatu yang tidak bisa
terpisahkan dan pada saat yang sama mengindikasikan bahwa beberapa aktivitas praktik
dilakukan dalam proses caring di lingkungan keperawatan (Burnard & Morrison, 2002).
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa caring seorang perawat sangat
dibutuhkan dalam menurunkan tingkat kecemasan pada pasien dengan diabetes mellitus,
hal ini menggugah peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pernyataan
tersebut. Dalam penelitian ini peneliti memilih RS. Prof Kandou Malalayang sebagai
tempat penelitian, pemilihan rumah sakit ini karena di rumah sakit tersebut banyak
ditemukan kasus diabetes mellitus. Peneliti berfokus pada prilaku caring perawat yang
dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien dengan diabetes mellitus.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
Apakah caring seorang perawat mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien dengan
penyakit diabetes mellitus?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh caring perawat terhadap tingkat kecemasan pada pasien
dengan penyakit diabetes mellitus.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui caring perawat dalam asuhan keperawatan pasien diabetes mellitus.
b. Mengetahui tingkat kecemasan pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus.
c. Mengetahui keterkaitan antara caring perawat dan tingkat kecemasan pada pasien
dengan penyakit diabetes mellitus.
D. Manfaat Penelitian
1. Pendidikan
Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi mahasiswa khususnya
mahasiswa keperawatan Poltekkes Manado untuk melakukan penelitian selanjutnya dan

meningkatkan pengetahuan tentang pengaruh caring perawat dengan tingkat kecemasan


pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
2. Pemerintah (Rumah Sakit)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi pemerintah
dalam hal ini rumah sakit selaku perpanjangan tangan dari pemerintah untuk selalu
meningkatkan pelayanan kesehatan dan caring perawat guna mengurangi, atau mencegah
dan merawat masyarakat yang mengalami Diabetes Mellitus.
3. Bagi Ilmu Pengetahuan (Dunia Keperawatan)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya ilmu
keperawatan dalam upaya meningkatkan pelayanan keperawatan kepada masyarakat
khususnya masyarakat yang mengalami Diabetes Mellitus.
4. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara umum
dan kepada penderita dan keluarga secara khusus tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian Diabetes Mellitus.
5. Bagi peneliti berikutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya untuk
melakukan penelitian tentang caring perawat pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
6. Bagi Peneliti
a. Merupakan proses belajar memecahkan masalah secara sistimatis dan logis yang
menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang riset keperawatan.
b. Mendapatkan gambaran nyata tentang hubungan caring perawat dengan tingkat
kecemasan pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
c. Merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan.

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Konsep Perilaku Caring
1. Pengertian
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang mempunyai
suatu paradigma atau model keperawatan yang meliputi empat komponen yaitu :
manusia, kesehatan, lingkungan dan perawat itu sendiri. Perawat adalah suatu profesi
yang mulia, karena memerlukan kesabaran dan ketenangan dalam melayani pasien
yang sedang menderita sakit. Seorang perawat harus dapat melayani pasien dengan
sepenuh hati. Sebagai seorang perawat harus dapat memahami masalah yang dihadapi
oleh klien, selain itu seorang perawat dapat berpenampilan menarik. Untuk itu
seorang perawat memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain,
ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku
caring atau kasih sayang (Dwidiyanti, 2007).
Caring sangatlah penting untuk keperawatan. Caring adalah fokus pemersatu
untuk praktek keperawatan. Perilaku caring juga sangat penting untuk tumbuh
kembang, memperbaiki dan meningkatkan kondisi atau cara hidup manusia (Blais,
2007).
Caring juga merupakan sikap peduli, menghormati dan menghargai orang lain,
artinya memberi perhatian dan mempelajari kesukaan kesukaan seseorang dan
bagaimana seseorang berfikir dan bertindak. Memberikan asuhan (Caring) secara
sederhana tidak hanya sebuah perasaan emosional atau tingkah laku sederhana,
karena caring merupakan kepedulian untuk mencapai perawatan yang lebih baik,
perilaku caring bertujuan dan berfungsi membangun struktur sosial, pandangan hidup
dan nilai kultur setiap orang yg berbeda pada satu tempat ( Dwidiyanti, 2007 ).
Maka kinerja perawat khususnya pada perilaku caring menjadi sangat penting
dalam mempengaruhi kualitas pelayanan dan kepuasan pasien terutama di rumah

sakit, dimana kualitas pelayanan menjadi penentu citra institusi pelayanan yang
nantinya akan dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mutu pelayanan ( Potter &
Perry, 2005 ).
Perilaku caring dalam keperawatan adalah hal yang sangat mendasar. Caring
adalah kegiatan langsung untuk memberikan bantuan, dukungan, atau membolehkan
individu (kelompok) melalui antisipasi bantuan untuk meningkatkan kondisi individu
atau kehidupan George (2002) dikutip dalam Leininger (1979).
Leininger dalam Farland, (2002) mengemukakan juga bahwa caring adalah
kebutuhan dasar manusia yang esensial, caring adalah keperawatan, caring adalah
penyembuhan, caring adalah jantung dan jiwa keperawatan, caring adalah kekuatan,
caring adalah ciri-ciri istimewa dari keperawatan sebagai suatu profesi atau disiplin.
Meskipun perkataan caring telah digunakan secara umum, tetapi tidak terdapat
definisi dan konseptualisasi yang universal mengenai caring itu sendiri Leddy (1998)
dikutip dalam Swanson (1991). Caring sulit untuk didefinisikan karena memiliki
makna yang banyak, sebagai kata benda atau kata kerja, sebagai sesuatu yang dapat
dirasakan, sebagai sikap ataupun perilaku (Berger & William, 1992).
2. Peran Perawat Caring
Peran perawat menurut CHS Community Health Service (1989) dikutip
dalam Zaidin (2002) terdiri dari :
a. Sebagai pemberi asuhan keperawatan. Peran ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosa keperawatan agar bisa
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat
kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.

Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan
kompleks.
b. Sebagai advokat. Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan
keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan
atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan
dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya,
hak atas informasi tentang penyakitnya, hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan hak untuk ganti rugi akibat kelalaian.
c. Sebagai edukator. Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit dan tindakan yang
diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan.
d.
Sebagai koordinator. Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan,
merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan
sehingga pemberi pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan pasien.
e. Sebagai kolaborator. Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja
melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan
termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan
selanjutnya.
f. Sebagai konsultan. Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap
masalah atau tindakan keperawatan yang diberikan tepat tujuan. Peran ini
dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan.

g.

Sebagai pembaharu. Peran disini dapat dilakukan dengan mengadakan

perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan.
Menurut Leininger (1981), dikutip dalam Kozier dkk (2004) menjelaskan
bahwa perawatan dan caring adalah :
a. Caring meliputi tindakan-tindakan membantu, mendukung dan menfasilitasi
orang lain atau kelompok yang mempunyai kebutuhan yang nyata atau yang
dipikirkan sebelumnya.
b. Caring berfungsi untuk meningkatkan kondisi manusia. Hal ini menekankan
aktivitas yang membantu dari seseorang dan kelompok yang didasarkan kepada
model yang membantu mendefinisikan secara budaya.
c.
Caring sangat penting bagi perkembangan manusia, pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya.
d. Perilaku-perilaku caring meliputi rasa nyaman, perhatian, kasih, empati,
minat, keterlibatan, kegiatan konsultasi kesehatan, perilaku membantu, cinta,
pengasuhan, keberadaan, perilaku melindungi, perilaku memberikan stimulasi,
penghilangan stress, dukungan, kelembutan, sentuhan dan kepercayaan.
3. Asumsi-Asumsi Caring Perawat
Caring merupakan kekuatan yang sangat penting dalam hubungan antara
pasien dengan perawat, dan suatu kekuatan untuk melindungi dan meningkatkan
martabat pasien. Sebagai contoh, dibimbing oleh kerangka kerja ini para perawat
menggunakan sentuhan dan ucapan yang jujur untuk menegaskan kepada pasien
sebagai manusia, bukan objek-objek, dan membantu mereka membuat pilihanpilihan dan menemukan arti dalam pengalaman sakit mereka (Kozier, 2004).
Watson mengemukakan 11 asumsi yang berhubungan dengan caring,
yaitu:
a. Perhatian dan kasih sayang merupakan kekuatan batin yang utama dan
universal.

b.

Kasih sayang yang bermutu dan caring adalah penting bagi kemanusiaan,

tetapi sering diabaikan dalam hubungan antar sesama.


c. Kemampuan untuk menyokong ideologi dan ideal caring di dalam praktek
keperawatan akan mempengaruhi perkembangan dari peradaban dan menentukan
kontribusi keperawatan kepada masyarakat.
d. Caring terhadap diri sendiri adalah prasyarat bagi caring terhadap orang lain.
e. Keperawatan selalu memegang konsep caring di dalam berhubungan dengan
orang lain dalam rentang sehat-sakit.
f. Caring adalah esensi dari keperawatan dan merupakan fokus utama dalam
praktek keperawatan.
g. Pelayanan kesehatan secara signifikan telah menekankan pada human care.
h. Pondasi caring keperawatan dipengaruhi oleh tekhnologi medis dan birokrasi
institusi.
i. Penyediaan dan perkembangan dari human care menjadi isu yang hangat bagi
keperawatan untuk saat ini maupun masa yang akan datang.
j.
Human care hanya dapat diterapkan secara efektif melalui hubungan
interpersonal.
k. Kontribusi keperawatan kepada masyarakat terletak pada komitmen pada
humancare (Nurachmah, 2001).
Tahap perkembangan hubungan caring :
a. Attachment (pertalian), empat tugas yang menandai pertalian yaitu recognisi
(menyadari kehadiran orang lain dan menerima orang ini dapat mempunyai arti),
membuka diri (membagi informasi yang beresiko rendah atau tidak mengancam),
validasi (memberikan persetujuan pada informasi yang dibagikan atau perilaku
yang diperlihatkan) dan potensi (kehendak dan kekuatan untuk memajukan
hubungan).
b. Assiduity (perilaku selalu penuh perhatian), selama tahap ini perhatian yang
diteliti diberikan pada kerja menjalin hubungan kepedulian. Respek adalah
perilaku atau tugas pertama dari assiduity, respek melibatkan mengakui dan

menerima keinginan, kebutuhan, kesukaan, perbedaan dan permintaan orang lain.


Selanjutnya potentiality, dimana recognisi diberikan pada kemungkinan saling
meningkatkan hubungan, yang tidak akan terjadi dengan mengorbankan
individualitas orang lain. Memperhatikan, melibatkan, mendengar dan menerima
orang lain. Menurut Murray dan Bevis ini merupakan salah satu aspek hubungan
memperhatikan yang paling penting. Kejujuran diperlukan agar hubungan
menjadi terbuka, kejujuran dapat berupa mengatakan kebenaran atau keinginan
untuk tidak membahas sesuatu. Membuka diri terjadi dalam dua tahap yaitu rasa
tanggung jawab dan keberanian untuk maju.
c. Intimasi (melibatkan berbagi diri), tahap ditandai dengan hubungan fisik dan
mental yang tepat. Tugas dalam tahap ini memerlukan ketulusan (integritas,
kepercayaan), membuka diri (yang mempunyai arti menempatkan seseorang
dalam posisi yang terbuka), wawasan (memiliki pandangan yang cepat terhadap
orang lain) dan perlibatan (orang lain dapat dilibatkan dalam hubungan tanpa
terancam).
d. Konfirmasi, validasi personal menghasilkan perasaan positif tentang kesadaran
dan pertumbuhan. Argumentasi memungkinkan untuk memperbesar, memperkuat
dan lebih mempermudah hubungan memperhatikan, karena kemampuan untuk
peduli dengan dasar yang luas (Rothrock, 2000).
4. Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Caring
Struktur ilmu caring dibangun dari sepuluh faktor carative, yaitu:
a. Membentuk sistem nilai humanistik-altruistik.
Watson mengemukakan bahwa asuhan keperawatan didasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan (humanistik) dan perilaku mementingkan kepentingan orang lain
diatas kepentingan pribadi (altruistik). Hal ini dapat dikembangkan melalui
pemahaman nilai yang ada pada diri seseorang, keyakinan, interaksi, dan kultur

serta pengalaman pribadi. Semua ini dirasa perlu untuk mematangkan pribadi
perawat agar dapat bersikap altruistik terhadap orang lain.
b. Menanamkan keyakinan dan harapan ( faith-hope).
Pemahaman ini diperlukan untuk proses carative. Selain menekankan pentingnya
obat-obatan untuk curative, perawat juga perlu memberi tahu individu alternatif
pengobatan lain yang tersedia (mis., meditasi, relaksasi, atau kekuatan
penyembuhan oleh diri sendiri atau secara spritual). Dengan mengembangkan
hubungan perawat-klien yang efektif, perawat memfasilitasi perasaan optimis,
harapan, dan rasa percaya.
c. Mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain.
Seorang perawat dituntut untuk mampu meningkatkan sensitivitas terhadap diri
pribadi dan orang lain serta bersikap lebih otentik. Perawat juga perlu memahami
bahwa pikiran dan emosi seseorang merupakan jendela jiwanya.
d. Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust).
Ciri hubungan helping-trust adalah harmonis, empati, dan hangat. Hubungan yang
harmonis haruslah hubungan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, tidak
dibuat-buat.
e. Meningkatkan dan menerima ungkapan perasaan positif dan negatif.
Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan
perasaan pasien.
f. Menggunakan proses pemecahan masalah kreatif
Penggunaan sistematis metoda penyalesaian masalah untuk pengambilan
keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir
dan pendekatan asuhan kepada pasien.
g. Meningkatkan belajar mengajar transpersonal.
Memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan
kesempatan untuk pertumbuhan personal pasien.
h. Menyediakan lingkungan yang suportif, protektif, atau memperbaiki mental,
fisik, sosiokultural, dan spiritual.

Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal pasien


terhadap kesehatan kondisi penyakit pasien.
i. Membantu memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Perawat perlu mengenali kebutuhan komperhensif diri dan pasien. Pemenuhan
kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
j. Memberikan keleluasaan untuk kekuatan ekstensial-fenomenologis-spiritual.
Ketiga faktor ini membantu seseorang mengerti kehidupan dan kematian. Selain
itu, ketiganya dapat membantu seseorang untuk menemukan kekuatan dan
keberanian untuk menghadapi kehidupan dan kematian.
B. Konsep Dasar Kecemasan
Pengertian
Kecemasan (ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan
dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh
(tidak mengalami keretakan kepribadian/Splitting of Personality), perilaku dapat terganggu tetapi
masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006). Menurut Nevid (2006), ansietas/kecemasan
adalah suatu keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Banyak hal yang harus dicemaskan misalnya, kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi
internasional, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang dapat menjadi sumber
kekhawatiran. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan
pemeriksaan medis secara regular atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian.
Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal
bila datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap lingkungan.
Dalam bentuk yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari.
Mark & Barlow (2006) mengatakan bahwa keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan
gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya
bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir. Kecemasan mungkin
melibatkan perasaan, perilaku, dan respon fisiologis. Kecemasan pada jumlah yang sedang
diperlukan dalam kehidupan tetapi dapat merugikan dalam jumlah yang banyak. Menurut Widodo
(2003) ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian intelektual terhadap sesuatu yang
berbahaya. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat
ansietas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan.

Menurut Bloom Harold (2007) ansietas adalah perasaan yang sangat tidak menyenangkan, agak
tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu
atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu.

Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat
berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan ini disertai dengan
rasa ingin bergerak dan gelisah.

Berdasarkan beberapa teori yang menjelaskan tentang kecemasan di atas dapat disimpulkan
bahwa kecemasan dapat didefinisikan sebagai perasaan, sikap dan perilaku kekhawatiran atau
kegelisahan sesorang yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Kaplan dan Sadock (1997), faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain:
1) Usia
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih
sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar kecemasan terjadi pada
umur 21-45 tahun.
2) Pengalaman menjalani pengobatan
Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan pengalaman awal dalam pengobatan merupakan
pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masamasa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat
menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila pengalaman individu
tentang kemoterapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan kecemasan saat
menghadapi tindakan kemoterapi.
3) Konsep diri dan peran
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain. Menurut Stuart &
Sundeen (1991) peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan
perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti
terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga keselarasan
budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang
akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa
peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Seseorang yang mempunyai peran
ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat memiliki kecenderungan mengalami kecemasan
yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.

b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain:


1) Kondisi medis (diagnosis penyakit)
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan
walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada
pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan
mempengaruhi tingkat kecemasan klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik
tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan Kaplan dan Sadock (1997).
2) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada umumnya berguna
dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan (Notoatmodjo,
2000). Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stresor dalam
diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan
pemahaman terhadap stimulus (Jatman, 2000).
3) Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu
yang diketahuinya. Informasi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum
pelaksanaan tindakan kemoterapi terdiri dari tujuan kemoterapi, proses kemoterapi, resiko dan
komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi (Smeltzer & Bare,
2001).
4) Proses adaptasi
Kozier and Oliveri (1991) mengatakan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh
stimulus internal dan eksternal yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang
terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari
sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber daya yang tersedia
di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu
pasien mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam menghadapi lingkungan yang
baru.
5) Tingkat sosial ekonomi
Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil
penelitian Durham (2000) diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi
psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak memadai dapat
mempengaruhi peningkatan kecemasan pada klien menghadapi tindakan kemoterapi.
6) Jenis tindakan kemoterapi

Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat mendatangkan kecemasan karena
terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui
tentang tindakan kemoterapi, akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi.
7) Komunikasi terapeutik
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan
menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani kemoterapi
mengalami kecemasan. Pasien sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat.
Komunikasi yang baik diantara mereka akan menentukan tahap kemoterapi selanjutnya. Pasien
yang cemas saat akan menjalani kemoterapi kemungkinan mengalami efek yang tidak
menyenangkan bahkan akan membahayakan Kaplan dan Sadock (1997).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi


kecemasan adalah faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Gejala dan Tanda Kecemasan
Menurut Baihaqi, dkk (2007), kecemasan (ansietas) yaitu jawaban emosi yang sifatnya
antisipatif, merupakan jawaban awal sebelum ada pertanyaan. Gejala-gejala psikis antara lain:
perasaan gundah, khawatir, gugup tegang, cemas, tak aman, lekas berlanjut, emosi labil
(perubahan rasa hati berganti-ganti), mudah tersinggung, apatis, perasaan salah tidak pada
tempatnya. Sementara itu, gejala somatic antara lain: keluar keringat dingin, sulit bernafas,
gangguan lambung, berdebar-debar, tekanan darah meninggi, dan sebagainya.
Kumar dan Clark (2002) disebutkan ansietas dan gangguannya dapat menampilkan diri dalam
berbagai tanda dan gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan, rasa goyah, nyeri
punggung dan kepala, ketegangan otot, nafas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas
autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat, tangan rasa dingin,
diare, mulut kering, sering kencing, rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia, libido turun, rasa
mengganjal di tenggorok, rasa mual di perut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ansietas dan gangguannya dapat
menampilkan diri dalam berbagai tanda dan gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan,
rasa goyah, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, nafas pendek, mudah lelah, sering
kaget, hiperaktivitas autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat,
tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing, rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia,
libido turun, rasa mengganjal di tenggorok, rasa mual di perut.
Dampak dari Kecemasan

Dampak kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi
kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh,
pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun
ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas
psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan
yang aneh-aneh; c) gejala gangguan mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncatloncat, kehilangan kemampuan persepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi
(Hawari, 2001).

Konsep Dasar Diabetes Mellitus


Pengertian
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Gustaviani, 2006). Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah (Gustaviani, 2006).
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa
dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi
perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologik diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas,
distribusi lemak tubuh Kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini
berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2
(Gustaviani, 2006).
Berdasarkan uaraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Diabetes Melitus (DM)
adalah sebagai penyakit metabolik tidak menular yang kebanyakan herediter, dengan tanda-tanda
hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun
kronik, disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi insulin efektif di dalam tubuh, gangguan
primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme
lemak dan protein.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Diabetes Mellitus
Pola dan gaya hidup seseorang akan mempengaruhi pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan
untuk mengetahui perubahan tersebut. Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit Diabetes
Melitus dapat disebabkan oleh beberapa hal:

a. Pola makan dan tata laksana hidup sehat.


b. Faktor obesitas
c. Pola genetis
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan.
e. Penyakit dan infeksi pada pancreas
f. Pola tidur dan istirahat
g. Faktor usia
Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Menentukan diagnosis DM
harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program
pemantauan kendali mutu secara teratur).
Walaupun demikian sesuai kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood),
vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbedasesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah
kapiler (Gustaviani, 2006).
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti
melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002). Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Ada pengaruh positif antara kecemasan terhadap kadar glukosa darah pada penderita diabetes
melitus di wilayah RS Prof Kandou Malalayang.

BAB III
KERANGKA KONSEP

Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai