Anda di halaman 1dari 37

MEMBERANTAS KORUPSI DAN PROSES HUKUM YANG BERKEADILAN1

Oleh: Maqdir Ismail2


Pengantar
Adalah

suatu

keniscayaan,

jika

kita

ingin

melakukan

pemberantasan korupsi dengan baik, berhasil dan berkeadilan, yang harus


segera

dilakukan

pemberantasan

adalah

korupsi,

melakukan
dan

perubahan

meningkatkan

legislasi

peran

dalam

pengawasan

kelembagaan sebagai salah satu pilar penting dalam perang melawan


korupsi. Sebab penegakan hukum tidak akan mengubah masyarakat, jika
hukum tidak menjadi bagian dari budaya suatu masyarakat. Dalam pada
itu

penegakkan hukum khususnya pemberantasan korupsi itu tidak

memiliki efek pada kehidupan sehari-hari masyarakat karena korupsi


bukan masalah hukum saja. Korupsi juga merupakan masalah masyarakat,
budaya, sehingga dalam rangka memerangi korupsi, perubahan

budaya

yang memungkinkan korupsi terjadi karena budaya tidak melarang secara


tegas yang harus segera dilakukan.
Praktik korupsi sering tertanam dalam praktek kelembagaan dan
kehidupan sehari-hari, dianggap sebagai kebiasaan yang tidak dapat
diganggu

gugat.

Hal

ini

terjadi

karena

masyarakat

tidak

mampu

membedakan antara sikap korup dan bukan sikap korup. Masyarakat tidak
mampu membedakan secara sruktural antara korupsi dan perilaku tidak
etis dari tindakan pejabat. Masyarakat kadang-kadang terjebak pada
kegiatan masyarakat kecil sehari-hari sebagai penyimpangan dan korupsi
kecil terhadap aturan, namun penyimpangan itu mendatangkan manfaat
bagi seorang individu atau sekelompok kecil orang-atau hasilnya menjadi
efisien karena ada penyelesaian secara sederhana. Tanpa disadari praktik
semacam ini berakibat mengakarnya

budaya dengan praktek korupsi,

sehingga dianggap sebagai kebiasaan dan sangat sedikit orang berani

Paper disampaikan pada Diskusi Panel Peserta PPRA XLIX Tahun 2013 Lemhannas RI dengan topik
Peningkatan Budaya Hukum Dalam Rangka Pencegahan Korupsi, tanggal 2 Juli 2013, di Gd.
Pancagatra Lt.III Barat Lemhannas, Jakarta
2 Advokat dan Staf Pengajar pada FH Universitas Al Azhar Indonesia

melakukan

perlawanan.

Hal

ini

terutama

terjadi,

karena

banyak

masyarakat tidak menyadari bahwa hak-hak mereka telah dilanggar.


Kalaupun timbul

sikap sinis masyarakat terhadap pemegang kekuasaan

atau pemerintah yang mempunyai kecenderungan untuk menyalahgunakan


kekuasaan, sikap ini tidak berdampak.
Dalam paper ini ada beberapa masalah yang hendak dibicarakan,
berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Pada bagian awal, akan
didiskusikan sejarah pemberantasan korupsi, lalu disikusikan budaya
hadiah dan korupsi, kemudian bagian berikutnya akan didiskusikan
peranan media dalam ikut serta memberantas korupsi. Hal yang tidak
kalah penting untuk didiskusikan adalah mengenai timbulnya fakta dalam
tiga tahun terakhir begitu banyaknya anak muda cerdas yang terkena
perkara korupsi dan gratifikasi sex yang menjadi bahan pembicaraan.
Setelah itu akan dibicarakan juga penegakan hukum yang berkeadilan
dalam memberantas korupsi, terutama akan didiskusikan secar sekilas
praktik pemberantasan korupsi yang terjadi sangat tidak berkeadilan.
Malah tidak jarang proses peradilan adalah proses penghukuman yang
tidak

melahirkan

penegakan

hukum

keadilan,
dalam

tetapi

melahirkan

pemberantasan

kebencian

korupsi.

Terakhir

terhadap
adalah

penutup.
Korupsi dan upaya pemberantasan korupsi
Korupsi secara nyata tidak lagi menjadi masalah nasional satu
bangsa, tetapi sudah menjadi urusan manusia diseluruh dunia. Korupsi
sudah menjadi masalah internasional, karena korupsi dianggap dapat
mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi serta aspek kehidupan
lainnya.3 Bahkan karena korupsi dianggap sebagai masalah yang besar
pengaruhnya terhadap kehidupan dan ekonomi manuisa di dunia, maka
setelah dilakukan the 8th International Anti-Corruption Conference Lima,
Peru in 1997. Kita saksikan ada deklarasi Internasional untuk melawan
Korupsi di dunia yaitu

United Nations Convention against Corruption,

3 Dr. Artidjo Alkostar, S.H, LLM: 2008, Kerugian Keuangan Negara Dalam Persfektif Tindak Pidana
Korupsi, Varia Peradilan No.275 Oktober 2008, hal. 33;

berdasarkan General Assembly resolution 58/4 of 31 October 2003. Suatu


kegiatan yang lama dan negosiasi yang tidak mudah sebagaimana
dikatakan oleh Kofi Anan,4
The Convention is also the result of long and difficult
negotiations. Many complex issues and many concerns from
different quarters had to be addressed. It was a formidable
challenge to produce, in less than two years, an instrument that
reflects all those concerns. All countries had to show flexibility and
make concessions. But we can be proud of the result.
Korupsi selalu dihubungkan dengan pengelolaan negara, karena
korupsi dianggap bukan hanya dapat merusak perkembangan demokrasi,
tetapi dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat pembangunan
ekonomi satu negara. Dengan alasan seperti inilah, maka bukan menjadi
mustahil dan menjadi keniscayaan kalau pemerintah yang berkuasa dan
terlalu lama memegang kekuasaan yang besar cenderung dianggap sebagai
perwujudan dari sikap korup. Bahkan ungkapan Lord Acton, hampir selalu
dikutip oleh banyak orang kalau membicarakan korupsi. Kita beruntung,
karena bisa membaca Korespondensi antara

Lord Acton dan Mendell

Creighton, yang dicatat oleh Lousie Creighton,5 isteri dari MANDELL


CREIGHTON
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Great men are almost always bad men, even when they exercise
influence and not authority : still more when you superadd the
tendency or the certainty of corruption by authority. . .
Ada anggapan bahwa

penumpukan kekuasaan dan lamanya

berkuasa itu berbanding lurus dengan jumlah korupsi. Apalagi kalau yang
dianggap

melakukan

kepentingan

korupsi

pemerintah.

itu

adalah

Pemerintahan

yang

pemerintah

atau

untuk

demikian

tidak

jarang

dijatuhkan dengan tuduhan korupsi, atau anggota parleman tidak terpilih


karena adanya tuduhan korupsi.6 Meskipun tentu saja dalam kepustakaan,
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, UNITEDNATIONS, New York, 2004,
hal.iv;
5 Lousie Creighton: 1905, LIFE AND LETTERS OF MANDELL CREIGHTON, D.D. VOL. I. LONGMANS,
GREEN, AND CO.hal.372;
6 Vito Tanzi : 1998, Corruption Around the World, Causes, Consequences, Scope, and Care, IMF Staff
Papers, Vol. 45, No.4,December, h. 559;
4

masalah korupsi ini bukan hal yang baru. Masih ada penulis lain, dalam
skala yang berbeda seperti dikatakan oleh seorang penulis India, Kautilya,
dalam buku yang terkenal Arthasastra,7 menulis,
Just as it is impossible not to taste the honey or the poison that
finds itself on the tip of the tongue, so it is impossible for a
government servant not to eat up, at least, a bit of the kings
revenue. Just as fish moving under water cannot possibly be
found out either as drinking or not drinking water, so government
servants employed in government work cannot be found out
(while) taking money (for themselves).
Dari kutipan ini ingin dimukakan bahwa korupsi itu sudah terjadi
sejak zaman kuno, yang terjadi mulai dari penyalahgunaan jabatan publik
untuk keuntungan pribadi. Namun juga menggambarkan korupsi berjalan
beriringan dengan perkembangan negara dan bahwa langkah-langkah
tertentu karena itu diperlukan sebagai respon terhadap keadaan tertentu.
Faktanya difahami pula

bahwa korupsi mencakup jauh lebih banyak

daripada suap, meskipun biasa dikatakan sebagai pencurian hak-hak


publik. Bahkan dari kutipan diatas, Kautilya mengatakan hampir tidak
mungkin pejabat pemerintah tidak mau mencoba mencicipi madu atau
racun milik raja, karena seperti ikan yang yang berenang tidak mungkin
tidak meminum air tempatnya berenang. Inilah anggapan umum tentang
korupsi. Tetapi anggapan umum ini tidak selamanya benar, banyak kasus
membuktikan bahwa pejabat publik itu tidak mencoba untuk mencicipi
madu atau racun milik negara, tetapi dihukum sebagai koruptor.
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Pada masa sesudah reformasi keinginan masyarakat untuk
menegakkan hukum dan menghukum para pelanggar hukum atau orangorang yang diduga melakukan kejahatan sungguh luar biasa besarnya.
Keinginan ini ternyata bukan hanya keianginan masyarakat saja, tetapi
juga menjadi program dari pemerintah. Hal ini dapat kita ikuti mulai dari

Shamasastry, R:1929 Translator. Kautilyas Arthasastra, MYSORE, PRINTED AT THE WESLEYAN MISSION

PRESS, hal.70;

kampanye pemilihan anggota legislatif sampai pada kampanye pemilihan


Presiden dan Wakil Presiden ditahun 2004 atau tahun 2009. Bahkan setiap
penggantian pemerintah pemberantasan korupsi selalu menjadi program
utama dari pemerintah.
Masalah penegakan hukum di Negara Republik Indonesia ini
memang bisa menjadi komoditi yang laris manis untuk dijual oleh siapa
saja, karena faktanya masalah penegakan hukum ini masih banyak
mengalami kendala. Kalau
hukum

terutama

kita runut kebelakang masalah penegakan

menyangkut

korupsi,

sudah

dicanangkan

pemberantasannya sejak tahun 1950 an.


Fakta yang tidak terbantahkan bahwa upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak Team atau Lembaga
dibentuk untuk memberantas korupsi. Banyak peraturan dilahirkan untuk
memberantas korupsi, tetapi Indonesia tetap tercatat sebagai salah satu
Negara

yang

sangat

korup

di

dunia.

Dalam

catatan

Transparansi

Internasional misalnya, sejak tahun 1998 Indonesia termasuk Negara yang


meraih posisi 10 besar Negara terkorup di dunia.8

Pada tahun 2012,

dilaporkan oleh Transparansi Indternasional bahwa Indeks tingkat korupsi


di Indonesia naik dari peringkat 100 menjadi 118. Survei tersebut
dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia.9 Peringkat baru tersebut
telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Peringkat
korupsi Indonesia 2012 tersebut jika dibandingkan dengan negara tetangga
termasuk yang terburuk di Asia Tenggara, karena Malaysia berada di
peringkat 54,

Thailand dan Filipina berada diposisi

masing-masing 88

dan 105. Singapura menjadi negara Asia dengan tingkat korupsi paling
baik. Tingkat korupsi Singapura berada di posisi 5, mengalahkan negara
Asia Timur seperti Cina dan Jepang yang masing-masing menduduki

Dalam Country report 2005, Transparancy Internasional mencatat Indonesia Negara terkorup No.
140 dari 159 Negara, lihat Transparency International Corruption Perceptions Index 2005, h. 6
9http://news.detik.com/read/2012/12/06/114647/2110960/10/peringkat-indeks-korupsiindonesia-masih-rendah-118-dari-176-negara

peringkat 80 dan 17. 10Sehingga menjadi tidak salah, kalau Almarhum Bung
Hatta ditahun 1970

menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah

membudaya.11
Kalau saja pernyataan Almarhum Bung Hatta ini benar, maka
berarti bangsa ini sudah beranggapan bahwa korupsi itu adalah satu hal
yang wajar, satu hal yang pantas dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Korupsi sama dengan kebutuhan
menghirup udara, makan dan minum, semua dianggap sebagai satu
keniscayaan, sebagai aktifitas yang lumrah dan tidak tercela. Hal ini
tercermin dengan banyaknya kosa kata yang digunakan dan dianggap
sebagai pengesahan korupsi seperti uang rokok, uang lelah, biaya
kemitraan, biaya transportasi, tanda terimakasih. Bahkan Ahmad Fathanah
menambah satu kosa kata baru daging busuk.12
Upaya

melakukan

pemberantasan

Korupsi

di

Indonesia

sesungguhnya sudah sejak lama dilakukan. Secara formal pembentukan


badan pemberantasan korupsi itu sudah dimulai sejak tahun 1957, dengan
keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957.13 Kemudian
ini berlanjut dengan diundangkannya UU No.24 Tahun 1960, dimana
uapaya pemberantasan korupsi ini dipimpin oleh Jaksa Agung Soeprapto.
Kegiatan pemberantasan korupsi ini kemudian dilanjutkan dengan Operasi
Budhi,

yang

dipimpin

AH.

Nasution

dan

dibantu

oleh

Wiryono

Prodjodikoro, dengan sasaran lembaga-lembaga negara yang dianggap


rawan praktik korupsi. Operasi Budhi ini mengalami hambatan karena
adanya perlindungan dari Presiden terhadap orang-orang tertentu.14 Tidak
lama kemudian Operasi Budhi ini dibubarkan dan diganti dengan KOTAR
(Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpin Presiden
http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2012/12/06/peluncuran-corruption-perceptionindex-2012
11 Albert Hasibuan: 2006, Politik Hukum Pemerntahan SBY-JK, Suara Karya-online.com, 21
September 2006;
12 http://www.suarapembaruan.com/home/fathanah-perkenalkan-satu-lagi-istilah-korupsi/35690
13 Sudirman Said dan Nizar Suhendra: 2002, Korupsi dan Masyarakat Indonesia, dalam Hamid
Basyaib, Richard Holloway dan Nono Makarim, Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia,
Buku 1, Dari Puncak sampai Dasar, Aksara Fondation, Cet. 1, h, 117;
14 Amin Rahayu: 2005, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Sejak Orde Lama Hingga Orde
Reformasi, h.1, diakses dari http://www.pdii.go.id;

10

Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan Letjen A. Yani. Pemberantasan


korupsi pada masa itu juga tidak menghasilkan apapun.15 Kegiatan
pemberantasan korupsi ini dilanjutkan kembali dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden No.228/1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantas
Korupsi.

Sebagai tindak lanjut dari Pidato Kenegaraan Pj Presiden

Soeharto, dihadapan anggota DPRGR/MPRS pada tanggal 16 Agustus 1967,


yang mempersalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas
korupsi, karena kebijakan ekonomi dan politik berpusat di istana.16
Pada masa Orde Baru dengan maksud untuk mengefektifkan
pemberantasan korupsi,

dan supaya pemberantasan korupsi dapat

dilakukan secara efisien maka dikeluarkan Keputusan Presiden No.12


Tahun 1970. Kemudian pemerintah membentuk Komisi Empat yan terdiri
dari Wilopo, S.H, I.J Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, dan Prof. Ir. Johannes,
dengan Mohammad Hatta sebagai Penasehat.17 Tugas dari Komisi Empat ini
adalah melakukan penelitian, pengkajian terhadap kebijakan serta melihat
hasil-hasil yang telah dicapai dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus
besar yang pernah menjadi pemberitaan diawal tahun 70 an ini adalah
kasus

pertamina,

meskipun

tidak

sampai

ke

pengadilan.

Untuk

menunjukan keseriusan dalam pemberantas korupsi ini maka di tahun


1971 diundangkan UU No.3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Kegiatan memerangi korupsi dizaman pemerintahan Presiden
Soeharto berkuasa yang tercatat cukup besar adalah kasus-kasus yang
diungkap oleh Operasi Tertib (Osptib) yang mulai melakukan operasinya
pada bulan Juli 1977 dengan publikasi yang luar biasa

Operasi ini

didasarkan kepada Inpres No. 9 Tahun 1977. Operasi ini ditingkat pusat
secara operasional dipimpin Pangkopkamtib dibantu oleh Kapolri, Jaksa
Agung dan para Irjen Departemen, sedangkan ditingkat daerah ada
Opstibda yang dipimpin Laksusda, Kapolda, Kajati dan Irwilda. Ada
Amin Rahayu: 2005, hal 2.
Loc.cit
17 Emerson Yuntho: 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi: Anatara Harapan dan
Kekhawatiran, h, 3, diakses dari pemantauperadilan.com;
15
16

beberapa kasus menarik perhatian masyarakat yang sampai kepengadilan


hingga tahun 1981. Ditahun 1982 pemeritah membentuk Tim Pemberantas
Korupsi yang dipimpin oleh Menpan JB. Soemarlin, meskipun tidak ada
catatan kebehasilan dari tim ini.
Komitmen memberantas korupsi puncaknya pada Sidang Umum
MPR pada bulan Agustus Tahun 1998 yang melahirkan Tap MPR
XI/MPR/1998, yang secara tegas munghendaki adanya pemerintahan yang
bersih dan bebas korupsi. Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi
dan nepotisme, maka diundangkanlah undang-undang No.28 Tahun 1999,
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Selain itu diundangkan pula UU No.31 tahun 1999
juncto UU No.20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagai upaya melakukan penyempurnaan terhadap UU No.3
tahun 1971.
Sebagai tindakan nyata untuk memberantas korupsi kemudian
dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK)
pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid berdasarkan Pasal
27 UU No.31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000.
Tim ini dianggap oleh banyak pihak tidak efektif, karena ternyata Jaksa
Agung Marzuki Darusman tidak cukup ampuh membentengi para pelapor
dari tuntutan balik berupa pencemaran nama baik.18 Akhirnya TGPTK
dibubarkan tahun 2001,19 setelah ada gugatan judicial review yang
dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Sementara itu dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme maka dibentuk
pula Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat

Negara (KPKPN) berdasarkan

Keputusan Presiden No.127 Tahun 1999. Salah satu kasus yang menarik
18
19

http://www.tempo.co.id/harian/opini/opi-27082001.html
http://tokohmuda.blogdetik.com/2008/10/05/chandra-hamzah/

perhatian masyarakat yang dilaporkan oleh KPKPN kepada Kepolisian


Republik Indonesia adalah kasus kepemilikan rumah Jaksa Agung (waktu
itu) M. A. Rahman yang tidak dilaporkan ketika mengisi laporan
kekayaan.20
Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan
sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi
tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam
melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi.21
Wewenang
pemerintah

yang

luas

itu

termasuk,

memonitor

penyelenggaraan

serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa

tertentu. Dalam waktu relative singkat sudah ribuan laporan masyarakat


yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita
saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter
Suap Anggota KPU dan lain-lain.
Tidak mau kalah dengan para pendahulunya Presiden Susilo
Bambang

Yudhoyono

(SBY)

kemudian

membentuk

Tim

Koordinasi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan


Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini dibawah kendali Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji.
Tugas pokok dari Tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu Tim ini juga bertugas
untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta
menelusuri asset dalam rangka pengambalian keuangan Negara secara
optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada
Presiden. Namun ternyata Timtas Tipikor ini tidak berumur lama, karena
tidak menghasilkan kebaikan malah justru menimbulkan korupsi baru.
Kinerja Timtas Tipikor dianggap tidak berhasil.22 Tim ini dibubarkan pada
http://www.suaramerdeka.com/harian/0210/05/nas1.htm
Suhadibroto : 2005, Keberadaan Tim Tastipikor, diakses dari http://www.komisihukum.go.id;
22 http://news.detik.com/read/2007/05/02/084211/774967/10/icw-kinerja-timtas-tipikor-jauhdari-memuaskan
20
21

tahun 2007. Selama dua tahun, Timtas Tipikor telah menangani sebanyak
72 perkara yang terdiri dari tujuh perkara telah diputus, upaya hukum
naik banding maupun kasasi sebanyak dua perkara, di tingkat penuntutan
ada 11 perkara, tingkat penyidikan 13 perkara, dan di tingkat penyelidikan
ada 39 kasus. 23
Dengan melihat fakta dan pemberitaan yang ada, korupsi di
Indonesia itu memang sesuatu yang nyata, apalagi begitu banyak yang
tertangkap tangan, seperti yang belum lama ini terjadi tangkap tangan
terhadap politisi, birokrat bahkan

hakim dari beberapa pengadilan.

Meskipun harus diakui begitu banyak putusan dalam perkara korupsi yang
tidak masuk diakal sehat. Putusan yang dibuat tidak berdasarkan fakta
yang sesungguhnya. Kalaupun putusan itu berdasarkan fakta, maka fakta
yang digunakan untuk mempertimbangkan perkara hanya sebagian saja,
terutama fakta yang dapat digunakan untuk menghukum Terdakwa.
Sedangkan fakta yang meringankan terdakwa acapkali diabaikan oleh
Hakim.
Budaya hadiah dan korupsi
Sulit untuk menyangkal bahwa peran adat istiadat dan tradisi dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penegakan hukum dan
pembangunan demokrasi dan politik sangat besar. Salah satu contoh
adalah budaya memberi hadiah atau tidak jarang kita sebut budaya
memberi oleh-oleh dalam kehidupam nyata kita. Sementara pada sisi yang
lain, secara hukum, memberi hadiah itu dapat digolongkan sebagi
gratifikasi.
Bahkan ketentuan pasal 12b ayat (1) UU Tipikor, setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: nilainya Rp10 juta atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik); nilainya kurang
dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap
dilakukan oleh penuntut umum. Ditambahkan dalam pasal 12b ayat (2),
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12b ayat (1) tidak berlaku
23

http://www.antaranews.com/view/?i=1181547313&c=NAS&s=

10

jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, paling


lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterimanya.
Dengan demikian, maka untuk memahami konsep pemberian
hadiah dan korupsi ini tidak bisa hanya dilakukan pendekatan dari hukum
positif semata, tetapi harus ada juga pendekatan secara budaya atau adat
istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Karena korupsi itu,
sesungguhnya bukan hanya
urusan pengadilan, tetapi masalah bagi
semua manusia yang hidup dalam satu komunitas.
Dari beberapa penelitian, pada masyarakat tertentu pemberian itu
bukanlah termasuk pada kategori suap, bahkan pemberian itu dianggap
hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.24 Tentu buku yang ditulis
oleh Mauss ini termasuk salah satu studi klasik tentang budaya memberi
ini. Bahkan Mau mengatakan,
In Scandinavian and many other civilizations contracts are
fulfilled and exchanges of goods are made by means of gifts. In
theory such gifts are voluntary but in fact they are given and
repaid under obligation.25
Tentu saja perbedaan budaya, akan berbeda juga perlakuan
dalam hal-hal tertentu, termasuk dalam memandang sesuatu sebagai
korupsi atau bukan sebagai korupsi. John Hooker misalnya menyatakan
bahwa,
The reality, however, is that different cultures use radically
different systems to get things done. Whereas Western cultures are
primarily rule-based, most of the worlds cultures are relationshipbased. Western business people trust the system, while people
elsewhere trust their friends and family. Westerners organize their
business around discrete deals that are drawn up as written
contracts and enforced by a legal system. Others organize their
business around personal relationships that are cemented by
personal honor, friendship, or long-term mutual obligation. Loyalty
to cronies is suspect behavior in Western business but represents
high moral character in much of the world.26

MARCEL MAUSS : 1966, The Gift Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies, Translated
by IAN GUNNISON, COHEN & WEST LTD
25 MARCEL MAUSS : 1966, hal, 1.
26 John Hooker : 2003, A Cross-Cultural View of Corruption, Tepper School of Business. Paper 156.,
http://repository.cmu.edu/tepper/156, hal 1
24

11

Bahkan dikatakan oleh Peter Larmour, tidak mudah untuk


mengatakan satu kegiatan itu sebagai korupsi, karena adanya perbedaan
dalam budaya ini. Sehingga dia mengatakan,
You cant compare, say, corruption in Australia with corruption in
China because each can only be understood in its own terms.
Some statements about culture in the Pacific have that blocking
and checking character. For example, when PNG Prime Minister
once said, in reply to a question about a payment made to another
MP in exchange for political support, corruption is part of our
culture he may simply have been saying: back off: this is none of
your business.27
Sehingga pada beberapa negara yang pendudukanya cukup banyak
sebagai penganut konfusius, sebagai contoh dalam mengatur bisnis, karena
adanya hubungan pribadi yang didasarkan kepada kehormatan pribadi,
persahabatan atau kewajiban bersama dalam jangka panjang. Bisnis cukup
banyak berhubungan dengan keluarga, sementara pada konsep Barat
bisnis disandarkan kepada perjanjian secara tertulis dan ditegakkan
dengan hukum yang ketat dan keras. Inilah salah satu perbedaan pokok
dalam prilaku berbisnis, antara Barat dan Timur. Perbedaan sistem
berbasis aturan dan berbasis hubungan hanya salah satu dari banyak
perbedaan budaya, dan kedua model ini tentu melahirkan norma-norma
etika yang berbeda, terutama dalam hubungan bisnis. Pada negara tertentu
hubungan bisnis yang dibangun berdasarkan perkoncoan disebut sebagai
nepotisme dan diangap sebagai kejahatan. Sedangkan pada bagian dunia
yang lain, hal ini diangap biasa dan lumrah. Akibat dari sistuasi ini, apa
yang dianggap sebagai korup di Barat, tidak korup di sebagian negara
timur.28 Perbedaan penilaian terhadap sesuatu, sebagai korupsi dalam
keseharian kita tentu saja masih terjadi. Terutama berhubungan dengan
praktik, yang kita sebut sebagai tanda terimakasih. Meskipun faktanya
tanda terimakasih itu selalu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan
yang

telah

dilakukan.

Sehingga

acapkali

kita

menyaksikan

dalam

keseharian kita pejabat publik menerima tanda terimakasih.


Peter Larmour : 2008, Corruption and the concept of Culture: Evidence from the Pacific Islands,
Crime Law Soc Change (2008) 49:225239, hal. 228
28 John Hooker : 2003, ibid hal. 2;
27

12

Hal ini tentu saja tidak terlapas dari kegagalan masyarakat untuk
membedakan antara perilaku korup murni berbahaya dan perilaku korup
yang dapat memberikan beberapa keuntungan. Kecenderungan ini mungkin
sebagian

didorong

oleh

toleransi

dan

budaya

permissip

terhadap

konsekuensi ekonomi yang sebenarnya dari perilaku korup yang berbeda.


Membedakan antara korupsi yang berbahaya dan tidak berbahaya mungkin
dapat menguntungkan bagi pemerintah ketika harus berurusan dengan
tingginya tingkat korupsi. Mengingat tingginya biaya memerangi korupsi,
negara mengalami tingkat korupsi yang tinggi dapat mengambil manfaat
dari mempelajari perbedaan ini dalam rangka mengurangi keterbatasan
dana dalam menghadapi pertempuran jenis yang paling berbahaya dari
korupsi. Namun ada yang tidak kalah penting untuk tetap dipelihara yaitu,
yaitu memelihara budaya keikhlasan dalam memberi bukan membangun
budaya tau sama tau, yaitu kewajiban memberi bagi setiap orang yang
mendapatkan

pelayanan

jasa,

untuk

sebuah

tanda

tangan,

untuk

kelancaran prosedur administrasi ataupun kemudahan-kemudahan lain.29


Pertanyaan kita apakah perlu kaji ulang kegiatan yang dalam
hukum dianggap korupsi, sedangkan secara budaya hal yang lumrah, kalau
itu mau dilakukan, tentu harus dilakukan dengan cara yang baik dan
benar sesuai dengan perkembangan kehidupan nyata kita. Dalam praktik
kehidupan kita penegakkan hukum khususnya pemberantasan korupsi itu
tidak memiliki efek pada kehidupan sehari-hari masyarakat karena korupsi
bukan masalah hukum saja. Korupsi juga merupakan masalah masyarakat,
budaya, sehingga dalam rangka memerangi korupsi, perubahan

budaya

yang memungkinkan korupsi terjadi karena budaya tidak melarang secara


tegas yang harus segera dilakukan.
Peranan Media dalam memberantas korupsi
Dalam masyarakat modern bahkan dalam masyarakat tradisonal
sekalipun,

media

dianggap

merupakan

29

pilar

penting

dari

budaya

Dr. Endang Rudiatin, M.Si: Korupsi, Cermin Budaya Materialisme, http://bulan-bintang.org/korupsicermin-budaya-materialisme/

13

masyarakat. Cerita rakyat yang tertulis, atau tidak tertulis tetapi selalu
diceritakan dan disampaikan dalam banyak kesempatan secara pasti akan
memberi pengaruh terhadap opini dan sikap masyarakat. Termasuk tentu
saja dalam penegakan hukum peran media sangat besar. Informasi dari
media tentang satu korupsi, bukan hanya akan menjadi perhatian orang
tertentu, tetapi akan menjadi perhatian seluruh anggota masyarakat.
Bahkan tidak jarang media mempengaruhi persepsi benar atau salah dari
satu keadaan atau satu masalah hukum yang sedang dihadapi seseorang.
Media akan memberikan informasi tentang korupsi atau solusi atas
penyelesaian masalah korupsi. Bahkan tidak jarang, satu masalah hukum
baru akan mendapat perhatian setelah adanya keributan dalam media.
Media membuat politisi memperhatikan masalah secara luas, akibat
cakupan luasnya pemberitaan. Media juga menyediakan platform bagi
warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka, termasuk keinginan
adanya akuntabilitas dan transparansi kekuasaan orang-orang

yang

berkuasa.30
Dalam beberapa kasus yang ditanganai oleh Kejaksaan Agung
misalnya tidak jarang penggunaan media ini dianggap lebih penting dari
penanganan kasusnya itu sendiri. Salah satu contoh yang sangat mendapat
perhatian besar dari media adalah korupsi pekerjaan bioremediasi yang
didakwakan kepada pegawai dan kontraktor PT. Chevron Pacific Indonesia.
Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andhi
Nirwanto,

sebagaimana

dikutip

oleh

pers

tanggal

17

Maret

2012,

menyatakan pekerjaan bioremediasi diduga merugikan negara sebesar 270


juta dollar AS atau setara Rp 2,43 triliun.31 Dan keterangan Kepala Pusat
Penerangan Hukum Kejagung M. Adhi Toegarisman, sebagaimana dikutip
oleh Jurnal Nasional tanggal 16 Maret 2012, negara diduga dirugikan US$
23,361 juta atau sekitar Rp200 miliar.32

30

Anne-Katrin Arnold and Sumir Lal: 2012, Using Media to Fight Corruption, PTF Working Paper
Series No. 1/ 2012, h 106;
31 http://www.antaranews.com/berita/301699/kejagung-tetapkan-tujuh-tersangka-korupsi-chevron
32 http://nasional.kompas.com/read/2012/03/17/02593976/Kejaksaan.Tetapkan.7.Tersangka

14

Tentu apa yang dikemukakan oleh kedua pejabat negara yang


bergiat melakukan pemberantasan korupsi ini adalah upaya

dari

Kejaksaan Agung sebagai organisasi anti-korupsi untuk mendapatkan


dukungan publik atas pekerjaan mereka, dalam rangka mengubah persepsi,
norma, perilaku dan budaya dalam perjuangan melawan korupsi. Dan yang
penting pesan yang hendak disampaikan bahwa korupsi ini adalah korupsi
yang besar. Selain itu tentu pesan lain yang ingin dikemukakan bahwa ada
korupsi lain, yang tidak berhubungan dengan hingar-bingar pengadaan
yang acapkali dikaitkan dengan orang-orang politik.
Disadari bahwa peran Media
perubahan

budaya,

termasuk

sangat penting dalam mencapai

budaya

perlawana

terhadap

korupsi,

mengedukasi masyarakat untuk melawan korupsi.33 Sebab Media dapat


memperkuat efek anti-korupsi, mencapai dan memobilisasi masyarakat
lebih luas,

memotivasi para pemimpin politik untuk bertindak, dan

memfasilitasi perubahan budaya yang akan meningkatkan pemberantasan


korupsi secara keberlanjutan dan berkesinambungan, termasuk dalam
menyusun undang-undang.
Persoalan pokok dan besar untuk melibatkan masyarakat dalam
ikut serta memberantas korupsi adalah meyakinkan masyarakat, bahwa
korupsi itu bukan sesuatu yang dapat diterima dan korupsi itu harus
dilawan secara bersama, karena korupsi itu adalah hal yang salah dan
merupakan

musuh

bersama.

Masyarakat

harus

diyakinkan

bahwa

memberikan suap atau gratifikasi kepada pejabat itu itu adalah bagian dari
korupsi. Peranannya media itu sangat penting untuk menentang dan
melawan korupsi, dan meyakinkan masyarakat untuk tidak menerima dan
mentolerir segala bentuk korupsi. Oleh karena itu, yang sangat penting
adalah meyakinkan dan mendapatkan kesan bahwa banyak orang yang
menentang praktek-praktek korupsi dan bersedia untuk melawannya, maka
kita juga lebih mungkin untuk melakukan sesuatu tentang korupsi.34

33
34

http://www.antaranews.com/berita/361936/dewan-pers-dorong-peran-media-berantas-korupsi
http://www.negarahukum.com/hukum/media-dan-pemberantasan-korupsi.html

15

Media sudah barang tentu dapat menjadi katralisator dalam


membentuk persepsi masyarakat dalam menegakkan norma melawan
korupsi. Dengan adanya berita di surat kabar, televisi atau radio tentang
kasus korupsi, tentu akan menambah perhatian masyarakat bahwa korupsi
itu benar terjadi dan korupsi itu sesatu fakta yang tidak terbantahkan
terjadi dalam masyarakat. Dengan adanya pemberitaan ini, maka kesan
bahwa korupsi terjadi dan bahwa ada orang yang marah terhadap korupsi.
Di sisi lain, pada saat yang sama media massa juga dapat menyebarkan
persepsi palsu tentang korupsi, yang dapat menghambat kerja organisasi
yang terlibat dalam perang melawan korupsi. Suatu kekeliruan

berita

menyangkut perbedaan antara korupsi besar, korupsi kecil sehari-hari, dan


mendatangkan kemalangan bagi masyarakat, atau hukum tidak efisiensin
dalam memberantas korupsi. Atau juga berita, yang membawa pengaruh
bahwa pemberantasan korupsi itu hanya sekedar kegiatan pengalihan
masalah sehingga menyesatkan publik.
Paling kurang ada tiga mekanisme di mana media mempengaruhi
persepsi dan norma, karena Media bertindak sebagai pengawas, membuat
agenda, dan tentu saja dapat berfungsi sebagai forum publik dalam
menyampaikan suara.35 Dalam fungsinya sebagai pengawas,36 Media dapat
bertindak melakukan monitoring perilaku aparat pemerintah dan menjaga
kepentingan umum dengan menyoroti kegiatan buruk yang dilakukan oleh
pemerintahan, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi. Dengan demikian,
maka

kegiatan

pokok

dari

Media

memastikan

akuntabilitas

dan

transparansi pemerintah.37
Media sebagai pembuat agenda dapat menempatkan korupsi sebagai
agenda publik dan agenda politik. Jika setting agenda ini dapat dilakukan
oleh Media, maka berarti Media telah melakukan salah satu fungsi
demokrasi yang paling penting. Dengan membahas isu dan menempatkan
korupsi misalnya, sebagai agenda publik, maka berarti Media menarik
perhatian masayarakat kedalam masalah yang sedang dibicarakan oleh
35

Ibid Anne-Katrin Arnold and Sumir Lal: 2012, h 107-108;

36http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6381:koreksi-pansus-

tatib&catid=37:aceh&Itemid=108
37 http://www.jejaknews.com/?p=39601

16

Media. Dalam keseharian korupsi jarang sekali dibahas secara terbuka,


karena tidak jarang dianggap sedang membicarakan aib seseorang dan ini
tentu dianggap sebagai pelanggaran norma sosial atau karena orang takut
untuk terlibat dalam urusan yang bukan merupakan urusannya. Dengan
besarnya perhatian media, maka akan ada legitimasi untuk membicarakan
korupsi dimata orang banyak.

Dengan cara inilah masyarakat akan

memberikan perhatian secara kritis terhadap korupsi. Keadaan seperti ini


tentunya dalam jangka panjang, akan mempengaruhi

politisi dalam

mempertimbangkan kembali segala macam kebijakan legislasi.


Media dapat menjadi sebagai forum publik dalam menyampaikan
pendapat dan penilaian masyarakat terhadap korupsi. menyajikan beritaberita aktual dari berbagai isu
korupsi,

hukum,

menunjukkan

politik

kontribusi

pembangunan demokrasi.38

dan
yang

yang berkaitan dengan praktek-praktek


lainnya.
essensial

Dengan
dalam

demikian

Media

mendukung

proses

Mekanisme forum publik ini, tentu akan

berakibat adanya komunikasi dua arah antara negara dan warga negara.
Situasi ini tentu akan membentuk sebuah ruang terbuka di mana
akuntabilitas dan legitimasi dibandingkan oleh masyarakat dan aparatur
negara. Dengan adanya pertukaran gagasan antara warga negara dan
aparat negera terutama aparat penegak hukum, dalam pemberantasan
korupsi misalnya, maka yang pasti akan ada keragaman perspektif dan
argumen dalam ruang publik, yang kemudian dapat menginformasikan
debat publik, musyawarah, dan pembuatan kebijakan. Kalau kegiatan
seperti ini dapat dilakukan oleh Media, maka secara pasti dapat dikatakan
bahwa Media mengambil peran yang besar terutama

untuk membantu

memperkenalkan inovasi atau solusi terhadap masalah korupsi dan


memberikan berbagai saran dan argumen yang dapat digunakan dalam
melakukan partisipasi masyakat dalam memberantas korupsi.
Media adalah pemain penting dalam perubahan budaya terhadap
transparansi dan akuntabilitas.39 Dengan mengubah persepsi tentang apa
38
39

http://bangka.tribunnews.com/2012/02/11/media-massa-pilar-pemberantasan-korupsi
Ibid Anne-Katrin Arnold and Sumir Lal: 2012, hal 113

17

yang benar dan salah, media dapat mempengaruhi etika dan norma yang
dibangun oleh masyarakat. Perubahan etika dan norma dari waktu ke
waktu, cepat atau lambat akan mempengaruhi

perubahan perilaku

masyarakat. Hal ini, pada gilirannya, akan menyebabkan hilangnya


toleransi secara perlahan terhadap korupsi, kewaspadaan terhadap korupsi
semakin kuat, dan partisipasi masyarakat dalam melawan korupsi akan
semakin baik. Inilah yang dikatakan sebagai suksesnya pengawasan oleh
media terhadap korupsi dan sekaligus menciptakan koalisi yang luas dalam
melawan korupsi.
Saat ini, gerakan melawan korupsi menyebar keseluruh kehidupan
masayakat bahkan tidak tertutup kemungkinan akan menyapu kekuatankekuatan aparat negara yang terindikasi melakukan korupsi. Keberhasilan
ini tidak terlepas dari perannya media dalam memberitakan korupsi yang
tidak mampu dibendung dan ditutupi secara ekstensif. Pejabat negara yang
telibat

dalam

pemberantasan

korupsi,

begitu

juga

organisasi

yang

mendukung kegiatan pemberantasan dalam perang melawan korupsi dapat


menggunakan media sebagai sekutu setia dan sebagai alat untuk
meningkatkan peluang sukses, efektif, dan berkesinambungan dalam
memberantas korupsi.

Sukses dalam bekerja melawan korupsi akan

tergantung pada apakah perubahan budaya yang langgeng dapat dicapai.


Disini peran Media untuk memperkuat organisasi dan masyarakat dalam
memberantas korupsi akan sangat penting. Jika ada koalisi antara
masyarakat sipil dan media dalam mengungkap kasus korupsi pada
gilirannya akan menciptakan budaya transparansi dan akuntabilitas dalam
pemberantasan korupsi untuk jangka panjang.

Korupsi dan Pegawai Muda


Kalau kita mengukuti secara cermat pemberitaan surat kabar atau
media elektronik, ada hal yang membuat kita harus melakukan kaji ulang
terhadap efektifitas

pembemberantasan korupsi. Dari pemberitaan ini

begitu banyak berita, pelaku korupsi terutama yang berkenaan dengan


pajak dan pengadaan banyak melibatkan anak-anak muda. Pegawai18

pegawai yang tertangkap dan terduka korupsi berusia rata-rata

2838

tahun dan secara kebetulan menduduki jabatan-jabatan strategis di


pemerintahan atau dalam organisasi kemasyarakatan. Contoh yang sangat
fenomenal adalah Gayus Tambunan atau Dhana Widyatmika.yang memiliki
kekayaan yang tak wajar dan diduga berasal dari kejahatan korupsi. Dari
pemberitan kita akan ketahui ternyata 63 orang pelaku korupsi berusia
dibawah usia 40 tahun. Tentu ini jumlah yang tidak sedikit dari kaum
muda yang terlibat korupsi 40
Dalam satu keterangannya kepada pers Wakil Ketua PPATK Agus
Santoso mengatakan, sedikitnya 10 PNS berusia muda terlacak memiliki
dana di rekening mereka melebihi pendapatan resmi. Bahkan, ada dua PNS
golongan IIIB yang diduga menilap uang negara miliaran rupiah dari proyek
fiktif. Keduanya mentransfer uang ke rekening istri. Istri mereka aktif
mencuci uang yang diduga hasil korupsi itu dengan membeli valuta asing,
emas, dan asuransi. Dalam keterangan Wakil Ketua PPATK ini dikatakan
sejak 2002 telah dilaporkan 1.800 rekening mencurigakan kepada penegak
hukum. Namun, tindak lanjutnya masih minim, bahkan ada

PNS yang

memiliki rekening tak wajar itu jabatannya terus mulus meski PPATK
melaporkan kepada atasan hingga inspektorat jenderal di tempat mereka
bertugas.41
Direktorat Pajak merupakan salah satu penyumbang terbesar
perkara korupsi terutama yang tertangkap tangan. Modus operandi yang
dilakukan para pejabat direktorat yang bekerja sama dengan wajib pajak
agar terhindar dari pajak yang besar bahkan dibebaskan dari pungutan
pajak. Kemudian mereka lakukan pencucian uang dengan cara yang cukup
canggih termasuk dengan cara memecah uang ke berbagai rekening seperti
kerabat, mertua, keponakan, istri, bahkan anak yang masih balita dengan
asuransi pendidikan yang bernilai lima miliar rupiah, membeli valuta asing
atau emas batangan. Dalam pemberitaan cara kerja PNS ini tidak seperti
40 http://hukum.kompasiana.com/2012/03/05/nama-dhana-widyatmika-tidak-masuk-dalam-63selebritis-yang-dilaporkan-ppatk-444608.html
41 http://nasional.kompas.com/read/2011/12/08/09010757/PNS.Muda.Korup.Dibidik.KPK

19

lazimnya

dengan

melibatkan

atasan,

tetapi

bekerja

sendiri.

Ini

mencerminkan manakala PNS muda ini sudah nekat untuk melakukan aksi
korupsi. Artinya, korupsi pun sudah regenerasi ke usia yang lebih muda.42
Ada juga temuan lain yang ditemukan oleh PPATK bahwa gratifikasi itu
baukan hanya diterima pegawai berusia muda yang berjenis kelamin pria,
namun ada juga yang berjenis kelamin perempuan. Cara penerimaannya
beragam, bahkan ada anak perempuab yang menerima secara reguler
setiap bulan sebesar Rp 50 juta setiap bulan.43
Pegawai pajak yang baru saja terkena musibah tertangkap tangan
oleh KPK bernama Muhammad Dian Irwan Nuqishra dan Eko Darmayanto.
Dian adalah pemeriksa pajak muda golongan III D, sementara Eko
Darmayanto adalah pengawas pajak golongan III C. Mereka diduga
menerima suap dari seorang karyawan perusahaan baja yang menyuap dua
pegawai pajak tersebut senilai SIN$ 300 ribu atau Rp 2,4 miliar. Karyawan
dari perusahaan PT The Master Steel (TMS) itu menyuap dua pegawai yang
bekerja di Kantor Perwakilan Pajak Jakarta Timur.44
Berita korupsi yang melibatkan beberap tokoh muda dan berasal
dari satu ormas tertentu, sebagaimana diungkap oleh Tempo, sungguh
sangat memperihatinkan, yaitu Dendy Prasetia, Fahd El Fouz.45 Tiga orang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Muhammad Nazaruddin, Angelina
Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati yang sudah diputus bersalah oleh
pengadilan pada dasarnya adalah tokoh-tokoh muda di partainya masingmasing.46
Fakta diatas menunjukkan bahwa korupsi itu tidak membatasi
umur dan tidak ada korelasinya dengan pendidikan. Tokoh-tokoh muda
dan orang-orang yang terlibat dan diduga melakukan korupsi itu menurut
42http://nasional.kompas.com/read/2011/12/09/12070941/Rekening.Gendut.PNS..Tamparan.buat
.Pemerintah
43http://nasional.kompas.com/read/2011/12/06/13343823/PPATK.Ada.10.PNS.Muda.yang.Rekeni
ngnya.Miliaran
44 http://www.tempo.co/read/news/2013/05/15/063480664/KPK-Tangkap-Pegawai-Pajak-danKaryawan-The-Master
45 Tempo 16 Juni 2013.
46 Tempo 16 Juni 2013, hal 31;

20

Tempo 52 % berpendidikan strata 2. Artinya mereka adalah orang-orang


muda yang pandai dan berpendidikan baik.
Gratifkiaksi Seks
Gratifikasi seks sebenarnya bukan masalah baru. Secara bisik-bisik
gratifikasi seks sudah terjadi sejak lama. Pembicaraan informal sambil
bersenda gurau cukup sering kita dengar bahwa gratifikasi seks itu bukan
hal yang luar biasa. Meskipun hal tersebut baru mulai ramai dan menjadi
bahan pemberitaan ketika dalam perkara suap yang melibatkan politisi dan
anggota DPR dari PPP Al Amin Nasution. Pada saat ditangkap ada
perempuan bernama
Carlton.

47

Efielian Yonata bersama Al Amien di Hotel Ritz

Dalam perkaranya, Al Amin dihukum karena menerima suap

dengan uang, tanpa ada keterangan menerima gratifikasi seksual. Pejabat


negara saat ini mulai banyak yang anti suap dalam bentuk uang, meskipun
ada juga yang tidak tahan akan godaan seksual yang bisa tergolong sebagai
gratifikasi kepuasaan seksual. Pada masa Orde Baru sajian dan hadiah seksual acapkali disediakan pada setiap kesempatan perjalanan dinas ke
daerah.48 Bahkan ada juga yang sambil melakukan kunjungan kerja keluar
negeri.49 Tentu saja seperti dikatakan oleh Pakar hukum pidana Universitas
Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan, bahwa gratifikasi seks yang marak
terungkap dalam kasus korupsi hanya sebagai layanan tambahan yang
diberikan oleh pihak penyuap kepada pejabat negara. Karena yang utama
tetap saja diberikan uang.50
Meskipun sebenarnya praktik gratifikasi ini juga terjadi di Negara
lain. Misalnya teruangkap dari persidangan di Melbourne bahwa ada
eksekuitf RBA yang diduga terlibat gratifikasi seksual untuk

membantu

mengamankan kontrak uang kertas dengan nilai suap sampai dengan $ 20


juta. Bahkan mantan

Austrade senior Trade Commissioner, Elizabeth

Masamune menyatakan berhubungan secara baik dengan pejabat intelijen


http://news.detik.com/read/2013/05/07/132401/2240020/10/2/
http://www.prioritasnews.com/2013/01/23/upeti-seks-pelicin-proyek/
49 http://17-08-1945.blogspot.com/2013/02/koran-digital-kedutaan-besar-pun.html
50 http://www.tempo.co/read/news/2013/06/22/063490318/Gratifikasi-Seks-Menjadi-PelengkapSuap
47
48

21

Vietnam.51 Bahkan

Mark Ingram, mantan

salesman dari

Securency

merupakan anak perusahaan Note Printing Australia, anak perusahaan


RBA Securency diduga membayar suap di Asia, Amerika Latin, and Africa
untuk memenangkan kontak pencetakan uang.
Berkenaan dengan suap dengan menggunakan seks ini patut juga
dicermati pengakuan Tzipi Livni, mantan menteri luar negeri Israel, yang
mengungkapkan bahwa dia melakukan hubungan seks dengan beberapa
tokoh Arab saat bekerja sebagai agen Mossad untuk mendapatkan
informasi rahasia dan konsesi politik yang mendukung Israel. Bakan dia
mengakui melakukan pembunuhan di negara-negara Eropa dan korbannya
adalah ulama Arab. Dengan bangga dia katakan tida melihat adanya
kerugian dalam melakukan pembunuhan atau menggunakan seks untuk
kepentingan Israel.52
Gratifikasi seks ini sebenarnya tetap saja gratifikasi, meskipun tidak
mudah untuk membuktikannya, karena hampir dipastikan akan disangkal,
seperti dilakukan oleh Maharani Suciyono.53 Meskipun ada pengakuan lain,
seperti diterangkan oleh pengacara dari Toto Hutagalung bahwa

Hakim

Setyabudi Tejocahyono mendapat layanan seks setiap minggu sebagai


sunnah Rasul.54
Memberantas Korupsi dengan adil
Memberantas korupsi itu adalah kewajiban seluruh warga negara
yan berakal sehat. Karena daya rusak korupsi itu luar biasa. Korupsi
merusak secara

ekonomi dan tentu saja merusak mental banyak orang

termasuk penikmat korupsi. Namun yang paling rusak adalah korban


pemberantasan korupsi yang tidak berkeadilan.

51 http://insidereg.wordpress.com/2012/10/10/sex-spies-and-bribes-at-the-reserve-bank-ofaustralia-rba/

http://www.mathaba.net/news/?x=632080
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/17/063481147/Maharani-Tawari-Fathanah-Kencandengan-Temannya
54 http://www.thejakartapost.com/news/2013/04/18/disgraced-judge-accused-sexual-bribery.html
52

53

22

Sekarang ini, cara yang paling mudah untuk mengancurkan harkat


dan martabat seseorang itu adalah melaporkannya telah melakukan
korupsi dan mengumumkan laporan itu kepada masyarakat melalui surat
kabar. Terbukti atau tidak itu urusan nanti. Bahwa yang terbukti nanti
bukan orang yang dilaporkan itu bukan urusan pelapor. Laporan bisa
dilakukan ke KPK, ke Kejaksaan atau ke Polisi. Untuk membuktikan bahwa
laporan tersebut benar, tinggal dicari ahli yang mau membuat keterangan
ahli

kemudian

menghitung

penyidik

kerugian

akan

negara

meminta
dengan

BPKP

menjadi

berpedoman

kalkulator

atau

mengikuti

keterangan ahli secara utuh, tanpa reserve. Inilah problem riil sebagai
akibat maraknya pemberantasan korupsi tanpa konsep keadilan, tetapi
berdasarkan sikap curiga dan asumsi bahwa orang jujur sekalipun akan
menikmati hasil korupsi kalau ada kesempatan untuk korupsi.
Agar supaya proses peradilan perkara korupsi tidak menjadi perkara
yang melahirkan ketidak adilan, pemberantasan korupsi terlaksana dengan
baik, dan berkeadilan, yang harus segera dilakukan adalah melakukan
perubahan legislasi dan praktik dalam pemberantasan korupsi, yang patut
dipertimbangkan untuk dilaksanakan sebagai berikut:
a. Menetapkan tersangka sesudah ada penyidikan
Menetapan seseorang menjadi tersangka sangat mudah, karena
meskipun belum ada penghitungan kerugian negara oleh lembaga yang
berwenang, seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka terlabih dahulu.
Ini adalah praktik buruk penegakan hukum kita, yang melanggar KUHAP.
Bukti dan keterangan saksi, dapat dicari dikemudian hari. Keterangan
saksi dapat dengan mudah didapat, bahkan dengan sedikit ancaman untuk
menjadikan saksi sebagai tersangka karena mengahalangi penyidikan, atau
karena dapat dijadikan tersangka yang melakukan perbuatan pidana
bersama-sama, maka kesaksian seorang saksi akan sangat mudah
didapatkan sebagai alat menetapkan seorang menjadi tersangka. Bahkan
tidak

jarang,

saksi

diminta

bersaksi

dan

menyatakan

interpretasinya, maka bukti dapat dengan mudah ditemukan.


23

berdasarkan

Banyak kasus sudah terjadi dilakukan dengan cara seperti ini.


Kalau kasus itu ditangani oleh KPK, secara pasti pengadilan akan
menghukum

orang

yang

dilaporkan

melakukan

korupsi

tersebut.

Pengadilan tidak akan ragu untuk menghukum, meskipun apa yang


disebut sebagai fakta persidangan perbedaannya dengan uraian surat
dakwaan

hanya

pada

titik

koma

dan

kata

sambung.

Inilah

ironi

pemberantasan korupsi sekarang ini, dimana pengadilan bukan lagi


menjadi

tempat

mencari

keadilan

dan

menegakkan

hukum,

tetapi

pengadilan tindak pidana korupsi sudah berubah fungsi sebagai tempat


penghukuman. Sebagai stempel untuk mengesahkan dakwaan korupsi.
Mudahnya

terjadi

penghukuman,

karena

mudahnya

hakim

memberikan interpretasi terhadap pelanggaran atas Pasal 2 ayat (1) dan


Pasal

UU

TPK.

Ukuran

melawan

hukum

dan

atau

ukuran

menyalahgunakan kewenangan yang tidak terkontrol. Semua tergantung


dengan keyakinan dan atau ketakutan hakim kalau tidak menjatuhkan
hukuman yang menghukum.
Longgarnya untuk memberikan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU TPK adalah salah satu penyebab lahirnya putusan yang
tidak berkeadilan. Bahkan dalam praktik, acapkali ditetapkan terlebih
dahulu

tersangka,

mendapatkan

bukti

baru

kemudian

dilakukan

atau

keterangan-keterangan

penyidikan
lainnya.

untuk

Penetapan

tersangka terlebih dahulu dengan mencari dan mengumpulkan bukti selagi


penyidikan berjalan ini secara hukum adalah tindakan yang tidak tepat,
karena penyidikan adalah mengumpulkan bukti untuk membuat terang
tindak pidana guna menemukan tersangka. Sebab menurut Pasal 1 angka
KUHAP,
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya;

24

Dalam perkara korupsi, kalau dihubungkan dengan pasal 2 maka


ada tiga unsur yang harus dicari yaitu adanya perbuatan melawan
hukum; memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, maka tanpa ada perbuatan melawan hukum, tanpa ada
yang bertambah kaya dan tanpa ada kerugian negara, maka tidak ada
korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat )1) UUTPK. Sedangkan kalau
dihubungkan

dengan

Pasal

3,

maka

ada

orang

dengan

tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan; yang dapat merugikan negara atau
perekonomian negara. Jika ketiga unsur ini tidak ada, maka tidak ada
perkara korupsi.
Sepatutnya sekarang ini rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UUTPK, segera dilakukan perubahan. Kalau tidak dilakukan perubahan,
maka korban penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUTPK akan semakin
banyak. Akan muncul koruptor-koruptor baru yang dihukum karena
kedudukannya

sebagai

pejabat,

bukan

karena

ada

intensi

untuk

melakukan kejahatan yang merugikan negara.


Dihukumnya para pembuat atau orang yang menyetujui kebijakan
tanpa ada intensi untuk melakukan kejahatan, sebenarnya adalah
kejahatan yang dilakukan atas nama hukum. Kejahatan seperti ini adalah
kejahatan yang luar biasa. Inilah yang terjadi sekarang khususnya
terhadap orang-orang dengan jabatan sebagai pejabat pembuat komitmen.
Mereka akan dengan mudah mendapat peredikat sebagai tersangka, karena
diduga menguntungkan orang lain atau korporasi.
b. Rumusan melawan hukum secara formil
Rumusan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan
kesempatan akan sangat mudah dibuat oleh hakim, sesuai dengan
keyakinan mereka. Meskipun keyakinan itu tidak selamanya lahir dari
25

keyakinan, karena tidak jarang keyakinan itu lahir dari ancaman atau
karena ketakutan terhadap penyidik atau penuntut umum.
Dalam praktik peradilan kita sekarang ini, apa yang disebut
melawan hukum itu termasuk diinterpretasikan melawan keputusan
Menteri. Padahal menurut Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keputusan Menteri itu tidak
digolongkan sebagai Peraturan Perundang-undangan.

Banyak perkara

dengan mudah ditarik menjadi perkara korupsi, karena yang melakukan


penyidikan

adalah

KPK

atau

Kejaksaan

Agung.

Bahkan

ketentuan

mengenai undang-undang korupsi itu sendiri diabaikan, seperti misalnya


ketentuan Pasal 14 UUTPK. Pasal 14 undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam
undang-undang

yang

secara

tegas

menyatakan

bahwa

pelanggaran

terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi


berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini telah membatasi
pemberlakuan undang-undang a quo terhadap tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang lainnya.
Dengan demikian, kalau satu undang-undang tidak menyebut
bahwa pelanggaran terhadap undang-undang ini, merupakan tindak pidana
korupsi, maka tidaklah dapat diinterpretasikan bahwa penyidik korupsi
dapat dengan leluasa melakukan penyidikan dan menyatakan bahwa
perkara itu adalah perkara korupsi. Sebagai salah satu contoh, adalah
pelanggaran terhadap lingkungan, tidak serta merta dapat dijadikan
perkara korupsi. Karena dalam undang-undang lingkungan telah diatur
tatacara dan telah ditentukan proses penyidikan dalam pelanggaran
terhadap undang-undang lingkungan. Dikatakan dalam Pasal 94 UU No.
32tahun 2009, bahwa penyidik dalam perkara lingkungan selain penyidik
Polri,

pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi

pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahkan kalau dilakukan
penyidikan terpadu, tetap saja harus berada dibawah koordinasi Menteri
26

Lingkungan Hidup, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 95 UU No. 32


Tahun 2009.
Dengan adanya rumusan formal bahwa yang disenyatakan melawan
hukum adalah melawan undang-undang, secara pasti akan menjadi
berkurang pula orang yang didakwa dan dihukum sebagai pelaksana
korupsi, karena dianggap melanggar peraturan Menteri.
c. Pembatasan Penggunaan UU TPK
Kalau kita mau taat asas sebenarnya, tidak semua perkara atau
masalah hukum dapat dikorupsikan. Menjadikan perkara, pidana biasa
atau perkara perdata menjadi perkara korupsi dengan mudah dapat
dilakukan oleh penegak hukum. Dengan tidak adanya batasan, satu
perkara sebagai perkara korupsi atau bukan perkara korupsi, maka sangat
mudah penyidik memberikan interpretasi bahwa satu perkara

adalah

perkara korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, adalah putusan yang memberi batasan satu
perkara sebagai perkara korupsi atau bukan perkara korupsi. Sebab
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa ketentuan
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi perihal sifat melawan hukum materiil tidak mengikat secara
hukum berpengaruh dalam pemberantasan korupsi, artinya putusan
tersebut telah menegasikan sifat melawan hukum materiil dan hanya
mengakui berlakunya sifat melawan hukum formal.
Delik materiil dari penjelasan kedua pasal tersebut telah dibatalkan
oleh putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003/PUU-IV/2006. Dalam

pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan,


Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, konsep melawan hukum
materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis
dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam
masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang
27

tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke


lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di
satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu
yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam
kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof.
Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam persidangan;
Menimbang bahwa oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan
perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU PTPK sepanjang mengenai frasa Yang dimaksud dengan secara
melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana, harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945;

Dengan demikian, maka pada dasarnya secara teori hukum pidana,


putusan MK tersebut bertujuan untuk mencegah multi interpretatif
terhadap unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, sehingga
kemudian

Mahkamah

Konstitusi

mengartikan

melawan

hukum

itu

hanyalah sebagai melawan hukum formil. Artinya, melawan hukum


tersebut hanyalah melawan undang-undang dan memenuhi unsur delik
dari suatu rumusan pidana. Dan yang dimaksudkan oleh MK pada
putusannya tersebut adalah melawan hukum pada aturan yang berupa
undang-undang,

bukan

yang

berada

di

bawahnya

undang-undang

letaknya, sehingga perbuatan yang bertentangan dengan KEPMEN


bukanlah termasuk suatu perbuatan yang melawan hukum sebagaimana
pula yang dimaksudkan oleh putusan MK tersebut. Hal ini sesuai dengan
hal yang sangat prinsipil dalam teori asas legalitas, sebagaimana yang telah
diperkenalkan oleh Anselm von Feuerbach, yaitu nulla poena sine lege
(tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla
poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum
crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang).
Dari apa yang dikemukan diatas, maka kalau penegakan hukum ini
dilakukan

bukan

untuk

pembalasan
28

terhadap

orang

yang

diduga

melakukan korupsi, maka interpretasi yang benar bahwa satu perbuatan


pidana merupakan perbuatan korupsi kalau secara tegas dan secara formal
perbuatan tersebut melanggar undang-undang.
d. Penghitungan kerugian negara
Dalam praktik peradilan sekarang penghitungan kerugian negara itu
masih dilakukan oleh BPKP dengan cara yang sangat mudah. Penyidik
dapat meminta BPKP menghitung kerugian negara hanya berdasarkan satu
keterangan seorang ahli. Yang paling mudah dilakukan dan selalu terjadi
adalah meminta ahli dari BPKP menghitung kerugian negara sesuai dengan
bukti yang disodorkan oleh penyidik. Bahkan tidak jarang ahli dari BPKP
tidak melakukan konformasi atas data yang mereka hitung kepada auditi.
Meskipun

Keppres

BPKP

melaksanakan

fungsi

melakukan

penghitungan kerugian negara, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku


lagi oleh Keputusan Presiden No. 42 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi,

Kewenangan,

Susunan

Organisasi

&

Tata

Kerja

Lembaga

Pemerintah Non Departemen sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah


Terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2001 (Keppres
42/2001), toh BPKP tetap saja melakukan penghitungan kerugian negara.
Kemudian kewenangan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) untuk melakukan penghitungan kerugian negara telah dicabut pula
oleh Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintahan Non Departemen (Keppres 103/2001). Dalam Pasal 52
Keppres 103/2001, ditegaskan BPKP mempunyai tugas melaksanakan
pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Kemudian dalam
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (PP 60/2008), Pasal 47, 48, 49 dan dalam Pasal 50
ayat (2 dan 3) dengan tegas dinyatakan bahwa BPKP adalah aparat
pengawasan intern pemerintah yang tidak berwenang melakukan audit atas
pengelolaan keuangan negara.
29

Selanjutnya

menurut Pasal 52 dan Pasal 53 Keputusan Presiden

Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan


Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan
Non Departemen (Keppres 64/2005), BPKP tidak lagi berfungsi dan
berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara
serta menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga
tidak lagi bertugas memeriksa dan mengevaluasi pelaksanaan good
corporate governance serta laporan akuntabilitas kinerja Badan Usaha Milik
Negara. Kedudukan BPKP sebagai bagian dari Pemerintah menurut Keppres
64/2005 Pasal 52 dan Pasal 53, fungsi dan tugasnya adalah melakukan:
a.
b.
c.
d.
e.

pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang


pengawasan keuangan dan pembangunan;
perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan;
koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP;
pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap
kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan;
penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum
di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum,
persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dengan demikian, BPKP tidak lagi berfungsi dan berwenang memeriksa


pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara serta menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga

tidak lagi bertugas

memeriksa dan mengevaluasi pelaksanaan good corporate dan governance


serta laporan akuntabilitas kinerja Badan Usaha Milik Negara. Demikian
juga tidak berwenang memeriksa terhadap indikasi penyimpangan yang
merugikan negara, badan usaha milik negara, dan badan-badan lain yang
di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah.
Menurut undang-undang, hanya BPK yang mempunyai kewenangan
melakukan penghitungan kerugian negara. Sesuai dengan UUBPK, Pasal 1
angka 1, menyatakan,
30

BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa


pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam UUD Tahun 1945;
Kemudian pada Pasal 6 ayat (1) UUBPK dinyatakan,
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab
keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan
Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.
Akhirnya Pasal 10 ayat (1) UUBPK menyatakan,
BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian
negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola
BUMN/BUMD,
dan
lembaga
atau
badan
lain
yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara;
Dengan demikian secara yuridis-konstitusional, Badan yang bertugas
dan berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan
negara serta menilai dan/ atau menetapkan jumlah kerugian negara adalah
BPK.
Dalam undang-undang yang lain, yaitu UUPengelolaan Keuangan
Negara, Pasal 13 dan UUBPK Pasal 8 ayat (3), disebutkan Badan yang
berwenang melaporkan adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau
unsur pidana lainnya adalah BPK. Jadi bukan BPKP.
Adapun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara secara tersirat menempatkan BPK sebagai Badan Pemeriksa
independen yang sangat penting kedudukannya dalam menentukan standar
akuntansi pemerintahan. Adapun pasal yang dimaksud dalam undangundang ini adalah:
Pasal 32 ayat (2):
31

Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat
pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal ini telah sangat jelas memberikan kedudukan yang istimewa dalam
menentukan

standar

akuntansi

pemerintahan,

yang

mana

standar

akuntansi pemerintahan adalah pedoman dalam penyusunan APBN/APBD.


Kemudian

Undang-Undang

Nomor

15

Tahun

2004

tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Beberapa


pasal yang menempatkan BPK sebagai lembaga pemeriksan keuangan
negara, termasuk kerugian yang dialami negara adalah:
Pasal 2 ayat (2):
BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.
Pasal 3 ayat (1):
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pasal 13:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna
mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau
unsur pidana.
Pasal-pasal tersebut di atas sama bunyinya dengan ketentuan dalam
UU BPK dan UU Keuangan Negara yang menegaskan bahwa BPK adalah
badan yang paling berwenang untuk melakukan audit terhadap keuangan
negara,

termasuk

audit

terhadap

adanya

dugaan

kerugian

negara.

Penjelasan tersebut sekaligus untuk mematahkan opini penggunaan Pasal


120 KUHAP yang berbunyi Dalam hal Penyidik menganggap perlu, . Jadi
berdasarkan ketiga UU tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa UU
tersebut secara imperatif memerintahkan dalam hal menentukan
ada/tidaknya kerugian Negara adalah harus dilakukan oleh BPK.

32

e. Pembatasan penggunaan keterangan ahli


Dalam praktik peradilan perkara korupsi, acapkali perkara itu
disandarkan

kepada

keterangan

ahli.

Cara

yang

paling

mudah

menggunakan keterangan ahli untuk menjadi bukti, maka carilah ahli yang
mempunyai konflik kepentingan tehadap

perkara yang sedang disidik.

Kolusi antara penyidik dengan ahli akan dengan mudah dilakukan.


Keterangan ahli seperti ini bisa diatur sejak proses penyelidikan. Bahkan
keterangan ahli ini dapat dengan mudah menambah bukti permulaan yang
cukup sebagai mana dimaksud oleh undang-undang.
Ahli yang mempunyai konflik kepentingan itu tidak perlu terlalu
pintar dan benar-benar ahli. Kalaupun ada landasan terori yang dapat
digunakan akan lebih bagus, yang penting ahli itu mau menyatakan bahwa
pendapatnya sesuai dengan teori atau pengetahuan yang dia kuasai,
meskipun teori ahli sudah terbantahkan tidak jadi masalah, karena
pendapat ahli itu tergantung dengan hakim akan diterima atau tidak. Teori
atau pengetahuan ahli itu sudah tidak menegikuti perkembangan terakhir
tidak menjadi masalah besar. Yang penting ahli itu mampu dan mau
berpendapat sesui dengan yang dikehendaki.
Kalau betul pemberantasan korupsi itu hendak dilakukan dengan
cara yang adil, maka setiap keterangan ahli itu, harus diuji dengan
keterangan ahli yang lain. Keterangan ahli, harus benar-benar diberikan
oleh orang yang mempunyai keahlian, bukan orang yang mengaku sebagai
ahli. Pengujian keterangan ahli ini harus sudah dilakukan sejak masa
penyelidikan dan masa penyidikan. Sebab dengan cara seperti inilah, maka
keterangan ahli dapat digunakan untuk membuat terang satu perkara. Apa
yang hendak ditegaskan pembatasan keterangan ahli ini, harus digunakan
untuk

menghidar

dari

penggunaan

orang

yang

tidak

mempunyai

kompetensi untuk menerangkan sesuatu yang dapat digunakan untuk


menghukum seseorang.
f. Hak menguji kedudukan sebagai tersangka
33

Hal paling krusial dalam penegkan hukum kita, adalah tidak adanya
hak dari seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka untuk menguji surat
keputusan yang menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab dalam
praktik penetapan seseorang sebagai tersangka sepenuhnya tergantung
dengan maunya penyidik. Bahkan kalau penyidik tidak menyukai seseorang
yang diperiksa menjadi saksi dan kemudian saksi tersebut berubah status
menjadi tersangka hal itu sepenuhnya kewenangan penyidik. Kewenangan
ini tidak dapat diganggu gugat, karena hanya pengadilanlah yang dapat
menentukan status seseorang tepat untuk ditetapkan sebagai tersangka
sepenuhnya merupakan hak prerogratif dari penyidik.
Sebagai

contoh

dalam

Putusan

Praperadilan

No.

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012 di pengadilan


Negeri Jakarta Selatan, kedudukan Bachtiar Abdul Fatah sebagai
tersangka dinyatakan tidak sah, karena dalam sidang praperadilan Jaksa
tidak mampu menunjukkan bahwa penetapan Bachtiar Abdul Fatah
adalah sesuai dengan hukum, karena tidak adanya minimal 2 (dua) alat
bukti untuk dapat dijadikan dasar menetapkan tersangka dan kemudian
melakukan penahanan. Namun putusan praperadilan yang berkekuatan
hukum tetap ini oleh Kejaksaan Agung diterjang dengan semena-mena.
Bahkan dikatakan karena Kejaksaan Agung telah mendapat jawaban dari
Mahkamah Agung bahwa putusan praperadilan tersebut tidak tepat.
Tanpa pernah ada putusan pengadilan yang lebih tinggi membatalkan
putusan praperadilan tersebut. Namun dengan jawaban surat dari
Mahkamah Agung tersebut, kemudian Kejaksaan Agung menggunakan
kewenangan untuk menahan Bachtiar Abdul Fatah. Bahkan Direktur
Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menjemput
Bachtiar Abdul Fatah. Inilah akibat nyata dari tidak adanya kewenangan
lembaga lain dalam menguji kedudukan seseorang yang telah ditetapkan
sebagai tersangka. Penyidik dengan alasan apapun dapat berbuat sesuai
dengan yang mereka inginkan, untuk menetapan seseorang menjadi
tersangka, menahan dan mengajukan seseorang sebagai terdakwa
34

dihadapan pengadilan, meskipun tanpa dasar hukum. Ada atau tidaknya


dasar hukum itu pengadilanlah yang berwenang memeriksanya.
Memang dalam konsep hakim Komisaris pada RUU KUHAP, Hakim
dapat melakukan penilaian terhadap sah dan tidaknya penetapan
seseorang sebagai Tersangka. Oleh karena itu sebelum adanya KUHAP
baru yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk menguji
penetapannya sebagai tersangka, maka sepatutnya Putusan Praperadilan
No.

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel,

tanggal

27

Nopember

2012

di

pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam perkara Bachtiar Abdul Fatah


dapat dijadikan sebagai yurisprudensi untuk menguji ketika sesorang
warga negara ditetapkan menjadi tersangka.
Kalau hal tersebut agak sulit dilakukan, maka cara yang paling
mudah adalah membuka hasil penyelidikan dan penyidikan dengan
ekspose terbuka, meskipun terbatas dengan melibatkan ahli-ahli di luar
ahli kejaksaan, KPK atau Kepolisian. Pola penanganan perkara seperti ini
layak dilakukan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik
dari kejaksaan, KPK atau Kepolisian sebagai lembaga publik. Ekspose
terbuka secara terbatas ini penting dilakukan dari awal, sebagai langkah
melibatkan masyarakat dalam melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap penyidik, khususnya untuk membatasi kekuasaan yang besar
dari penyelidik atau penyidik dalam menggunakan hak subjektif mereka.
g. Membayar untuk tidak diadili
Dengan tidak bermaksud menjadikan uang sebagai yang paling
berkuasa, termasuk dalam proses penegakan hukum, sebenarnya cukup
penting untuk memikirkan dan mengambil hal yang baik dari Financial
Penalties Act 1983 dari Belanda.55 Pada dasarnya dalam financial penalties
act 1983, seseorang tidak perlu diadili, kalau dia mau membayar kepada
negara sejumlah uang yang ditentukan oleh pengadilan, atau Kejaksaan.
CONSTANTIJN KELK, LAURENCE KOFFMAN, AND JOS SILVIS : 1995, Sentencing Practice, Policy,
and Discretion dalam, PHIL FENNELL CHRISTOPHER HARDING NICO JRG BERT SWART, Criminal
Justice in Europe: A Comparative Study, Oxford University Press, hal 319 339;

55

35

Bahkan dari beberapa bacaan dapat diketahui bahwa di Belanda terhadap


semua jenis perkara, termasuk perkara dengah ancaman hukuman mati,
orang dapat memilih untuk tidak diadili dengan membayar perkara kepada
negara atau kjalau tidak mau membayar maka dia harus diadili dan
dihukum. Menurut catatan Peter J Tak, hingga tahun 1995 ada sekitar 30%
perkara yang diselesaikan secara musyawarah, tanpa kepengadilan.56 Tentu
dalam masalah ini kita ambil sebagai pelajaran yang baik dalam
menegakkan hukum. Meski hal ini akan menimbulkan anomali dan tentu
akan dirasakan oleh yang sudah menjadi tersangka sebagai bentuk tebang
pilih yang melahirkan ketidakadilan. Tentu juga akan dianggap sebagai
ketidak adilan juga bagi yang tidak mampu membayar. Meskipun cara ini
adalah salah satu pilihan dalam penegakan hukum, tanpa harus membuat
penuh penjara dengan biaya yang besar. Tentu ini juga sebagai salah satu
cara, agar pembayaran yang dilakukan oleh orang yang dipidana itu
dilakukan kepada negara, bukan kepada oknum.
Penutup
Memberantas korupsi itu bukan sesuatu yang mudah. Proses
pembuktian dalam perkara korupsi juga tidak mudah. Prosesnya juga
adalah peoses yang panjang. Meksipun korupsi itu harus dilawan, yang
tidak kalah penting dalam memberantas korupsi itu, prosesnya harus
dilakukan secara adil dan beradab.
Cukup banyak korban perkara korupsi adalah orang yang tidak
bersalah. Mereka ini adalah koruptor yang tidak mendapat keuntungan.
Mereka dihukum, karena menduduki jabatan. Terhadap para koruptor,
karena jabatan ini tidak selayaknya dilakukan proses peradilan, apalagi
dengan cara menghancurkan harkat dan martabat mereka sebagai
manusia.

56 Peter j. Tak : 2001, Sentencing and Punishment in The Netherlands dalam Sentencing and
Sanctions in Western Countries , edited by Michael Tonry and Richard S. Frase, Oxford University
Press, Inc, hal 157;

36

Dalam menegakkan hukum pada masa yang akan datang, sudah


saatnya dipikir, untuk memberi pilihan kepada tersangka dengan cara
membayar kepada negara atau mereka harus melalui proses peradilan yang
melelahkan dan terkadang tidak adil, karena digunakan oleh banyak pihak
untuk kepentingan pencitraan.

37

Anda mungkin juga menyukai