Anda di halaman 1dari 20

Demam Berdarah Dengue

Aqim bin Mohd Haris


102013531
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
aqim_mhr@yahoo.com

Pendahuluan
Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan
dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air. Lingkungan
genangan air ini

merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk, diantaranya

nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue (DBD)
menjadi masalah utama kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di juga diseluruh
negara di Asia Tenggara. Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering
mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas kapiler, dan
hemostasis tubuh, dan pada kasus berat menebabkan sindrom syok kehilangan protein.
Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga
Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis1. Sejak tahun 1956 sampai 1980 di seluruh
dunia kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per tahun sedang
yang meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus . Penyakit ini disebabkan oleh
virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4
serotipe virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, dan DEN-3. Oleh karena ditularkan
melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang utama
adalah nyamuk Aedes aegypti.1
DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan demam akut,
trombositopenia, netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular meningkat yang ditandai
dengan kebocoran plasma ke jaringan interstitiel mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi
pleura, hipoalbuminemia dan hiponatremia yang akan menyebabkan syok hipovolemik.

Anamesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan anamnesis yang baik dokter
akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.1,2
1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien
(kemungkinan diagnosis)
2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya
keluhan pasien (diagnosis banding)
3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien
(faktor prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk
menentukan diagnosisnya
Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya
untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya
mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan
akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.1

Pemeriksaan Fisik
Penderita yang datang dengan gejala / tanda DBD, maka dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:2
1. Anamnesis (wawancara) dengan penderita atau keluarga penderita tentang
keluhan yang dirasakan, sehubung dengan gejala DBD.
2. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda perdarahan. Observasi
kulit meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut, dan paha.3
3. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda tanda vital (kesadaran, tekanan darah,
nadi, dan suhu).4
4. Penekanan pada ulu hati (epigastrium). Adanya rasa sakit / nyeri pada ulu hati
dapat disebabkan karena adanya perdarahan di lambung.3

5.
6.
7.
8.

Perabaan hati
Hati yang lunak merupakan tanda pasien DBD yang menuju fase kritis.
Uji Tourniquet (Rumple Leede)4
Munculnya bintik-bitik merah lebih dari 10 pada luas 2,5x2,5 cm pada lengan
bawah bagian palmar.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Labotarium3-5
Pemeriksaan trombosit
Semi kuantitatif (tidak langsung)
Langsung (Rees Ecker)
Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Pemeriksaan hematokrit
Pemeriksaan hematokrit antara lain dengan mikro hematokrit centrifuge.
Nilai normal hematokrit:
Anak anak
: 33 38 vol%
Dewasa laki laki
: 40 48 vol%
Dewasa perempuan : 37 43 vol%
Untuk puskesmas misalnya yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht,

dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3x kadar Hb.


Pemeriksaan kadar hemoglobin6
Pemeriksaan kadar hemoglobin antara lain dengan cara:
Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan Kalorimeter foto elektrik
(Klett Summerson).
Pemeriksaan kadar hemoglobin metode Sahli
Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Contoh nilai normal hemoglobin (Hb):
Anak anak
: 11,5 12,5 gr / 100 ml darah
Pria dewasa
: 13 16 gr / 100 ml darah
Wanita dewasa
: 12 14 gr / 100 ml darah

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)dapat meningkat.

Pemeriksaan Serologi
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari.

IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Uji HI (hemagglutination inhibition test): merupakan uji serologi yang


paling banyak dipakai secara rutin karena lebih sederhana, mudah,
murah serta sensitif. Antibodi HI ini dapat berada dalam kurun waktu

yang sangat lama hingga lebih dari 50 tahun begitu seseorang


mendapatkan infeksi demam berdarah. Antibodi ini timbal pada kadar
yang terdeteksi yaitu titer 10 pada hari kelima hingga hari keenam dari
jalannya penyakit. Kadarnya akan meningkat bila demam berdarah
terus berlanjut (dapat mencapai 640 pada infeksi primer dan 10240
pada infeksi sekunder). Pada infeksi akut, kadar titer yang mencapai
1280 dapat mengarahkan diagnosis pada dugaan adanya infeksi baru.
Titer HI yang tinggi ini akan bertahan hingga tiga bulan sesudah
infeksi dengan gejala penurunan yang tampak mulai pada hari ke 30.6

Differential Diagnosis
1. Demam Typhoid7
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama
pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih
jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.
2. Malaria7
Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodik, anemia dan
splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium.
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan,
malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan
tulang, demam ringan anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang
dingin. Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan:
periode dingin (15-60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas:
penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam,
diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita
berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat. Anemia dan
splenomegali juga merupakan gejala yang sering dijumpai pada malaria.

Working Diagnosis
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan
melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan
otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah
terang dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia menyebar
hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan
kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.5
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam
yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah menunjukkan
demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi . Sejumlah kecil
kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.8
Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam
makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam
ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari,
disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan
ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintikbintik perdarahan di farings dan konjungtiva.6
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang
rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi
kejang demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya Demam Berdarah Dengue
tidak selalu ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit. Mendiagnosis secara
dini dapat mengurangi resiko kematian daripada menunggu akut. 9-10
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:1,3

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:
Uji bending positif
Petekie, ekimosis, purpura.

Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi),

pendarahan dari tempat lain


Hematemesis atau melena
Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan niali hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura,

asites

atau

hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa, perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Selain itu perbedaan yang paling utama adalah
pada demam dengue tidak ditemukan manifestasi perdarahan pada pasien. Pada kulit pasien
dengan demam dengue hanya tampak ruam kemerahan saja sementara pada pasien demam
berdarah dengue akan tampak bintik bintik perdarahan. Selain perdarahan pada kulit,
penderita demam berdarah dengue juga dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus
dan lain lain.

Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falivivrus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri
dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang dapat menyebabkan
demam berdarah dengue. Keempat serotip tersebut ditemukan di Indonesia, dengan DEN-3
merupakan serotip terbanyak.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan maamlia seperti tikus,
kelinci, anjing dan kelelawar. Penelitian etrhadap artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan toxorhynchites.
Faktor agen yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe
yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4. Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998,

menyimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi
dan serotipe virusnya. 3,4
1. Virus Dengue
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri
dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat
mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe
tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Variasi genetik yang berbeda
pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam
serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masingmasing segmen codon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6 ? 11,0 % pada
tingkat nukleotida dan 1,3 ? 7,7 % untuk tingkat protein (Fu et al, 1992).
Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis
dan antigenitasnya.
Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari
protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein
envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25%
dari total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang
terbesar (75%) terdiri dari NS-1 ? NS-5. Dalam merangsang pembentukan
antibodi diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein
E, kemudian diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural
yang paling berperan adalah protein NS-1. 3,4

Gambar 1. Perkembangbiakan virus


2. Vektor
Menurut WHO, Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui
gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari subgenus Stegomyia. Ae. Aegypti (kota)
merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae.
Albopictus (pedesaan), Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex,
dan Ae. (Finlaya) niveus juga.3,4,8,13 dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae.
aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang
terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue,
biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.
aegypti. 3,4,8,13

Daur Hidup
Ae. aegypti sama seperti juga nyamuk anophellini lainnya mengalami
metamorphosis sempurna. Nyamuk betina meletakkan telurnya diatas permukaan
air dalam keadaan menempel pada tempat dinding perindukannya Seekor nyamuk
betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur.
Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan
pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi

dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu kira-kira 9


hari. 3,8
Di tempat perindukan sering kali ditemukan larva Ae. albopictus dan Ae.
aegypti hidup bersama-sama. 3,8

Ciri-ciri nyamuk aedes aegypti: 8


Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris putih,(lyre form). 8
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air
seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan
lain-lain. 8
Jarak terbang 100 m. 8
Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang

karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat). 8


Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.berduri lateral. 8
Telur
Ae.Aegypti mempunyai dinding yang bergaris dan membentuk bangunan
menyerupai bangunan kain kasa. Larva Ae. Aegypti mempunyai pelana yang
terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral. 8

Perilaku Nyamuk Betina :


Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia pada siang hari yang
dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah
dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah
matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00).
Tempat istirahat Ae.aegypti berupa semak dan tanaman rendah termasuk
rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah, juga berupa
benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah
dan sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari,
sedangkan di Laboratorium mencapai umur dua bulan, Ae.aegypti mampu
terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya adalah
pendek yaitu kurang dari 40 meter. 8

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropics,
khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II
menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik.

Selama 20 tahun terakhir, endemic dengue telah menimbulkan masalah di Amerika. Pada
tahun 1995, lebih dari 200.000 kasus demam dengue dan lebih dari 5.500 kasus demam
berdarah dengue terjadi di Amerika selatan dan tengah. Diperkirakan sekitar 50 juta atau
lebih kasus dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan 400.000 kasus demam
berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue merupakan penyebab utama kematian pada
anak di beberapa negara di Asia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Pada tahun
1989-1995, insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk , dan pernah
meningkat tajam saat keadaan luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Pada komunitas urban, epidemic dengue bersifat eksplosif dan melibatkan populasi dalam
jumlah yang cukup banyak. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk
genus Aedes, terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Epidemi dengue umumnya
dimulai pada musim hujan ketika terdapat banyak vector. Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue,
yaitu:7
1. Vektor
Meliputi perkembangbiakan vector, kebiasaan menggiti, kepadatan vector di
lingkungan, dan transpotasi vector dari satu tempat ke tempat lain.
2. Host
Meliputi terdapatnya penderita di lingkungan, atau keluarga mobilisasai dan
pemaparan terhadap vector, usia, dan jenis kelamin.
3. Lingkungan
Meliputi curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Culex quinquefasciatus,
mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih, terutama pada kakinya.
Morfologinya khas, yaitu memiliki gambaran lira atau harpa (lyra-form) yang putih pada
punggungnya (mesonotum). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan
menyerupai gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan
gigi sisir yang berduri lateral.

Nyamuk betina meletakan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2cm di atas


permukaan air.Seekor nyamuk betina dapat meletakan rata-rata 100 butir telur setiap kali
bertelur. Setelah kira-kira 2 hari, telur menetas menjadi larva, lalu mengadakan pengelupasan
kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa.Pertumbuhan dari
telur hingga menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.13
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air bersih yang
berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah penduduk. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia,
seperti tempayan atau gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga,
kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air
hujan, juga tempat perindukan alamiah sepeti kelopak daun tanaman, tempurung kelapa,
tonggak bamboo dan lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat perindukan Aedes
aegypti sering ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup bersama-sama.
Nyamuk Aede betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di
luar maupun di dalam rumah.Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan
dua puncak waktu, yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam
(15.00-17.00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah, dan
juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian. Umur nyamuk
dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari. Walaupun berumur pedek yaitu kira-kira 10
hari, Aedes aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari.
Aedes aegypti tersebar luas diseluruh Indonesia. Walaupun spesies ini ditemukan di kotakota pelabuhan yang oenduduknya padat, nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan.
Penyebaran Aedes aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Aedes aegypti terbawa
melalui transportasi.
Vektor potensial penyebaran demam berdarah dengue selain Aedes aegypti adalah Aedes
albopictus. Spesies ini tersebar luas diseluruh kepulauan Indonesia. Spesies ini sepintas
tampak seperti Aedes aegypti yaitu mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih,
tetapi pada mesonotumnya terdapat garis tebal putih vertical. Walaupun kadang-kadang larva
Aedes albopictus sering ditemukan hidup bersama dalam satu tempat dengan tempat
perindukan larva Aedes aegypti, namun larva Aedes albopivtus ini lebih menyukai tempattempat perindukan alamiah (plant containers) seperti kelopak daun, tonggak bamboo, dan
tempurung kelapa yang mengandung air hujan. Perilaku nyamuk Aedes albopictus boleh

dikatakan sama dengan Aedes aegypti meskipun nyamuk Aedes albopictus lebih senang
beristirahat di luar rumah

Patogenesis
Terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya
demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan
dalam pathogenesis DBD ialah :
1. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag.
2. Limfosit T baik T-helper dan T sitotoksik berperan dalam respon imun
selulerterhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini meyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
4. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivaasi T helper dan T
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1,
PAF, IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadnya disfungsi sel endotel dan terjadinya
kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekkan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan trjadi peningkatan
proses hematopoisis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia.
Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi

trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar btromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit2-4.
Pasien penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) pada umumnya disertai dengan tandatanda berikut :

Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. 3,4


Manisfestasi pendarahan dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari petekie
(bintikmerah) (+) sampai pendarahan spontan seperti mimisan, muntah darah,

atau bercak darah hitam. 3,4


Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 L), hematokrit

meningkat (normal : pria < 45, wanita < 40). 3,4


Akral dingin, gelisah, tidak sadar ( DSS, dengue shock syndrome). 3,4

Penatalaksaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume carian sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.7
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria :

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.

Praktis dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


1. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Protokol 3

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%


4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
5. Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi
Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :

Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan
tiap 12 jam.

Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak


5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun ,
20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung /
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4
6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60
120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24
- 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.)
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan kemudian dievaluasi
setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit.
Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati
terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 - 20ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID,
infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.1
Prognosis
Demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih
dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan hematokrit
maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit <100.000/ul dan hematokrit meningkat
waspadai DSS.13

Preventif
1.

Pembersihan jentik3,4
Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN). 3,4
Larvasidasi . 3,4

Menggunakan
(ikan

kepala timah, cupang,

sepat).

3,4

Gambar 2. Pencegahan penyebaran DBD


2. Pencegahan gigitan nyamuk

Menggunakan kelambu3,4
Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles). 3,4
Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
Penyemprotan. 3,4

3. Penanggulangan KLB :

Kesimpulan

ikan

Penemuan dan pertolongan penderita. 3,4


Penyuluhan. 3,4
PSN dengan gerakan 3M. 3,4
Fogging (Pengasapan). 3,4
Abatisasi atau larvasidasi. 3,4

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi
silang anatara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encehphalitis, dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar, dan primate. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada antropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites.
Fokus utama pada masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah pencegahan.
Pembenahan kebersihan sekitar lingkungan sekitar kita akan sangat membantu pencegahan
terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue. Dengan lingkungan bersih, maka
akan tercipta hidup sehat tanpa adanya penyakit baik DBD ataupun penyakit lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI; 2001.
2. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
3. Satari, Hindra I., Meiliasari,Mila. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara, 2004.h.2831.
4. Nadesul, Handrawan. Cara mudah mengalahkan demam berdarah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas; 2007.h.7-8.
5. Bastiansyah, Eko. Panduan lengkap: membaca hasil test kesehatan. Jakarta: Penebar
Plus; 2008.h.45-7.
6. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.h.41-5.
7. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 9.
8. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. h.428-433
9. World Health Organization. Demam berdarah dengue: diangnosis, pengobatan,
pencegahan, dan pengendalian. Jakarta: EGC; 2001. h.101-6.
10. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Pengendalian Vektor. Dalam : Buku
Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. h.275-7.
11. WHO. Diagnosis Klinis. Dalam : Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC. 2003. H. 22-3.
12. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Hipoksia. Dalam : Prinsipprinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2002. H. 207
13. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku

Nyamuk. Dalam : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h.250.

Anda mungkin juga menyukai