Anda di halaman 1dari 20

1.

Seorang laki-laki, 17 tahun datang berobat ke Puskesmas dengan keluhan


bercak-bercak merah gatal pada badan sejak 1 pekan yang lalu. Kisaran 1
pekan sebelumnya pasien mengalami meriang dan nyeri otot. (vvv)
a) Bagaimana hubungan jenis kelamin, usia terhadap keluhan yang
dialami? MELVA, NADIYA, AFIF

Pada kasus ini Pitiriasis Rosea dapat mengenai semua umur,


tapi Sering terjadi pada umur 10-35 tahun.

Jenis kelamin : wanita > pria,

b) Bagaimana mekanisme bercak-bercak merah dan gatal? ALL


Bercak merah dan Gatal
Sel mast kutaneus melepaskan histamin dalam respon terhadap
C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptida substansi P (SP), vasoactive
intestinal peptide (VIP), dan somatostatin, neurokinin A dan B,
bradikinin, dan calcitonin generelated peptide (CGRP), kesemuanya
dapat mengaktivasi sel-sel mast untuk mensekresi histamin. Tidak
semua produk biologik potensial tersebut diproduksi ketika sel mast
kutaneus terstimulasi. Permeabilitas vaskuler di kulit diakibatkan
secara predominan oleh reseptor histamin H 1, meskipun reseptor
histamin H 2 juga dapat berperan. Urtikaria disebabkan karena
pelepasan histamin, bradikinin, leuketrien C4, prostaglandin D2, dan
substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast dan basofil di kulit.
Substansi-substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi cairan ke kulit,
mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria. Intensitas pruritus dari
urtikaria adalah hasil dari pelepasan histamin ke kulit. Aktivasi reseptor
histamin H1 pada sel-sel endotel dan otot polos menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi reseptor
histaminH2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi
tipe I IgE diinisiasi oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang
mengikat dan cross-link reseptor Fc pada permukaan sel-sel mast dan
basofil, hal tersebut menyebabkan pelepasan histamin. Respon alergi
tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik, menyebabkan deposit Ig,

komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini


menyebabkan vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III
berhubungan dengan SLE dan penyakit autoimun lainnya yang dapat
menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri
dan virus, serum sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi
urtikaria terjadi ketika substansi alergenik dalam plasma dari produk
darah donor bereaksi dengan antibodi Ig E resipien. Beberapa obatobatan (opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lainlain) juga agen-agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena
degranulasi sel mast melalui mekanisme mediasi non-Ig E. Urtikaria
fisik pada beberapa stimulus fisik yang menyebabkan urtikaria meliputi
immediate pressure urticaria, delayed pressure urticaria, cold urticaria,
dan

cholinergic

urticaria. Terakhir,

urtikaria

kronik

dimana

penyebabnya tidak dapat ditemukan secara signifikan, merupakan


idiopatik.
c) Mengapa onsetnya dimula dari nyeri otot dan meriang terlebih dahulu
baru muncul bercak-bercak merah dan gatal? MELVA, AFIF, ERLIN

Meriang dan nyeri otot merupakan manifestasi dari proses


perjalanan pitryasis rosea. Pada sebagian pasien pitryasis rosea
biasanya terlebih dahulu merasakan meriang, nyeri otot, sakit
tenggorokan, dan flu like symptom lainnya.

2. Pemeriksaan fisik : (v)


Keadaan umum

: Kesadaran : compos mentis


Vital sign : nadi 80x/menit, RR: 20x/menit, suhu 36,8

Keadaan spesifik

: dalam batas normal

Status dermatologikus:
Regio trunkus anterior

Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler, berbentuk oval,
diskret dengan skuama halus.

a) Bagaimana

interpretasi

dan

mekanisme

abnormal

dari

status

dermatologikus? AFIF, FITRIA, ERLINA


Status elforesensia: Abnormal.
1. Papul
Benjolan pada kulit yang solid (padat) yang berukuran < 0,5cm
2. Plak
Benjolan pada kulit yang solid (padat) yang berukuran > 0,5 cm
b) Apa pemeriksaan penunjang yang di butuhkan untuk menegakkan
diagnosis dari laki-laki ini? AFIF, ERLIN, ICAN
c) Bagaimana gambaran khas dari kasus?
Gambaran kas pada Pitiriasis rosea

d) Mengapa lesi pada kasus hanya 1? ALL


3. Template

a. DD ABP, AFIF, MELVA

Psoriasis Vulgaris

Dermatitis seboroik

Leus II

Tinea Korporis

Morbus Hansen

b. Diagnosis kerja ALL


Pitiriasis Rosea
c. Manifestasi klinis nadiya, erlina, afif

Sebelum munculnya Lesi

Sakit Kepala

Nyeri sendi

Nyeri otot

Meriang

Sakit Tenggorokan

Terdapat Lesi

Kulit eritema

Gatal

d. Tatalaksana, Pencegahan dan edukasi ALL


Edukasi

Pasien harus diberi tahu untuk tidak menggarut lesi,

Memberi tahu pasien dan keluarga kalo ini bukan penyakit


menular baik dari lesi atau ruam (rash)

Memberi tahu keluarga dan pasien kalo ruam sekunder akan


terus ada lebih dari 2 minggu dan memudah selama >2 minggu,
tanpa perlu pengobatan

Lesi dapat bertahan selama 3-4 bulan.

e. Prognosis dan evaluasi NADIYA, ABP, AFIF


Prognosis

Prognosis pada kasus Pitiriasis rosea , hamper semua pasien


Pitiriasis rosea dapat sembuh sendiri (self-limiting). Untuk lesi
yang terjadi padat hilang, terutama pada pasien yang memiliki
kulit gelap. Lesi tidak menginggalkan skar (scar).

Pada kasus superinfeksi bakteri dapat terjadi, tapi kasus ini


jarang terjadi.

Pada ibu hamil dapat menyebabkan;


1. Keguguran, jika terkena pitiriasis pada minggu ke 15
kehamilan.
2. Bayi premature.
3. Kelainan pada janin, Hipotonia dan hiporeaktivity.

Dapus : http://emedicine.medscape.com/article/1107532-clinical

f. Komplikasi NEY, ERLINA, GEMI, AFIF

Setelah sembuh dapat tertinggal bercak hiperpigmentasi ataupun


hipopigmentasi pada bekas papul dan plak.

g. SKDI
4

Pitiriasis Rosea
Pityriasis Rosea
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, tetapi
menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus herpes tipe 7, dimulai
dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh
lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan
kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2007).
Istilah pityriasis rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun
1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert memberi nama
Pityriasis rosea yang berarti skuama berwarna merah muda (rosea) (Sterling, 2004).
Pityriasis rosea memiliki tempat predileksi yaitu bagian tubuh yang tertutup pakaian,
leher dan dagu. Apabila didapatkan pada bagian tubuh terbuka maka disebut dengan pityriasis
rosea inversa (Murtiastutik, 2009). Pityriasis rosea didapati pada usia antara 10 tahun hingga
43 tahun, tetapi pityriasis rosea juga pernah ditemukan pada infants dan orang tua (McGraw,
2007).
Diagnosis pityriasis rosea dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis apabila sulit
menegakkan diagnosis pityriasis rosea. Biasanya pityriasis rosea didahului dengan gejala
prodromal (lemas, mual, tidak nafsu akan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe),
lalu setelah itu muncul gatal dan lesi dikulit (Lichenstein, 2010).
Pityriasis rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh karena itu,
pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif. Obat yang diberikan dapat berupa
kortikosteroid, antivirus, dan obat topikal untuk mengurangi pruritus (Murtiastutik, 2009).

Prognosis pada penderita Pityriasis rosea adalah baik karena penyakit ini bersifat self limited
disease sehingga dapat sembuh spontan dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2007).
II. Definisi
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, tetapi
menurut teori ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah virus herpes tipe 7, dimulai
dengan sebuah lesi herald-patch berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh
lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan
kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 6 minggu (McGraw, 2007).

Gambar 1.1 Pityriasis Rosea (McGraw, 2007).

Gambar 1.2 Herald-patch dan Distribusi Lesi (McGraw, 2007).


III. Epidemiologi
Pityriasis rosea didapati pada usia antara 10 tahun hingga 43 tahun, tetapi pityriasis
rosea juga pernah ditemukan pada infants dan orang tua. Pityriasis rosea sering ditemukan
pada saat musim semi dan musim gugur (McGraw, 2007).
IV. Etiologi
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa pityriasis rosea
disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus (HHV) 6 dan 7
pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian mengidentifikasi virus
pada sampel serum penderita (Sterling, 2004). Jadi, pityriasis rosea ini merupakan reaksi
sekunder dari reaktivasi virus yang didapatkan pada masa lampau dan menetap pada fase
laten sebagai sel mononuklear (James, 2006). Berdasarkan buku Fitzpatrick Dermatology
Atlas menyebutkan bahwa penyebab dari pityriasis rosea merupakan virus herpes tipe 7
(McGraw, 2007).

V. Patofisiologi
Terjadinya pityriasis rosea masih dalam perdebatan, Watanabe et al telah
membuktikan kepercayaan yang sudah lama ada bahwa pityriasis rosea merupakan kelainan
kulit yang disebabkan oleh virus. Mereka mendemonstrasikan replikasi aktif dari HHV 6 dan
HHV 7 dalam sel mononuklear pada lesi kulit, hal ini sama dengan mengidentifikasi virusvirus pada sampel serum pasien. Dimana virus-virus ini hampir kebanyakan didapatkan pada
masa kanak-kanak dan tetap ada pada fase laten dalam sel mononuklear darah perifer,
terutama CD4 dan sel T dan pada air liur. Erupsi kulit yang timbul dianggap sebagai reaksi
sekunder akibat reaktivasi virus HHV 6 atau HHV 7 (terkadang juga bisa keduanya)
(Blauvelt, 2008).

Penelitian baru-baru ini menemukan bukti dari infeksi sistemik aktif HHV 6 dan
HHV 7 pada kulit yang kelainan, kulit yang sehat, air liur, sel mononuklear darah perifer dan
serum dari pasien penderita pityriasis rosea. Terdapat hipotesis bahwa reaktivasi HHV 7
memicu terjadinya reaktivasi HHV 6. Namun apa yang menjadi pemicu utama reaktivasi
HHV 7 masih belum jelas. Pityriasis rosea tidak disebabkan langsung oleh infeksi virus
herpes melalui kulit, tapi kemungkinan disebabkan karena infiltrasi kutaneus dari infeksi
limfosit yang tersembunyi pada waktu replikasi virus sistemik. Bukti lain menyebutkan
reaktivasi virus mencakup kejadian timbulnya kembali penyakit dan timbulnya pityriasis
rosea pada saat status imunitas seseorang mengalami perubahan. Didapatkan sedikit
peningkatan insiden pityriasis rosea pada pasien yang sedang menurun imunitasnya, seperti
ibu hamil dan penderita transplantasi sumsum tulang (Permata, 2011).

VI. Gejala Klinis


Tempat predileksi pityriasis rosea adalah badan, lengan atas bagian proksimal dan
paha. Sinar matahari mempengaruhi distribusi lesi sekunder, lesi dapat terjadi pada daerah
yang terkena sinar matahari, tetapi pada beberapa kasus, sinar matahari melindungi kulit dari
Pityriasis rosea. Pada 75% penderita biasanya timbul gatal didaerah lesi dan gatal berat pada
25% penderita (James, 2006). Pada beberapa pasien terkadang terdapat gejala prodormal
seperti malaise, headache, nausea, loss of appetite, fever dan arthralgia (Blauvelt, 2008).
1. Gejala klasik
Gejala klasik dari pityriasis rosea mudah untuk dikenali. Penyakit dimulai dengan lesi
pertama berupa makula eritematosa yang berbentuk oval atau anular dengan ukuran yang
bervariasi antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi
mempunyai batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari keratin yang

terlepas yang juga melekat pada kulit normal (skuama collarette). Lesi ini dikenal dengan
nama herald-patch (Sterling, 2004).

Gambar 1.3 Double Herald-Patch (Blauvelt, 2008).


Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu kemudian akan timbul lesi sekunder
generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi dengan
bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil (diameter 0,5-1,5 cm)
dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar dengan costae sehingga
memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain berupa papul-papul kecil berwarna merah
yang tidak berdistribusi sejajar dengan garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan
derajat inflamasi dan tersebar perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan (Blauvelt,
2008).

Gambar 1.4 Christmas Tree Distribution in Pityriasis Rosea (Blauvelt, 2008).


2. Gejala Atipikal
Terjadi pada 20% penderita pityriasis rosea. Ditemukannya lesi yang tidak sesuai
dengan lesi pada pityriasis rosea pada umunya. Berupa tidak ditemukannya herald patch atau
berjumlah 2 atau multipel. Bentuk lesi lebih bervariasi berupa urtika, eritema multiformis,
purpura, pustul dan vesikuler (Sterling, 2004). Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah
aksila, inguinal, wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Adanya gejala atipikal membuat
diagnosis dari pityriasis rosea menjadi lebih sulit untuk ditegakkan sehingga diperlukan
pemeriksaan lanjutan.

Gambar 1.5 Diagram Skematik Plak Primer (herald patch) dan distribusi tipikal plak
sekunder sepanjang garis kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree (Sterling, 2004).
VII. Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesa

Penderita datang dengan keluhan gatal sekujur tubuh. Terdapat Herald-patch sebagai
lesi yang pertama. Terdapat juga makula bulat lonjong, pada beberapa makula terdapat tepi
yang meninggi. Beberapa pasien mengeluh demam, malaise dan nafsu makan berkurang
(Murtiastutik, 2009).
b. Pemeriksaan Fisik
Kelainan dapat berupa makula eritematosa berbentuk bulat lonjong, tepi meninggi dan
lekat pada tepi. Terdapat Herald-patch sebagai lesi pertama. Tempat predileksi adalah bagian
tubuh yang tertutup pakaian, leher dagu, tetapi ada juga yang dibagian tubuh yang terbuka
disebut pityriasis rosea inversa (Murtiastutik, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang
Umumnya

untuk menegakkan

diagnosis

pityriasis

rosea

tidak

dibutuhkan

pemeriksaan penunjang, tetapi terkadang kita perlu pemeriksaan penunjang untuk pityriasis
rosea dengan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis pityriasis rosea dengan gejala atipikal. Pada lapisan epidermis ditemukan adanya
parakeratosis fokal, hiperplasia, spongiosis fokal, eksositosis limfosit, akantosis ringan dan
menghilang atau menipisnya lapisan granuler. Sedangkan pada dermis ditemukan adanya
ekstravasasi eritrosit serta beberapa monosit (McGraw, 2007).

Gambar 1.6 Gambar histologik non spesifik tipikal dari pityriasis rosea, menunjukkan
parakeratosis, hilangnya lapisan granular, akantosis ringan, spongiosis dan infiltrat
limfohistiosit pada dermis superficial (McGraw, 2007).

VII. Diagnosis Banding


1. Sifilis Sekunder
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan lanjutan dari
sifilis primer yang timbul setelah 6 bulan timbulnya chancre. Gejala klinisnya berupa
lesi kulit dan lesi mukosa. Lesi kulitnya non purpura, makula, papul, pustul atau
kombinasi, walaupun umumnya makulopapular lebih sering muncul disebut makula
sifilitika. Perbedaannya dengan pityriasis rosea adalah sifilis memiliki riwayat
primary chancre (makula eritem yang berkembang menjadi papul dan pecah sehingga
mengalami ulserasi di tengah), tidak ada herald patch, limfadenopati, lesi melibatkan
telapak tangan dan telapak kaki, dari tes laboratorium VDRL (+) (Blauvelt, 2008).
2. Tinea Korporis
Adalah lesi kulit yang disebabkan oleh dermatofit Trichophyton rubrum pada daerah
muka, tangan, trunkus atau ekstremitas. Gejala klinisnya adalah gatal, eritema yang
berbentuk cincin dengan pinggir berskuama dan penyembuhan di bagian tengah.
Perbedaan dengan pitiyriasis rosea adalah pada tinea korporis skuama berada di tepi,
plak tidak berbentuk oval, dari pemeriksaan penunjang didapatkan hifa panjang pada
pemeriksaan KOH 10% (McPhee, 2009).
3. Dermatitis Numularis
Adalah dermatitis yang umumnya terjadi pada dewasa yang ditandai dengan plak
berbatas tegas yang berbentuk koin (numuler) dan dapat ditutupi oleh krusta. Kulit
sekitarnya normal. Predileksinya di ekstensor. Perbedaan dengan pityriasis rosea
adalah pada dermatitis numularis, lesi berbentuk bulat, tidak oval, papul berukuran
milier dan didominasi vesikel serta tidak berskuama (Blauvelt, 2008).
4. Psoriasis Gutata
Adalah jenis psoriasis yang ditandai dengan erupsi papul di trunkus bagian superior
dan ekstremitas bagian proksimal. Perbedaan dengan pityriasis rosea adalah pada
psoriasis gutata, aksis panjang lesi tidak sejajar dengan garis kulit, skuama tebal
(Blauvelt, 2008).

IX. Penatalaksanaan
1. Umum
Walaupun pityriasis rosea bersifat self limited disease (dapat sembuh sendiri), bukan
tidak mungkin penderita merasa terganggu dengan lesi yang muncul. Untuk itu
diperlukan penjelasan kepada pasien tentang :
- Pityriasis rosea akan sembuh dalam waktu yang lama
- Lesi kedua rata-rata berlangsung selama 2 minggu, kemudian menetap selama
sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa
-

kasus dilaporkan bahwa Pityriasis rosea berlangsung hingga 3-4 bulan


Penatalaksanaan yang penting pada pityriasis rosea adalah dengan mencegah
bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan. Pakaian yang mengandung wol, air,

sabun, dan keringat dapat menyebabkan lesi menjadi bertambah berat.


2. Khusus
Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin losion atau
0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi yang luas dan gatal yang
hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal kerja menengah (bethametasone

dipropionate 0,025% ointment 2 kali sehari) (Zawar, 2010).


Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa gatal. Untuk
gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan kortikosteroid sistemik
(Murtiastutik, 2009). Penggunaan eritromisin masih diperdebatkan. Eritromisin
oral pernah dilaporkan cukup berhasil pada penderita pityriasis rosea yang
diberikan selama 2 minggu (Sterling, 2004). Dari suatu penelitian menyebutkan
bahwa 73% dari 90 penderita pityriasis rosea yang mendapat eritromisin oral
mengalami kemajuan dalam perbaikan lesi. Eritomisin diduga mempunyai efek
sebagai anti inflamasi (Broccolo, 2005).

X. Prognosis

Prognosis baik karena penyakit pityriasis rosea sembuh spontan biasanya dalam
waktu antara 4-10 minggu (Djuanda, 2009).

Fisilogi Kulit
Kulit berfungsi sebagai penahan dua arah: membantu menyimpan
cairan tubuh dan mencegah dehidrasi komponen-komponen tubuh bagian
dalam,

dan

sekaligus

mencegah

masuknya

organisme-

organisme

infeksius dan zat-zat beracun ke dalam tubuh. Kulit juga melindungi


struktur-struktur

internal

dari

kerusakan

mekanis,

seperti

trauma

eksternal dan kerusakan yang diakibatkan sumber-sumber yang kurang


kentara (misalnya: radiasi ultraviolet).
Kulit berfungsi sebagai medium untuk aliran darah dan ekskresi
sampah melalui kelenjar keringat. Kedua fungsi tersebut berkaitan dalam
pengaturan suhu tubuh dan hidrasi. Selain fungsi-fungsi yang lebih umum
dimengerti tadi, terdapat persarafan/inervasi sensori yang masif pada
kulit yang memungkinkan seseorang merasakan tekstur, suhu, dan
kelembaban lingkungan. Kulit juga memainkan peran berharga dalam
mengekspresikan

emosi,

dimediasi

oleh

otak,

melalui

pergerakan

perototan di bawahnya dan dilatasi atau konstriksi pembuluh-pembuluh


darah di bawahnya untuk menimbulkan perasaan malu, takut, marah,
kaget, dan banyak lainnya.
Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama: (i) epidermis, (ii) dermis,
dan

(iii)

hipodermis

(jaringan

subkutan)

(Gambar

8-1).

Epidermis

terbentuk dari lima lapisan sel epitelial squamosa, diantaranya yang

paling

umum

adalah

keratinosit.

Keratinosit

adalah

sel-sel

yang

bertanggung-jawab untuk pembentukan keratin, protein struktural dari


kulit, rambut, dan kuku. Sel-sel ini diyakini terlibat dalam proses imun
dengan pertama kali melepaskan immunoglobulin A dan kemudian
interleukin-1, yang memicu pengaktifan sel-sel T. Lapisan yang paling
dalam, stratum germinativum, juga dikenal sebagai lapisan sel basal.
Kurang lebih setengah dari keratinosit bergerak dari lapisan sel basal ke
atas melalui semua lapisan-lapisan epidermis yang lain. Sambil bergerak
melalui lapisan-lapisan, strukturnya berubah dan sel-sel mulai memipih,
kehilangan inti, dan akhirnya kering. Ketika sel-sel ini mencapai lapisan
yang paling luar, stratum corneum, mereka kemudian dikenal sebagai sel
tanduk. Inilah sebabnya stratum corneum juga disebut lapisan tanduk.
Sel-sel

tanduk

yang

mati

kemudian

luruh.

Siklus

regenerasi

ini

memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Umumnya, kandungan


kelembaban epidermis berkisar dari 10% hingga 20%. Jika kelembaban
terlalu rendah, maka dapat terbentuk kulit kering, retak, dan pecah-pecah.

Jenis sel kedua terbesar dari epidermis, melanosit, ditemukan pada


lapisan basal. Rasio keratinosit terhadap melanosit adalah 10:1. Walaupun
jumlah melanosit cukup konstan (kendati asal-asal rasial), variasi dalam
warna kulit ditentukan oleh ukuran dan jumlah melanosom, atau granul
pigmen, yang diproduksi oleh sel-sel ini. Baik ukuran maupun jumlah
melanosom lebih tinggi pada individu yang secara alamiah berkulit lebih
gelap. Melanosom bermigrasi ke seluruh keratinosit dari epidermis dan
menghasilkan pigmen warna, melanin. Individu yang berkulit lebih gelap
secara alami memiliki jumlah melanin yang lebih banyak daripada mereka
yang berkulit lebih terang.
Sel Langerhans merupakan jenis sel ketiga terbanyak pada
epidermis. Sel-sel ini ditemukan pada stratum spinosum, di atas lapisan
basal. Walaupun sel-sel ini merepresentasikan kurang dari 5% sel pada
lapisan ini, sel-sel Langerhans tetap terlibat dalam beberapa aktivitas
signifikan, termasuk produksi interleukin-1 sebagai bagian dari respon
imun, induksi penolakan transplantasi kulit, dan pembentukan dermatitis
alergi kontak.
Lapisan kedua kulit, dermis, biasanya 40 kali lebih tebal dari
epidermis dan tersusun dari bahan mukopolisakarida. Pada dermis
terdapat sel-sel mast dan fibroblast. Sel mast memiliki situs reseptor
untuk immunoglobulin E dan mengandung sejumlah senyawa penting,
seperti zat yang bereaksi lambat pada proses anafilaksis, prostaglandin E,
dan histamin. Fibroblast mensintesis komponen penunjang struktural dari
kulit (yaitu: serat-serat elastik, kolagen, dan serat retikulum).

Serat elastik (jaringan elastik) diberi nama demikian karena serat


ini yang memberi sifat elastisitas pada kulit. Komponen utama dari serat
ini adalah elastin, suatu protein amorf/tanpa bentuk tertentu. Kolagen,
suatu protein fibrosa (berbentuk serat), merupakan komponen utama
kulit, mencakup lebih dari 70% total beratnya. Dikenal sebagai jaringan
penghubung, kolagen memberikan kekuatan yang diperlukan ligamen dan
tendon untuk menahan otot dan tulang ke tempat perlekatannya. Dan
dengan demikian juga mendukung tulang rangka untuk dapat berfungsi.
Selain

itu,

kolagen

resistensi/ketahanan

pada

bertanggung-jawab
kulit

terhadap

cedera

untuk
akibat

memberi
kekuatan

eksternal. Serat-serat retikulum, yang juga merupakan bagian dari sistem


jaringan penghubung, berukuran lebih kecil dibandingkan kolagen tetapi
berfungsi kurang lebih sama.
Vaskularisasi kulit berakhir pada dermis. Arteriol dan pembuluhpembuluh limfatik yang berasal dari jaringan subkutan menyuplai
keseluruhan dermis, dan arteriol-arteriol ini menjadi kapiler-kapiler yang
menyuplai bagian lebih atas (area papilari). Selain pembuluh- pembuluh
darah, dermis mengandung sejumlah besar saraf yang berkontribusi
terhadap sensasi nyeri, suhu, gatal, dan tekanan.
Lapisan ketiga dari kulit, hipodermis (atau subkutis), tersusun atas
sel-sel lemak (jaringan adiposa), kolagen, dan pembuluh-pembuluh darah
yang lebih besar. Jaringan berlemak mempengaruhi regulasi panas tubuh
dan memberikan efek bantalan terhadap tekanan eksternal dan cedera.

Beberapa

struktur

tambahan

juga

ditemukan

pada

dermis.

Struktur-struktur ini dikenal sebagai tambahan epidermal (atau adneksa),


oleh karena mereka berakhir pada permukaan epidermal walaupun
mereka berada di dalam dermis. Mereka meliputi dua jenis kelenjar
keringat yang berbeda: unit ekrin dan apokrin. Fungsi unit apokrin pada
manusia tidak dimengerti dengan baik, tetapi unit ekrin bertanggungjawab

untuk

pembentukan

dan

ekskresi

keringat.

Unit-unit

ekrin

menyuplai semua area kulit, tetapi mereka ditemukan dalam jumlah yang
lebih besar pada aksila, dahi, dan telapak kaki dan tangan. Kelenjarkelenjar sebasea, tambahan yang lain, ditemukan pada semua area tubuh
kecuali telapak kaki dan tangan. Konsentrasi terbesar dari kelenjar ini
adalah pada kulit kepala, wajah, dan punggung. Kelenjar ini bertumbuh
dalam ukuran dan menjadi aktif saat pubertas seiring dengan peningkatan
produksi hormon-hormon androgenik. Kelenjar-kelenjar sebasea hampir
selalu melekat pada folikel rambut; pengecualian pada sekitar areola
perempuan, kulup, perbatasan bibir, dan kelopak mata. Kelenjar sebasea
memproduksi sebum, campuran berlilin yang menghidrasi kulit dan
rambut.
Ketebalan dari stratum korneum adalah sama baik pada orang
berkulit gelap atau terang, tetapi densitas lapisan-lapisan ini berbeda.
Akan tetapi, makna perbedaan ini tidak diketahui. Perbedaan pada
pigmentasi kulit, yang disebabkan oleh jumlah melanin, mempengaruhi
jumlah

radiasi

ultraviolet

(UV)

yang

mempenetrasi

kulit.

Hal

ini

mengurangi kerusakan terhadap kulit baik dari radiasi UVA maupun UVB.

Orang dengan kulit gelap, memiliki kecenderungan lebih besar terhadap


kelainan-kelainan hipo- dan hiperpigmentasi dan terhadap penyakitpenyakit seperti bullous lupus erythematosus. Tidak diragukan lagi,
terdapat

perbedaan-perbedaan

pada

struktur

kulit

individu-individu

berkulit gelap dibandingkan dengan individu-individu yang berkulit terang.


Kelainan-kelainan

tertentu

memiliki

presentasi

yang

berbeda

pada

individu-individu berkulit gelap, dan kelainan-kelainan lain hampir selalu


unik pada individu-individu yang sama. Hal yang paling penting adalah
bahwa perbedaan-perbedaan berdasar pada ras memang terjadi, dan
bahwa kemungkinan ini harus diperhitungkan saat mengkaji pasien.

Anda mungkin juga menyukai