Bentuk sediaan ini umumnya digunakan untuk memberikan efek lokal pada atau di dalam kulit.
Terdapat tiga macam bentuk sediaan setengah padat: Salep (unguentum), Krim (cream), Pasta.
Salep (unguentum).
Salep adalah gel dengan perubahan bentuk plastis, digunakan untuk kulit sehat, sakit atau terluka atau
pada selaput lendir (hidung, mata). Sediaan salep mengandung bahan obat yang terlarut (salep larutan)
atau bahan obat yang tersuspensi (salep suspensi) dalam dasar salep.
Menurut daya terapinya, salep dapat dibagi sebagai berikut:
a. Salep epidermik : yaitu salep yang dimaksudkan bekerja hanya pada permukaan kulit dengan efek
lokal. Pada umumnya digunakan sebagai pelindung, antiseptik, adstringensia dan parasitisida.
Dasar salep yang digunakan adalah vaselin.
b. Salep endodermik : yaitu salep yang dimaksudkan untuk melepaskan obat agar memasuki kulit,
tetapi tidak menembus kulit, sebagian diserap dan bersifat sebagai emollientia, stimulantia dan
lokal irritant. Dasar salep yang digunakan adalah minyak tumbuhan dan minyak alami.
c. Salep diadermik : yaitu salep yang dapat melepaskan obat menembus kulit dan menimbulkan efek
konstitusi. Salep diadermik hanya untuk pemakaian khusus misal: bahan obat berupa senyawa
raksa, iodida, belladona. Dasar salep yang baik adalah: lanolin, adeps lanae, oleum cacao.
Menurut dasar salepnya, terdapat 2 jenis salep:
I.
Salep hidrofob : yaitu salep dengan dasar berlemak, mengandung campuran lemak, minyak,
malam dan tidak dapat dicuci dengan air. Contoh: salep benzocaina FI.
II.
Salep hidrofil : yaitu salep dengan dasar salep emulsi w/o atau o/w, mempunyai daya serap
air cukup besar. Salep jenis ini lebih mudah dicuci dengan air, terutama dasar salep o/w.
Tct. Opii, ekstrak liquidum. Bila zat berkhasiat mudah menguap, tidak tahan pemanasan maka
campurkan sedikit-sedikit.
Contoh resep
1.
Dr. Dimas
SIP 1231/IP/2000
Jl. Mahakam 5 Palembang
2.
Dr. Nadia
SIP 4311/IP/2001
Jl.Musi 8 Palembang
: Yuni
Krim
Krim merupakan sediaan setengah padat , berupa emulsi, mengandung air tidak kurang dari 60%.
Sediaan untuk kosmetika mengandung air lebih besar dari 60%. Krim dimaksudkan untuk terapi lokal,
selain untuk kulit juga untuk membran mukosa. Dasar krim adalah emulsi tipe w/o atau o/w.
Pada pembuatan emulsi sebagai dasar krim digunakan suatu emulgator agar dasar krim tidak rusak
(stabil). Emulgator yang sering digunakan: emulgide, trietanolaminstearat (TEA ).
Krim stearat dibutuhkan dalam kosmetik sebagai vanishing cream, sebagai emulgator adalah garamgaram natrium, kalium, atau ammonium dari asam stearat seperti trietanolaminstearat. Untuk
penyiapannya digunakan komponen alkali dan asam stearat dalam suatu perbandingan, sehingga
terbentuk 15 20% senyawa garam. Penambahan gliserol 10% sebagai pelembut atau pelunak, lihat
komposisi dasar krim C (krim stearat beralkali lemah dengan pH 7,2 8,4, perhatikan pH lingkungan
kulit 4,8 5,8).
Komposisi dasar krim
A. Oleum sesami
15
Emulgide
15
Aqua ad
100
B. Oleum sesami
Emulgide
Aqua ad
30
10
100
Pasta
Pasta adalah sediaan setengah padat berupa massa lembek, dibuat dengan mencampurkan bahan padat
dalam vaselin atau bahan lain yang cocok. Konsentrasi bahan padat yang diperlukan untuk
pembentukan pasta umumnya 30 70%. Untuk penyiapan pasta, serbuk terdispersi halus
disuspensikan dalam fase luar, bila digunakan pembawa salep sebagai bahan dasar, boleh dipanaskan
atau dileburkan. Secara terapeutik pasta berada di antara salep dan bubuk. Pasta bekerja pada
permukaan kulit. Sifat menghisap dan sifat mengeringkannya digunakan untuk penanganan Pasta
dioleskan dulu pada kain kasa sebelum digunakan.
Sediaan dalam bentuk pasta berfungsi sebagai: pengobatan setempat, pelindung atau pembersih dan
pengering.
Contoh resep
1.
Dr. Hanan
SIP 552/IP/1993
Jl. Serayu 8 Palembang
2.
Dr. Mita
SIP 333/IP/1999
Jl. Nuri 2 Palembang
0.5
2.0
3.0
10
0.5
1.0
2.0
1.0
10
Pro: Menik
GUTTAE
Yang dimaksud dengan sediaan guttae atau obat tetes adalah sediaan cair berupa larutan, suspensi atau
emulsi yang dimaksudkan untuk pemakaian dalam atau luar, digunakan dengan cara meneteskan
menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku
Farmakope Indonesia.
Guttae diberikan untuk pemakaian dalam dan pemakaian luar, contoh guttae untuk pemakaian dalam
adalah obat tetes yang diberikan secara oral antara lain : vitamin, antibiotika, obat penurun panas, dan
lain-lain.
Guttae yang diberikan untuk pemakaian luar :
a. Guttae auriculares (tetes telinga)
Kecuali dinyatakan lain, sediaan tetes telinga dibuat dengan menggunakan cairan pembawa,
mempunyai kekentalan yang sesuai agar obat mudah menempel pada dinding telinga. Pembawa
yang sering digunakan : gliserol, propilenglikol, dapat juga digunakan etanol, heksilenglikol,
minyak lemak nabati.
a. Guttae nasales (tetes hidung)
Sediaan yang digunakan untuk hidung dengan cara meneteskan obat ke dalam rongga hidung,
dapat mengandung bahan pensuspensi, bahan dapar, dan pengawet. Pembawa yang digunakan
biasanya air, apabila digunakan pembawa selain air maka sedapat mungkin mempunyai pH
antara 5,5 sampai 7,5, kapasitas dapar sedang.
b. Guttae opthalmicae ( tetes mata)
Sediaan steril berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk mata dengan cara meneteskan
obat pada selaput lendir mata sekitar kelopak mata . Sediaan tetes mata harus memenuhi
syarat dalam hal : sterilitas dan kejernihan (untuk larutan).
Pada sediaan guttae perlu ditambahkan bahan pengawet, terutama sediaan tetes mata dosis ganda.
Contoh bahan pengawet : tiomersal 0,002%, garam fenilmerkuri 0,002%, klorheksidin 0,0005%0,01%, bensilakohol 0,5%-1.0%.
Hal yang perlu diperhatikan pada pembuatan sediaan guttae :
1. Kelarutan dan sifat bahan obat harus diketahui. Karena volume yang dibuat pada umumnya
kecil, maka pada saat melarutkan bahan obat perlu diperhatikan cara melarutkannya.
2. Sediaan tetes mata berupa larutan harus jernih, maka perlu dilakukan penyaringan dua kali.
Oleh karenanya pada pembuatan volume yang dibuat ditambah 20% dari volume yang
diminta.
TONISITAS
Suatu larutan dikatakan mempunyai tonisitas yang sama dengan serum atau cairan mata atau
ISOTONIS apabila :
1. Mempunyai titik beku yang sama dengan serum atau cairan mata yaitu 0.52 (dihitung
berdasarkan penurunan titik beku zat berkhasiat).
2. Mempunyai konsentrasi sama dengan serum yaitu 0.3 M (dihitung berdasarkan molaritas
larutan zat berkhasiat).
3. Mempunyai tonisitas sama dengan 0,9% NaCl (dihitung berdasarkan ekivalensi zat berkhasiat
dengan NaCl).
Suatu larutan dapat bersifat hipertonis atau hipotonis. Apabila suatu larutan hipertonis akan dibuat
isotonis maka konsentrasi bahan yang harus dikurangi, sedangkan untuk larutan hipotonis harus
ditambahkan suatu bahan pengisotoni hingga mencapai tonisitas yang sama dengan serum.
Contoh resep:
1.
Dr. Andra
SIP : 324/IP/1985
Jl. Merawan no. 5 Plg
Plg, 4 Nov 2012
R /
Pilokarpin HCl
1%
Zink Sulf.
1%
Aqua ad
20 ml
Mfla gutt.Opht.isot.
S tdd gtt. IV o.s.
Pro : Nurma
Dr. Fathia R
SIP :2345/IP/2000
Jl. Diponogoro no. 1 Plg
2.
Albucid HCl
5%
Lidokain HCl
1%
Aqua ad
10 ml
Mfla gutt.auric. isotoni
S t dd gtt. III a.s.
Pro : Bani
Tugas praktikum :
1. Membuat obat bentuk setengah padat dan cair
2. Membuat laporan (jurnal praktikum)
5. ETIKET :
5. ETIKET :
M.Kes.
S.I.P.F. : 012/2003
S.I.A. : 123//2003
Plg,
No.
Pro.
LABEL : a.
Kocok dulu
Daftar Pustaka
1. Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan R. I, 1985.
2. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan R. I, 1995.
3. Gennaro, Alfonso R, Remington : The Science and Practice of Pharmacy, Vol. II, Mack
Publishing Company, Pennsylvania, 1995.
4. Glenn L, et al, Scovilles : The Art of Compounding, The Blakiston Division, New York,
1957.
5. Hoover, John E, Dispensing of Medication, Mack Publishing Company, New York, 1976.
6. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan ke Farmasian, Departemen Kesehatan R.I, 1984.
7. Lund, Walter., The Pharmaceutical Codex, The Pharmaceutical Press, London, 1994.
8. Nanizar., Z.J., Ars Prescribendi 1, Airlangga University Press, Surabaya, 1995.
9. Nanizar., Z.J., Ars Prescribendi 2, Airlangga University Press, Surabaya, 1995.
10. Nanizar., Z.J., Ars Prescribendi 3, Airlangga University Press, Surabaya, 1995.
11.Todd. R.g., Parmaceutical handbook, The Pharmaceutical Press, London, 1970.
12. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Bidang Narkotika, Psikotropika dan Bahan
Berbahaya, Departemen Kesehatan R.I, 1997.