Anda di halaman 1dari 42

Kemoterapi Pada Karsinoma Nasofaring

(Keganasan Kepala dan Leher)


Widodo Ario Kentjono
Ketua KODI Onkologi Bedah Kepala dan Leher - Perhati-KL
Ketua Dept / SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
FK Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu penyakit
kanker yang "ditakuti", karena sering menimbulkan penderitaan
(morbiditas) dan bahkan kematian (mortalitas). Sampai sekarang,
KNF masih merupakan kanker di daerah kepala dan leher yang paling
sering diketemukan di Indonesia maupun negara negara di Asia Tenggara
umumnya seperti China (terutama provinsi Guangdong), Hongkong,
Taiwan dan Singapore. Penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
selama periode 1996-2000 didapatkan 887 penderita KNF (41,90%) dari
2119 penderita tumor ganas yang berobat (Reksoprawiro, 2001).
Berdasarkan data kombinasi klinik dan patologi dari berbagai RS di
Indonesia KNF menempati urutan ke enam dari tumor ganas tubuh
manusia setelah kanker leher rahim, hati, payudara, paru dan kulit
(Roezin, 1997). Insidens KNF di Indonesia berdasarkan data patologi di
berbagai kota besar (laporan tahun 1979) sekitar 4,7 kasus per 100.000
penduduk. Berdasarkan data riset terbaru, dilaporkan insidens KNF
sebesar 6,2 kasus per 100.000 penduduk pertahun (Adham et al, 2012).
Modalitas terapi utama untuk KNF adalah radioterapi (Lin, 1999) dengan
overall response rate sekitar 25% - 65% dan CR sekitar 50% (Nell, 1993).
Respons KNF terhadap radiasi dilaporkan lebih meningkat bila
dikombinasi dengan kemoterapi seperti Cisplatin, 5-Fluorourasil,
Hydroxyurea dan Mytomicin C (Zidan, 1986; Choksi, 1988; Isobe, 1988;
Sugiarto, 1994; Isobe, 1998; Sarraf, 1998; Rodriques, 1998; Hasbini,
1999). Faktor etiologi Karsinoma nasofaring yang terpenting adalah
1

Epstein Barr virus, faktor lainnya karsinogen lingkungan dan genetik.


Oleh karena nasofaring terletak di kepala, karsinoma nasofaring
dimasukkan dalam kelompok keganasan kepala dan leher (head and
neck cancer / or malignancy).
Prevalensi keganasan di daerah kepala dan leher sekitar 5 % dari
seluruh penderita keganasan yang datang berobat. Dari berbagai laporan
disebutkan bahwa keganasan di daerah kepala leher saat ini masih
merupakan masalah besar kesehatan di dunia, dengan estimasi 500.000
kasus baru setiap tahunnya (Agarwala, 1999). Di Amerika Serikat,
diketemukan sekitar 40.000-43.000 kasus baru squamous cell
carcinoma of the head and neck (SCCHN) setiap tahunnya
(Forastiere, 1994; Aisner et al, 1994; Agarwala, 1999). Penelitian di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode tahun 1996 - 2000 oleh
Reksoprawiro (2001) didapatkan 2119 penderita tumor ganas kepala-leher
dengan rincian karsinoma nasofaring (41,90%), kanker di laring (11,94%),
rongga hidung (11,51%), rongga mulut (10,52%), tonsil (7,74%), tiroid
(5,80%), sinus maksila (4,95%), parotis (2,31%), telinga/mastoid (1,42%),
esofagus (0,85%), hipofaring (0,75%) dan mandibula (0,75%). Keganasan di
daerah kepala leher ini kebanyakan (> 75 %) jenis karsinoma sel skuamosa
yang tergolong reiatjf radiosensitif. Kurang lebih sepertiganya masih stadium
dini yang dapat diatasi (cure) dengan pembedahan atau radioterapi. Duapertiganya sudah berada dalam stadium lanjut lokal (locally advanced
disease) yang berdasarkan banyak penelitian sekitar 60% diantaranya
akan mengalami kekambuhan (locoregional relapse) dalam waktu 2 tahun.
Sekitar kurang dari 20% ditemukan metastase jauh saat pertama kali
berobat (Agarwala, 1999). Menurut Ainer et al (1994) sebanyak 35% 48% penderita sudah stadium regionally advanced.
Pilihan pengobatan primer penyakit kanker masa kini tidak
hanya melalui pembedahan melainkan dapat berupa radiasi atau
pemberian obat-obat antikanker yang lazim disebut kemoterapi atau
sitostatika. Pada umumnya, penderita karsinoma sel skuamosa di
daerah kepala dan leher stadium lokoregional secara tradisional dilakukan
pembedahan (aggresive surgical resection) dengan atau tanpa pemberian
radioterapi. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 50% kasus yang tidak
2

mengalami metastasis, beberapa bulan atau tahun pasca pembedahan dan


radioterapi diketemukan metastasis ke organ yang letaknya jauh. Penyebab
kematian yang sering dijumpai adalah rekurensi lokoregional sebesar 40%60% dan metastasis jauh 20-30%. Dengan cara pengobatan seperti ini
dilaporkan angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar antara 0% - 40%
tergantung dari lokasi, stadium (TNM) dan resektabilitas (Agarwala,
1999). Sedangkan penderita karsinoma nasofaring yang mendapat
radioterapi sebagai terapi utama dilaporkan overall response rate (OR)
sekitar 25% - 65% dan respons lengkap (CR) sekitar 50% (Nell, 1993).
Menurut Sham (1989) kegagalan radioterapi dalam membunuh sel kanker
baik yang ada di nasofaring maupun metastasisnya di leher pada KNF
stadium lanjut sangat tinggi, locoregional failure sekitar 50% - 80% Oleh
karena basil pembedahan dan/atau radioterapi pada tumor ganas di daerah
kepala dan leher masih kurang memuaskan, para ahli berupaya mencari
cara pengobatan lainnya yang dapat meningkatkan kontrol lokoregional,
sekaligus meningkatkan longterm cure rates atau survival rate (Price, 1987;
Forastiere, 1994; Agarwala, 1999).
Sejak diketemukannya sitostatika, obat anti kanker ini telah diteliti
manfaatnya dalam pengobatan berbagai penyakit kanker termasuk
keganasan THT - kepala leher. Kemoterapi umumnya diberikan pada
kasus rekuren atau yang telah mengalami metastasis jauh sebagai
altematif terapi terakhir yang sudah diakui sebagai indikasi standar.
Berdasarkan penelitian random yang dilakukan para ahli dengan
menggunakan berbagai regimen kemoterapi disimpulkan bahwa
kemoterapi yang diberikan sebelum terapi definitif (pembedahan, radioterapi)
atau bersamaan dengan radioterapi dapat menurunkan angka
kekambuhan tumor pada penderita keganasan di daerah kepala dan
leher. Kemoterapi induksi (neoadjuvant) yang diberikan pada penderita
tumor ganas kepala-leher stadium III dan IV didapatkan overall response
rate 80% - 90% dan CR sekitar 50% (Sarraf, 1994). Sedangkan
kemoradioterapi concomitant yang diberikan pada keganasan kepala
leher stadium lanjut lokal dilaporkan angka respons secara keseluruhan
sebesar 70% - 100% dan CR mencapai 95%. Kemoterapi adjuvan
dilaporkan efektif meningkatkan kontrol lokal, mencegah (prevensi)
3

metastasis jauh dan memberantas (eliminasi) sel kanker yang tidak tampak
atau mikrometastasis (Ervin et al, 1984; Cognetti et al, 1987; Forastiere, 1994;
Abithol et al, 1995; Claik et al, 1997; Yeo et al, 1998; Agarwala, 1999).
Pada makalah ini akan dibahas berbagai informasi dasar mengenai
kemoterapi pada penderita karsinoma nasofaring (keganasan kepala dan leher),
regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada karsinoma nasofaring maupun
keganasan kepala-leher lainnya dan laporan hasil penelitian pemberian
kemoterapi pada penderita karsinoma nasofaring dan keganasan di daerah kepala
dan leher lainnya.
1. Dasar biologi terapi sistemik pada kanker
Obat sitotoksik mempunyai efek primer pada sintesis atau fungsi makro
molekul, yaitu mempengaruhi DNA, RNA atau protein yang berperan dalam
pertumbuhan sel kanker, sehingga sel kanker menjadi mati. Oleh karena itu
sebagian besar obat sitotoksik tidak efektif terhadap sel-sel pada fase G 0
karena sel tersebut relatif inaktif, artinya tidak ada sintesis makro molekul.
Dari berbagai studi diketahui kematian sel tidak terjadi pada saat sel
terpapar dengan obat. Seringkali suatu sel harus melalui beberapa tahap
pembelahan sebelum kemudian mati. Oleh karena hanya sebagian sel yang
mati akibat obat yang diberikan, maka dosis kemoterapi yang berulang harus
terus diberikan untuk mengurangi jumlah sel kanker yang ada. Terdapat
hubungan terbalik antara jumlah sel dan kurabilitas obat kemoterapi.
Berdasarkan model pada tikus, efek sitotoksik dari obat anti kanker bersifat
logaritmik. Secara umum suatu obat diperkirakan membunuh sel tumor dalam
fraksi yang konstan, artinya jika suatu obat membunuh sel kanker log 3,
berarti akan mengurangi tumor dari 1010 menjadi 107 sel. Dosis yang sama
juga akan mengurangi 105 sel tumor menjadi 102 sel. Jika terapi gagal
membunuh galur sel yang sensitif, hal ini disebabkan karena pada awalnya
jumlah sel asal terlalu tinggi untuk dosis kuratif potensial dari obat tersebut.
Sel kanker dapat terdeteksi secara klinis setelah berjumlah 10 9 sel dan tidak
menunjukkan respon terhadap terapi setelah berjumlah 1012 sel.
2. Siklus sel dan obat sitotoksik
Sel tubuh tumbuh secara alamiah mengikuti alur atau fase fase
4

pertumbuhan. Fase pertumbuhan sel ini mengikuti siklus tertentu yang disebut
siklus sel (cell cycle). Dari berbagai studi diketahui adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker
dan sel normal. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan dan pembelahan
antara sel kanker dan sel normal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan dengan kemoterapi. Jaringan tubuh (normal) yang cepat proliferasi
(mis. sumsum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan) lebih mudah
terkena efek dari obat sitostatika. Sel kanker kebanyakan menjalani siklus lebih
lama dari sel normal, sehingga akan lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika.
Pemahaman mengenai siklus sel ini merupakan titik tolak dari cara kerja
obat anti kanker.

Gambar 1. Sistematika siklus pembelahan sel.


Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan
dengan pembelahan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang
sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel
dalam keadaan istirahat. Obat sitostatika ini dibuat berdasarkan perbedaan
perangai sel kanker dan sel normal. Sitostatika hanya aktif terhadap sel yang
sedang membelah.Mekanisme kerja obat sitostatika terutama pada DNA
yang merupakan komponen utama gen yang mengatur perrumbuhan dan
diferensiasi sel. Cara kerja dari masing-masing obat sitostatika pada sel
5

kanker tidak sama, ada kerjanya 1) menghambat atau mengganggu sintesis


DNA (mis. DNA precursor inhibition, DNA alkylation, inhibition synthesis
poteins, periribosomal DNA and RNA inhibition), 2) merusak replikasi
DNA ( mis. DNA strand scission by free radicals, DNA intercalation), 3)
mengganggu transkripsi DNA oleh RNA (mis. DNA cross linking,
inhibition of topoisomerase 1 or and II, RNA synthesis inhibition, free
radical formation), dan 4) mengganggu kerja gen {mis. DNA polymerase
repair inhibition, alkylation of cellular thiols, binding to microsomal
proteins).
3. Pembagian dan mekanisme kerja sitostatika
Sitostatika adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti
kanker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents),
tetapi kebanyakan kombinasi obat karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Alasan lainnya, sel-sel yang resisten terhadap
salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Selain itu, dosis masing
masing obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
Sitostatika menurut asal dan mekanisme kerjanya dapat dibagi dalam
4 golongan yaitu: (Fisher, 1997)
1. Anti metabolit
mis.: Cytarabine, 5-Fluorouracil, Gemcitabine, Hydroxyurea,
Mercaptopurine, Methotrexate, Gemcitabine.
2. Zat pengalkil (alkylating agents)
mis. : Busulvan, Nitrogen mustart, Cyclophosphamide, Chlorambucil,
Melphalan, Cisplatin, Carboplatin, Dacarbazine, Ifosfamide,
Procarbazine, Thiotepa.
3. Produk alamiah (natural products)
mis. : Vinblastine, Vincristine, Dactinomycin, Daunorubicin,
Docetaxel, Doxorubicin, Bleomycin, Etoposide, Idarubicin,
Mitomycin, Anthracyclin, Mtoxantrone, Paclitaxel.
4. Hormon
mis. Tamoxifen
Obat sitotoksik dapat di kategorikan menjadi:
6

1.
2.
3.

obat yang efektif pada fase tertentu dari siklus sel {phase-specific drug)
obat yang efektif pada sel yang berada pada siklus sel, namun tidak
tergantung pada fase nya (cell cycle-specific drug)
obat yang efektif baik saat sel berada pada siklus sel ataupun istirahat (cell
cycle-non specific drug).

Obat kategori pertama yang bekerja pada fase S contohnya adalah


antimetabolit (mis. Sitarabin, Fluorourasil, Gemsitabin, Metotreksat,
Tioguanin dan Fludarabin) yang mengganggu sintesis DNA atau
topoisomerase I (topotecan) yang mengganggu struktur DNA. Obat yang
bekerja pada fase G2 adalah antibiotika (mis. Bleomisin), inhibitor
topoisomerase II (Etoposid) serta stabilisator /polimerisator mikro tubulus
(mis. Paclitaxel). Obat yang bekerja pada fase M dengan cara
mengganggu regregasi kromosom adalah golongan alkaloid vinka (mis.
Vinblastin, Vinkristin, Vindesin, Vinorelbin).
Obat yang tidak tergantung sel berada di fase manapun adalah sebagian
besar obat alkilator (mis. Klorambusil, Siklofosfamid, Melfalan, Busulfan,
Dakarbazin, Cisplatin, Karboplatin) dan antibiotika (mis. Daktinomisin,
Daunorubisin, Doksorubisin, Idarubisin). Sebenarnya obat-obatan ini tidak
benar-benar non spesifik karena mereka tetap menunjukkan efektifitas yang
lebih besar pada suatu fase dibandingkan fase yang lain namun derajatnya
tidak sama dengan obat yang fase spesifik.
Pemberian obat kategori ketiga serupa dengan pemberian iradiasi foton,
sehingga tidak tergantung apakah sel berada pada siklus sel atau tidak.
Contohnya nitrogen mustard (mis. Mekloretamin) dan nitrosourea (mis.
Karmustin, Lomustin).
Menurut Brown (1996) obat anti kanker yang tergolong cell cycle
nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme berinteraksi
dengan DNA yang berakibat reaksi substitusi, cross-linking terhadap DNA
atau strand breaks sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase Gl dan G2).
Doxorubicin (fase SI, G2, M), 5-FluorouraciI (fase Gl, S, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M) dan MTX (bekerja pada beberapa fase,
terutama fase GI).
Sebagian besar obat sitotoksik menunjukkan variasi toksisitas
7

letal pada sepanjang siklus sel. Sebagian besar anti metabolit menimbulkan
toksisitas letal hanya pada sel-sel yang mensintesis DNA, misalnya
metotreksat dan doksorubisin mempunyai toksisitas maksimum untuk fase S.
Banyak obat dari golongan ini onset atau kelanjutan sintesis DNA dari sel
yang lolos dari terapi.
Terjadinya toksisitas letal pada suatu siklus sel tidak selalu sinkron
dengan mekanisme kerja suatu obat. Vinkristin dan Vinblastin diketahui
mengganggu pembentukan mitotic spindle yang mengakibatkan terhentinya
sel pada fase mitosis.

Gambar 2. Mekanisme kerja obat anti kanker pada level sel.


Namun penelitian menunjukkan bahwa efek letal dari obat ini terjadi
8

ketika sel berada pada fase S, yaitu ketika pembentukan mitotic spindle
dimulai. Docetaxel dan paclitaxel yang bekerja dengan menstabilisasi tubulin
mempunyai efek letal pada siklus sel yang berbeda. Docetaxel
memberikan efek toksik maksimal pada fase S sedangkan paclitaxel
menunjukkan peningkatan toksisitas pada sel-sel yang meninggalkan
fase S melalui fase G2, masuk ke fase M.

Gambar 3. Diagram tempat kerja obat anti kanker dalam siklus sel.
4. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kemoterapi
Umumnya obat anti kanker ini sangat toksis, sehingga
penggunaannya perlu hati-hati" dan atas indikasi yang tepat. Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam merencanakan kemoterapi adalah rejimen
pengobatan, dosis, cara pemberian dan jadwal pemberian. Faktor penderita
yang harus diperhatikan adalah usia, status gizi, status penampilan serta fungsi
paru, ginjal, hati, jantung dan penyakit penyerta lainnya. Faktor yang
berhubungan dengan tumor adalah jenis dan derajat histologi, tumor primer
atau metastasis, lokasi metastasis serta ukuran tumor.
Menurut Soebandiri (1988) pemberian kemoterapi pada penderita
9

kanker harus "rasional" yaitu bila telah memenuhi 5 tepat yang meliputi 1)
tepat indikasi, 2) tepat obat, 3) tepat dosis, 4) tepat cara pemberian, dan 5)
tepat cara pemantauan.
Sangat penting menentukan keadaan umum dari penderita sebelum
pengobatan dengan kemoterapi. Dengan menilai keadaan umum penderita
akan dapat diketahui sampai berapa besar pengaruh kanker terhadap
penderita, serta dapat diperkirakan dampak yang mungkin timbul apabila
diberikan obat-obat anti kanker. Penilaian keadaan umum dititik beratkan pada
kemampuan penderita tersebut melakukan aktifitas. Ada beberapa cara
menentukan keadaan umum penderita kanker antara lain skala Karnofsky dan
skala ECOG. Pada awalnya sering digunakan skala Karnofsky, namun
sekarang jarang digunakan karena dinilai terlampau rumit sehingga sulit
dihapal, lagi pula kurang mempunyai arti klinik yang berarti.
Tabel 1. Penentuan keadaan umum berdasarkan skala Kamofsky
Kemampuan
Fungsional
Mampu melaksanakan
aktivitas normal
Tidak perlu Perawatan
khusus
Tidak mampu bekerja,
bisa tinggal di rumah
Perlu bantuan dalam

Tak mampu merawat diri,


perlu perawatan di rumah
sakit atau lembaga lain

Derajat aktifitas
100% normal tanpa keluhan tidak
ada kelainan
90% keluhan gejala minimal
80% normal dengan beberapa keluhan
gejala
70% Mampu merawat diri, tak
mampu melakukan aktivitas normal atau
bekerja
60% kadang-kadang perlu bantuan tetapi
umumnya dapat melakukan untuk
keperluan sendiri
50% perlu bantuan dan umunya perlu
obat-obatan
40% perlu bantuan dan perawatan khusus
30% perlu pertimbangan-pertimbangan
masuk rumah sakit

10

20% sakit berat, perawatan rumah sakit,


pengobatan aktif supportif sangat perlu
10% mendeteksi ajal
0% meninggal
Skala ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group) lebih sering
digunakan oleh karena lebih mudah diingat dan masing-masing skala lebih
mempunyai arti klinik.
Tabel 2. Penentuan keadaan umum berdasarkan skala ECOG
Derajat
Tingkat aktivitas
0
Aktif, mampu melakukan semua aktivitas seperti pada saat
sebelum sakit (Karnofsky 90-100)
1
Mampu melakukan pekerjaan ringan sehari-hari seperti
pekerjaan rumah, pekerjaan kantor dsb (karnofsky 70-80)
2

Mampu merawat diri sendiri tetapi tidak mampu bekerja


ringan sehari-hari (lebih dari 50% jam kerja dan sesuai
dengan Karnofsky 50-60)
Dalam batas tertentu mampu merawat diri sendiri, sebagian
besar berada diatas tempat tidur atau kursi (lebih dari 50%
jam kerja dan sesuai dengan Karnofsky 30 - 40)
Tidak mampu berbuat apa-apa hanya tidur atau duduk di
tempat tidur, kursi (Karnofsky 10-20)

Dengan menggunakan skala keadaan umum tersebut diatas, dapat


diperkirakan atau diduga apakah seseorang yang mengidap penyakit
kanker masih mungkin untuk diobati dengan kemoterapi atau tidak,
mengingat dampak efek samping obat yang mungkin terjadi. Penderita
dengan skala ECOG makin rendah, makin memungkinkan untuk
mendapatkan pengobatan khususnya pengobatan dengan kemoterapi.
Pada penderita dengan ECOG derajat 4, sebaiknya tidak diberikan
kemoterapi sebab hasil pengobatan umumnya minimal, sedangkan efek
samping yang timbul akan lebih besar.
11

5. Indikasi kemoterapi untuk keganasan kepala dan leher


Karsinoma nasofaring. Phase Il Intergroup Study 0099
menunjukkan meningkatnya survival dan manfaat pemberian
kemoterapi (Cisplatin/5-FU) dibandingkan radioterapi saja untuk kanker
nasofaring stadium II dan IV ( 3-year survival: 76% dibandingkan 46%,
p<0,001). (J. Clin Oncol. 1998; 16:1310-1317)
Kanker kepala dan leher yang lanjut, atau unresectable. Phase
II Multicenter Study menunjukkan meningkatnya survival dan manfaat
pemberian concomitant chemotherapy (Cisplatin/5-FU) dan radioterapi
dibandingkan radioterapi saja untuk pengobatan kanker kepala dan leher yang
sudah tidak dapat lagi dilakukan reseksi {3-year survival: 48% versus 24%,
p<0,0003). (J. Clin Oncol. 1998; 16:1318-1324)
Preservasi organ laring. Veterans Affairs Laryngeal Study Group
menunjukkan induction chemotherapy (Cisplatin/5-FU) dilanjutkan dengan
radioterapi untuk penderita yang memilih preservasi organ laring, dengan hasil
parsial atau lengkap (2 year survival untuk keduanya: 68%, p=0,98) (N Engl J
Med. 1991; 324:1685-1690)
Preservasi organ sinus piriformis. Phase III European
Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) menunjukkan
tidak ada perbedaan survival antara induction chemotherapy (Cisplatin/5-FU)
dilanjutkan ajuvan radioterapi dibandingkan pembedahan untuk kanker
hipofaring stadium lanjut (5-year survival: 30-35%), kelompok yang mendapat
induction kemoterapi sekitar separoh pasien dapat hidup 3 tahun dengan laring
yang masih utuh (J Natl Cancer Inst. 1996; 88:890-899)
Tumor rekuren dan metastasis jauh. Secara tradisional untuk
kanker kepala dan leher, terutama untuk paliasi kanker yang rekuren,
unresectable atau incurable dengan metastasis jauh.
6. Kontra indikasi pemberian kemoterapi
Kontra indikasi absolut adalah penyakit terminal (harapan hidup
sangat pendek), kehamilan trisemester pertama, septikimia dan koma. Kontra
indikasi relatif adalah bayi dibawah 3 bulan, usia tua terutama pada
penderita kanker yang tumbuh lambat dan kurang sensitif terhadap
12

kemoterapi, status penampilan buruk (kurang dari 40%), terdapat gagal organ
yang parah, metastase otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi),
demensia, penderita tidak dapat datang secara regular, penderita tidak
kooperatif serta jenis kanker yang resisten terhadap obat anti kanker.
7. Cara pemberian kemoterapi
Menurut prioritas indikasinya terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaktis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak
dapat mandiri. Artinya terapi adjuvan tersebut hams menyertai terapi
utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar supaya hasilnya
lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi
memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utama yang maksimal 1)
kankernya masih ada (VC/ biopsi masih positif) dan 2) kemungkinan besar
kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis
(Soebandiri, 1995). Kemoterapi adjuvan (tambahan) juga diberikan pada
tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya, kemoterapi adjuvan pada keganasan
termasuk keganasan kepala dan leher dibagi menjadi:
1) neoadjuvant or induction chemotherapy,
2) concurrent, simultaneous or concomitant chemoradiotherapy, dan
3) post definitive chemotherapy.
Menurut Agarwala (1999) semua kemoterapi yang diberikan untuk
menangani tumor lokoregional merupakan terapi adjuvan.
Kemoterapi neoadjuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya
tumor sebelum pembedahan atau radioterapi. Pemberian kemoterapi
neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak
sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis
sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala
leher stadium II dan IV dilaporkan overall response rate sebesar 80% - 90%
dan CR sekitar 50% (Sarraf, 1994). Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan
13

sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ


pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Misalnya pada
penderita karsinoma Iaring yang tetap ingin mempertahankan fungsi
bicaranya (Vokes, 1993; Urba et al, 2000). Kerugian pemberian kemoterapi
neoadjuvan antara lain tumor terus tumbuh makin membesar (oleh karena
tumor tidak responsif terhadap kemoterapi yang diberikan), status
penampilan (performance) menurun akibat timbulnya efek samping yang
berat dan tertundanya tindakan pembedahan yang seharusnya dapat
dilakukan lebih awal. Bahkan pada tumor yang tumbuh progresif, tindakan
pembedahan yang kemudian dilakukan tidak dapat radikal (Clark, 1997;
Rodriques, 1998; Urba, 2000).
Kemoradioterapi konkuren yaitu kemoterapi yang diberikan secara
bersamaan dengan radioterapi. Kemoterapi disini dimaksudkan untuk
mempertinggi hasil radioterapi, melalui peningkatan sensitisasi sel kanker
terhadap radiasi. Biasanya diberikan seminggu sekali (weekly). Oleh karena
itu tidak diberikan dosis penuh, tetapi sepertiga atau seperempatnya. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif baik lokal
maupun yang berada di organ jauh (micrometastses), atau mengubah sel
kanker yang resisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi sehingga
dapat meningkatkan daya bunuh terhadap sel kanker. Kemoterapi disini
bertindak sebagai radiosentitizer. Keuntungan kemoradioterapi yang lain
adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh
subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada
sel kanker yang sublethal. Kelemahan cara mi adalah meningkatnya efek
samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping
yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi
Toksisitas dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Untuk mengurangi
efek samping tersebut, diberikan kemoterapi tunggal (single agent
chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer).
Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil
dan MTX dengan response rate 15% - 47% (Khandekar, 1992). Obat
sitostatika lainnya yang akhir akhir ini sering dipakai yaitu golongan Taxane
(mis. Docetaxel, Paclitaxel). Cisplatin mempunyai efek merusak DNA (dan
14

RNA) secara langsung (intra strand cross link). Cisplatin bekerja sinergistik
dengan radioterapi melalui kemampuannya menghambat DNA repair pada
sel kanker yang menerima dosis sub lethal dari radiasi.Efek samping
Cisplatin yaitu rasa raual, nefrotoksik, neuropati perifer, ototoksik,
gangguan elektrolit dan anoreksia. Carboplatin sering digunakan sebagai
pengganti Cisplatin, oleh karena lebih dapat ditoleransi tubuh (efek
sampingnya lebih sedikit dibandingkan Cisplatin, terutama efek terhadap
ginjal). Sedangkan 5-FU digolongkan antimetabolit yang berikatan dengan
thymidilate synthetase menyebabkan hambatan (blocking) konversi dari
uridine menjadi thymidine sehingga menghambat / mencegah sintesa DNA
pada fase S. Efek sampingnya yaitu anoreksia, mual, mukositis diare,
alopesia, supresi sumsum tulang dan cardiac toxicity. Methotrexate
mempunyai mechanisme of action berikatan dengan dihydrofolate reductase
sehingga mencegah sintesa DNA pada fase S. Efek sampingnya yaitu
supresi sumsum tulang, gangguan gastro-intestinal, mukositis, alopesia,
dermatitis, nefrotoksik, teratogenik, dan pneumonitis. Obat MTX ini sering
digunakan sebagai standard palliative therapy untuk tumor rekuren atau
metastasis jauh. Sitostatika golongan Taxane (mis. Paclitaxel dan
Docetaxel) mempunyai efek mencegah normal microtubular reorganization.
Efek samping yang sering terjadi yaitu netropeni, alopesia, dan mukositis.
Kombinasi obat-obat tersebut dapat sinergistik dalam membunuh sel kanker.
Kemoterapi kombinasi memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. pemusnahan sel kanker dapat terjadi secara maksimal dengan kisaran
toksisitas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh pasien
2. lebih luasnya kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan
abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor yang
heterogen
3. kemoterapi kombinasi dapat mencegah atau memperlambat timbulnya
resistensi obat seluler.

Beberapa prinsip yang digunakan sebagai panduan untuk memilih


obat-obatan dalam kombinasi obat yang paling efektif dan menjadi paradigma
untuk pengembangan pengobatan dengan obat baru adalah sebagai berikut.
15

Pertama, hanya obat yang diketahui efektif secara parsial melawan tumor yang
sama saat digunakan tunggal yang digunakan sebagai salah satu obat
kombinasi. Obat yang dapat menimbulkan respon komplit lebih disukai
dibandingkan yang hanya menimbulkan respon parsial. Kedua,
toksisitasnya tidak tumpang tindih dengan toksisitas obat lain dalam
kombinasi sehingga dapat meminimalisasi efek letal serta dapat
memaksimalkan intensitas dosis.
Untuk meningkatkan response rate, banyak peneliti memberikan
kombinasi beberapa sitostatika (multi drug) dengan dosis maksimal secara
berkesinambungan dengan radiasi. Tujuan yang hendak dicapai sepenuhnya
untuk mematikan tumor lokoregional maupun metastasis sistemik. Efek
samping dari kemoradioterapi (multimodalitas terapi) ini tentu saja lebih
hebat dari pada monomodalitas. Kemoterapi untuk keganasan di daerah
kepala dan leher sering menggunakan Cisplatin sebagai inti (Cisplatin
based). Ini dikemukakan oleh para peneliti seperti Tobias (1992), Comis
(1994), Forastiere (1994), Sarraf (1994), Fisher (1997), Jones (1997).
Suatu penelitian randomized comparative telah dilakukan pada 33
penderita untreated oropharyngeal cancer yang inoperable seiama periode
Maret 1993 sampai Oktober 1993. Sebanyak 17 penderita yang mendapat
radioterapi saja didapatkan CR sebesar 17,6%. Sedangkan 16 penderita
lainnya yang mendapat kemoradioterapi (Bleomycin, Mitomycin C dan
Nicotinamide) didapatkan CR sebesar 813% (p < 0.003). Kemoradioterapi
concomitant yang diberikan pada keganasan kepala leher stadium lanjut
lokal dilaporkan angka respons secara keseluruhan sebesar 70% - 100% dan
CR mencapai 95%. Beberapa peneliti lainnya memberikan kemoradioterapi
pada keganasan kepala leher yang unresectable dengan hasil berupa respons
lengkap (CR) sekitar 58% - 94% (Sarraf, 1995; Forastiere, 1994). Cara lain
untuk meningkatkan efektifitas radioterapi pada kasus keganasan kepalaleher yaitu radioterapi diberikan dalam dosis yang lebih kecil per fraksi
tetapi frekuensinya ditingkatkan (accelerated radiotherapy) atau dosis per
fraksi pemberian dan frekuensinya ditingkatkan (hyperfractionated
radiotherapy). Dengan cara pemberian radioterapi seperti ini diharapkan
akan menghambat sel tumor untuk memperbaiki diri dan melakukan
regenerasi.
16

Kemoterapi ajuvan (adjunctive chemotherapy, post definitive


chemotherapy) yaitu kemoterapi yang diberikan pasca terapi definitif
(primary treatment modality). Indikasi : locally advanced disease,
metastasis ke KGB yang multipel, nodal extracapsular spread, positive
margin, dan rekurensi tumOT. Kemoterapi disini terutama dimaksudkan
untuk meningkatkan kontrol lokoregional, memberantas tumor residu dan
eradikasi metastasis jauh. Kerugian cara ini, kondisi umum yang sudah
menurun dan vascular bed yang buruk menyebabkan obat tidak dapat
maksimal mencapai daerah tumor (Needleman, 1982; Tobias, 1992; Vokes,
1993).
8. Penilaian hasil kemoterapi
Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal
maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya
dilakukan setelah 3-4 rainggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek
yaitu respons atau hilangnya kanker (response rate) dan angka ketabanan
hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker (perubahan
objektif dari ukuran tumor), tolok ukur atau hasil pengobatan kemoterapi
dinyatakan dalam istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu sembuh (cured),
remisi atau respons lengkap (completed response ICR), respons sebagian
(partial response/PR), tidakada respons (no response/NR), tumor yang makin
besar (progresive disease IPD). Disamping itu, dikenal suatu periode
penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival), atau masa
bebas kekambuhan (relaps free survival), Periode ini dimulai dari saat
ditentukannya penderita terbebas dari kanker setelah akhir pengobatan
kemoterapi / radiasi, atau setelah dilakukan pembedahan sampai dengan
ditemukannya kembali rekurensi. Dapat juga dinilai berdasarkan masa
ketahanan hidup keseluruhan (overall survival). Disamping ukuran tumor,
beberapa tumor perkembangannya dapat dapat dipantau berdasarkan ada
atau banyaknya produk tumor melalui pemeriksaan tumor marker
(Needleman, 1982; Tobias, 1992; Vokes, 1993).
9. Faktor yang perlu diperhatikan sebefaim pemberian kemoterapi dan
Regimen kemoterapi yang dapat digunakan untuk penderita
Karsinoma nasofaring dan keganasan kepala dan leher lainnya
17

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum memilih obat anti


kanker antara lain jenis kanker, kemosensitivitas kanker, populasi sel kanker,
persentase sel kanker yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker dan
imunitas tubuh (Sukardja, 19%). Dosis obat sitostatika yang diberikan
pada dasarnya hams diberikan sesuai dengan "Maximum Tolerated Dose".
Dosis hams maksimal agar supaya sel kanker yang dimatikan juga
maksimal. Namun demikian, dosis itu harus dapat diterima (tolerable) oleh
penderita karena banyaknya efek samping dan obat sitostatika. Efek
samping yang tolerable bila diketemukan masih dalam grade I - II
menurut UICC. Kalau efek sampingnya intolerable, maka penderita akan
tambah sakit. Oleh karena itu dosis obat perlu dihitung secara cermat
berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan
ukuran berat badan (kg). Selain itu, faktor yang perlu diperhatikan
adalah keadaan biologik dari penderita. Penderita kanker dapat dibedakan
dalam 3 "risk group" yaitu good risk, moderate risk dan poor risk.
Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah
keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah, sadar baik,
koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala Karnofsky, skala ECOG),
status'gizi, status hematologis, faal ginjai, faal hati, kondisi jantung,
paru dan lainnya sebagainya. Penderita yang tergolong good risk dapat
diberikan dosis yang relatif tinggj. Namun bila diketemukan gangguan berat
dan faal organ yang parting (poor risk), maka dosis obat harus dikurangi
atau diberikan obat lain yang efek samping teriiadap organ tersebut lebih
minimal. Selain penilaian (pretreatment assessment) tentang fisik
(history physical) juga perlu melakukan penilaian mengenai status sosialekonomi, psikologikal dan seksual. Faal biologik dapat mengalami
perubahan selama perjalanan penyakit kankemya atau akibat efek samping
obat kemoterapi (dan radioterapi). Oleh karena itu perlu pemantauan terus
menerus meliputi klinis, laboratoris dan rontgenologis. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu seleksi menggunakan kriteria menurut
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan
2, jumiah leukosit 3.000/mL, jumlah trombosit 120.000/uL,
cadangan sumsum tulang masih adekuat, klirens kreatinin diatas 60
18

ml/menit (dalam 24 jam) dan bilirubin < 2 mg/dl. Mengingat resiko


toksisitas obat-obat sitostatika, sebaiknya tidak diberikan pada penderita
usia diatas 70 tahun (Clark dkk, 1997).
Beberapa sitostatika dilaporkan dapat riigunafom untuk pengobatan
karsinoma nasofaring, maupun keganasan didaerah kepala dan leher lainnya
Setelah menentukan regimen obat sitostatika dan pengbitungan dosis masing
masing sitostatika, tahap berikutnya melakukan tindakan membuat obat
sitostatika didalam botol sesuai pengbitungan dosis yang telah ditentukan
sebelumnya. Pengoplosan obat sitostatika ini dilakukan setiap akan memberikan
kemoterapi pada penderita, oleh karena regimen dan dosis obat sitostatika
tidak sama untuk masing masing penderita. "Pengoplosan" obat sitostatika
ini sebaiknya dilakukan di suatu ruangan (chamber) dengan disain tertentu
yang telah disepakati secara intemasional. Hal ini untuk menghindari resiko
kontaminasi obat dan kemungkinan terjadinya kecelakaan saat mengoplos obat
Obat sitostatika bila terpercik di kulit dapat menimbulkan luka melepuh
(combustio), bila mengenai mata menimbulkan kebutaan.
Sitostatika yang telah mendapat rekomendasi dan FDA (di Amerika)
untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-Fluorouracil, Bleomycin,
Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin-C,
Vincristinedan Paclitaxel (Fisherdkk, 1997). Akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan Gemcitabine untuk keganasan di daerah kepala dan leher
(Khwaja, 2000; Ngan et al, 2001).
Berikut ini beberapa contoh regimen kemoterapi yang dapat
digunakan untuk keganasan didaerah kepala leher: (Fisher dkk, 1997)
1. Bleomycin-Memotrexate-C feplatin (BMC
Bleomycin 10 units, IM, hari ke 1, 8 dan 15.
MTX 40 mg/m2, IM, hari ke 1 dan 15.
Cisplatin 50 mg/m2 intravenous pada hari ke 4.
Diulang tiap 21 hari.
2. Cisplatin-Methotrexate-Bleomycin-Vincristine (CMBV)
Cisplatin 50 mg/m2, IV, hari ke 4.
MTX 40 mg/m2, IV, hari 1 dan 15.
Bleomycin 10 units, IV hari ke 1, 6 dan 15.
19

3.

4.

5.

6.

7.

8.

20

Vincristine 2 mg, IV, hari 1,8 dan 15.


Diulang tiap 3 minggu.
Carboplatin-Fluorouracil
Carboplatin 300 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinyu sampai 96
jam.
Diulang tiap 28 hari.
Cisplatin-Fluorouracil
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infiis kontinyu sampai
96 jam.
Diulang tiap 3 minggu.
Cisplatin-Fluorouracil-Bieomydn-Metfiotrexate(CTBM)
Cisplatin 80 mg/m2 yang diberikan melalui infus kontinyu pada hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinyu sampai
96 jam.
Bleomycyn 15 unit, IV, hari ke 1.
MTX 100 mg/m2, IV, diberikan pada hari ke 16.
Leucovorin 15 mg peroral tiap 6 jam yang diberikan sebanyak 6 kali, dimulai
24 jam setelah pemberian MTX.
Diulang tiap 3-4 minggu.
Cisplatin-Bleomycin-Fhiorouracil(PBF)
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
Bleomycin 15 unit bolus IV hari ke 1, dan 16 unit/m2/hari melalui infus
kontinyu yang diberikan pada hari ke 1 sampai hari ke 5.
5- Fluorouracil 650 mg/m2/hari, diberikan melalui infiis kontinyu hari ke 1
sampai ke 5.
Diberikan sebanyak 3 siklus dengan interval 1 bulan.
Cisplatin-Padftaxel
Cisplatin 75 atau 100 mg/m2, diberikan IV lebih dari 1 jam pada hari ke 1.
Paclitaxel 200 mg/m2, diberikan IV lebih dari 3 jam pada hari ke 1.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya neutropenia dan neurotoksik,
diberikan G-CSF dosis 5 mg/kg, subkutan pada hari ke 4 sampai 12.
Diulang tiap 3 minggu.
Cisplatin-Fluon)uracfl-Leucovorin(PFL)
Cisplatin 25 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 sampai 5.
5-Fluorouracil 800 mg/m2/hari, IV kontinyu, hari ke 2 - 6.
Leucovorin 500 mg/m2/hari, IV kontinyu, hari ke 1 - 6.

Diulang tiap 28 hari.


Cisplatin-Vinorelbine
Cisplatin 80 mg/m2, IV, hari ke 1.
Vinorelbine 25 mg/m2, IV, hari ke 1 dan hari ke 8.
Cisplatin diberikan dalam waktu lebih dari 90 menit. Sebelum
penyuntikan Cisplatin dilakukan prehydration, posthydration dan
pemberian antiemetik.
10. Simutaneus Fluorouracil- Cisplatin-Radiation
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus selama 96
jam.
11. Cisplatin 75 mg/m2 IV hari 1. Bersamaan dengan radiasi sebanyak
3000 cGy dibagi dalam 15 fraksi antara hari 1 dan 19 sebagai bagian
dari regimen ini.
Diulang setiap 4 sampai 6 minggu. Pada penderita yang masih operabel
dapat dilanjutkan dengan pembedahan.
12. Cisplatin- Gemcitabine
Cisplatin 50 mg/m2 yang diberikan hari 1 dan 8.
Gemcitabine 800 mg/m2 diberikan hari 1,8 dan 15.
Diulang tiap 28 hari
9.

Indikasi pemberian kemoterapi pada keganasan kepala dan laher


antara lain stadium lanjut lokoregional, disertai atau dicurigai adanya
metastasis jauh dan kasus residif. Meskipun response rate dilaporkan lebih
meningkat, efek samping yang timbul akibat pemberian dua modalitas
terapi kanker ini juga makin berat (Kuratomi, 1999; Hasbini, 1999).
Oleh karena itu, pemantauan terhadap efek samping kemoterapi
mutlak hams dilakukan. Efek samping dapat sangat bervariasi, mulai
derajat ringan sampai berat. Dapat mengenai berbagai organ tubuh
seperti sumsum tulang (anemi, leukopeni, trombositopeni),
gastrointestinal (mual, muntah, diare, konstipasi), kulit (gatal,
hiperpigmentasi, dermatitis, rash, eritema, kulit kering, rambut rontok),
rongga mulut (stomatitis, oral thrush), ginjal (kerusakan tubulus distal,
gangguan fungsi, gagal ginjal kronik), para (sesak, fibrosis), jantung
(disritmi, ishemi, gangguan fungsi), syaraf (parestesi, kelemahan otot,
sakit kepala, gangguan pendengaran), tekanan darah meningkat atau
menurun, alergi sampai syok anafilaktik, febris, BB menurun, ganggicm
21

metaboiik dan gangguan pembekuan darah. Efek samping obat (ESO) dapat
terjadi pada hari peitama, dapat timbul pada beberapa hari atau minggu.
Dianjurkan untuk secara rutin melakukan evaluasi dan pencatatan ESO
berdasarkan kriteria dari Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG
toxicity criteria) atau National Cancer Institute Common Criteria
(Needleman, 1982; Fisher, dkk, 1997; Smets, 1999).
10. Pemantauan efek samping obat kemoterapi
Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat
membelah naraun terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel
normal yang juga mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa
(selaput lendir), sumsum tulang, kulit dan sel reproduksi. Obat ini juga dapat
bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal dan sistem
saraf. Berikut akan dibahas beberapa efek samping yang dapat ditemukan
pada penderita yang mendapat kemoterapi.
10.1 Supresi sumsum tulang
Efek samping kemoterapi yang terjadi yaitu efek terhadap sistem
hematopoetik berupa trombositopeni, anemi dan leukopeni. Sebagian besar
program pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan
sumsum tulang setelah paparan kemoterapi. Beberapa tahun terakhir ini mulai
diberikan secara rutin faktor perangsang koloni seperti faktor perangsang
koloni makrofag (macrophage colony stimulating factor / M-CSF), dan faktor
perangsang koloni-granulosit (granulocyte-colony stimulating factor / G-CSF).
Faktor pertumbuhan ini sangat penting diberikan terutama bila penderita diberi
kemoterapi dosis intensif/tinggi. Pemberian faktor perangsang koloni ini dapat
mencegah leukopeni sehingga mengurangi insiden infeksi dan lamanya rawat
inap (Abithol et al, 1995). Supresi sumsum tulang akibat pemberian obat
sitostatika dapat terjadi segera maupun lambat. Pada supresi sumsum tulang
yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada
hari ke 8 sampai hari ke 14, setelah itu diperlukan waktu kurang lebih 7 hari
untuk menaikan kadar leukosit kembali. Pada supresi sumsum tulang yang
terjadi lambat, penurunan kadar leukosit terjadi 2 kali yaitu yang pertama
pada minggu ke 2 dan sekitar minggu ke 4-5. Kadar leukosit kemudian akan
22

naik lagi dan mencapai nilai mendekati normal pada minggu ke 6. Leukopeni
dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, sedangkan
trombositopeni dapat menyebabkan terjadinya perdarahan terutama bila terjadi
erosi pada saluran cerna.
10.2 Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glositis),
tenggorok (esofagitis). Usus (enteritis) dan rektum (proktitis). Umumnya
mukositis menyebabkan luka luka kecil di mukosa (sariawan) yang dirasakan
nyeri, biasanya terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis
muncul maka akan terjadi mukositis kembali pada siklus berikutnya kecuali
jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi
sekunder yang lebih serius, asupan gizi yang buruk, dehidrasi, penambahan
lama waktu perawatan dan peningkatan biaya perawatan.
Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis maka
kebersihan mulut dan gigi harus dijaga. Penderita haras diingatkan untuk
berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang berbulu halus.
Setiap kali habis makan harus sikat gigi, mulut harus rutin dibersihkan dengan
cara berkumur obat antiseptik yang tidak mengandung alkohol. Mulut dan
bibir dijaga tetap lembab dengan cara seringkali dibasahi dengan air atau
gel pelembab mulut, dianjurkan isap permen yang keras untuk merangsang
keluarnya air liur. Jika telah terjadi infeksi sekunder (jamur, herpes atau
bakteri) harus diobati dengan obat yang sesuai.
10.3 Mual dan muntah
Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel mukosa
(mukositis) yang melapisi sahiran cema. Muntah dapat terjadi secara akut (024 jam atau tertunda 24-96 jam) setelah kemoterapi.
Setiap obat tidak sama derajatnya dalam menimbulkan mual /
muntah. Obat yang sangat sering (>90%) menyebabkan muntah contohnya
Cisplatin, Dakarbazin, Mekloretamin dan Melfalan. Obat yang juga sering
(60-90%) menimbulkan muntah contohnya Siklofosfamid, Prokarbazin,
Etoposid, Metotreksat. Obat yang insidens nya sedang (30-60%) dalam
menimbulkan muntah misalnya 5-Fluourasil, Doksorubisin, Karboplatin,
23

Ifosfamid, Sitarabin dan Mitoksantron. Obat yang jarang menimbulkan


muntah adalah alkaloid vinka, Bleomisin. Obat yang sangat jarang
menimbulkan muntah adalah Paclitaxel, Klorambusil dan Vinkristin. Beberapa
prinsip dasar mencegah mual / muntah sebagai berikut:
1. singkirkan sebab lain mual dan muntah
2. evaluasi obat kemoterapi yang potensial menimbulkan muntah dan
kemudian pilih anti mual yang sesuai
3. obati beberapa hari untuk mencegah muntah berkepanjangan
4. kombinasi anti mual .akan memberikan pencegahan yang lebih kuat
5. cegah muntah sebelum pemberian obat kemoterapi
Selain pemberian obat, perlu diperhatikan lingkungan sekitar penderita
dan jenis serta bau makanan. Penderita sebaiknya ditempatkan di ruangan
yang sejuk, makan makanan dingin, hindari makanan yang pedas dan berbau
menyengat, makan dan minum dalam porsi yang sedikit tapi sering. Hindari
makan 1-2 jam sebelum dan sesudah kemoterapi, relaksasi dengan
menonton TV, membaca atau tidur selama periode mual yang hebat.
Menjaga kebersihan mulut dan berolah raga.
10.4 Diare
Diare diperkirakan terjadi pada sekitar 75% pasien kanker yang
mendapat kemoterapi, disebabkan karena kerusakan sel epitel saluran cerna
sehingga terjadi atrofi mukosa intestinal dan memendeknya vili usus. Hal
tersebut menyebabkan gangguan digesti dan absorpsi. Obat kemoterapi yang
palng sering menimbulkan diare adalah obat anti metabolit. Derajat dan
lamanya diare tergantung dari jenis obat kemoterapi, dosis dan frekuensi
pemberian kemoterapi. Untuk menanganinya penderita dianjurkan makan
rendah serat, tinggi protein dan minum cairan yang banyak. Obat anti diare
juga dapat diberikan seperti kasus diare pada umumnya. Kadang perlu
diberikan infus cairan elektrolit dan antibiotika.
Rangkuman Penatalaksanaan diare (menurut 3 referensi ) sebagai berikut:
Pertahankan asupan cairan yang memadai
Hindari makanan yang berserat tinggi, pedas, tinggi lemak, serta
yang memproduksi gas
Hindari produk dari bahan dasar susu
24

Konsumsi mengkonsumsi makanan tinggi potassium


Terapi farmakologi : obat2 antidiare seperti loperamide atau
diphenoxylate / atropine

(Sumber : Govindan. R, Aruette, MA The Washington Manual of Oncology


2002. Lippincott Williams & Wilkins USA)

Konsumsi makanan rendah serat, tinggi protein dan kalori


Hndari makanan / minuman yang bersifat iritatif / mentimulasi
saluran cerna, seperti: makanan tinggi serat, kelapa, makanan
pedas, makanan penghasil pedas (mis. brokoli, bawang, dan kol),
kafein, alkohol.
Konsumsi makanan tinggi potasium
Pertahankan konsumsi cairan minimal 3000 ml/hari (dewasa)
Konsumsi makanan dengan pola sedikit namun sering
Hindari makanan / minuman yang sangat dingin atau panas, karena
akan memperberat diare
Hindari mengkonsumsi produk dari bahan dasar susu
Terapi farmakologi : obat antidiare (mis. antibiotik, antikolinergik/
antispasmodik, kaolin-pektin, opioid). Jika diare tidak membaik,
dapat diberikan obat golongan opioid (mis. diphenoxylate).
(Sumber : Yasko, JM. Nursing Management of Symtomps associated with
Chemotherapy 3rd ed. 1993 Meniscus Health Care Communication. USA)
Singkirkan penyebab lain diare
Modifikasi diet ( seperti yang disampaikan diatas)
Terapi farmakologi:
o Loperamide 4 mg, dianjurkan 2 mg tiap 2-4 jam (untuk
diare derajat 1-2). Loperamide diteruskan hingga 12 jam
pasca diare
o Atrophin-diphenoxylate : dapat dikombinasikan dengan
loperamide, terutama untuk diare derajat 3-4. Dosis : 1-2
tablet tiap 6-8 jam
o Ocreotide : untuk terapi diare derajat 1-2 yang
berlangsung > 24 jam walaupun telah mendapat
25

loperamide atrophine - diphenoxylate . Dosis 100-50


meg SC TTD; Untuk diare derajat 3-4 : dosis 150 meg SC
TID, dapat ditingkatkan hingga 300-500 meg SC TID.
o Antibiotik : terutama jika pasien juga mengalami
neutropenia
(Sumber : BCCA Guidelines for management of Chemotherapy - induced
Diarrhea. 2004)
10.5 Alopesia
Kerontokan rambut sering terjadi pada kemoterapi akibat efek letal
obat terhadap sel-sel folikel rambut. Pemulihan total akan terjadi setelah
terapi dihentikan. Pada beberapa penderita, rambut dapat tumbuh kembali
pada saat terapi masih berlangsung. Rambut yang tumbuh kembali
merefleksikan proses proliferasi kompensatif yang meningkatkan jumlah
sel-sel induk atau mencerminkan perkembangan resistensi obat pada
jaringan normal.
10.6 Reaksi alergi
Selama pemberian kemoterapi dapat terjadi reaksi alergi yang ditandai
salah satu atau lebih dari hal-hal berikut yaitu rasa panas, gatal gatal, sulit
bernapas, kemerahan di kulit, dada tertekan dan demam atau menggigil. Bila
ditemukan gejala ini segera hentikan pemberian kemoterapi, beri suntikan
kortikosteroid dan antihistamin dan dilakukan observasi ketat.
10.7 Infeksi
Kemoterapi dapat menyebabkan efek terhadap sistem hematologis
antara lain penurunan leukosit sehingga mudah terkena infeksi. Tanda infeksi
yaitu demam (menggigil/berkeringat) lebih dari 38 derajat Celcius, batuk
atau sakit tenggorok, sariawan di mulut, sering ingin buang air kecil atau rasa
panas ketika kencing, keputihan atau rasa gatal, nyeri atau rasa tertekan di
sinus, sakit telinga, sakit kepala atau leher kaku, kemerahan didaerah tempat
pemasangan infus.
10.8 Infertilitas
Spermatogenesis dan pembentukan folikel ovarium merupakan hal
26

yang rentan terhadap efek toksik obat anti kanker. Pria yang mendapat
kemoterapi seringkali produksi spennanya menurun. Biopsi testis
menunjukkan hilangnya sel germinal pada tubulus seminiferus. Hal mi
disebabkan oleh karena efek obat terhadap sel-sel yang berproliferasi cepat.
Efek anti spermatogenik ini dapat pulih kembali setelah kemoterapi dosis
rendah, tetapi pada beberapa pria mengalami infertilitas yang menetap.
Kemoterapi seringkali menyebabkan perempuan pramenopause
mengalami penghentian menstruasi sementara atau menetap dan timbul gejalagejala menopause. Hilangnya efek ini sangat tergantung dari usia, jenis obat
yang digunakan serta lama dan intensitas kemoterapi. Biopsi ovarium
menunjukkan kegagalan pembentukan folikel ovarium.
10.9 Gangguan fungsi organ tubuh
Beberapa obat sitostatika dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal,
hepar, jantung, paru dan sistem syaraf. Oleh karena itu sangat penting
melakukan pemeriksaan fungsi organ - organ tersebut sebelum pemberian
kemoterapi. Sebelum pemberian Cisplatin harus diberikan rehidrasi terlebih
dulu, dan pemberian Lasix untuk memperlancar fungsi ginjal dalam
membuang obat ini dari sirkulasi darah. Apabila terjadi gangguan fungsi
organ, sebaiknya dosis obat sitostatika dikurangi atau bahkan distop dan
diganti yang lain. Perlu diberikan obat obat untuk memperbaiki fungsi organ
yang terganggu.
Evalusi dan pencatatan ESO berdasarkan ECOG

27

8. Cara pemberian kemoterapi


11. Laporan hasil penelitian pemberian kemoterapi pada penderita
Karsinoma nasofaring dan keganasan kepala - leher lainnya

Zidan pada tahun 1986 melaporkan hasil pengobatan KNF stadium


lanjut yang mendapat radioterapi 6000-7500 cGy dan diberikan kombinasi
kemoterapi BMC yaitu Bleomycin (10 unit intramuskuler pada hari ke 1,8
dan 15 ) Methotrexate (40mg/m2,IM, hari 1 dan 5 )dan Cisplatin (50mg/m2
per infus pada hari ke 4 ) yang di ulang tiap 21 hari. Dari 15 pasien KNF
yang ditelitinya didapatkan respons lengkap (CR) sebesar 87%.
Disimpulkan bahwa cara pengobatan seperti sangat efektif untuk KNF.
Sugiarto (1994) berdasarkan penelitian pada 31 pasien KNF di RS
Adi Husada Surabaya melaporkan bahwa kelompok yang mendapat
radioterapi dosis 6000-7000 cGy (13 pasien) didapatkan CR sebesar
61% dan PR 39%, sedangkan kelompok lainnya (18 pasien) yakni
28

mendapat kombinasi radioterapi dan kemoterapi (MTX 50 mg dan 5-FU


500 mg per infuse hari 1 - 4 , diulang tiap 4 minggu sampai 6 seri)
didapatkan CR sebesar 82% dan PR sebesar 18%.
Yen (1997) di Taiwan berdasarkan penelitiannya mengatakan
bahwa pengobatan KNF stadium lanjut dengan menggunakan kombinasi
dengan kemoterapi dan radioterapi dapat meningkatkan angka bertahan
hidup lima tahun dari sekitar 32% - 56% menjadi 71%.
Chatani (1986) berdasarkan penelitiannya mengatakan bahwa
pemberian terapi radiasi yang dikombinasi dengan kemoterapi pada
KNF stadium IV ternyata sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko
metastasis jauh (p<0.05). Kelompok yang mendapat terapi radiasi
saja didapatkan metastasis yang lebih tinggi (35%) dibandingkan
kelompok yang mendapat kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi (14%).
Menurut Denic (1996) program pengobatan penderita karsinoma
nasofaring stadium III dan IV berupa kombinasi radioterapi dan
kemoterapi, ada 2 cara, yaitu:
1. Diberikan radioterapi dosis 7000 cGy dalam 35 fraksi pemberian,
selama 7 minggu Selama terapi radiasi diberikan Cisplatin 100
mg/m2 pada hari ke 1,22 dari 4. Setelah itu diberikan kemoterapi
sebanyak 3 siklus dengan interval 3 minggu terdiri dari
Cisplatin 60 mg /m2 intravenus pada hari ke 1 , dan 5 Fuorouracil 1000 mg/m2 yang diberikan IV selama 4 hari.
Dilaporkan hasil: 2 YSR sebesar 80%.
2. Diberikan Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1. Lima (5>Fhiorouracil
650 mg IV kontinyu pada hari ke 1-5. Bleomycin 15 mg, IV, hari ke 1
dan 16 mg/m2/hari yang diberikan melalui IV kontinyu pada hari 1-5.
Setelah pemberian kemoterapi sebanyak 2 siklus diberikan radioterapi
dosis 3500 cGy. Setelah itu dilanjutkan dengan pemberikan siklus
kemoterapi yang ketiga, kemudian radioterapi lagi dengan dosis 3500
cGy. Interval tiap siklus adalah 4 minggu. Dilaporkan hasil sebagai
berikut : Response Rate 83% (CR 10%, PR 73%), setelah pengobatan
fengkap didapatkan No Evidence of Disease (NED) sebesar 50%.
Hasil yang cukup baik juga dilaporkan oleh Sarraf (1998) di
29

Amerika yang melakukan penelitian pada 147 pasien KNF stadium


lanjut, sebanyak 69 pasien diberikan radioterapi saja dan 78 pasien
lainnya diberikan chemoradiotherapy. Radioterapi diberikan pada kedua
kelompok dengan dosis total 70 Gy, sedangkan kelompok chemoradiotherqpy
diberikan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari 1, 22 dan 43 selama radiasi dan
pasca radiasi diberikan Cisplatin 80 mg/m2 pada hari ke satu dan
Fluorouracil 1000 mg/m2/hari pada hari ke 1-4 yang diberikan tiap 4
minggu sampai 3 seri. Three year progression free survival rate pada
kelompok radioterapi didapatkan angka sebesar 24%, sedangkan kelompok
kemoradioterapi 69%. Jumlah penderita yang bertahan hidup 3 tahun untuk
kelompok radioterapi sebesar 47%, sedang kelompok kemoradioterapi
sebesar 78%.
Kombinasi radioterapi dan kemoterapi dengan hasil yang lebih baik
dilaporkan oleh Hasbini (1999) di Perancis yang melakukan penelitian
pada KNF rekuren dan metastasis karsinoma tanpa diferensiasi
dengan memberikan regimen FMEP yaitu 5 FU dosis 800 mg/m2/hari per
infos hari ke 1-4 yang di kombinasi dengan Epirubicin 70 mg/m2,
Mitomycin 10 mg/m2 dan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari 1 yang di
ulang tiap 4 minggu sampai 6 siklus. Dari 44 pasien yang diteliti
didapatkan sebanyak 23 pasien (52%) menunjukkan respons yang terdiri
dari respons lengkap 6 kasus (13%) dan respons sebagian 17 kasus (38%).
Evaluasi yang dilakukan pada median 87 bulan (range 71-100 bulan)
didapatkan 5 pasien tetap bidup dengan respons lengkap. Meskipun
diperoleh hasil yang cukup baik, namun diketemukan efek samping yang
tinggi yaitu neutropenia derajat 3-4 sebanyak 89%, febrile neutropenia
36%, trombositopenia 61%, anemia derajat 3 sebanyak 78% dan
mukositis 32%. Diantara 4 pasien (9%) yang meninggal, 3 pasien
dihubungkan dengan terjadinya neutropeni dan 1 pasien karena efek
toksik pada jantung.
Hasil yang baik juga dilaporkan Isobe (1998) di Departemen
Radiologi Chiba University Hospital dan Keio University Hospital
(Jepang) periode tahun 1980-1993. Dari 129 kasus KNF stadium lanjut
yang ditelitinya, sebanyak 44 pasien mendapat Cisplatin (cis-diamino
dichloro platinum/CDDP) atau Carboplatin sebagai based chemotherapy, 58
30

pasien mendapat Adriamycin (ADM) dan /atau 5- Fluorouracil sebagai


based chemotherapy, dan 27 pasien lainnya mendapat radioterapi saja.
Pada kelompok radioterapi, radioterapi diberikan pada regio nasofaring
dengan dosis 64 Gy sedangkan pada tumor metastasis di leher diberikan
dosis 64 Gy. Diperoleh hasil angka bertahan bidup 5 tahun untuk
kelompok CDDP sebesar 61%, kelompok ADM/5-FU 47%, sedangkan
kelompok radioterapi saja sebesar 42%. Insidens kumulatif kontrol lokal
(local control) pada kelompok CDDP sebesar 77%, ADM/5-FU 49%,
sedang kelompok radiasi saja 53%. Insiden metastasis untuk kelompok
CDDP didapatkan angka sebesar 54%, ADM/5-FU 24% dan radioterapi
hanya 22%. Disimpulkan bahwa meskipun CDDP dapat meningkaikan
kontrol foko-regional secara bermakna, namun didapaikan insidens metastasis
jauh yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya.
Hasil yang berbeda dilaporkan Kuratomi (1999) berdasarkan
penelitian KNF di Jepang berupa pemberian FAR (5 FU, vitamin A dan
radioterapi) yang dikombinasi dengan Cisplatin dan Peplomycin ternyata
tidak meningkatkan angka bertahan hidup keseluruhan (overall survival
rates).
Chua (1998) mengatakan bahwa kombinasi radioterapi dan
kemoterapi pada KNF memang dapat meningkatkan respons bebas tumor
(disease free survival), tetapi tidak dapat meningkatkan angka bertahan
hidup keseluruhan secara bermakna. Hal yang sama juga dilaporkan oleh
Fu (1998), Rodriques (1998), Hasbini (1999) dan Kuratomi (1999).
Souhami (1988) berdasarkan penelitiannya pada penderita KNF
menyimpulkan bahwa meskipun kombinasi radioterapi (6000-7000 cGy)
dan kemoterapi (Mitomycin C 10 mg/m2, 5-FU 750 mg/m2 dan MTX 30
mg/m2) dapat meningkaJkan kontrol lokal, namun survival rate tidak
meningkat.
Ho (1981) mengatakan bahwa kemoterapi dapat digunakan untuk
KNF rekuren atau lanjut Penelitian yang dilakukan oleh Srimuninnimit
(Thailand) yang dipresentasikan pada Oncology Regional Medical
Conference di Singapore tahun 2000 melaporkan telah melakukan penelitian
terhadap 8 penderita KNF menggunakan Gemcitabine (Gemzar) 1250
mg/m2, hari ke 1 dan 8 yang dikombinasi dengan Cisplatin 80 mg/m2
31

pada hari ke 1 (diulang tiap 3 minggu, sebanyak 6 sikhis) didapatkan


hasil berupa PR sebesar 100 %.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Ngan dkk di Hongkong (Cina)
dan dipresentasikan pada Oncology Regional Medical Conference di
Kinibalu tahun 2001 melaporkan meiakukan penelitian terhadap 23
penderita karsinoma nasofaring dengan metastasis atau KNF yang
kambuh (recurrent) dengan memberikan Gemcitabine 1000 mg/m2 pada
hari ke 1, 8 dan 15 yang dikombinasi dengan Cisplatin 80mg/m2 pada
hari ke 1 dan 8 (diulang tiap 4 minggu, sebanyak 3 siklus) didapatkan
hasil overall response rate sebesar 74 % dengan perincian CR 21,74%, PR
52,17% dan NR 26,1%. Angka ketahanan hidup 1 tahun secara
keseluruhan (1 year overall survival rate) 60 % dan progression free
survival sekitar 36%.
Hasil pengobatan karsinoma nasofaring dengan menggunakan
kombinasi. radioterapi dan kemoterapi telah banyak dilaporkan.
Penelitian yang dilakukan oleh International Nasopharynx Cancer Study
Group dengan menggunakan teknik randomized comparative trial
(November 1989-Oktober 1993) membagi 2 kelompok yaitu 1)
kelompok yang mendapat kemoterapi neoadjuvan (Bleomycin 15
mg/body, IV, hari ke 1 atau 12 mg/m2, IV kontinyu/24 jam pada hari
ke 1 -5, Epirubicin 70 mg/m 2, IV, hari ke 1 dan Cisplatin 100 mg/m2, IV,
lebih dari 1 jam pada hari ke 1) + radioterapi (171 penderita), dan 2)
kelompok yang mendapat radioterapi saja (168 penderita). Pemberian
kemoterapi diulang tiap 3 minggu sebanyak 3 kali. Radioterapi
diberikan dengan dosis 2 Gy/hari, 5 hari per minggu selama 6-7 minggu
dengan perincian: 65-70 Gy ditujukan pada tumor primer di nasofaring
65 Gy pada tumor leher yang tempak dan50Gy pada daerah leher
sekitarnya serta kelenjar getah bening di daerah supraklavikular setelah
pemberian kemoterapi (171 penderita) didapatkan dan PR 43 9%
(response rate: 90,6%). Setelah selesai pengobatan pada kelompok 1(171
penderita) didapatkan CR sebesar 55,0%, sedangkan pada kelompok
2 (168 pendent Spakan CR 33,9% (p<0,01). Kesimpulannya,
pemberian kemoterapi secara bermakna meningkatkan disease free.
Seperti yang telah disebutkan diatas, ada banyak macam regimen
32

kemoterapi yang dapat digunakan untuk mengobati keganasan didaerah


kepala leher. Obat anti kanker yang paling sering digunakan dan diteliti
adalah kombinasi Cisplatin dan 5 - FU. Pemberian kedua obat ini pada
stadium metastasis didapatkan overall response rate sekitar 30 -35%.
Kemoterapi neoadjuvan (induksi) pada kasus keganasan kepala dan leher
yang baru dengan menggunakan kombinasi kombinasi Cisplatin-5 FU
didapatkan average overall response 85% dan CR 35%, sedangkan
kombinasi Carboplatin - 5 FU didapatkan 79% dan 28% (Forastiere, 1994).
Meskipun response rate sedikit lebih rendah (tidak signifikan), Carboplatin
mempunyai beberapa kelebihan yaitu tidak perlu harus masuk rumah sakit,
mual-muntah derajat ringan dan efek samping terhadap ginjal lebih kecil.
Menurut Soebandiri (1997) pemilihan obat sitostatika pada
keganasan rongga mulut, tergantung dan hasil pemeriksaan Patologi
Anatomi. Obat-obat yang aktif untuk jenis epidermoid karsinoma
rongga mulut antara lain Cisplatin, MTX, Bleomycin,
Cyclophosphamide, Adriamycin, Vincristin. Obat-obat ini memberikan
response rate berkisar antara 25-40%. Sedangkan obat anti kanker yang
aktif untuk jenis adenokarsinoma rongga muhit antara lain Fluorourasil,
Mitomycin C, Cisplatin, Adriamycin. Obat-obat ini memberikan response
rate 20-30%. Sedangkan obat-obat yang aktif untuk osteosarkoma antara
lain: MTX dosis tinggi + Leucovorin (HDMTX), Adriamycin,
Dactinomycin, Bleomycin, Cyclophosphamide dan Cisplatin. Obat-obat
ini response rate 20-40%.
Clark (1997) memberikan kemoterapi neoadjuvan pada 102
penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan Ieher dengan Cisplatin
(35 mg/m2/hari secara infus kontinyu, hari 1-5), Fluorouracil (800
mg/m2/hari secara infus kontinyu, hari 2-6) dan Leucovorin (500
mg/m2/hari secara infus kontinyu, hari 1-6). Diberikan sebanyak 279
siklus (total), didapatkan response rate sebesar 81 %. Setelah menjalani
terapi definitif didapatkan bebas tumor 82%, termasuk 69% penderita dapat
dipertahankan anatomi dimana tumor berada. Pada evaluasi dengan median
63 bulan didapatkan local control rate pada 5 tahun sebesar 68%.
Urba dkk (2000) memberikan kemoterapi neoadjuvan pada tumor
ganas orofaring dan hipofaring dengan pemberian Carboplatin (400
33

mg/m2, IV, hari ke 1) dan 5-FU (1000 mg/m2/hari, IV, hari ke 2 - 6). Obatobatan ini diberikan sebanyak 3 siklus yang diulangsetiap 3 minggu.
Penderita yang mengalami remisi sekuiangnya 50%, duanjutkan dengan
pemberian terapi definitif radiasi sebanyak 6600 - 7380 cGy. Dosis
radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba, diberikan radiasi
sebesar 5000 cGy, < 2cm diberikan 6600 cGy, antara 2 - 4 cm diberikan
7000 cGy dan bila > 4 cm diberikan dosis 7380 cGy. Pada kelompok
lainnya diberikan regimen yang berbeda yaitu Carboplatin (400 mg/m2
diberikan IV pada hari ke 1), 5-Fluorouracil (420 mg/m2/hari melahii
infus kontmu hari ke 2 - 6) dan Leucovorin (200 mg/ m2/hari melalui
infus kontmu hari ke 1 - 6). Obat-obat ini diberikan sebanyak 3 siklus setiap
3 minggu. Penderita yang memberikan respon baik dilanjutkan dengan
terapi radiasi yang dipercepat sebanyak 7120 cGy dalam 41 fraksi selama
5,5 minggu. Sedangkan penderita dengan respon terapi yang minimal atau
mengalami progresivitas, segera dilakukan operasi. Respon terapi maupun
toksisitas yang terjadi dan kedua kelompok tersebut ternyata hampir sama
yaitu CR 48 % dan PR 34% . Penderita yang berhasil melanjutkan
terapi radiasi. sebanyak 58%. Angka bertahan hidup 3 dan 5 tahun
sebesar 40% dan 24%.
Rooney et al (1984) memberikan beberapa kemoterapi induksi
(neoadjuvan) pada tumor ganas kepala leher stadium lanjut. Kelompok 1
diberikan Cisplatin + Oncovin (Vincristin) + Bleomycin (COB) sebanyak 2
siklus. Kelompok 2 diberikan 5-FU secara infus 96 jam dan Cisplatin
sebanyak 2 siklus. Sedangkan kelompok 3 diberikan 5-FU secara infus 120
jam + Cisplatin sebanyak 3 siklus. Secara berurutan (kelompok 1,2 dan 3)
didapatkan response rate sebesar 80%, 88% dan 93%. Sedangkan CR
sebesar 19%, 29% dan 54% (p< 0,04). Kelompok responder yang mendapat
kemoterapi didapatkan survival yang lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan kelompok lain yang tidak mendapat kemoterapi.
Kesimpulannya pemberian 5-FU secara infus selama 120 jam dan Cisplatin
sebanyak 3 siklus dapat meningkatkan CR dan survival penderita tumor
ganas kepala dan leher stadium lanjut.
Penatalaksanaan karsinoma laring menurut Denic (1995) dengan
34

pemberian kemoterapi neoadjuvan berupa kombinasi obat Cisplatin


100mg/m2, IV, hari ke 1, 5-FU 1000 mg/m IV selama 5 hari. Pemberian
kemoterapi ini diulang tiap 4 minggu sebanyak 1-3 kali tergantung
responnya. Response rate dapat mencapai 70%. Bila setelah pemberian
kemoterapi tidak memberikan respon, penderita langsung dilakukan
laringektomi. Bila memberikan respons yang cukup baik, dilanjutkan
dengan pemberian radioterapi. Selanjutnya bila setelah pemberian
radioterapi hasilnya tidak dapat mencapai complete response maka
penderita diputuskan untuk dilakukan laringektomi. Evaluasi keberhasilan
terapi ini dilakukan dengan pemeriksaan laringoskopi 2 bulan sekali pada
tahun ke-1, 3 bulan sekali. pada tahun ke-2, 6 bulan sekali pada tahun ke-3,
dan untuk selanjutnya setiap tahun sepanjang hidupnya
Hainworth et al. (1997) melakukan penelitian pada penderita tumor
ganas kepala leher lanjut lokal (5 kasus) dan metastasis (6 kasus) dengan
memberikan Paclitaxel (Taxol) dosis.20) mg/m2 melalui infos dalam 1 jam
hari 1 dan 21. Carboplatin AUC = 6, IV, hari ke 1 dan 21. 5-FU 225 mg/m2/
hari per infus 24 jam, hari ke 1 - 4. Didapatkan hasil OR: 80% dan CR 80 %
Chougule et al (1997) meneliti penderita karsinoma sel skuamosa di
daerah kepala leher stadium lanjut yang operabel (26 kasus) dan
inoperabel (16 kasus) dengan memberikan Paclitaxel 60 mg/m2, IV, hari ke 1;
Carboplatin AUC=1 hari ke 1 dan radioterapi 45 Gy. Pada kasus yang operabel
didapatkan OR 96% (CR 73% dan PR 23%), sedangkan pada kasus yang
inoperabel didapalkan OR 55% (CR 69% dan PR 19%).
Suatu penelitian random dilakukan oleh Laramore dkk. (1985-1990)
yang dikutip Agarwala (1999) meliputi 499 penderita tumor ganas
kawm oris, orofaring, hipofaring, dan laring stadium lanjut
lokoregional setelah pembedahan. Pada kelompok I diberikan terapi
radiasi saja, sedangkan kelompok ke 2 diberikan 3 siklus sitostatika yaitu
Cisplatin dan 5 FU yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian radiasi.
Ternyata angka bertahan hidup 4 tahun tidak berbeda bermakna (44%
dibanding 48%). Sedangkan terhadap terjadinya metastasis jauh pada
kelompok kemoterapi didapatkan angka yang lebih sedikit yaitu 23%
dibanding 15% (p=0,03).
Kemoradioterapi concomitant yang diberikan pada keganasan
35

kepala leher stadium lanjut lokal dilaporkan angka respons secara


kesehiruhan sebesar 70% -100% dan CR mencapai 95%. Beberapa peneliti
memberikan kemoradioterapi pada keganasan kepala leher yang unresectable
dengan hasil berupa respons lengkap (CR) sekitar 58% -94% (Sarrat,1995;
Forastiere, 1994). Vokes (1993) berdasarkan penelitiannya mendapatkan
response rate berkisar antara 75 - 100% dan 4 years survival rate dapat
mencapai 59%.
Pada keganasan sinus paranasal, kemoterapi umumnya hanya
diberikan sebagai terapi paliatif pada kasus rekurensi dan metastasis jauh.
Walaupun bukan merupakan terapi standard, pemberian kemoterapi adjuvan
pada tumor ganas sinus paranasal dapat diberikan secara intra-arterial
sebelum dilakukan pembedahan dan radioterapi sebagai terapi utamanya
(Geritsen, 1989).
Sejak akhir 1970, terapi multimodalitas telah diteliti untuk mengobati
karsinoma sinus maksila stadium lanjut dengan tujuan meningkatkan
kontrol tumor dan menurunkan kerusakan fungsi organ. Kemoterapi induksi
dan kemoradiasi konkuren merupakan terapi multimodalitas yang paling
umum bagi karsinoma sinus maksila stadium III dan IV. Kemoradiasi
konkuren memiliki efektivitas lebih oleh karena efek radiosensitisasi
Cisplatin. Regimen induksi kemoterapi tersering yang digunakan yaitu
Cisplatin (iv) dikombinasi dengan infus 5-FU kontinyu. Untuk meningkatkan
efikasi antitumor, dilakukan penambahan obat sitotoksik poten seperti
Docetaxel ke dalam regimen kemoterapi standar. Won, Chun, Kim et al
(2009) melaporkan hasil terapi pada 44 penderita karsinoma sinus maksila
stadium lanjut antara 1990 hingga 2008, didapatkan response rate sebesar
70% pada kelompok kemoterapi induksi intra-arterial, 53% untuk kelompok
kemoterapi induksi intravena dan 57% untuk kelompok kemoradiasi
konkuren.
Knegt, Ah-See, Velden, Kerrebijn (2001) melakukan penelitian
terhadap 62 penderita karsinoma kompleks sinus etmoidal di Department of
Head and Neck Surgery, University Hospital of Rotterdam, Belanda, antara
1976 hingga 1997. Dilakukan terapi dengan regimen kombinasi operasi
debulking dan kemoterapi topikal fluorourasil serta nekrotomi berulang.
Didapatkan hasil berupa disease free survival untuk 2 tahun sebesar 96%, 5
36

tahun sebesar 87% dan 10 tahun sebesar 74%. Hasil yang baik juga
didapatkan untuk jenis karsinoma sel skuamosa dan karsinoma
undifferetiated yaitu untuk survival rate 5 tahun sebesar 50%. Bila
dibandingkan dengan reseksi kraniofasial, maka regimen ini memberikan hasil
lebih baik.
Penggunaan kemoterapi dengan regimen Cisplatin baru mulai
diperkenalkan pada tahun 1980-an. Sebelumnya digunakan metotreksat untuk
terapi karsinoma sel skuamosa sinonasal. Penggunaan ekstensif kombinasi
kemoterapi dan radioterapi serta pembedahan terbatas telah dilaporkan terutama
di literatur Jepang namun belum memberikan dampak signifikan pada terapi
karsinoma sel skuamosa sinonasal (Ashraf et al, 2010).
Publikasi tentang penggunaan kemoterapi pada karsinoma
sinonasal masih terbatas dan sebagian besar retrospektif dengan jumlah
penderita terbatas dan gambaran histologi bervariasi. Sebagian besar
menggunakan regimen platinum dengan response rate bervariasi antara 36
hingga 84%. Licitra et al tahun 2003 melaporkan penelitian prospektif fase II
yang meneliti peran kemoterapi primer dilanjutkan dengan pendekatan operatif
atau radioterapi. Sebanyak 49 penderita karsinoma sinonasal diterapi primer
dengan PFL (leucovorin 250 mg/m 2/hari selama 5 hari, 5-FU 800 mg/m
/hari dan cisplatin 100 mg/m 2/hari) setiap 3-4 minggu, untuk 5 regimen.
Sebagian besar mempunyai gambaran histologi adenokarsinoma yang bersifat
kemosensitif. Diperoleh hasil angka remisi komplit yang tinggi. Disimpulkan
kemoterapi dapat menjadi alternatif pendekatan terapi non pembedahan.
Rosen et al meneliti 12 penderita karsinoma sinus paranasal dan
rongga hidung locally advanced yang diterapi dengan induksi Cisplatin dan
infus 5-FU dilanjutkan radioterapi dan pembedahan terbatas. Hasilnya
respons rate 70% dan control local diperoleh pada 11 dari 12 penderita.
Sepuluh penderita hidup bebas tumor selama 27 bulan. Peneliti lain meneliti
11 penderita karsinoma sinonasal T4 yang unresectable, di terapi dengan
radioterapi 70 Gy dan Cisplatin, didapatkan hasil 3 ysr local control 78%. Juga
pada studi kohort 19 karsinoma sinus paranasal penderita stadium HI dan IV
yang mendapat terapi fase II uji coba dengan kemoradiasi konkuren (sebagian
besar induksi cisplatin dan 5-FU dilanjutkan pembedahan dan kemoradiasi
adjuvan terdiri dari 60 Gy dan 5-FU serta hidroksiurea), didapatkan kontrol
37

lokoregional 76% dan 5-year survival rate 73%. Berdasarkan hasil tersebut,
maka kemoradiasi dapat dipertimbangkan terutama pada penderita dengan
prognosis jelek dan histologi sel skuamosa termasuk T3 atau T4, N+ dan tumor
yang inoperabel.
Penelitian di National Cancer Institute (NCI), kemoterapi diberikan
sebelum operasi atau radiasi (neo-adjuvan) atau bersamaan dengan radioterapi
(konkomitan) pada keganasan sinonasal stadium II, in dan IV. Kemoterapi
juga diberikan pada karsinoma sinonasal yang rekuren, baik rekurensi lokal
atau jauh atau ditemukannya residu tumor. Pada penderita dengan respon
komplit didapatkan angka ketahanan hidup yang meningkat. Umumnya
diberikan kombinasi terapi dengan platinum dan terapi radiasi.
Penelitian Samant Robbins, Vang et al, 2004 di Universitas Tennessee
Health Science Center Memphis antara tahun 1995 - 2000 pada 19
penderita keganasan sinonasal lanjut yang mendapat radioterapi
preoperatif dan kemoterapi konkomitan berupa intra-arterial Cisplatin (150
mg/m2 per minggu) dan netralisasi dengan sodium tiosulfat dilanjutkan
dengan tindakan operasi. Didapatkan angka ketahanan hidup keseluruhan 2
tahun sebesar 68%, dan 5 tahun sebesar 53%.
Isobe et al (2005) melakukan penelitian restrospektif terhadap 124
penderita karsinoma sel skuamosa sinus maksila, 93% penderita dengan T3
dan T4. Sebanyak 39 penderita mendapat kemoterapi neoadjuvan, 38 penderita
mendapat kemoradioterapi konkuren dan 47 penderita mendapat
kemoterapi neoadjuvan diikuti dengan kemoradioterapi konkuren, 98
penderita mendapat maksilektomi. Neoadjuvan kemoterapi terdiri dari
kombinasi Cisplatin 75-100 mg dan bolus peplomisin 5 mg/hari atau infus 5FU 1000-1500 mg/hari selama 5 hari. Radioterapi diberikan dengan dosis
median 60 Gy. Didapatkan overall survival sebesar 56,6% dan probabilitas
kontrol lokal sebesar 73,7%.
Berdasarkan laporan penelitian dengan menggunakan cara
pemberian dan regimen yang berbeda-beda, tampaknya pemberian
kemoterapi
bersamaan
radioterapi
{concomitant
/
alternating
radiochemotherapy) diperoleh hasil yang lebih baik. Namun demikian
penelitian-penelitian ini bersifat sangat heterogen dan tidak ada regimen
yang dapat ditetapkan sebagai terapi standard, sehingga sulit untuk dapat
38

diambil kesimpulan. Untuk mengetahui manfaat kemoterapi adjuvan


diperlukan penelitian lebih lanjut yang difokuskan pada regimen, dosis
kemoterapi, waktu pemberian radioterapi dan toksisitas yang terjadi.
RINGKASAN
Kemoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat
penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring, maupun keganasan
kepala dan leher umumnya. Biasanya diberikan untuk kasus stadium lanjut
lokoregional, rekuren dan metastasis jauh. Tujuan pemberian kemoterapi untuk
menghilangkan tumor lokal, regional dan mikro-metastasis. Diantara berbagai
regimen kemoterapi yang sering digunakan adalah kombinasi Cisplatin dengan
obat sitostatika lainnya seperti 5-Fluorouracil, Methotrexate, Bleomycin,
Mitomycin C, Vincristine, Cyclophosphamide aiau Doxorubicin. Akhirakhir ini Cisplatin atau Karboplatin dikombinasi dengan golongan Taxane
(mis. Docetaxel, Paclitaxel) atau Gemcitabine dilaporkan efektif untuk
penderita karsinoma nasofaring, maupun keganasan didaerah kepala dan leher
lainnya. Kemoterapi yang diberikan bersamaan dengan radioterapi
(concomitant chemoradiotherapy) dilaporkan memberi hasil yang lebih
baik. Sangat penting melakukan deteksi sedini mungkin efek samping obat
kemoterapi sehingga dapat segera dilakukan upaya penanganannya.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Abithol AA, Sridhar KS, Lewin AA, Schwade JG, Raub W, Wolfson
A, Angulo AD, Goodwin WJ, Markoe AM, 1995. Hyperfractionated
Radiation Therapy and 5- fluorouracil, Cisplatin, and Mitomycin C (
Granulocyte Colony Stimulating Factor) in the Treatment of Patients
with Locally Advanced Head and Neck Carcinoma. American Cancer
Society, 266- 75 Agarwala SS, 1999. Adjuvant Chemoherapy in Head
and Neck Cancer, Hematology / Oncology Clinics of North America,
Vol:3. No. 4 (Augustus).
39

2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

40

Aisner J, Jacobs M, Sinabaldi V, Gray W, Eisenberger M, 1994.


Chemoradiotherapy for the treatment of regionally advanced Head
and Neck Cancer. Seminar in Oncology, Vol 21, No 5, Suppl 12
(October), 35-44
Ashraf M, Biswas J, Dam A, Bhowmick A, Jha JK, Sing V, Nayak S,
2010. Results of Treatment of Squamous Cell Carcinoma of
Maxillary Sinus: A 26-Year Experience. World J Oncol, 1:28-34
Clark JR, Busse PM, Norris CM et al, 1997. Induction Chemotherapy
with Cisplatin, Fluorouracil, and High-Dose Leucoverin for Squamous
Cell Carcinoma of Head and Neck : Long-Term Results. Journal of
Clinical Oncology, Vol 15, No 9,3100 - 1 0
Cognetti F, Pinnaro B, Carlini P, Ruggerri M et al, 1988. Neoadjuvant
Chemotherapy in Previously Untreated Patients with Advanced Head
and Neck Squamous Cell Cancer. Cancer 62 ,251 - 61
Cornis RL, 1994. Cisplatin : The Future. Seminar in Oncology. Vol 21,
No 5, Suppl 12 (October), 109-13
Ervin TJ, Weiichselbaum RR, Fabian Rl, Miller D et al, 1984.
Advanced Squamous Carcinoma of the Head and Neck. Arch
Otolaryngol, Vol 110, April, 241-9
Fisher D, Knobf TM, Durivage HJ, 1997. Head and neck squamous
cell carcinoma. Dalam : The cancer chemotherapy handbook. Fifth
Ed. St Louis Baltimore Boston: Mosby, 344-7
Forastiere AA, 1994. Overview of Platinum Chemotherapy in Head and
Neck Cancer. Seminar in Oncology. Vol 21, No 5, Suppl 12 (October),
20-7
Gerritsen GJ. Treatment of Paranasal Sinuses Cancer. J Oncology
1989,1:109 15
Hitt R, Castellano D, Hidalgo M, etal, 1998. Phase 11 Trial of Cisplatin
and Gemcitabine in Advanced Squamous Cell Carcinoma of Head and
Neck. Ann Oncol: 9,1347 - 9
Isobe K, Uno T, Hanazawa T, Kawakami H, Yamamoto S, Suzuki
H, et al, 2005. Preoperative Chemotherapy and Radiation Therapy for
Squamous Cell Carcinoma of the Maxillary Sinus. Jpn J Clin Oncol;
35(11): 633-8
Jones AS, 1997. Neoplastic Chemotherapy and Head and Neck Cancer,

ed. Review. J. LaryngOtol, 111,607-10


14. Khandekar JD, 1990. Chemotherapy of Head and Neck Cancer.
15. Khwaja R, Langer C. Padavic K. et al, 2000. Phase 11 evaluation of
weekly Cisplatin (CDDP) and Gemcitabine (GEM) in the Treatment of
incurable Squamous Cell Carcinoma of Head and Neck. Prog. Annual
Meet Am Soc Clin Oncol 19:1630
16. Knegt PP, Ah-See KW, Velden LA, Kerrebijn J, 2001. Adenocarcinoma of
the Ethmoidal Sinus Complex: Surgical Debulking and Topical
Fluorouracil may be the optimal treatment. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg, 127:141-6
17. Licitra L, Locati LD, Cavina R, Garassino L, Mattavelli F, Pizzi N,
Quattrone P, et al., 2003. Primary chemotherapy followed by anterior
craniofacial resection and radiotherapy for paranasal cancer. Annals of
Oncology, 14: 367-72
18. National Cancer Institute, 2008. Paranasal Sinus and Nasal Cavity
Cancer Treatment.Treatment - Health Professional Information, July: 118.
19. Needleman SW. 1982. Basic Principles of Chemotherapy in the
Treatment of Metastatic Head and Neck Cancer. Ann Otol 1982; 91:145149.
20. Ngan, 2001. Gemcitabine-use in head and neck cancer. Dalam: Lilly
medical information service, 1-9 Rodriquez GA, Calvo BE, Soria CP,
21. Rodriquez GJR, Rodriquez SCA, Gonzales G, Solbes SR, Soler
RU,
1998.
Radiotherapy
alone
versus
neo-adjuvant
chemotherapy and irradiation in the treatment of carcinoma off the
nasopharynx. Acta Otorrinolaringol Esp,Oct; 49(7): 548-53
22. Rooney M, Kish J, Jacobs J, Kinsie J, Weaver A, Crissman J, AlSarraf M, 1984. Improved Complete Response Rate and Survival in
Advanced Head and Neck Cancer After Three-Course Induction
Therapy with 120-Hour 5-FU Infusion and Cisplatin. Cancer 55: 1123 - 8
23. Samant S, Robbins KT, Vang M, Wan J, Robertson J, 2004. Intra-arterial
Cisplatin and Concomitant Radiation Therapy Followed by Surgery for
Advanced Paranasal Sinus Cancer. Arch Otolaryngol Head Neck Surg,
130: 948-955.
24. Sarraf M, 1994. Cisplatin Combination in the Treatment of Head

41

25.
26.

27.

28.
29.
30.
31.
32.

33.

42

and Neck Cancer. Seminar in Oncology. Vol 21, No 5, Suppl 12


(October), 28 - 34.
Soebandiri, 1988. Terapi medik dari kanker tepat guna. Majalah
penyakit Dalam, Surabaya, 2
Soebandiri, 1997. Terapi Medik Kanker yang Rasional. Dalam:
Basic Science of Oncology, Pertemuan Ilmiah Berkala 111 Proyek
Trigonum, 115-27
Smets LA, Pinedo HM, Velde CJ, 1999. Prinsip-prinsip Kemoterapi.
Dalam Velde CJ, Bosman W, Wagener DJ. Onkologi. Ed ke-5. Panitia
kanker RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta,217-31
Sukardja IDG, 1996. Dasar-dasar Kemoterapi Kanker. Dalam, Soekardja
ID, Onkologi Klinik. Surabaya. Airlangga University Press, 189 206
Thompson LDR, 2006. Sinonasal Carcinomas. Current Diagnostic
Pathology 12:40-53.
Tobias JS, 1992. Current Role of Chemotherapy in Head and Neck
Cancers. Practical Therapeutics. Drug 43 (3), 333 - 343.
Urba SG, et al., 2000. Neoadjuvant Therapy for Organ Preservation in
Head and Neck Cancer. Laryngoscope 110: 145-9
Vokes EE, 1993. Principles of Chemotheraphy in Threating Head and
Neck Cancer. In: Bailey Head and Neck Surgery. Philadelphia : JB
Lippincott Co., 1029 - 39
Won HS, Chun SH, Kim B, Chung SR, Yoo IR, Jung CK, et al.,
2009. Treatment outcome of maxillary sinus cancer. Laryngoscope 99:
11-2

Anda mungkin juga menyukai