PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu penyakit
kanker yang "ditakuti", karena sering menimbulkan penderitaan
(morbiditas) dan bahkan kematian (mortalitas). Sampai sekarang,
KNF masih merupakan kanker di daerah kepala dan leher yang paling
sering diketemukan di Indonesia maupun negara negara di Asia Tenggara
umumnya seperti China (terutama provinsi Guangdong), Hongkong,
Taiwan dan Singapore. Penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
selama periode 1996-2000 didapatkan 887 penderita KNF (41,90%) dari
2119 penderita tumor ganas yang berobat (Reksoprawiro, 2001).
Berdasarkan data kombinasi klinik dan patologi dari berbagai RS di
Indonesia KNF menempati urutan ke enam dari tumor ganas tubuh
manusia setelah kanker leher rahim, hati, payudara, paru dan kulit
(Roezin, 1997). Insidens KNF di Indonesia berdasarkan data patologi di
berbagai kota besar (laporan tahun 1979) sekitar 4,7 kasus per 100.000
penduduk. Berdasarkan data riset terbaru, dilaporkan insidens KNF
sebesar 6,2 kasus per 100.000 penduduk pertahun (Adham et al, 2012).
Modalitas terapi utama untuk KNF adalah radioterapi (Lin, 1999) dengan
overall response rate sekitar 25% - 65% dan CR sekitar 50% (Nell, 1993).
Respons KNF terhadap radiasi dilaporkan lebih meningkat bila
dikombinasi dengan kemoterapi seperti Cisplatin, 5-Fluorourasil,
Hydroxyurea dan Mytomicin C (Zidan, 1986; Choksi, 1988; Isobe, 1988;
Sugiarto, 1994; Isobe, 1998; Sarraf, 1998; Rodriques, 1998; Hasbini,
1999). Faktor etiologi Karsinoma nasofaring yang terpenting adalah
1
metastasis jauh dan memberantas (eliminasi) sel kanker yang tidak tampak
atau mikrometastasis (Ervin et al, 1984; Cognetti et al, 1987; Forastiere, 1994;
Abithol et al, 1995; Claik et al, 1997; Yeo et al, 1998; Agarwala, 1999).
Pada makalah ini akan dibahas berbagai informasi dasar mengenai
kemoterapi pada penderita karsinoma nasofaring (keganasan kepala dan leher),
regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada karsinoma nasofaring maupun
keganasan kepala-leher lainnya dan laporan hasil penelitian pemberian
kemoterapi pada penderita karsinoma nasofaring dan keganasan di daerah kepala
dan leher lainnya.
1. Dasar biologi terapi sistemik pada kanker
Obat sitotoksik mempunyai efek primer pada sintesis atau fungsi makro
molekul, yaitu mempengaruhi DNA, RNA atau protein yang berperan dalam
pertumbuhan sel kanker, sehingga sel kanker menjadi mati. Oleh karena itu
sebagian besar obat sitotoksik tidak efektif terhadap sel-sel pada fase G 0
karena sel tersebut relatif inaktif, artinya tidak ada sintesis makro molekul.
Dari berbagai studi diketahui kematian sel tidak terjadi pada saat sel
terpapar dengan obat. Seringkali suatu sel harus melalui beberapa tahap
pembelahan sebelum kemudian mati. Oleh karena hanya sebagian sel yang
mati akibat obat yang diberikan, maka dosis kemoterapi yang berulang harus
terus diberikan untuk mengurangi jumlah sel kanker yang ada. Terdapat
hubungan terbalik antara jumlah sel dan kurabilitas obat kemoterapi.
Berdasarkan model pada tikus, efek sitotoksik dari obat anti kanker bersifat
logaritmik. Secara umum suatu obat diperkirakan membunuh sel tumor dalam
fraksi yang konstan, artinya jika suatu obat membunuh sel kanker log 3,
berarti akan mengurangi tumor dari 1010 menjadi 107 sel. Dosis yang sama
juga akan mengurangi 105 sel tumor menjadi 102 sel. Jika terapi gagal
membunuh galur sel yang sensitif, hal ini disebabkan karena pada awalnya
jumlah sel asal terlalu tinggi untuk dosis kuratif potensial dari obat tersebut.
Sel kanker dapat terdeteksi secara klinis setelah berjumlah 10 9 sel dan tidak
menunjukkan respon terhadap terapi setelah berjumlah 1012 sel.
2. Siklus sel dan obat sitotoksik
Sel tubuh tumbuh secara alamiah mengikuti alur atau fase fase
4
pertumbuhan. Fase pertumbuhan sel ini mengikuti siklus tertentu yang disebut
siklus sel (cell cycle). Dari berbagai studi diketahui adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker
dan sel normal. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan dan pembelahan
antara sel kanker dan sel normal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengobatan dengan kemoterapi. Jaringan tubuh (normal) yang cepat proliferasi
(mis. sumsum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan) lebih mudah
terkena efek dari obat sitostatika. Sel kanker kebanyakan menjalani siklus lebih
lama dari sel normal, sehingga akan lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika.
Pemahaman mengenai siklus sel ini merupakan titik tolak dari cara kerja
obat anti kanker.
1.
2.
3.
obat yang efektif pada fase tertentu dari siklus sel {phase-specific drug)
obat yang efektif pada sel yang berada pada siklus sel, namun tidak
tergantung pada fase nya (cell cycle-specific drug)
obat yang efektif baik saat sel berada pada siklus sel ataupun istirahat (cell
cycle-non specific drug).
letal pada sepanjang siklus sel. Sebagian besar anti metabolit menimbulkan
toksisitas letal hanya pada sel-sel yang mensintesis DNA, misalnya
metotreksat dan doksorubisin mempunyai toksisitas maksimum untuk fase S.
Banyak obat dari golongan ini onset atau kelanjutan sintesis DNA dari sel
yang lolos dari terapi.
Terjadinya toksisitas letal pada suatu siklus sel tidak selalu sinkron
dengan mekanisme kerja suatu obat. Vinkristin dan Vinblastin diketahui
mengganggu pembentukan mitotic spindle yang mengakibatkan terhentinya
sel pada fase mitosis.
ketika sel berada pada fase S, yaitu ketika pembentukan mitotic spindle
dimulai. Docetaxel dan paclitaxel yang bekerja dengan menstabilisasi tubulin
mempunyai efek letal pada siklus sel yang berbeda. Docetaxel
memberikan efek toksik maksimal pada fase S sedangkan paclitaxel
menunjukkan peningkatan toksisitas pada sel-sel yang meninggalkan
fase S melalui fase G2, masuk ke fase M.
Gambar 3. Diagram tempat kerja obat anti kanker dalam siklus sel.
4. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kemoterapi
Umumnya obat anti kanker ini sangat toksis, sehingga
penggunaannya perlu hati-hati" dan atas indikasi yang tepat. Faktor-faktor
yang harus diperhatikan dalam merencanakan kemoterapi adalah rejimen
pengobatan, dosis, cara pemberian dan jadwal pemberian. Faktor penderita
yang harus diperhatikan adalah usia, status gizi, status penampilan serta fungsi
paru, ginjal, hati, jantung dan penyakit penyerta lainnya. Faktor yang
berhubungan dengan tumor adalah jenis dan derajat histologi, tumor primer
atau metastasis, lokasi metastasis serta ukuran tumor.
Menurut Soebandiri (1988) pemberian kemoterapi pada penderita
9
kanker harus "rasional" yaitu bila telah memenuhi 5 tepat yang meliputi 1)
tepat indikasi, 2) tepat obat, 3) tepat dosis, 4) tepat cara pemberian, dan 5)
tepat cara pemantauan.
Sangat penting menentukan keadaan umum dari penderita sebelum
pengobatan dengan kemoterapi. Dengan menilai keadaan umum penderita
akan dapat diketahui sampai berapa besar pengaruh kanker terhadap
penderita, serta dapat diperkirakan dampak yang mungkin timbul apabila
diberikan obat-obat anti kanker. Penilaian keadaan umum dititik beratkan pada
kemampuan penderita tersebut melakukan aktifitas. Ada beberapa cara
menentukan keadaan umum penderita kanker antara lain skala Karnofsky dan
skala ECOG. Pada awalnya sering digunakan skala Karnofsky, namun
sekarang jarang digunakan karena dinilai terlampau rumit sehingga sulit
dihapal, lagi pula kurang mempunyai arti klinik yang berarti.
Tabel 1. Penentuan keadaan umum berdasarkan skala Kamofsky
Kemampuan
Fungsional
Mampu melaksanakan
aktivitas normal
Tidak perlu Perawatan
khusus
Tidak mampu bekerja,
bisa tinggal di rumah
Perlu bantuan dalam
Derajat aktifitas
100% normal tanpa keluhan tidak
ada kelainan
90% keluhan gejala minimal
80% normal dengan beberapa keluhan
gejala
70% Mampu merawat diri, tak
mampu melakukan aktivitas normal atau
bekerja
60% kadang-kadang perlu bantuan tetapi
umumnya dapat melakukan untuk
keperluan sendiri
50% perlu bantuan dan umunya perlu
obat-obatan
40% perlu bantuan dan perawatan khusus
30% perlu pertimbangan-pertimbangan
masuk rumah sakit
10
kemoterapi, status penampilan buruk (kurang dari 40%), terdapat gagal organ
yang parah, metastase otak (jika tidak dapat diobati dengan radioterapi),
demensia, penderita tidak dapat datang secara regular, penderita tidak
kooperatif serta jenis kanker yang resisten terhadap obat anti kanker.
7. Cara pemberian kemoterapi
Menurut prioritas indikasinya terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaktis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak
dapat mandiri. Artinya terapi adjuvan tersebut hams menyertai terapi
utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar supaya hasilnya
lebih sempurna. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi
memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utama yang maksimal 1)
kankernya masih ada (VC/ biopsi masih positif) dan 2) kemungkinan besar
kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis
(Soebandiri, 1995). Kemoterapi adjuvan (tambahan) juga diberikan pada
tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya, kemoterapi adjuvan pada keganasan
termasuk keganasan kepala dan leher dibagi menjadi:
1) neoadjuvant or induction chemotherapy,
2) concurrent, simultaneous or concomitant chemoradiotherapy, dan
3) post definitive chemotherapy.
Menurut Agarwala (1999) semua kemoterapi yang diberikan untuk
menangani tumor lokoregional merupakan terapi adjuvan.
Kemoterapi neoadjuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya
tumor sebelum pembedahan atau radioterapi. Pemberian kemoterapi
neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak
sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis
sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala
leher stadium II dan IV dilaporkan overall response rate sebesar 80% - 90%
dan CR sekitar 50% (Sarraf, 1994). Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan
13
RNA) secara langsung (intra strand cross link). Cisplatin bekerja sinergistik
dengan radioterapi melalui kemampuannya menghambat DNA repair pada
sel kanker yang menerima dosis sub lethal dari radiasi.Efek samping
Cisplatin yaitu rasa raual, nefrotoksik, neuropati perifer, ototoksik,
gangguan elektrolit dan anoreksia. Carboplatin sering digunakan sebagai
pengganti Cisplatin, oleh karena lebih dapat ditoleransi tubuh (efek
sampingnya lebih sedikit dibandingkan Cisplatin, terutama efek terhadap
ginjal). Sedangkan 5-FU digolongkan antimetabolit yang berikatan dengan
thymidilate synthetase menyebabkan hambatan (blocking) konversi dari
uridine menjadi thymidine sehingga menghambat / mencegah sintesa DNA
pada fase S. Efek sampingnya yaitu anoreksia, mual, mukositis diare,
alopesia, supresi sumsum tulang dan cardiac toxicity. Methotrexate
mempunyai mechanisme of action berikatan dengan dihydrofolate reductase
sehingga mencegah sintesa DNA pada fase S. Efek sampingnya yaitu
supresi sumsum tulang, gangguan gastro-intestinal, mukositis, alopesia,
dermatitis, nefrotoksik, teratogenik, dan pneumonitis. Obat MTX ini sering
digunakan sebagai standard palliative therapy untuk tumor rekuren atau
metastasis jauh. Sitostatika golongan Taxane (mis. Paclitaxel dan
Docetaxel) mempunyai efek mencegah normal microtubular reorganization.
Efek samping yang sering terjadi yaitu netropeni, alopesia, dan mukositis.
Kombinasi obat-obat tersebut dapat sinergistik dalam membunuh sel kanker.
Kemoterapi kombinasi memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. pemusnahan sel kanker dapat terjadi secara maksimal dengan kisaran
toksisitas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh pasien
2. lebih luasnya kisaran interaksi antara obat dan sel tumor dengan
abnormalitas genetik yang berbeda pada populasi tumor yang
heterogen
3. kemoterapi kombinasi dapat mencegah atau memperlambat timbulnya
resistensi obat seluler.
Pertama, hanya obat yang diketahui efektif secara parsial melawan tumor yang
sama saat digunakan tunggal yang digunakan sebagai salah satu obat
kombinasi. Obat yang dapat menimbulkan respon komplit lebih disukai
dibandingkan yang hanya menimbulkan respon parsial. Kedua,
toksisitasnya tidak tumpang tindih dengan toksisitas obat lain dalam
kombinasi sehingga dapat meminimalisasi efek letal serta dapat
memaksimalkan intensitas dosis.
Untuk meningkatkan response rate, banyak peneliti memberikan
kombinasi beberapa sitostatika (multi drug) dengan dosis maksimal secara
berkesinambungan dengan radiasi. Tujuan yang hendak dicapai sepenuhnya
untuk mematikan tumor lokoregional maupun metastasis sistemik. Efek
samping dari kemoradioterapi (multimodalitas terapi) ini tentu saja lebih
hebat dari pada monomodalitas. Kemoterapi untuk keganasan di daerah
kepala dan leher sering menggunakan Cisplatin sebagai inti (Cisplatin
based). Ini dikemukakan oleh para peneliti seperti Tobias (1992), Comis
(1994), Forastiere (1994), Sarraf (1994), Fisher (1997), Jones (1997).
Suatu penelitian randomized comparative telah dilakukan pada 33
penderita untreated oropharyngeal cancer yang inoperable seiama periode
Maret 1993 sampai Oktober 1993. Sebanyak 17 penderita yang mendapat
radioterapi saja didapatkan CR sebesar 17,6%. Sedangkan 16 penderita
lainnya yang mendapat kemoradioterapi (Bleomycin, Mitomycin C dan
Nicotinamide) didapatkan CR sebesar 813% (p < 0.003). Kemoradioterapi
concomitant yang diberikan pada keganasan kepala leher stadium lanjut
lokal dilaporkan angka respons secara keseluruhan sebesar 70% - 100% dan
CR mencapai 95%. Beberapa peneliti lainnya memberikan kemoradioterapi
pada keganasan kepala leher yang unresectable dengan hasil berupa respons
lengkap (CR) sekitar 58% - 94% (Sarraf, 1995; Forastiere, 1994). Cara lain
untuk meningkatkan efektifitas radioterapi pada kasus keganasan kepalaleher yaitu radioterapi diberikan dalam dosis yang lebih kecil per fraksi
tetapi frekuensinya ditingkatkan (accelerated radiotherapy) atau dosis per
fraksi pemberian dan frekuensinya ditingkatkan (hyperfractionated
radiotherapy). Dengan cara pemberian radioterapi seperti ini diharapkan
akan menghambat sel tumor untuk memperbaiki diri dan melakukan
regenerasi.
16
3.
4.
5.
6.
7.
8.
20
metaboiik dan gangguan pembekuan darah. Efek samping obat (ESO) dapat
terjadi pada hari peitama, dapat timbul pada beberapa hari atau minggu.
Dianjurkan untuk secara rutin melakukan evaluasi dan pencatatan ESO
berdasarkan kriteria dari Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG
toxicity criteria) atau National Cancer Institute Common Criteria
(Needleman, 1982; Fisher, dkk, 1997; Smets, 1999).
10. Pemantauan efek samping obat kemoterapi
Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat
membelah naraun terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel
normal yang juga mempunyai sifat cepat membelah seperti rambut, mukosa
(selaput lendir), sumsum tulang, kulit dan sel reproduksi. Obat ini juga dapat
bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal dan sistem
saraf. Berikut akan dibahas beberapa efek samping yang dapat ditemukan
pada penderita yang mendapat kemoterapi.
10.1 Supresi sumsum tulang
Efek samping kemoterapi yang terjadi yaitu efek terhadap sistem
hematopoetik berupa trombositopeni, anemi dan leukopeni. Sebagian besar
program pengobatan standar dirancang sesuai dengan kinetika pemulihan
sumsum tulang setelah paparan kemoterapi. Beberapa tahun terakhir ini mulai
diberikan secara rutin faktor perangsang koloni seperti faktor perangsang
koloni makrofag (macrophage colony stimulating factor / M-CSF), dan faktor
perangsang koloni-granulosit (granulocyte-colony stimulating factor / G-CSF).
Faktor pertumbuhan ini sangat penting diberikan terutama bila penderita diberi
kemoterapi dosis intensif/tinggi. Pemberian faktor perangsang koloni ini dapat
mencegah leukopeni sehingga mengurangi insiden infeksi dan lamanya rawat
inap (Abithol et al, 1995). Supresi sumsum tulang akibat pemberian obat
sitostatika dapat terjadi segera maupun lambat. Pada supresi sumsum tulang
yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada
hari ke 8 sampai hari ke 14, setelah itu diperlukan waktu kurang lebih 7 hari
untuk menaikan kadar leukosit kembali. Pada supresi sumsum tulang yang
terjadi lambat, penurunan kadar leukosit terjadi 2 kali yaitu yang pertama
pada minggu ke 2 dan sekitar minggu ke 4-5. Kadar leukosit kemudian akan
22
naik lagi dan mencapai nilai mendekati normal pada minggu ke 6. Leukopeni
dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, sedangkan
trombositopeni dapat menyebabkan terjadinya perdarahan terutama bila terjadi
erosi pada saluran cerna.
10.2 Mukositis
Mukositis dapat terjadi pada rongga mulut (stomatitis), lidah (glositis),
tenggorok (esofagitis). Usus (enteritis) dan rektum (proktitis). Umumnya
mukositis menyebabkan luka luka kecil di mukosa (sariawan) yang dirasakan
nyeri, biasanya terjadi pada hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Satu kali mukositis
muncul maka akan terjadi mukositis kembali pada siklus berikutnya kecuali
jika obat diganti atau dosis diturunkan. Mukositis dapat menyebabkan infeksi
sekunder yang lebih serius, asupan gizi yang buruk, dehidrasi, penambahan
lama waktu perawatan dan peningkatan biaya perawatan.
Untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat mukositis maka
kebersihan mulut dan gigi harus dijaga. Penderita haras diingatkan untuk
berhati-hati dengan gigi palsunya dan memilih sikat gigi yang berbulu halus.
Setiap kali habis makan harus sikat gigi, mulut harus rutin dibersihkan dengan
cara berkumur obat antiseptik yang tidak mengandung alkohol. Mulut dan
bibir dijaga tetap lembab dengan cara seringkali dibasahi dengan air atau
gel pelembab mulut, dianjurkan isap permen yang keras untuk merangsang
keluarnya air liur. Jika telah terjadi infeksi sekunder (jamur, herpes atau
bakteri) harus diobati dengan obat yang sesuai.
10.3 Mual dan muntah
Mual dan muntah terjadi karena peradangan dari sel mukosa
(mukositis) yang melapisi sahiran cema. Muntah dapat terjadi secara akut (024 jam atau tertunda 24-96 jam) setelah kemoterapi.
Setiap obat tidak sama derajatnya dalam menimbulkan mual /
muntah. Obat yang sangat sering (>90%) menyebabkan muntah contohnya
Cisplatin, Dakarbazin, Mekloretamin dan Melfalan. Obat yang juga sering
(60-90%) menimbulkan muntah contohnya Siklofosfamid, Prokarbazin,
Etoposid, Metotreksat. Obat yang insidens nya sedang (30-60%) dalam
menimbulkan muntah misalnya 5-Fluourasil, Doksorubisin, Karboplatin,
23
yang rentan terhadap efek toksik obat anti kanker. Pria yang mendapat
kemoterapi seringkali produksi spennanya menurun. Biopsi testis
menunjukkan hilangnya sel germinal pada tubulus seminiferus. Hal mi
disebabkan oleh karena efek obat terhadap sel-sel yang berproliferasi cepat.
Efek anti spermatogenik ini dapat pulih kembali setelah kemoterapi dosis
rendah, tetapi pada beberapa pria mengalami infertilitas yang menetap.
Kemoterapi seringkali menyebabkan perempuan pramenopause
mengalami penghentian menstruasi sementara atau menetap dan timbul gejalagejala menopause. Hilangnya efek ini sangat tergantung dari usia, jenis obat
yang digunakan serta lama dan intensitas kemoterapi. Biopsi ovarium
menunjukkan kegagalan pembentukan folikel ovarium.
10.9 Gangguan fungsi organ tubuh
Beberapa obat sitostatika dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal,
hepar, jantung, paru dan sistem syaraf. Oleh karena itu sangat penting
melakukan pemeriksaan fungsi organ - organ tersebut sebelum pemberian
kemoterapi. Sebelum pemberian Cisplatin harus diberikan rehidrasi terlebih
dulu, dan pemberian Lasix untuk memperlancar fungsi ginjal dalam
membuang obat ini dari sirkulasi darah. Apabila terjadi gangguan fungsi
organ, sebaiknya dosis obat sitostatika dikurangi atau bahkan distop dan
diganti yang lain. Perlu diberikan obat obat untuk memperbaiki fungsi organ
yang terganggu.
Evalusi dan pencatatan ESO berdasarkan ECOG
27
mg/m2, IV, hari ke 1) dan 5-FU (1000 mg/m2/hari, IV, hari ke 2 - 6). Obatobatan ini diberikan sebanyak 3 siklus yang diulangsetiap 3 minggu.
Penderita yang mengalami remisi sekuiangnya 50%, duanjutkan dengan
pemberian terapi definitif radiasi sebanyak 6600 - 7380 cGy. Dosis
radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba, diberikan radiasi
sebesar 5000 cGy, < 2cm diberikan 6600 cGy, antara 2 - 4 cm diberikan
7000 cGy dan bila > 4 cm diberikan dosis 7380 cGy. Pada kelompok
lainnya diberikan regimen yang berbeda yaitu Carboplatin (400 mg/m2
diberikan IV pada hari ke 1), 5-Fluorouracil (420 mg/m2/hari melahii
infus kontmu hari ke 2 - 6) dan Leucovorin (200 mg/ m2/hari melalui
infus kontmu hari ke 1 - 6). Obat-obat ini diberikan sebanyak 3 siklus setiap
3 minggu. Penderita yang memberikan respon baik dilanjutkan dengan
terapi radiasi yang dipercepat sebanyak 7120 cGy dalam 41 fraksi selama
5,5 minggu. Sedangkan penderita dengan respon terapi yang minimal atau
mengalami progresivitas, segera dilakukan operasi. Respon terapi maupun
toksisitas yang terjadi dan kedua kelompok tersebut ternyata hampir sama
yaitu CR 48 % dan PR 34% . Penderita yang berhasil melanjutkan
terapi radiasi. sebanyak 58%. Angka bertahan hidup 3 dan 5 tahun
sebesar 40% dan 24%.
Rooney et al (1984) memberikan beberapa kemoterapi induksi
(neoadjuvan) pada tumor ganas kepala leher stadium lanjut. Kelompok 1
diberikan Cisplatin + Oncovin (Vincristin) + Bleomycin (COB) sebanyak 2
siklus. Kelompok 2 diberikan 5-FU secara infus 96 jam dan Cisplatin
sebanyak 2 siklus. Sedangkan kelompok 3 diberikan 5-FU secara infus 120
jam + Cisplatin sebanyak 3 siklus. Secara berurutan (kelompok 1,2 dan 3)
didapatkan response rate sebesar 80%, 88% dan 93%. Sedangkan CR
sebesar 19%, 29% dan 54% (p< 0,04). Kelompok responder yang mendapat
kemoterapi didapatkan survival yang lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan kelompok lain yang tidak mendapat kemoterapi.
Kesimpulannya pemberian 5-FU secara infus selama 120 jam dan Cisplatin
sebanyak 3 siklus dapat meningkatkan CR dan survival penderita tumor
ganas kepala dan leher stadium lanjut.
Penatalaksanaan karsinoma laring menurut Denic (1995) dengan
34
tahun sebesar 87% dan 10 tahun sebesar 74%. Hasil yang baik juga
didapatkan untuk jenis karsinoma sel skuamosa dan karsinoma
undifferetiated yaitu untuk survival rate 5 tahun sebesar 50%. Bila
dibandingkan dengan reseksi kraniofasial, maka regimen ini memberikan hasil
lebih baik.
Penggunaan kemoterapi dengan regimen Cisplatin baru mulai
diperkenalkan pada tahun 1980-an. Sebelumnya digunakan metotreksat untuk
terapi karsinoma sel skuamosa sinonasal. Penggunaan ekstensif kombinasi
kemoterapi dan radioterapi serta pembedahan terbatas telah dilaporkan terutama
di literatur Jepang namun belum memberikan dampak signifikan pada terapi
karsinoma sel skuamosa sinonasal (Ashraf et al, 2010).
Publikasi tentang penggunaan kemoterapi pada karsinoma
sinonasal masih terbatas dan sebagian besar retrospektif dengan jumlah
penderita terbatas dan gambaran histologi bervariasi. Sebagian besar
menggunakan regimen platinum dengan response rate bervariasi antara 36
hingga 84%. Licitra et al tahun 2003 melaporkan penelitian prospektif fase II
yang meneliti peran kemoterapi primer dilanjutkan dengan pendekatan operatif
atau radioterapi. Sebanyak 49 penderita karsinoma sinonasal diterapi primer
dengan PFL (leucovorin 250 mg/m 2/hari selama 5 hari, 5-FU 800 mg/m
/hari dan cisplatin 100 mg/m 2/hari) setiap 3-4 minggu, untuk 5 regimen.
Sebagian besar mempunyai gambaran histologi adenokarsinoma yang bersifat
kemosensitif. Diperoleh hasil angka remisi komplit yang tinggi. Disimpulkan
kemoterapi dapat menjadi alternatif pendekatan terapi non pembedahan.
Rosen et al meneliti 12 penderita karsinoma sinus paranasal dan
rongga hidung locally advanced yang diterapi dengan induksi Cisplatin dan
infus 5-FU dilanjutkan radioterapi dan pembedahan terbatas. Hasilnya
respons rate 70% dan control local diperoleh pada 11 dari 12 penderita.
Sepuluh penderita hidup bebas tumor selama 27 bulan. Peneliti lain meneliti
11 penderita karsinoma sinonasal T4 yang unresectable, di terapi dengan
radioterapi 70 Gy dan Cisplatin, didapatkan hasil 3 ysr local control 78%. Juga
pada studi kohort 19 karsinoma sinus paranasal penderita stadium HI dan IV
yang mendapat terapi fase II uji coba dengan kemoradiasi konkuren (sebagian
besar induksi cisplatin dan 5-FU dilanjutkan pembedahan dan kemoradiasi
adjuvan terdiri dari 60 Gy dan 5-FU serta hidroksiurea), didapatkan kontrol
37
lokoregional 76% dan 5-year survival rate 73%. Berdasarkan hasil tersebut,
maka kemoradiasi dapat dipertimbangkan terutama pada penderita dengan
prognosis jelek dan histologi sel skuamosa termasuk T3 atau T4, N+ dan tumor
yang inoperabel.
Penelitian di National Cancer Institute (NCI), kemoterapi diberikan
sebelum operasi atau radiasi (neo-adjuvan) atau bersamaan dengan radioterapi
(konkomitan) pada keganasan sinonasal stadium II, in dan IV. Kemoterapi
juga diberikan pada karsinoma sinonasal yang rekuren, baik rekurensi lokal
atau jauh atau ditemukannya residu tumor. Pada penderita dengan respon
komplit didapatkan angka ketahanan hidup yang meningkat. Umumnya
diberikan kombinasi terapi dengan platinum dan terapi radiasi.
Penelitian Samant Robbins, Vang et al, 2004 di Universitas Tennessee
Health Science Center Memphis antara tahun 1995 - 2000 pada 19
penderita keganasan sinonasal lanjut yang mendapat radioterapi
preoperatif dan kemoterapi konkomitan berupa intra-arterial Cisplatin (150
mg/m2 per minggu) dan netralisasi dengan sodium tiosulfat dilanjutkan
dengan tindakan operasi. Didapatkan angka ketahanan hidup keseluruhan 2
tahun sebesar 68%, dan 5 tahun sebesar 53%.
Isobe et al (2005) melakukan penelitian restrospektif terhadap 124
penderita karsinoma sel skuamosa sinus maksila, 93% penderita dengan T3
dan T4. Sebanyak 39 penderita mendapat kemoterapi neoadjuvan, 38 penderita
mendapat kemoradioterapi konkuren dan 47 penderita mendapat
kemoterapi neoadjuvan diikuti dengan kemoradioterapi konkuren, 98
penderita mendapat maksilektomi. Neoadjuvan kemoterapi terdiri dari
kombinasi Cisplatin 75-100 mg dan bolus peplomisin 5 mg/hari atau infus 5FU 1000-1500 mg/hari selama 5 hari. Radioterapi diberikan dengan dosis
median 60 Gy. Didapatkan overall survival sebesar 56,6% dan probabilitas
kontrol lokal sebesar 73,7%.
Berdasarkan laporan penelitian dengan menggunakan cara
pemberian dan regimen yang berbeda-beda, tampaknya pemberian
kemoterapi
bersamaan
radioterapi
{concomitant
/
alternating
radiochemotherapy) diperoleh hasil yang lebih baik. Namun demikian
penelitian-penelitian ini bersifat sangat heterogen dan tidak ada regimen
yang dapat ditetapkan sebagai terapi standard, sehingga sulit untuk dapat
38
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abithol AA, Sridhar KS, Lewin AA, Schwade JG, Raub W, Wolfson
A, Angulo AD, Goodwin WJ, Markoe AM, 1995. Hyperfractionated
Radiation Therapy and 5- fluorouracil, Cisplatin, and Mitomycin C (
Granulocyte Colony Stimulating Factor) in the Treatment of Patients
with Locally Advanced Head and Neck Carcinoma. American Cancer
Society, 266- 75 Agarwala SS, 1999. Adjuvant Chemoherapy in Head
and Neck Cancer, Hematology / Oncology Clinics of North America,
Vol:3. No. 4 (Augustus).
39
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
40
41
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
42