Anda di halaman 1dari 28

Kumpulan cerpen

SAWAH SUBARANG
Oleh Darman Moenir
Bertumpak-tumpak sawah di negari itu bernama Sawah Subarang. Subarang berarti seberang.
Sawah-sawah itu berada di seberang. Pembatas adalah jurang yang tidak dalam. Di dasar
jurang itu ada sungai kecil. Di hulu sungai, di ketinggian, kaki gunung, ada mata air yang
tidak pernah berhenti membersitkan air. Air itu mengairi sawah-sawah yang terhampar.
Timbal balik tebing jurang rimbun oleh pepohonan.
SANA-SINI ada jalan setapak, termasuk jalan ke sawah. Dan sesungguhnya terdapat banyak
kelompok pesawahan lain. Masing-masing punya nama. Ada Sawah Lakuak, Sawah Burai,
Sawah Baliak, Sawah Sikaladi. Ada pula Sawah Simanganak, Sawah Pamantangan, Sawah
Banda Baru, Sawah Banda Tunggang. Masing-masing punya makna tersendiri. Tumpaktumpak sawah itu berdendang banyak dan panjang, melagukan kehidupan beberapa ratus
anak manusia. Dendang itu kadang-kadang terbantun dalam bentuk gumam, siul, bisik, atau
tarikan napas yang panjang dan dalam.
"Ini peninggalan nenek kita," ujar Banun.
"Ya," jawab Marajo, adik Banun, datar.
Banun tahu, dengan hampir seratus ketiding panen padi setiap musim, kehidupan dia dan tiga
orang anaknya menjadi terbantu, terhidupi. Ketiga anak Banun lelaki, sudah beristri semua,
bahkan sudah mendatangkan enam orang cucu.
Banun tahu persis, tanpa penghasilan dari Sawah Subarang, tidak mungkin dia memberi
makan anak-anaknya.
Kini, Marajo tidak tega lagi membiarkan kakaknya, sepuluh tahun lebih tua, masih ke sawah.
Marajo sering mendampingi, biarpun dia bukan tidak punya pekerjaan rutin. Pekerjaan
Marajo adalah juga bertani, ke sawah dan ke ladang. Pori-pori yang membersitkan peluh di
sekujur tubuh Marajo beraroma tanah dan jerami.
Itu pula yang dilakukan mendiang suami Banun, bergelar Malin Putiah.
Persis sebagaimana rata-rata lelaki di negari itu, Malin Putiah adalah seorang petani. Seorang
petani sejati, bila boleh dirumuskan. Saat masih lajang, Malin Putiah sudah menggarap
pertanian, sawah dan ladang. Dan semangat Malin Putiah untuk bertani kian menggebu
setelah menyunting Banun, seorang gadis jombang. Betapa lagi setelah mereka mendapatkan
tiga orang putra. Malin Putiah dan Banun memang mengisi hari-hari mereka, bersama terik
mentari khatulistiwa, dengan cangkul, sabit, luluk, pematang, miang, tanaman padi, kacang
tanah, ulat dan puspa ragam sayur. Berselang-seling, padi dan kacang tanah panen dua kali
setahun. Malin Putiah pun mengerti cara mengenyahkan pianggang dan hama tanaman.
Pernah punggung kaki kanan Malin Putiah terluka sebagai akibat mata cangkul. Juga pernah
jari telunjuk tangan kiri terluka sabit tajam. Tidak terhitung kali Malian Putiah, di musim

kemarau, harus mengurus air pada malam hari, berebut air dengan petani-petani lain yang
juga memerlukan.
Bertani, bagi Malin Putiah, selalu menjanjikan dan memberikan kehidupan yang layak.
Malin Putiah memutus kaji, berkalkulasi, dalam sekali musim panen yang akumulatif
menghabiskan waktu selama enam bulan, dia berharap mendapat hasil yang mampu
menghidupi rumah tangganya, untuk makan-minum, selama setahun. Hasil panen pada
musim berikut dapat dia gunakan untuk menyekolahkan anak. Bukan tidak pernah pada masa
musim kemarau, sebagai contoh, hasil panen tidak memadai. Pada musim kemarau hama
wereng bahkan juga tikus memangsa tanaman. Pada kondisi seperti itu dia menggunakan
hasil panen yang sengaja dia simpan setelah sebagian digunakan untuk biaya sekolah anakanak. Berselang-seling, Malin Putiah bertanam padi dan kacang tanah.
Namun, celaka, tanpa diduga, kecelakaan fatal terjadi ketika selepas Dzuhur pada satu hari
Malin Putiah kembali mencangkul tanah berair di Sawah Subarang. Gerimis, memang, tetapi
biar hujan pun bahkan bukan merupakan penghalang Malin Putiah dan Banun untuk berhenti
bekerja. Mendung memberat, dan mendadak petir menggelar! Suasana seperti itu bukan tidak
sering terjadi. Namun kilat yang mengantarkan arus listrik melintas di permukaan sawah dan
mengenai tubuh Malin Putiah. Tubuh Malin Putiah terlempar beberapa meter, dan terjilapak
di permukaan sawah yang digenangi air berwarna coklat kehitaman. Tubuh petani itu kaku,
sebagian hangus. Dalam hitungan tidak sampai lima menit kemudian Malin Putiah tewas.
Banun selamat tetapi menjadi sangat terpukul. Sahabat Malin Putiah sesama petani yang
menyaksikan segera memberi tahu beberapa orang di negari untuk menggotong jasad ke
rumah, dan menguburkan mayat itu sebelum malam.
Itulah awal kehidupan Banun menjadi janda. Pelan-pelan berbulan-bulan dan setahun-duatahun kemudian Banun menerima kenyataan itu sebagai takdir. Nasib bisa diubah tetapi
takdir harus diterima. Sawah Subarang menjadi saksi abadi bagaimana Banun melanjutkan
kehidupan dengan tetap bertani. Anak-anaknya yang relatif berpendidikan lumayan bagus
membantu sang ibu tetapi ketika mereka juga sudah beristri dan bekerja-tidak pula di negari
mereka, tidak menjadi petani, Banun bekerja seorang diri. Pagi, siang, dan petang, Banun ke
sawah. Banun benar-benar menyesap keringat sendiri. Banun tidak ingin menyusahkan orang
lain. Namun Marajo juga tidak rela membiarkan kakaknya berkuras-bertungkus-lumus
seorang diri. Pula, Malin Putiah tidak meninggalkan warisan, kecuali semangat untuk hidup
mulia dan bermartabat, bekerja keras, pantang menyerah, dan ikhlas memberi.
ARAH barat, pesawahan itu berjenjang, bermenginduk, berpematang, di kaki bukit, dan
subur. Gunung Merapi yang menjulang selepas bukit itu berkepundan, setiap hari
mengeluarkan abu dan debu yang kemudian, sesampai di permukaan tanah, lamat-lamat, dari
satu ke lain musim, menjadi pupuk. Pupuk alam itu andal. Tidak pernah petani Sawah
Subarang dan sawah-sawah lain menggunakan pupuk pabrik yang merusak humus dan
kesuburan tanah. Pemandangan sekitar alangkah indah. Ada larik-larik puisi yang belum
sempat dituliskan penyair. Ada bidang-bidang alam memukau yang belum sempat
dikanvaskan pelukis. Ada musik-musik alam yang belum dinotasikan. Udara pun segar,
sangat segar, cenderung dingin, terutama pada malam hari.

Dan peninggalan nenek kita seperti diujarkan Banun mengandung cerita panjang tentang
sebuah sistem kekerabatan dan kemasyarakatan yang sering dirawikan tidak lekang oleh
panas dan tidak lapuk oleh hujan. Nenek dan ibu Banun menerima warisan itu dari ibu dan
ibunya lagi dalam garis keturunan perempuan. Dan harta warisan, sawah-sawah itu, tidak
pernah jatuh ke tangan saudara dan anak lelaki. Marajo, saudara laki-laki seayah-seibu
dengan Banun, sama sekali tidak berhak terhadap harta pusaka tinggi. Dan harta pusaka
tinggi dengan demikian diwarisi dan diserahterimakan secara turun-temurun, hanya oleh anak
perempuan yang satu ke anak perempuan berikut. Misalkan ada tiga anak perempuan, maka
ketiga anak itu berhak sama. Beda dengan pusaka rendah berupa penghasilan dan atau
pembelian sepasang suami-istri selama berumah tangga, pusaka tinggi tidak pernah dan
memang tidak boleh diserahterimakan kepada anak lelaki. Pusaka tinggi berupa tanah ulayat
tidak mungkin diperuntukkan kepada siapa pun kecuali anak perempuan.
Pembelian dan penghasilan suami-istri, sebuah keluarga, tidak pernah dan memang tidak
mungkin dijadikan dan dianggap harta pusaka tinggi. Itu pusaka rendah, pencarian dan
penghasilan bersama sepasang suami-istri. Dan Banun tidak memiliki pusaka rendah. Rumah
kecil, bukan rumah adat tradisional bergonjong, yang dia tempati selama ini, juga merupakan
pemberian dari almarhumah ibunya. Mungkin bukan pemberian, tetapi sepeninggal ibunya,
Banun dan suami dan anak-anaknya tetap tinggal di sana. Ya, ke mana lagi harus bertempat
tinggal. Suami-istri Malin Putiah-Banun tidak mampu membangun rumah.
BERSAMA Marajo pada pagi itu Banun menambak sawah yang baru saja selesai dibajak
sehari sebelumnya. Pembajakan, dengan jalan mengupah seorang pembajak mahir dan
berpengalaman dan punya jawi besar, kuat dan bertenaga, makan waktu tiga hari. Sawah
dibajak secara tradisional dengan menggunakan tenaga jawi untuk menarik sepasang bilah
bambu dan mata pisau pembajak di bagian pangkal bawah yang oleh petani setempat disebut
tali bajak. Dan setelah dibajak secara merata, pematang sawah ditambak, ditutupi dengan
tanah lembek agar tidak terjadi ketirisan. Penambakan dilakukan dengan tangan kosong.
Seonggok demi seonggok tanah basah diambil dengan kedua telapak tangan dan ditempel dan
diratakan di pematang dalam posisi miring, landai. Banun, Marajo, dan para petani di
kampung kami amat terampil menambak. Petani-petani itu bagaikan pematung yang cekat
dan kreatif membentuk, menata, dan mengolah tanah liat sehingga berubah menjadi sebentuk
karya artistik yang tidak tepermanai.
"Persis di sini Malin ditembak petus, " ujar Banun datar ketika mereka istirahat di munggu
utara, di batas terakhir pematang Sawah Subarang. Sedatar apa pun pengucapan Banun tetapi
setetes-dua-tetes air mata bening meleleh juga di pipinya. Kim tersedu. Memang, Banun tidak
mungkin melupakan peristiwa bagaimana petus menyambar, melemparkan, dan
menghanguskan tubuh Malin Putiah ke permukaan sawah. Seolah masih terngiang di telinga
Banun ledakan petir yang amat keras, dahsyat.
"Ya, Banun," balas Marajo. "Takdir."
"Takdir," ulang Banun pelan.
"Tetapi sawah ini?" tanya Marajo.

"Bagaimana?"
"Kamu sudah tua, Kak Banun," ujar Marajo.
Marajo mengungkap bahwa kakaknya itu tidak punya anak perempuan. Dengan demikian
tidak ada lagi pelanjut penerima warisan. Saudara lelaki pun tidak berhak menerima warisan
berupa tanah ulayat. Marajo tahu diri, dia sama sekali tidak berhak menerima warisan pusaka
tinggi itu.
"Bagaimana kalau dijual?" usul Marajo.
"Dijual?" tanya Banun mendekat, melangkah dalam luluk, memandang Marajo heran.
Marajo bukan tidak mengerti keheranan kakaknya. Marajo tahu persis, di negari mereka harta
pusaka tinggi tidak boleh dijual dengan alasan apa pun, kecuali untuk tiga hal. Pertama,
mayat terbujur tidak terkafani. Untuk pembeli kain kafan, penjualan boleh dilakukan. Kedua,
rumah adat ketirisan. Ini bermakna, bila atap rumah gadang bergonjong itu tiris, lalu tidak ada
uang pembeli ijuk penyisip ketirisan, maka penjualan boleh dilakukan. Ketiga, dalam
keluarga tersua gadis gadang yang belum bersuami. Tidak dirawikan batas usia kegadangan
gadis itu: tiga puluh, empat puluh tahun? Bagaimana bila ada perempuan yang memilih untuk
hidup tidak pernah bersuami? Dan, memang, ajaran ini menyiratkan, bahwa lelaki dibeli.
Sekarang, apalagi pada masa dulu, transaksi itu memang terjadi di negari beradat itu.
Di negari mereka, fenomena perempuan yang belum bersuami di usia lanjut masih jadi soal
pelik dan getir .
"Tidak mungkin dijual, Marajo. Untuk apa?" tanya Banun pasti.
Banun memang perempuan yang tidak mau menggadaikan, apalagi menjual pusaka tinggi
dan harga diri. Orang tua Banun pernah berujar, pada harta itu sesungguhnya juga tersimpan
harga diri dan kehormatan.
'Harga dan kehormatan diri sama sekali tidak boleh dijual,' sebut ibu Banun.
Pada waktu itu Banun masih remaja. Banun tidak pernah melupakan. Banun memang pernah
diingatkan oleh ibunya untuk taat kepada aturan.
Dalam perjalanan waktu, Banun masih mengolah Sawah Subarang. Usia yang kian senja
tidak memungkinkan Banun berbuat banyak, tetapi semangat hidupnya tidak berkurang.
Setiap pagi Banun meninggalkan rumah yang tidak terlalu jauh dari sawah. Subuh, Banun
menyiapkan bekal makanan dan minuman untuk dibawa ke sawah dan dimakan pada siang
hari. Banun tidak menyandang cangkul. Benda-benda alat pertanian itu dia tinggalkan di
dangau kecil di pematang sawah. Dan, dia dibantu oleh Marajo.
Sampai Banun meninggal dunia, Sawah Subarang masih digarap oleh Marajo.

Darman Moenir lahir di Sawah Tangah, Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat, 27 Juli
1952. Mulai menulis di usia 18 tahun. Karya-karyanya antara lain: Kumpulan puisi Kenapa
Hari Panas Sekali (1975) dan Tanpa Makna (1977); novel Gumam (1976), Bako (1983,
Pemenang Hadiah Utama Sayembara Roman DKJ 1980), Dendang (1988), dan Aku,
Keluargaku, dan Tetanggaku (1993).
(Sumber: Kompas edisi 10 Juli 2016)

SEPASANG MERPATI DALAM SEBUAH CERITA


Oleh I Putu Supartika
Kita adalah sepasang merpati dalam cerita yang ditulis oleh pengarang tua itu. Pengarang
yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang
kita mulai ditulis. Kita tak tahu pasti apa yang menyebabkan ia kesepian dan selalu merasa
sedih dalam hidupnya. Mungkin kesedihannya disebabkan oleh foto yang kini tergeletak di
atas meja kerjanya. Foto seorang wanita berambut ombak yang tengah tersenyum,
menggunakan gaun putih seperti dalam pesta ulang tahun dan membawa bunga mawar.
Mungkin itu foto lama, karena sudah sedikit usang dan bingkainya mulai berdebu.
Setiap pagi, ketika pengarang tua itu terbangun dari tidurnya, ia akan menghampiri foto itu.
Ia akan memandangi foto itu lekat-lekat dari ujung rambutnya, kemudian akan berhenti pada
senyumnya, hingga akhirnya pengarang kita akan tersenyum, atau meneteskan air mata.
Sesekali, ia juga akan memeluk foto itu seperti seorang ayah memeluk anaknya, atau lebih
tepatnya seorang suami memeluk istrinya. Begitu juga ketika siang hari sebelum ia makan,
sebelum mulai menulis, ataupun malam sebelum tidur, ia selalu memandangi foto itu dengan
mimik yang hampir sama: tersenyum, atau meneteskan air mata.
Kita tak pernah mengerti benar, bagaimana sebuah foto bisa membuat seseorang merasa
kesepian ataupun bersedih. Hingga suatu hari, diam-diam kita menyimpulkan bahwa wanita
di foto itu adalah istrinya.
Merasa iba dengan nasib pengarang tua itu, kita berniat untuk menghiburnya agar ia tak
kesepian ataupun bersedih lagi. Lalu kita membayangkan diri kita sebagai sesosok makhluk
yang jenaka seperti badut misalnya, dengan hidung besar berwarna merah, dan muka yang
menggemaskan. Lalu di depannya kita akan membuat sebuah pertunjukan sirkus yang tidak
terlalu serius tetapi jenaka. Dan kita membayangkannya ketika pengarang tua itu tertidur
pulas setelah sebelumnya ia menangis karena foto wanita yang kita simpulkan sebagai
istrinya. Aku yang memulai mengatakan ide itu kepadamu sebelum kita membayangkan hal
itu bersama-sama.
Namun, akhirnya kita sadar bahwa kita masih terkurung dalam cerita yang dibuat oleh
pengarang tua itu. Lalu kita mengutuki diri kita sendiri karena tidak bisa membantu

pengarang tua itu, dan kenapa pula pengarang itu menciptakan kita sebagai sepasang merpati
dan bukan sepasang badut yang jenaka, atau sepasang badut pemain sirkus. Andaikan
pengarang itu bisa secepatnya menyelesaikan kisah kita, mungkin ia akan menulis kita dalam
tokoh cerita lain, dan kita berharap itu adalah cerita yang jenaka, dengan tokoh kita sebagai
sepasang badut. Meskipun peluang ia membuat tokoh ceritanya sebagai badut adalah
seperseribu bahkan seperjuta sekian, tapi apa salahnya jika kita berharap bahwa kemustahilan
itu tak pernah ada dan yang ada hanyalah kepastian bahwa tokoh cerita yang akan ia buat
setelah menyelesaikan cerita kita adalah badut yang lucu.
Pada suatu pagi, di hari minggu yang cerah, untuk pertama kalinya kita melihat pengarang tua
itu tertawa setelah ia berbicara dengan seseorang lewat telepon. Kita berpikir ia mendapatkan
sesuatu yang menyenangkan dari seseorang yang meneleponnya, dan hal itu membuat ia
melupakan kesedihannya.
Sayang, hari ini tulisanku dimuat di media nasional yang aku impikan dari sejak awal aku
mulai menulis. Dan siang nanti aku akan dikirimi bukti terbitnya, dan seminggu lagi tukang
pos akan datang mengetuk pintu rumah kita membawa honor tulisanku. Aku bahagia sekali
hari ini sayangku.
Kita melihat ia mengelus foto istrinya, tawanya hilang lalu berganti air mata.
Andai saja kau ada di sini bersamaku, pasti kau akan ikut bahagia. Kau akan meloncatloncat seperti anak kecil, lalu kau akan mengajakku keluar untuk jalan-jalan dan pasti aku
akan mentraktirmu makan di restoran impianmu.
Pengarang tua itu kembali tenggelam dalam kesedihannya. Kita ikut terseret dalam
kesedihan, dan aku melihat matamu berkaca-kaca yang membuat mataku juga ikut berkacakaca. Betapa kesedihan selalu berteman air mata.
Jam sebelas limabelas, seseorang mengetuk pintu rumahnya, dan ia cepat-cepat menghapus
air matanya degan lengan bajunya, lalu bergegas mendekati pintu rumahnya. Di depan pintu
ia mendapati seorang tukang pos telah berdiri dan menyodorkan sebuah koran nasional yang
memuat tulisannya. Setelah menemukan halaman yang memuat tulisannya, dan
menghempaskan lembaran koran lainnya yang ia anggap tidak penting, ia kembali mendekati
foto istrinya.
Lihat, ini dia korannya! Aku sudah menerimanya. Aku bahagia. Kau juga harus ikut bahagia
di sana melihatku bahagia. Kau juga harus ikut tertawa seperti aku hari ini.
Ia terus saja berkata dengan nada yang menggebu-gebu dan penuh kegirangan walaupun foto
itu tak pernah mengucapkan kata selamat kepadanya, hingga akhirnya ia kelelahan dan
tertidur di atas meja menindih koran yang memuat tulisannya.
Satu minggu kemudian, ketika pengarang tua itu baru selesai makan dan memandangi foto
istrinya, seseorang kembali mengetuk pintu rumahnya yang ternyata adalah tukang pos.
Tukang pos itu menyodorkan sebuah amplop padanya dan ketika ia membukanya, amplop itu
berisi sejumlah uang dan sepucuk surat pengantar untuk honor tulisannya.

Sore harinya, ia pergi meninggalkan cerita tentang kita sepasang merpati dan foto yang biasa
ia pandangi dengan membawa isi amplop yang ia terima dari tukang pos, kecuali surat
pengantarnya yang ia biarkan tergeletak di lantai. Kita tak pernah tahu ke mana pengarang tua
itu pergi sore itu. Dan kita hanya tahu ia kembali tengah malam dengan langkah
sempoyongan sambil meracau tidak karuan.
Ia menendang kursi, kaleng bekas makanan ringan, botol-botol bekas air mineral, dan meja
kerjanya, hingga foto istrinya terjatuh dan kacanya pecah setelah menghantam lantai. Lalu ia
melemparkan koran yang memuat tulisannya ke lantai dan menginjaknya dan ia
memuntahkan isi perutnya di koran itu. Ia tergeletak, lalu berguling-guling di atas
muntahannya. Kita begitu waswas kalau-kalau pengarang tua itu melemparkan tulisan
tentang kita yang ada di atas meja kerjanya lalu menginjak-injaknya sebagaimana yang ia
lakukan pada koran yang memuat tulisannya. Tapi untungnya ia tidak melakukannya, dan kita
merasa bersyukur.
Esok paginya, setelah ia sadar dan mendapati foto istrinya tergeletak di lantai dengan bingkai
yang berantakan, ia mencabut foto itu dari bingkainya lalu mendekapnya erat-erat dengan
tanpa henti air matanya terus menetes. Dan kesedihannya semakin menjadi-jadi ketika ia
mendapati koran yang memuat tulisannya telah kotor dan rusak oleh muntahannya sendiri.
Kita hanya menjadi penonton dan kembali ikut tenggelam dalam kesedihan. Kita mengutuki
kesedihan-kesedihan itu sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari kematian. Dan dalam
kesedihan itu, kita berharap pengarang tua itu segera menyelesaikan cerita tentang kita,
sepasang merpati dan kembali menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang
jenaka.
Kadang-kadang sesuatu yang kita inginkan bisa saja menjadi kenyataan. Terbukti, di suatu
pagi yang mendung setelah sekian lama ia tenggelam dalam kesedihan karena selembar foto,
pengarang tua itu kembali menulis dan melanjutkan cerita tentang kita. Harapan kita agar
penulis tua itu menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang jenaka sedikit
demi sedikit akan menuju pada kenyataan. Walaupun apa yang kita harapkan belum tentu
menjadi kenyataan.
Kita selalu berharap sesuatu yang terbaik untuk pengarang tua itu, tetapi kita tak pernah
berpikir tentang nasib kita dalam cerita yang sedang ditulisnya. Pengarang tua itu
menceritakan kau mati ditembak oleh seorang pemburu saat kita sedang asyik bertengger di
sebuah pohon kamboja sambil bercakap-cakap tentang masa depan yang bahagia. Jantungmu
pecah setelah tertembus isi senapan, dan tubuhmu meluncur ke tanah. Aku terbang menyusul
tubuhmu yang meluncur tanpa kendali. Aku tak tahu harus melakukan apa saat itu.
Menerbangkanmu ke tempat yang jauh dan mengobati lukamu sambil berharap kau hidup
lagi, menyerahkan diri pada pemburu itu agar ditembak dan segera menyusulmu, atau
melawan pemburu itu dengan segenap tenagaku? Tetapi cerita berkehendak lain. Isi kepala
pengarang tua itu berbeda dengan isi kepalaku. Dia malah menceritakan aku menangis
tersedu-sedu di samping tubuhmu yang tak bernyawa tanpa melakukan sesuatu yang lebih
berharga daripada sekadar menangis. Saat pemburu itu mendekat, ia malah menceritakan aku
terbang menghindari sang pemburu. Betapa bodohnya pengarang yang selalu bersedih karena

selembar foto itu. Kenapa ia tidak menceritakan kalau aku mati bersamamu ditembak
pemburu itu.
Setelah kematianmu, pengarang tua itu menceritakan diriku pergi ke tengah hutan yang sepi
dan aku tinggal di sebuah pohon yang jauh di tengah hutan yang tak bisa dijamah oleh para
pemburu. Di sana aku semakin tenggelam dalam kesedihan dan menyesal telah
meninggalkanmu dan membiarkan pemburu itu melumat habis tubuhmu menjadi santapan
yang enak baginya. Sungguh pengarang yang bodoh.
Dan parahnya, pengarang tua itu malah meninggalkan cerita tentangku begitu saja. Ia berubah
menjadi pemurung dan tubuhnya semakin ceking. Kemudian disusul dengan batuk yang
seirama gonggongan anjing, dan ia menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur.
Hingga akhirnya pengarang tua itu tak pernah beranjak lagi dari tempat tidurnya, yang
kemudian disusul dengan bau busuk yang menguar di seluruh ruangan. Suatu sore orangorang masuk ke kamar itu setelah bersusah-payah mendobrak pintu dan mendapati tubuh
ceking pengarang tua itu telah dimakan ulat.
Sepeninggal pengarang tua itu, aku benar-benar kesepian dan selalu berharap ada seseorang
yang menemukan cerita ini dan membebaskan aku dari kesedihan. Karena setelah kematian
pengarang tua itu, tidak ada seorang pun yang datang ke rumah ini, selain seekor anjing
borok yang selalu berteduh ketika hujan.
Suatu hari dalam keputusasaan, tiba-tiba tebersit dalam pikiranku bahwa kisah kita adalah
kisah hidup pengarang tua itu yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati.
Penulis bernama lengkap I Putu Supartika lahir di Karangasem, Bali, tanggal 16 Juni.
Sekarang sedang menempuh pendidikan di Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha,
Singaraja) Jurusan Pendidikan Matematika, e-mail: putu.supartika@gmail.com.
(Sumber: harian Kompas edisi 3 Juli 2016, halaman 20 dengan judul "Sepasang Merpati
dalam Sebuah Cerita.")

SURAT MENTERI DAN MIMPI PENGARANG TUA


Oleh Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni
Komang Ariani
Tohari, pengarang tua itu, gemetar memandangi surat yang baru saja diterimanya. Dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Di pengujung usia senjanya sebagai
pengarang, baru kali ini ia merasa diperhatikan. Ia akan mendapatkan hadiah Rp 100 juta.
Astagfirullah, itu uang yang tak pernah dibayangkan, bila mengingat selama ini ia hanya
mendapat puluhan ribu dari honor tulisannya. Memang sesekali ia mendapat uang sekian juta
bila diundang di acara pemerintah, tapi itu pun sudah dipotong sana-sini, dan ia hanya
menandatangani kuitansi kosong. Sekarang Rp 100 juta! Tumben pemerintah memberi hadiah
sebanyak itu.
MASIH dalam kekagetan yang teramat sangat, Tohari mulai merancang-rancang akan
dikemanakan uang sebanyak itu. Ia sedang berpikir untuk menggunakan sedikit uang tersebut
untuk belanja online? Siapa tahu? Baru minggu lalu, cucunya memperlihatkan Instagram
belanja online yang penuh dengan barang-barang baru menggiurkan mata yang tak pernah
dilihatnya.
"Mbah," kata sang cucu. "Beli ini saja."
"Apa itu?"
"Smartphone model terbaru."
"Ahhh enggak mau. Handphone yang Mbah beli sepuluh tahun lalu masih bisa dipakai,
kenapa harus beli yang baru."

Tetapi tiba-tiba, ponsel Tohari berbunyi, langsung yang berbicara Pak Menteri. "Maaf Pak
Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong, ini hanya mimpi saya. Lebih baik besok malam Pak
Tohari mimpi saja sendiri. Hadiahnya mungkin Rp 1 miliar."
"Tapi Pak, kalau Rp 1 miliar, saya enggak mau mimpi sendiri. Lebih baik saya mengajak
teman-teman saya bermimpi bersama. Banyak tuh yang pengen bisa mimpi dapat Rp 1 miliar.
Di antaranya teman-teman penulis cerpen tua seperti saya ini. Putu Wijaya, Budi Darma, atau
Seno Gumira Ajidarma. Eh tapi Seno sering kali terlalu banyak improvisasi kalau diajak
bermimpi. Lebih baik lagi saya mengajak teman-teman penulis muda untuk bermimpi
bersama. Mereka kreatif-kreatif lho Pak kalau diajak mimpi. Kayak itu tuh, Ni Komang
Ariani, Iqbal, Guntur, Oddang, Miranda, mereka pinter-pinter lho kalau ngimpi."
"Silakan saja Pak Tohari. Mau mimpi sendiri atau ngajak teman-teman. Yang penting Bapak
sudah cukup jelas kan bahwa hadiahnya sudah dicabut? Coba susun dulu proposal mimpi Rp
1 miliar Pak Tohari, nanti ajukan saja ke saya. Nanti saya kasih kontak nomornya Dirjen
saya, si Hilmar itu. Biar nanti dia baca dulu proposal Rp 1 miliar Pak Tohari," ujar Pak
Menteri.
Tohari terdiam sejenak. Ia mencoba menafsir makna di balik perkataan Pak Menteri yang
sebenarnya sudah sangat terang benderang itu.
"Maaf Pak Menteri, apakah saya boleh bertanya?"
"Silakan, Pak Tohari."
"Apakah Bapak bisa mengendalikan mimpi?"
"Mengapa tidak?"
"Bapak pernah mengendalikan mimpi?"
"Berkali-kali."
"Wah, sungguh elok. Jadi bisa ya, saya meminta diri saya mimpi mendapat Rp 100 juta lalu
saya minta sembilan pengarang lain mimpi mendapat Rp 100 juta? Bisa jugakah dalam
mimpi itu saya meminta sembilan pengarang lain memberikan uang mereka untuk saya?
Lalu, jika sudah terkumpul, bisakah saya meminta diri saya sendiri memberikan uang itu
untuk guru-guru miskin di seluruh Tanah Air?"
"Bisa. Mengapa tidak?"
"Kok Bapak begitu yakin?"
"Saya telah melakukan berkali-kali, Pak Tohari."
Tohari takjub.

"Boleh bertanya lagi Pak Menteri?"


"Silakan, Pak Tohari."
"Bagaimana cara mengendalikan mimpi itu?"
"Pak Tohari harus tidur tepat pukul 00.13."
Tohari tak bertanya mengapa harus pukul 00.13. Ia justru menanyakan posisi tidur.
"Kepala harus mengarah ke selatan atau timur?"
"Ke utara, Pak Tohari. Sebelum tidur, bersama sembilan pengarang, Pak Tohari harus
membayangkan mendapat uang masing-masing Rp 100 juta bukan dari saya, melainkan dari
Pak Jokowi. Pak Jokowi pasti tergerak memberikan uang itu. Hanya, Pak Tohari dan
sembilan pengarang, tidak boleh ragu-ragu dalam bermimpi. Paham, Pak Tohari?"
"Paham, Pak Menteri."
Tohari memang paham pada setiap perkataan Pak Menteri. Akan tetapi, begitu suara Pak
Menteri dari seberang menghilang, ia sedikit meragukan metode pengendalian mimpi yang
tak masuk akal.
"Mimpi selalu tidak masuk akal," Tohari membatin, "Karena itu, haruskah aku memercayai
metode mimpi Pak Menteri?"
Sunyi. Tohari merasa tak bisa menjawab pertanyaan itu sendiri. Karena itulah, ia perlu
menelepon beberapa pengarang.
Mula-mula ia menelepon Triyanto Triwikromo.
"Apakah Anda pernah mengendalikan mimpi?"
"Belum pernah, Pak Tohari, tetapi saya pernah mengendalikan cerita. Cerita apa pun bisa
saya kendalikan sesuai keinginan suksma."
Ia juga bertanya pada Seno. Seno menggeleng. "Saya hanya mahir mengendalikan senja, Pak
Tohari. Sesekali saya mengendalikan Tuhan untuk memenuhi doa-doa saya."
Ia juga bertanya pada Joko Pinurbo. Joko Pinurbo tertawa, "Saya hanya bisa mengendalikan
sarung dan celana saya. Celana dan sarung saya jika tidak dikendalikan suka berkibar ke
mana-mana, Pak Tohari."
Tohari juga bertanya kepada cerpenis baru tapi senior Warih Wisatsana. Ia hanya
mendapatkan jawaban, "Kalau mau kendalikan mimpi, jadilah ikan terbang dulu...," kata
Warih.

Tak putus asa, Tohari bertanya kepada pengarang lain mengenai teknik mengendalikan
mimpi. Kali ini kepada Budi Darma. Budi Darma juga tertawa, "Satu-satunya sosok yang
pernah saya kendalikan bernama Olenka. Justru Olenkalah yang bisa mengendalikan mimpi.
Coba nanti saya tanyakan kepada dia."
"Jangan-jangan saya juga bisa bertanya kepada Srintil atau Rasus, ya Pak Budi?"
"Mungkin saja, Mas Tohari. Mungkin saja. Sampeyan tahu di mana harus menghubungi
Rasus atau Srintil bukan?"
Tohari mengangguk namun tidak segera melakukan saran Budi Darma. Tohari kemudian
berjalan ke arah jendela. Ia menatap gerimis.
"Masih gerimis air. Bukan gerimis yang telah jadi logam," Tohari bergumam sambil
mengingat Goenawan Mohamad, penyair yang menulis "Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis
Telah Jadi Logam".
Masih gerimis yang biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,"
Tohari mendesis sambil mengingat Sapardi Djoko Damono, penyair "Hujan Bulan Juni".
Tohari terus menikmati gerimis itu. Ia tidak ingin menghubungi Srintil. Ia tidak ingin
menghubungi Rasus. Ia justru menelepon Putu Wijaya.
"Bli Putu, apakah Anda bisa mengendalikan mimpi?"
"Bisa. Apa pun bisa saya kendalikan."
"Bisa bermimpi bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu mengajak
beliau menemui Pak Jokowi?"
"Bisa."
"Bisa meminta Pak Jokowi memberi uang kepada 10 pengarang masing-masing Rp 100
juta?"
"Bisa."
"Bisa meminta para pengarang memberikan uang itu kepada guru-guru miskin?"
"Bisa."
"Caranya?"
Tak ada jawaban dari seberang.
"Caranya?"
Masih tak ada jawaban.

"Bli Putu? Ada apa? Bli Putu masih mendengarkan suara saya?"
Tetap tak ada jawaban.
"Halo, Bli? Masih mendengar suara saya?"
"Ya, masih Pak Tohari. Caranya kita harus puasa 40 hari dulu di gua yang paling gelap.
Setelah itu puasa 40 hari lagi di gedung paling tinggi. Terakhir kita harus puasa 40 hari lagi di
tepi sungai paling kotor."
"Kok terlalu sulit. Ada cara yang gampang?"
"Ya, memang sulit, Pak Tohari, tetapi saya jamin kita akan bisa mengendalikan mimpi kalau
sudah bisa melampaui semua itu."
"Bli Putu mendapatkan metode itu dari mana?"
"Ya, dari mimpi, Pak Tohari. Sekarang tidur dan bermimpilah agar Pak Tohari mendapatkan
metode mengendalikan mimpi! Saya doakan Pak Tohari berhasil. Pak Tohari orang baik.
Alam pasti menolong Anda."
Tohari terdiam. Ia pun bersiap-siap tidur. Di sana ia bertemu dengan semua orang yang
dipikirkannya. Pak Menteri yang senyumnya semanis gula. Pak Jokowi yang matanya
memantulkan sungai yang berwarna kecoklatan. Dan semua pengarang-pengarang yang
ditemuinya itu. Mereka seperti menghadiri sebuah pesta dengan sajian makanan yang serba
lezat. Mulai dari kambing guling, sate maranggi, ayam panggang, sampai dengan kue tart
kecil rasa cokelat dan karamel.
Tohari tidak ingat kapan pesta itu berakhir, yang jelas ia terbangun dengan badan pegal luar
biasa. Seperti sehabis mencangkul sawah sehari penuh. Pintu kamar terbuka sebagian,
sementara Tohari hanya tergeletak tanpa daya. Tak kuasa menggerakkan tubuhnya untuk
bangkit.
Di luar sana, halaman rumahnya terlihat jorok dengan tumpukan daun berserakan, yang tak
sempat dibersihkan. Namun, kali ini daun-daun berserakan itu terlihat berbeda. Warnanya
merah terang dan ada dua foto dua orang yang sangat dikenalnya. Dua laki-laki tampan
mengenakan kopiah, yang ia kenal betul, namun ujung lidahnya gagal menyebutkan nama
kedua orang itu.
Istrinya sudah berulang kali ngomel.
"Tuh lihat rumah tanpa aku. Dari dulu kamu terlalu sibuk berpesta. Sibuk tertawa-tawa
seperti pejabat-pejabat itu. Sibuk mencecap kue tart rasa karamel. Lupa pada bibirmu yang
hitam dan keriput itu."
Tohari mengerang keras setelah kembali gagal bangkit dari tempat tidur. Daun-daun gugur
makin menumpuk, seperti membentuk gundukan di hadapannya.

Tohari memejamkan mata mengingat-ingat ucapan Pak Menteri. Sedikit-sedikit mulai


dipercayainya ucapan laki-laki itu. Karena ia pernah mengetahui seseorang melakukan hal
yang sama persis. Teman dari temannya. Namanya Leonardo. Laki-laki itu berwajah
kaukasia. Hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti daging durian yang sudah dikupas.
Leonardo menjalankan sebuah misi rahasia dengan bermimpi kolektif bersama temantemannya. Apa misi rahasianya? Jelas Tohari tidak tahu. Namanya juga rahasia. Ia tersenyumsenyum sendiri. Tohari mengernyit kesakitan, merasakan tarikan tajam di kedua pipinya yang
mengeras.
Bukan saja badannya yang makin mengeras, ternyata urat-urat wajahnya seperti sudah
disemen. Tohari memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Agar ia bisa memahami apa
yang sungguh terjadi, ketika sekonyong-konyong, seorang laki-laki, yang ia ketahui bernama
Eden berbisik di telinganya. "Aku bisa menolongmu. Aku bisa mengajarimu melakukan apa
yang dilakukan oleh Leonardo dan kawan-kawannya." Suaranya serak dan dalam seperti
suara Hannibal Lecter.
Tohari tercengang. "Aku bisa mengajak sembilan orang lainnya untuk bermimpi secara
bersamaan?" Eden mengangguk yakin. "Namun, kesempatanmu hanya sekali. Dalam
kesempatanmu yang sekali itu, ada dua peluang. Peluang berhasil lima puluh persen, peluang
gagal lima puluh persen. Jika berhasil, mimpi 1 miliarmu akan terkabul, jika gagal, kesepuluh
dari kalian akan terjebak di dalam dunia karangan kalian masing-masing." Katanya dengan
suara yang makin serak seperti tercekik.
"Hah...! Apa maksudnya?"
"Ingat-ingatlah cerpen yang pernah kamu tulis. Seingatku terakhir kau menulis tentang
seorang anak yang ingin mengencingi Jakarta. Nah, jika gagal, kau akan hidup di dunia anakanak yang kau kisahkan itu."
Tohari merinding. Deru kereta api yang menggetarkan dan suara klaksonnya yang menjeritjerit, menyerbu ke gendang telinganya. Bau makanan sisa bercampur bau bacin menggulung
seperti tornado di depan cuping hidungnya. Kawanan lalat meriung riang merayakan
kecepatan tubuhnya yang menumpang bokong kereta yang beroma tak sedap. Debu dan
sampah-sampah kecil beterbangan membuat kelilipan.
Anginnya berpusing ke segala penjuru dan menerbangkan gundukan daun berwarna merah
terang di halaman. Dua laki-laki berkopiah dan berwajah tampan tersenyum dengan
manisnya. Sekilas senyumnya mirip senyum Pak Menteri. Di titik batas alam sadarnya,
Tohari melenguh kecil. Aku mau tersenyum dan tertawa. Langit menggelap dan titik embun
membasahi kening Tohari yang keriput. Laki-laki itu terkekeh-kekeh geli.
Catatan:
Cerpen ini ditulis secara kolaboratif oleh Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu
Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni Komang Ariani, dimulai saat Malam Jamuan Cerpen
Kompas, Selasa (31/5). Setelah menulis secara langsung di depan undangan, penulisan
dilanjutkan secara bergantian dari meja kerja masing-masing. Keenam penulis ini dianggap

mewakili 23 penulis cerpen yang diundang malam itu. Judul "Surat Menteri dan Mimpi
Pengarang Tua" ditulis secara langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan yang juga hadir. Cerpen ini dipersembahkan khusus untuk merayakan 51 tahun
harian Kompas, yang jatuh pada 28 Juni mendatang.
(Sumber: harian Kompas edisi 26 Juni 2016, halaman 20 dengan judul "Surat Menteri dan
Mimpi Pengarang Tua.")

TANAH AIR
Oleh Martin Aleida
Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus memandangiku dengan
ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan menjuntaikan
kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki.
Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku meningkahi angin pagi yang deras dan
dingin memukuli jendela.
TANPA menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan di luar, lagi-lagi dia
mengulangi igauan yang saban pagi, menjelang matahari terbit, diucapkannya seperti merapal
mantra. Atau pesan yang aku tak tahu kepada siapa. "Setengah jam lagi. Begitu matahari
terbit, mereka akan datang membebaskan kita," desisnya dengan mata yang tetap saja liar,
dan sepertinya aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya. Siapa yang akan

membebaskannya? Aku tak tahu. Dan aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang jelas janji
akan pembebasan selepas subuh itulah yang kelihatan membuat penderitaannya lebih dalam.
Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini membelenggunya,
membuat dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal sejak lebih
setengah abad lalu. Dari seorang wartawan olahraga koran sore yang terpandang. Yang
katanya sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat Jakarta Kota, saat aku pulang
sekolah naik sepeda. Laki-laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya
sungguh lapang. Dan aku merasa tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama yang
dia selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati.
Sekarang, di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini dia tinggal menjalani sisa hidup
hanya sebagai seonggok daging tak berjiwa. Hampa. Aku tak tahu apa yang menjadi pencetus
penyakitnya ini. Yang membuat matanya terkadang garang. Teramat garang. Memerah.
Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia menghindar dari tatapanku, bagaimanapun
manisnya aku tersenyum, dan melemparkan pandang ke luar jendela. Yang tetap bertahan
adalah pernyataan kasih sayangnya sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai
lututku, persis di atas betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.
Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas
penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki
dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan,
anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka
mendamparkan diri ke Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya
berulang kali, dan membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok.
Kawannya sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di
dinding batu sementara dia masih berada di toilet.
Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh
daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia
dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu
pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal
merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di
tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan
memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara,
mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:
"...di langit tiada dewa
di bumi tiada raja
gunung-gunung menyingkirlah
aku datang..."
Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking.
Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan senjata

"Buku Merah". Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar.
Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi
pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan. Apalagi
muncul perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke Tanah Air itu. Ratusan
jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan, karena beda pilihan
keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.
Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu
terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di Amsterdam.
Hanya secarik kertas. Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari
Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang
jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan beranganangan menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.
Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang.
Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang sangat
berharga. Aku memanggil namanya. "Ini aku...," sapaku. Dia berdiri, memelukku erat-erat
seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilir-mudik tak dia hiraukan.
Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi
akan membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di negara itu
diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda,
di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan
kupingku dengan baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam
kedua, ulu hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke
kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil
dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.
"Ciumlah ... Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,"
katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku. Semacam
permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia
bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking.
Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah, kalau tak salah ingatanku.
Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan dari gereja, aku bisa
menyekolahkan anakku di Australia. Dia studi teknologi informasi, keinginannya satusatunya.
Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu
sepakbola yang ingin lawannya kalah habis-habisan, dia berteriak melalui baris-baris
suratnya: "Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu.
Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini .!"
Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orang-orang gereja yang siap membantu
mencarikan pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun mereka harus mendekatiku dengan hatihati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah:
jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar

selanjutnya, katanya. Padahal rumah sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama
setahun. Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.
Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang
sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak
ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun
gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja kecil. Di situlah aku
tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian.
Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita,
aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di pintu ke luar. Dada sesak oleh kebahagiaan.
Aku dirangkulnya berlama-lama. Lantas mendorong barang bawaanku menuju kereta api.
Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname
yang paling banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua kamar tidur, lengkap dengan dapur dan
kamar mandi yang memadai. Terletak di lantai delapan. Dari kawan-kawan terdekatnya,
terutama peranakan, kuperoleh keterangan bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia
tanggungkan, bertambah buruk. Apa pun aku akan dan harus menemaninya. Sebagaimana
aku harus membesarkan anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti.
Dia sering merenung. Matanya acapkali menerawang kosong ke luar jendela. Jarang sekali
dia memulai percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika anakku liburan dan mengunjungi
kami. Ketika dia masih duduk di sekolah dasar, dengan susah-payah aku melerai
kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak bertanggung jawab, meninggalkannya.
Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.
Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar, kalau momennya kena,
kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan dan
menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan kepadanya, bahwa ada
kekuasaan yang begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan seorang anak
tunggal dari ayahnya.
Han, sekarang sudah terbebas dari siksa di masa kecilnya. Selain penjelasan berulang-ulang
yang kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan jalan yang dia temukan sendiri.
Terutama oleh dunia yang bisa dia arungi lewatGoogle. Bagaimanapun kekuasaan mencoba
berbohong dan menutupi kejahatannya terbongkar juga di dunia maya.
Han membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia berubah dalam bersikap terhadap
papinya. Suamiku yang tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa yang remuk. Setelah putra
tunggal kami itu kembali ke Australia, ketegangan yang dialami suamiku bukannya
mengendur. Bercakap-cakap di taman, di meja makan, di tempat tidur, dia tak habis-habisnya
mengutuk dirinya sendiri. Karena ucapan anaknya yang masih kecil, bahwa dia bukan
seorang ayah yang bertanggung jawab.
"Sudahlah . Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu 'kan kau dengar dari kawan-kawamu
di Tiongkok 'kan? Sama seperti kau juga dengar bahwa aku menjual diri kepada lelaki lain.
Aku tak mempedulikan omong-kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam hati, aku bisa

gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di sini, dia memanggilmu Papi. Papi .!
Kau ingat 'kan? Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda
permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan
lantaran kehendakmu ."
Tapi, dia cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang berkecamuk di dalam hatinya, aku tak tahu.
Matanya tetap nanar menatapku.
Hatiku terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang. Cuma matanya yang terus
memandangiku dengan ganjil. Seakan-akan aku bukan istrinya. Sebentar-sebentar dia
melongok ke jendela.
"Sudah potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita tinggal tunggu. Nanti dokter akan
datang," bujukku. Saya pamit mau membuang sampah, menyiram tanaman di beranda,
mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.
Di beranda aku merawat taman kami yang mungil, sekitar setengah kali dua meter. Di situ
kutanam rose, juga dua pohon pisang, agar Indonesia tidak terlalu jauh dari kami.
Telepon berdering. "Saya psikiater yang akan mengunjungi suami Nyonya. Apakah dia baikbaik saja?" kata yang menelepon.
"Dia baik. Baik, Dokter," sahutku.
"Tunggu ya ."
Aku membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet. Ketika menjinjingvacuum cleaner ke
kamar tidur, aku disentak gordin yang berkibar sejadi-jadinya disapu angin. Jendela
ternganga. Tempat tidur melompong. Aku berteriak memanggilinya. Tak ada jawaban. Aku
lari ke kamar mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat petir pikiranku terbang. Suara
orang yang menelepon, yang mengaku psikiater, tadi kayaknya mirip suaranya. Kudorongkan
kepalaku keluar jendela. Memanggil-manggil namanya ke samping, ke bawah. "Di mana
kau . Di mana..?!"
Kukunci seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift. Kupencet angka nol di panel. Begitu
keluar dari lift, kudengar jeritan ambulans yang merapat di ujung apartemen. Beberapa orang
terlihat mengerubung di sekitar jasad yang ditutup selimut. Aku tak tahu sekuat apa aku
menjerit. Sebesar apa mulutku terkuak menyerukan namanya: "Ang..! Aaaang..!" Aku
terjerembab di sampingnya. Jari-jemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih.
Di dekatnya ada secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi apa-apa
tolong hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya .
Martin Aleida. Lahir 1943 di Tanjung Balai, Sumatera Utara, menghabiskan lebih dari lima
puluh tahun usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, penulis lepas. Awal 2016,
selama tiga bulan, dengan dukungan sejumlah tokoh, mengadakan riset tentang kehidupan
eksil Indonesia di lima negara Eropa.

(Sumber: harian Kompas edisi 19 Juni 2016, halaman 20 dengan judul "Tanah Air.")

MATA GUNTING DAN JIWA RAMBUT YANG DICUKUR


Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Setiap tukang cukur di dunia adalah pembunuh. Ruh-ruh setiap helai rambut yang dipotong
mengendap-endap gentayangan di angkasa seperti jiwa-jiwa yang linglung. Rambut-rambut
yang dipotong menjerit dan mengerang seperti jiwa-jiwa yang sakit. Gunting-gunting tajam
dengan mulut menganga dan dua mata nanar mencelat layaknya seorang pembunuh berdarah
dingin.
***
LELAKI itu memutuskan berhenti menjadi tukang cukur. Padahal ia memiliki banyak
pelanggan; setiap hari tidak kurang dari sepuluh kepala datang ke kiosnya untuk bercukur.
Namun, semenjak ia memutuskan berhenti, orang-orang yang datang ke kiosnya, pulang
dengan penuh rasa kecewa; kecewa karena tidak bercukur dan kecewa karena sulit mencari
tukang cukur yang sebagus cukurannya.
Kios cukur berukuran 3 x 4 di pojok pasar Kota Gede itu telah tutup. Di saat aku bertanya
pada sebuah warung kelontong di sebelahnya, pemilik warung itu mengatakan bahwa kios
cukur itu telah ditutup satu bulan yang lalu. Pintu-pintunya hanya menyeringai pada sepi.
Dinding-dindingnya begitu kusam. Anak-anak muda yang kurang ajar, mencorat-coret
dinding-dinding kios itu. Jika aku melihat dari luar, kios itu seperti sebuah bangunan tua
yatim piatu.
Hari berikutnya, sebagai teman dan pelanggannya yang merasa prihatin dengan
keputusannya, aku datang ke rumahnya untuk mengetahui, mengapa lelaki itu memutuskan
berhenti menjadi tukang cukur? Aku menjumpainya sedang duduk di sebuah kursi di amben
rumahnya. Matanya seredup kancing bajunya. Wajahnya dipenuhi keruwetan yang
mendalam. Mula-mula aku tidak percaya melihat ia yang periang tiba-tiba berubah menjadi
begitu pendiam.
"Ah, tidak.tidak!" begitulah ia mengelak dari pertanyaanku.
Ia bahkan enggan berbicara padaku. Sementara dari matanya, aku melihat sketsa-sketsa acakacakan yang sangat mengganggu pikirannya. Menurut penuturan istrinya, ia berniat berhenti
menjadi tukang cukur semenjak dua bulan sebelumnya, hanya saja istrinya memaksanya
untuk tetap membuka kiosnya dan ia hanya kuat satu bulan. Bulan berikutnya, ia terasa
sangat berat. Dan akhirnya, lelaki dengan tanda lahir di lengan kanannya itu memutuskan
untuk menutup kiosnya.
***
Setiap tukang cukur di dunia adalah pembunuh-begitulah bualan paman Doblang. Ya, lelaki

bau tanah ini memang seorang pembual. Bagi orang yang baru pertama kali berjumpa
dengannya, akan termakan oleh bualan-bualannya, seolah-olah apa yang dikatakannya
sebagai sesuatu yang sangat benar. Rambut putih dan jenggotnya yang berwarna logam
membuatnya mirip seorang yang dapat dipercaya. Padahal paman Doblang memang benarbenar seorang pembual. Orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya pasti telah
mengetahui bahwa lelaki dengan bekas luka di pelipis kirinya itu adalah seorang pembual.
Beginilah kisah pertemuan si tukang cukur malang itu dengan paman Doblang ketika
membual:
Sebuah hari yang malang, ketika ia berkunjung ke rumah seorang kawannya, Joni. Secara
kebetulan, paman Doblang sedang ada di tempat itu. Ia memang rutin mengunjungi rumah
Joni untuk mendapatkan sebungkus rokok yang dijanjikannya dua hari sekali. Maklum,
paman Doblang tidak bekerja. Hidupnya hanya bergantung pada pemberian orang-orang yang
merasa kasihan padanya. Tetapi meskipun demikian, sama sekali tidak tergambar rasa sedih
di wajahnya.
Dan di pagi menjelang siang yang malang, si lelaki tukang cukur itu diperkenalkan Joni pada
paman Doblang.
"Dia paman Doblang," katanya dengan mulut yang lincah, "dia adalah pamanku. Dia
memiliki banyak ilmu." Si pembual itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah
mengiyakan semua perkataan Joni. Dan, si tukang cukur itu menganggukkan kepalanya
layaknya orang yang baru berjumpa.
Joni melanjutkan perkataannya, "Dia adalah orang yang sangat bijaksana. Setiap hari dia
membaca buku-buku dan menasihati banyak orang. Bukankah itu sudah cukup untuk
dikatakan sebagai orang yang bijaksana?" kening Joni sedikit mengernyit. Si lelaki tukang
cukur itu sedikit merunduk bagai sapi bodoh. Sementara paman Doblang mengangkat
bahunya, merasa menguasai suasana pagi itu. Angin berdesir lamban. Cahaya matahari pelanpelan meninggi. Ayam-ayam kampung yang dilepas sebagian bersuara. Suara mereka mirip
suara ayam yang akan bertelur.
"Namamu Yudi, bukan?" paman Doblang mulai membuka pembicaraan.
"Iya," kepalanya mengangguk penuh hormat.
"Pekerjaanmu sebagai tukang cukur, bukan?" seolah-olah menebak profesi lelaki malang itu.
"Iya."
Ia tentu sangat kaget, bagaimana mungkin orang yang baru bertemu itu bisa tahu semuanya.
Padahal dia hanya diberi tahu Joni ketika dia melihat ia masuk di halaman rumahnya.
"Begini, begini."

Ia sesekali menatap mata dia. Sesekali pula menunduk. Paman Doblang semakin
menampakkan diri sebagai seorang yang gagah dan cerdas. Dia bertingkah seperti orang yang
sangat sombong. Dengan mulut yang sangat buruk, dia berkata, "Semua tukang cukur di
dunia adalah pembunuh."
Tentu muka si lelaki tukang cukur itu merah membara ketika mendengar kata-kata paman
Doblang. Ia sangat jengkel pada dia. Ia tidak bisa menutup kekesalannya. "Aku berbicara
padamu sepenuhnya berbicara tentang kebenaran." Dia berusaha memoles-moles katakatanya. Pura-pura menjadi orang yang mengerti kebenaran.
Lelaki tukang cukur itu tentu ingin menggampar mulutnya di saat mendengar dia berceramah.
Dan ia merasa dirinya telah masuk di tempat yang salah.
"Kau tahu, Yudi?" Tangan kirinya menunjuk lurus dengan batang hidung si tukang cukur
yang malang. Mulut paman Doblang yang mirip perahu tak membuka layar itu melanjutkan
pembicaraannya, "Setiap rambut memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Ia adalah makhluk yang
berjiwa. Bagaimana mungkin mata guntingmu yang menyeringai dan mulut guntingmu yang
serakah itu memotong-motong rambut-rambut yang berjiwa? Bagaimana mungkin kau
lakukan itu, ha?"
Yudi hanya bergeming. Gelisah. Matanya sesekali melihat ke seluruh ruang itu. Sesekali pula
ia menghela napas. Pikiran-pikirannya semakin bertualang pada jutaan helai rambut yang
telah ia pangkas setiap hari. Paman Doblang melanjutkan lagi pembicaraannya.
"Jiwa rambut-rambut yang kau cukur itu mengendap-endap di angkasa, Yudi. Mereka semua
pasti memandang penuh kebencian padamu. Seandainya kau bisa melihat dan kau bisa
mendengar suara-suara dari jiwa rambut-rambut yang kau cukur itu, kau akan menangis
sebagaimana mereka menangis. Kau akan terlunta-lunta sebagaimana mereka terlunta-lunta."
Terlihat mulutnya berbusa-busa di bibir bagian terpinggir. Matanya menyalak tajam.
"Bagaimana mungkin kau mengetahui itu paman?" Joni balik tanya seraya memperbaiki
lengan bajunya.
"Semua itu sudah dijelaskan dalam buku-buku dan kitab-kitab kebijaksanaan, Jon!"
"Lalu, bagaimana denganku paman Doblang?" Yudi tampak semakin gelisah. Ia seperti
seorang yang sedang merenung. Asap melindap dari mulut paman Doblang.
"Tentang itu, pikirkanlah baik-baik. kau pasti tahu apa yang terbaik untuk kehidupanmu."
Burung-burung di luar amben rumah itu terus bercericit. Matahari bergeser sekian inci hingga
sinarnya terasa menguap. "Dan yang terakhir, Yudi! Sebelum aku pulang," tegas paman
Doblang, dan ia segera melanjutkan, "Setiap orang akan diminta pertanggung jawaban kelak.
Setiap perilaku keseharian manusia akan dipertanggung jawabkan. Dan kau." paman Doblang
menuding ke arah Yudi. Kata-katanya begitu menyilet hati si lelaki tukang cukur itu, "Akan
bertanggung jawab atas rambut-rambut yang telah kau cukur selama ini."

Setelah itu, paman Doblang berdiri dari tempat duduknya. Ia bersalaman pada Joni dan Yudi.
Kemudian lelaki dengan rambut dan jenggot putih kapas itu melangkah keluar dari rumah itu.
Sementara Yudi masih terngiang dengan kata-katanya. Bahkan, pikiran-pikirannya telah
disesaki oleh rambut-rambut yang berjiwa.
***
Tersiar kabar dari orang-orang bahwa seorang tukang cukur telah menjadi gila. Setiap hari, ia
selalu mengendap-endap dari kios cukur satu ke kios cukur yang lain. Ia memunguti
potongan rambut-rambut yang telah dicukur. Ia mengumpulkan helai-helai rambut yang
terpotong itu dari kios cukur milik orang lain. Sebagian tukang cukur merasa aneh dengan
perilakunya. Bahkan sebagian mereka melarangnya mengambil rambut-rambut yang telah
dicukurnya, karena mereka khawatir, lelaki ini memberi guna-guna pada rambut-rambut yang
telah dicukur.
Di sepanjang jalan, mantan tukang cukur yang telah menjadi gila ini selalu bergumam
"Semua tukang cukur di dunia adalah pembunuh."
Tak satu pun dari orang-orang yang berlalu lalang bersalipan mempedulikannya. Ia terus
membawa kumpulan potongan rambut-rambut itu. Potongan rambut-rambut itu ia kumpulkan
di sebuah ruangan di rumahnya. Istrinya pun sangat sedih melihat suaminya menjadi gila.
Istrinya pun sering melarang bila suaminya akan menaruh potongan rambut-rambut itu di
kamarnya. Sebab menurutnya, potongan-potongan rambut itu hanya akan mengotori
kamarnya.
Dan, suatu malam yang malang. Ia mendengar suara gaduh dan ramai dari arah ruangan yang
di dalamnya dijadikan penyimpanan rambut-rambut yang dicukur.
Suara-suara itu memang amat sangat berisik di telinganya. Suara-suara itu dengan serempak
mengatakan, "Semua tukang cukur di dunia adalah pembunuh. Pembunuuhhhhh! Aku akan
mengintaimu dan aku akan balas dendam."
Begitu mendengar suara-suara yang sangat ramai, ia merasa terancam. Ia merasa takut. Ia
berpikir, bagaimana jika ruh-ruh rambut yang pernah dicukurnya datang membawa belati,
lalu menggorok lehernya atau bahkan memutilasinya sebagaimana ia mencukur rambutrambut itu?
Lalu disusul pikiran lain, bagaimana jika jiwa rambut-rambut yang dipotong itu tiba-tiba
berubah menjadi sosok manusia yang kekar. Kemudian sosok manusia yang tinggi dan kekar
itu menyekapnya di sebuah ruangan dan mereka melukai tubuhnya pelan-pelan dengan silet
dan menyirami air garam di atas luka itu? Betapa perih yang akan ia rasakan? Pikiran-pikiran
lain bermunculan terus menerus sebanyak rambut-rambut yang dicukurnya.
Istrinya pun bingung melihat suaminya berdiam diri, kadang berceracau, kadang pula
berteriak, dan seterusnya. Istrinya sangat sedih melihat rambut suaminya yang acak-acakan,
kusam, dan kotor. Dan sampai saat ini pun istrinya belum tahu bahwa yang menyebabkannya
gila adalah sang pembual sialan itu. Sebagai seorang istri, ia terus merawatnya, memberinya

makan, dan jika ia tidak ada di rumah, ia selalu mencarinya. Hidupnya telah menjadi kelam
sebagaimana malam-malam yang terus mengancam.
***
Jarum-jarum sinar matahari masuk di sela-sela rumahnya. Berkapas-kapas awan putih di
angkasa terdiam sebagaimana si lelaki tukang cukur itu. Suara-suara ruh-ruh rambut yang
dicukur terus menerus mendera telinganya dan pikiran-pikirannya dijalari kemungkinankemungkinan ancaman yang akan diterimanya.
Keanehan-keanehan tentang rambut-rambut semakin meruyak. Ia bahkan melihat cahaya
putih berpendar di ruangan tempat ia menyimpan rambut-rambut itu. Ia juga melihat matamata kegelapan yang membara bersumber dari rambut-rambut yang lain. Apakah
penampakan dari rambut-rambut itu mencerminkan pemilik rambut itu? Artinya jika pemilik
rambut yang dicukur adalah orang baik akan memendarkan cahaya dan jika pemilik rambut
itu seorang yang jahat akan memendarkan mata kegelapan yang menakutkan? Tidak ada yang
tahu tentang ini!
Sore itu menjadi sore yang malang baginya. Di saat istrinya keluar rumah, ia mengambil
sebuah tambang, lalu masuk ke sebuah kamar mandi. Begitu tiba di dalam kamar mandi, ia
naik ke atas bak mandi. Ia mengikatkan tambang itu di lehernya. Kemudian ujung tambang
ditalikan pada sebuah kayu yang melintang di atas kamar mandi itu.
Dari mulutnya masih berceracau, "Semua tukang cukur di dunia adalah pembunuh." Terus
menerus. Begitu ikatan tambang kokoh melingkar di kayu yang melintang. Ia melompat dari
bak mandi. Tubuhnya bergelantungan. Cicak-cicak di dinding mondar-mandir. Berbunyi. Dan
saat itulah, jiwa-jiwa rambut yang dicukur membalaskan dendamnya. Jiwa si lelaki tukang
cukur yang malang itu telah terbang bersama ruh-ruh rambut yang dicukur.
Ahmad Muchlish Amrin, Lahir di Sumenep, Madura. Bulan Oktober 2009, ia diundang untuk
presentasi dan membacakan karyanya di Festival International Ubud Writers & Readers di
Ubud Bali. Kini tinggal di Yogyakarta. Twitter: @damar_kembang.
(Sumber: harian Kompas edisi 12 Juni 2016, halaman 20 dengan judul "Mata Gunting dan
Jiwa Rambut yang Dicukur.")

SEPETAK MAWAR KUNING DI HALAMAN BELAKANG


Oleh Dewi Ria Utari
Serupa mimpi, kenangan itu seperti tak nyata dalam ingatannya. Bahkan seringkali ia ragu
apakah pernah mengalami kenangan itu atau itu sekadar halusinasi. Samar-samar ia
mengingat aroma sore itu. Bau rumput basah yang muncul karena ia baru saja menyiraminya
dengan ngawur. Lebih tepatnya, bau basah ini diciptakannya sendiri karena ia bermain-main

air dengan selang yang menjulur panjang dari keran yang dipasang di bawah pohon sawo
kecik.
Dengan bersemangat, ia memutar keran hingga putarannya terhenti dan dengan segera air
mengucur deras dari saluran itu. Setengah berlari, ia memegang bagian ujung selang, berlari
ke sana kemari, menyiramkan air yang mengucur itu ke rerumputan, semak-semak dan perdu
krokot, sirih, srigading, geranium, dahlia, petunia, dan mawar kuning yang menjadi favorit
ibunya yang sore itu duduk menyelonjorkan kaki di kursi pantai lipat yang dibentangkan di
antara semak mawar kuning dan pohon cemara Norfolk.
Seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, setelah matahari tak begitu terik, ibunya akan minta
pembantu rumah tangga mereka untuk memasang kursi pantai dan dengan berkacamata hitam
dan sebuah buku, ibunya akan duduk berselonjor di kursi itu sambil membaca buku. Biasanya
jika ia sudah berulah hiperaktif menyemburkan air ke sana kemari, ibunya meneriakinya
sesekali atau cuma tersenyum memandanginya.
Namun sore itu ibunya hanya diam dan tampak tertidur. Buku yang dibawanya tergeletak
menelungkup di dadanya. Dan sambil tetap menengadah, ibunya tak menghiraukannya yang
berlarian menyemprotkan air secara sembarangan. Hingga akhirnya dia berhenti kelelahan
sendiri, jatuh terduduk di rumput dan memandangi ibunya yang tetap diam. Ia tak bisa
melihat arah pandangan mata ibunya karena ibunya memakai kacamata hitam sambil tetap
menengadah ke langit. Ia pun akhirnya ikut terdiam dan berjalan menuju keran dan
mematikan air. Kemudian ia berjalan ke arah ibunya dan menyentuh telapak tangan ibunya
yang terasa hangat.
"Ibu tidur ya?"
Ibunya tak menjawab dan ia kemudian mengulang pertanyaannya lagi sambil
menggoyangkan telapak tangan ibunya. Barulah kemudian ibunya menjawab pelan.
"Nggak. Aku cuma melamun."
Suara ibunya terasa jauh seperti agak mengantuk. Atau mungkin bermimpi. Bisa jadi
melindur. Saat itu ia masih yakin akan dugaannya karena kepala dan pandangan ibunya masih
tetap dalam posisi mendongak ke atas. Dan ia tak bisa mengetahui apakah mata ibunya
terpejam atau terbuka. Cukup lama ia menunggui ibunya dengan posisi berdiri dan mencoba
melihat sekeliling ke arah atas mencari tahu apa yang membuat ibunya begitu takzim dan tak
ingin terusik.
Hingga akhirnya ia bosan dan masuk ke dalam rumah. Beberapa saat sebelum gelap turun
sepenuhnya dari langit, ia mendengar ibunya masuk ke dalam rumah dari pintu belakang, dari
ruang keluarga tempat ia menonton film kartun. Ia sempat menoleh dan melihat ibunya
berjalan melewatinya dan langsung naik ke kamarnya di lantai dua. Ibunya kemudian keluar
dari kamar dan menyiapkan makan malam untuknya dan ayahnya yang datang sekitar pukul
tujuh tiga puluh malam.

Itulah ingatan samarnya tentang ibunya yang keesokan harinya ditemukan mati
menenggelamkan diri di kolam renang di halaman samping rumah.
Seringkali dalam mimpi, ia kembali ke saat itu. Saat ia terbangun pukul tujuh pagi karena
jilatan Winter di wajahnya. Anjing labrador yang sudah menemaninya sejak bayi itu selalu
naik ke atas kasur dan membangunkannya sekitar jam tujuh pagi, sebagai tanda memintanya
untuk mengajaknya jalan ke luar rumah. Sejak masih berukuran selengan orang dewasa,
Winter sudah diajari ayahnya untuk berak dan kencing di halaman belakang.
Masih dengan mata setengah terpejam, ia mengikuti Winter turun dari lantai dua dan menuju
ke halaman belakang melalui dapur. Begitu ia membuka pintu belakang, Winter langsung
menghambur ke luar dan menuju rimbunan perdu-perdu yang menempel di tembok belakang
yang membatasi rumahnya dengan lahan kosong yang entah milik siapa. Sambil
menggenggam segelas susu, ia berdiri di ambang pintu dapur yang langsung menghadap ke
halaman belakang dan melihat Winter menyelesaikan kebutuhannya. Pandangannya tiba-tiba
terhenti pada rumpunan semak mawar kuning yang berada tak jauh dari kursi lipat yang
sepertinya lupa dimasukkan ke dalam rumah oleh pembantu. Ia masih ingat kemarin sore,
bunga-bunga mawar kuning bermunculan dan menyembul di antara rerimbunan daun. Namun
sekarang ia melihat tak satu pun ada mawar kuning yang ada di sana. Reflek ia menoleh ke
belakang dan mengarahkan matanya ke meja. Siapa tahu ada yang memetik dan menaruhnya
di dalam vas dan kemudian dipajang di atas meja makan. Namun ia melihat meja itu bersih
dan kosong.
Sambil tetap memegang gelas susu, ia kemudian berjalan masuk kembali ke dapur dan tak
ditungguinya Winter yang masih berjalan-jalan tak tentu arah di halaman belakang. Ia sempat
berhenti dan mencoba berpikir. Ada sesuatu yang ia rasa salah dan aneh di pagi ini.
Kemudian ia meneruskan langkahnya menuju ruang tengah yang menghubungkan dengan
bagian samping rumah. Cahaya sinar pagi menembus melalui jendela yang dilapisi kain
vitrage. Sepertinya sudah ada yang menarik korden sehingga ruangan samping ini terkena
sinar.
Masih dengan perasaan heran tak karuan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Teras
halaman samping terasa hangat di kakinya karena sinar matahari yang bersimbah melimpah
ruah. Matanya menyipit menahan kilau sinar yang memantul dari permukaan kolam renang
yang letaknya sekira dua meter dari pintu. Namun ia masih bisa melihat ada sesuatu yang
mengambang di permukaan air. Dilihatnya kuntum-kuntum mawar kuning mengambang
tenang mengelilingi sesosok tubuh yang mengapung dalam posisi tertelungkup. Ia melangkah
mendekat dan menyadari tubuh itu adalah sosok ibunya. Yang diingatnya kemudian, bunyi
gelas susu yang terbanting ke lantai pinggiran kolam renang.
Dulu ia pernah bertanya pada ibunya mengapa ia menanam mawar kuning dan bukannya
mawar merah atau putih. Sambil tetap menggali tanah dengan sekop, ibunya berkata, "Karena
mawar kuning memadukan dua hal yang kusukai. Warna kuning yang hangat seperti matahari
dan mawar memiliki keharuman yang mengingatkanku akan pagi hari setelah hujan."
Dia dengan perasaan kanak-kanaknya, tak terlalu memahami perkataan ibunya. Ia sebenarnya
hanya menyukai menemani ibunya bermain tanah. Tapi ia tak bisa puas jika tidak

menanyakan ada apa dengan pagi hari setelah hujan yang sepengetahuannya hanya
menyisakan basah di rerumputan. Kelak ia akan memahami bahwa peralihan waktu, hujan,
kemarau, atau bahkan bayang-bayang, memiliki aroma. Pun kelak ia akan mengetahui bahwa
mawar kuning bagi ibunya menyimpan kenangan tentang suatu masa yang paling
menghidupkan jiwa ibunya.
Ibunya dimakamkan dengan ditemani banyak kelopak bunga mawar kuning di dalam peti
mati. Digandeng ayahnya, ia melihat ibunya seperti tenggelam dalam lautan warna kuning
yang menyilaukan. Ia enggan melihat wajah ibunya. Matanya lebih ia arahkan mengamati
bunga-bunga mawar kuning dan jemari kedua tangan ibunya yang saling terkait. Dengan
susah payah, ia akhirnya memaksakan diri melihat wajah ibunya yang pucat namun tetap
cantik seperti biasanya. Rambut ibunya yang sebahu, disisir rapi dengan poni yang menutupi
keningnya.
Entah kenapa ia melihat ibunya justru terlihat seperti lebih muda dari biasanya. Ia hanya
sanggup melihat wajah ibunya beberapa menit saja. Kemudian ia melepaskan genggaman
tangannya dari tangan ayahnya dan kembali duduk di bangku depan rumah duka tempat peti
mati ibunya disemayamkan sebelum dibawa ke pemakaman. Dari tempat duduknya, ia
melihat ayahnya yang berdiri tegak dengan kedua tangannya berpegang erat di pinggiran peti.
Tak lama kemudian ayahnya berbalik dan berjalan ke arahnya kemudian duduk di
sebelahnya. Diliriknya wajah ayahnya yang tampak tegang, yang dirasanya terlihat
menyimpan amarah. Biasanya ia anak usil yang akan menanyakan kenapa dan ada apa
dengan ayahnya jika ayahnya bersikap tidak biasa. Tapi ia merasa terlalu lelah saat itu.
Tujuh hari setelah ibunya dimakamkan, ia menemukan ayahnya meninggal. Sore itu sepulang
sekolah, seperti biasa ia langsung menghambur keluar dari mobil begitu mobil yang
dikendarai sopirnya itu berhenti tepat di depan pintu depan. Ia berteriak-teriak memanggil
Winter yang biasanya langsung berlari menghampirinya entah dari mana. Dibiarkannya
Winter menjilati mukanya dan kemudian ia bergulingan sebentar dengan anjing seberat 30 kg
itu. Setelah puas, ia kemudian naik ke atas menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Saat
melewati kamar orangtuanya, ia melihat pintu kamar terbuka. Ia menoleh ke arah pintu dan
melihat sosok ayahnya terbaring di atas kasur dan tampak terpejam. Ia mendekat dan
sebenarnya bersiap-siap untuk memanggil ayahnya, hanya saja niatnya urung begitu melihat
seprai kasur tampak berwarna merah di sekeliling tubuh ayahnya. Begitu sudah di pinggir
kasur, ia mendapati pergelangan tangan kanan ayahnya telah sobek dan tampak sebilah silet
cukur tergeletak tak jauh dari telapak tangan kiri ayahnya.
Ia hanya diam dan membiarkan dirinya memandangi tubuh ayahnya beberapa menit hingga
kemudian ia mengalihkan pandangan dari pergelangan tangan ayahnya yang terkoyak dan
melihat secarik foto yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya dan melihat foto sebuah
lukisan yang memperlihatkan ibunya tengah berdiri di pinggir pantai menghadap ke depan,
tampak tertawa. Ia memakai gaun berwarna biru pucat, salah satu tangannya memegangi topi
dan tangan lainnya menggenggam setangkai mawar kuning. Di belakang ibunya, tampak laut
dan langit yang berwarna biru meski birunya tak sama.

Lukisan itu tak pernah dilihatnya. Ia kemudian membalik foto itu dan melihat tulisan di
bagian kanan bawah. Dengan sedikit mengeja, ia membaca pelan tulisan itu. "Kelak aku akan
memenuhi halaman kita dengan mawar kuning. Selamanya. K."
Hanya ada inisial K di sana dan ia tahu bahwa nama ayahnya tidak memakai huruf tersebut.
Di kemudian hari, ia menjalani hidupnya dengan sebuah tekad untuk menemukan lukisan itu
dan tentu saja pemilik nama berinisial K. Namun hingga saat itu tiba, ia mengingatkan
dirinya akan tekad itu dengan setiap hari menaruh sekuntum mawar kuning dalam sebuah vas
yang diletakkannya di meja samping tempat tidurnya.
Sebuah awal dari sebuah kisah
Dewi Ria UtariLahir di Jepara, 15 Agustus 1977. Berkarier sebagai jurnalis di sejumlah
media: Detik.com, Koran Tempo, Jurnal Nasional, dan sekarang menjabat sebagai Pemimpin
Redaksi Majalah Sarasvati. Kerap menulis cerita pendek di media cetak dan sebagian besar
karyanya muncul di sejumlah buku antologi cerpen. Ia telah menerbitkan sejumlah buku:
kumpulan cerpen Kekasih Marionette, novel remaja The Swan, dan novel terbarunya yang
terbit tahun ini, Rumah Hujan.
(Sumber: harian Kompas edisi 29 Mei 2016, halaman 20 dengan judul "Sepetak Mawar
Kuning di Halaman Belakang".)

Anda mungkin juga menyukai