1 Definisi epilepsi
dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak
oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya
inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam
darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat
menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.
Kejang Umum
a. Penyakit
metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
f. Displasia
d. Faktor genetik
e. Kejang
fotosensitif
dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul
karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural.
Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh karena
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Luaran sinyal yang
dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang
berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi
yang berlebihan, sehingga timbul kejang.
Excitatory Postsynaptic Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan molekulmolekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau
ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.
Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan karena
meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi
dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam
Tabel 2.3 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi.
Excitation
Neuronal Depolarization
EPSP
Actions Potentials
Inward Ionic Current
Long term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
IPSP
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
Spike frequency accommodation
c. Epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi bebas dari
kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma lain secara selektif dapat
mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang
hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial.
Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena
mudah rusaknya dari interneuron penghambat .
Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi sebagai
berikut:
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu
meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya oksigen ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan saat kelahiran (vakum dan forcep).
c. Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anakanak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak.
g. Penyakit
keturunan
seperti
fenilketonuria
(FKU),
tuberosklerosis
dan
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan
kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
B. Klonik
C. Tonik
D. Tonik-klonik /Grand mal
E. Mioklonik
F. Atonik
3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan
usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west,
syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8
tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita
tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata
berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca
serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike
wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada
bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonikklonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak
sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca
serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas
dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
2.6 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari
pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci
diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan
sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain
yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan
pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan,
dan perkembangan
2.7Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat,
mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab.
Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti,
dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk
dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan
epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan
semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu,
upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas
kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan
tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus
infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk
penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang
dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang.
Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan
makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75
80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi
2.8 Prognosis
Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti
epilepsi,sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan. Namun
prognosetergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama terjadi, saat dimulai
pengobatan,ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan faktor etiologik. Prognosis terbaik
adalah untuk serangan umum primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit mal,
sedangkan serangan parsial dengan simtomatologi kompleks kurang baik prognosenya. Juga
serangan epilepsi yang mulai pada waktu bayidan usia dibawah tiga tahun prognosenya relatih
buruk.