Anda di halaman 1dari 15

2.

1 Definisi epilepsi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.


Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos
dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap
masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan
normal.Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi.
Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang
di seluruh dunia.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi
yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi
pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik,
dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah
timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau
tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur,
onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada,
tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa
menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa

dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak
oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya
inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam
darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat
menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.

2.2 Etiologi Epilepsi


Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Tabel 2. Etiologi Epilepsi
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)

Kejang Umum
a. Penyakit
metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik

f. Displasia

d. Faktor genetik

g. Mesial Temporal Sclerosis

e. Kejang
fotosensitif

2.3 Patafisiologi Epilepsi


Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat tertinggi otak.
Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan listrik dan kimiawi. Terdapat
keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik.
Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya eksitabilitas
pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi lepas muatan listrik
secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron dalam waktu bersamaan, yang
disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir

dengan baik dalam sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul
karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural.
Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh karena
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Luaran sinyal yang
dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang
berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi
yang berlebihan, sehingga timbul kejang.
Excitatory Postsynaptic Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan molekulmolekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau
ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.
Berlawanan dengan Inhibitory Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan karena
meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi
dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam
Tabel 2.3 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi.
Excitation
Neuronal Depolarization
EPSP
Actions Potentials
Inward Ionic Current
Long term excitatory plastic changes
Inhibition
Neuronal hyperpolarization
IPSP
Calcium-activated potassium potentials
Outward currents
Metabolic pump potentials
Spike frequency accommodation

Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator, akan


tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki untuk
eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf
pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan
menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis pada kondisi
neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan
serangan kejang. Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C.
Secara tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi postsinaptik
( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A.
Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida. Masuknya
ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya mengadakan
hambatan dengan cara menurunkan hambatan ( resistensi ) membran. Sedangkan
reseptor GABA-B menghasilkan hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama,
dinamakan IPSP lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini
adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated potassium. Arus yang
mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium ke dalam neuron,
mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar. Penambahan respon terhadap
reseptor GABA-B berguna untuk strategi menghambat bangkitan yang berlangsung
lama.
b. Mekanisme sinkronisasi
Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas serat-serat
aksonal dari neuron eksitatorik dari pembentukan hubungan sinaptik eksitatorik yang
berulang-ulang serta timbal balik positif dan bertambahnya hubungan dengan sirkuit
ini mengakibatkan eksitasi sinaps yang berulang dan perubahan konsentrasi ion
ekstraseluler. Hal ini menyokong pelepasan sinkronisasi. Ciri khas dari semua tipe
aktivitas epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat kejang, sel
otak meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada umumnya, saluran natrium dan
kalsium menengahi eksitasi neuronal, sedangkan saluran kalium dan klorida
menstabilkan letupan.

c. Epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi bebas dari
kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma lain secara selektif dapat
mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang
hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial.
Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena
mudah rusaknya dari interneuron penghambat .
Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi sebagai
berikut:
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu, seperti ibu
meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi,
minum alkohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya oksigen ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan saat kelahiran (vakum dan forcep).
c. Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anakanak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak.
g. Penyakit

keturunan

seperti

fenilketonuria

(FKU),

tuberosklerosis

dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.


h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari nornal diturunkan pada anak.
2.4 Klasifikasi Kejang Epilepsi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan
kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
B. Klonik

C. Tonik
D. Tonik-klonik /Grand mal
E. Mioklonik
F. Atonik

3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan
usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west,
syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal

B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum


4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau
hiperglikemik non ketotik.
D. Epilepsi refrektorik

2.5 Gejala dan Tanda Epilepsi


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas
terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa

reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8
tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita
tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata
berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca
serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike
wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada
bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonikklonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak
sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca
serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas
dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot


skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran
klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.

2.6 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa
hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari
pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci
diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan
sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain
yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan
pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan,
dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan


terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam
keluarga
2) Pemeriksaan
fisik
umum
dan
neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebabsebab terjadinya serangan
epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkankemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya
pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).26
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering
digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan
kanan.

2.7Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat,
mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab.
Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti,
dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk
dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan
epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian
sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan
semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu,
upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas
kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan
tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
kejang.

2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus
infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk
penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi
berdasarkan letak fokus infeksi
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang
dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun
mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang.
Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih

ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan
makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75
80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi
2.8 Prognosis
Pada sekitar 70 % kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti
epilepsi,sedangkan pada 30-50 % pada suatu saat pengobatan dapat dihentikan. Namun
prognosetergantung dari jenis serangan, usia waktu serangan pertama terjadi, saat dimulai
pengobatan,ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan faktor etiologik. Prognosis terbaik
adalah untuk serangan umum primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit mal,
sedangkan serangan parsial dengan simtomatologi kompleks kurang baik prognosenya. Juga
serangan epilepsi yang mulai pada waktu bayidan usia dibawah tiga tahun prognosenya relatih
buruk.

Anda mungkin juga menyukai