Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi global yang banyak menimbulkan
kematian di dunia ini. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan
bahwa terdapat lebih dari 2 miliar penduduk dunia yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis
yang nilainya setara dengan sepertiga penduduk dunia. Dilaporkan bahwa pada tahun 2009
terdapat sebanyak 14 juta kasus TB di dunia dengan penemuan 9,4 juta kasus baru dan jumlah
kematian akibat TB sebanyak 1,7 juta kasus.

Asia Tenggara merupakan wilayah menurut regional WHO yang memiliki jumlah terbesar
kasus TB dan kematian akibat TB. Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat sebanyak 5 juta
kasus TB di Asia Tenggara dengan penemuan 3,3 juta kasus baru dan jumlah kematian akibat TB
sebanyak 480 ribu kasus. Sembilan puluh persen penduduk yang terserang TB berasal dari
negara berkembang dan lima negara dengan jumlah kasus TB terbanyak, yaitu India, China,
Nigeria, Bangladesh, dan Indonesia

Indonesia merupakan negara yang menempati urutan kelima di dunia, yang memiliki
jumlah terbesar kasus TB setelah India (3 juta), China (1,8 juta), Nigeria (830 ribu), dan
Bangladesh (690 ribu). Dilaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat sebanyak 660 ribu kasus TB
di Indonesia dengan penemuan 430 ribu kasus baru dan jumlah kematian akibat TB sebanyak 61
ribu kasus

TB merupakan pembunuh nomor satu di Indonesia di antara penyakit menular lainnya dan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia. Sebagian besar pasien TB adalah penduduk dengan golongan usia
produktif (15 54 tahun).

Gejala sisa akibat TB masih sering ditemukan pada pasien pasca TB dalam praktik klinik.
Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang
memiliki gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Inilah yang dikenal
sebagai Sindrom Obstruksi Pasca TB (SOPT)

1
Kemajuan ilmu dalam pemberantasan TB dan gejala sisa dari TB masih menjadi salah satu
tantangan penting saat ini. Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum tertangani secara tuntas
walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT masih sering ditemukan dan dapat
mengganggu kualitas hidup pasien, serta berperan sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah
durasi 10 tahun Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada pasien pasca TB diperlukan untuk
berperan dalam memperbaiki kualitas hidup pasien.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan nafas yang muncul
setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi selama proses TB. Pada sebagian
penderita TB, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi
menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru
menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita
tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).

2.2 Patogenesis
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu
bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun
seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan
peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan
gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi
menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak
maksimal.
Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host akan bekerja melawan
infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan komponen toksik ke dalam
jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons
terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran
bakteri lebih lanjut.
Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu dengan M.
tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan
makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1
yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit
T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T
supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit
imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas

3
terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme
oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen
peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran sel dan dinding
sel M. tuberculosis. Beberapa hasil infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap
mengaktifkan makrofag sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks
alveoli. Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di mana
proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease,
sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu molekul.Kehilangan elektron pada
suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah.
Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti protease. Sel
neutrofil melepas beberapa protease, yaitu:1) Elastase, yang paling kuat memecah elastin dan
protein jaringan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G,
menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3)
Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat
menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator
yang merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan
proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase.
Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti peningkatan beban
oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama pneumosit I, modifikasi jaringan
ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya
antiproteasenya menurun.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun diaktifkan untuk
jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk waktu
lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun (kronik)
dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri.

2.3 Etiologi
Menurut Widoyono (2005), penyebab dari penyakit tuberkulosis ini adalah bakteri
Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium Bovis. Bakteri ini mempunyai sifat
istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol,
sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimiajuga tahan
dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob.

4
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis hampir sama dengan PPOK
1) batuk berdahak
2) sesak napas,
3) penurunan ekspansi sangkar toraks.

Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan

2.4 Pemerikasaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan pada Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis
1. Spirometri
2. Kultur sputum
3. Pemeriksaan radiologis

2.5 Terapi
Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk bahkan timbul sesak bertahun-
tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena adanya kerusakan paru yang permanen,
gangguan menetep restriktif dan sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT
ini ireversibel pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan dengan kortikosteroid. Namun,
SOPT termasuk dalam penyakit obstruksi paru yang gejalanya mirip dengan PPOK, maka
pemberian terapi mirip dengan PPOK. Terapi SOPT diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk
SOPT, adalah:
1. Bronkodilator:
a. golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg)
b. golongan agonis -2 : salbutamol (2,5mg)
c. kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan salbutamol (2,5mg) nebulasi
d. golongan xantin : aminofilin (200mg)
2. Antiinflamasi : prednison atau metilprednisolon
3. Anti-oksidan : N-acetyl cystein
4. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan -lactam dan makrolid

5
5. Terapi oksigen
6. Rehabilitasi medik

6
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan nafas yang muncul
setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi selama proses TB. Patogenesis sindrom
obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom
obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara lain :
1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan reaksi
peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag
aktif.
2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.
3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB.
4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama,
akibatnya proses proteolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga
destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan yang menahun dan mengakibatkan
gangguan faal yang dapat dideteksi secara spirometri.

7
Daftar Pustaka

Aida N (2006). Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis. Jakarta: Bagian Pulmonogi
FKUI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013). Keputusan Menteri Kesehatan RI


No.328/Menkes/SK/VIII/2013 tentang Formularium Nasional. Indonesia: Kemenkes RI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik): Pedoman
Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: PDPI.

https://id.scribd.com/doc/109265083/Sindrom-Obstruksi-Pasca-TB

jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/01/jri-32-2-198.pdf

Anda mungkin juga menyukai