Anda di halaman 1dari 12

Kemoterapi

Kemoterapi merupakan salah satu metode pengobatan kanker mengunakan obat-obat


sitostatika yang bekerja dengan menghancurkan sel-sel kanker (Fischer,2001). Pengobatan secara
kemoterapi pada pasien kanker dapat ditujukan sebagai pengobatan kuratif ataupun paliatif. Pada
penggunaan

dengan

tujuan

kuratif,

kemoterapi

diberikan

sebagai

tindakan

untuk

menyembuhkan. Sementara pada pengobatan paliatif, pemeberian kemoterapi ditujukan untuk


mengurangi gejala-gejala yang timbul sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, bukan
dengan tujuan mengobati (De Jong, 2002).
Tujuan dan prinsip dari kemoterapi sendiri adalah untuk menghentikan mikrometastatis
sel kanker, mengurangi gejala dan kekambuhan, serta memperbaiki kualitas dan perpanjangan
hidup dari pasien (Fischer, 2001; Dipiro, 2008).
Kemoterapi yang diberikan pada pasien kanker umumnya berupa kombinasi dari
beberapa sitostatika yang diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah ditentukan.
Sitostatika diberikan secara bersamaan dengan jadwal yang telah ditentukan. Sitostatika yang
diberikan secara persiklus dimana masing-masing siklus memiliki jeda beberapa waktu. Jeda
tersebut ditujukan untuk memberikan waktu pada tubuh pasien memperbaiki sel-sel normal yang
ikut rusak akibat efek samping dari kemoterapi (Canadian Cancer Society, 2011).
Obat sitostatika bekerja dengan mempengaruhi metabolisme asam nukleat terutama DNA
atau biosintesis protein. Hal ini menyebabkan obat sitostatika bekerja secara tidak selektif,
karena bersifat toksik baik pada sel kanker maupun sel normal. Sifat toksik tersebut terutama
pada sel normal dengan kecepatan proliferasi yang tinggi, misalnya pada sumsum tulang
belakang, sel-sel rambut, kulit, kelenjar kelamin, janin, dan gastrointestinal. Beberapa obat

bahkan memiliki toksisitas spesifik terhadap organ, seperti nefrotoksisitas pada cisplatin dan
neurotoksisitas pada penggunaan vinkristin (King, 2000; Siswando, et.al, 2000; Davey, 2002).
2.3.1

Penggolongan Sitostatika
Sitostatika dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan faktor bagaimana obat itu

bekerja, struktur kimia obat, dan hubungan obat yang satu dengan yang lainnya. Beberapa
sitostatika memiliki golongan yang sama karena berasal dari tumbuhan yang sama. Beberapa
sitostatika memiliki beberapa mekanisme kerja sehingga menjadi bagian dari beberapa golongan.
Ditinjau dari kemampuan kerja obat terhadap siklus sel, sitostatika dibagi menjadi dua
golongan, yaitu (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008):
a.
b.

Cell cycle specific (CCS)


Sitostatika golongan ini memiliki efek toksik selektif pada sel yang sedang berpoliferasi.
Cell cycle nonspecific (CCNS)
Sitostatika golongan ini efektif terhadap tumor dengan poliferasi tinggi, pada semua
tingkat proliferasi sel kecuali G0.
Sitostatika bekerja terutama pada DNA yang merupakan komponen utama dari gen yang

mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu meliputi: (1) menghambat sintesa DNA atau
RNA sel, (2) merusak replikasi DNA, (3) mengganggu transkripsi DNA oleh RNA, (4)
menggangu kerja gen (Gilman , 2012).
Berdasarkan mekanisme kerja tersebut sitostatika dibagi menjadi beberapa golongan
(Bowman W. et.al, 2000; Katzung, 2002; Skeel, 2007; Priestman, 2008):
a.

Zat Alkilasi

Zat pengalkilasi bekerja secara langsung dengan merusak DNA sel sehingga mencegah
pembelahan sel kanker. Golongan ini bekerja di semua fase siklus sel dan digunakan untuk
mengobati bermacam-macam kanker, termasuk leukemia, limfoma, penyakit Hodgkin, multiple
myeloma, dan sarcoma, serta kanker paru-paru, payudara dan ovarium (American Cancer
Society, 2015).
Mekanisme obat yang mengganggu pembelahan dan fungsi DNA pada jaringan yang
berpoliferasi dengan cepat menjadi dasar penggunaan terapeutiknya, namun dengan mekanisme
tersebut menyebabkan obat memiliki banyak efek toksik. Mekanisme tersebut terutama ditujukan
pada sel-sel yang membelah dengan cepat, seperti sel-sel kanker.
Karena golongan ini bekerja merusak DNA, maka golongan ini juga dapat menyebabkan
kerusakan jangka panjang pada sumsum tulang. Meskipun jarang terjadi, golongan obat ini juga
dapat menyebabkan penyakit leukemia akut. Resiko leukemia dari zat pengalkilasi bergantung
pada dosis, yang berarti resikonya akan lebih kecil dengan penggunaan dosis rendah, dan resiko
semakin besar jika dosis ditingkatkan. Resiko leukemia setelah penggunaan alkylating agents
tertinggi sekitar 5 sampai 10 tahun setelah terapi.
Obat golongan ini juga berefek pada mukosa dari saluran lambung-usus, sel-sel kelamin
(sterilitas pada proa) dan janin muda (abortus). Selain itu, obat ini pada prinsipnya juga bersifat
karsinogen. Zat pengalkilasi dibagi menjadi kelas yang berbeda, terdiri dari :
1) Nitrogen mustard : meklortamin (nitrogen mustard), klorambusil, siklofosfamid (Cytoxan ),
2)
3)
4)
5)

ifosfamid, dan melfelan.


Nitrourea : streptozosin, Karmustin (BCNU), dan lomustin.
Alkil sulfonat : busulfan
Triazin : decarbazine (DTIC) dan temozolomid (Temodar )
Etilenimin : thiotepa dan altretamin (heksametilmelamin)

Busulfan

Klorambusil

Gambar 1 . struktur kimia busulfan dan klorambusil (Sweetman, 2009)


Senyawa Platinum seperti cisplatin, carboplatin, dan oxalaplatin dapat digolongkan sebagai zat
pengalkilasi karena memiliki mekanisme kerja membunuh sel yang sama namun dengan resiko
leukemia yang lebih rendah dibandingkan dengan zat pengalkilasi. Senyawa ini bekerja dengan
menghambat sintesa DNA dan RNA mirip dengan senyawa alkilasi. Obat ini terutama digunakan
pada kanker testis dan ovarium yang biasanya dikombinasikan dengan bleomisin dan vinblastin
atau dengan etoposida. Efek samping yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang hebat,
serta kerusakan ginjal dan telinga. Efek ototoksisitas tersebut menyebabkan senyawa platinum
tidak boleh dikombinasikan dengan aminoglikosida.
Ifosfamid sangat dekat hubungannya dengan siklofosfamid tetapi memiliki spectrum
aktivitas dan toksisitas yang berbeda. Thiotepa dan busulfan digunakan khusus untuk kanker
ovarium dan leukemia myeloid kronik.
b. Antimetabolit
Antimetabolit menghambat pembentukan DNA dan RNA dengan cara menggantikan blok
badan normal RNA dan DNA. Antimetabolit ini merusak sel selama fase S, ketika kromosom sel
dikopi. Golongan ini biasa digunakan untuk mengobati leukemia, kanker payudara, kanker
ovarium, dan kanker saluran intestinal, dan juga jenis kanker lainnya (American Cancer Society,
2015).
Sitostatika golongan ini memiliki struktur yang mirip dengan beberapa metabolit yang
penting bagi fisiologi sel yakni asam folat, purin, dan pirimidin. Obat golongan ini akan
menduduki tempat beberapa metabolit tanpa mengambil alih fungsinya sehingga terjadi
kegagalan dalam sintesa DNA atau RNA dan perbanyakan sel terhenti. Sitostatika golongan ini

tergolong dalam prodrug, yang berarti obat baru akan berubah menjadi metabolit aktif setelah
dimetabolisme dalam hati.
Golongan antimetabolit dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
1)
Analog asam folat
Bekerja dengan menghambat dihydrofolatreduktase yang bekerja mengkatalisis
dihidrofolat (FH2) menjadi tetrahidrofolat (FH4) yang merupakan metabolit aktif dari asam folat
yang berperan sebagai kofaktor penting dalam berbagai reaksi transfer atom karbon pada sintesa
protein dan asam nukleat pada sel. Selain itu analog asam folat juga mencegah regenerasi asam
tetrahidrofolat yang penting dalam pemebentukan asam timidilat yang diperlukan dalam sintesa
DNA.
Contoh : metotreksat
2) Analog pirimidin
Analog pirirmidin bekerja dengan menghambat sintesis timidilat, suatu bahan penting
untuk sintesis DNA dan sitosin arabinosida yang dapat bergabung langsung dengan DNA
sehingga menghambat replikasi. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan depresi
sumsum tulang.
Contoh : 5-flourourasil, sitarabin, gemcitabin, dan capetabin
3) Analog purin
Struktur obat yang mirip dengan beberapa metabolit penting bagi fisiologi sel membuat
obat ini dapat menduduki tempat metabolit tersebut dalam enzim tanpa mengambil alih
fungsinya, sehingga sintesa DNA atau RNA gagal dan perbanyakan sel akan terhenti. Obat
golongan ini tidak bersifat sitotoksik namun memiliki efek samping merusak hati.
Contoh : 6-merkaptopurin dan 6-tioguanin.
c. Antimitotik
Antimitotik bekerja dengan menghalangi pembelahan sel (mitosis) pada metaphase
(tingkat kedua dari mitosis) tapi dapat merusak sel di semua fase dengan menghambat enzim
pembentuk protein yang dibutuhkan dalam pembentukan sel (American Cancer Society, 2015).
Berbeda dengan zat alkilasi yang menghambat pemebelahan inti dengan mengganggu

pembelahan kromosom, antimitotik bekerja dengan mencegah masuknya belahan kromosom itu
kedalam anak inti.
Contoh : alkaloid vinka (vinkristin, vinblastin, dan derivate semi sintetiknya vindesin),
podofilin,

dan

obat-obat

terbaru

dari

kelompok

taxoida

{paclitaksel

(Taxol ),

dosetaksel(Taxotere )}

Gambar 2. Struktur kimia dosetaksel (Sweetman, 2009)


Alkaloid vinblastin beserta derivatnya yaitu vinkristin diperoleh dari tumbuhan Vinca rosea.
Obat ini banyak digunakan pada bermacam limfoma dengan efektifitas yang tinggi. Biasanya
alkaloid ini digunakan sebagai terapi kombinasi dengan bleomisin dan cisplatin atau dengan
doksorubisin dan prednisolon. Efek samping obat ini adalah myelosupresi, terutama leucopenia
yang biasanya akan hilang dalam setelah satu minggu. Pada vinkristin, efek myelosupresi lebih
ringan namun neurotoksisitasnya lebih besar.

Gambar 3. Struktur kimia vinblastin


Golongan obat ini digunakan untuk mengobati bermacam kanker seperti kanker
payudara, paru-paru, myeloma, limfoma, dan leukemia. Golongan ini dapat menyebabkan
kerusakan syaraf, sehingga penggunaan obat golongan ini pemberiannya dibatasi (American
Cancer Society, 2015).

Podofilin diperoleh dari akar tanaman Podophyllum peltatum yang mengandung zat anti
mitotis podofilotoksin. Dua glikosida semi sintetis dari Podophyllum peltatum adalah etoposida
dan teniposida yang bekerja dengan menghambat fase mitosis pada sel. Etoposida terutama
digunakan dalam kombinasi dengan bleomisin, karboplatin dan cisplatin. Efek samping
utamanya adalah leucopenia dan trombositopenia yang bersifat reversible. Selain itu etoposida
juga menyebabkan mual, muntah, hipotensi, dan kerontokan rambut.
Paclitaxel yang merupakan obat baru dari kelompok taxan yang berkhasiat sitotoksis
dengan jalan menghambat mitosis. Obat ini digunakan khusus pada kanker ovarium dan kanker
payudara setelah terapi dengan cisplatin tidak terlalu member hasil yang sesuai harapan.
Dosetaksel memiliki efek dan mekanisme kerja yang sama dengan paclitaxcel, namun dengan
keaktifan yang lebih yaitu lebih kurang 2 kali lebih aktif daripada paclitaxcel. Efek samping
utama paclitaxcel adalah gejala myelosupresi hebat, alopecia total, serta efek samping mual dan
muntah yang bersifat ringan.
d. Antibiotik
Obat golongan ini tidak seperti antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi. Obat
ini bekerja dengan cara mengubah DNA dalam sel kanker untuk menghambat perkembangan dan
pembelahan sel kanker. Antrasiklin merupakan antibiotik anti kanker yang bekerja
mempengaruhi enzim yang terlibat dalam replikasi DNA. Obat ini bekerja di setiap fase siklus
sel. Antrasiklin juga digunakan secara luas untuk variasi jenis kanker. Dalam pemberian obat ini
perlu perhatian lebih karena obat ini dapat merusak jantung secara permanen jika diberikan dosis
tinggi. Karena alasan ini, dosis seusia hidup dibatasi . Contoh : daunorubisin, doksorubisin,
epirubisin, dan idarubisin (American Cancer Society, 2015).
Doksorubisin bekerja dengan menghambat sintesa dari DNA dan RNA. Lazimnya
digunakan sebagai kombinasi, terutama pada leukemia akut, limfoma nonhodgkin, kanker

ovarium, brokus dan kanker payudara metastase. Obat ini sangat kardiotoksis dan juga
myelotoksis. Efek samping lain dari obat ini berupa mual, muntah, dan kerontokan rambut total
yang bersifat reversibel.

Gambar 4. Struktur kimia doksorubisin (Sweetman, 2009)


Epirubisin memiliki toksisitas jantung dan sumsum tulang yang lebih rendah
dibandingkan dengan doksorubisin. Efek mual dan muntah juga lebih rendah pada epirubisin.
Namun untuk mendapatkan efek yang sama dengan doksorubisin pada kanker payudara
dibutuhkan dosis epirubisin yang lebih tinggi.

Gambar 5. Struktur kimia Epirubisin (Sweetman, 2009)


Bleomisin merupakan campuran dari dua zat yang dihasilkan oleh Streptomyces
verticillus yang efektif untuk kanker testis jika dikombinasikan dengan vinblastin dan cisplatin.
Efek samping paling berat adalah toksisitas pada organ paru yang menyebabkan perlunya
dilakukan monitoring fungsi paru pada pasien yang menggunakan obat ini. Selain itu bleomisin
juga sering merusak kulit dan juga mukosa.
e. Imunomodulansia
Obat golongan ini diberikan pada pasien kanker untuk membantu sistem imun tubuhnya
untuk mengenali dan menyerang sel kanker. Obat ini memiliki metoda yang unik dalam
pengobatan dan sering dianggap terpisah dari kemoterapi. Ada jenis imunoterapi yang berbedabeda, yaitu Active immunotherapies menstimulasi sistem imun tubuh dengan sendirinya untuk

melawan penyakit. Passive immunotherapies tidak bergantung pada tubuh untuk melawan
penyakit, komponen sistem imun tubuh seperti antibody diproduksi diluar tubuh dan diberikan
untuk melawan kanker (American Cancer Society, 2015).
Contoh imunoterapi aktif yaitu :
1) Terapi antibodi monoclonal, seperti rituximab dan alemtuzumab
2) Non spesifik imunoterapi dan adjuvant, seperti BCG, interleukin-2, dan interferon-alfa
3) Obat-obat imunomodulansia, seperti thalidomide dan lenalidomida
Vaksin kanker merupakan jenis dari imunoterapi aktif. Pada tahun 2010, FDA menyetujui
vaksin pertama untuk mengobati kanker (Provenge vaksin untuk kanker prostat), vaksin
lainnya untuk jenis kanker lainnya masih dalam penelitian (American Cancer Society, 2015).
f. Hormon dan anti hormon
Golongan hormon dan anti hormon memiliki mekanisme yang berbeda-beda. Mekanisme
spesifik tergantung pada kanker dan hormon yang berkaitan. Misal, pada kanker prostat dan
payudara, dimana pertumbuhan tumor yang sebagian bergantung pada hormon-hormon kelamin,
sehingga pertumbuhan tumor dapat dihambat dengan pemberian hormon yang berlawanan.
Golongan obat ini umumnya adalah golongan hormon seks, atau obat-obatan hormonal
yang dapat mempengaruhi produksi normal hormon pada pria dan wanita. Golongan obat ini
digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel pada payudara, prostat, dan endometrium
(rahim), yang normalnya berkembang akibat pengaruh alami hormon dalam tubuh.
Pengobatan kanker dengan menggunakan hormon tidak bekerja dengan cara yang sama
seperti obat kemoterapi pada umumnya, tetapi memiliki mekanisme kerja dengan mencegah sel
kanker menggunakan hormon untuk tumbuh dan berkembang, atau dengan mencegah tubuh
untuk menghasilkan hormon. Misalnya pada hormon kelamin pada kanker payudara dan prostat
yang diberikan karena pertumbuhan sel yang tergantung dari hormon tersebut.
Contoh obat-obat terapi hormon :
1) Anti-estrogen : fulvestrant, tamoxifen, dan toremifen.
2) Inhibitor enzim aromatase : anastrozole, exemestane, dan letrozole
3) Progestin : megestrol asetat
4) Estrogen
5) Anti-androgen : bicalutamid, flutamid, dan nilutamid

6) Gonadotropin-releasing hormon (GnRH), yang juga diketahui sebagai agonis hormon


luteinizing (LHRH) : leuprolid dan goserelin.
g. Golongan obat-obat lain
Contoh dari golongan obat-obat ini adalah enzim asparaginase, senyawa-senyawa platina,
hidroksiurea, prokarbazin, topotecan, dan irinotecan. Totpotecan merupakan obat terbaru dengan
mekanisme kerja menghambat enzim yang terlibat pada replikasi DNA. Topotecan sendiri
bekerja dengan menghambat enzim yang bekerja pada perbanyakan sel dan replikasi DNA
sehingga berefek memusnahkan sel-sel tumor yang sedang tumbuh. Efek sampingya relative
tidak begitu berat, seperti mual, muntah, dan kerontokan rambut.
Prokarbazin memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan zat alkilasi yang khusus
digunakan pada limfoma hodkin bersama klormetin, vinkristin, dan prednisone. Efek samping
utamanya adalah myelosupresi, hemodialisa, gangguan lambung, gangguan usus, reaksi
neurologis dan pendarahan.
2.3.2

Cara Pemberian Kemoterapi


Menurut Cancer Council Australia (2012), cara pemberian obat kemoterapi dibagi

menjadi :
a. Pemberian secara intravena
Kemoterapi umumnya diberikan dalam bentuk tetesan cairan infus ke dalam pembuluh
darah (intravena).
b. Pemberian secara oral
Berberapa orang butuh meminum obatdalam bentuk tablet atau kapsul saat dirumah.
c. Pemberian secara topical (krim)
Beberapa kanker kulit diobati dengan menggunakan kemoterapi krim yang diaplikasikan
langsung pada kulit.
d. Pemberian secara injeksi

Lebih sedikit umumnya, kemoterapi dapat diinjeksikan dengan menggunakan jarum pada
bagian tubuh yang berbeda-beda, seperti : intramuscular, subkutan, intratekal, intraarterial, intraperitoneal, intrapleural, intravesika, dan intralesional
e. Chemotherapy wafers
Beberapa pasien yang harus dioperasi untuk tumor otak (kraniotomi) akan memiliki gel
wafer kemoterapi kecil yang dapat larut yang ditempatkan langsung pada bagian tumor
selama operasi berlangsung.
f. Kemoterapi dosis tinggi
Terapi ini diberikan sebagai bagian dari sumsum tulang atau transplantasi stem sel
jaringan darah untuk kondisi seperti leukemia atau limfoma. Kemoterapi dosis tinggi
membunuh semua sel kanker pada darah sebelum sel baru dan sehat di transplantasikan.
g. Kemoembolisasi
Digunakan untuk kanker hati atau beberapa tipe kanker yang telah menyebar ke hati,
kemoembolisasi adalah prosedur penyuntikan kemoterapi secara langsung ke dalam
pembuluh darah yang mensuplai tumor sehinnga memblokir tumor mendapatkan nutrisi
dan oksigen.
2.3.3

Perhitungan Dosis Kemoterapi


Mayoritas dosis kemoterapi diberikan secara individual tiap pasien dan umumnya

dihitung berdasarkan Luas Permukaan Tubuh (LPT) atau berat badan. Perhitungan LPT harus
dibakukan dan digunakan dengan metode yang sama oleh semua petugas kesehatan di institusi.
Perhitungan metode Mosteller merupakan yang paling sederhana dan secara luas digunakan
walaupun metode yang lainnya seperti metode DuBois juga dapat digunakan. Untuk pasien
dengan berat badan atau indeks massa tubuh yang ektrim perlu mendapatkan perhatian khusus
dan penggunaan obat adjuvant harus dilakukan perhitungan LPT. Hal ini sangat penting karena
faktor lainnya seperti fungsi ginjal, fungsi hati, dan status kondisi juga dimasukkan dalam
perhitungan dosis (Carrington, 2008).

Rumus Mosteller (Mosteller, 1987) :

Luas permukaan tubuh ( m2 ) =

berat badan ( kg ) tinggi badan(cm)


3600

Pembulatan dosis yang dianjurkan adalah 5% dari dosis hasil perhitungan karena
berdasarkan suatu penelitian terhadap regimen kemoterapi FEC, rentang tersebut tidak berbeda
makna dalam munculnya toksisitas akut kemoterapi (Sukandar, et.al., 2014). Atau perhitungan
luas permukaan tubuh lainnya seperti rumus DuBois and DuBois : BSA (m2)= 0.007184 Tinggi
(cm)0.725 Berat (kg)0.425, dan rumus Haycock : BSA (m2)=0.024265 Tinggi (cm)0.3964 Berat
(kg)0.5378 (Wang, et.al.,1992).

Anda mungkin juga menyukai