Anda di halaman 1dari 17

Referat

Abses Otak

Disusun oleh :
Hendra Sucipta

11.2014.339

Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Syaraf
Rumah Sakit Angkatan Udara dr.Esnawan Antariksa
Periode 5 September 9 Oktober 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Abses otak didefinisikan sebagai proses fokal supuratif dalam parenkim

otak yang dimulai sebagai daerah lokal dari serebri dan berkembang menjadi
kumpulan nanahdikelilingi oleh kapsule yang tervaskularisasi dengan baik.
Insiden abses otak di negara maju adalah rendah, antara 1-2% sementara di
negara-negara berkembang mencapai 8% dari semua pasien yang mempunyai lesi
di intrakranial. Abses otak adalah penyakit fatal dengan kematian antara 30% dan
60% sampai akhir 1970-an, ketika ketersediaan teknik bedah membaik, terapi
antimikroba efektif dan diagnostik modern modalitas pencitraan mengakibatkan
penurunan dramatis angka kematian menjadi sekitar 10%. Namun, masih tetap
perawatan masalah kesehatan yang signifikan dalam banyak negara dengan
tingkat kematian dilaporkan antara 17% dan 32% pasien.
Abses otak paling sering berasal dari sisi infeksi bersebelahan yang ada
seperti otitis media kronis, mastoiditis, sinusitis, atau karies gigi tetapi juga dapat
terjadi langsung setelah penetrasi cedera kepala, prosedur bedah saraf atau secara
hematogen seperti pada anak-anak dengan penyakit sianotik jantung bawaan.
Dalam 25% kasus tidak ada sumber primer yang jelas dari timbulnya infeksi.
Awal diagnosis, terapi antibiotik yang tepat berdasarkan pengetahuan
tentang penyebab mikroba dan operasi merupakan faktor prognostik utama untuk
abses otak. Kultur negatif telah dilaporkan dari 9% menjadi 63% dalam
dokumentasi kasus abses otak dan alasan dalam kasus tersebut belum begitu jelas.
Meskipun abses otak terus menjadi masalah utama di negara berkembang,
diterbitkan sedikit data tentang jumlah kasus yang terbatas yang tersedia dari
negara berkembang.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam
variasi bakteri dan protozoa.
2.2 Epidemiologi
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling
sering terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu,
embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler
(terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis,
sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status
imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial. Patogenesis
abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika
saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak
masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini
sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko
kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi
yang mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection).
Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya
masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun.
Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson
Cancer Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang
diperolehnya selama 14 tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah
penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 3878 tahun dengan rate kematian 55%.
Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien
abses otak yang terkumpul selama 2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr

Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana


jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan
11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20
penderita, 7 meninggal).
2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi
telinga

tengah,

sinusitis

(paranasal,

ethmoidalis,

sphenoidalis

dan

maxillaries).
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia),
endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan
Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari
jaringan otak).6 Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak
absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri
media terutama lobus parietlis, atau cerebellum dan batang otak.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik
seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses
otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis
tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus
pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia.
Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak.
Infeksi

sinus

paranasal

dapat

menyebar

secara

retrograde

thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau


temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak,
dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan
abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis
maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis

ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada


telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid
dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan
tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat
menyebar ke dalam serebelum.
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci
(viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus gram
positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella spp, Actinomyces spp,
dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric rods, Proteus spp,
Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi
parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida
albicans) dapat pula menimbulkan abses, tetapi hal ini jarang terjadi.
Factor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor
lingkungan.
1. Faktor Tuan Rumah (Host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi
mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang
utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik
humoral dan selular yang berfungsi sempurna.
2. Faktor Kuman
Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki
virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika
terdapat ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.

3. Faktor Lingkungan

Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat


masuk ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air,
atau udara.
2.4 Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari
fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh,
atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses
yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi
paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada
lobus tertentu.
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan
otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai
beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga
membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag
mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas
tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan
dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit,
limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai
pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat
pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah
nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena
pembesaran abses.

2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)


Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat
nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan
pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi
pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum
yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar
maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar.
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan
fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast
membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah
ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya
vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan substansi abu.
Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan
abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat
robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat
daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran
histologis sebagai berikut:

Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.

Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.

Kapsul kolagen yang tebal.

Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.

Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke
arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.7
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO
yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama
menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus
parietalis biasanya terjadi secara hematogen.
2.5 Respon Imunologik pada Abses Otak.
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke
susunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang
di mastoid dapat menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik
melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak secara langsung.
Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui
lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain
barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi
bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan
hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten
terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung
pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses
otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi
intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak
hal sawar darah otak sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi
fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak memiliki fagosit yang
efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk
pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan
destruktif.

2.6 Manifestasi Klinis

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejalagejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala gejala peninggian
tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin
besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri
dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik
fokal.
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena
biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran
dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas
kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan
anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis
relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik.7 Abses serebelum biasanya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor,
dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya
berasal hematogen dan berakibat fatal.
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu
penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh,
mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat
perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat
kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan
diagnosisnya.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks
patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan
meningen.

Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem


musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari
anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer
yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit
dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya
memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang
sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau
sedikit berkurang kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
Foto

polos

kepala

memperlihatkan

tanda

peninggian

tekanan

intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral;


tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat
delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi
penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat
diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai
ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti
CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat
diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens
daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan
hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan
suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak
digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan


Gambaran CT-scan pada abses :
Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona
central inflamasi.
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi
pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat
gambaran ring enhancement.

Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang


hipodens (sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring
enhancement (kapsul abses).
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur

diagnostik,

dikarenakan

sensitifitasnya

dapat

mencapai

90%

untuk

mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun


gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,
hematom yang diserap dan granuloma.
Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,
metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan

untuk membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring


(cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan
ring. Pada kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal.
Hal ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan
menjelaskan mengapa daughter abscess biasanya berkembang di medial.
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi
(yang tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri
serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat
mortalitas yang tinggi.
Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya
mixed density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai
perifokal edema yang luas.

2.8 Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk abses melibatkan :
1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
4. Pengobatan terhadap infeksi primer
5. Pencegahan kejang
6. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat
dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat
digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin
generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan

ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat
trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan
kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan
juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem yang terbukti baik
melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang
terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan penissilin dan
metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat
diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis,
atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena
strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis
citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan
sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan
terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan immunocompromised digunakan
antibiotik yang berspektrum luas dan dipertimbangkan pula terapi
amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose
Cefotaxime (Claforan) 50-100
mg/KgBBt/Hari

Frekwensi dan rute

Ceftriaxone (Rocephin)
50-100 mg/KgBBt/Hari

2-3 kali per hari,


IV

Metronidazole (Flagyl)
35-50 mg/KgBB/Hari

3 kali per hari,


IV

Nafcillin (Unipen, Nafcil)


2 grams

setiap 4 jam,
IV

Vancomycin
15 mg/KgBB/Hari

setiap 12 jam,
IV

2-3 kali per hari,


IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid


dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi
pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan
pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan
intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam
intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan
adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran
edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan
dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur
sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak
didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak
dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini,
untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses
yang multipel.
Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara
antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan
drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada
center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MRguided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses
multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan,
seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan
terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses
berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa
yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus
ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena


prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika
dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika
abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang
multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang
berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses
periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi
antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan
awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan
posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan
tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang,
ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging).
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah
mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian
antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.

2.9 Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya
adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak
2.10 Prognosis
Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara
signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI

dan antibiotic yang tepat, serta manajemen pembedahan merupakan faktor


yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan waktu yang
mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas
CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita,
termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis
dan masalah-masalah pembelajaran lainnya.
Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:
1) Cepatnya diagnosis ditegakkan
2) Derajat perubahan patologis
3) Soliter atau multipel
4) Penanganan yang adekuat.
Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat
lebih cepat didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter
lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat
menetap pada 50% penderita.

DAFTAR PUSTAKA
1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th
ed. USA: WB Saunders. 2004. p: 2047-2048.
2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of
Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p:1973-1982.
3.

Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC

4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th


ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.

5. Margaret B. Rennels, Celeste L. Woodward, Walker L. Robinson, Maria T.


Gumbinas.1983. Medical Cure of Apparent Brain Abscesses. Pediatrics
1983;72;220-224.
6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki. 1981. Cerebral
Abscess in Children. Am J Dis Child. 1981;135(8):746-749.
7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and
Prognosis of Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.
Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 3 May 2011.
8. Bailey.R, 2011, Anatomy of the Brain, Available at
http://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrain.htm
accessed 16 May 2011
9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit

Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai