Dislokasi
Dislokasi
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dislokasi sangat penting dikuasai oleh tenaga medis terutama para profesional
yang berkecimpung dalam dunia kedokteran. Dislokasi adalah keadaan di mana tulangtulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari
sendi). Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya
adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi
rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi terjadi saat ligamen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang
berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh
faktor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir
(kongenital). Dalam kehidupan sehari-hari, persendian dapat mengalami gangguan.
Gangguan sendi ini dapat berupa proses keradangan karena infeksi, imunologis, proses
degenerasi, maupun trauma. Trauma pada sendi sering disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :
Joint strain, terjadi karena trauma kecil yang terjadi berulang ulang.
Joint sprain/keseleo, terjadi karena adanya robekan mikroskopis dari ligament atau
kapsul sendi yang tidak menggangu kestabilan.
Ruptur ligamen
Dislokasi (1,2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Atau dislokasi adalah suatu
keadaan keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan
suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di
dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini
dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen
tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). (2)
2.2
Anatomi Sendi
Sendi merupakan hubungan antar tulang sehingga tulang dapat digerakkan.
Dimana hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi).
Beberapa komponen penunjang sendi:
Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian dalamnya
terdapat rongga.
Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung tulang
yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah dislokasi.
Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang menutupi
kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.
5. Sendi sinovial : adalah sendi dimana permukaannya ditutupi oleh tulang rawan hialin
dan pinggirnya ditutupi oleh kapsul sendi berupa jaringan fibrosa dan di dalamnya
mengandung cairan sinovial. (3,4)
2.3 Penyebab dislokasi
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi.
-
Cedera olahraga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga
yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket
dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena
secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
2. Kongenital
Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha. Pada
keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai
yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian kiri serta kanan
tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya kecurigaan yang
paling kecil pun terhadap kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang
cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini memberikan hasil yang
sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan bidai selama beberapa bulan, jika
kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh sulit dan diperlukan
pembedahan.
4
3. Patologis
Akibatnya destruksi tulang, misalnya tuberkolosis tulang belakang. Dimana patologis:
terjadinya tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital
penghubung tulang. (2,5)
1.4 Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan karena faktor fisik yang memaksa sendi untuk
bergerak lebih dari jangkauan normalnya, yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik
pada komponen tulang sendi, ligamen dan kapsula fibrous, atau pada tulang maupun
jaringan lunak. Struktur-struktur tersebut lebih mudah terkena bila yang mengontrol sendi
tersebut kurang kuat. (3)
1.5 Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi, misalnya
tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang
berkurang.
3. Dislokasi traumatik : merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf
rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema
(karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat
mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur
sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi:
1. Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut
dan pembengkakan di sekitar sendi.
5
2. Dislokasi Kronik
3. Dislokasi Berulang : Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang.
Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint. (2,3)
2.6
Diagnosis
Anamnesis : perlu ditanyakan tentang :
Rasa nyeri
Mekanisme trauma
Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi pada
dislokasi rekurrens (6,7)
Pemeriksaan klinis
a. Deformitas
Pemendekan
b. Bengkak
c. Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal (6,7)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai
fraktur.Pemeriksaan diagnostik dengan cara pemeriksaan sinar X (pemeriksaan X-Rays).
(3,7)
2.7Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai dislokasi antara lain :.
Komplikasi Dini :
1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid
dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur disloksi
Komplikasi lanjut :
1) Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi
bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi
2) Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari
bagian depan leher glenoid
3) Kelemahan otot (2,8)
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut :
o
Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi, misalnya :
dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok), sislokasi bahu, siku atau
jari dapat direposisi dengan anestesi loca; dan obat penenang misalnya valium.
7
Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar
tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan
mobilisasi halus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi
tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak
tangan atau punggung tangan.
Penatalaksanaan:
Jari yang cedera dengan tarikan yang cukup kuat tapi tidak disentakkan. Sambil
menarik, sendi yang terpeleset ditekan dengan ibu jari dan telunjuk. Akan terasa bahwa
sendi itu kembali ke tempat asalnya. Setelah diperbaiki sebaiknya untuk sementara waktu
ibu jari yang sakit itu dibidai. Untuk membidai dalam kedudukan setengah melingkar
seolah olah membentuk huruf O dengan ibu jari. (7,9)
II.
Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan dalam sling atau gips selama tiga
minggu untuk memberikan kesembuhan pada sumpai sendi. (6,7)
III.
tulang pembentuk sendi pergelangan tangan mengalami pergeseran atau penguluran baik
secara langsung maupun tidak langsung.
a. Dislokasi tulang lunatum
Dislokasi ini jarang ditemukan, berupa dislokasi ke anterior. Dislokasi
tulang lunatum terjadi bila jatuh dengan pergelangan tangan dalam
keadaan dorsoflexy, dan tulang lunatum terdorong ke arah palmar dan
mengalami rotasi 900 pada carpar tunnel. Terdapat pembengkakan pada
daerah pergelangan tangan, nyeri apabila jari-jari diekstensikan. Bisa
didapatkan gejala lesi nervus medianus.
Pada dislokasi yang baru, dilakukan reposisi di bawah pembiusan umum
dengan melakukan penekanan pada tulang lunatum. Pada dislokasi yang
lama, reposisi tidak bisa dilakukan dan perlu dilakukan eksisi.
b. Dislokasi perilunatum
Seluruh korpus mengalami dislokasi ke arah dorsal kecuali tulang lunatum
masih tetap bersama-sama tulang radius.
Pengobatan dilakukan reduksi tertutup. Bila gagal, dilakukan reduksi
terbuka.
IV.
Dislokasi Acromioclavicularis
Kekuatan sendi akromioklavikular disebabkan oleh simpai sendi dan ligament
korakoklavikular. Dislokasi sendi akromioklavikular tanpa disertai rupturnya ligament
korakoklavikuar, biasanya tidak menyebabkan dislokasi fragmen distal ke cranial dan
dapat diterapi secara konservatif dengan mitela yang disertai latihan dan gerakan otot
bahu. Bila tidak berhasil atau adanya robekan ligament korakoklavikula kadang
dilakukan operasi reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna.
Pengobatan konserfatif dengan reposisi dan imobilisasi bisa berhasil dan bila gagal perlu
dilakukan operasi. Yang terpenting ialah latihan otot supaya tidak terjadi hipotrofik pada otot
bahu.
a.
Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi ekstern (puntiran keluar)
dan ekstensi sendi bahu. Posisi lengan atas dalam posisi abduksi. Kaput humerus didorong ke
depan dan menimbulkan avulsi simpai sendi bagian bawah dan kartilago beserta periosteum
labrum glenoidalis bagian anterior. Lesi ini disebut bankart lesion. Karena terjadi robekan
kapsul, kepala humerus akan keluar dari cekungan glenoid ke arah depan dan medial,
kebanyakan tertahan di bawah coracoideus. Mekanisme lain terjadinya disloksi adalah trauma
langsung. Pederita jatuh, pundak bagian belakang terbentur lantai atau tanah. Gaya akan
mendorong permukaan belakang humerus bagian proksimal ke depan.
13
Penatalaksanaan
Keadaan ini memerlukan reposisi segera. Ada beberapa indikasi untuk melakukan
reposisi, yaitu : tidak adanya fraktur, tidak adanya defisit neurologi
Oleh karena itu sebelum melakukan reposisi sebaiknya dilakukan beberapa pemeriksaaan
1. Nervus axillary : 8% terjadi kelumpuhan
0
2
2. Nervus Radialis: extensi tangan
3. Artery brachialis: denyut nadi radialis
15
Cara ini mudah dan tidak memerlukan anestesia. Penderita tidur tengkurang di atas
meja, lengan yang cedera dibiarkan tergelantung ke bawah. Lengan diberi beban
seberat 5 7 kg. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi
reposisi akibat berat lengan yang tergantung di samping tempat tidur tersebut. Hal ini
dilakukan selama 20 25 menit.
16
Tahap pertama, dalam posisi siku fleksi penolong menarik lengan atas ke arah
distal
Tahap ketiga, melakukan gerakan adduksi dan fleksi pada sendi bahu
Setelah tereposisi sendi bahu difiksasi dengan dada, dengan verband dan lengan
bawah digantung dengan sling. Immobilisasi cukup 3 minggu. Cara ini paling sering
dilakukan di klinik.
17
b.
18
Klinis:
Sangat sakit di daerah bahu. Posisi lengan dalam kedudukan adduksi dan internal rotasi.
Terdapat penonjolan kaput di daerah posterior.
Pemeriksaan Radiologi:
Proyeksi AP kadang sulit dilihat, Kalau perlu dilakukan proyeksi aksial.
Penatalaksanaan:
Keadaan ini memerlukan reposisi tertutup segera alam narkosis umum dengan melakukan
rotasi ekstern pada bahu dan kaput humerus didorong ke depan. Setelah reposisi, dipasang gips
spika bahu dalam posisi abduksi 30 0 selama 3 minggu. (3,7)
c.
abduksi. Karena robekan kapsul sendi lebih kecil dibanding kepala humerus, maka sangat susah
kepala humerus ditarik keluar, hal ini disebut sebagai efek lubang kancing (Button hole effect)
19
Penatalaksanaan
Lakukan traksi berlawanan dengan arah dislokasi. Awalnya lakukan tarikan ke arah
dislokasi, yaitu ke arah atas, lanjutkan tarikan semakin lama semakin ke bawah (counter
abduksi), dan akhirnya arahkan lengan ke sisi penderita.
V.
terjadinya dislokasi yaitu saat kaput yang terletak di belakang asetabulum, kemudian segera
berpindah ke dorsum illium. Biasanya juga mengalami cedera serius misalnya trauma benturan
20
depan mobil akibat tabrakan mobil frontal. Penderita mungkin mengalami syok berat dan tidak
dapat berdiri. Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang sesuai dengan paha difleksikan, dan
dirotasikan ke interna. Tungkai pada sisi yang cedera lebih pendek daripada sisi yang normal.
Lututnya bersandar pada paha yang berlawanan dan trokantor mayor dan pantat menonjol secara
abnormal.
Dislokasi hip joint adalah suatu kejadian/peristiwa menyakitkan di mana komponen
peluru/bola/caput humeri tulang paha keluar dari tempatnya/acetabulum. Sehingga penderita
mengalami rasa nyeri, karena caput humeri bergerak/bekerja bukan pada tempatnya lagi.
Epidemiologi:
Ras bukan merupakan faktor risiko untuk dislokasi hip. Dislokasi Hip lebih sering terjadi
pada laki-laki muda dari pada orang yang karena cedera yang berhubungan dengan perilaku
berisiko. Hip dislokasi akibat cedera traumatik (terutama MVCs) lebih umum pada mereka yang
lebih muda dari 35 tahun dibandingkan orang tua. Hip dislokasi akibat jatuh lebih umum pada
mereka dari 65 tahun lebih tua.
Pemeriksaan fisik:
Seperti halnya korban trauma besar, penilaian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
sangat penting primer. Selama survei sekunder, pemeriksaan dari korset panggul dan pinggul
adalah wajib. Pemeriksaan harus terdiri dari inspeksi, palpasi, aktif / pasif rentang gerak, dan
pemeriksaan neurovaskular.
- Inspeksi: Dalam prakteknya, ini penampilan dapat diubah dengan adanya dislokasi atau
fraktur-kelainan tulang lainnya
21
Palpasi: Meraba panggul dan ekstremitas bawah untuk cacat tulang-langkah kotor atau off.
Dalam sebuah dislokasi hip anterior, kadang-kadang pada femoralis teraba hematoma. Hal ini
menunjukkan cedera vaskular.
Range of motion: Pasien dengan dislokasi hip memiliki jangkauan sangat terbatas gerak.
Mengevaluasi apa pasien dapat dilakukan dengan nyaman. Jangan paksa melakukan berbagai
gerakan pada pasien yang tidak bisa mentolerir manipulasi normal,. Rentang nyeri gerak
hampir tidak termasuk dislokasi hip.
Hematoma
Loss of pulses
Muka pucat
22
Anatomi Fisiologi:
Tulang pelvis adalah penghubung antara badan dan anggota bawah yaitu tulang sakrum
dan koksigeus bersendi antara satu dengan yang lainnya.
Pada simfasis pubis pelvis terbagi atas 2 bagian :
1. Pelvis mayor atau rongga panggul besar.
2. Pelvis minor atau rongga panggul kecil
Di antara ke 2 rongga tersebut dibatasi oleh garis tepi atau linea terminalis.
Sendi sendi pelvis antara lain : sendi sakro iliaka adalah sendi antara ilium yang disebut
aurikuler dan kedua sisi sakrum, gerakan ini sangat sedikit karena ligamennya sangat kuat
menyatukan permukaan sendi sehingga membatasi gerakan ke seluruh jurusan.
Patofisiologi :
23
Dislokasi panggul paling sering dialami oleh dewasa muda dan biasanya diakibatkan oleh
abdukasi, ekstensi dan ekstra traumatik yang berlebihan. Contohnya posisi melempar bola
berlebihan. Caput humeri biasanya bergeser ke anterior dan inferior melalui robekan traumatik
pada kapsul sendi panggul.
Faktor yang sering menyebabkan resiko dislocation hip joint adalah:
Pelvis yang mempunyai peluru/bola/caput yang kecil dengan diameter 22 mm, dan
peluru/bola/caput yang memiliki leher/collum yang tebal.
Pengobatan Hip Dislokasi
Pengobatan untuk dislokasi hip termasuk:
Istirahat:
Ketoprofen ( Orudis )
a.
longitudinal pada femur saat femur dala keadaan fleksi 90o dan sedikit adduksi.
Pemeriksaan pada penderita dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda yang
abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit fleksi, internal rotasi
dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput femur terkunci pada bagian posterior
asetabulum. Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik
extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena
kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim
pada kasus dislokasi hip joint. Dislokasi panggul posterior biasa disebabkan oleh trauma. Ini
terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan fleksi 90o dan sedikit
adduksi.
Gejala klinis
Pemeriksaan pada penderita dislokasi panggul posterior akan menunjukkan tanda yang
abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit fleksi, internal
rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput femur terkunci pada bagian
posterior asetabulum.
25
Mekanisme trauma pada dislokasi posterior karena kaput femur dipaksa keluar ke belakang
asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi panggul
dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya tejadi karena kecelakaan lalu lintas dimana
lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada di bagian depan
lutut. Kelainan ini juga dapat juga terjadi sewaktu mengendarai motor. 50% persen dislokasi
disertai
fraktur
pada
pinggir
asetabulum
dengan
fragmen
kecil
atau
besar.3
Terdapat klasifikasi menurut Thompson Epstein (1973) yang penting untuk rencana pengobatan:
Tipe I : dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil.
Tipe II : dislokasi dengan fragmen tulang yang besar pada bagian posterior asetabulum.
Tipe III : dislokasi dengan fraktur bibir asetabulum yang komunitif.
Tipe IV : dislokasi dengan fraktur dasar asetabulum.
Tipe V : dislokasi dengan fraktur kaput femur.
Pada kasus yang jelas, diagnosis mudah dilakukan : kaki pendek, adduksi, rotasi internal
dan sedikit fleksi. Tetapi kalau salah satu tulang panjang mengalami fraktur, biasanya femur,
cedera panggul dengan mudah dapat terlewat. Pedoman yang terbaik adalah memotret pelvis
dengan sinar X pada tiap kasus cedera yang berat, dan pada fraktur femur, pemeriksaan sinar X
harus mencakup panggul. Tungkai bawah harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tandatanda cedera saraf ischiadikus. Pada foto anteroposterior kaput femoris terlihat di luar
mangkuknya dan di atas asetabulum. Segmen atap asetabular atau kaput femoris mungkin telah
patah dan bergeser; foto oblik berguna untuk menunjukkan ukuran fragmen itu. Kalau fraktur
ditemukan, fragmen tulang yang lain (yang mungkin perlu dibuang) harus dicurigai. CT scan
adalah cara terbaik untuk menunjukkan fraktur asetabulum atau setiap fragmen tulang. Keadaan
dislokasi panggul merupakan tindakan darurat karena reposisi yang dilaksanakan segera
mungkin dapat mencegah nekrosis avaskuler kaput femur. Makin lambat reposisi dilaksanakan
makin tinggi kejadian nekrosis avaskuler. Reposisi tertutup dilakukan dengan pembiusan umum
menurut beberapa cara : metode Bigelow, metode Stimson, dan metode Allis. Metode Allis
merupakan metode yang lebih mudah.
Pemeriksaan
26
Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik
extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena
kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim
pada kasus dislokasi panggul. Pemeriksaan penunjang dengan pembuatan X ray foto,
umumnya dengan proyeksi AP.
Pasca reposisi dilakukan traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak
menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat selama 3 bulan.
2. The Bigelow Maneuver : Tempatkan penderita di lantai (telentang). Amati (dislokasi) secara
cermat dan suruh seorang asisten mendorongnya ke anterosuperior pada SIAS. Fleksikan
lutut penderita dan panggulnya, dan rotasikan tungkainya pada posisi netral. Tarik
tungkainya ke atas secara terus-menerus dengan lembut. Saat masih dilakukan traksi
(penarikan) sesuai arah femur, rendahkan tungkainya ke lantai. Reduksi biasanya jelas
dirasakan tetapi perlu didukung dengan sinar-X. Jika metode tersebut gagal mereduksi
dislokasi, minta asisten meneruskan penekanan secara kuat pada SIAS. Dengan lutut
sebagian difleksikan, tarik tungkai sesuai dengan deformitas. Fleksikan panggul perlahan
hingga 90o dan rotasikan secara lembut ke internal dan eksternal untuk melepaskan kaput
dari struktur-struktur yang menahannya. Kembalikan kaput pada tempatnya dengan rotasi
interna dan eksterna lebih lanjut, atau rotasi eksterna dan ekstensi. Bila masih terpengaruh
anestesi, periksa lutut, apakah terdapat ruptur ligamentum cruciatum posterior.
.
2. Segera setelah penderita dianestesi, tempatkan ia dengan wajah menghadap ke meja, sehingga
paha yang cedera terkatung ke bawah dengan lututnya pada 90o dan kakinya bersandar pada
lutut anda. Suruh seorang asisten memegang paha yang normal secara horizontal, agar pelvis
tidak menjadi miring. Tekan terus menerus ke arah bawah pada lutut yang difleksikan hingga
otot-ototnya berelaksas dan kaput femoris dapat masuk ke asetabulum. Jika perlu goyangkan
lututnya.
Jika metode ini gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka.
Uji stabilitas, saat penderita masih diberi anestesi, fleksikan panggulnya sampai 90o dan lakukan
pemeriksaan apakah kaput femoris mudah keluar dari asetabulum dari arah posterior ataukah
tetap pada tempatnya. Jika dapat tergelincir dengan mudah, diduga ada fraktur pada tepi posterior
asetabulum.
Setelah
dilakukan
reduksi
diperlukan
perawatan
lebih
lanjut,
dengan:
1. Jika reduksi stabil, pelaksanaan bergantung pada pergerakannya, apakah menimbulkan sakit
atau tidak. Jika tidak menimbulkan rasa sakit, maka tidak diperlukan traksi, karena itu lakukan
pergerakan aktif di tempat tdur dan setelah 10 hari penderita diberi tongkat ketiak dengan
menahan beban berat parsial. Jika pergerakan menimbulkan nyeri, lakukan traksi ekstensi hingga
nyeri hilang, lalu berdirikan dengan tongkat ketiak, dilanjutkan dengan menahan beban berat
parsial sampai penuh.
2. Jika reduksi tidak stabil, sehingga kaput femur keluar dari asetabulum, maka lakukan
pemeriksaan sinar-X. Jika hasilnya menunjukkan satu potongan tulang besar patah dari pinggir
asetabulum, maka rujuk untuk perbaikan. Sebaliknya, lakukan traksi ekstensi dengan pen tibia.
Jika reduksi dapat dikontrol, lanjutkan untuk menggunakan sekurang-kurangnya 6 minggu.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi panggul posterior, yaitu
Lesi n. Ischiadicus
Artrosis degeneratif
29
Komplikasi dapat berupa komplikasi dini yaitu kerusakan nervus skiatik, kerusakan pada
kaput femur, kerusakan pada pembuluh darah, dan fraktur diafisis femur. Komplikasi lanjut dapat
berupa nekrosis avaskuler, miositis osifikans, osteoartritis.
.
b.
kaput femur di depan asetabulum. Pemeriksaan dislokasi anterior, kaki dibaringkan eksorotasi
dan seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang. Penderita
tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas
berada di depan triangle femur. (3,7)
Gejala klinis dan Pemeriksaan
Pemeriksaan dislokasi panggul anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak
fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang. Penderita tidak dapat bergerak
fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle
femur. (3,7)
Penatalaksanaan
Terapi dilakukan dengan membaringkan penderita di lantai, dan lakukan anestasi seperti
pada penanganan dislokasi panggul posterior. Dengan melakukan pengamatan secara cermat,
suruh seorang asisten menarik pelvisnya dengan kuat sepanjang manuver pada SIAS. Pegang
tungkai penderita dan bengkokkan panggul dan lutut sampai 90o. Rotasikan tungkainya ke posisi
netral. Hal ini akan mengubah dislokasi panggul anterior menjadi posterior. Tarik tungkai
penderita terus menerus ke atas agar dapat mengangkat kaput femur ke dalam asetabulum. (3,7,8)
Jika panggul tidak dapat direduksi, turukan tungkainya ke lantai ketika sedang
mempertahankan reduksi. Jika panggul masih tidak dapat direduksi, maka gunakan traksi sesuai
dengan arah deformitas (fleksi dan adduksi). Saat mempertahankan traksi, angkat tungkainya
pada posisi vertikal agar dapat membawa kaput femur pada tepi anterior asetabulum. Sekarang,
dengan masih mempertahankan traksi, rotasikan tungkai ke internal dan turunkan pahanya
menjadi posisi yang diekstensikan. Jika panggul masih tidak dapat direduksikan, suruh seorang
30
asisten terus memegang pelvis dengan kuat. Suruh asisten kedua berdiri di depannya dan
menarik dengan kuat sesuai dengan arah femur. Abduksikan panggul yang normal dan letakkan
tumit anda tanpa sepatu pada tempat kaput femur yang anda pikirkan. Kemudian tekan ke arah
posterolateral hingga kaput masuk ke dalam socket dengan bunyi debam. Jika gagal, rujuk untuk
dilakukan reduksi terbuka. Setelah dilakukan reduksi diperlukan perawatan lebih lanjut,
pertahankan penderita di tempat tidur hingga ia dapat mengontrol panggulnya kembali.
Kemudian biarkan ia berdiri dan menahan beban berat. Amati kaput femur terhadap nekrosis
aseptik, sama seperti dislokasi panggul posterior. (3,7,8)
c.
Dislokasi obturator ini sangat jarang ditemukan. Dislokasi obturator disebabkan karena
gerakan abduksi yang berlebih (hiper-abduksi) dari panggul yang normal yang disebabkan
karena trokantor mayor bergerak berlawanan dengan pelvis untuk mengungkit kaput femur
keluar dari asetabulum.
Penatalaksanaan
Terapi pada dislokasi obturator, yang terjadi akibat sobeknya capsul inferior, adalah
sangat memungkinkan untuk mengubah dislokasi ini menjadi dislokasi panggul anterior maupun
posterior, dan kemudian dapat direduksi dengan cara yang tepat. Bagaimanapun juga traksi
abduksi pada tungkai dengan traksi yang berlawanan dengan pelvis sangat diperlukan. Berikan
tekanan kuat, lalu letakkan pada sisi medial kaput femur dengan melakukan sedikit gerakan
internal dan eksternal rotasi. Adduksikan ke posisi normal. Selama kaput femur yang mengalami
dislokasi tidak bergerak ke arah yang dapat mengganggu suplay darah, penderita dapat mulai
berjalan dengan tongkat ketiak tanpa beban pada tungkainya setelah beristirahat di tempat tidur
selama beberapa hari. Penderita harus berjalan dengan tongkat ketiak selama 6 minggu dan
31
melakukan pemeriksaan dengan sinar-X dengan interval 2 sampai 3 bulan untuk tahun pertama
dan 6 bulan untuk tahun kedua. Kemungkinan terjadi avascular necrosis sangat kecil karena arah
dislokasi ini. (3,7)
Penyebab
Penyebab masalah ini masih belum diketahui. (3,6)
Gejala
Pada dislokasi bawaan, tanda awal mungkin "mengklik" suara saat kaki bayi yang baru
lahir didorong terpisah. Jika kondisi itu terus terdeteksi pada tahap bayi, akhirnya kaki yang
terkena akan tampak lebih pendek dari yang lain, kulit di lipatan paha akan muncul tidak merata,
dan anak akan memiliki fleksibilitas lebih pada sisi yang terkena. Ketika ia mulai berjalan, ia
mungkin akan lemas, berjalan kaki, atau "goyangan" seperti bebek. (3,6)
Diagnosa
Pemeriksaan fisik dengan teliti bayi yang baru lahir biasanya mendeteksi dislokasi hip. Pada bayi
yang lebih tua dan anak-anak, hip-sinar x dapat mengkonfirmasikan diagnosis.(3,6)
Pengobatan
Pengobatan dislokasi tergantung pada usia anak. Dalam atau sangat muda bayi baru lahir,
misalnya, perangkat lunak disebut posisi memanfaatkan Pavlik akan menjaga tulang pinggul
dalam soket dan merangsang pengembangan pinggul normal. Jika metode tidak bekerja, tulang
pinggul sering dapat mendorong kembali ke tempatnya pada anak berumur 6 bulan sampai 2
tahun. Prosedur, disebut reduksi tertutup, dilakukan di bawah anestesi. Jika reduksi tertutup
gagal untuk memperbaiki masalah, operasi terbuka untuk reposisi hip mungkin diperlukan.
Setelah anak adalah lebih dari 2 tahun, ditutup. Mengikuti baik atau membuka prosedur tertutup,
anak akan memakai cor dan / atau kawat gigi selama beberapa bulan. Ini akan membantu
menjaga tulang pinggul di soket sementara menyembuhkan. Anak-anak sangat mungkin
mengalami penundaan sebelum berjalan karena para pemain. Meskipun perbedaan panjang kaki
33
mungkin tetap, pengobatan awal pinggul bawaan dislokasi hip joint dapat mempromosikan
fungsi normal dan akhirnya izin gaya hidup aktif. (3,6)
V.
mengenai sendi lutut. Subluksasio dapat terjadi secara sekunder pada penyakit degeneratif
ataupun pada penyakit infeksi yang sudah berlangsung cukup lama. Tulang tibia dapat menjadi
dislokasi ke ventral , dorsal ataupun ke setiap sisi . Dapat juga terjadi rotasi yang abnormal pada
femur. Mekanisme terjadinya dislokasi pada sendi lutut biasanya melalui hiperekstensi dan torsi
pada sendi lutut. Dislokasi akut pada sendi lutut sering disertai dengan kerusakan pada pembuluh
darah ataupun persarafan pada popliteal space. Gambaran klinis dijumpai adanya trauma pada
daerah lutut disertai pembengkakan, nyeri dan hamartrosis serta deformitas.
Pengobatan, tindakan reposisi dengan pembiusan harus dilakukan sesegera mungkin dan
dilakukan aspirasi hemartrosis dan setelahnya dipasang bidai gips posisi 10 o-l5o selama 1 minggu
kemudian dipasang gips sirkuler d iatas lutut selama 7-8 minggu, bila ternyata lutut tetap tak
stabil (varus ataupun valgus) maka harus dilakukan operasi untuk erbaikan pada ligamen.
34
35
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis.
Diagnosa dislokasi dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis.
Dalam menghadapi kasus dislokasi, kita harus mengetahui macam dislokasi, komplikasi, dan
penanganannya.
Ada beberapa macam terapi untuk menangani kasus dislokasi, hal ini disesuaikan dengan
indikasi dari terapinya.
SARAN
Sebagai tenaga medis, kita harus bisa memahami kasus dislokasi karena hal ini bisa terjadi.
Pemahaman yang dimaksud mulai dari macam dislokasi, cara mendiagnosa dislokasi,
komplikasi, serta terapi yang ada.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, A. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta
2. Cole, Warren H and Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth Edition. New York:
Meredith Corporation.
3. Salter Robert bruce. 1999. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal
System, 3rd-ed. Baltimore: Williams & Wilkins.
4. Rasjad Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga, Jakarta: PT.Yarsif
Watampone (Anggota IKAPI).
5. Reksoprojo, S.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara. Jakarta
6. Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit Buku
Kedoktern EGC. Jakarta
7. Appley A Graham
37