Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa sekarang kecendrungan pemakaian bahan bakar sangat tinggi
sedangkan sumber bahan bakar minyak bumi yang di pakai saat ini semakin
menipis. Oleh karena itu, perlu adanya bahan alternatif yang dapat digunakan
sebagai pengganti minyak bumi. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan
bakar untuk pemecahan masalah energi pada saat ini.
Saat ini sedang diusahakan secara intensif pemanfaatan bahan-bahan
yang mengandung serat kasar dengan karbohidrat yang tinggi, dimana semua
bahan yang mengandung karbohidrat dapat diolah menjadi bioethanol.
Misalnya umbi kayu, ubi jalar, pisang, kulit pisang, dan lain-lain. Bioethanol
dapat dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung senyawa selulosa
dengan menggunakan bantuan dari aktivitas mikroba.
Pisang dengan nama Latin Musa paradisiacal merupakan jenis buahbuahan tropis yang sangat banyak dihasilkan di indonesia. Pulau Jawa dan
Madura mempunyai kapasitas produksi kira-kira 180.153 ton pertahun
(Anonymous, 1978). Dari keseluruhan jumlah tersebut terdapat jenis buah
pisang yang sering diolah dalam bentuk gorengan, salah satunya pisang kepok.
Kulit dari buah pisang kepok biasanya oleh masyarakat hanya dibuang dan hal
itu menjadi permasalahan limbah di alam karena akan meningkatkan
keasaman tanah dan mencemarkan lingkungan. Berdasarkan permasalahan
itulah akan dibahas pengolahan limbah kulit pisang kepok ini agar dapat
berguna untuk masyarakat.
Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat (pati) menggunakan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007).
Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat,
dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula atau glukosa
dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara
enzimatis. Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang

diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan


menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana proses pengolahan kulit pisang menjadi bioetanol?
1.2.2 Bagaimana pengaruh penambahan jumlah enzim pada saat hidrolisis
1.2.3
1.2.4

terhadap bioetanol yang dihasilkan?


Bagaimana pengaruh waktu fermentasi terhadap Kadar Etanol?
Bagaimana kondisi optimum proses hidrolisis enzimatik dan fermentasi

sehingga didapatkan hasil bioetanol yang tinggi?


1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui proses pengolahan kulit pisang menjadi bioetanol
1.3.2 Mengetahui pengaruh penambahan jumlah enzim terhadap Etanol yang
1.3.3
1.3.4

dihasilkan.
Mengetahui pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar Etanol.
Mengetahui kondisi optimum proses hidrolisis enzimatik dan
fermentasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Baku

Amilum atau dalam bahasa sehari-hari disebut pati terdapat dalam


berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang disimpan dalam akar, batang buah,
kulit, dan biji sebagai cadangan makanan. Pati adalah polimer D-glukosa dan
ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuh-tumbuhan, misalnya
ketela pohon, pisang, jagung,dan lain-lain (Poedjiadi A, 1994).
Kulit pisang kepok digunakan karena mengandung karbohidrat.
Karbohidrat tersebut diurai terlebih dahulu melalui proses hidrolisis
kemudian di fermentasi dengan menggunakan Saccharomyces cereviseae
menjadi alkohol. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan dari fermentasi gula dari
sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007).
Bioetanol diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan
pangan yang mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu.
Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat
menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). Komposisi kulit pisang
ditunjukkan pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Komposisi kulit pisang
UNSUR

KOMPOSISI

Air

69,80 %

Karbohidrat

18,50%

Lemak

2,11%

Protein

0,32%

Kalsium

715mg/100gr

Posfor

117mg/100gr

Besi

0,6mg/100gr

Vitamin B

0,12mg/100gr

Vitamin C

17,5mg/100gr

(Anynomous, 1978)
Berdasarkan tabel 2.1, komposisi terbanyak kedua pada kulit pisang
adalah karbohidrat. Mengingat akan hal tersebut dan prospek yang baik di
masa yang akan datang, maka penyusun mencoba mencari peluang untuk

memanfaatkan kulit pisang sebagai bahan baku dalam pembuatan bioethanol


(Prescott and Dunn, 1959).
2.2 Proses Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi kimia antara air dengan suatu zat lain yang
menghasilkan satu zat baru atau lebih dan juga dekomposisi suatu larutan
dengan menggunakan air. Proses ini melibatkan pengionan molekul air ataupun
peruraian senyawa yang lain.
Hidrolisis juga merupakan proses pemecahan polisakarida di dalam
biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer
gula penyusunnya. Pada hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan
glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula
pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam)
atau enzimatik.
Reaksi hidrolisis pati berlangsung menurut persamaan reaksi sebagai berikut:
(C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6)
Pati

air

glukosa

2.2.2 Hidrolisis dengan Enzim


Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan
dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim
selulosa. Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi
proses yang lebih rendah (suhu rendah), berpotensi memberikan hasil yang
tinggi dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan
yang korosif. Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatik antara lain adalah
membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat oleh produk.
Di sisi lain harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam sulfat, namun
demikian pengembangan terus dilakukan untuk menurunkan biaya dan
meningkatkan efisiensi hidrolisis maupun fermentasi.
2.3 Proses Fermentasi

Fermentasi berasal dari bahasa latin Ferfere yang berarti mendidihkan


(Muljono, 2002). Seiring perkembangan teknologi, definisi fermentasi meluas

menjadi proses yang melibatkan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu


produk. Pada mulanya istilah fermentasi digunakan untuk menunjukan proses
pengubahan glukosa menjadi etanol. Namun, kemudian istilah fermentasi
berkembang lagi menjadi seluruh perombakan senyawa organik yang
dilakukan oleh mikroorganisme.
Fermentasi bioethanol dapat didefenisikan sebagai proses penguraian
gula menjadi bioethanol dan karbondioksida yang disebabkan enzim yang
dihasilkan oleh massa sel mikroba. Perubahan yang terjadi selama proses
fermentasi adalah Perubahan glukosa menjadi bioethanol oleh sel-sel
Saccharomyces cereviseae.
Saccharomyces cereviseae

C5H12O

2C2H5OH+ 2CO2

Glukosaenzim zimosa

etanol

(Sudarmadji K., 1989)


Fermentasi bioethanol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
a. Media
Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik terutama
glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi
bioethanol (Prescott and Dunn, 1959).
b. Suhu
Suhu optimum bagi pertumbuhan

Saccharomyces cereviseae dan

aktivitasinya adalah 25-35oC. Suhu memegang peranan penting, karena


secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas Saccharomyces cereviseae
dan secra tidak langsung akan mempengaruhi kadar bioethanol yang
dihasilkan (Prescott and Dunn, 1959) Pada penelitian ini pertumbuhan
Saccharomyces cereviseae dijaga pada suhu 27oC (Rhonny.A dan Danang
J.W, 2003).
c. Nutrisi
Selain sumber karbon, Saccharomyces cereviseae juga memerlukan sumber
nitrogen, vitamin dan mineral dalam pertumbuhannya. Pada umumnya
sebagian besar Saccharomyces cereviseae memerlukan vitamin seperti
biotin dan thiamin yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Beberapa

mineral juga harus ada untuk pertumbuhan Saccharomyces cereviseae


seperti phospat, kalium, sulfur, dan sejumlah kecil senyawa besi dan
tembaga (Prescott and Dunn,1959). Pada penelitian ini menggunakan 6 gr
Za dan 6 gr urea sebagai nutrisinya dan selanjutnya dipasteurisasa pada
suhu 121oC (Rhonny.A dan Danang J.W., 2003)
d. pH
pH substrat atau media fermentasi merupakan salah satu faktor yang
menentukan kehidupan Saccharomyces cereviseae. Salah satu sifat
Saccharomyces cereviseae adalah bahwa pertumbuhan dapat berlangsung
dengan baik pada kondisi pH 4 6 (Prescott and Dunn, 1959). Pada
penelitian ini pH media fermentasi ( filtrat ) dijaga pada kondisi pH 5
(Rhonny.A dan Danang J.W., 2003).
e. Volume starter
Volume starter yang ditambahkan 3-7% dari volume media fermentasi.
Jumlah volume starter tersebut sangat baik dan efektif untuk fermentasi
serta dapat menghasilkan kadar alcohol yang relative tinggi (Monick, J. A.,
1968). Penambahan volume starter yang sesuai pada proses fermentasi
adalah 5% dari volume fermentasi (Prescott and Dunn, 1959). Volume
starter yang terlalu sedikit akan mengakibatkan produktivitas menurun
karena menjadi lelah dan keadaan ini memperbesar terjadinya kontaminasi.
Peningkatan volume starter akan mempercepat terjadinya fermentasi
terutama bila digunakan substrat berkadar tinggi. Tetapi jika volume starter
berlebihan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup
sehingga tingkat kematian bakteri sangat tinggi (Desrosier, 1988).
f. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang biasa dilakukan 3-14 hari. Jika waktunya terlalu
cepat Saccharomyces cereviseae masih dalam masa pertumbuhan sehingga
alkohol yang dihasilkan dalam jumlah sedikit dan jika terlalu lama
Saccharomyces cereviseae akan mati maka alcohol yang dihasilkan tidak
maksimal (Prescott and Dunn, 1959).
g. Konsentrasi gula

Konsentrasi gula akan berpengaruh terhadap aktifitas Saccharomyces


cereviseae. Konsentrasi gula yang sesuai kira-kira 10-18%. Konsentrasi
gula yang terlalu tinggi akan menghambat aktivitas Saccharomyces
cereviseae, sebaliknya jika konsentrasinya rendah akan menyebabkan
fermentasi tidak optimal (Prescott and Dunn, 1959).
h. Alkohol
Alkohol dapat dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung pati
dengan menggunakan bantuan dari aktivitas mikroba. Bioethanol
merupakan senyawa organik yang mengandung gugus hidroksida dan
mempunyai rumus umum CnHn+1OH. Istilah bioethanol dalam industri
digunakan untuk senyawa etanol atau etil bioethanol dengan rumus kimia
C2H5OH. Etanol termasuk bioethanol primer yaitu bioethanol yanh gugus
hidroksinya terikat pada atom karbon primer. Sifat-sifat bioethanol yang
mudah menguap, udah terbakar, berbau spesifik, cairannya tidak berwarna,
dan mudah larut dalam : air, eter, khloroform, dan aseton (Rhonny. A dan
Danang J.W., 2003).
2.4 Destilasi
Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan larutan
berdasarkan perbedaan titik didih. Dalam penyulingan, campuran zat di
didihkan sehingga menguap dan uap ini kemudian didinginkan kembali
kedalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan
menguap lebih dulu.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol Pada Berbagai


Variasi Volume Enzim.

Gambar 3.1 Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar etanol pada


berbagai variasi volume enzim
Dari gambar 3.1 terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi kadar
bioetanol akan mengalami kenaikan, namun setelah hari kelima kadar bioetanol
pada masing-masing sampel mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena
proses fermentasi telah mencapai optimum pada waktu 5 hari, kadar bioetanol
mengalami penurunan setelah melewati waktu optimalnya. Kenaikan kadar
bioetanol ini terjadi karena lama waktu fermentasi berhubungan erat dengan
kurva pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba terjadi dari enam fase,
yaitu fase adaptasi, fase permulaan pembiakan, fase pembiakan cepat, fase
konstan atau stasioner dan fase terakhir adalah fase kematian.

3.2 Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kadar Glukosa Pada berbagai


Variasi Volume Enzim

Gambar 3.2 Pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar glukosa pada


berbagai variasi volume enzim.
Gambar 3.2 menunjukkan bahwa sebelum 5 hari fermentasi, kadar
glukosa semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal
ini menunjukkan bahwa glukosa hasil hidrolisis telah difermentasi secara
sempurna menjadi etanol. Namun pada waktu fermentasi lebih dari 5 hari,
kadar glukosa mengalami kenaikkan. Kenaikan jumlah glukosa disebabkan
karena kecepatan reaksi dipengaruhi oleh banyaknya selulosa yang ada.
Sementara selulosa semakin lama semakin berkurang disebabkan pecah
menjadi unit glukosa. Oleh karena itu kecepatan reaksi semakin lama semakin
kecil sehingga kenaikan kadar selulosa yang terhidrolisa persatuan waktu
semakin kecil. Hal ini mengakibatkan kenaikan glukosa yang terbentuk
persatuan waktu.
Dari gambar 3.2 juga terlihat bahwa untuk waktu fermentasi yang sama,
penambahan jumlah enzim tidak selalu mengakibatkan kadar glukosa
bertambah atau berkurang. Hal ini mungkin disebabkan oleh variasi volume
enzim yang terlalu kecil. Sebaiknya jumlah volume enzim yang ditambahkan
lebih dari 7 ml. Fenomena ini mungkin juga disebabkan karena metode
penentuan kadar glukosa yang kurang tepat, sebaiknya kadar glukosa diukur
dengan HPIC (High Pressure Ion Chromatography) yang juga bisa menganalisa
kadar arabinosa, xylosa, mannosa dan lain - lain.
3.3 Hubungan Antara Kadar Glukosa Dan Kadar Etanol Dengan Volume

10

Enzim

Gambar 3.3 Hubungan antara kadar glukosa, kadar bioetanol dengan


volume enzim yang ditambahkan pada waktu fermentasi 1
hari.

Gambar 3.4 Hubungan antara kadar glukosa, kadar etanol dengan


volume enzim yang ditambahkan pada waktu fermentasi
3 hari.

11

Gambar 2.5 Hubungan antara kadar glukosa, kadar etanol dengan


volume enzim yang ditambahkan pada waktu fermentasi
5 hari

Gambar 2.6 Hubungan antara kadar glukosa, kadar etanol dengan


volume enzim yang ditambahkan pada waktu fermentasi
6 hari.

12

Gambar 2.7 Hubungan antara kadar glukosa, kadar etanol dengan


volume enzim yang ditambahkan pada waktu fermentasi 7
hari.
Dari kelima gambar diatas terlihat bahwa tampak adanya hubungan
antara kadar etanol, kadar glukosa dan volume enzim yang ditambahkan yaitu
semakin bertambahnya volume enzim maka semakin besar pula kadar etanol
yang diperoleh. Namun berbeda untuk kadar glukosa, semakin besar volume
enzim ditambahkan, maka kadar glukosa semakin berkurang sampai volume 5
ml. Setelah melewati volume 5 ml terjadi kenaikan glukosa kembali. Hal ini
disebabkan oleh proses Simultan Sakarifikasi dan Fermentasi (SSF) yang
digunakan pada saat proses fermentasi berlangsung, proses hidrolisis yang
dilakukan oleh mikroorganisme untuk memecah selulosa menjadi glukosa
masih berlanjut.

13

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Proses pengolahan kulit pisang menjadi bioetanol dapat dilakukan
3.1.2

dengan metode hidrolisis dan fermentasi.


Semakin banyak jumlah enzim yang digunakan, maka kadar etanol yang

3.1.3

dihasikan semakin tinggi.


Kadar bioetanol yang dihasilkan semakin tinggi sampai 5 hari waktu
fermentasi, setelah melewati waktu 5 hari kadar etanol yang dihasilkan

3.1.4

semakin menurun.
Kondisi penelitian terbaik adalah pada saat penambahan jumlah enzim 9
ml dan waktu fermentasi 5 hari, dengan kadar etanol yang dihasilkan
13,1154 %.

DAFTAR PUSTAKA

14

Anynomous, 1978. Statistika Indonesia. Biro Pusat Statistika. Jakarta.


Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan. 1979. Farmakop Indonesia. Edisi ketiga.
Kopri Sub Unit Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan RI.
Isroi. 2008. Potensi Biomassa Lignoselulosa di Indonesia Sebagai Bahan Baku
Bioetanol:
Tandan
Kosong
Kelapa
Sawit.
Online
di
http://isro.wordpress.com. Diakses 13 Oktober 2011.
Kumar, P., Barrett, D.M., Delwiche, M.J., and Stroeve, P. 2009. Methods for
Pretreatment of Lignocellulosic Biomass for Efficient Hydrolysis and
Biofuel Production, Ind. Eng. Chem. Res., 48(8), 3713-3729.
Khairani, Rini. 2007. Tanaman Jagung Sebagai Bahan Bio-fuel
http://www.Macklintmip unpad. net/ Biofuel/ Jagung/ Pati.pdf. diakses
tanggal 10 Oktober 2001
Muljono, Judoamidjojo, Darwis, Aziz, A., dan Gumbira, E. 2002. Teknologi
Fermentasi. Rajawali pers: Jakarta.
Prescott, S. G and C. G. Said. 1959. Industrial Microbiology. ed 3, McGraw-Hill
Book Company. New York.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 1984. Prosedur analisa untuk bahan
makanan dan pertanian. Edisi ketiga. Liberty: Yogyakarta.
Sun, Y., dan Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
production: a review. Bioresource Technology 83, 1 11.
UKM, B. 2009. Bahan Bakar Nabati (Bioetanol). Khalifah Niaga Lantabura:
Yogyakarta.
Rhonny dan Danang. 2003. Laporan Penelitian Pembuatan Bioetanol dari Kulit
Pisang, Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional.
Seftian Deky, Ferdinand Antonius, M. Faizal. 2012. Pembuatan Etanol Dari
Kulit Pisang Menggunakan Metode Hidrolisis Enzimatik Dan
Fermentasi. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai