Anda di halaman 1dari 23

SKOLIOSIS

A. PENDAHULUAN
Skoliosis adalah suatu keadaan muskuloskeletal yang secara primer
mempengaruhi anak dan dewasa, dimana terdapat lengkung lateral yang abnormal
dari tulang belakang sehingga menyebabkan kolumna tulang belakang membengkok
ke kiri atau ke kanan. Kebanyakan tulang belakang manusia tampak sebagai garis
lurus jika dilihat secara langsung dari belakang seseorang tetapi tulang belakang
dengan skoliosis lebih tampak seperti huruf S atau C karena kurvatura yang
abnormal. Nama ini berasal dari bahasa Yunani Scoliosis yang berarti bengkok
digunakan oleh Hippocrates untuk menyebut berbagai bentuk lengkung tulang
belakang. Tahun 1914 pertama kali Fusion dibentuk oleh Russell Hibbs dan tahun
1946 penyangga Milwaukee di desain oleh Blount dan Schmidt.(6,12,14)
Skoliosis dapat di deskripsikan seperti : (6,9,14)
-

Kanan atau kiri di dapatkan kurva yang berbentuk konveks yaitu skoliosis kanan
mempunyai bagian konveks terhadap kanan.

Cervical, cervicothoracic, thoracic, thoracolumbar, lumbar.

Tunggal atau ganda dimana pada tunggal hanya satu bagian tulang belakang yang
deviasi sedangkan ganda keduanya (kanan dan kiri) dari tulang belakang
mengalami deviasi.

Primer dan sekunder dimana primer skoliosis digambarkan lengkung awal yang
akan dikompensasi menjadi lengkung dengan direksi yang lain. (skoliosis
sekunder).

Mayor dan minor dimana lengkung mayor digambarkan lengkung yang paling
sering disertai lengkung minor, biasanya kompensasi lengkungnya dalam bentuk
lain berada di atas dan dibawah lengkung mayor. Sering kali lengkung hasil
kompensasi sama besar dengan lengkung mayor sehingga disebut lengkung
mayor ganda.

Nonstruktural dan struktural dimana nonstruktural dikoreksi dengan penyangga


lateral terhadap bagian konveks. Untuk struktural skoliosis lengkungnya
dikoreksi dengan penyangga samping.

B. ANATOMI TULANG BELAKANG

Gambar 1. Bentuk tulang belakang normal.(dikutip dari kepustakaan 9)

Tulang belakang merupakan struktur yang kompleks terdiri dari 33 vertebra


yang tersusun secara vertikal dari bawah tengkorak sampai tulang ekor. Tulang
belakang memiliki 2 fungsi utama yaitu untuk menyokong berat dari tengkorak dan
tubuh bagian atas serta melindungi lapisan saraf tulang belakang yang menyampaikan
pesan dari dan ke otak dan sistem muskuloskelatal lainnya diantara tulang yang satu
dan tulang lainnya. Penghubung antara vertebra disebut sendi yang merupakan daerah
kecil dari kartilago dengan bahan lubrikasi yang dikenal sebagai cairan synovial yang
menyebabkan tulang vertebra dapat bergesek dengan friksi yang minimal saat
bergerak. Berbeda dengan sendi seperti lutut atau siku yang bisa digerakkan secara
biasa, tiap sendi kolumna tulang belakang hanya bisa sedikit digerakkan karena
banyaknya ligamen yang berdekatan yang memastikan kekuatan dan stabilitas dari

kolumna. Namun sendi tulang belakang bergerak bersama dengan beberapa


pergerakan yang bisa dilakukan seperti bengkok ke depan, belakang atau ke samping.
(10,12,14)

Tulang belakang yang normal memiliki bentuk yang normal adalah anterosuperior yaitu hanya tampak saat melihat tulang belakang dari samping. Selain itu,
saat melihat langsung dari belakang atau dari depan seseorang tulang belakang
tampak sebagai suatu garis lurus. Dengan kata lain, normalnya tidak ada lengkung
lateral pada tulang belakang manusia. Struktur yang lurus ini dipertahankan oleh
sistem posisi alami tubuh yang dikenal sebagai proprioseptif. Jika kita bergerak pada
batas normal, saraf sensorik khusus yang disebut proprioseptif pada semua regio
sendi akan mengirim banyak signal cepat ke otak bahkan pada pergerakan yang
sangat lambat. Otak akan memproses semua signal ini dan melihat perbedaan apa
yang dilakukan oleh tubuh dan mengirim kembali signal ke otot untuk melakukan
posisi dari bagian tubuh kita. Karena tulang belakang terdiri dari banyak sendi yang
masing-masing memiliki proprioreseptor sendiri, otak bisa mengatur kontrol tulang
belakang dan menjadikannya lurus bahkan pada kurvatura lateral yang paling lambat
pada gerakan normal.(10,12,14)

C. INSIDEN
Insiden skoliosis diperkirakan sebanyak 3% dari populasi penduduk. Skoliosis
paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 14 tahun. Dari hasil survey yang
dilakukan tahun 1955 dari 50.000 foto dada dalam populasi umur lebih 14 tahun di
Delaware, Shands dan Eisberg didapatkan skoliosis 10 derajat atau lebih sebanyak
1,9% dan skoliosis 20 derajat atau lebih sebanyak 0,5%. Rasio antara laki-laki :
perempuan = 1 : 3,5. Skoliosis dengan lebih 25 derajat dilaporkan 1,5 per 1000 orang
di Amerika serikat. Banyak kurva yang diterapi non operasi jika dideteksi secara dini.
Ada 60% kurva yang berkembang pada anak-anak prepubertas akan jadi progresif.
Cara terbaik untuk mengetahui insiden skoliosis adalah dengan melakukan survey
pada anak sekolah (school screening). Wynne-Davies mensurvey 10.000 anak-anak
umur 2 minggu sampai 18 tahun di dapatkan 1,3 per 1000 dibawah umur 8 tahun

(onset awal) dan 1,8 per 1000 di atas umur 8 tahun. Di Amerika utara prevalensi
lengkung 10 derajat atau kurang antara 2 dan 3 % sedangkan lengkung 20 derajat atau
lebih 0,2-0,3%. Prevalensi perempuan yang berumur lebih 8 tahun 4,6 per 1000 dan
laki-laki 0,2 per 1000. Rogale dkk melaporkan prevalensi jenis kelamin dari kurva
yang berbeda : rasio perempuan : laki-laki = 1:1 untuk kurva 6-10 derajat, 1,4:1
untuk kurva 11-20 derajat, 5,4 : 1 untuk kurva lebih dari 21 derajat, dan 7,2 : 1 untuk
kurva dibawah penanganan.(1,7,8,13,14).
Umumnya lengkung kurang dari 30 derajat tidak akan progresif setelah
tulangnya matur. Jika ini terjadi pemeriksaan dan pemantauan skoliosis biasanya
dihentikan menurut Richardson ML. Tapi dengan lengkungan yang lebih besar, kurva
mungkin bertambah 1 derajat per tahun untuk dewasa. Dalam keadaan ini
pemantauan harus dilanjutkan.(4,8,11)

D. ETIOLOGI
Skoliosis struktural sampai saat ini etiologinya tidak diketahui pasti.
Kebanyakan skoliosis bersifat idiopatik dan jenis ini di beberapa negara di anggap
disebabkan oleh faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
Kelainan ini terjadi akibat adanya abnormalitas tulang bawaan yang mengenai
vertebra maupun struktur-stuktur pada vertebra.(7,11)

E. PATOGENESIS SKOLIOSIS
Aspek paling penting dalam terjadinya deformitas adalah progresifitas
pertumbuhan tulang. Dengan terjadinya pembengkokan tulang vertebra kearah lateral
disertai dengan rotasi tulang belakang, maka akan diikuti dengan perubahan
perkembangan sekunder pada tulang vetebra dan iga oleh karena adanya gangguan
pertumbuhan yang bersifat progresif. Disamping terjadinya perubahan pada vertebra,
juga terjadi perubahan tulang iga dimana bertambahnya kurva menyebabkan
deformitas tulang iga semakin jelas. Tulang iga turut berputar dan menimbulkan
deformitas berupa punuk iga (rib hump). Pada kanalis spinalis terjadi pendorongan
dan penyempitan kanalis spinalis oleh karena terjadi penebalan dan pemendekan

lamina dan pedikel pada sisi konkaf. Termasuk juga perubahan fisiologi berupa
penurunan kapasitas vital paru-paru akan menekan ruang intrathorasik di sisi
konveks. Dengan skoliosis kiri, hepar terdorong ke bawah dan terjadi pula obstruksi
intrapulmonal. Ini dapat mengakibatkan hipertrofi jantung kanan.(7,9,11)

Gambar 2. Tipe distorsi dari vertebra dan tulang iga pada skoliosis anterior (dikutip dari kepustakaan 6)

Skoliosis juga menyebabkan perubahan patologi pada vertebra dan discus


intervertebralis dimana terjadi pemendekan disisi konkaf.

Gambar 4. Perubahan patologi pada vertebra dan discus intervertebralis dimana terjadi pemendekan
disisi konkaf (dikutip dari kepustakaan 6)

F. KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan etiologi skoliosis (7,9,12,14)


1. Skoliosis non-struktural (bersifat reversible)
a. Skoliosis postural
b. Nyeri dan spasme otot
c. Tungkai bawah tidak sama panjang, yang terdiri atas :
Tidak sama panjang yang sebenarnya
Tidak sama panjang yang tidak sebenarnya (relatif) oleh karena
kemiringan pelvis.
2. Skolisis struktural (bersifat ireversibel)
a. Skoliosis idiopatik yang terdiri atas :
Jenis infantile 0-3 tahun
Jenis juvenile 4-9 tahun
Jenis adolesen 10-pertumbuhan berhenti
b. Skoliosis osteopatik terdiri atas :
Kongenital :
-

Bersifat lokal seperti hemivertebra

Bersifat umum seperti osteogenik impervekta

Didapat
-

Fraktur dan dislokasi tulang belakang

Penyakit rakhitis dan osteomalasia

Torakogenik misalnya penyakit paru unilateral

c. Skoliosis neuropatik terdiri atas :


Kongenital :
-

Spinabifida dengan mielodisplasia, neurofibromatosis

Didapat :
-

Poliomielitis,

paraplegi,

penyakit

Friedreich

ataksia,

siringomielia.
d. Skoliosis miopatik

Pada skoliosis idiopatik adolescent (AIS) ada pembagian tipe kurva menurut
klasifikasi Kings untuk kurva thoraks yang terbagi atas 5 yaitu (4,5)
Tipe I

: lumbal primer, thoraks sekunder

Tipe II : thoraks primer, lumbar sekunder


Tipe III : thoraks tanpa struktur lumbal
Tipe IV : sepanjang kurva thoraks sampai L4
Tipe V : kurva thoraks ganda dengan T1jadi batas atas kurva.

Gambar 5. lima tipe kurva scoliosis menurut klasifikasi Kings (I-V)

Ada sistem klasifikasi baru yang dibuat oleh Lenkes untuk skoliosis idiopatik
adolesent yang disebut trias klasifikasi kurva yang terdiri dari :(3)
1. Tipe kurva
2. Modifikasi Lumbal
3. Modifikasi sagital thoraks

Ketiga komponen ini bisa diketahui secara terpisah lalu dikombinasi bersamasama untuk membuat klasifikasi yang komplit.
1. Kurva Tipe 1 sampai 6
Ukuran Cobb paling besar disamakan dengan kurva mayor dan selalu berlaku
struktural dalam kasus ini. Hal ini membentuk 6 tipe kurva yaitu :
Tipe 1

main thoraks

Tipe 2

doubel thoraks

Tipe 3

doubel mayor

Tipe 4

triple mayor

Tipe 5 TL/L
Tipe 6 TL/L- main thoraks
Tipe kurva ini didesain berdasarkan penanganannya. Pada umumnya region
vertebra yang struktural akan membutuhkan instrumentasi dan fusion sedangkan nonstruktural tidak. Meskipun tidak langsung memberikan level fusion, tipe kurva
didesain menyangkut region dari vertebra termasuk instrumentasi dan fusion dimana
regionya tidak tergabung.
2. Modifikasi Lumbal
Modifikasi lumbal A, B, dan C didasarkan atas hubungan dari Center Sacral
Vertical Line (CSVL) ke lumbal yang terlihat di kanan atas foto. Untuk modifikasi A,
letak CSVL antara pedikel atas lumbal ke vertebral stabil. Kurva harus punya apeks
thoraks (tipe kurva 1-4) tanpa kurva TL/L (tipe kurva 5 dan 6). Modifikasi B, kurva
thoraks mayor juga ada tapi CSVL jatuh di atas apeks lumbal antara batas tengah

pedikel konkave lumbal dan garis lateral konkave di apical badan vertebra (jika
apeks adalah discus) karena deviasi lateral dari midline lumbal. Modifikasi C, CSVL
jatuh tepat di medial ke apeks lateral konkave dari TL/L apikal badan vertebra (jika
apeks adalah discus). Lalu modifikasi C dengan beberapa tipe kurva 1-6 dengan
kurva tipe 5 dan 6 selalu mempunyai kurva modifikasi C yang deviasinya dari
midline apeks kurva mayor TL/L. Untuk kurva tipe 5 dan 6 merupakan indikasi
untuk operasi.
3. Modifikasi Sagital Thoraks (-, N, +)
Modifikasi sagital thoraks didasarkan pada kanan atas foto dan pengukuran
dari superior end plate dari T5 ke inferior end plate T12 (T5-T12). Ketika misalnya
> +10 derajat, modifikasi sagital ditandai dengan - atau hipokyposis; ketika
hasilnya antara +10 derajat sampai +40 derajat, ditandai N, atau normal kyposis,
jika hasilnya > +40 derajat ditandai dengan + atau hiperkyposis.
Klasifikasi Kurva Komplit
Klasifikasi kurva komplit yang merupakan kombinasi kurva tipe 1 sampai 6,
modifikasi lumbal (A, B, C) dan modifikasi sagital thoraks (-, N, +) membentuk
klasifikasi kurva spesifik (untuk contoh: 1A, 1AN, 1A+, 1B-, , 6CN, 6C+).
Meskipun sebanyak 42 total klasifikasi kurva yang mungkin dari klasifikasi baru, jika
klasifikasi kurva komplit maka penanganan lebih logis dan mudah.

Skema 1. Synopsis dari semua kriteria untuk klasifikasi kurva dengan metode baru
(dari Lenke LG, et al)(3)

10

Skema 2. Semua tipe kurva yang mungkin dari modifikasi lumbal dari klasifikasi baru. (3)

Modifikasi sagital hipokyposis (-), tujuan instrumentasi dan fusion dari


thoraks untuk mendorong kyposis thoraks ke posterior atau lebih tepatnya teknik
instrumentasi anterior. Untuk modifikasi sagital N, untuk mempertahankan garis
sagital thoraks tetap normal. Untuk hiperkyposis (+) tujuannya mengurangi kyposis

11

thoraks hingga batas normal. Ini biasanya menggunakan instrumentasi dan fusion dari
arah posterior dengan kompresi konveks sebelum kekuatan konkave terganggu.
Semua komponen di sistem klasifikasi trias membuat sasaran penanganan
dari region vertebra jadi menyatu dengan teknik spesifik untuk koreksi kurva coronal
dan sagital yang optimal dan seimbang.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis skoliosis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara
lain yaitu : (4,7,9)
1. Pemeriksaan klinis
Gejala skoliosis biasanya berjalan secara perlahan dan tidak disertai nyeri
sehingga sebagian besar penderita datang karena keluhan tulang belakang yang
tidak simetris atau karena tidak sama tinggi. Gejala yang terlihat biasanya adalah
deformitas punggung miring yang jelas kelihatan atau suatu benjolan rusuk pada
kurva thoraks dan penonjolan asimetris salah satu pinggul pada kurva
thorakolumbal. Bila program penjaringan sekolah dilakukan, anak-anak akan
terdeteksi ketika deformitas masih sangat kecil. Pada pemeriksaan fisis, selain
memeriksa deformitas tulang belakang juga harus memeriksa deformitas dada dan
lesi kutaneus pada tulang belakang. Pemeriksaan tulang belakang dilakukan
sebaiknya pada pasien dengan posisi tegak dan melepas seluruh pakaiannya.
Periksa adanya cekungan atau lesi kulit. Ketinggian bahu dan pelvis diperiksa,
begitu pula asimetris dan penonjolan bahu. Pasien dengan posisi fleksi ke depan
dapat ditemukan adanya deformitas rotasi punuk iga dan gerakan tulang iga. (4,7,9)
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang akurat sangat penting untuk dilakukan. Posisi
posteroanterior (PA) dan lateral seluruh tulang belakang digunakan untuk evaluasi
awal. Dengan film berdiri akan tampak karakteristik deformitas serta
kompensasinya dalam hubungan torsio-pelvis. Posisi supine coned-down pada

12

region yang anomali sangat membantu dalam memvisualisasikan defek dan pola
kelainan, sementara film yang ditekuk memungkinkan evaluasi kekakuan dan
fleksibilitas deviasi dan pergerakan segmen didekatnya. Juga dibuat foto panggul
untuk menilai maturitas tulang dengan melihat sendi lumbosakral dan Krista
iliaka. Kurva skoliosis dinamakan menurut lokasi kurva apeks pada gambaran
foto radiologi :
- Cervical

: C1-C6

- Cervicothoracic : C7-T1
- Thoracic

: T2-T11

- Lumbar

: L2-L4

- Lumbosacral

: L5-S1 (4,6,7,9)

Gambar 6. Deskripsi scoliosis berdasarkan lokasi kurva (dikutip dari kepustakaan 6)

Kurva lebih jauh dideskripsikan sebagai kurva mayor dan minor. Kurva
mayor mengacu kepada deformitas menetap dengan sedikit fleksibel. Kurva minor

13

lebih sering sebagai kompensasi. Magnetic Resonance Imaging dianjurkan untuk


evaluasi tulang belakang ketika kurva thoraks kiri didapatkan. (4,6,7,9)
Skoliosis juga dapat diakibatkan oleh anomali kongenital vertebra seperti pada
gambar :

Gambar 7. Kelainan vertebra pada scoliosis kongenital (dikutip dari kepustakaan 6)

3. Pemeriksaan skoliometer
Alat yang paling sering digunakan untuk memeriksa rotasi tulang belakang
adalah skoliometer yang digambar di atas processus spinalis pasien saat ia
menekuk pinggangnya dengan lutut lurus dan lengan terjuntai. Derajat rotasi pada
setiap tingkatan vertebra kemudian dicatat.(2,7,11,14)
4. Pemeriksaan sudut Cobb
Pengukuran derajat kurvatura skoliosis pada foto AP dengan metode Cobb
merupakan sistem pengukuran yang paling sering digunakan. Sebutan endvertebrae dipilih dari vertebra terbesar dari garis horizontal dibagian bawah apeks
kurvatura. Satu garis tangensial di atas end-plate dari upper end-vertebrae dan
garis tangensial yang kedua di bawah end plate dari lower end-vertebrae. Garis
tegak lurus memperlihatkan adanya hubungan satu sama lain. Sudut yang
memotong garis lurus disebut sebagai sudut Cobb yang normalnya 0. Metode
Cobb diadopsi oleh Scoliosis Research Society untuk mengukur dan

14

menggambarkan kurva skoliosis. Metode Cobb yang digunakan untuk mengukur


kifosis dan lordosis pada foto lateral.(4,7,9)

Gambar 8. Skematis sudut Cobb, zona stabil Harrington dan garis tengah sacrum pada foto
posisi PA dari tulang belakang.(dikutip dari kepustakaan 6 & 7)

H. PENATALAKSANAAN
Yang penting pada skoliosis adalah deteksi dini kelainan yang terjadi.
Umumnya lengkungan skoliosis dapat diobati tanpa tindakan bedah dimana penilaian
ditetapkan melalui pengukuran sudut skoliosis yang terjadi. Skoliosis merupakan
suatu kelainan orthopedic yang memerlukan penanganan khusus serta mungkin
dibutuhkan suatu pusat skoliosis yang ditangani oleh ahli bedah yang berpengalaman
serta seorang pembantu dalam pemasangan gips serta penyangga khusus Tujuan
pengobatan adalah mencegah progresifitas skoliosis ringan sampai sedang dan
melakukan koreksi dan stabilisasi pada skoliosis yang lebih berat.Jenis pengobatan
disesuaikan dengan penyebab, onset terjadinya, umur penderita, besarnya kurva dan
progresifitas skoliosis. (2,7,12)

15

1.

Penatalaksanaan konservatif
Observasi ketat perlu dilakukan untuk memantau progresifitas deformitas.
Pasien-pasien yang diobservasi yaitu pada kasus-kasus dimana riwayat alami
tidak diketahui. Pemeriksaan radiologis dilakukan setiap 4-6 bulan dan
membandingkan hasil foto terakhir dan yang terbaru untuk melihat progresifitas
deviasi pada dua period\e pertimbuhan yang cepat selama 4 tahun kehidupan dan
remaja, memerlukan pemeriksaan yang intensif.(2,7,12)

2.

Orthotik
Penanganan orthotik pada skoliosis diindikasikan pada anak-anak yang masih
akan mengalami pertumbuhan tulang selama beberapa tahun sebelum mencapai
remaja. Terapi orthotik pada skoliosis idiopatik digunakan pada pasien yang
tulangnya masih immature, seperti pada masa premenarke atau kurang dari satu
tahun postmenarke dan kurvanya antara 30 -40 derajat. Ada 3 macam orthoses
yang

digunakan

dalam

terapi

skoliosis

idiopatik,

yaitu

1)

CervicoThoracoLumboSacral Orthosis (CTLSO) seperti Milwaukee brace, 2)


ThoracoLumboSacral Orthosis (TLSO) seperti Boston brace, Wilmington brace,
Lyon brace, Miami brace, dan Pasadena brace, 3) variasi tipe dari bentuk
fibrikasi penyangga dan TLSOs.(1,7,12,14)
Alat penopang pilihan adalah Milwaukee brace yang efektif dalam terapi
skoliosis idiopatik remaja, tetapi sekarang kurang digunakan karena kurang
dapat diterima secara kosmetik. Milwaukee brace digunakan untuk deviasi
thoraks tinggi (apeks T6 atau diatasnya), karena dapat mencegah konstriksi
thoraks yang dapat terjadi dengan suatu penguat dibawah lengan, dan TLSO
untuk deviasi pada bagian bawah yang secara umum lebih baik secara kosmetik
dan bagian bawah yang secara umum lebih baik secara kosmetik dan digunakan
23 jam perhari selama masa pertumbuhan tulang. Charleston night time bending
brace biasa digunakan hanya malam hari selama 8 jam terakhir. Alat penopang
kurang efektif bila kurvatura skoliosis lebih dari 40 derajat atau bila fleksibilitas
kurang dari 50% yang ditentukan dengan menggunakan radiografi distrik atau
yang tepinya bengkok.(7,10,11,14)

16

Peninggian bahu yang signifikan sangat baik diatasi dengan menggunakan


cincin bahu yang dipasang pada alat penopang Milwaukee dan bantalan
penyokong kepala bias ditambahkan untuk menciptakan posisi kepala yang
alami bila pasien memiliki kepala yang miring. Kita harus memperhatikan
kemajuan penanganan orthotik dan memantau deviasi secara hati-hati melalui
pemeriksaan klinis dan radiologis. Bila deviasi tetap progresif segera lakukan
fusi tanpa penundaan. Penanganan orthotik harus dilanjutkan hanya bila orthotik
berhasil mengontrol deviasi. Setelah pembedahan, alat penopang (brace) dapat
membantu untuk mengontrol kedudukan tulang belakang dan perkembangan
dari deviasi kompensatorik yang tidak terlibat dalam fusi.(9,10,11,14)

Gambar 9. Contoh dari penyangga Milwaukee. Alat ini merupakan salah satu bentuk pengobatan
konservatif pada kelainan tulang belakang.(dikutip dari kepustakaan 7)

3.

Operasi
Indikasi operasi : (1,2,7)
a. Operasi dilakukan apabila sudut lebih dari 40-45 derajat atau terjadi
progresifitas dari sudut

sebelum usia penderita mencapai dewasa, atau

kurvanya lebih 50-60 derajat pada dewasa. Patokan untuk melakukan operasi
ini adalah dengan melakukan follow up secara teratur.
b. Apabila

terdapat

deformitas

yang

memberikan

gangguan

dalam

pengobatan.mitas yang memberikan gangguan dalam pengobatan.

17

c. Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi deformitas rotasional dan


deviasi lateral serta melakukan artrodesis pada seluruh kurva primer. Pilihan
dasar untuk terapi operasi adalah fusi anterior spinal dengan instrument, fusi
posterior spinal dengan instrument atau kombinasi keduanya. Operasi yang
paling sering dilakukan adalah operasi instrumentasi menurut Harrington.
Untuk kurva yang aktif, tindakan itu dicapai dengan operasi posterior
menggunakan alat Harrington yang digabungkan dengan pemasangan kawat
sublaminar, tetapi hindarkan pengalihan tulang belakang atau pilihan yang lebih
disukai sekarang adalah instrument Cotrel-Dubousset. Metode ini memberikan fiksasi
yang sangat aman dan penggunaan penyangga sesudah pembedahan tak diperlukan.
Tetapi metode ini mempunyai resiko komplikasi neurologik yang besar; dan pemantauan
intraoperatif terhadap evoked potential somatosensorik dianjurkan. (6,7,8)
Manajemen terapi pada skoliosis idiopatik infantile adalah berupa tindakan non
operatif/konservatif. Pada resolving infantile skoliosis tidak diperlukan terapi aktif. Yang
diperlukan biasanya pada bayi direkomendasikan untuk tidur pada posisi tengkurap.
Biasanya kurva itu perlahan-lahan menjadi lurus tapi tidak lurus sepenuhnya sampai anak
berumur 8 tahun. Angulasi lateral pertama diluruskan pertama lalu , terakhir rotasi
vertebral. Untuk skoliosis idiopatik infantile yang progresif, membutuhkan terapi jika
kurva lebih 70 derajat. Terapi pilihan pada , kurva yang progresif adalah penggunaan
bracing. Biasanya dianjurkan. penggunaan Milwaukee brace agar progresifitas kurva
dapat dikontrol. Ketika kurva sudah dikoreksi sepenuhnya pada masa pertumbuhan
prepubertas ini adalah kesempatan bagus agar tidak terjadi relaps selama dewasa. Terapi
operasi dibutuhkan bila kurva tidak dapat dikontrol progresifitasnya dengan terapi
orthotik. Biasanya digunakan terapi dengan anterior discektomi dan fusi diikuti dengan
instrumentasi posterior dengan fusi atau menempatkan batang subkutaneus untuk
menyediakan distraksi incremental dengan pertumbuhan posterior. (4,7)

18

Gambar 10. Pasien dengan skoliosis thoraks konveks di kanan, sebelum dan setelah diterapi oleh
Harrington rod dan bone graft sepanjang sisi konkave dari spinal.(dikutip dari kepustakaan 6)

Pada skoliosis idiopatik juvenile adalah penting untuk observasi ketat


progresifitas kurva pada pasien. Hampir sebagian kasus ditangani dengan terapi
konservatif. Kurva yang lebih 20 derajat membutuhkan terapi orthotik. Awalnya bracing
digunakan secara full-time. Penggunaan secara part time digunakan setelah selama satu
tahun penggunaan full-time bracing dengan terjadi stabilisasi pada kurva. Jika masih
terjadi progresifitas kurva, maka penggunaan bracing tetap dilanjutkan sampai terjadi
fusi pada pertumbuhan spinal. Terapi operasi dibutuhkan bila terapi orthotik tidak
berhasiI, seperti fusi posterior dengan instrumentasi atau kombinasi fusi anterior dan
posterior dengan instrumentasi. Jika hanya fusi posterior dilakukan maka dapat
timbul crankshaft phenomenon. Crankshaft phenomenon terjadi pertumbuhan
berlanjut spinal anterior setelah dilakukan fusi posterior pada pasien dengan tulang,
yang masih immature. Maka prosedur kombinasi anterior dan posterior. dapat
mengurangi insidens crankshaft phenomenon. (4,7)

19

Beberapa teknik operasi : (1,614)


1. Fusi Posterior In Situ
Bila derajat deformitas tulang belakang cukup ringan hingga sedang, secara
kosmetik tidak mengganggu dan kurang progresitf maka fusi posterior dapat
dilakukan. Tujuan dari fusi postesior bukan untuk mengoreksi deviasi, tapi lebih
untuk menstabilkan deviasi dengan mencegah perkembangannya lebih lanjut.
Tulang iliaka autogen dapat disatukan dengan tepi tulang yang satu dan lainnya.
Unsegmented unilateral bar adalah salah satu contoh dimana area yang difusikan
akan harus bekerja sama dengan seluruh tulang dan melampaui satu tingkat
gerakan diatasnya dan satu segmen gerakan distal pada batang.
2. Kombinasi Fusi Posterior dan Anterior
Bila terdapat kemungkinan pertumbuhan vertebra pada sisi yang konveks dari
deviasi kongenital dan diharapkan vertebra masih bertumbuh selama beberapa
tahun, sisi konkaf dan deviasi difusikan secara anterior maupun posterior.
Epiphysoidesis unilateral (dengan menyatukan konveks posterior dan anterior )
menghentikan pertumbuhan luar pada sisi konveks. Teknik ini digunakan pada
deviasi thoraks, thoracolumbal atau lumbal dengan prognosis buruk.
3. Koreksi Kurvatura dan Fusi
Bila terdapat deformitas berat maka harus dikoreksi lebih dulu sebelum
disatukan. Modalitas yang diperlukan untuk koreksi adalah gips, traksi dan
instrumentasi. Instrumentasi merupakan metode terbaik meskipun sulit dilakukan
bila tulang-tulangnya kecil dan malformasi. Koreksi dengan instrumentasi selalu
beresiko menimbulkan kerusakan pada medulla spinalis dan paraplegia. Koreksi
dengan gips kurang beresiko dan bila kurvatura cukup fleksibel maka koreksi
yang dilakukan bisa berhasil. Koreksi dengan traksi diindikasikan bila terjadi
elongasi tulang belakang yang tiba-tiba menghambat peregangan, deviasi oleh
instrumentasi merupakan suatu kontraindikasi. Bila tulang yang tidak bersegmen
diosteotomi sebelum fusi, deviasi harus dikoreksi dengan.cara traksi. Peregangan
medulla spinalis dan saraf-saraf mencegah paraplegia melalui instrumentasi.

20

I. PROGNOSIS
Pada umumnya makin muda pasiennya dan makin besar kurvanya, makin
buruk prognosisnya. Tetapi dengan deteksi dini dengan melakukan school screening
diharapkan dapat mencegah progresifitas kurva, dengan cara melakukan observasi
ketat atau follow up serta evaluasi radiographi. Tindakan konservatif yang berupa
terapi orthotik maupun dengan tindakan operatif biasanya berhasil dalam pengobatan
skoliosis idiopatik.(7,11,14)
Pada skoliosis idiopatik infantile prognosis tergantung pada onset umur dari
kurva, magnitude kurva, rigiditas kurva, RVAD (rib-vertebral angle difference) of
Mehta, munculnya kurva sekunder dan hubungannya dengan pertumbuhan anomaly.
Kurva yang timbul setelah umur 1 tahun, magnitude kurva yang besar, kurva lebih
kaku, kurva berhubungan dengan pertumbuhan anomaly, RVAD lebih 20 derajat
mempunyai prognosis yang buruk.(4,7,12)
Progresif kurva pada skoliosis idiopatik juvenile dilaporkan sekitar 70%.
Sekitar setengahnya membutuhkan terapi operasi. RVAD dari Mehta kurang berguna
dalam menetukan prognosis dari tipe juvenile ini dibandingkan pada tipe infantile.
Hanya sekitar 10 persen skoliosis idiopatik adolescent yang kurvanya lebih dari
10 derajat membutuhkan terapi aktif. Beberapa faktor resiko untuk progresifitas kurva
dapat ditentukan, seperti umur yang muda pada saat diagnosis awal, pasien wanita
dengan premenarke pada saat didiagnosis, dan mempunyai kurva dengan magnitude
besar pada saat awal diagnosis. Progresifitas kurva sering terjadi pada wanita karena
pada wanita maturitas tulangnya lebih cepat terjadi dibandingkan pada pria. Ketika
magnitude kurva lebih dari 90 derajat maka dapat terjadi gangguan fungsi
kardiopulmoner seperti cor pulmonale dan penyakit paru restriksi. Sisanya alasan
utama untuk memperoleh terapi karena alasan kosmetik. Sehingga beberapa ahli
merekomendasikan untuk follow up dan evaluasi radiografi untuk memantau
progresifitas kurva.(4,7,9)

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Blackman R., Skoliosis Treatment, available: www.healthAtoz.com ,
accessed on July, 2005.
2. Ginsburg,G.M.: Skoliosis and Kyphosis, in Orthopedics Secrets, 3 t h edition,
Hanley and Belfus, London, 2001.
3. Lenke LG., A New classification Sistem Of Adolescent Idiopathic Skoliosis,
in Surgical Techniques for The Spine, Thieme, New York, p: 113-121.
4. Letko, L.J.: Idiopathic Skoliosis and Kyphosis, in Orthopaedics tL Study
Guide, McGraw Hill, New York, 2000, p: 403-409.
5. Miller,M.D. : Pediatric Orthopaedics, i n Review of Orthopaedics;' 4' h
edition, Saunders Comp., New York, 1999, p: 173-175.
6. Nam H. Tran; Skoliosis, in Spine and Sport Medical, Stanford Medical
Center, November 2005, p: 1241-1250.
7. Rasjad C.,: Kelainan Epifisis dan Lempeng Epifisis, dalam Pengantar Ilmu
Bedah Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Makassar;2000, hal 255-265.
8. Richardson ML., Skoliosis, in Approaches to Differential Diagnosis in
Musculoskeletal Imaging, University of Washington School of Medicine,
2000.
9. Salter RB., Disorder of epiphyses and apiphyseal Growth, in Textbook of
Disorders and Injuries of The Musculoskeletal Sistem, 3 th Edition, Williams
and Wilkins, A Waverly Company, p: 365-372.
10. Simmons S., Scoliosis, in Exercise and Diet Factors, available at :
www.Scoliosis.org.com , accesed on July 2005.
11. Solomon,L., Warwick,D., Nayagam,S.: Punggung, dalam Ortopedi dan
Fraktur Sistem Apley, Edisis ketujuh, Widya Medika ,Jakarta, 1995, p: 8491.
12. Standley M., Center for Scoliosis, in Pediatric Orthopedic Surgery,
Colombia University Medical Center, p: 1028-1035.
13. Steven DM., Skoliosis, available at : www.kidshealth.com , accessed on July,
2005.
14. Tachdjian, M.O: The Spine, in Pediatric Orthopedics, 2nd edition,WB Saunders
Company, Philadelphia, 1999, p: 2265-2362.

22

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Referat
Agustus 2005

SKOLIOSIS

OLEH :
VIVIYANTI.ZN
C 111 97022
PEMBIMBING
dr. M. Irwan Gunawan
SUPERVISOR
dr. Jufri Latief, SpB, SpOT

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
2005

23

Anda mungkin juga menyukai