TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
KERANGKA TEORI
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan
terhadap sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini,
memiliki efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek
pada peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari
seperti pterigium, katarak dan keratopathy(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu
kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada
tikus telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel
dan degenerasi membran Bowman (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Albedo merupakan istilah unuk mencerminkan radiasi cahaya matahari
yang bertanggung jawab untuk sebagian besar cahaya yang melewati permukaan
kornea dan faktor utama yang menentukan terpaparnya UVB pada mata. Coroneo
telah menunjukkan efek albedo pada mata, yaitu bahwa sinar ultraviolet dari sisi
temporal difokuskan pada limbus nasalis tepat sebagai lokasi pterigium(Holland
& Mannis, 2002).
Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh
faktor lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik
anteriordan penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal
meliputi lintang, medan reflektif seperti permukaan datar horizontal, paparan
terhadap pasir, serpihan beton, hamparan salju, waktu di luar ruangan,penggunaan
kacamata dan topi(Maheshawari, 2003).
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga
mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat
riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan
diturunkan
secara
autosomal
dominan
(Donald,
Sao-Bing&Jessica,2005).
Walaupunpada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi ultraviolet tidak bisa
dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker yang mungkin
berperan dalam pterigium(Holland & Mannis, 2002).
2.1.3. Patogenesis
Konjungtiva
merupakan
organ
yang
secara
selektif
Disamping kontak
langsung, nasal konjungtiva juga secara tidak langsung mendapat sinar UV akibat
pantulan dari hidung sehingga bagian nasal lebih sering terkena daripada temporal
pterigium (Zaki, 2011).
Menurut American Academy of Oplthalmology (2005), hingga saat ini
etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang
paling dapat diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan
seperti
paparan
terhadap
matahari
(ultraviolet),
daerah
kering,inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
filmmenimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. .
Ultraviolet adalah mutagen untuktumor supresor gene p53pada limbal
basal stem cell.Tanpa apoptosis, transforming growth factor-betadiproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagendan
terlihat
jaringan
subepitelial
fibrovaskular.
Pada
jaringan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Viso,
Gude & Rodriguez-Ares, 2011).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhanlebih baik pada media mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan
fibroblast
pada
bagian
pterigium
menunjukkan
proliferasi
sel
yang
2.1.4. Patofisiologi
Pterigium ini biasanya bilateral karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan.
bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat
untukjaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Fisher, 2013).
Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada pewarnaan
hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik dengan
penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Fisher, 2013).
Pterigium
memperlihatkan
Bedanya,
lapisan
dirusak.
Destruksi
Bowman
(panah
jaringan
pada
Bowman
lapisan
1)
oleh
fibrovaskular
Kadang terjadi
Keterangan gambar:
A = Cap
B = Whitish
C = Badan
Regresifpterigium:
tipis,
atrofi,
sedikit
pembuluh
darah.
Akhirnya
Tipe I
Tipe II
Tipe III
2. T2 (intermediet)
2. Derajat 2
Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.
3. Derajat 3
pterigiummelewati
mengganggupenglihatan.
pupil
sehingga
Pterigium derajat 1
Pterigium derajat 2
Pterigium derajat 3
Pterigium derajat 4
Gambar 2.4 Derajat Ptrerigium
(Ghondhowiardjo,2006)
2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak
merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan
berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal
atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya
keganasan(Ilyas, 2011).
2.1.6.2. Pemeriksaan fisik
Pada
inspeksi,
pterigium
terlihat
sebagai
jaringan
fibrovaskular
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar (Zaki,
2011).
2.1.6.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).
2.1.7. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata
yaitu pinguekula dan pseudopterigium (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata
Indonesia, 2010).
Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi,
pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata (James, Chew,
Bron, 2006). Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning
keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil,
meninggi dan kadangkadang mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada
puncak penonjolan ini terdapat degenerasi hialin. Pinguekula tidak menimbulkan
keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam
keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing (Perhimpuan Dokter
Spesialis Mata Indonesia, 2010).
Menurut
Vaughan
(2000),
prevalensi
insiden
meningkat
dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan
angka kejadian sama pada lakilaki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet
bukan merupakan faktor risiko penyebab pinguekula.
Pseudopterigium mirip
dengan pterigium,
dimana jaringan
parut
konjungtiva
menjalar
ke
kornea.
Keadaan
ini
disebut
didahului
riwayat
kerusakan
permukaan
kornea
pseudopterigium
tidak.
Pseudopterigium
tidak
memerlukan
Keterangan:
A : Pseudopterigium
B : Pinguekula
C : Pterigium
C
Gambar 2.5 Diagnosa Banding Pterigium
(Ilyas, 2011)
Diagnosis banding pterigium sangat luas.
lyphaangioma,
neurolommoma,
maligna
Kaposi
sarcoma,
schwanoma,
mycosis
alveolar
endothelioma,
fungioides,
juvenile
2.1.8.3.Indikasi Operasi
-
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal
karenatingkat kekambuhan yang bervariasi. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisipterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
2005).
atas
beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5%
pterigium berulang (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
4. Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
5. Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap
konjungtiva untuk menutup luka.
6. Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari
konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
7. Lamellar Keratoplasty
Excimer
laser
fototerapi
keratektomi
dan
yang
terbaru
dengan
telah
digunakan
sebagai
pengobatan
tambahan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan .
Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC
langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Imelda,
2010).
2.1.9. Komplikasi
Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :
-
Mata merah
Iritasi
Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
Kekambuhan berulang
Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah
operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.
operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 5080%.
2.1.10. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa
tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi,kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran
dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%).