Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

KERANGKA TEORI

2.1.1. Definisi dan Morfologi Pterigium


Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2011). Pterigium merupakan pertumbuhan
yang berbentuk segitiga yang terdiri dari epitel konjungtiva bulbi dan hipertropi
jaringan ikat subkonjungtiva yang letaknya di medial dan lateral pada fissura
palpebra dan menginvasi kornea(Donald,Sao-Bing&Jessica,2005). Gambarannya
seperti sayap klasik (sesuai dengan asal katanya dari bahasa Yunani pteron) yang
artinya sayap kecil (Holland & Mannis, 2002).
Pterigium dapat digolongkan sebagai pterigium primer atau pterigium
berulang, Lesi berulang biasanya merupakan lesi yang lebih agresif, yang secara
cepat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah eksisi dari pterigium
primer(Donald, Sao-Bing&Jessica2005).
Pterigium primer umumnya berasal dari konjungtiva yang merupakan
perambahan berbentuk segitigadari jaringan konjungtiva bulbi menuju kornea dan
telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan distribusi
geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar matahari (Holland
& Mannis, 2002).

2.1.2. Faktor Risiko


Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur
geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko pterigium. Dari
penelitian didapati bahwa faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi
oleh lingkungan alam, seperti matahari dan radiasi ultraviolet juga iritasi kronik

Universitas Sumatera Utara

dari partikel-partikel udara.Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya


keterlibatan faktor herediter (Holland & Mannis, 2002).

1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan
terhadap sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini,
memiliki efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek
pada peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari
seperti pterigium, katarak dan keratopathy(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu
kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada
tikus telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel
dan degenerasi membran Bowman (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Albedo merupakan istilah unuk mencerminkan radiasi cahaya matahari
yang bertanggung jawab untuk sebagian besar cahaya yang melewati permukaan
kornea dan faktor utama yang menentukan terpaparnya UVB pada mata. Coroneo
telah menunjukkan efek albedo pada mata, yaitu bahwa sinar ultraviolet dari sisi
temporal difokuskan pada limbus nasalis tepat sebagai lokasi pterigium(Holland
& Mannis, 2002).
Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh
faktor lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik
anteriordan penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal
meliputi lintang, medan reflektif seperti permukaan datar horizontal, paparan
terhadap pasir, serpihan beton, hamparan salju, waktu di luar ruangan,penggunaan
kacamata dan topi(Maheshawari, 2003).

2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga
mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat
riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan
diturunkan

secara

autosomal

dominan

(Donald,

Sao-Bing&Jessica,2005).

Walaupunpada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi ultraviolet tidak bisa
dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker yang mungkin
berperan dalam pterigium(Holland & Mannis, 2002).

3. Faktor Risiko Lain


Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini mendukung teori baru patogenesis pterigium. Selain
itu, debu,kelembaban yang rendah,dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu,dry eye dan virus papiloma juga diduga dapat menyebabkan pterigium.
Wong juga menunjukkan adanya faktor angiogenesis pterigium dan penggunaan
farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

2.1.3. Patogenesis
Konjungtiva

merupakan

organ

yang

secara

selektif

memberikanperlindungan atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar.


Konjungtiva dalam tugasnya sebagai pelindung sering kali terpapar pada berbagai
jenis perusak, seperti kuman, debu, alergen, aerosol, gas toksik, dan berbagai jenis
radiasi (Wlodarczyk et al, 2001).
Konjungtiva yang selalu berhubungan dengan dunia luar adalah
konjungtiva bulbi.Adanya kontak denganUV,debu,kekeringan mengakibatkan
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi ke kornea. Pterigium biasanya
bilateral karena kedua mata memiliki kemungkinan terpapar dengan UV dan debu.

Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal lalu ke


pungtum lakrimalis dan dialirkan ke meatus nasi inferior.

Disamping kontak

langsung, nasal konjungtiva juga secara tidak langsung mendapat sinar UV akibat
pantulan dari hidung sehingga bagian nasal lebih sering terkena daripada temporal
pterigium (Zaki, 2011).
Menurut American Academy of Oplthalmology (2005), hingga saat ini
etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang
paling dapat diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan

seperti

paparan

terhadap

matahari

(ultraviolet),

daerah

kering,inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
filmmenimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. .
Ultraviolet adalah mutagen untuktumor supresor gene p53pada limbal
basal stem cell.Tanpa apoptosis, transforming growth factor-betadiproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagendan

terlihat

jaringan

subepitelial

fibrovaskular.

Pada

jaringan

subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah


epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia (Khurana, 2007).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Viso,
Gude & Rodriguez-Ares, 2011).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhanlebih baik pada media mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan
fibroblast

pada

bagian

pterigium

menunjukkan

proliferasi

sel

yang

berlebihan.Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,


dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan mengapa pterigium cenderung terus
bertumbuh, invasi ke stroma kornea, dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
(Zaki, 2011).

2.1.4. Patofisiologi
Pterigium ini biasanya bilateral karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan.

Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal

kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Ilyas,


2011).
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping
kontak langsung,bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotikkolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia

bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat
untukjaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Fisher, 2013).
Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada pewarnaan
hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik dengan
penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Fisher, 2013).

Pterigium

memperlihatkan

gambaran yang sama seperti


pingekula.
pterigium

Bedanya,
lapisan

dirusak.

Destruksi

Bowman

(panah

jaringan

pada

Bowman
lapisan
1)

oleh

fibrovaskular

menghasilkan sebuah luka di


kornea. Terdapat juga formasi
pannus (panah 2) dan inflamasi
kronik (panah 3)

Gambar 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin


(Zaki, 2011)

2.1.5. Gejala Klinis


Pada fase awal, pterigiumtidak memberikan keluhan atau hanya
menimbulkan keluhan mata merah, iritatif, dan keluhan kosmetik (Ilyas, 2011).

Gangguan terjadi ketika pterigiummencapai daerah pupil atau menyebabkan


astigmatisma karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi.

Kadang terjadi

diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata (Stephen & Antony,


2004).
Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium
yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun
pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat tetapi
jarang simetris.Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus
sehingga menutupi sumbu penglihatan yang menyebabkan penglihatan kabur
(Zaki, 2011).
Secara klinis pterigiummuncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya
pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's
line)(Kanski, 2003).
Pterigiumdibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya ke arah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium(Khurana, 2007).

Keterangan gambar:

A = Cap
B = Whitish
C = Badan

Gambar 2.2 Tiga Bagian Pterigium


(Gondhowiardjo,2006)
Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,
yaitu progresif dan regresif (Fisher,2013).
-

Progresifpterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa


infiltrat di depan kepala pterigium(disebut cap pterigium).

Regresifpterigium:

tipis,

atrofi,

sedikit

pembuluh

darah.

Akhirnya

membentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.


Menurut Fisher(2013), jika dari tampilan klinisnya, pterigium bisa
dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu:
1. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik.
Pterigium pada grup ini tambah lebih datar dan tumbuh.lambat. Memiliki
insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
2. Pasien dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular
yang meninggi secara signifikan.
Pterigium pada grup ini tumbuh lebih cepat dan memiliki tingkat
kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.
Sementara itu, menurut Kanski (2007), pembagian lain pterigiumyaitu:
1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan
pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan
gangguan pergerakan bola mata.

Tipe I

Tipe II

Tipe III

Gambar 2.3 Tipe Pterigium


(James,Chew&Bron,2006)

Menurut Donald, Sao-Bing&Jessica (2005), berdasarkan terlihatnya


pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp,
pterigium dibagi menjadi 3 yaitu:
1. T1 (atrofi)

:pembuluh darah episklera jelas terlihat

2. T2 (intermediet)

:pembuluh darah episklera sebagian terlihat

3. T3 (fleshy, opaque) :pembuluh darah tidak jelas terlihat


Dari beberapa jenis pembagian pterigium, yang lebih umum digunakan
adalah pembagian berdasarkan derajat pterigium. Pterigium juga dapat dibagi
menjadi 4 ( Fisher, 2013).
1. Derajat 1
Jika pterigiumbelum melewati limbus, hanya terbatas pada limbus
kornea.

2. Derajat 2
Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.
3. Derajat 3

Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupilmata


dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3
4mm)
4. Derajat 4
Pertumbuhan

pterigiummelewati

mengganggupenglihatan.

pupil

sehingga

Pterigium derajat 1

Pterigium derajat 2

Pterigium derajat 3

Pterigium derajat 4
Gambar 2.4 Derajat Ptrerigium
(Ghondhowiardjo,2006)

2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak
merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan
berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal
atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya
keganasan(Ilyas, 2011).
2.1.6.2. Pemeriksaan fisik
Pada

inspeksi,

pterigium

terlihat

sebagai

jaringan

fibrovaskular

pada permukaan konjungtiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang

vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar (Zaki,
2011).
2.1.6.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).
2.1.7. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata
yaitu pinguekula dan pseudopterigium (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata
Indonesia, 2010).
Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi,
pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata (James, Chew,
Bron, 2006). Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning
keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil,
meninggi dan kadangkadang mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada
puncak penonjolan ini terdapat degenerasi hialin. Pinguekula tidak menimbulkan
keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam
keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing (Perhimpuan Dokter
Spesialis Mata Indonesia, 2010).
Menurut

Vaughan

(2000),

prevalensi

insiden

meningkat

dengan

meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan
angka kejadian sama pada lakilaki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet
bukan merupakan faktor risiko penyebab pinguekula.
Pseudopterigium mirip

dengan pterigium,

dimana jaringan

parut

fibrovaskular timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea (Laszuarni, 2009).


Dapat terjadi dalam proses penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan
permukaan kornea, konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat
seolah-olah

konjungtiva

menjalar

ke

kornea.

Keadaan

ini

disebut

pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan


konjungtiva dengan kornea yang cacat (Ilyas, 2011).
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:
- puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak.
- pseudopterigium

didahului

riwayat

kerusakan

permukaan

kornea

sedangkan pterigium tidak.


Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat
pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada
pseudopterigium.

Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai

dengan konjungtiva bulbi normal. Pada pseudopterigium dapat dimasukkan sonde


di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak.
sedangkan

pseudopterigium

tidak.

Pterigium bersifat progresif

Pseudopterigium

tidak

memerlukan

pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan


kosmetik (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).

Keterangan:
A : Pseudopterigium
B : Pinguekula
C : Pterigium

C
Gambar 2.5 Diagnosa Banding Pterigium
(Ilyas, 2011)
Diagnosis banding pterigium sangat luas.

Massa pada limbus seperti

papilloma, squamous sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau


sebaceous karsinoma. Lesi yang jarang seperti kista epitel, pyogenic granuloma,
keratoacanthoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma, fibrous histiocytoma,
angioma,

lyphaangioma,

neurolommoma,

maligna

Kaposi

sarcoma,

schwanoma,

mycosis

alveolar

endothelioma,

fungioides,

juvenile

xantthagranuloma, leukemia, episclera osseous christoma, ectopic lacrimal


tissue, lipoma, amyloid, blue nevus, nevus dan limbal dermoid. Namun lesi
tersebut mudah dibedakan dengan pterigium (Stephen & Antony, 2004).
2.1.8. Penatalaksanaan
2.1.8.1. Konservatif
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea
(Ilyas, 2011).
2.1.8.2. Bedah
Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas

pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari


konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah.
Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat
(Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).

2.1.8.3.Indikasi Operasi
-

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan


silau karena astigmatisma.

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Bag. SMF Ilmu Penyakit


Mata, 2007).

2.1.8.4. Teknik Pembedahan


Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,di
buktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea.

Banyak

teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal
karenatingkat kekambuhan yang bervariasi. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisipterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.

Banyak dokter mata lebihmemilih untuk memisahkan ujung pterigium dari


kornea yang mendasarinya.Keuntungantermasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parutyang minimal dan halus dari permukaan kornea (American
Academy of Oplthalmology, 2005).
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera
untuk epitelisasi.

Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah

didokumentasikan dalam berbagai laporan (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).


2. Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium
tersebut.

Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan

pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva d,


manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W.
Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini (Holland & Mannis, 2002).
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium.Meskipun
keuntungkan dari penggunaan membranamnion ini belum teridentifikasi,
sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion merupakan
faktor penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan epithelialisai(Donald,
Sao-Bing&Jessica,

2005).

Membran amnion biasanya ditempatkan di

atas

sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke


bawah.

Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin

untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral di


bawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva
(Holland & Mannis, 2002).

Namun berdasarkan penelitian,

tingkat kekambuhan teknik sangat

beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5%
pterigium berulang (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
4. Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
5. Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap
konjungtiva untuk menutup luka.
6. Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari
konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
7. Lamellar Keratoplasty
Excimer

laser

fototerapi

keratektomi

dan

yang

terbaru

dengan

mengunakan gabungan steroid angiostatik.


2.1.8.5. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang
dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini
(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
MMC

telah

digunakan

sebagai

karena kemampuannya untuk menghambat fibroblast.

pengobatan

tambahan

Efeknya mirip dengan

iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan .
Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC
langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Imelda,
2010).

Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan


pemberian:
-

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5


hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.

Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan


bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

2.1.9. Komplikasi
Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :
-

Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang

Mata merah

Iritasi

Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia

Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:


-

Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva


graft longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemmorage atau retinal detachment.

Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada


sklera dan kornea.

Kekambuhan berulang

Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:


-

Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah
operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.

Beberapa kasus ,penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan


setelah operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera
dan atau kornea
Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah

operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 5080%.

Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autografts konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada


saat eksisi.
Meskipun jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi pterigium
dapat terjadi.

2.1.10. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa
tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi,kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran
dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
dilakukan pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%).

Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah


keganasan jaringan epitel (Salomon,2006).
2.1.11. Pencegahan
Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah
seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi
yang memiliki pinggiran, dan menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar dengan sinar matahari (Zaki, 2011).

Anda mungkin juga menyukai