Anda di halaman 1dari 7

ASKEP HIPERBILIRUBIN

A. DEFINISI
Hiperbillirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium, yang menunjukkan peningkatan kadar billrubin yaitu kehamilan >37
minggu denganhasil billirubin serum 12,5 mg/dL dan kehamilan <37 minggu dengan
hasil serum >10 mg/dL.Hiperbillirubin merupakan suatu keadaan dimana kadar
billirubin mencapai suatu nilai yangmempunyai potensi menimbulkan kemikterus dan
jika tidak ditanggulangi dengan baik akanmenyebabkan keterbelakangan mental
(Wiknjosastro, 2002).
B. ETIOLOGI
Menurut Sukadi (2002) bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan
faktorpredisposisi. Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti
komplikasi kehamilan(inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air
susu ibu (ASI), faktor perinatalseperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan
faktor neonatus seperti prematuritas,rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan faktor
genetik (Sastroasmoro, 2007). Selain itu, faktor risikoterjadinya hiperbillirubin
diantaranya pada bayi kurang bulan atau kehamilan usia <37 minggu, bayidengan
berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi, 2002).
C. KLASIFIKASI
Hiperbilirubinemia dapat disebabkanoleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasikeduanya.1,2 Hiperbilirubinemia yang signifikandalam 36 jam pertama,
biasanya disebabkanpeningkatan produksi bilirubin (terutama karenahemolisis)
karena pada periode ini hepatic clearancejarang memproduksi bilirubin lebih dari 10
mg/dL.Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akanmeningkatkan kadar bilirubin
empat kali lipat.1Pada hiperbilirubinemia fisiologis, terjadi peningkatanbilirubin tidak
terkonjugasi >2 mg/dL pada minggupertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak
terkonjugasiitu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL padaumur 3 hari, dan
akan mengalami penurunan. Padabayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak
terkonjugasiakan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada
umur 5 hari.3,4
D. PENATALAKSANAAN
Fototerapi merupakan terapi pilihan pertama yang dilakukan terhadap bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia (Kumar et al., 2010). Pemberian fototerapi yang efektif
merupakan faktor utama penanganan yang cepat dari hiperbilirubinemia (Modi &
Keay, 1983). Efektifitas tindakan fototerapi antara lain ditentukan oleh panjang
gelombang sinar lampu, kekuatan lampu (irradiance), jarak antara lampu dengan
bayi, dan luas area tubuh bayi yang terpapar sinar lampu (Stokowski, 2006).
Sistem fototerapi mampu menghantarkan sinar melalui bolam lampu fluorescent,
lampu quartz halogen, emisi dioda lampu dan matres optik fiber. Keberhasilan
pelaksanaan tindakan keperawatan tergantung dari efektifitas fototerapi dan minimnya
komplikasi yang terjadi (Stokowski, 2006).
Pemberi asuhan dalam memberikan fototerapi bertanggung jawab dalam memastikan
keefektifan penghantaran sinar (irradiance), memaksimalkan kulit yang terpapar,
menyediakan perlindungan dan perawatan mata, memperhatikan dengan baik
terhadap pengaturan suhu, mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan
eliminasi serta mendukung adanya interaksi orang tua dan bayi (Stokowski, 2006).

PATOFISIOLOGI
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa bila
serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya
>7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan
hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan
hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua
keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice(Murray et al,2009).

MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl(Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit
mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total <12mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)(Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur <36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
KOMPLIKASI
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau
menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu,
kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.
PEMMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan serum bilirubin
2. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan
hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk

Diagnosa Keperawatan:
1. Kurang intake cairan dan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
2. Resiko gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan fase lanjut hiperbilirubinemia.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang pengalaman.
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek fototerapi.
5. Potensial perubahana peran orang tua berhubungan dengan gangguan interaksi orang tua
bayi karena tindakan fototerapi.
6. Potensial komplikasi : kern icterus berhubungan dengan peningkatan bilirubin serum efek
dari imatur hepar.
7. Potensial komplikasi : konjungtivitis berhubungan dengan efek fototerapi.

8. Potensial komplikasi : dehidrasi berhubungan dengan IWL dan defekasi yang meningkat
efek sekunder dari fototerapi.
9. Potensial komplikasi : distress pernapasan berhubungan dengan penurunan reflek
pernapasan dan opistotonus.
E. Diagnosa Keperawatan dan intervensinya
1. Diagnosa Keperawatan 1 : Kurang intake cairan dan nutrisi berhubungan dengan
anoreksia.
Intervensi :
a. berikan minum sesuai dengan kebutuhan.
b. Karena bayi malas minum, berikan dengan sendok.
c. Berikan minuman per sonde jika minuman tidak bisa diberikan melalui sendok.
d. Monitor output, urine dan feces.
2. Diagnosa Keperawatan 2 : Resiko gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan fase
lanjut hiperbilirubinemia.
Intervensi :
a. lakukan observasi tumbuh kembang anak sesuai dengan usia.
b. Lakukan monitoring dengan DDST.
c. Persiapkan kelurga dalam menerima anak dengan gangguan tumbuh kembang.
3. Diagnosa keperawatan 3 :Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang pengalaman.
Intervensi :
a. berikan informasi tentang fisiologi dari penyakit anaknya.
Jawab pertanyaan yang dlontarkan oleh orang tua bayi sesuai dengan konsep.
Klarifikasi miskonsepsi.
Bila perlu sediakan / berikan buku tentang hiperbilirubinemia.
b. ikut sertakan keluarga dalam perawatan anaknya ( dengan jadwal dan waktu yang telah di
tentukan).
4. Diagnosa kepearawatan 4 : Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek
fototerapi.
Intervensi :
a. observasi keadaan kulit tiap 15 menit, catat dan laporkan bila ada rash.
b. Gunakan sabun yang lembut untuk membersihkan dan hindari penggunaan cairan yang
bersifat abrasi.
c. Ubah posisi bayi tiap 1 jam saat terapi.

d. Berikan perlindungan pada daerah genetalia selama terapi, dan jaga supaya tetap bersih
dan kering.

5. Diagnosa Keperawatan 5 : Potensial perubahan peran orang tua berhubungan dengan


gangguan interaksi orang tua bayi karena tindakan fototerapi.
Intervensi :
a. pertahankan kontak antara anak dengan orang tua, dengan cara libatkan keluarga dalam
perawatan anaknya ( dengan jadwal dan waktu yang telah di tentukan).
b. Beri penguatan penjelasan fototerapi, alasan intervensi dan rencana keperawatan.
c. Tunjukkan batasan tugas orang tua dalam perawatan anak sakit dengan hiperbilirubinemia.
d. Matikan lampu terapi dan lepaskan pelindung mata bayi bila orang tua berkunjung sesuai
periode waktu yang telah dipesankan oleh dokter.
6. Diagnosa keperawatan 6 : Potensial komplikasi : kern icterus berhubungan dengan
peningkatan bilirubin serum efek dari imatur hepar.
Intervensi :
- kenali gejala dini / pencegahan peningkatan icterus.
Jika bayi telah terlihat kuning, lakukan kontak dengan sinar matahari pagi selama 15- 30
menit pada pukul 7 8 pagi.
Periksa/ monitor kadar bilirubin darah.
Berikan intake cairan yang cukup sesuai dengan kebutuhan.
Laporkan kepada dokter hasil pemeriksaan bilirubin darah, jika hasilnya 7 mg % atau
lebih.
7. Diagnosa keperawatan 7 : Potensial komplikasi : konjungtivitis berhubungan dengan efek
fototerapi.
Intervensi :
a. gunakan pelindung mata pada bayi saat terapi dilakukan.
b. Observasi keadaan mata selama terapi tiap 15 menit.
8. Diagnosa keperawatan 8 : Potensial komplikasi : dehidrasi berhubungan dengan IWL dan
defekasi yang meningkat efek sekunder dari fototerapi.
Intervensi :
a. pertahankan intake cairan.
b. Lanjutkan jadwal pemberian ASI / PASI
c. Monitor intake dan output
d. Lakukan penimbangan berat badan bayi tiap hari tanpa pakaian pada waktu dan timbangan
yang sama.
e. Berikan cairan melalui intra vena jika berat badan turun, suhu naik, defekasi naik.
f. Monitor suhu tubuh, membran mukosa dan ketegangan fontanela.

9. Diagnosa keperawatan 9 : Potensial komplikasi : distress pernapasan berhubungan dengan


penurunan reflek pernapasan dan opistotonus.
Intervensi :
a. observasi tanda tanda vital, respiratory rate.
b. Pertahankan pemantauan fungsi pernapasan bayi.
c. Kolaborasi antibiotika.

DAFTAR PUSTAKA
Stokowski, L. A. (2006). Fundamentals of phototherapy for neonatal jaundice. Advances in
Neonatal Care, 11 (5S): S10-S21. www.advancesinneonatalcare.org.
Kumar, P., Srinivas, M., Malik, G. K., Chawla, D., Asho, K. D., Karthi, N., & et al. (2010,
February). Light-emitting diodes versus compact flurorescent tubes for phototherapy in
neonatal jaundice: A multi-center randomized controlled trial. Indian Pediatrics, 47. 131-137.
Wiknjosastro (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : JNPKKR POGI bekerjasama dengan
Yayasan BinaPustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sukadi (2002). Diktat Kuliah Perinatologi: Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjdjaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung.
Suradi (2007). The Association of Neonatal Jaundice and Breast-Feeding. Paedatri Indonesia.
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. h.147-69.
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik M.S. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Diunduh dari :
www.pediatrik.com/pkb/20060220-js9. Diakses tgl 20 November 2008.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hipernilirubinemia. Dalam: Cloherty Jp, Eichenwald EC, Stark AR,
penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke -5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins;
2004.h.183-221.

Anda mungkin juga menyukai