BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan hidup perkembangan dan peningkatan
kualitas anak berperan penting sejak masa dini kehidupan, yaitu masa dalam kandungan, bayi
dan balita. Kelangsungan hidup anak ditunjukkan dengan angka kematian bayi (AKB) dan angka
kematian balita (AKABA). (Maryunani, 2010). Ditinjau dari hasil Survey Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI), maka angka kematian neonatal (AKN) adalah 19 per 1000 kelahiran Hidup
(KH), angka kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 Kelahiran hidup dan angka kematian balita
(AKBA) 44 per 1000 Kelahiran hidup.
AKABA di Indonesia saat ini masih tinggi, secara proporsional mencapai 31% dari seluruh
kematian penduduk Indonesia. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) merupakan salah satu
penyabab angka kematian balita, yaitu kira 1 dari 4 kematian yang terjadi disebabkan oleh ISPA,
sekitar 2,33 juta 4,66 juta kasus. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas balita
(13-59 bulan) masih tinggi. Untuk itu, diperlukan kerja keras dalam upaya menurunkan angka
kematian tersebut, termasuk diantaranya penigkatan keterampilan tenaga kesehatan dalam
menangani balita sakit, utamanya bidan dan perawat di Puskesmas sebagai pemberi pelayanan
kesehatan. (SDKI, 2007)
Di Indonesia terjadi lima kasus di antara 1000 bayi atau balita, ISPA mengakibatkan 150.00
bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban /bulan atau 416 kasus /hari, atau 17
anak /jam. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko ISPA antara lain adalah factor lingkungan
yaitu pencemaran udara dalam rumah, ventilasi dan kepadatan hunian, faktor individu anak yaitu
umur di bawah 2 bulan, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi, serta faktor
prilaku. Komplikasi yang disebabkan akibat ISPA berupa broncho Pneumonia dimana terjadi
peradangan pada saluran pernafasan, sehingga menimbulkan sesak pada penderita karena suplai
oksigen yang kurang. Program pemberantasan penyakit ISPA yang telah dilaksanakan beberapa
waktu lalu menetapkan angka 10% balita sebagai target penemuan penderita ISPA. Secara
teoritis diperkirakan bahwa akan banyak balita yang meniggal bila tidak diberi pengobatan.
(Maryunani, 2010)
Di provinsi Bengkulu Angka Kematian Balita tahun 2010 adalah 1,4/1000 kelahiran hidup,
ini mengalami peningkatan dari tahun 2009 yaitu 0,67/1000 kelahiran hidup, selain itu angka
kesakitan penyakit tertentu juga mengalami peningkatan 11% dari tahun sebelumnya. Di provinsi
Bengkulu tahun 2011 terdapat 20.262 kasus ISPA pada balita. (Profil Kesehatan Provinsi
Bengkulu, 2011).
Dari data kesakitan seluruh Puskesmas di kota Bengkulu tahun 2010 penyakit ISPA
menduduki peringkat pertama dari penyakit terbanyak. Dengan kasus sebanyak 73.021 (42,51%)
dari 17.165 penderita, dimana terdapat 18.051 (20,15%) kasus ISPA pada balita. Tingkat kejadian
paling banyak terdapat pada Puskesmas yaitu, Nusa Indah, Lingkar Timur, dan Sukamerindu.
Karena di Puskesmas Nusa Indah dan Lingkar Timur sudah banyak yang melakukan penelitian,
maka penelitian dilakukan di Puskesmas Sukamerindu. Data penderita ISPA di Puseksmas
Sukamerindu. Data penderita ISPA di Puskesmas Sukamerindu pada tahun 2010 berjumlah 2.249
dari 5.804 (38,7%) balita yang berkunjung , sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1.962 dari
4.058 (48,34%) balita yang berkunjung. Sementara hasil survey untuk bulan Januari sampai Mei
2012 balita yang menderita ISPA sebanyak 889 orang, dari 1.651 (53,8%) Balita yang
berkunjung.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik mengambil kasus dengan judul Asuhan kebidanan
pada balita dengan kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Bengkulu tahun 2012 sehingga pada kasus ini dapat segera ditangani dan
dideteksi karena penyebab kematian Balita sebagian besar adalah ISPA dan kasus di atas dapat
memunculkan permasalah yang kompleks sehingga penulis menerapkan manajemen kebidanan
SOAP.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana penatalaksanan Asuhan Kebidanan pada balita dengan Infeksi Saluran Pernafasan
Atas di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu dengan menggunakan pendekatan manajemen
metode SOAP ?
C. Manfaat Studi Kasus
a. Manfaat Teoritis : menambah wacana ilmu pengetahuan tentang Asuhan kebidanan pada balita
ISPA.
b. Manfaat Praktis : menambah keterampilan pada pelayanan asuhan kebidanan pada balita ISPA.
D. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Untuk dapat melaksanakan dan meningkatkan kemampuan penulis dalam penanganan Asuhan
Kebidanan pada balita dengan ISPA sesuai teori dan manajmen kebidanan yang diaplikasikan
dalam Asuhan Kebidanan dengan metode SOAP.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis Mampu :
1) Untuk dapat mengidentifikasi data subjektif pada Balita dengan ISPA di Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu.
2) Untuk dapat mengidentifakasi data objektif pada Balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu
Kota Bengkulu.
3) Menerapkan dan melaksanakan pengumpulan data subjektif dan objektif sehingga dapat diambil
Diagnosa pada Balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
4) Untuk dapat melaksanakan Rencana Asuhan, kemudian Evaluasi setiap rencana yang telah
diberikan pada balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
b. Penulis mampu menganalisi kesenjangan antara teori dan kasus nyata dilapangan termasuk
faktor pendukung dan faktor penghambat.
c. Penulis mampu memberikan alternatif pemecahan masalah jika terdapat kesenjangan pada
asuhan kebidanan yang telah diberikan pada balita dengan ISPA.
E. Keaslian Studi Kasus
Ari setiyarni (2007) Asuhan Kebidanan Pada balita dengan ISPA di Puskesmas Medokan Ayu
Surabaya. Hasil studi kasus : pada kasus balita dengan ISPA di berikan asuhan kebidanan yaitu,
memberikan penkes tentang :
Nutrisi : makanan yang bergizi yaitu 4 sehat 5 sempurna, hindarikan anak dari snack dan es, beri
minum air putih yang banyak untuk mengencerkan lendir dan dahak, menjauhkan balita agar
balita tersebut tidak tertular, menjauhkan balita dari keluarga yang sakit agar tidak terjadi
pemaparan ulang sehingga balita tidak segera sembuh, melakukan kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi Amoxicilin syrup 3x sendok teh, demacolin 3x multivitamin syrup
2x1 sendok teh.
Perbedanan studi kasus yang dilakukan Ari Setiyarni dengan studi kasus penulis yaitu waktu,
tempat dan pada pemberian Therapy pada kasus ini tidak diberikan demacolin dan multivitamin.
F. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dibuat sistematika penulisan meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang, perumusan masalah,
manfaat studi kasus, tujuan studi kasus, keaslian studi kasus, dan sistematik penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORI
Dalam bab ini berisi teori medis ISPA, teori asuhan kebidanan yang meliputi pengertian,
manajemen kebidanan SOAP, data perkembangan ,dan kerangka konsep.
BAB III : METODOLOGI
Dalam bab ini berisi tentang jenis studi kasus, lokasi studi kasus, subjek studi kasus, waktu studi
kasus, instrument studi kasus, teknik pengumpulan data, dan alat-alat yang dubutuhkan.
BAB IV : TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi dari tinjuan kasus dan pembahasan. Tinjuan kasus menyajikan laporan kasus
dengan menggunakan menajemen kebidanan metode SOAP. Pembahasan berisi tentang
kesenjangan teori praktek yang penulis temukan sewaktu pengambilan kasus dengan pendekatan
asuhan metode SOAP.
BAB V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dirumuskan untuk menjawab tujuan penulisan
dan merupakan inti dari pembahasan penganan Balita dengan ISPA. Saran merupakan atlernatif
pemecahan masalah dan tanggapan kesimpulan yang berupa kesenjangan, pemecahan masalah
hendaknya bersifat realitas operasional yang artinya saran itu dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis
1. Pengertian Balita
Menurut Waryana 2010, di jelaskan bahwa balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada
masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Disertai
dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas
tinggi. Akan tetapi balita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi
karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Sedangkan menurut (Proverawati, 2009) Balita
atau dikenal juga dengan anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 1 sampai 5 tahun.
Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak lebih dari satu tahun sampai tiga
tahun yang dikenal dengan BATITA dan anak lebih dari tiga tahun sampai lima tahun dikenal
dengan usia pra sekolah.
2. Karakteristik Balita
Usia balita dapat kita bedakan menjadi dua golongan, yang pertama adalah balita usia 1-3
tahun. Jenis makanan yang paling disukai anak balita di usia ini biasanya adalah makanan yang
manis-manis, seperti coklat, permen, es krim dan lain-lain. Pada anak usia ini sebaliknya
makanan yang banyak mengandung gula dibatasi, agar gigi susunya tidak rusak atau berlubang
(caries). Pada usia ini, biasanya anak sangat rentan terhadap gangguan gizi, seperti kekurangan
vitamin A, zat besi, kalori, protein. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan gangguan fungsi
pada mata, sedangkan kekurangan kalori dan protein dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan kecerdasan anak (Waryana, 2010).
Kedua adalah anak usia 4-6 tahun. Pada usia ini, anak-anak masih rentan terhadap gangguan
penyakit gizi dan infeksi. Sehingga pemberian makanan yang bergizi telah menjadi perhatian
orang tua, para pembimbing dan pendidik disekolah. Pendidikan tentang nilai gizi makanan,
tidak ada salahnya mulai diajarkan kepada mereka. Dan ini saat yang tepat untuk menganjurkan
yang baik-baik pada anak, karena periode ini anak sudah dapat mengingat sesuatu yang dilihat
dan didengar dari orang tua serta lingkungan sekitarnya. Sehingga akhirnya anak dapat memilih
menyukai makanan yang bergizi (Waryana, 2010).
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa
yang disediakan ibunya. Dengan kondisi demikian, sebaiknya anak batita diperkenalkan dengan
berbagai bahan makanan. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa prasekolah
sehingga diperlukan jumlah makanana yang relative lebih besar. Namun, perut yang masih lebih
kecil menyebabkan jumlah makanan lebih kecil daripada anak yang usianya lebih besar. Oleh
karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. (proverawati,
2009)
Pada usia prasekolah, anak menjadi konsumen aktif, yaitu mereka sudah dapat memilih
makanan yang disukainya(persagi,1992). Masa ini sering juga dikenal sebagai masa keras
kepala. Akibat pergaulan dengan lingkungannya terutama dengan anak-anak yang lebih besar,
anak mulai senang jajan. Jika hal ini dibiarkan, jajanan yang dipilih dapat mengurangi asupan zat
gizi yang diperlukan bagi tubuhnya sehingga anak kurang gizi. Perilaku makanan sangat
dipengaruhi oleh keadan psikologis, kesehatan dan social anak. Oleh karena itu, keadan
lingkungan dan sikap keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makanan
pada anak agar anak tidak cemas dan khawatir terhadap makanannya. Seperti pada orang dewasa
, suasana yang menyenangkan dapat membangkitkan selera makan anak. (Proverawati, 2009)
merupakan sumber kalori berkosentrasi tinggi, selain itu lemak merupakan sumber kalori
berkosentrasi tinggi, selain itu lemak juga mempunyai 3 fungsi, diantaranya sebagai sumber
lemak esensial sebagai szat pelarut vitamin A,D,E,K serta dapat memberi rasa sedap dalam
makanan (Waryana, 2010)
b. Faring
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yatu
saluran pernafasan (nasofaring) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada
bagian belakang. Pada bagian belakang faring terdapat laring ( tekak) tempat terletaknya pita
suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar san
terdengar sebagai suara.
c. Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian dileher dan sebagian di
rongga dada (thorak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan,
dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernafasan.
d. Cabang-cabang tenggorokan(Bronki)
Tenggorokan bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur
lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak
teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen
dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus.
e. Paru-paru (pulmo)
Paru-paru terletak didalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot,
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru kiri(pulmo sinister)
yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh 2 selaput yang tipis, disebut Pleura.
2. Saluran pernafasan pada manusia ( Evelyn, 2009)
a.
Sistem pernafasan terdiri dari pada hidung, trakea, paru-paru, tulang rusuk, otot interkosta,
c. Dinding trakea disokong oleh gelang rawan supaya menjadi kuat dan senantiasa terbuka.
d. Trakea bercabang kepada bronkus kanan dan bronkus kiri yang disambungkan ke paru-paru
e. Kedua-dua bronkus bercabang lagi kepada bronkial dan alveolus pada ujung bronkiolus
f. Alveolus mempunyai penyesuain berikut untuk memudahkan pertukaran gas, diliputi kapilari
darah yang banyak, dinding sel yang setebal satu sel dan permukaan yang luas dan lembab.
3. Saluran pernafasan Atas ( Evelyn, 2009)
a.
Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal yaitu, dihangatkan, disaring, dan
dilembabkan. Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi terdiri dari
Psedostrafied ciliated columnar epitelium yanng berfungsi menggerakan partikel-partikel halus
kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan
kelanjar serous yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan
disebut pleura parietalis dan yang meliputi paru atau pleura vaseralis.
Rongga dan dinding dada, merupakan pompa musculoskeletal yang mengatur pertukaran gas
dalam proses respirasi.
D. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA
antara lain adalah Genus Streptokokus, Stafilokkokus, Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella, dan
Koneabakterium. Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang
anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim
hujan. Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus. Virus parainfluensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit
demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya
terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anakanak, virus-virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas
bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah. (DepKes RI, 2007)
Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam
rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih
dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya
hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis,
pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada
kelompok umur 9 bulan dan 6 10 tahun. ( Maryunani, 2010)
1) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus
melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA
tertinggi pada umur 6 12 bulan. (Maryunani,2010)
2) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa
balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.Penelitian
menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya
kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted
terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak
dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit
saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010)
3) Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA.
Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi
paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya
hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.Balita dengan gizi yang kurang akan lebih
mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan
dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang
ISPA berat bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010)
4) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A
pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih
dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai risiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup
tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing
yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit
yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010)
5) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami
terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. ( Maryunani,
2010)
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita
dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun
anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul
dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.
Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010)
E. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut
menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan
yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk, Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang
paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat
infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteribakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia,
haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut dan Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi
bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu
laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran
nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah.
( DepKes RI, 2007)
F. Gejala klinis
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan
gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat
dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang
lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan
tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh
dalam kegagalan pernafasan. (Depkes RI, 2007)
Tanda-tanda bahaya ISPA dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris. Tanda-tanda klinis, yaitu
a.
Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak,
nafas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
b. Pada sistem cerebral adalah: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung,
c.
a.
ISPA Ringan
Adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah Batuk, Pilek (keluar ingus dari hidung),
Serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara) dan Demam 370C (panas)
b. ISPA Sedang
Tanda dan gejala ISPA sedang antara lain adalah Pernafasan yang cepat (lebih dari 50 x/menit),
Wheezing (napas menciut-ciut), Panas 39oC atau lebih, Sakit telinga atau keluar cairan dan
Bercak-bercak menyerupai campak.
c.
ISPA Berat
Tanda dan gejala ISPA berat antara lain adalah Tidak mau makan, Sianosis (kulit kebiru-biruan),
Nafas cuping hidung, Kejang, Kesadaran menurun (Depkes RI, 2007).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap,
yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi
3)
4)
bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.
G. Penatalaksanaan
Menurut Depkes RI ( 2007 ), penatalaksanaan dari ISPA adalah:
1. Diet cair dan lunak selama tahap akut.
2. Untuk mengontrol infeksi, memulihkan kondisi mukosa meradang diberi
antibiotik,
pada pasien dengan respon terhadap semua asuhan yang telah diberikan.
(Muslahatun, 2009)
S : Data subyektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang pasien
O: Data
yang
diperoleh
dari
hasil
observasi
yang
jujur
dari
ama
Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap, untuk menghindari adanya kekeliruan
c. Agama :
merugikan
e. Pendidikan
informasi hal-hal baru atau pengetahuan baru karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi mudah
mendapatkan informasi
f. Pekerjaan
g. Alamat :
Pola nutrisi
Makan teratur frekuensi 3 kali sehari, 1/2 porsi, lauk, sayur dan buah. Minum kurang lebih 5
gelas per hari, air putih. Dikaji untuk mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi dan porsi
makan dalam sehari serta ada pantangan atau tidak.
Psikososial budaya
Untuk mengetahui apakah ada pantangan makan atau kebiasaan yang tidak diperoleh selama
balita sedang sakit ISPA
Untuk melihat apakah ada pengeluaran secret atau lendir, peradangan polip, pernafasan cuping
hidung. Pada Balita dengan ISPA pada hidung akan terdapat pengeluaran secret
(5) Telinga
Bagaimana keadaan daun telinga, liang telinga, bentuk telinga, besar telinga, dan posisinya. Pada
Balita biasanya terdapat kemerahan pada daun telinga
(6) Mulut
Untuk melihat mukosa bibir, warna bibir dan tenggorokan apakah berwarna kemerahan. Pada
Balita ISPA akan terdapat mukosa bibir kering.
(7) Leher
Untuk mengetahui apakah leher nyeri dan kaku, pembatasan gerakan, pembesaran tiroid, dan
riwayat gondok. Pada Balita dengan ISPA akan terdapat pembesaran vena jugolaris
(8) Dada
Untuk melihat apakah ada retraksi dinding dada pada saat bernafas, bunyi saat bernafas seperti
mendengkur dan pernafasan berbunyi seperti ronchi. Pada Balita dengan ISPA pergerakan
dinding dada simetris tetapi cepat dan bunyi nafas ronchi.
(9) Abdomen
Untuk melihat warna kulit perut apakah timbul bercak merah seperti bercak campak. Pada Balita
dengan ISPA akan terdapat nyeri perabaan pada abdomen
(10) Ekstremitas
Untuk memeriksa ekstremitas baik atas maupun bawah, apakah ada kelainan, warna kuku pucat
atau tidak. Pada Balita dengan ISPA akan terdapat kelemahan pada ekstremitas.
3. Langkah 3 : Asessment
Menurut
Sudarti(2010),
analisis
merupakan
pendokumentasian
hasil
analisis
dan
interpretasi(kesimpulan) dari data subyektif dan obyektif. Analisis yang tepat dan akurat akan
menjamin cepat diketahuinya perubahan pada pasien, sehingga diambil keputusan atau tindakan
yang tepat. Pada langkah ini dilakukan identifikasi masalah dari data yang ada untuk menentukan
diagnosa yang akurat, yang terdiri dari diagnosa, masalah dan kebutuhan pada Balita dengan
ISPA.
1.
Data Dasar :
a) Data Subyektif
Data subyektif pada balita dengan ISPA :
(1) Anaknya batuk pilek
(2) Anaknya demam dan kurang beraktivitas
b) Data Obyektif
Data obyektif pada balita dengan ISPA
(1)
(2)
Anak batuk
(3)
c) Masalah
Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman Balita yang ditemukan dari hasil
pengkajian
Masalah yang biasa terjadi pada balita dengan ISPA adalah :
(1)
(2)
d. Kebutuhan
Kebutuhan adalah hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien dan belum teridentifikasi dalam diagnosa
masalah yang didapat dengan melakukan analisa data. Pada Balita dengan ISPA kebutuhannya
adalah :
1)
Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan
3.
4.
5.
6.
amoxilin, ampixilin.
Ev : Therapy telah diberikan
Penyuluhan pada pasien tentang cara memutus infeksi.
Ev : Pasien mengerti tentang penyuluhan yang telah diberikan
Meningkatkan masukan cairan.
Ev : Kebutuhan cairan terpenuhi
Menginstruksikan pada pasien untuk meningkatkan drainase seperti antalasi uap.
Ev : Drainase telah ditingkatkan
Tanggapan keluarga terhadap penjelasan yang diberikan
Ev : Keluarga mengerti dan memahami manfaat dari setiap tindakan yang dilakukan
: Menggambarkan pendokumentasian pemantaun hasil dari penyakit ISPA. Balita tidak batuk
filek, tidak demam dan sudah beraktivitas seperti biasa.
: Menggambarkan pendokumentasian hasil
data fokus untuk mendukung assesment keadaan umum Balita baik dan TTV normal.
: Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subyektif dan obyektif
dalam suatu identifikasi diagnosa atau masalah antisipasi diagnosa atau masalah potensial,
perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan konsultasi kolaborasi. Masalah ISPA teratasi
: Menggambarkan pendokumentasian dan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi berdasarkan
assessment. Intervensi dihentikan.
2. Kerangka Konsep
Hasil asuhankebidanan:
a. Keadaan umum dan tandatanda vital normal :
Suhu 36-370C, Nadi 90-120
/menit,pernafasan 30-40/menit
b. Batuk pilek teratasi
c. Komplikasi (-)
d. Tangapan keluarga terhadap
penjelasan bidan baik.
e. Demam teratasi
Kriteria :
1. Batuk-filek
2. Demam
3. Pernafasan cepat
INPUT
OUTPUT
PROSES
OUTPUT
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Studi Kasus
Jenis karya tulis ilmiah adalah menggunakan asuhan kebidanan dengan metode SOAP,
laporan studi kasus pada balita ISPA dengan menggunakan metide deskriftif yaitu suatu
metode yang melakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu keadaan secara
objektif. Studi kasus adalah meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri unit
tunggal. (Notoatmodjo,2010).
B. Lokasi Studi Kasus
Lokasi merupakan tempat dimana pengambilan kasus dilaksanakan sekaligus membatasi
ruang lingkup penelitian. (Notoatmodjo,2010). Pada kasus ini studi kasus dilaksanakan di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
C. Subjek Studi Kasus
Merupakan hal atau orang yang akan dikenai kegiatan pengambilan kasus (Arikunto,
2010). Subyek pengambilan kasus ini adalah balita S dengan ISPA.
D. Waktu Studi Kasus
Waktu studi kasus adalah rentang waktu yang digunakan penulis untuk pelaksanaan
laporan kasus (Chandra, 2008). Studi kasus ini dilaksanakan pada tanggal 04 -08Agustus
2012.
E. Instrumen Studi Kasus
Merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Alat pantau fasilitas
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti kata enih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah (Notoatmodjo, 2010). Pada studi kasus ini penulis menggunkan instrumen format
SOAP pada balita ISPA untuk pengumpulan data.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data catatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan atau
karakteristik sebagian studi kasus. Data berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu data primer data sekunder (Chandra, 2008).
1. Data primer
Merupakan materi atau kumpulan fakta yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti pada saat
penelitian berlangsung.
a. Wawancara
Suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dimana pewawancara mendpat
keterangan pendirian secara lisan dari seorang sasaran studi kasus (responden) atau bercakapcakap berhdapan muka dengan orang tersebut. (Notoatmodjo, 2010).
Pada pengambilan kasus ini penulis melakukan wawancara dengan keluarga dan tenaga
medis.
b. Observasi
Observasi adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi melihat,
mendengar, dan mencatat sejumlah dan taraf aktivitas atau situasi tertentu yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Pelaksanaan observasi
dilakukan dengan mengobservasi keadaan umum balita, tanda-tanda vital balita.
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengetahui keadaan fisik pasien secara sistematis dengan
cara :
1. Inspeksi
Adalah suatu proses obervasi yang dilakukan untuk observasi secara sistematik, dengan
menggunakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman sebagai alat untuk
mengumpulkan data inspeksi dilakukan secara berurutan mulai kepala sampai kaki. Pada
kasus ini inspeksi pemeriksaan pernafasan apakah ada tarikan pada dinding dada (akibat
sesak).
2. Palpasi
Adalah suatu teknik yang menggunkan indra peraba tangan dan jari, dalam hal ini palpasi
dilakukan untuk memeriksa apakah ada tahanan pada saat Balita menarik nafas.
3. Auskultasi
Adalah pemeriksaan dengan jalan mendengaran suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan
menggunakan stetoskop. Kasus ISPA pada balita dengan cara mendengarkan suara nafas,
apakah da kelainan seperti bunyi Ronchi.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari pihak lain.
a) Studi dokumentasi
Adalah semua bentuk sumber informasi yang berhubungan dengan dokumen. Pengambilan
kasus ini menggunakan catatan yang ada di list/status pasien untuk memperoleh informasi
data medik yang ada di Puskesmas Sukemerindu Kota Bengkulu.
b) Studi Kepustakaan
Merupakan bahan-bahan pustaka yang sangat penting dalam menunjang latarbelakang
teoritis dalam suatu penelitian. Pada kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), penulis
mengambil referensi dari tahun 2007-2011.
g. Senter
h. Media, terdiri dari media tentang lingkungan dan gizi
5. Alat dan bahan untuk dokumentasi
a. status atau catatan pasien
b. Dokumen yang ada di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.
Mengenai Saya
Rojatul jannah
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
2014 (3)
o Mei (3)
ISPA
KPD
CPD