Anda di halaman 1dari 37

mamamia

Senin, 05 Mei 2014


ISPA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan hidup perkembangan dan peningkatan
kualitas anak berperan penting sejak masa dini kehidupan, yaitu masa dalam kandungan, bayi
dan balita. Kelangsungan hidup anak ditunjukkan dengan angka kematian bayi (AKB) dan angka
kematian balita (AKABA). (Maryunani, 2010). Ditinjau dari hasil Survey Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI), maka angka kematian neonatal (AKN) adalah 19 per 1000 kelahiran Hidup
(KH), angka kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 Kelahiran hidup dan angka kematian balita
(AKBA) 44 per 1000 Kelahiran hidup.
AKABA di Indonesia saat ini masih tinggi, secara proporsional mencapai 31% dari seluruh
kematian penduduk Indonesia. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) merupakan salah satu
penyabab angka kematian balita, yaitu kira 1 dari 4 kematian yang terjadi disebabkan oleh ISPA,
sekitar 2,33 juta 4,66 juta kasus. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas balita
(13-59 bulan) masih tinggi. Untuk itu, diperlukan kerja keras dalam upaya menurunkan angka
kematian tersebut, termasuk diantaranya penigkatan keterampilan tenaga kesehatan dalam
menangani balita sakit, utamanya bidan dan perawat di Puskesmas sebagai pemberi pelayanan
kesehatan. (SDKI, 2007)

Di Indonesia terjadi lima kasus di antara 1000 bayi atau balita, ISPA mengakibatkan 150.00
bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban /bulan atau 416 kasus /hari, atau 17
anak /jam. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko ISPA antara lain adalah factor lingkungan
yaitu pencemaran udara dalam rumah, ventilasi dan kepadatan hunian, faktor individu anak yaitu
umur di bawah 2 bulan, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi, serta faktor
prilaku. Komplikasi yang disebabkan akibat ISPA berupa broncho Pneumonia dimana terjadi
peradangan pada saluran pernafasan, sehingga menimbulkan sesak pada penderita karena suplai
oksigen yang kurang. Program pemberantasan penyakit ISPA yang telah dilaksanakan beberapa
waktu lalu menetapkan angka 10% balita sebagai target penemuan penderita ISPA. Secara
teoritis diperkirakan bahwa akan banyak balita yang meniggal bila tidak diberi pengobatan.
(Maryunani, 2010)
Di provinsi Bengkulu Angka Kematian Balita tahun 2010 adalah 1,4/1000 kelahiran hidup,
ini mengalami peningkatan dari tahun 2009 yaitu 0,67/1000 kelahiran hidup, selain itu angka
kesakitan penyakit tertentu juga mengalami peningkatan 11% dari tahun sebelumnya. Di provinsi
Bengkulu tahun 2011 terdapat 20.262 kasus ISPA pada balita. (Profil Kesehatan Provinsi
Bengkulu, 2011).
Dari data kesakitan seluruh Puskesmas di kota Bengkulu tahun 2010 penyakit ISPA
menduduki peringkat pertama dari penyakit terbanyak. Dengan kasus sebanyak 73.021 (42,51%)
dari 17.165 penderita, dimana terdapat 18.051 (20,15%) kasus ISPA pada balita. Tingkat kejadian
paling banyak terdapat pada Puskesmas yaitu, Nusa Indah, Lingkar Timur, dan Sukamerindu.
Karena di Puskesmas Nusa Indah dan Lingkar Timur sudah banyak yang melakukan penelitian,
maka penelitian dilakukan di Puskesmas Sukamerindu. Data penderita ISPA di Puseksmas
Sukamerindu. Data penderita ISPA di Puskesmas Sukamerindu pada tahun 2010 berjumlah 2.249
dari 5.804 (38,7%) balita yang berkunjung , sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1.962 dari

4.058 (48,34%) balita yang berkunjung. Sementara hasil survey untuk bulan Januari sampai Mei
2012 balita yang menderita ISPA sebanyak 889 orang, dari 1.651 (53,8%) Balita yang
berkunjung.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik mengambil kasus dengan judul Asuhan kebidanan
pada balita dengan kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Bengkulu tahun 2012 sehingga pada kasus ini dapat segera ditangani dan
dideteksi karena penyebab kematian Balita sebagian besar adalah ISPA dan kasus di atas dapat
memunculkan permasalah yang kompleks sehingga penulis menerapkan manajemen kebidanan
SOAP.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana penatalaksanan Asuhan Kebidanan pada balita dengan Infeksi Saluran Pernafasan
Atas di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu dengan menggunakan pendekatan manajemen
metode SOAP ?
C. Manfaat Studi Kasus
a. Manfaat Teoritis : menambah wacana ilmu pengetahuan tentang Asuhan kebidanan pada balita
ISPA.
b. Manfaat Praktis : menambah keterampilan pada pelayanan asuhan kebidanan pada balita ISPA.
D. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Untuk dapat melaksanakan dan meningkatkan kemampuan penulis dalam penanganan Asuhan
Kebidanan pada balita dengan ISPA sesuai teori dan manajmen kebidanan yang diaplikasikan
dalam Asuhan Kebidanan dengan metode SOAP.
2. Tujuan Khusus

a. Penulis Mampu :
1) Untuk dapat mengidentifikasi data subjektif pada Balita dengan ISPA di Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu.
2) Untuk dapat mengidentifakasi data objektif pada Balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu
Kota Bengkulu.
3) Menerapkan dan melaksanakan pengumpulan data subjektif dan objektif sehingga dapat diambil
Diagnosa pada Balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
4) Untuk dapat melaksanakan Rencana Asuhan, kemudian Evaluasi setiap rencana yang telah
diberikan pada balita dengan ISPA di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
b. Penulis mampu menganalisi kesenjangan antara teori dan kasus nyata dilapangan termasuk
faktor pendukung dan faktor penghambat.
c. Penulis mampu memberikan alternatif pemecahan masalah jika terdapat kesenjangan pada
asuhan kebidanan yang telah diberikan pada balita dengan ISPA.
E. Keaslian Studi Kasus
Ari setiyarni (2007) Asuhan Kebidanan Pada balita dengan ISPA di Puskesmas Medokan Ayu
Surabaya. Hasil studi kasus : pada kasus balita dengan ISPA di berikan asuhan kebidanan yaitu,
memberikan penkes tentang :
Nutrisi : makanan yang bergizi yaitu 4 sehat 5 sempurna, hindarikan anak dari snack dan es, beri
minum air putih yang banyak untuk mengencerkan lendir dan dahak, menjauhkan balita agar
balita tersebut tidak tertular, menjauhkan balita dari keluarga yang sakit agar tidak terjadi
pemaparan ulang sehingga balita tidak segera sembuh, melakukan kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi Amoxicilin syrup 3x sendok teh, demacolin 3x multivitamin syrup
2x1 sendok teh.
Perbedanan studi kasus yang dilakukan Ari Setiyarni dengan studi kasus penulis yaitu waktu,
tempat dan pada pemberian Therapy pada kasus ini tidak diberikan demacolin dan multivitamin.

F. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dibuat sistematika penulisan meliputi :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang, perumusan masalah,
manfaat studi kasus, tujuan studi kasus, keaslian studi kasus, dan sistematik penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORI
Dalam bab ini berisi teori medis ISPA, teori asuhan kebidanan yang meliputi pengertian,
manajemen kebidanan SOAP, data perkembangan ,dan kerangka konsep.
BAB III : METODOLOGI
Dalam bab ini berisi tentang jenis studi kasus, lokasi studi kasus, subjek studi kasus, waktu studi
kasus, instrument studi kasus, teknik pengumpulan data, dan alat-alat yang dubutuhkan.
BAB IV : TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi dari tinjuan kasus dan pembahasan. Tinjuan kasus menyajikan laporan kasus
dengan menggunakan menajemen kebidanan metode SOAP. Pembahasan berisi tentang
kesenjangan teori praktek yang penulis temukan sewaktu pengambilan kasus dengan pendekatan
asuhan metode SOAP.

BAB V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dirumuskan untuk menjawab tujuan penulisan
dan merupakan inti dari pembahasan penganan Balita dengan ISPA. Saran merupakan atlernatif
pemecahan masalah dan tanggapan kesimpulan yang berupa kesenjangan, pemecahan masalah
hendaknya bersifat realitas operasional yang artinya saran itu dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis
1. Pengertian Balita
Menurut Waryana 2010, di jelaskan bahwa balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada
masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Disertai
dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas
tinggi. Akan tetapi balita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi
karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Sedangkan menurut (Proverawati, 2009) Balita
atau dikenal juga dengan anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 1 sampai 5 tahun.
Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak lebih dari satu tahun sampai tiga
tahun yang dikenal dengan BATITA dan anak lebih dari tiga tahun sampai lima tahun dikenal
dengan usia pra sekolah.
2. Karakteristik Balita
Usia balita dapat kita bedakan menjadi dua golongan, yang pertama adalah balita usia 1-3
tahun. Jenis makanan yang paling disukai anak balita di usia ini biasanya adalah makanan yang
manis-manis, seperti coklat, permen, es krim dan lain-lain. Pada anak usia ini sebaliknya
makanan yang banyak mengandung gula dibatasi, agar gigi susunya tidak rusak atau berlubang
(caries). Pada usia ini, biasanya anak sangat rentan terhadap gangguan gizi, seperti kekurangan
vitamin A, zat besi, kalori, protein. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan gangguan fungsi
pada mata, sedangkan kekurangan kalori dan protein dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan kecerdasan anak (Waryana, 2010).

Kedua adalah anak usia 4-6 tahun. Pada usia ini, anak-anak masih rentan terhadap gangguan
penyakit gizi dan infeksi. Sehingga pemberian makanan yang bergizi telah menjadi perhatian
orang tua, para pembimbing dan pendidik disekolah. Pendidikan tentang nilai gizi makanan,
tidak ada salahnya mulai diajarkan kepada mereka. Dan ini saat yang tepat untuk menganjurkan
yang baik-baik pada anak, karena periode ini anak sudah dapat mengingat sesuatu yang dilihat
dan didengar dari orang tua serta lingkungan sekitarnya. Sehingga akhirnya anak dapat memilih
menyukai makanan yang bergizi (Waryana, 2010).
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa
yang disediakan ibunya. Dengan kondisi demikian, sebaiknya anak batita diperkenalkan dengan
berbagai bahan makanan. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa prasekolah
sehingga diperlukan jumlah makanana yang relative lebih besar. Namun, perut yang masih lebih
kecil menyebabkan jumlah makanan lebih kecil daripada anak yang usianya lebih besar. Oleh
karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. (proverawati,
2009)
Pada usia prasekolah, anak menjadi konsumen aktif, yaitu mereka sudah dapat memilih
makanan yang disukainya(persagi,1992). Masa ini sering juga dikenal sebagai masa keras
kepala. Akibat pergaulan dengan lingkungannya terutama dengan anak-anak yang lebih besar,
anak mulai senang jajan. Jika hal ini dibiarkan, jajanan yang dipilih dapat mengurangi asupan zat
gizi yang diperlukan bagi tubuhnya sehingga anak kurang gizi. Perilaku makanan sangat
dipengaruhi oleh keadan psikologis, kesehatan dan social anak. Oleh karena itu, keadan
lingkungan dan sikap keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makanan
pada anak agar anak tidak cemas dan khawatir terhadap makanannya. Seperti pada orang dewasa
, suasana yang menyenangkan dapat membangkitkan selera makan anak. (Proverawati, 2009)

3. Kebutuhan Gizi Balita


Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memehara
kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin,
aktivitas, berat badan dan tinggi badan.antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada
keseimbangan hingga diperoleh status gizi yang baik. Kebutuhan gizi yang harus dipenuhi pada
masa balita diantaranya energi dan protein. Kebutuhan energi sehari anak untuk tahun pertama
kurang lebih 100 -120 kkal/kg berat badan. Untuk tiap 3 bulan pertambahan umur, kebutuhan
energi turun kurang lebih 10 kkal/kg berat badan (Waryana, 2010).
4. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi bayi dan balita relatif besar dibandingkan dengan orang dewasa, sebab pada
usia tersebut pertumbuhannya masih sangat pesat. Kecukupannya akan semakin menurunseiring
dengan bertambahnya usia. Kekurangan energy terjadi bila konsumsi energy melalui makanan
kurang dari energa yang dikeluarkan. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan
sebelumnya(ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan
penurunan daya tahan tubuhterhadap penyakit infeksi. Akibat beratnya dinamakan marasmus dan
bila disertai kekurangan protein kwashiorkor. Kebutuhan karbohidrat yang dianjurkan adalah 6070% dari total energi. Sumber karbohidrat yang dapat diperoleh dari beras, jagung,singkong,
tepung-tepungan, gula dan serat makanan serat makanan sangat penting untuk menjaga
kesehatan alat pencernaan. (Waryana, 2010)
5. Kebutukan Protein
Energi dalam tubuh diperoleh terutama dari zat karbohidrat, lemak, dan juga protein. Protein
dalam tubuh merupakan asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu
untuk pertumbuhan dan pembentukan protein dalam serum, mengganti sel-sel yang rusak,
memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh, serta sebagai sumber energi. Lemak

merupakan sumber kalori berkosentrasi tinggi, selain itu lemak merupakan sumber kalori
berkosentrasi tinggi, selain itu lemak juga mempunyai 3 fungsi, diantaranya sebagai sumber
lemak esensial sebagai szat pelarut vitamin A,D,E,K serta dapat memberi rasa sedap dalam
makanan (Waryana, 2010)

B. Konsep Pengertian ISPA


Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dan terbanyak
menimbulkan akibat dan kematin (Gouzali, 2011). ISPA merupakan salah satu penyakit
pernafasan terberat dimana penderita yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi
bila udara lembab, dingin atau cuaca terlalu panas.(Saydam, 2011)
Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit Infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) adalah, Infeksi yang menyerang saluran pernafasan atas yang disebabkan
oleh bakteri dan virus serta akibat adanya penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi
udara yang di hirup.

C. Anatomi dan Fisiologi

Gambar1.1 Anatomi sistem pernafasan (Evelyn, 2009)

1.Anatomi system pernafasan menurut Evelyn (2009) terdiri dari :


a. Rongga hidung
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak
(kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi
menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernafasan.

b. Faring

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yatu
saluran pernafasan (nasofaring) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada
bagian belakang. Pada bagian belakang faring terdapat laring ( tekak) tempat terletaknya pita
suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar san
terdengar sebagai suara.
c. Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian dileher dan sebagian di
rongga dada (thorak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan,
dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernafasan.
d. Cabang-cabang tenggorokan(Bronki)
Tenggorokan bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur
lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak
teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen
dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus.
e. Paru-paru (pulmo)
Paru-paru terletak didalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot,
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru kiri(pulmo sinister)
yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh 2 selaput yang tipis, disebut Pleura.
2. Saluran pernafasan pada manusia ( Evelyn, 2009)
a.

Sistem pernafasan terdiri dari pada hidung, trakea, paru-paru, tulang rusuk, otot interkosta,

bronchus, bronkiolus, alveolus dan diafragma.


b. Udara disedot ke dalam paru-paru melalui hidung dan trakea.

c. Dinding trakea disokong oleh gelang rawan supaya menjadi kuat dan senantiasa terbuka.
d. Trakea bercabang kepada bronkus kanan dan bronkus kiri yang disambungkan ke paru-paru
e. Kedua-dua bronkus bercabang lagi kepada bronkial dan alveolus pada ujung bronkiolus
f. Alveolus mempunyai penyesuain berikut untuk memudahkan pertukaran gas, diliputi kapilari
darah yang banyak, dinding sel yang setebal satu sel dan permukaan yang luas dan lembab.
3. Saluran pernafasan Atas ( Evelyn, 2009)
a.

Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal yaitu, dihangatkan, disaring, dan
dilembabkan. Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi terdiri dari
Psedostrafied ciliated columnar epitelium yanng berfungsi menggerakan partikel-partikel halus
kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan
kelanjar serous yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan

concaha. Kemudian udara akan diteruskan.


b. Nasofaring, terdapat pharyngeal tonsil dan tuba Eustachius
c. Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, dimana terdapat pangkal lidah.
Laring ofaring terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan.
4. Saluran pernafasan bagian bawah
Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas
ke alveoli
a. Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
b. Sirkulasi paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah vena
meninggalkan paru.
c. Paru, terdiri dari saluran nafas bagian bawah, alveoli dan sirkulasi paru.
d. Rongga pleura, terbentuk dari dua selaput serosa yang meliputi dinding dalam rongga dada yang
e.

disebut pleura parietalis dan yang meliputi paru atau pleura vaseralis.
Rongga dan dinding dada, merupakan pompa musculoskeletal yang mengatur pertukaran gas
dalam proses respirasi.

D. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA
antara lain adalah Genus Streptokokus, Stafilokkokus, Pnemokokus, Hemofillus, Bordetella, dan
Koneabakterium. Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang
anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim
hujan. Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di
dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus. Virus parainfluensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit
demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya
terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anakanak, virus-virus influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas
bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah. (DepKes RI, 2007)

1. Faktor-faktor terjadinya ISPA


Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor
individu anak , serta faktor perilaku.
a. Faktor lingkungan.
1) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi
tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.

Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam
rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih
dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya
hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis,
pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada
kelompok umur 9 bulan dan 6 10 tahun. ( Maryunani, 2010)

2). Ventilasi rumah


Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik
secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut
mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi
pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat
pencemar lain dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan
seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan, mengeluarkan
kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan
eksternal, mendisfungsikan suhu udara secara merata. (Maryunani, 2010)
3). Kepadatan hunian rumah
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah
ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan
pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini. (Maryunani, 2010)
b. Faktor individu anak

1) Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus
melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA
tertinggi pada umur 6 12 bulan. (Maryunani,2010)
2) Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa
balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.Penelitian
menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya
kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted
terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak
dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit
saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya. (Maryunani, 2010)
3) Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA.
Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi
paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya
hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.Balita dengan gizi yang kurang akan lebih
mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh
yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan

dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang
ISPA berat bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010)
4) Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul 200.000 IU vitamin A
pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih
dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai risiko
terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan
peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup
tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing
yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit
yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010)
5) Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami
terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri,
pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. ( Maryunani,
2010)
c. Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita
dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun
anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul
dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.
Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. (Maryunani, 2010)
E. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut
menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan
yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk, Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang
paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat
infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme
perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteribakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia,
haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut dan Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat

saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi
bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu
laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran
nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah.
( DepKes RI, 2007)

F. Gejala klinis
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan
gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat
dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang
lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan
tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh
dalam kegagalan pernafasan. (Depkes RI, 2007)
Tanda-tanda bahaya ISPA dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris. Tanda-tanda klinis, yaitu

a.

Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak,

nafas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
b. Pada sistem cerebral adalah: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung,
c.

kejang dan koma.


Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat.
Tanda dan gejala berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi tiga tingkat:

a.

ISPA Ringan
Adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah Batuk, Pilek (keluar ingus dari hidung),
Serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara) dan Demam 370C (panas)

b. ISPA Sedang
Tanda dan gejala ISPA sedang antara lain adalah Pernafasan yang cepat (lebih dari 50 x/menit),
Wheezing (napas menciut-ciut), Panas 39oC atau lebih, Sakit telinga atau keluar cairan dan
Bercak-bercak menyerupai campak.
c.

ISPA Berat
Tanda dan gejala ISPA berat antara lain adalah Tidak mau makan, Sianosis (kulit kebiru-biruan),
Nafas cuping hidung, Kejang, Kesadaran menurun (Depkes RI, 2007).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap,
yaitu:

1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi
3)
4)

bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

G. Penatalaksanaan
Menurut Depkes RI ( 2007 ), penatalaksanaan dari ISPA adalah:
1. Diet cair dan lunak selama tahap akut.
2. Untuk mengontrol infeksi, memulihkan kondisi mukosa meradang diberi

antibiotik,

misal amoxilin, ampixilin.


3. Penyuluhan pada pasien tentang cara memutus infeksi
4. Meningkatkan masukan cairan.
5. Menginstruksikan pada pasien untuk meningkatkan drainase seperti antalasi uap.
Menurut Manurung ( 2009 ) Penatalaksanaan ISPA berdasarkan Tingkatannya yaitu :
1) jenis ISPA ringan penatalaksanaanya :
a. Pilek yang belum parah tidak memerlukan perawatan medis secara intensif,
dalam kondisi belum parah, langkah-langkah penanganan berikut dapat dilakukan di rumah.
b. Oleskan balsem terutama disekitar hidung, untuk mencegah pilek makin
parah.
c. Pilih balsam yang tidak terlalu panas
d. Pastikan badan anak sejuk dan berilah banyak cairan
e. Jangan terlalu banyak
f. Berikan air jeruk hangat yang berikan obat batuk telah dicampur madu.

2. Jika ISPA sedang penatalaksanaannya:


a. Berikan rasa nyaman dengan tetap tenang, ketenangan orang tua dapat
mengurangi rasa takut pada anak
b. Tenangkanlah anak dengan cara memintanya duduk

c. Berikan minum hangat yang banyak


d. Jika anak demam, berikan paracetamol sesuai dosis yang dianjurkan.
e. Untuk membantu melegakan pernafasan anak, berikanlah uap air panas jika
diperlukan. Uap air panas diperoleh dengan cara memasak air, menyalakan pemanas ruangan
atau menaruh handuk basah di atas radiator. Jika menggunakan alat penghasil panas seperti
stremer, harus dilakukan dengan hati-hati dan jangan terlalu panas.
f. Mintalah anak menarik nafas
g. Biarkan pintu dan jendela kamar tetap tertutup
h. Bila anak menderita batuk berat disertai nafas yang berbunyi, maka
posisikan anak untuk duduk bersandar sehingga lebih melegakan nafasnya
3. Jika Ispa berat penatalaksanaannya:
a. Buka baju anak dilanjutkan dengan mengelap seluruh tubuhnya dengan air
hangat, dengan cara ini diharapkan demam di tubuhnya tidak berlanjut kejang-kejang. Suhu
tubuh juga dapat diturunkan melalui air yang menguap di permukaan kulit.
b. Jangan sekali-kali memberikan air dingin untuk mengompres, ini kesalahan
fatal yang dapat membuat panas sulit mereda akibat kontraksi pembuluh darah.
c. Keringkanlah tubuh anak dan selimuti dengan menggunakan kain katun
yang tidak terlalu tebal.
d. Pakaikanlah baju selapis demi selapis, jangan langsung baju tebal.
e. Proses mengelap tubuh atau mengipasi anak perlu dilakukan berulang
ulang jika suhu tubuh anak mulai naik lagi
f. Berikan sebanyak mungkin minuman dingin.
g. Berikan parasetamol dan ibuprofen dengan dosis sesuai usia anak
h. Jangan pernah memberikan aspirin untuk anak usia dibawah 12 tahun,
kecuali atas petunjuk dokter.
i. Hindari rasa panik agar proses penanganan tidak terhambat.
j. Pastikan tubuh anak sudah dingin tapi jangan sampai kedinginan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA menurut Maryunani,
2010 pada anak antara lain :
a. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan
makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.
b. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh

terhadap penyakit baik.


c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah
memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang
yang sedang menderita penyakit ISPA
H. Teori Kebidanan secara SOAP
1. Pengertian
SOAP adalah Catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis, tertulis dan pencatatan ini dipakai
untuk mendokumentasikan asuhan kebidanan yang meliputi hasil pemeriksaan prosedur tindakan
pengobatan

pada pasien dengan respon terhadap semua asuhan yang telah diberikan.

(Muslahatun, 2009)
S : Data subyektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang pasien
O: Data

yang

diperoleh

dari

hasil

observasi

yang

pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan


diagnostik lain
A : Data yang merupakan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi
dari data subyektif dan obyektif.
P : Membuat rencana asuhan saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan
disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data. (Sudarti, 2010)
2.

Langkah manajemen kebidanan SOAP :


1. Langkah 1 : Data Subyektif

Data subyektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang pasien.


( Sudarti, 2010 )
1. Biodata yang diambil untuk pasien (Ayah dan Ibu), yang Balitanya
Menderita ISPA
Pengkajian biodata antara lain :

jujur

dari

ama

Dikaji dengan nama yang jelas dan lengkap, untuk menghindari adanya kekeliruan

atau untuk membedakan dengan pasien yang lainnya


b. Umur :

Untuk mengetahui faktor resiko

c. Agama :

Untuk memberikan motivasi dorongan moril sesuai dengan

agama yang dianut


d. Suku bangsa

: Untuk mengetahui adat istiadat yang menguntungkan dan

merugikan
e. Pendidikan

: Untuk mengetahui tingkat intelektual, tingkat penerimaan

informasi hal-hal baru atau pengetahuan baru karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi mudah
mendapatkan informasi
f. Pekerjaan

: Untuk mengetahui status ekonomi kelurga

g. Alamat :

Untuk mempermudah hubungan jika diperlukan dalam

keadaan mendesak sehingga bidan mengetahui tampat tinggal pasien


2. Keluhan Utama
Untuk mengetahui keluhan yang dirasakan saat pemeriksaan serta berhubungan dengan penyakit
yang diderita. Pada kasus Balita dengan ISPA, keluhannya seperti batuk, filek, dan lemah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanggal hari pertama Balita mengalami ISPA
4. Riwayat kesehatan
Menurut Ambarwati dan wulandari (2008), meliputi :
a. Riwayat kesehatan yang lalu
Untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat penyakit infeksi atau penyakit menular lain
b. Riwayat kesehatan sekarang
Untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit infeksi yang diderita pada saat ini.

c. Riwayat kesehatan keluarga


Untuk mengetahui adanya penyakit keturunan dan penyakit infeksi lainnya.
(1) Pola kebiasaan sehari-hari
(a)

Pola nutrisi

Makan teratur frekuensi 3 kali sehari, 1/2 porsi, lauk, sayur dan buah. Minum kurang lebih 5
gelas per hari, air putih. Dikaji untuk mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi dan porsi
makan dalam sehari serta ada pantangan atau tidak.

(b) Pola eliminasi


Menggambarkan kebiasaan BAB meliputi frekuensi, jumlah, konsistensi dan bau serta kebiasaan
BAK meliputi frekuensi warna dan jumlah.
(c) Aktivitas
Dikaji untuk mengetahui apakah Balita dengan ISPA sering melakukan aktivitas yang bisa
menimbulkan infeksi ; seperti bermain ditempat yang banyak debu, dll
(d) Personal hygine
Dikaji untuk mengetahui berapa kali balita mandi (normal 2 kali sehari), gosok gigi (normal 2
kali sehari), keramas (2 kali sehari), dan ganti baju (normal 2 kali sehari)
(e) Pola istirahat
Menggambarkan pola istirahat dan tidur balita, berapa jam balita tidur, kebiasaan balita sebelum
tidur, kebiasaan tidur siang, dan penggunaan waktu luang.
(f)

Psikososial budaya

Untuk mengetahui apakah ada pantangan makan atau kebiasaan yang tidak diperoleh selama
balita sedang sakit ISPA

2. Langkah 2 : Data Obyektif


Merupakan data yang didapat dari Orangtua sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan
kejadian
1) Pemeriksaan Umum untuk pasien atau Balita ISPA
2) Keadaan umum
Untuk mengetahui keadaan umum balita apakah baik, sedang, buruk. Untuk penderita ISPA
3)

keadaan umum biasanya lemah


Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran yaitu compos mentis, apatis, somnolen. Untuk penderita

ISPA kesadarannya Compos mentis


4) Suhu
Apakah ada peningkatan atau tidak. Normalnya suhu tubuh berfrekuensi dalam rentang yang
relative sempit. Suhu tubuh normal 35,6C 37,6C. Pada ISPA ringan suhu tubuh diatas 37 0C,
ISPA sedang lebih dari 39oC.
5) Denyut nadi
Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam menit. Batas normal 100-120x/menit. Pada
ISPA berat (Pneumonia) nadi lebih dari 120x/menit
6) Respirasi
Untuk mengetahui frekuensi pernafasan yang dihitung dalam 1 menit batas normal dalam 1
menit atau lebih dari 30-40x/menit. Untuk pasien ISPA biasanya frekuensi pernafasan diatas
50x/menit.
7) Pemeriksaan Sistematis
a) Kepala
(1) Rambut
Untuk menilai warna, ketebalan ada ketombe atau tidak. Pada Balita ISPA tidak ada kelainan
pada rambut
(2) Muka
Untuk melihat keadaan muka pucat atau tidak, warna kulit adakah timbul bercak-bercak pada
kulit. Pada Balita ISPA muka pucat dan pada kulit timbul bercak merah seperti campak.
(3) Mata
Conjungtiva warna pucat atau kemerahan, sklera putih atau tidak. Pada Balita ISPA conjungtiva
berwarna pucat
(4) Hidung

Untuk melihat apakah ada pengeluaran secret atau lendir, peradangan polip, pernafasan cuping
hidung. Pada Balita dengan ISPA pada hidung akan terdapat pengeluaran secret
(5) Telinga
Bagaimana keadaan daun telinga, liang telinga, bentuk telinga, besar telinga, dan posisinya. Pada
Balita biasanya terdapat kemerahan pada daun telinga
(6) Mulut
Untuk melihat mukosa bibir, warna bibir dan tenggorokan apakah berwarna kemerahan. Pada
Balita ISPA akan terdapat mukosa bibir kering.
(7) Leher
Untuk mengetahui apakah leher nyeri dan kaku, pembatasan gerakan, pembesaran tiroid, dan
riwayat gondok. Pada Balita dengan ISPA akan terdapat pembesaran vena jugolaris
(8) Dada
Untuk melihat apakah ada retraksi dinding dada pada saat bernafas, bunyi saat bernafas seperti
mendengkur dan pernafasan berbunyi seperti ronchi. Pada Balita dengan ISPA pergerakan
dinding dada simetris tetapi cepat dan bunyi nafas ronchi.
(9) Abdomen
Untuk melihat warna kulit perut apakah timbul bercak merah seperti bercak campak. Pada Balita
dengan ISPA akan terdapat nyeri perabaan pada abdomen
(10) Ekstremitas
Untuk memeriksa ekstremitas baik atas maupun bawah, apakah ada kelainan, warna kuku pucat
atau tidak. Pada Balita dengan ISPA akan terdapat kelemahan pada ekstremitas.
3. Langkah 3 : Asessment
Menurut

Sudarti(2010),

analisis

merupakan

pendokumentasian

hasil

analisis

dan

interpretasi(kesimpulan) dari data subyektif dan obyektif. Analisis yang tepat dan akurat akan
menjamin cepat diketahuinya perubahan pada pasien, sehingga diambil keputusan atau tindakan
yang tepat. Pada langkah ini dilakukan identifikasi masalah dari data yang ada untuk menentukan
diagnosa yang akurat, yang terdiri dari diagnosa, masalah dan kebutuhan pada Balita dengan
ISPA.

1.

Diagnosa kebidanan, pada balita dengan ISPA :


An.Umurdengan Ispa di Puskesmas sukamerindu Bengkulu, diagnosa kebidanan ini
muncul didasari oleh :

Data Dasar :
a) Data Subyektif
Data subyektif pada balita dengan ISPA :
(1) Anaknya batuk pilek
(2) Anaknya demam dan kurang beraktivitas
b) Data Obyektif
Data obyektif pada balita dengan ISPA
(1)

Keadaan umum anak lemah

(2)

Anak batuk

(3)

Kaji TTV : nadi , suhu dan pernapasan

c) Masalah
Masalah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman Balita yang ditemukan dari hasil
pengkajian
Masalah yang biasa terjadi pada balita dengan ISPA adalah :
(1)
(2)

Rewel dan menangis

Anak tidak nyaman

d. Kebutuhan
Kebutuhan adalah hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien dan belum teridentifikasi dalam diagnosa
masalah yang didapat dengan melakukan analisa data. Pada Balita dengan ISPA kebutuhannya
adalah :

1)

Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan

makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.


2) Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap penyakit baik.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4) Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai penutup
hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang
menderita penyakit ISPA
4. Langkah 4 : Penatalaksanaan
Ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya, langkah ini merupakan kelanjutan dari masalah
atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini informasi data yang
tidak lengkap dapat dilengkapi
1. Diet cair dan lunak selama tahap akut.
Ev : Pasien melakukan diet cair dan lunak selama tahap akut
2. Untuk mengontrol infeksi, memulihkan kondisi mukosa meradang diberi antibiotik, misal

3.
4.
5.
6.

amoxilin, ampixilin.
Ev : Therapy telah diberikan
Penyuluhan pada pasien tentang cara memutus infeksi.
Ev : Pasien mengerti tentang penyuluhan yang telah diberikan
Meningkatkan masukan cairan.
Ev : Kebutuhan cairan terpenuhi
Menginstruksikan pada pasien untuk meningkatkan drainase seperti antalasi uap.
Ev : Drainase telah ditingkatkan
Tanggapan keluarga terhadap penjelasan yang diberikan
Ev : Keluarga mengerti dan memahami manfaat dari setiap tindakan yang dilakukan

1. Data Perkembangan SOAP


Dalam setiap tindakan dilakukan, dicantumkan catatan perkembangan sehingga tenaga kesehatan
mampu menilai apakah tujuan asuhan tercapai atau tidak. Evaluasi diikuti dengan tujuan catatan
perkembangan yang meliputi SOAP, yaitu:

: Menggambarkan pendokumentasian pemantaun hasil dari penyakit ISPA. Balita tidak batuk
filek, tidak demam dan sudah beraktivitas seperti biasa.
: Menggambarkan pendokumentasian hasil

pemeriksaan fisik klien, yang dirumuskan dalam

data fokus untuk mendukung assesment keadaan umum Balita baik dan TTV normal.
: Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subyektif dan obyektif
dalam suatu identifikasi diagnosa atau masalah antisipasi diagnosa atau masalah potensial,
perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter dan konsultasi kolaborasi. Masalah ISPA teratasi
: Menggambarkan pendokumentasian dan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi berdasarkan
assessment. Intervensi dihentikan.

2. Kerangka Konsep
Hasil asuhankebidanan:
a. Keadaan umum dan tandatanda vital normal :
Suhu 36-370C, Nadi 90-120
/menit,pernafasan 30-40/menit
b. Batuk pilek teratasi
c. Komplikasi (-)
d. Tangapan keluarga terhadap
penjelasan bidan baik.
e. Demam teratasi

Balita dengan ISPA

Kriteria :
1. Batuk-filek
2. Demam
3. Pernafasan cepat

Asuhan kebidanan menurut manajemen SOAP :


1. Pengkajian data
( Subyektif)
2. Obyektif
3. Analisa
4. Penatalaksanaan

INPUT
OUTPUT

PROSES

OUTPUT

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Studi Kasus
Jenis karya tulis ilmiah adalah menggunakan asuhan kebidanan dengan metode SOAP,
laporan studi kasus pada balita ISPA dengan menggunakan metide deskriftif yaitu suatu
metode yang melakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu keadaan secara
objektif. Studi kasus adalah meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri unit
tunggal. (Notoatmodjo,2010).
B. Lokasi Studi Kasus
Lokasi merupakan tempat dimana pengambilan kasus dilaksanakan sekaligus membatasi
ruang lingkup penelitian. (Notoatmodjo,2010). Pada kasus ini studi kasus dilaksanakan di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
C. Subjek Studi Kasus
Merupakan hal atau orang yang akan dikenai kegiatan pengambilan kasus (Arikunto,
2010). Subyek pengambilan kasus ini adalah balita S dengan ISPA.
D. Waktu Studi Kasus
Waktu studi kasus adalah rentang waktu yang digunakan penulis untuk pelaksanaan
laporan kasus (Chandra, 2008). Studi kasus ini dilaksanakan pada tanggal 04 -08Agustus
2012.
E. Instrumen Studi Kasus
Merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Alat pantau fasilitas
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti kata enih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah (Notoatmodjo, 2010). Pada studi kasus ini penulis menggunkan instrumen format
SOAP pada balita ISPA untuk pengumpulan data.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data catatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan atau
karakteristik sebagian studi kasus. Data berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua
kelompok yaitu data primer data sekunder (Chandra, 2008).
1. Data primer

Merupakan materi atau kumpulan fakta yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti pada saat
penelitian berlangsung.
a. Wawancara
Suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dimana pewawancara mendpat
keterangan pendirian secara lisan dari seorang sasaran studi kasus (responden) atau bercakapcakap berhdapan muka dengan orang tersebut. (Notoatmodjo, 2010).
Pada pengambilan kasus ini penulis melakukan wawancara dengan keluarga dan tenaga
medis.
b. Observasi
Observasi adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi melihat,
mendengar, dan mencatat sejumlah dan taraf aktivitas atau situasi tertentu yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti. (Notoatmodjo, 2010). Pelaksanaan observasi
dilakukan dengan mengobservasi keadaan umum balita, tanda-tanda vital balita.
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengetahui keadaan fisik pasien secara sistematis dengan
cara :
1. Inspeksi
Adalah suatu proses obervasi yang dilakukan untuk observasi secara sistematik, dengan
menggunakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman sebagai alat untuk
mengumpulkan data inspeksi dilakukan secara berurutan mulai kepala sampai kaki. Pada
kasus ini inspeksi pemeriksaan pernafasan apakah ada tarikan pada dinding dada (akibat
sesak).
2. Palpasi
Adalah suatu teknik yang menggunkan indra peraba tangan dan jari, dalam hal ini palpasi
dilakukan untuk memeriksa apakah ada tahanan pada saat Balita menarik nafas.

3. Auskultasi

Adalah pemeriksaan dengan jalan mendengaran suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan
menggunakan stetoskop. Kasus ISPA pada balita dengan cara mendengarkan suara nafas,
apakah da kelainan seperti bunyi Ronchi.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari pihak lain.
a) Studi dokumentasi
Adalah semua bentuk sumber informasi yang berhubungan dengan dokumen. Pengambilan
kasus ini menggunakan catatan yang ada di list/status pasien untuk memperoleh informasi
data medik yang ada di Puskesmas Sukemerindu Kota Bengkulu.
b) Studi Kepustakaan
Merupakan bahan-bahan pustaka yang sangat penting dalam menunjang latarbelakang
teoritis dalam suatu penelitian. Pada kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), penulis
mengambil referensi dari tahun 2007-2011.

G. Alat-alat yang dibutuhkan


Alat dan ahan yang dibutuhkan dengan teknik pengumpulan data antara lain:
1. Alat dan bahan dalam pengambila data
2. Format pengkajian pada balita
3. Alat tulis (buku dan ballpoint)
4. Alat dan bahan yang digunakan dalam melakukan pemeriksaan fisik dan observasi :
a. Timbang berat badan
b. Alat pengukur tinggi badan
c. Termometer
d. Stetoskop
e. Jam tangan
f. Tongue spatel

g. Senter
h. Media, terdiri dari media tentang lingkungan dan gizi
5. Alat dan bahan untuk dokumentasi
a. status atau catatan pasien
b. Dokumen yang ada di Puskesmas Sukamerindu Bengkulu.

Diposkan oleh Rojatul jannah di 09.13


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

Rojatul jannah
Lihat profil lengkapku

Arsip Blog

2014 (3)
o Mei (3)

ISPA

KPD

CPD

Template Ethereal. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai