BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub
Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara
sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus
per tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta
kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap
harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi
pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus
ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun
(AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470
kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di
Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah
mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua
sebagai penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan
awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas
dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di
setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk
tahun 2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY,
untuk bayi laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi
per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA
diantaranya infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus,
faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853
kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap
puskesmas, yaitu bronchitis dan bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran
bagian atas akut sebanyak 278 kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma
sebanyak 150 kasus, pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid
sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara
10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di
Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012
yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang
terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata
kunjungan balita yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai
25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan
pada tahun 2011 dan menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi
pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan
penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban,
pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak
memadai dan air minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat
begitu banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang
tidak sehat dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana
secara nasional pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar
55,53%, presentase paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas
sanitasi layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan
(38,55%) (Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga
menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun
kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah
Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005,
hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian rumah di
beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan
kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823 rumah (83,0%)
(Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%).
Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,
Sleman, DIY.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
a.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas
b.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah
rumah tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah,
menjaga pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi
resiko kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi
dalam rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti
yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali. Jenis penelitian ini adalah
observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada
hubungan antara ventilasi rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan
kejadian ISPA, antara lain ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001),
dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi
Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di
Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali. Jenis penelitian ini adalah analitik
observasional dilakukan dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya
adalah anak balita dibawah 5 tahun. Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system
random sampling. Sebagai respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah
ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA
pada balita di bawah 5 tahun di mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah
(p=0.05), dan pendapatan keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian,
jenis penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang
dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan
usia balita tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia,
bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa
selanjutnya. Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa
ini sering disebut sebagai golden age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun
dan anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa
prasekolah sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya
berlansung lebih baik (Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga
berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai
meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan
teman seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga
proses yang sama (Supartiny, 2004):
1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2)
Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3)
tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat
badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang
terlihat merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan
atau hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri
balita akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan
personal maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1)
Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;
a)
b)
c)
d)
Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus
e)
2)
Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal
yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek
lingkungan sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan
mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia
belum pandai dalam berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi
yang meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan
kebutuhan stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).
1)
zat-zat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi
zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan
berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak
perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan
kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya
sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit
(Nelson, 2000).
2)
3)
manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun
beberapa penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari (Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak
yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh,
2001). ISPA adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau
spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong,
2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b. Jenis-jenis penyakit ISPA
Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza,
sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis
paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005).
Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus
haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat, nyeri
otot, demam, menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen seperti
pneumokokus, sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor
predisposisi kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin.
Keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret
menjadi kental dan purulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan
perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan
menjadi kemerahan dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian
atas, sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus
frontalis belum berkembang pada anak kecil.
menyebabkan nyeri tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull,
2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan serosa sampai purulen
melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di atas sinus yang tertekan
akibat tersumbatnya ostium sehingga timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti
yeri kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut, penciuman
terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke kelopak mata
(Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang
faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya,
sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai
tonsilofaringitis akut dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan,
mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran
kelenjar submandibula (Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh
trauma, bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan
oleh infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus,
sulit bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi
(Hull, 2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan
pada waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut
terus akan terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas
bertambah berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram
positif, tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan
suhu c selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu,
dan lendir yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya
2-7 hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan
gejala lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena
pembengkakan pada kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium
lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan bergram negatif. penyakit ini
sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang dengan pertusis
biasanya akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme, muntah, sianosis, apneu dan
akan mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3 minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi berat
menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak
dan anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar,
tanpak gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah,
2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak
sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernapasan cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di
sekitar mulut dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan
laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan
sehingga menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun
(Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih
banyak. Penyakit ini biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada
anak-anak kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak
napas, makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk,
terlihat juga pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan
biasanya terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan mengi
(Ngastiyah, 2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer
biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas
bagian atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki,
penyakit ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat
membuat cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini
adalah demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk,
demam, anoreksia dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus
abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c.
Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan
Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus dan
Klebsiella
respiratory syncytial virus (RSV) dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai
penyebab ISPA pada anak dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci (WHO, 2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster
dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli, torch, Streptokokus dan
Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus,
Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri
yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan
Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
3) Anak usia sekolah dan remaja
ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh virus, yaitu Adeno,
Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A
dan Mycoplasma (Depkes RI, 2010).
d.
Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga golongan (Kartasasmita,
2010):
a) ISPA ringan
ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara parau pada waktu anak
bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung), demam (suhu tubuh
meningkat lebih dari suhu tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).
b) ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur 1 tahun, suhu tubuh
meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit
yang menyerupai bercak campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang
telinga (Kartasasmita, 2010).
c) ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut, terlihat cuping hidung
saat bernafas, kesadaran menurun, pernafasan berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah,
sela iga tertarik ke dalam pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak
teraba, tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).
e.
1) Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah berkembangbiak dalam rumah
yang lantainya lembab, pencahayaan kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan
polusi udara entah karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak (Said,
2010).
2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain baik lewat kontak
lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk tanpa menutup mulut dan hidung
(Said, 2010).
3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang satu ke orang yang
lain, terutama pada rumah yang anggota keluarganya banyak dan tinggal dalam rumah yang
ukurannya kecil (Said, 2010).
f.
Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan melakukan pendidikan
kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan
pedoman diagnosis dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan
waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama pneumonia berat.
Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan
imunisasi, dan pengurangan polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor
risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi
kejadian ISPA (Depkes RI, 2010).
Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):
1) Pencegahan Non spesifik.
a) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
Meningkatkan derajat sosio-ekonomi dapat mengurangi kejadian ISPA. Pada beberapa
negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan
yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk
diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil
terbatas, di tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).
b) Menurunkan angka kemiskinan
Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian ISPA. Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah
terdapat banyak kasus ISPA karena susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak
ditambah besarnya populasi anak akan semakin menambah tekanan pada pengendalian dan
pencegahan ISPA terutama pada aspek pembiayaan (WHO, 2003).
c) Meningkatkan pendidikan kesehatan
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah pendidikan ibu dan
status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA
pada balita (Depkes RI, 2010).
d) Meningkatkan status gizi
Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Imunisasi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah imunisasi pertusis (DTP), campak,
Haemophilus influenza, dan pneumokokus (WHO, 2003).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap ISPA sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam
upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat
(Hull, 2008).
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak
dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia
balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia
dapat dicegah (Hull, 2008).
e) Meningkatkan derajat kesehatan
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis dan
infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi
kurang, defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi patogen di
nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan
ASI dan imunisasi yang tidak adekwat memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).
f) Lingkungan yang bersih, bebas polusi
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar
rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi dengan
tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan
lokal yang salah (Depkes RI, 2010).
2) Pencegahan Spesifik
a) Cegah BBLR
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA. BBLR
terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan
(prematur) khususnya yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya mengalami penyulit
seperti gangguan napas karena infeksi pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2010).
BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat
terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru
lahir yang bernafas cepat >60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai sianosis pada
mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada serta merintih, dengan demikian BBLR
sangat beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).
b) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan
infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian
mikronutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI suboptimal
mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20% (Depkes RI,
2010).
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri
akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan
gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya
lebih lama (Depkes RI, 2010).
c) Vaksinasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin
pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan
Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke
dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib
dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat
mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak
negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.
(1) Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat
dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat
dengan berbagai komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia yang bahkan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem
imun (WHO, 2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya berat.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat
menurunkan kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)
(2) Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari. Penyakit ini masih
sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi
terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program imunisasi nasional di Indonesia,
diberikan dalam sediaan DTP, bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).
(3) Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib) merupakan
penyebab ISPA dan radang otak (meningitis) yang utama. Diduga Hib mengakibatkan
penyakit berat pada 2 sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih
dari 10 tahun, namun penggunaannya masih terbatas dan belum merata.. Hal ini
dimungkinkan karena harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO
menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua anak di negara berkembang (Somantri,
2007).
(4) Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama pneumonia pada anak di
negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun
dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah
tersedia, yang dikenal sebagai Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).
g.
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan
diberikan tiga kali sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3) Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi sering, lebihlebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan
(Kusbiyantoro, 2009).
4) Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebihlebih pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk
mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama
perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter
atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di
atas diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari
penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk
pemeriksaan ulang (Kusbiyantoro, 2009).
a.
3. Lingkungan Rumah
Pengertian Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata. Rumah dibuat karena manusia ingin
bernaung serta melindungi mereka dari berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan
rumah antara lain mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan air
besar atau kecil dan penyediaan sumber air bersih (Slamet, 2009).
Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat kesehatan serta
produktifitas seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita karena disitulah tempat kita
berlindung. Lingkungan rumah sebaiknya dijauhi dari segala macam faktor-fakor yang dapat
merugikan kesehatan misalnya limbah buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar,
tempat pembuangan sampah atau perternakan yang kurang bersih, fasilitas-fasilitas lainya
seperti air minum yang kurang bersih, fasilitas pembuangan limbah dan air yang tidak
memadai. Disamping itu sumber daya alam yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan
seperti adanya sinar matahari yang bisa menyinari segala ruangan di dalam rumah sehingga
tidak terjadi kelembaban di dalam rumah (Hindarto, 2007).
pembuangan sampah, melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk kandang dan
briket arang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b) Sumber Air dan Sumur
Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus memenuhi persyaratan.
Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan
rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air
hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya bukan oleh pihak
developer. Untuk menyediakan air minum dengan jumlah yang cukup, dapat diambil sumber
dari Sumur gali, sumur artesis dan PDAM/PAM (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(1) Gali
Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari sumur gali, maka untuk
setiap sumur gali hanya diperbolehkan mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut selalu dapat
menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walaupun pada musim kemarau (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008) .
Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic tank harus lebih
besar dari 8 meter. Untuk sumur gali jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding
bagian luar septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Sumur Artesis
Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni rumah dengan cukup. Pusat
reservoir dengan ketinggian yang cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan
volume minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah per hari dari rumahrumah yang disalurkan oleh sumur tersebut (Suharmadi, 2002).
Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air kotor (25 meter). Letak pompa
atau inlet pipa sedot harus paling dekat 2 meter di bawah muka air terendah yang ada dalam
jamban.
Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan dan dipasang sesuai dengan
ketentuan PDAM setempat dan pelaksanaannya harus ditangani oleh instalatur yang
mempunyai surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik perencanaan maupun
pelaksanaannya harus diawasi oleh PDAM (Suharmadi, 2002).
(3) PDAM (PAM)
Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa
beserta meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu adanya
testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah disaring. Debit
airnya harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan baik, maka persyaratan
bak reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi. Tiap rumah agar dipasang
meteran air, dan jaringan instalasi distribusinya harus dilegalisir oleh PAM setempat
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
c) Pembuangan air kotoran (WC)
Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dari
tingginya permukaan tanah. Apabila permukaan air tanah cukup dalam yakni di bawah 1
meter, dari permukaan tanah, sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008):
(1) Bak septic
Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran harus >2 cm), volume air
dalam bak septic minimal 1 meter kubik, tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter,
letak lubang inlet minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian dinding penyekat yang
masuk dalam air minimal harus 40 cm, jarak lubang outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak
dari sumur penampungan minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(2) Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet perlu dipasang lubang
untuk pemeriksaan dan pengurasan. Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat
dari permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air minimal 400 liter/hari, kalau
peresapan tersebut hanya dipakai untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau
peresapan tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari cucian dan kamar mandi, maka
daya resapnya harus mampu untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis tanahnya. Oleh karena itu untuk
daerah-daerah yang jenis tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari tanah
tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang resap yang dibutuhkan. Jenis tanah
yang sulit meresapkan air atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya
warnanya hitam), tanah lempung, tanah berkapur atau batuan kapur. Untuk menyelidiki daya
serap tanah dapat dilakukan pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba
langsung di lapangan. Apabila akan dicoba langsung di lapangan maka sebaiknya dilakukan
pada waktu musim hujan (agar pengadaan tanah dalam keadaan yang terjelek) (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
d) Pembuangan air limbah dan air hujan
Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut, kalau pembuangan air
dari cucian dan kamar mandi disalurkan rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi,
2002):
(1) Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu meresapkan air tersebut di atas (
2000 liter/hari).
(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut dimasukan ke rembesan
(3)
Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan tersendiri karena debitnya cukup
besar (dibuang ke saluran umum atau sungai).
e) Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh infeksi
kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan
karena asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya
antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak, asap rokok, pengguna
insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan
asbes (Sukar, 1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar
biomassa yang menimbulkan asap yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia,
seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini
tergantung pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb
dan Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan
menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini akan
menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).
(2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui bersifat
karsinogenik adalah benzo-a-pyrene (Anwar, 1992).
(3) Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan
bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan
air mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar, 1992).
(4) Carbonmonoksida(CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang
disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk
COHb (Anwar, 1992).
(5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah
kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influenza)
(Anwar, 1992).
(6) Sulfurdioksida(SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam
sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).
Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya
ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan
polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus
menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi (Anwar, 1992).
f) Kebiasaan merokok dalam rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah
perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun
menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru
perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya
(Dachroni, 2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung
rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap
sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau
asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok
pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota
keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakit anginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit
saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang
tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin
2)
a)
b)
c)
di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan
mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2003).
Bahan bangunan Rumah
Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media yang baik untuk
perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA. Usaha yang perlu dilakukan untuk
menghindari bakteri atau virus infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari
bahan kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster atau
memasang ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan (Departemen Pekerjaan Umum,
1985).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 tentang hubungan antara lantai rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta bahwa lantai rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat mempengaruhi kejadian ISPA dengan didapatkan nilai p (0,025) lebih kecil
dari nilai (0,05). Dari sampel penelitian yang diteliti memperlihatkan bahwa, rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 13 rumah sedangkan lantai rumah yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 24 rumah.
Dinding
Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara vertikal dengan fungsi
sebagai pemisah antar ruang dalam rumah dengan ruang luar rumah. Dinding rumah yang
sehat menggunakan tembok yang terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding
rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
bambu, hal ini akan mempersulit untuk dibersihkan sehingga menyebabkan penumpukan
debu dan menjadi media yang baik untuk perkembangan bakteri seperti bakteri penyebab
ISPA (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding rumah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan mempunyai hubungan erat dengan kejadian ISPA dengan nilai p
(0,00) lebih kecil dari nilai (0,05). Dari beberapa responden yang diteliti didapatkan
responden yang terinfeksi penyakit ISPA dan menggunakan dinding rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 5 rumah dan responden yang terkena ISPA dan menggunakan
dinding rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 32 rumah.
Atap
Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan
yang ada dibawahnya terhadap pengaruh panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan
perlindungan. Atap rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan menggunakan
plafon atau langit-langit agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah ataupun panas
matahari. Atap rumah yang terbuat dari genteng akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta
masyarakat juga dapat membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten
Maluku Tenggara menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA yang
menggunakan atap rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 21 rumah.
d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan
kelembaban udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya
lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):
(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2)
Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran
sampah atau asap kendaraan bermotor serta debu.
(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4)
Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di
Desa Penjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah
yang baik sebanyak 10
f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.
Kurangnya cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang
nyaman, juga merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit
penyakit. Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata
(Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:
(1) Cahaya alamiah
Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak
terhalang oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya matahari
dapat mengurangi kelembaban dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman
penyebab penyakit seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurangkurang 10-20% dari luas lantai rumah (Kasjono, 2011).
(2) Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu minyak, listrik, gas dan
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat
ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi yang baik,
sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari
luas lantai rumah. Kuat sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar
antara 50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat penyinaran untuk penerangan seperti dapur
memerlukan 200 lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar
berkisar 100 lux (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara kondisi fisik kamar hunian
dengan kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak 10 rumah
sedangkan responden yang terkena ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27 rumah.
g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian kusus dari penghuni
rumah. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit
basah, hal ini akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA.
Kelembaban rumah yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau
lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi square untuk hubungan
antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan
nilai p (0,883) lebih kecil dari nilai (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan menunjukan responden
yang terkena ISPA mempunyai kelembaban rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan
responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena kuman biasanya
bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan bantuan tekanan oksigen dan suhu dari
lingkungannya. Dalam mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan
rumah tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup tinggi maka akan
membahayakan bagi kesehatan (Sanropie, 1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4 dari temperatur
udara luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c
sudah cukup segar (Sanropie, 1989).
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
ISPA
1.
2.
3.
4.
Variabel pengganggu
Nutrisi
Status imunisasi
Status ekonomi
Pendidikan
Keterangan :
Variabel yang diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode penelitian
observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana
variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian
diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan
adalah korelasional deskriptif
mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang
ada yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
B.
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 1-4 tahun yang
terdaftar di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal
04 April 2013 yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 37 orang.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini
adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.
3. Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada
atau tersedia (Notoatmodjo, 2005).
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:
a.
b.
c.
2.
Baik : 7-9
Sedang
: 4-6
Buruk : 1-3
Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.
d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan pertanyaan
dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang dijadikan dasar pertimbangan
dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data yang ditabulasi kemudian dianalisis.
2. Rencana Analisis Data
Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan Analisis
Univariat dan Bivariat .
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan variabel terikat
yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi lingkungan rumah dari hasil penelitian.
Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent) yaitu hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat
yaitu dengan menguji masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis
dengan tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
e.
f.
g.
h.
2.
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
DAFTAR PUSTAKA
Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media
Kesehatan Indomesia No XIV.
Promosi
Promosi
Jakarta:
Informasi
RI.
Provinsi
Offset.
ISPA
di
Kementrian
Yogyakarta: Dinas
Keperawatan.
Sistem
Republik
Utama.
Jakarta:
Kesehatan
Control of
Sakit
Tambahkan komentar
library
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
Apr
20
ISPA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat
serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO
melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia,
jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian
akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang
berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia
tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per
tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes RI,
2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2
juta kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal
setiap harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga
perempatnya terjadi pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat
keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI,
2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa
tidak, selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%35,9%. Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4
tahun (AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau
sebesar 30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti
secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA.
Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA
pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI,
2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari
jumlah kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota.
Sampai dengan awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA
mengunjungi puskesmas dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan
prosentase penyakit ISPA di setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari
seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk tahun 2010, menemukan angka kematian
balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk bayi laki-laki 20 bayi per
1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000 kelahiran hidup
(Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas
lebih di dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti
penyakit ISPA diantaranya infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB
sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut
sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat
dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu bronchitis dan
bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut sebanyak 278
kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma sebanyak 150 kasus,
pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid sebanyak 39
kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama
diantara 10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA
yang terdaftar di Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini
menurun ditahun 2012 yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita,
itu berarti rata-rata balita yang terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3
sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita yang positif karena penyakit
dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat
dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan menurun di
tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan
yang semakin tinggi pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu
faktor yang memberikan kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab
bagaimanapun juga faktor dominan penyebab penyakit ISPA adalah persoalan
kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran udara dalam rumah,
pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air minum yang
kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru,
terdapat begitu banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam
lingkungan yang tidak sehat dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan
Riskesdas 2010 dimana secara nasional pencapaian terhadap fasilitas sanitasi
lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%, presentase paling tinggi di Provinsi
DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).
Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan
hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%)
(Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang
hanya sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata,
juga menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah
manapun kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di
wilayah Daerah Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh
bahwa persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan
persentase rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang
menghancurkan sebagian rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah
yang rubuh tersebut mengakibatkan kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya
sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah sehat di Kota Yogyakarta atau di
setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah
rumah di Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa
sebanyak 84.085 rumah (37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat
sebanyak 69.823 rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah
rumah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa
sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat
berjumlah 1332 (79,19%).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu Adakah hubungan
antara sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik
I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a.
Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
b.
Yogyakarta.
Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan
bagi puskesmas tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam
menjaga kebersihan sanitasi lingkungan rumah seperti membuang sampah
pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah tangga, menjaga kebersihan
lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga pencahayaan
dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau
anak usia kurang dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak
masih tergantung penuh kepada orangtuanya untuk melakukan kegiatan
sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan lain, seperti
berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia balita
tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang
manusia, bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan
2)
3)
sel serta jaringan intraseluler, seperti meningkatnya berat badan dan tinggi
badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala, muncul dan bertambahnya gigi
dan
gerahang,
menguatnya
tulang
dan
membesarnya
otot-otot,
secara
perlahan-lahan,
bertahap,
dan
terpola
secara
baik,
salah
satu
caranya
dengan
mengamati
grafik
pertambahan berat badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju
sehat (KMS). Sebaliknya jika yang terlihat merupakan gejala penurunan
ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau hambatan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif,
artinya pada diri balita akan berlangsung proses peningkatan dan
pematangan (maturasi), baik itu kemampuan personal maupun kemampuan
sosil (Suririnah, 2006).
1)
Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan
segenap fungsi alat-alat pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya
yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan meliputi;
a)
b)
c)
d)
e)
2)
Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari
kemampuan personal yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita
akan berhubungan degan beragam aspek lingkungan sekitar yang
membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah
berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak
bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia belum pandai dalam
berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah,
2006).
3)
dini
merupakan
kegiatan
orangtua
memberikan
kecerdasan
intrapribadi
(intrapersonal),
kecerdasan
Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu
infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14
hari walaupun beberapa penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari
(Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembangbiak yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran
pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA adalah
proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau
spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran
pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa,
penyakit ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan, baik saluran
pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
bakteri
patogen
seperti
pneumokokus,
sreptokokus,
penyakit
difteria
adalah
kuman
diphtheriae
merupakan
penyakit
yang
disebabkan
bordetella
Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae
(20%) dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain
adalah Staphylococcus aureaus dan Klebsiella pneumonia, sedangkan
virus yang sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial
f.
Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan
atau mengurangi faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu
dengan melakukan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi,
pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis
dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan
waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama
pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan
asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi
udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian
derajat
sosio-ekonomi
dapat
mengurangi
tubuh
menyebabkan
yang
kurang.
Penyakit
balita
tidak
mempunyai
infeksi
nafsu
sendiri
makan
akan
dan
pada
anak
di
negara
berkembang.
Vaksin
Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat
diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di
bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol
diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari.
Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian
digerus dan diminumkan, memberikan kompres, dengan menggunakan
kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air (tidak perlu di
tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya
ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur
dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali
sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3) Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit
tetapi sering, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi
yang menyusui tetap diteruskan (Kusbiyantoro, 2009).
4) Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan
sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu
mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah
parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu
tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Membersihkan
hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan
dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama
perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk
b.
dan
PDAM/PAM
(Direktorat
Jenderal
Penyehatan
harus
ditangani
oleh
instalatur
yang
Konstruksi
bangunan
air
maupun
jaringan
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak
inlet perlu dipasang lubang untuk pemeriksaan dan pengurasan.
Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air
minimal 400 liter/hari, kalau peresapan tersebut hanya dipakai
untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau
peresapan tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari
cucian dan kamar mandi, maka daya resapnya harus mampu
untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis
tanahnya. Oleh karena itu untuk daerah-daerah yang jenis
tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari
tanah tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang
resap yang dibutuhkan. Jenis tanah yang sulit meresapkan air
atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya
warnanya hitam), tanah lempung, tanah berkapur atau batuan
kapur. Untuk menyelidiki daya serap tanah dapat dilakukan
pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba
langsung di lapangan. Apabila akan dicoba langsung di
lapangan maka sebaiknya dilakukan pada waktu musim hujan
(agar
pengadaan
tanah
dalam
keadaan
yang
terjelek)
(1)
(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut
dimasukan ke rembesan
(3)
e) Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain
disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran
udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur.
Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas
penghuninya antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk
memasak, asap rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar
dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes
(Sukar, 1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh
pembakaran bahan bakar biomassa yang menimbulkan asap yang
berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa
mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe),
mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk
langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan kimia
dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus.
Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersifat akumulatif,
paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama
akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut
dalam alat pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh
yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).
akut
inhalasi
CO
adalah
berkurangnya
d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa
menggantikan udara ruangan yang sudah terpakai dengan udara
yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan kelembaban udara
dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan
seharusnya lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie,
1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono,
2011):
(1)
(2)
(3)
(4)
sebanyak 10
f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak lebih. Kurangnya cahaya, terutama cahaya
matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang nyaman, juga
merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibitbibit penyakit. Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau
dan akhirnya merusak mata (Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:
g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat
perhatian kusus dari penghuni rumah. Kelembaban yang tinggi akan
menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit basah, hal ini
akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut.
Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA. Kelembaban rumah
yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40%
atau lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi
square untuk hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan nilai p (0,883) lebih
kecil dari nilai (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA
dengan menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai
kelembaban rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan
responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah
baik sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena
kuman biasanya bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan
bantuan tekanan oksigen dan suhu dari lingkungannya. Dalam
mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan
rumah tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah
cukup tinggi maka akan membahayakan bagi kesehatan (Sanropie,
1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih
rendah 4 dari temperatur udara luar ruangan. Untuk daerah tropis
umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c sudah cukup segar
(Sanropie, 1989).
B.
Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
ISPA
1.
2.
3.
4.
Variabel pengganggu
Nutrisi
Status imunisasi
Status ekonomi
Pendidikan
Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti :
D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang
berbentuk angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi.
Metode penelitian observasional dan menggunakan rancangan cross sectional
yaitu suatu penelitian dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau
kasus yang terjadi pada objek penelitian diobservasi dalam waktu yang
bersamaan
(Notoatmodjo,
2005).
Pendekatan
yang
digunakan
adalah
B.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen
dalam penelitian ini adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
E.
Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa
benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah
dikategorikan:
a. Baik
: 7-9
b. Sedang
: 4-6
c. Buruk
: 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas
medis lainnya di Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen
dalam penelitian ini berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni
serta luas ventilasi rumah dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta
suhu ruangan dan lux meter untuk mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di
dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan alat
observasi berupa check list yaitu suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan
beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2005).
adalah
mengklasifikasikan
jawaban-jawaban
dari para
yaitu
dengan
menguji
masing-masing
variabel
dengan
I.
Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal
d.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.
BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Cipta.
Metodelogi
Penelitian
Ilmu
World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and
Control of Pneumonia. Ge-neva: WHO.
Rumah
Tambahkan komentar
2.
Apr
20
sriktur uretra
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat
diselesaikan. Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat
sebagai tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun
literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi
persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan
mengalami hidronefrosis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.
2. Tujuan Khusus
a.
d.
e.
BAB II
TINAJUAN TEORI
A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal
dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal
(Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
B.
Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di
negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini,
misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.
D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.
2. Batu
3. Neoplasma/tomur
4. Hipertrofi prostat
5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra
6. Penyempitan uretra
7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).
E.
Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik
sehingga tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung
kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi
terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu
ginjal
yang
rusak.
Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang
terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi
dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut
akibat obses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan
dapat sebagai akibat dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi
ginjal
yang
salah
yang
menyebabkan
ureter
kaku.
Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada
kehamilan akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi
urine di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat
ini, atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap
maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori)
akhirnya fungsi renal terganggu (Smeltzer, 2001).
F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
G. Pemeriksaan Penunjang
d.
e.
3. Imaging Studies:
a.
Voiding Cystourethrogram :
a.
b.
Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,
vesikoureteral refluk
5.
H. Komplikasi
1. Gagal ginjal
2. Batu saluran kemih
I.
Penatalaksanaan
Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan
(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).
b.
Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.
2.
b.
c.
J.
Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk
rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pola aktivitas
Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut
bawah dan pinggang.
f.
g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan
siapa saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
h. Pola eliminasi muksi dan defekasi
Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan
BAK terganggu.
i.
j.
7. Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan
BAK.
d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
bantu pernafasan, suara nafas tambahan.
e.
Sistem kardiovakuler
Biasanya tidak mengalami gangguan
f.
Sistem perkemihan
Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang
timbul.
g. Sistem pencernaan
Meliputi adanya mual, muntah.
h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.
2.
3.
4.
5.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter
Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian
bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5).
Pasien mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri
pinggang kiri 2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan
cemas. Turgor kulit tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien
mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut
akan penyakitnya dan sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak. Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
: 15 November 2012
Biodata :
Pasien
Nama
: Tn. A
Umur
:46 th
Agama
:Islam
Pendidikan
:SMA
Pekerjaan
:Wiraswasta
Status Pernikahan
:Menikah
Alamat
Tanggal masuk RS
Diagnosa Medis
:Hidronefrosis
Penanggung Jawab
Nama
:Ny. B
Agama
:Islam
Pendidikan
:S1
Pekerjaan
:PNS
Status Pernikahan
:Menikah
Alamat
B.
Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).
C.
Riwayat kesehatan
1.
2.
3.
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang
dialaminya.
D.
GENOGRAM
Keterangan:
: Laki-laki meninggal
: Laki-laki
: Perempuan meninggal
: Perempuan
: Pasien
: Tinggal serumah
E.
sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah
sakit kemampuan ADL klien masih aktif .
2.
Tidur dan istirahat
Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur
siang. Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna
cemas terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur
menjelang tidurnya.
3.
4.
profokatif
Paliatif
b. Quality
: seperti tertusuk-tusuk
c. Region
d. Scale
: skala 5
e. Time
Nutrisi
IV line
= 250cc/hari
Balance cairan
= input output
= (800 + 250) ( 750 + 600 )
= 1050 1350
= 300 cc
6.
Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.
7.
Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.
8.
Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau
600 cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas
(amoniak), dan klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien
menggunakan kateter dan kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah
aktif.
F.
Pemeriksaan Fisik :
1.
Keadaan Umum :
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
TD
: 130/90 mmHg,
Nadi
: 110 x/mnt,
Irama
: ireguler
Respirasi frekuensi
: 25 x/mnt,normal
Suhu
: 37 oC
2.
Kepala :
Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah
oval. Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak
ikterik), kornea : keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan
( + ) dan kiri ( +), palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki
6/6.Keadaan hidung ; tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada
polip, tidak ada sputum deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan
telinga ; ki/ka simetris, tidak ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri
tekan. Keadaan mulut ; gigi normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu,
bersih dan tidak ada caries gigi. Mukosa bibir pucar dan kering.
3.
4.
5.
6.
Leher
kaku kuduk,
Tenggorokan
Bentuk dada
Pulmo:
Inspeksi
:Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi
dada, tidak ada penggunaan otot bantu napas.
Palpasi
Perkusi
:Sonor
Auskultasi
7.
Inspeksi
:-
Palpasi
Perkusi
Bunyi
: pekak
Auskultasi
8. Abdomen:
Inspeksi
merupakan
sebuah
ujian
menghadapinya.
ANALISA DATA
dan
berusaha
untuk
tegar
Nama klien
: Tn. A
No. Register
Umur
: 46 th
TGL/JAM
15-11-2012
DATA FOKUS
DS:
: 08130430
ETIOLOGI
Adanya sumbatan
07.00
PROBLEM
Gangguan
keseimbangan cairan
: 130/90 mmHg
15-11-2012
DS:
07.05
Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri
Nyeri akut
mengatakan
nyeri
: 130/90 mmHg
15-11-2012
DS :
07.10
Kurangnya informasi
tentang proses penyakit
DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD
: 130/90 mmHg
RR 25 x/mnt
Ansietas
Suhu : 37 oC
1.
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input output = 300 cc
2.
per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:
3.
RENCANA TINDAKAN
Nama klien
: Tn. A
No. Register
: 08130430
Umur
: 46 th
Alamat
N
o
1
Dx
Gangguan
keseimbanga
n cairan
berhubungan
dengan
adanya
sumbatan
Intervensi
Rasionalisasi
Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
1. Dengan memonitor
TTV dapat
tindakan keperawatan
mengetahui
kepada Tn.A selama
perkembangan
3x24 jam klien akan
2. Pantau intake dan output pasien
menunjukkan tidak ada klien
2. Dengan pantauan
tanda-tanda gangguan
intake dan output
keseimbangan cairan
perawat bisa
mengetahui apakah
dengan kriteria hasil:
3.
Kolaborasi
untuk
asupan cairan sama
Nafsu makan dan
pemberian antidiuretik
dengan cairan yang
minum serta BAK
dikeluarkan
3. Dengan kolaborasi
kembali normal.
pemberian
TD : 120/80 mmHg
antidiuretik
diharapkan urin bisa
Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
o
lancar sehingga
Suhu: 37 C
mengurangi adanya
edema.
RR : 16-24x/mnt
Turgor kulit tampak
elastis
dan
mukosa
mulut
klien
terlihat
lembab
Balance cairan input
dan
output
kembali
normal
Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.
Nama/
TTD
Charles
Nyeri
berhubungan
dengan Agen
injuri
biologis.
Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
tindakan keperawatan
kepada Tn. A selama 3x
24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan klien
berkurang dengan
2. Kaji tingkat nyeri
criteria hasil:
Klien tidak mengeluh
Ansietas
berhubunga
n dengan
kurangnya
informasi
tentang
proses
penyakit.
Setelah dilakukan
1. Kaji tingkat
1. Untuk mengetahui berat
kecemasaan
ringannya kecemasan
tindakan keperawatan
klien sehingga dapat
kepada Tn. A selama 1x
ditentukan tindakan yang
24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan
sesuai untuk klien.
tidak cemas lagi dengan
klien untuk
2. Dengan memberikan
kriteria hasil :
mengungkapkan
kesempatan pada klien
perasaannya.
untuk mengungkapkan
perasaannya, klien
Klien sudah tidak cemas
diharapkan mempunyai
lagi
semangat dan mau
Klien bisa tidur dengan 3. Beri penjelasan
berempati terhadap
kepada
keluarga
pengobatannya.
aman dan nyaman
dan pasien tentang3. Dengan memberikan
N: 60-100x/menit
penyakitnya.
penjelasan tentang
penyakit kepada klien
TD : 120/80 mmHg
dan keluarga dapat
meningkatkan
RR: 16-24x/mnt
pemahaman mereka
sehingga dapat
charle
mengurangi kecemasan.
Suhu : 37 oC
CATATAN PERKEMBANGAN
Ruang : Melati I
HARI I
No Dx
Tanggal
Jam
Implementasi
Evaluasi
Nama
TTD
15-11-2012
09.00
09.30
10.00
15-11-2012
09.00
09.25
10.00
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak tidak
O:intake dan output belum
elastis dan mukosa mulut
seimbang
kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan
Balance urin input-output
obat tsb
belum seimbang. TD:
O:klien terlihat minum obat
130/90 mmHg, Nadi: 110
yang diberikan
x/mnt, RR: 25x/mnt, Suhu:
37 oC
Charle
1. Memonitor TTV
S:O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
bawah saat berkemih. klien
2. kaji tingkat nyeri
mengatakan skala nyerinya
S : klien mengatakan skala
5
nyerinya 5
O: klien terlihat sedikit pucat
dan gelisah.
O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman
A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien
P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman
dan 5
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan ototototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan
Vian
11.00
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
15-11-2012
09.30
10.00
10.30
11.00
1. Mengkaji tingkat
Pukul 11.00 WIB
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
pengetahuan tentang
tampak pucat.
penyakitnya. klien
2. Memberi kesempatan
mengatakan sudah tidak
klien untuk
mengungkapkan
cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
gelisah lagi. Klien terlihat
O: klien tampak bingung
tidur dengan nyaman.
3. Beri penjelasan kepada
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya.
A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan
P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.
Ayub
HARI II
No Dx
Tanggal
Jam
16-11-2012
09.00
09.30
Implementasi
Evaluasi
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sedikit lancar dan tidak
24x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output
elastis dan mukosa mulut
belum seimbang
sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
Balance urin input-output
S:O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
120/80 mmHg, Nadi: 100
yang diberikan
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC
Nama/T
D
Charles
10.00
2
16-11-2012
09.00
09.25
10.00
Vian
11.00
HARI III
No Dx
Tanggal
Jam
Implementasi
Evaluasi
Nama/T
D
17-11-2012
09.00
09.30
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sudah lancar dan tidak
22x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
cc/kgBB/jam
lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
Balance urin output sudah
S:O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
yang diberikan
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC
Charles
A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00
17-11-2012
09.00
09.25
1. Memonitor TTV
Pukul 12.00 WIB
S:O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
berkemih,
2. kaji tingkat nyeri
klien mengatakan skala
S : klien mengatakan skala
nyerinya 3
nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk
O :pasien terlihat segar
teknik relaksasi napas
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan ototSuhu: 37 oC
ototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.
A : tujuan tercapai
Ayub
10.00
10.30
4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
P : pertahankan intervensi
S: O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu
A. Pengkajian
Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu
perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di
ruangan dan dokter serta data-data yang ada di catatan medis klien.
Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori , akan tetapi di sesuaikan dengan
kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga
cukup terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga
dan perawat sehingga mempermudah perawat dalam mengkaji klien dan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab
pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat
pada saat pengkajian hidronefrosis pada Tn. A
Kesadaran: klien dalam kesadaran kompos mentis
Tekanan darah
: 130/90 mmhg
Suhu
: 37C
Nadi
: Frekuensi
Irama
: Tidak teratur
Kedalaman
: Teraba jelas.
Pernafasan
: Frekuensi
Irama
: Teratur
: 110 x/menit
: 25 x/menit
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :
1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan
ditandai klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit.
TD
: 130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak
tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input
output = 300 cc per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan
Klien mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan
Skala nyeri 5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90
mmHg. Nadi: 110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada
istrinya apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan
susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak
pucat dan cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.
Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna
pembuatan rencana
seluruh perencanaan
tindakan yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung
oleh perawat yang kompeten di bidangnya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain
keterbatasan sumber
referensi buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.
E.
Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap
evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan,
menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan
asuhan keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah
di tetapkan lebih dulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap
ginjal karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat
adanya sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan
struktural, lilitan pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu
juga, hidronefrosis bisa terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan
uretropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi :
batu di dalam ureter, tumor di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi
klinik : nyeri, demam, mual dan muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa
di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium.
Penatalaksanaan meliputi : penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan
hidronefrosis kronis, prognosisnya, pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil
jika infeksi dapat dikendalikan dan ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis
kronik belum bisa dipastikan.
B.
Saran
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada
makalah ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:
EGC.
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :
November 2012.
Tambahkan komentar
3.
Nov
29
Tambahkan komentar
4.
Nov
29
Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat
diselesaikan. Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat
sebagai tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun
literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi
persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan
mengalami hidronefrosis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perawat masa kini dituntut untuk
B.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.
2. Tujuan Khusus
a.
d.
e.
BAB II
TINAJUAN TEORI
A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal
dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal
(Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
B.
Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di
negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini,
misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.
D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.
2. Batu
3. Neoplasma/tomur
4. Hipertrofi prostat
5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra
6. Penyempitan uretra
7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).
E.
Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik
sehingga tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung
kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi
terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu
ginjal
yang
rusak.
Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang
terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi
dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut
akibat obses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan
dapat sebagai akibat dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi
ginjal
yang
salah
yang
menyebabkan
ureter
kaku.
Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada
kehamilan akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi
urine di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat
ini, atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap
maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori)
akhirnya fungsi renal terganggu (Smeltzer, 2001).
F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
G. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:
1. Urinalisis :
a.
d.
e.
3. Imaging Studies:
a.
Voiding Cystourethrogram :
a.
b.
Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,
vesikoureteral refluk
5.
H. Komplikasi
1. Gagal ginjal
I.
Penatalaksanaan
Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari
hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan serta melindungi
fungsi ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan
nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti
mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan
pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif
(batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak parah dan
hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan
(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).
b.
Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.
2.
b.
c.
J.
Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk
rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi
atau memperberat keluhan sehingga di bawa ke RS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit
yang berkenaan dengan saluran perkemihan ataupun penyakit lainya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau
penyakit menurun atau menular lainnya.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a.
Pola aktivitas
Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut
bawah dan pinggang.
f.
g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan
siapa saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
h. Pola eliminasi muksi dan defekasi
j.
7. Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan
BAK.
d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
bantu pernafasan, suara nafas tambahan.
e.
Sistem kardiovakuler
Sistem perkemihan
Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang
timbul.
g. Sistem pencernaan
Meliputi adanya mual, muntah.
h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.
2.
3.
4.
5.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter
Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian
bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5).
Pasien mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri
pinggang kiri 2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan
cemas. Turgor kulit tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien
mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut
akan penyakitnya dan sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak. Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
: 15 November 2012
Biodata :
Pasien
Nama
: Tn. A
Umur
:46 th
Agama
:Islam
Pendidikan
:SMA
Pekerjaan
:Wiraswasta
Status Pernikahan
:Menikah
Alamat
Tanggal masuk RS
Diagnosa Medis
:Hidronefrosis
Penanggung Jawab
Nama
:Ny. B
Agama
:Islam
Pendidikan
:S1
Pekerjaan
:PNS
Status Pernikahan
:Menikah
Alamat
B.
Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).
C.
Riwayat kesehatan
1.
Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien
juga mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).
2.
3.
D.
GENOGRAM
Keterangan:
: Laki-laki meninggal
: Laki-laki
: Perempuan meninggal
: Perempuan
: Pasien
: Tinggal serumah
E.
sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah
sakit kemampuan ADL klien masih aktif .
2.
Tidur dan istirahat
Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur
siang. Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna
cemas terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur
menjelang tidurnya.
3.
profokatif
Paliatif
b. Quality
: seperti tertusuk-tusuk
c. Region
d. Scale
: skala 5
e. Time
4.
Nutrisi
Selera makan pasien berkurang,ia hanya mengahabiskan 1/3 porsi makannya.
Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak
menghabiskan porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan
170 cm. IMT = BB / (Tinggi badan(m))2 = 50 kg / (1.7 m) 2 = 17.3. Berarti pasien
tergolong kurus.
5.
Cairan, elektrolit dan asam basa
a. Frekuensi minum : Konsumsi air/hari : 800 cc/hari
b. Turgor kulit
: Tidak elastik
c. Support IV Line
: Ya
IWL selama 24 jam
= 15 cc per kg BB
= 15 x 50
= 750 cc
Urine ouput
IV line
= 250cc/hari
Balance cairan
= input output
Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.
7.
Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.
8.
Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau
600 cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas
(amoniak), dan klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien
menggunakan kateter dan kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah
aktif.
F.
Pemeriksaan Fisik :
1.
2.
Keadaan Umum :
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
TD
: 130/90 mmHg,
Nadi
: 110 x/mnt,
Irama
: ireguler
Respirasi frekuensi
: 25 x/mnt,normal
Suhu
: 37 oC
Kepala :
Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah
oval. Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak
ikterik), kornea : keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan
( + ) dan kiri ( +), palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki
6/6.Keadaan hidung ; tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada
polip, tidak ada sputum deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan
telinga ; ki/ka simetris, tidak ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri
tekan. Keadaan mulut ; gigi normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu,
bersih dan tidak ada caries gigi. Mukosa bibir pucar dan kering.
3.
Leher
kaku kuduk,
Tenggorokan
Bentuk dada
4.
5.
6.
Inspeksi
Pulmo:
:Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi
dada, tidak ada penggunaan otot bantu napas.
:Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama,
Palpasi
:Sonor
Auskultasi
7.
Inspeksi
:-
Palpasi
Perkusi
Bunyi
: pekak
Auskultasi
8. Abdomen:
Inspeksi
merupakan
menghadapinya.
sebuah
ujian
dan
berusaha
untuk
tegar
ANALISA DATA
Nama klien
: Tn. A
No. Register
Umur
: 46 th
TGL/JAM
DATA FOKUS
: 08130430
ETIOLOGI
PROBLEM
15-11-2012
DS:
Adanya sumbatan
07.00
Gangguan
keseimbangan cairan
: 130/90 mmHg
15-11-2012
DS:
07.05
Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri
sejak 1,5 bulan dengan Skala
nyeri 5.
Klien
mengatakan
nyeri
Nyeri akut
DO:
TD
: 130/90 mmHg
15-11-2012
DS :
07.10
Kurangnya informasi
tentang proses penyakit
DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD
: 130/90 mmHg
RR 25 x/mnt
Suhu : 37 oC
Ansietas
1.
130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input output = 300 cc
2.
per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:
3.
RENCANA TINDAKAN
Nama klien
: Tn. A
No. Register
Umur
: 46 th
Alamat
: 08130430
N
o
Dx
Intervensi
Rasionalisasi
Nama/
TTD
Gangguan
keseimbanga
n cairan
berhubungan
dengan
adanya
sumbatan
Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
1. Dengan memonitor
TTV dapat
tindakan keperawatan
mengetahui
kepada Tn.A selama
perkembangan
3x24 jam klien akan
2. Pantau intake dan output pasien
menunjukkan tidak ada klien
2. Dengan pantauan
tanda-tanda gangguan
intake dan output
keseimbangan cairan
perawat bisa
mengetahui apakah
dengan kriteria hasil:
3.
Kolaborasi
untuk
asupan cairan sama
Nafsu makan dan
pemberian antidiuretik
dengan cairan yang
minum serta BAK
dikeluarkan
3. Dengan kolaborasi
kembali normal.
pemberian
TD : 120/80 mmHg
antidiuretik
diharapkan urin bisa
Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
o
lancar sehingga
Suhu: 37 C
mengurangi adanya
edema.
RR : 16-24x/mnt
Charles
dan
mukosa
mulut
klien
terlihat
lembab
Balance cairan input
dan
output
kembali
normal
Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.
2
Nyeri
berhubungan
dengan Agen
injuri
biologis.
Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
tindakan keperawatan
kepada Tn. A selama 3x
24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan klien
berkurang dengan
2. Kaji tingkat nyeri
criteria hasil:
Klien tidak mengeluh
nyeri perut kiri bagian
bawah
Ansietas
berhubunga
n dengan
kurangnya
informasi
tentang
proses
penyakit.
Setelah dilakukan
1. Kaji tingkat
1. Untuk mengetahui berat
kecemasaan
ringannya kecemasan
tindakan keperawatan
klien sehingga dapat
kepada Tn. A selama 1x
ditentukan tindakan yang
24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan
sesuai untuk klien.
tidak cemas lagi dengan
klien untuk
2. Dengan memberikan
kriteria hasil :
mengungkapkan
kesempatan pada klien
perasaannya.
untuk mengungkapkan
perasaannya, klien
Klien sudah tidak cemas
diharapkan mempunyai
lagi
semangat dan mau
Klien bisa tidur dengan 3. Beri penjelasan
berempati terhadap
kepada
keluarga
pengobatannya.
aman dan nyaman
dan pasien tentang3. Dengan memberikan
N: 60-100x/menit
penyakitnya.
penjelasan tentang
penyakit kepada klien
TD : 120/80 mmHg
dan keluarga dapat
meningkatkan
RR: 16-24x/mnt
pemahaman mereka
sehingga dapat
Suhu : 37 oC
mengurangi kecemasan.
charle
CATATAN PERKEMBANGAN
Ruang : Melati I
HARI I
No Dx
Tanggal
Jam
15-11-2012
09.00
09.30
Implementasi
Evaluasi
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak tidak
O:intake dan output belum
elastis dan mukosa mulut
seimbang
kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan
Nama
TTD
Charle
obat tsb
O:klien terlihat minum obat
yang diberikan
10.00
15-11-2012
09.00
09.25
10.00
10.30
1. Memonitor TTV
S:O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
bawah saat berkemih. klien
2. kaji tingkat nyeri
mengatakan skala nyerinya
S : klien mengatakan skala
5
nyerinya 5
O: klien terlihat sedikit pucat
dan gelisah.
O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman
A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien
P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman
dan 5
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan ototototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan
tehnik relaksasi napas
dalam dan distraksi kepada
pasien.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
Vian
11.00
15-11-2012
09.30
10.00
10.30
1. Mengkaji tingkat
Pukul 11.00 WIB
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
pengetahuan tentang
tampak pucat.
penyakitnya. klien
2. Memberi kesempatan
mengatakan sudah tidak
klien untuk
mengungkapkan
cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
gelisah lagi. Klien terlihat
O: klien tampak bingung
tidur dengan nyaman.
3. Beri penjelasan kepada
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya.
A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan
P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.
Ayub
11.00
HARI II
No Dx
Tanggal
Jam
16-11-2012
09.00
09.30
Implementasi
Evaluasi
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sedikit lancar dan tidak
24x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output
elastis dan mukosa mulut
belum seimbang
sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
Balance urin input-output
S:O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
120/80 mmHg, Nadi: 100
yang diberikan
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC
Nama/T
D
Charles
10.00
2
16-11-2012
09.00
Vian
09.25
10.00
10.30
11.00
HARI III
No Dx
Tanggal
Jam
17-11-2012
09.00
09.30
Implementasi
Evaluasi
1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sudah lancar dan tidak
22x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
cc/kgBB/jam
lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
Balance urin output sudah
S:O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
yang diberikan
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC
Nama/T
D
Charles
A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00
17-11-2012
09.00
1. Memonitor TTV
Ayub
09.25
10.00
10.30
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu
A. Pengkajian
Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu
: 130/90 mmhg
Suhu
: 37C
Nadi
: Frekuensi
Irama
: Tidak teratur
Kedalaman
: Teraba jelas.
Pernafasan
: Frekuensi
Irama
: Teratur
: 110 x/menit
: 25 x/menit
tentukan diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan
kasus tidak ada kesenjangan.
B.
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :
1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan
ditandai klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit.
TD
: 130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak
tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input
output = 300 cc per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan
Klien mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan
Skala nyeri 5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90
mmHg. Nadi: 110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada
istrinya apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan
susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak
pucat dan cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.
Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna
pembuatan rencana
seluruh perencanaan
tindakan yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung
oleh perawat yang kompeten di bidangnya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain
keterbatasan sumber
referensi buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.
E.
Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap
evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan,
menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan
asuhan keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah
di tetapkan lebih dulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap
ginjal karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat
adanya sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan
struktural, lilitan pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu
juga, hidronefrosis bisa terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan
uretropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi :
batu di dalam ureter, tumor di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi
klinik : nyeri, demam, mual dan muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa
di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium.
Penatalaksanaan meliputi : penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan
hidronefrosis kronis, prognosisnya, pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil
jika infeksi dapat dikendalikan dan ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis
kronik belum bisa dipastikan.
B.
Saran
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada
makalah ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:
EGC.
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :
November 2012.
ASKEP KMB
Minggu, 05 Agustus 2012
Askep pada Klien Fraktur
I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh
kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi
anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).
II. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran
(bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi
simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi
immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ;
Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia
malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obatobatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi,
antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi
koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata
maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 :
17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson,
2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka /
ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994:20)
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan
jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling
umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter
dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup
obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal
lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A
tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah
hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine
M. Willson, 2005).
Penyebab
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan
gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah
kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Kuman
dengan
penyakit
Reaksi
streptococcus.
autoimun
lain.
obat.
Bakteri.
Virus.
a.
Faringitis
b.
c.
Sakit
d.
e.
Nyeri
f.
g.
h.
i.
Edema
j.
Oliguria,
proteinuria,
dan
(Sandra M. Nettina, 2001).
atau
urine
berwarna
tansiktis.
Demam.
kepala.
Malaise.
panggul.
Hipertensi.
Anoreksia.
Muntah.
akut.
cokelat.
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus).
Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan
kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak
dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman
streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis
sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen,
menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M.
Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a.
Urinalisis
b.
Laju
filtrasi
glomerulus
c.
Nitrogen
urea
darah
(BUN)
dan
kreatinin
d.
Pielogram
intravena
e.
Biopsi
f.
Titer
antistrepsomisin
O
(Sandra M. Nettina, 2001).
(UA).
(LFG).
serum.
(PIV).
ginjal.
(ASO).
6. Penatalaksanaan
a.
Manifestasi
diet:
Pembatasan
cairan
dan
natrium.
Pembatasan
protein
bila
BUN
sangat
meningkat.
b.
Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis
progresif
cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
Dialisis,
untuk
penyakit
ginjal
tahap
akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a.
b.
Dekopensasi
Hipertensi.
jantung.
c.
GGA
(Sandra M. Nettina, 2001).
(Gagal
Ginjal
Akut).
B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan
interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara
hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b.
Obstruksi
urinari
track.
c.
Refluks.
d.
Kehamilan.
e.
Kencing
manis.
f.
Keadaan-keadaan
menurunnya
imunitas
untuk
melawan
infeksi.
(Barbara
Engram,
1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai
menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra.
Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa,
dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan
pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut,
inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula
mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi.
Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik
muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan
degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat
berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a.
b.
c.
USG
d.
e.
f.
(Barbara Engram, 1988).
Whole
dan
Serum
Blood.
Urinalisis.
Radiologi.
BUN.
Kreatinin.
Selectrolytes.
6.
a.
b.
c.
(Barbara
7. Penatalaksanaan
Nekrosis
papila
Abses
Engram,
Komplikasi
ginjal.
Fionefrosis.
perinefrit.
1988).
a.
Terapi
antimikroba
spesifik
organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian
disesuaikan
berdasarkan
hasil
kultur
urine.
Pengobatan
dilakukan
2
minggu
atau
lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien
tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati
abses
renal
atau
abses
perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2.
Kardivaskular
:
hipertensi.
3.
Neurologis
:
letargi,
iritabilitas,
kejang.
4.
Gastrointestinal
:
anoreksia,
azotemia,
hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia)
berhubungan
dengan
infeksi
pada
ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria
Hasil
:
Pasien
bisa
berkemih
secara
normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
Ukur
dan
catat
urine
setiap
kali
berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui
input/output.
Anjurkan
untuk
berkemih
setiap
2-3
jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
Palpasi
kandung
kemih
setiap
4
jam.
Rasional
:
Untuk
mengetahui
adanya
distensi
kandung
kemih.
Bantu
klien
ke
kamar
kecil,
memakai
pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan
:
Kebutuhan
nutrisi
pasien
terpenuhi
dengan
cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi
akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
Sediakan
makanan
yang
tinggi
karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori
essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan
bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan
dapat
meningkatkan
nafsu
makan.
Batasi
masukan
sodium
dan
protein
sesuai
order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal
tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan
cairan.
3.
Nyeri
berhubungan
dengan
infeksi
pada
ginjal.
Tujuan
:
Nyeri
berkurang
atau
tidak
ada.
Kriteria
Hasil
:
Klien
menunjukkan
wajah
yang
rileks.
Infeksi
bisa
diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional
: Rasa
sakit
yang
hebat
menandakan
adanya
infeksi.
Berikan
waktu
istirahat
yang
cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional
:
Untuk
membantu
klien
dalam
berkemih.
Berikan
analgesik
sesuai
dengan
program
terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1.
EGC.
Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC.
Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. EGC. Jakart
Diposkan oleh gimy di 17:57 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
g. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang
pandang
menyempit
dan
kedalaman
persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan
mempengaruhi
intervensi
yang
harus
dilakukan.
h.
Pantau
pemasukan
dan
pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk
mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang
meningkatkan
TIK
(Tucker
et
al,
1998).
i. Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j. Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya edema
(Tucker et al,1998).
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan,
flaksid/paralisis
hipotonik,
paralisis
spastis.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
a. mempertahankan posisi yang optimal yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.
b. mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang
terkena.
c. mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, serta
mempertahankan
integritas
kulit.
Intervensi
:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara yang
teratur.
Klasifikasikan
melalui
skala
0-4.
0
=
pasien
tidak
tergantung
pada
orang
lain
1
=
pasien
butuh
sedikit
bantuan
2
=
pasien
butuh
bantuan/pangawasan/bimbingan
sederhana
3
=
pasien
butuh
bantuan/peralatan
yang
banyak
4
=
pasien
sangat
tergantung
pada
pemberian
pelayanan
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang
berbeda
digunakan
untuk
paralisis
spastik
dengan
flaksid.
b.
Ubah
posisi
minimal
tiap
dua
jam
(miring,
telentang).
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang
terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan
lebih
besar
menimbulkan
kerusakan
pada
kulit/dekubitus
c. Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas (bila
memungkinkan). Sokong ekstermitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki
selama
periode
paralisis.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, menurunkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah
utamanya
adalah
perdarahan.
d. Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.
Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko
terjadinya
subluksasio
lengan
dan
sindrom
bahu-lengan.
e.
Posisikan
lutut
dan
panggul
dalam
posisi
ekstensi
Rasional
:
Mempertahankan
posisi
fungsional.
f. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian
kepala)
tempat
tidur,
bantu
untuk
duduk
disisi
tempat
tidur.
Rasional : Membantu dalam melatih kembali fungsi saraf, meningkatkan respon
proprioseptik
dan
motorik.
g. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan
berat
badan
dalam
interval
yang
teratur.
Rasional : Mencegah/menurunkan tekanan koksigeal atau kerusakan kulit.
h. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema atau tanda lain dari
gangguan
sirkulasi.
Rasional : Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya
lambat.
i. Lakukan massase pada daerah kemerahan dan beri alat bantu seperti bantalan lunak
kulit
sesuai
kebutuhan.
Rasional : Titik-titik takanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk
terjadinya penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan bantalan
membantu mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus.
j. Susun tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisipasi dalam latihan
dan
mengubah
posisi.
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap perkembangan atau peningkatan dan
memeberikan
perasaan
kontrol
atau
kemandirian.
k. Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan
ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang
mengalami
kelemahan.
Rasional : Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih
terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan kembali
sebagai
bagian
dari
tubuhnya
sendiri.
l. Kolaborasikan dengan ahli fisioterapi dan obat-obatan medis dalam membantu
pemulihan
kondisi.
Rasional : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan
yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan
kekuatan.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirulasi serebral,
kerusakan
neuromuskuler,
kehilangan
tonus
otot
fasia/oral.
Kriteria
hasil
pasien
akan
:
mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi, membuat metode
komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumber-sumber
dengan
tepat.
Intervensi
:
a. Kaji derajat disfungsi, seperti klien mengalami kesulitan berbicara atau membuat
pengertian
sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi
dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
b. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang
keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata. Umpan
balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti atau
berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi isi atau makna
yang
terkandung.
c. Tunjukkan objek dan minta klien untuk menunjukkan nama dari objek tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik)
seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
d. Minta klien untuk menggucapkan suara sederhana seperti Sh atau Pus.
Rasional : Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara
(seperti : lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi.
e.
Minta
klien
untuk
menulis
nama
atau
kalimat
pendek.
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca
yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensori dan afasia
motorik.
f. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien jatak
waktu untuk merespons. Bicaralah tanpa tekanan pada sebuah respons.
Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran dan meninggikan suara dapat
menimbulkan pasien marah. Mefokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi dan
mungkin menyebabkan pasien terpaksa untuk bicara otomatis seperti :
memutarbalikkan
kata.
g. Anjurkan kepada orang terdekat untuk tetap memelihara komunikasi dengan klien.
Rasional : Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi
yang efektif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
trasmisi,
integrasi
(trauma
neurologis).
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam
kemampuan dan adanya keterbatasan residual, mendemonstrasikan perilaku untuk
mengkompensasikan
terhadap/defisit
hasil.
Intervensi
:
a. Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan
yang
menggangu ambulasi,
meningkatkan resiko
terjadinya
trauma.
b. Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala,
letakkan banda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal. Tutup mata yang
sakit
jika
perlu.
Rasional : Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda dapat membantu
masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut. Penutupan mata mungkin dapat
menurunkan
kebingungan
karena
adanya
pandangan
ganda.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabotan yang membahayakan.
Rasional : Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin dapat
menimbulkan kebingungan terhadap interprestasi lingkungan, menurunkan resiko
terjadinya
kecelakaan
d. Lindungi pasien dari suhu yang berlebih, kaji adanya lingkungan yang
membahayakan. Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang
normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
e. Hindari kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebih sesuai kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respons emosi yang berlebihan/kebingungan
yang
berhubungan
dengan
sensori
berlebihan.
f. Lakukan validasi terhadap persepsi pasien. Orientasikan kembali pasien secara
teratur pada lingkungannya, staf dan tindakan yang akan dilakukan.
mulai
mamahami
perasaan
ini.
c. Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik mengenai penyembuhan fungsi
tubuh
ataupun
kemandirian
pasien.
Rasional : Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah
dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.
d. Bantu dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol atas salah satu
bagian
kehidupan.
e. Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan
sebanyak
mungkin
untuk
dirinya
sendiri.
Rasional : Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan
meningkatkan
proses
rehabilitasi.
f. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti meningkatkan minat/pertisipasi
pasien
dalam
kegiatan
rehabilitatif.
Rasional : Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami
tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler
atau
perseptual.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
mendemostrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi
tercegah,
mempertahankan
berat
badan
yang
diinginkan
Intervensi
:
a. Kaji ulang kemampuan menalan pasien secara individual, catat luasnya paralisis
fasial, gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timbang berat
badan
secara
periodik
sesuai
kebutuhan.
Rasional : Identifikasi kemampuan menelan pasien untuk menentukan pemilihan
intervensi
yang
tepat.
b. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan
dari
luar.
c. Mulai berikan makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat
menelan air. Pilih/Bantu pasien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu
mengunyah dan mudah ditelan, contohnya : telur, agar-agar, makanan kecil yang
lunak
lainnya.
Rasional : Makanan lunak/cair kental lebih muda untuk mengendalikannya di dalam
mulut,
menurunkan
resiko
terjadinya
aspirasi.
d. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional : Menguatkan otot fasialis dan otot menelan dan menurunkan resiko
terjadinya
tersedak.
e. Pertahankan masukan dan haluan dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.
Rasional : Jika usaha menelan tidak mamadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
makanan
harus
dicarikan
metode
alternatif
untuk
makan.
f. Berikan cairan melalui IV dan/atau makanan melalui selang.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga
makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
Kriteria
evalusi
pasien
akan
:
berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang
Hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita
stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan (Doenges et al, 2000) adalah :
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis diminimalkan
atau
dapat
stabil.
2.
Komplikasi
dapat
dicegah
atau
diminimalkan.
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan
bantuan
yang
minimal
dari
orang
lain.
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa
depan.
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatanya dapat dipahami.
Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada klien membutuhkan catatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai
tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang
dialami klien baik masalah kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang
diberikan (Hidayat 2001).
Diposkan oleh gimy di 17:55 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam
posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada
stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada
penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan
dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.
Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan
dada adalah:
Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru
menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang
khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya
pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas.
Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga
akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan
memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan
menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan
panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik
pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis
menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah
tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut
lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal
menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea
para sternalis kiri.
Perkusi jantungCara perkusi
Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV
pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari
untuk menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi
ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung
merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri. Kardiomegali
dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark
miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid,
insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri
menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi
ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas.
Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema
paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang
berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.
Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi
(getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian
hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama
untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk
mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.
Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :
a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan
bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang
terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian
hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac
murmur).
Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi
yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya
pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub
(opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang
lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada
stenosis mitral.
Bunyi jantung utama
Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal
sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat
tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba
chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan
sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri
dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi
jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:
Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras
bunyinya
Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin
dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar
dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar
terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena
akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.
Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras
terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah.
Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta),
penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak
dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada
pangkal aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi
Fallot, stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen
pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial
septal depect bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi
yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan
ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh
perlambatan aliran pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal
jantung, hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang
lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi
sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi
atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi
ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut,
miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi,
regurgitasi aorta.
Bunyi jantung tambahan
Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi
dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi
aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan
terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan
karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana
katup aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick)
adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang
disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih
lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena
gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II
pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan
kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral.
Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.
Bunyi ekstra kardial
Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik
akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada
perikarditis.
Bising (desir) jantung (cardiac murmure)
Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat
vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau
diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang
teraba pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi
aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri
sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis
infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri
bagian atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati
pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan
fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat
terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan
Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh
fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid
Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan
A. Pengertian.
Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price
1985).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi
1982).
B. Insidensi
Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding
dengan patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah.
C. Penyebab Fraktur
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan
lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada underlying disesase dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
D. Tanda dan gejalanya
1.
Sakit (nyeri).
2.
Inspeksi
3.
4.
a.
Bengkak.
b.
Deformitas.
Palpasi
a.
Nyeri.
b.
Nyeri sumbu.
c.
Krepitasi.
Gerakan
a. Aktif (tidak bisa fungsio laesa).
b.
E. Patofisiologi
F. Deskripsi fraktur
1.
a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang
lain, jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.
b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain, jadi
masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada anakanak yang lazim di sebut dengan Greenstick Farcture.
3.
a.
b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/
bertemu.
c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling berhubungan
dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama, misalnya fraktur
yang terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
4.
a.
Fraktur melintang.
b.
Farktur miring.
c.
Fraktur spiral.
d. Fraktur kompresi.
e.
Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.
b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3
distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi medial, tengah, lateral.
c.
- Undisplaced.
- Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.
2.
Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
3.
4.
Fraktur patologik.
5.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation)
H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan fraktur
1.
Pengkajian
Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari
stress).
Penurunan tekanan darah akibat dari kehilangan darah.
Penurunan jumlah nadi pada bagian yang sakit, pemanjangan dari capilarry
refill time, pucat pada bagian yang sakit.
Terdapat masaa hematoma pada sisi sebelah yang sakit.
c. Neurosensori
Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada
bagian yang sakit.
Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan,
rotasi, krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.
d. Kenyamanan
Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri
akibat dari kerusakan sistem syaraf.
e. Keamanan
Laserasi kulit , perdarahan, perubahan warna.
f.
Studi diagnostik
X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.
Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan
mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan.
Ateriogram: Mungkin Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah
yang mengalami trauma.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi
nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).
8.
9.
2.
4. Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di
lakukan pemeriksan.
5. Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan
adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan
pemberian antibiotik.
7.
2.
3. Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra
indikasi.
4. Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary
refill time).
5.
6.
7.