Anda di halaman 1dari 217

ISPA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat serius
baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO melaporkan bahwa ISPA
merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia, jika dibandingkan dengan total
kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian akibat ISPA ini (99,9% terutama
Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang berkembang dan berkembang seperti Sub
Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara
sendiri terjadi 1.022.000 kasus per tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus
per tahun (Depkes RI, 2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2 juta
kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal setiap
harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga perempatnya terjadi
pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat keenam dengan jumlah kasus
ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI, 2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa tidak,
selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%-35,9%.
Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4 tahun
(AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau sebesar 30.470
kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti secara rata-rata di
Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA. Sehingga tidaklah
mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA pada peringkat kedua
sebagai penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI, 2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari jumlah
kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota. Sampai dengan
awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA mengunjungi puskesmas
dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan prosentase penyakit ISPA di
setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk
tahun 2010, menemukan angka kematian balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY,
untuk bayi laki-laki 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi
per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas lebih di
dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti penyakit ISPA
diantaranya infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB sebanyak 1.720 kasus,
faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853
kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap
puskesmas, yaitu bronchitis dan bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran
bagian atas akut sebanyak 278 kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma
sebanyak 150 kasus, pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid
sebanyak 39 kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama diantara
10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA yang terdaftar di

Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini menurun ditahun 2012
yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita, itu berarti rata-rata balita yang
terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3 sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata
kunjungan balita yang positif karena penyakit dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai
25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan
pada tahun 2011 dan menurun di tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia
tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan yang semakin tinggi
pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu faktor yang memberikan
kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab bagaimanapun juga faktor dominan
penyebab penyakit ISPA adalah persoalan kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban,
pencemaran udara dalam rumah, pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak
memadai dan air minum yang kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru, terdapat
begitu banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam lingkungan yang
tidak sehat dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan Riskesdas 2010 dimana
secara nasional pencapaian terhadap fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak hanya sebesar
55,53%, presentase paling tinggi di Provinsi DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (25,35%). Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas
sanitasi layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan
(38,55%) (Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang hanya
sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata, juga
menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah manapun
kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di wilayah Daerah
Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa
persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan persentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005,
hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang menghancurkan sebagian rumah di
beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah yang rubuh tersebut mengakibatkan
kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah
sehat di Kota Yogyakarta atau di setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah rumah di
Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa sebanyak 84.085 rumah
(37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat sebanyak 69.823 rumah (83,0%)
(Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah rumah yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa sebanyak 1628 rumah (14,97%).
Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat berjumlah 1332 (79,19%).
Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,
Sleman, DIY.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu Adakah hubungan antara
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.

a.

2. Tujuan Khusus
Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas

b.

Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.


Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan bagi puskesmas
tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan sanitasi
lingkungan rumah seperti membuang sampah pada tempatnya, membuat tempat limbah
rumah tangga, menjaga kebersihan lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah,
menjaga pencahayaan dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi
resiko kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan
Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang sehat seperti lantai yang kotor,
kelembaban, pencahayaan yang kurang, ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi
dalam rumah, pembuangan limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti
yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali. Jenis penelitian ini adalah
observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah cluster random sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada
hubungan antara ventilasi rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan
kejadian ISPA, antara lain ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001),
dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian dan rancangan
penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ayu yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial Ekonomi
Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di
Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali. Jenis penelitian ini adalah analitik
observasional dilakukan dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya
adalah anak balita dibawah 5 tahun. Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system
random sampling. Sebagai respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini adalah
ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dan factor social ekonomi dengan kejadian ISPA

pada balita di bawah 5 tahun di mana masing-masing ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah
(p=0.05), dan pendapatan keluarga (p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi penelitian,
jenis penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya yaitu variabel penelitian,
tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Penanganan Penyakit
ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis Yogyakarta. Jenis penelitian ini
adalah non eksperimen dengan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik
pengambilan sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode penelitian, rancangan
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Juwati
adalah variabel penelitian dan tempat penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau anak usia kurang
dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak masih tergantung penuh kepada
orangtuanya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan.

Perkembangan lain, seperti berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan
usia balita tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang manusia,
bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan pada masa-masa
selanjutnya. Pada masa ini, pertumbuhan balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa
ini sering disebut sebagai golden age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-4 tahun
dan anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita lebih cepat dibandingkan masa
prasekolah sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya pertumbuhannya
berlansung lebih baik (Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya sehingga
berat badan anak cenderung mengalami penurunan ditambah dengan aktivitas yang mulai
meningkat. Pada usia prasekolah juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan
teman seusianya sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson, 2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati tiga
proses yang sama (Supartiny, 2004):
1) Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya anak akan berusaha
menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2)

Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak akan lebih dulu
menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.

3)

Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar, menendang, berlari dan


lain-lain.
Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif yang artinya,
anak mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,
seperti meningkatnya berat badan dan tinggi badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala,
muncul dan bertambahnya gigi dan gerahang, menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot,
bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya (Supartiny,
2004).
Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya berlangsung secara
perlahan-lahan, bertahap, dan terpola secara proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat
adanya penambahan ukuran tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita

tersebut berlangsung baik, salah satu caranya dengan mengamati grafik pertambahan berat
badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju sehat (KMS). Sebaliknya jika yang
terlihat merupakan gejala penurunan ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan
atau hambatan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif, artinya pada diri
balita akan berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi), baik itu kemampuan
personal maupun kemampuan sosil (Suririnah, 2006).
1)

Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan
meliputi;

a)

Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca

b)

Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan menyimak pembicaraan

c)

Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk

d)

Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda kasar atau halus

e)

Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.

2)

Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari kemampuan personal
yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita akan berhubungan degan beragam aspek
lingkungan sekitar yang membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah berusia satu tahun dan
mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia
belum pandai dalam berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah, 2006).
d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi
yang meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan
kebutuhan stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).

1)

Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).


Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh kembang anak. Pada usia
balita, perkembangan dalam kemampuan untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial,
emosional dan inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan mempengaruhi tumbuh
kembang fisik maupun biologis balita. Tepat berarti makanan yang diberikan mengandung

zat-zat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi
zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya (Nelson, 2000).
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan
berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak
perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan
kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya
sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit
(Nelson, 2000).
2)

Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).


Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena itu orangtua
merupakan tempat perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Pemenuhan atas
kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi,
terutama dalam kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang tua
merupakan teladan yang baik bagi anak-anaknya karena melalui keteladanan tersebut anak
lebih mudah meniru unsur-unsur positif dan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal
mendidik anak orangtua sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang
(Nelson, 2000).

3)

Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).


Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin, bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan
agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini meliputi kegiatan
merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan
mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu,
stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain pada anak (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan
linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan
musikal, kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan
naturalis (Suririnah, 2006).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran
pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu
mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14 hari walaupun
beberapa penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari (Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak
yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran pernapasan mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh,
2001). ISPA adalah proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau
spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan (Wong,
2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, penyakit ISPA adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, baik saluran pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.
b. Jenis-jenis penyakit ISPA
Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya adalah: influenza,
sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis, bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis
paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang bayi dan anak-anak dan
penyakit ini biasanya cendrung berlansung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005).
Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh virus
haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai tanda nyeri kepala yang hebat, nyeri
otot, demam, menggigil dan anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali mengalami komplikasi
terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi sekunder bakteri patogen seperti
pneumokokus, sreptokokus, haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor
predisposisi kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan kadang-kadang bersin.
Keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung. Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret
menjadi kental dan purulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut dan
mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat menyebabkan
perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya serum dan leukosit dan jaringan
menjadi kemerahan dan mengalami pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian
atas, sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering ditemukan pada anak kecil karena sinus
frontalis belum berkembang pada anak kecil.

Jika terkena infeksi sinusitis maka akan

menyebabkan nyeri tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post nasal drip (Hull,
2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan serosa sampai purulen
melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri dan tertekan di atas sinus yang tertekan
akibat tersumbatnya ostium sehingga timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti
yeri kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut, penciuman
terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat menjalar ke kelopak mata
(Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang

faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang di sekitarnya,

sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil, sehingga disebut sebagai
tonsilofaringitis akut dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat nyeri di tenggorokan,
mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai otalgia, demam tinggi dan pembesaran
kelenjar submandibula (Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja, tetapi pada anak berbeda
karena disertai batuk keras, suara serak sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus, streptococcus viridans,
pneumokokus, staphylococcus hemolyticus. Proses radang pada laring dipermudah oleh
trauma, bahan kimia, radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).
Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya infeksi ini disebabkan
oleh infeksi virus pada saluran pernapasan terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung
menyebar ke saluran penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus,
sulit bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung lebih berat pada bayi
(Hull, 2008).

Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek, nyeri menelan, dan
pada waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas sampai stridor. Bila penyakit berlanjut
terus akan terdapat tanda obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas
bertambah berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah, 2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering menyerang saluran pernafasan
bagian atas, dengan tanda kas timbulnya pseudomembran.
Penyebab penyakit difteria adalah kuman diphtheriae corynebacterium, bersifat gram
positif, tidak bergerak dan tidak berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan
suhu c selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam es, air, susu,
dan lendir yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3 strain conynebacterium
diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui
percikan ludah dari orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini biasanya
2-7 hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat demam tidak terlalu tinggi,
lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan
gejala lokal yang timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena
pembengkakan pada kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit sudah pada stadium
lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak bergerak dan bergram negatif. penyakit ini
sangat mudah tertular dan dapat mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada ditempat yang padat
penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan bordetella pertussis. Penyakit ini biasanya
berlansung lama dan berbahaya kususnya pada masa bayi. Pada orang dengan pertusis
biasanya akan muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme, muntah, sianosis, apneu dan
akan mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari 2-3 minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan akan menjadi berat
menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak
dan anoreksia, keringat dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar,

tanpak gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang keluar (Ngastiyah,
2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat
malnutrisi atau faktor lain akan menderita pneumonia berulang.
Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik dengan mendadak
sampai 39-40 dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernapasan cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta sianosis di
sekitar mulut dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan muntah dan diare, batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering di derita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian
besar disebabkan oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat mengenai trakea dan
laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat memproduksi mukus yang berlebihan
sehingga menimbulkan batuk kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun
(Somantri, 2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat mengakibatkan kerusakan dan
dilatasi bronkus dengan gejala berupa batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih
banyak. Penyakit ini biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya pada
anak-anak kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, disertai batuk pilek
beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak
napas, makin lama makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk,
terlihat juga pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan
biasanya terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirasi memanjang di sertai dengan mengi
(Ngastiyah, 2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit primer yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer

biasanya terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran napas
bagian atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki,
penyakit ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat dengan kepadatan penghuni yang dapat
membuat cahaya matahari susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering,
tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian besar fokus primer
tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara penularan juga bisa melalui oral jika
meminum susu yang mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini
adalah demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran kliniknya adalah batuk,
demam, anoreksia dan berat badan menurun. Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus
abdominalis atau malaria yang disertai atau tanpa hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c.

Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae (20%) dan

Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain adalah Staphylococcus aureaus dan
Klebsiella

pneumonia, sedangkan virus yang sering menjadi penyebab ISPA adalah

respiratory syncytial virus (RSV) dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai
penyebab ISPA pada anak dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci (WHO, 2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster
dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli, torch, Streptokokus dan
Pneumokokus. Pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus,
Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri
yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, dan
Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno,
Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, Streptococci A. Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
3) Anak usia sekolah dan remaja

ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh virus, yaitu Adeno,
Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A
dan Mycoplasma (Depkes RI, 2010).
d.

Tanda dan Gejala ISPA


Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):
1) Demam
Suhu badan meningkat 39,5-40,5 c, malas dan peka ransang, terkadang eoforia dan lebih
aktif dari normal, dapat mencetuskan kejang febris.
2) Meningismus
Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala, nyeri dan kekakuan pada
punggung dan leher, adanya tanda kernig dan akan berkurang saat suhu tubuh turun.
3) Muntah
Muntah dapat didahului tanda-tanda lain degan selang beberapa jam biasanya berlansung
singkat tetapi dapat menetap selama sakit.
4) Diare
Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan terjadi dehidrasi.
5) Sumbatan lubang hidung
Lubang hidung balita mudah tersumbat oleh pembengkakan mukosa dan eksudasi yang
dapat mempengaruhi pernafasan dan menyusui pada bayi sehingga dapat menyebabkan otitis
media dan sinusitis.
6) Keluarnya cairan dari lubang hidung
Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan sedikit kental dan purulen
tergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat menyebabkan kegatalan, dapat mengiritasi bibir
bagian atas dan kulit sekitar hidung.
7) Batuk
Gambaran umum dari penyakit pernafasan dapat menjadi bukti hanya selama fase akut
dan dapat menetap selama beberapa bulan setelah penyakit muncul.
8) Bunyi pernafasan
Suara serak, mengorok, stridor dan mengi.
9) Sakit tenggorokan
Sakit tenggorokan merupakan keluhan yang sering dari anak dewasa, anak kecil tidak
bisa mengambarkan gejala, mungkin tidak akan mengeluh meskipun sudah sangat
terinflamasi. Seringkali anak menolak untuk makan dan minum.

Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga golongan (Kartasasmita,
2010):
a) ISPA ringan
ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara parau pada waktu anak
bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung), demam (suhu tubuh
meningkat lebih dari suhu tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).
b) ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak umur 1 tahun, suhu tubuh
meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit
yang menyerupai bercak campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari lubang
telinga (Kartasasmita, 2010).
c) ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan mulut, terlihat cuping hidung
saat bernafas, kesadaran menurun, pernafasan berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah,
sela iga tertarik ke dalam pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit atau tidak
teraba, tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita, 2010).
e.

Cara penularan penyakit ISPA


ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi akan mengalami batuk,
bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu bakteri atau zat virus yang menyebabkan
ISPA secara tidak sengaja akan menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara
tersebut.
Faktor yang dapat memudahkan penularan (Said, 2010):

1) Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah berkembangbiak dalam rumah
yang lantainya lembab, pencahayaan kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan
polusi udara entah karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak (Said,
2010).
2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang lain baik lewat kontak
lansung maupun lewat udara pada saat bersin atau batuk tanpa menutup mulut dan hidung
(Said, 2010).
3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang yang satu ke orang yang
lain, terutama pada rumah yang anggota keluarganya banyak dan tinggal dalam rumah yang
ukurannya kecil (Said, 2010).
f.

Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan atau mengurangi
faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan melakukan pendidikan
kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan
pedoman diagnosis dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan

waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama pneumonia berat.
Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan
imunisasi, dan pengurangan polusi udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor
risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi
kejadian ISPA (Depkes RI, 2010).
Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):
1) Pencegahan Non spesifik.
a) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
Meningkatkan derajat sosio-ekonomi dapat mengurangi kejadian ISPA. Pada beberapa
negara berpenghasilan rendah pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan
yang tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur kesehatan untuk
diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak memadai, tenaga kesehatan yang terampil
terbatas, di tambah lagi dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).
b) Menurunkan angka kemiskinan
Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian ISPA. Di negara berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah
terdapat banyak kasus ISPA karena susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak
ditambah besarnya populasi anak akan semakin menambah tekanan pada pengendalian dan
pencegahan ISPA terutama pada aspek pembiayaan (WHO, 2003).
c) Meningkatkan pendidikan kesehatan
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah pendidikan ibu dan
status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA
pada balita (Depkes RI, 2010).
d) Meningkatkan status gizi
Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA. Imunisasi yang
berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA adalah imunisasi pertusis (DTP), campak,
Haemophilus influenza, dan pneumokokus (WHO, 2003).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap ISPA sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari
jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti
difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam
upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila
menderita ISPA dapat diharapkan perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat
(Hull, 2008).

Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak
dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia
balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat pneumonia
dapat dicegah (Hull, 2008).
e) Meningkatkan derajat kesehatan
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi termasuk infeksi kronis dan
infeksi HIV mudah ditemukan. Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi
kurang, defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi patogen di
nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir rendah, tidak ada atau tidak memberikan
ASI dan imunisasi yang tidak adekwat memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).
f) Lingkungan yang bersih, bebas polusi
Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya lingkungan, daerah
pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar
rumah tangga dari kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi dengan
tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya adat kebiasaan dan kepercayaan
lokal yang salah (Depkes RI, 2010).
2) Pencegahan Spesifik
a) Cegah BBLR
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA. BBLR
terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan
(prematur) khususnya yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya mengalami penyulit
seperti gangguan napas karena infeksi pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2010).
BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat
terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru
lahir yang bernafas cepat >60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai sianosis pada
mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada serta merintih, dengan demikian BBLR
sangat beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).
b) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan
infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian
mikronutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI suboptimal
mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20% (Depkes RI,
2010).

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri
akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan
gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya
lebih lama (Depkes RI, 2010).
c) Vaksinasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin
pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (Haemophilus influenzae type b) dan
Pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke
dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib
dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat
mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak
negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.
(1) Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat
dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat
dengan berbagai komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia yang bahkan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem
imun (WHO, 2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya berat.
Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat
menurunkan kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)
(2) Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari. Penyakit ini masih
sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi
terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program imunisasi nasional di Indonesia,
diberikan dalam sediaan DTP, bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).
(3) Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib) merupakan
penyebab ISPA dan radang otak (meningitis) yang utama. Diduga Hib mengakibatkan
penyakit berat pada 2 sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih
dari 10 tahun, namun penggunaannya masih terbatas dan belum merata.. Hal ini
dimungkinkan karena harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO

menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua anak di negara berkembang (Somantri,
2007).
(4) Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama pneumonia pada anak di
negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2 tahun
dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah
tersedia, yang dikenal sebagai Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).
g.

Pertolongan pertama penderita ISPA


Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu dilakukan beberapa cara:
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi di bawah dua bulan dengan demam harus segera
dirujuk. Parasetamol diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan,
memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada
air (tidak perlu di tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).

2) Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan
diberikan tiga kali sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3) Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi sering, lebihlebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusui tetap diteruskan
(Kusbiyantoro, 2009).
4) Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Hal ini akan membantu mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebihlebih pada anak yang demam. Membersihkan hidung pada saat pilek akan berguna untuk
mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama
perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter
atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan di

atas diusahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari
penuh dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk
pemeriksaan ulang (Kusbiyantoro, 2009).
a.

3. Lingkungan Rumah
Pengertian Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda hidup,
benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata. Rumah dibuat karena manusia ingin
bernaung serta melindungi mereka dari berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan
rumah antara lain mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan air
besar atau kecil dan penyediaan sumber air bersih (Slamet, 2009).
Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat kesehatan serta
produktifitas seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita karena disitulah tempat kita
berlindung. Lingkungan rumah sebaiknya dijauhi dari segala macam faktor-fakor yang dapat
merugikan kesehatan misalnya limbah buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar,
tempat pembuangan sampah atau perternakan yang kurang bersih, fasilitas-fasilitas lainya
seperti air minum yang kurang bersih, fasilitas pembuangan limbah dan air yang tidak
memadai. Disamping itu sumber daya alam yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan
seperti adanya sinar matahari yang bisa menyinari segala ruangan di dalam rumah sehingga
tidak terjadi kelembaban di dalam rumah (Hindarto, 2007).

b. Syarat Lingkungan dan Rumah Sehat


1) Syarat lingkungan sehat.
a) Sampah
Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas
manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Ada beberapa bentuk sampah
yaitu padat, cair dan gas. Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya yaitu
sampah organik dan anorganik. Sampah organik yaitu sampah basah yang berasal dari
makluk hidup seperti dedaunan dan sampah dapur. Sampah organik ini mudah terurai secara
alami. Sementara itu sampah anorganik yaitu sampah kering yang tidak dapat terurai seperti
karet, plastik, kaleng dan logam (Suharmadi, 2002).
Sampah selalu menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang kurang peka terhadap
lingkungan. Ketidaksiplinan mengenai kebersihan dapat menciptakan suasana semberawut
akibat timbunan sampah, kondisi yang tidak menyenangkan akan muncul seperti bau tidak
sedap, lalat berterbangan dan peluang pencemaran lingkungan sekitar akan menjadi santapan
sehari-hari. Sampah rumah tangga dapat ditanggulangi dengan membuat lubang tempat

pembuangan sampah, melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk kandang dan
briket arang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b) Sumber Air dan Sumur
Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus memenuhi persyaratan.
Berkenaan dengan itu maka air yang akan dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan
rekomendasi dari PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air
hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya bukan oleh pihak
developer. Untuk menyediakan air minum dengan jumlah yang cukup, dapat diambil sumber
dari Sumur gali, sumur artesis dan PDAM/PAM (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(1) Gali
Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil dari sumur gali, maka untuk
setiap sumur gali hanya diperbolehkan mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga sumur tersebut selalu dapat
menyediakan air dengan jumlah yang cukup, walaupun pada musim kemarau (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008) .
Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa, lebih-lebih septic tank harus lebih
besar dari 8 meter. Untuk sumur gali jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding
bagian luar septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Sumur Artesis
Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni rumah dengan cukup. Pusat
reservoir dengan ketinggian yang cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan
volume minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah per hari dari rumahrumah yang disalurkan oleh sumur tersebut (Suharmadi, 2002).
Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air kotor (25 meter). Letak pompa
atau inlet pipa sedot harus paling dekat 2 meter di bawah muka air terendah yang ada dalam
jamban.
Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan dan dipasang sesuai dengan
ketentuan PDAM setempat dan pelaksanaannya harus ditangani oleh instalatur yang
mempunyai surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik perencanaan maupun
pelaksanaannya harus diawasi oleh PDAM (Suharmadi, 2002).
(3) PDAM (PAM)

Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik yaitu bila penyambungan pipa
beserta meterannya telah terpasang. Konstruksi bangunan air maupun jaringan distribusinya
supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air minum. Untuk keperluan tersebut perlu adanya
testing secara periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah disaring. Debit
airnya harus mampu untuk didistribusikan ke seluruh rumah dengan baik, maka persyaratan
bak reservoir seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi. Tiap rumah agar dipasang
meteran air, dan jaringan instalasi distribusinya harus dilegalisir oleh PAM setempat
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
c) Pembuangan air kotoran (WC)
Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dari
tingginya permukaan tanah. Apabila permukaan air tanah cukup dalam yakni di bawah 1
meter, dari permukaan tanah, sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008):
(1) Bak septic
Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran harus >2 cm), volume air
dalam bak septic minimal 1 meter kubik, tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter,
letak lubang inlet minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian dinding penyekat yang
masuk dalam air minimal harus 40 cm, jarak lubang outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak
dari sumur penampungan minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(2) Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic
Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak inlet perlu dipasang lubang
untuk pemeriksaan dan pengurasan. Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat
dari permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air minimal 400 liter/hari, kalau
peresapan tersebut hanya dipakai untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau
peresapan tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari cucian dan kamar mandi, maka
daya resapnya harus mampu untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis tanahnya. Oleh karena itu untuk
daerah-daerah yang jenis tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari tanah
tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang resap yang dibutuhkan. Jenis tanah
yang sulit meresapkan air atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya
warnanya hitam), tanah lempung, tanah berkapur atau batuan kapur. Untuk menyelidiki daya

serap tanah dapat dilakukan pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba
langsung di lapangan. Apabila akan dicoba langsung di lapangan maka sebaiknya dilakukan
pada waktu musim hujan (agar pengadaan tanah dalam keadaan yang terjelek) (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
d) Pembuangan air limbah dan air hujan
Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut, kalau pembuangan air
dari cucian dan kamar mandi disalurkan rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi,
2002):
(1) Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu meresapkan air tersebut di atas (
2000 liter/hari).
(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut dimasukan ke rembesan
(3)

Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan tersendiri karena debitnya cukup
besar (dibuang ke saluran umum atau sungai).

e) Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh infeksi
kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan
karena asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya
antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak, asap rokok, pengguna
insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan
asbes (Sukar, 1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar
biomassa yang menimbulkan asap yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia,
seperti timbal (Pb), besi (Fe), mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini
tergantung pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb
dan Cd, bersifat akumulatif, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan
menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini akan
menimbulkan pengaruh yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).
(2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui bersifat
karsinogenik adalah benzo-a-pyrene (Anwar, 1992).
(3) Formaldehid (HCHO)

Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan
bagian atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan
air mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar, 1992).
(4) Carbonmonoksida(CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang
disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk
COHb (Anwar, 1992).
(5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah
kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influenza)
(Anwar, 1992).
(6) Sulfurdioksida(SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam
sulfat aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).
Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya
ketika sedang memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan
polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus
menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi (Anwar, 1992).
f) Kebiasaan merokok dalam rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah
perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun
menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak.
Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru
perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya
(Dachroni, 2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung
rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap
sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau
asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok
pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota
keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakit anginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA
khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit
saluran pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya.
Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang
tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin

2)
a)

b)

c)

di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan
mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2003).
Bahan bangunan Rumah
Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media yang baik untuk
perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA. Usaha yang perlu dilakukan untuk
menghindari bakteri atau virus infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari
bahan kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di plaster atau
memasang ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan (Departemen Pekerjaan Umum,
1985).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 tentang hubungan antara lantai rumah dengan kejadian
ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta bahwa lantai rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat mempengaruhi kejadian ISPA dengan didapatkan nilai p (0,025) lebih kecil
dari nilai (0,05). Dari sampel penelitian yang diteliti memperlihatkan bahwa, rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 13 rumah sedangkan lantai rumah yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 24 rumah.
Dinding
Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara vertikal dengan fungsi
sebagai pemisah antar ruang dalam rumah dengan ruang luar rumah. Dinding rumah yang
sehat menggunakan tembok yang terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding
rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan
bambu, hal ini akan mempersulit untuk dibersihkan sehingga menyebabkan penumpukan
debu dan menjadi media yang baik untuk perkembangan bakteri seperti bakteri penyebab
ISPA (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding rumah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan mempunyai hubungan erat dengan kejadian ISPA dengan nilai p
(0,00) lebih kecil dari nilai (0,05). Dari beberapa responden yang diteliti didapatkan
responden yang terinfeksi penyakit ISPA dan menggunakan dinding rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 5 rumah dan responden yang terkena ISPA dan menggunakan
dinding rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 32 rumah.
Atap
Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan
yang ada dibawahnya terhadap pengaruh panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan
perlindungan. Atap rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan menggunakan
plafon atau langit-langit agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah ataupun panas
matahari. Atap rumah yang terbuat dari genteng akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta
masyarakat juga dapat membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten
Maluku Tenggara menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA yang
menggunakan atap rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 21 rumah.

d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa menggantikan udara ruangan
yang sudah terpakai dengan udara yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan
kelembaban udara dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan seharusnya
lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie, 1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono, 2011):

(1) Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang
ventilasi tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas lantai
sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.
(2)

Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari oleh asap hasil pembakaran
sampah atau asap kendaraan bermotor serta debu.

(3) Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan lubang hawa tidak terhalang oleh
barang-barang rumah seperti lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.
(4)

Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai kebutuhan tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan sanitasi fisik rumah dengan
kejadian ISPA di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di
Desa Penjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan. Dari hasil
penelitian tersebut didapatkan responden terkena ISPA yang menggunakan ventilasi rumah
yang baik sebanyak 10

rumah dan responden yang terkena ISPA yang menggunakan

ventilasi rumah yang tidak baik sebanyak 27 rumah.


e) Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas bangunan harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20 untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian padat lebih tinggi dari
rerata nasional antara lain Papua (51,0%), Papua Barat (40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%).
(BPPK Depkes RI, 2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan (Ambarwati, 2007) :
(1) Tentukan rumah yang akan di hitung
(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3) Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah tersebut dengan cara :

f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak lebih.
Kurangnya cahaya, terutama cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang
nyaman, juga merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit
penyakit. Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau dan akhirnya merusak mata
(Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:
(1) Cahaya alamiah

Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bagian-bagian bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak
terhalang oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar yang tinggi. Cahaya matahari
dapat mengurangi kelembaban dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman
penyebab penyakit seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurangkurang 10-20% dari luas lantai rumah (Kasjono, 2011).
(2) Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu minyak, listrik, gas dan
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat
ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari pagi yang baik,
sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari
luas lantai rumah. Kuat sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah yaitu berkisar
antara 50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat penyinaran untuk penerangan seperti dapur
memerlukan 200 lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar
berkisar 100 lux (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan antara kondisi fisik kamar hunian
dengan kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang baik sebanyak 10 rumah
sedangkan responden yang terkena ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27 rumah.
g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat perhatian kusus dari penghuni
rumah. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit
basah, hal ini akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut. Kelembaban
merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA.
Kelembaban rumah yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40% atau
lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi square untuk hubungan
antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan
nilai p (0,883) lebih kecil dari nilai (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA dengan menunjukan responden
yang terkena ISPA mempunyai kelembaban rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan
responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah baik sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena kuman biasanya
bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan bantuan tekanan oksigen dan suhu dari
lingkungannya. Dalam mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan
rumah tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah cukup tinggi maka akan
membahayakan bagi kesehatan (Sanropie, 1989).

Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih rendah 4 dari temperatur
udara luar ruangan. Untuk daerah tropis umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c
sudah cukup segar (Sanropie, 1989).
B. Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
ISPA
1.
2.
3.
4.

Variabel pengganggu
Nutrisi
Status imunisasi
Status ekonomi
Pendidikan

Keterangan :
Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti :


D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia
1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang berbentuk
angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi. Metode penelitian
observasional dan menggunakan rancangan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana
variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian
diobservasi dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). Pendekatan yang digunakan
adalah korelasional deskriptif

yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat

mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang
ada yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel (Nursalam, 2008).
B.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelilitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal 04 April
2013.
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur 1-4 tahun yang
terdaftar di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan tanggal
04 April 2013 yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 37 orang.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian ini
adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.
3. Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada
atau tersedia (Notoatmodjo, 2005).
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
E. Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah dikategorikan:
a.
b.
c.
2.

Baik : 7-9
Sedang
: 4-6
Buruk : 1-3
Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas medis
lainnya di Puskesmas Ngaglik I.

F. Tehnik Pengumpulan Data


Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent dengan
menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita 1-4
tahun yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari
Puskesmas Ngaglik I.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam penelitian ini
berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni serta luas ventilasi rumah dan
hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta suhu ruangan dan lux meter untuk
mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam
penelitian ini peneliti juga menggunakan alat observasi berupa check list yaitu suatu daftar
pengecek, berisi nama subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran
pengamatan (Notoatmodjo, 2005).

H. Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data
atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus
tertentu sehingga menhasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan
cara mengolah hasil check list yang telah diisi oleh peneliti, kemudian diolah dengan
menggunakan komputer. Pengolahan meliputi:
a. Editing
Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang sudah diisi oleh
peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau pengisian yang tidak sesuai
dengan petunjuk akan diperbaiki dengan mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam
komputer adalah data yang benar.
b. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden ke dalam
kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk memudahkan pengolahan data,
kemudian dilakukan skoring. Dalam hal ini peneliti memberikan skor pada masing-masing
variabel.
c. Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan dalam tabel
dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang dimasukkan melalui pengolahan dalam
komputer.

d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan pertanyaan
dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang dijadikan dasar pertimbangan
dalam pemberian predikat sesuai ketentuan. Data yang ditabulasi kemudian dianalisis.
2. Rencana Analisis Data
Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan Analisis
Univariat dan Bivariat .
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan variabel terikat
yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi lingkungan rumah dari hasil penelitian.
Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
antara variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent) yaitu hubungan sanitasi
lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis bivariat
yaitu dengan menguji masing-masing variabel dengan menggunakan program komputer.
Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis
dengan tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
I. Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal penelitian ini
adalah:
a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.
d. Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman,
e.
f.
g.
h.
2.

Daerah Istimewa Yogyakarta.


Menyusun proposal penelitian.
Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:

a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu di wilayah kerja
Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.


Mengajukan izin penelitian.
Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
Memberikan informed consent.
Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
Melakukan pengolahan data.
Menganalisis data.
Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
Menyimpulkan hasil penelitian.
Membuat laporan hasil penelitian.
Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
Melaksanakan seminar hasil penelitian.
Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
Pengumpulan hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media
Kesehatan Indomesia No XIV.

Promosi

Ambarwati. (2007). Cara-Cara Membuat Rumah Sehat. Jakarta: Arsitek.


Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.
Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.
BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.
Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media
Kesehatan Indonesia No XIV.

Promosi

Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat.


Dinas Cipta Karya.

Jakarta:

Depkes RI. (2010). Riskesdas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.
Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas
Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman. (2008).
Penyehatan Lingkugan Pemukiman. Jakarta: Departemen Kesehatan

Informasi
RI.

Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes


DIY.

Provinsi

Hindarto, P. (2007). Inspirasi Rumah Sehat di Perkotaan. Yogyakarta: Andi

Offset.

Hull, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.


Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung: PT Cipta
Karya.
Juwati, S. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Penyakit
Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis
Yogyakarta.

ISPA

di

Kartasasmita, B, C. (2010). Pneumonia Pembunuh Nomor 1. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.
Kasjono, S, H. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosyen.
Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap
Kejadian
ISPA Pada Anak Balita serta Manajemen
Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11
Kabupaten Gianyar Bali.
Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta:
Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian

(2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan


Indonesia.
Kumolowati, dkk. (2011). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.
Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Yogyakarta: Dinas

Kusbiyantoro. (2009). Pedoman pengendalian ISPA. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.
Nelson, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
(2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu


Jakarta: SalembaMedika.

Keperawatan.

Ranuh. (2001). Penanganan Penyakit Menular Pada Anak. Jakarta: EGC.


Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta: menrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Sanropie. (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta.
Setyadi. (2009). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.
Slamet, S, J. (2009). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University press.
Somantri, S. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sistem

Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.


Suharmadi. (2002). Lingkungan Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan
Indonesia.

Republik

Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA.


Bandung:
Buletin Penelitian Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan Kejadian
ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.
Yogyakarta.
Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah.


Penebar Swadaya.

Jakarta:

Weber, M. (2011). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Jakarta: Kementrian


Republik Indonesia .

Kesehatan

Wong, dkk. (1991). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.


(2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jajarta: EGC.
World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and
Pneumonia. Ge-neva: WHO.
(2003). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah
Negara Berkembang. Jakarta: Depkes RI.
Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo
0

Control of
Sakit

Tambahkan komentar

library

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

1.
Apr
20

ISPA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang sangat
serius baik di Dunia maupun di Indonesia. Tahun 2008 UNICEF dan WHO
melaporkan bahwa ISPA merupakan penyebab kematian paling besar pada manusia,
jika dibandingkan dengan total kematian akibat AIDS, malaria dan campak. Kematian

akibat ISPA ini (99,9% terutama Pneumonia) terjadi pada negara-negara kurang
berkembang dan berkembang seperti Sub Sahara Afrika dan Asia khususnya di Asia
tenggara dan Asia Selatan. Untuk Sub Sahara sendiri terjadi 1.022.000 kasus per
tahun sedangkan di Asia Selatan mencapai 702.000 kasus per tahun (Depkes RI,
2010).
Kematian akibat ISPA lebih di dominasi balita usia 1-4 tahun yaitu lebih dari 2
juta kematian tiap tahunnya, ini juga berarti 1 dari 5 orang balita di dunia meninggal
setiap harinya. Dari seluruh kasus kematian balita usia 1-5 akibat ISPA, tiga
perempatnya terjadi pada 15 negara, termasuk Indonesia yang menempati peringkat
keenam dengan jumlah kasus ISPA sebanyak 6 juta kasus per tahun (Depkes RI,
2010).
Secara umum penemuan kasus ISPA di Indonesia sangat mencengangkan. Betapa
tidak, selama 10 tahun (2000-2010) prosentase atas kasus ini berkisar antara 24,6%35,9%. Berdasarkan hasil survei demografi kesehatan Indonesia, kematian balita 1-4
tahun (AKABA) pada tahun 2007 sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, 15,5% atau
sebesar 30.470 kematian pada balita usia 1-5 tahun disebabkan oleh ISPA. Ini berarti
secara rata-rata di Indonesia 83 orang balita meninggal setiap harinya karena ISPA.
Sehingga tidaklah mengherankan kemudian jika Riskesdas (2010) menepatkan ISPA
pada peringkat kedua sebagai penyebab kematian balita di Indonesia (Depkes RI,
2010).
Konteks Daerah Istimewah Yogyakarta, dominasi penyakit ISPA nampak dari
jumlah kunjungan rawat jalan di puskesmas-puskesmas di seluruh kabupaten/kota.
Sampai dengan awal bulan Oktober tahun 2010, total sebanyak 70.942 pasien ISPA
mengunjungi puskesmas dan sebagian besar adalah balita umur 1-4 tahun. Sedangkan
prosentase penyakit ISPA di setiap kabupaten/kota berkisar antara 31%-39% dari
seluruh penyakit. Hasil sensus penduduk tahun 2010, menemukan angka kematian
balita umur 1-4 tahun (AKB) akibat ISPA di DIY, untuk bayi laki-laki 20 bayi per
1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1000 kelahiran hidup
(Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Laporan dinas kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2011, kunjungan puskesmas
lebih di dominasi oleh balita usia 1-4 tahun yang mengalami diare dan diikuti
penyakit ISPA diantaranya infeksi saluran pernapasan atas sebanyak 4.428 kasus, TB
sebanyak 1.720 kasus, faringitis akut sebanyak 1.713 kasus, bronkhitis akut
sebanyak 1.215 kasus, dan batuk 853 kasus. Dominasi penyakis ISPA juga terlihat
dari rata-rata kunjungan rawat jalan di tiap puskesmas, yaitu bronchitis dan
bronkhioolitis akut sebanyak 302 kasus, infkesi saluran bagian atas akut sebanyak 278
kasus, tuberculosis paru sebanyak 159 kasus, asma sebanyak 150 kasus,
pneumonia sebanyak 82 kasus, dan otitis media dan gangguan mastoid sebanyak 39
kasus.
Data yang diperoleh dari Puskesmas Ngaglik I, ISPA menempati urutan pertama
diantara 10 besar penyakit pada balita umur 1-4 tahun. Jumlah seluruh kasus ISPA
yang terdaftar di Puskesmas Ngaglik I di tahun 2011 sebanyak 602 kasus. Kasus ini
menurun ditahun 2012 yang berjumlah 578 kasus dan 157 diantaranya adalah balita,
itu berarti rata-rata balita yang terkena ISPA dalam satu minggunya sebanyak 3
sampai 4 orang. Sedangkan rata-rata kunjungan balita yang positif karena penyakit

dalam satu minggu berkisar antara 20 sampai 25 orang. Dominasi ISPA juga terlihat
dari jumlah kunjungan sebanyak 1255 kunjungan pada tahun 2011 dan menurun di
tahun 2012 yaitu sebanyak 1091 kunjungan.
Persoalan ISPA yang mayoritas terjadi pada negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Persoalan pencemaran lingkungan
yang semakin tinggi pada negara-negara berkembang ini ditengarai sebagai salah satu
faktor yang memberikan kontribusi besar pada peningkatan penyakit ISPA, sebab
bagaimanapun juga faktor dominan penyebab penyakit ISPA adalah persoalan
kesehatan lingkungan rumah seperti kelembaban, pencemaran udara dalam rumah,
pencahayaan yang kurang, tempat sampah yang tidak memadai dan air minum yang
kurang sehat (Kemenkes RI, 2011).
Persoalan kesehatan lingkungan di Indonesia bukanlah persoalan yang baru,
terdapat begitu banyak fakta yang menunjukan bahwa rakyat negeri ini hidup dalam
lingkungan yang tidak sehat dan sangat beresiko. Fakta ini seperti yang dilaporkan
Riskesdas 2010 dimana secara nasional pencapaian terhadap fasilitas sanitasi
lingkungan rumah layak hanya sebesar 55,53%, presentase paling tinggi di Provinsi
DKI Jakarta (82,83%) dan terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (25,35%).
Menurut kualifikasi daerah, pencapaian terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan
hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%)
(Kemenkes RI, 2011).
Tingkat pencapaian fasilitas sanitasi lingkungan rumah layak secara nasional yang
hanya sebesar 55,53% tentu tidak saja menggabarkan persoalan lingkungan semata,
juga menunjukan kerentanan kesehatan pada manusia Indonesia itu sendiri, di wilayah
manapun kita berada di Indonesia tentu sangat beresiko terserang ISPA, termasuk di
wilayah Daerah Instimewa Yogyakarta (DIY) tentunya (Kemenkes RI, 2010).
Hasil pemeriksaan dari 44.926 rumah (50.30%) di Kota Yogyakarta, diperoleh
bahwa persentase rumah sehat pada tahun 2007 adalah sebesar 81.23 % sedangkan
persentase rumah sehat di Kota Yogyakarta tahun 2006-2008 mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2005, hal ini terjadi karena tahun 2006 terjadi gempa bumi yang
menghancurkan sebagian rumah di beberapa wilayah Kota Yogyakarta. Rumah-rumah
yang rubuh tersebut mengakibatkan kondisi rumahnya menjadi tidak sepenuhnya
sehat sehingga mempengaruhi presentase rumah sehat di Kota Yogyakarta atau di
setiap tingkat kabupaten/kota (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2010 dari jumlah
rumah di Kabupaten Sleman sebanyak 225.800 buah, yang berhasil diperiksa
sebanyak 84.085 rumah (37,20%), dari rumah yang diperiksa tersebut kategori sehat
sebanyak 69.823 rumah (83,0%) (Dinkes Kabupaten Sleman, 2011).
Data yang diperoleh dari Dinkes Kecamatan Ngalik tahun 2011, jumlah rumah
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I berjumlah 11,238 buah, dari jumlah
rumah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I yang berhasil diperiksa
sebanyak 1628 rumah (14,97%). Dari hasil pemeriksaan didapatkan rumah sehat
berjumlah 1332 (79,19%).

Bertolak dari fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya peneliti kemudian


tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Sanitasi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita 1-4 Tahun di wilayah kerja Puskesmas
Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, DIY.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan yaitu Adakah hubungan
antara sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4
tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik
I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus
a.

Mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita usia 1-4 tahun di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa

b.

Yogyakarta.
Mengetahui sanitasi lingkungan fisik rumah balita usia 1-4 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Ngaglik I, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi serta masukan
bagi puskesmas tentang pentingnya promosi kesehatan bagi masyarakat dalam
menjaga kebersihan sanitasi lingkungan rumah seperti membuang sampah
pada tempatnya, membuat tempat limbah rumah tangga, menjaga kebersihan
lantai rumah, tidak membuat polusi dalam rumah, menjaga pencahayaan
dalam rumah agar tidak terjadi kelembaban sehingga bisa mengurangi resiko
kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun.
2. Bagi bidang ilmu keperawatan

Dapat dijadikan kajian ilmiah bagi mahasiswa keperawatan untuk


meningkatkan pengetahuan tentang kondisi lingkungan rumah yang kurang
sehat seperti lantai yang kotor, kelembaban, pencahayaan yang kurang,
ventilasi yang belum memenuhi standar, polusi dalam rumah, pembuangan
limbah rumah tangga yang sebarangan terhadap peningkatan kejadian ISPA
pada balita usia 1-4 tahun, sekaligus memberi informasi bagi peneliti-peneliti
yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Ayu (2006), meneliti Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan kejadian
Infeki Saluran Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali. Jenis
penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross
sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random
sampling. Hasil penelitian, menunjukan bahwa ada hubungan antara ventilasi
rumah, pencahayaan alami rumah dan lantai rumah dengan kejadian ISPA,
antara lain ventilasi rumah (p=0,046). Pencahayaan alami rumah (p=0,001),
dan lantai rumah (p=0,025).
Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah jenis penelitian
dan rancangan penelitian. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian
Ayu yaitu variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan
dan tehnik pengambilan sampel.
2. Keman (2006), memeneliti tentang Determinan Sanitasi Rumah dan Sosial
Ekonomi Terhadap Kejadian ISPA pada Anak Balita serta Manajemen
Penanggulangannya di Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali.
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dilakukan dengan rancangan
penelitian cross sectional. Populasi penelitiannya adalah anak balita dibawah 5
tahun. Jumlah sampel adalah 134 dengan menggunakan system random
sampling. Sebagai respondennya adalah ibu si balita. Hasil dari penelitian ini
adalah ada hubungan antara sanitasi fisik rumah dan factor social ekonomi
dengan kejadian ISPA pada balita di bawah 5 tahun di mana masing-masing
ventilasi rumah (p=0,-5), sanitasi rumah (p=0.05), dan pendapatan keluarga
(p=0,01).
Persamaan antara penelitian Keman dengan penelitian ini adalah populasi
penelitian, jenis penelitian dan rancangan penelitian. Adapun perbedaannya
yaitu variabel penelitian, tempat penelitian, pendekatan yang digunakan dan
tehnik pengambilan sampel.
3. Juwati (2008), meneliti tentang Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan
Penanganan Penyakit ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas
Jetis Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah non eksperimen dengan metode
deskriptif analitik korelasional dan menggunakan pendekatan cross sectional.
Populasi pada penelitian ini sebanyak 904 orang dan tehnik pengambilan
sampel dengan cara accidental.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah metode
penelitian, rancangan penelitian dan teknik pengambilan sampel. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Juwati adalah variabel penelitian dan tempat
penelitian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Balita
a. Pengertian Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau
anak usia kurang dari empat tahun. Pada umumnya saat usia balita, anak
masih tergantung penuh kepada orangtuanya untuk melakukan kegiatan
sehari-hari seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan lain, seperti
berbicara dan berjalan akan bertambah baik seiring pertambahan usia balita
tersebut (Nelson, 2000).
Masa balita merupakan masa paling baik bagi proses tumbuh kembang
manusia, bahkan menjadi tolak ukur keberhasilan pertumbuhan dan

perkembangan pada masa-masa selanjutnya. Pada masa ini, pertumbuhan


balita berlansung dengan cepat, karena itulah masa ini sering disebut
sebagai golden age atau masa keemasan (Nelson, 2000).
b. Karakteristik Balita
Menurut karakteristiknya balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak
usia 1-4 tahun dan anak usia prasekolah. Perkembangan pada masa balita
lebih cepat dibandingkan masa prasekolah sehingga
pada masa balita diperlukan makanan yang sangat bergizi supaya
pertumbuhannya berlansung lebih baik (Nelson, 2000).
Pada usia pra sekolah anak sudah dapat memilih makanan yang
disukainya sehingga berat badan anak cenderung mengalami penurunan
ditambah dengan aktivitas yang mulai meningkat. Pada usia prasekolah
juga, anak-anak biasanya sangat senang bergaul dengan teman seusianya
sehinga berefek pada beberapa perubahan dalam berperilaku (Nelson,
2000).
c. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum perkembangan setiap balita berbeda-beda, namun tetap melewati
tiga proses yang sama (Supartiny, 2004):
1)

Pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki. contohnya


anak akan berusaha menegakan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar
menggunakan kakinya.

2)

Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya anak


akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk
menggenggam sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.

3)

Mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain Seperti melempar,


menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan pada masa balita merupakan suatu gejala yang kuantitatif

yang artinya, anak mengalami perubahan ukuran-ukuran tubuh dan jumlah

sel serta jaringan intraseluler, seperti meningkatnya berat badan dan tinggi
badan, bertambahnya ukuran lingkar kepala, muncul dan bertambahnya gigi
dan

gerahang,

menguatnya

tulang

dan

membesarnya

otot-otot,

bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan


sebagainya (Supartiny, 2004).
Penambahan ukuran-ukuran tubuh pada masa balita biasanya
berlangsung

secara

perlahan-lahan,

bertahap,

dan

terpola

secara

proporsional tiap bulannya. Ketika kita melihat adanya penambahan ukuran


tubuh pada balita maka bisa dikatakan proses pertumbuhan balita tersebut
berlangsung

baik,

salah

satu

caranya

dengan

mengamati

grafik

pertambahan berat badan dan tinggi badan yang terdapat pada kartu menuju
sehat (KMS). Sebaliknya jika yang terlihat merupakan gejala penurunan
ukuran tubuh maka bisa diartikan ada suatu gangguan atau hambatan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan balita tersebut (Nelson, 2000).
Perkembangan pada masa balita merupakan suatu gejala kualitatif,
artinya pada diri balita akan berlangsung proses peningkatan dan
pematangan (maturasi), baik itu kemampuan personal maupun kemampuan
sosil (Suririnah, 2006).
1)

Kemampuan personal
Kemampuan personal akan ditandai dengan pendayagunaan
segenap fungsi alat-alat pengindraan dan sistem organ tubuh lainnya
yang dimiliki. kemampuan fungsi pengindraan meliputi;
a)
b)

Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton dan membaca


Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi dan
menyimak pembicaraan

c)

Penciuman, misalnya mencium wangi dan bau busuk

d)

Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba


benda kasar atau halus

e)
2)

Pengecap, misalnya merasakan pahit, manis dan asam.

Kemampuan sosial
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya merupakan efek dari
kemampuan personal yang semakin meningkat. Dari hal tersebut balita
akan berhubungan degan beragam aspek lingkungan sekitar yang
membuatnya secara sadar menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat di mana ia berada. Sebagai contoh pada balita yang telah
berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak
bermain dengan anak-anak lainnya meskipun ia belum pandai dalam
berbicara. Dari situlah dunia sosialisasi pada ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya (Suririnah,
2006).

d. Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang


Dalam proses tumbuh kembang anak balita memiliki kebutuhan yang
harus terpenuhi yang meliputi kebutuhan akan gizi (asuh), kebutuhan emosi
dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan stimulasi dini (asah) (Nelson, 2000).
1)

Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).


Usia balita merupakan periode penting dalam proses tubuh
kembang anak. Pada usia balita, perkembangan dalam kemampuan
untuk berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
inteligensi anak berjalan sangat cepat (Nelson, 2000).
Pemenuhan kebutuhan gizi yang tepat dan berimbang akan
mempengaruhi tumbuh kembang fisik maupun biologis balita. Tepat
berarti makanan yang diberikan mengandung zat-zat gizi yang sesuai
kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi
zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya
(Nelson, 2000).

Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan


otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya pun akan
berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang
mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik
atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas
tubuhnya sehingga daya tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan
tidak mudah terserang penyakit (Nelson, 2000).
2)

Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).


Anak sangat membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya karena
itu orangtua merupakan tempat perlindungan yang aman dan nyaman
bagi anak. Pemenuhan atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan
menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam
kemampuan membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Orang
tua merupakan teladan yang baik bagi anak-anaknya karena melalui
keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur-unsur positif dan
menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk. Dalam hal mendidik anak
orangtua sebaiknya melalui metode pendekatan berlandaskan kasih
sayang (Nelson, 2000).

3)

Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).


Stimulasi

dini

merupakan

kegiatan

orangtua

memberikan

rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin, bahkan hal ini


dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan agar
tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal. Stimulasi dini
meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-sentuhan lembut
secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan mengajari anak
berkomunikasi, mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka.
Selain itu, stimulasi dini juga dapat mendorong munculnya pikiran dan
emosi positif, kemandirian, kreativitas dan lain-lain pada anak (Nelson,
2000).

Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat


merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) anak.
Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistik, kecerdasan
logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan
musikal,

kecerdasan

intrapribadi

(intrapersonal),

kecerdasan

interpersonal, dan kecerdasan naturalis (Suririnah, 2006).


2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita
a.

Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur yaitu
infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan yaitu mulai dari hidung
hingga alveoli beserta organ-organ andeksnya sepeti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Infeksi akut yaitu infeksi yang berlansung selama 14
hari walaupun beberapa penyakit seperti ISPA bisa terjadi infeksi >14 hari
(Gunawan, 2004).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembangbiak yang dapat menyerang dari salah satu organ saluran
pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 2001). ISPA adalah
proses inflamasi yang di sebabkan oleh virus, bakteri, atipikal, atau
spairasi subtansi asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran
pernapasan (Wong, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa,
penyakit ISPA adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan, baik saluran
pernapasan atas maupun saluran pernapasan bagian bawah.

b. Jenis-jenis penyakit ISPA

Jenis-jenis penyakit yang berkembang menjadi ISPA diantaranya


adalah: influenza, sinusitis, faringitis, laringitis, difteria, pertusis,
bronkiolitis, pneumoni dan tuberkolosis paru.
1) Influenza (common cold)
Influenza merupakan infeksi primer yang umumnya menyerang
bayi dan anak-anak dan penyakit ini biasanya cendrung berlansung
lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga
tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi (Ngastiyah, 2005).
Influenza merupakan infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan
oleh virus haemophillus influenza tipe A,B dan C yang mempunyai
tanda nyeri kepala yang hebat, nyeri otot, demam, menggigil dan
anoreksia (Somantri, 2007).
Penyebab influenza adalah virus dan beberapa kasus sering kali
mengalami komplikasi terutama pada bayi dan anak-anak karena invasi
sekunder

bakteri

patogen

seperti

pneumokokus,

sreptokokus,

haemopilus influenza atau stafilokokus dengan faktor predisposisi


kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.
Influenza mempunyai gejala seperti pilek, batuk sedikit, dan
kadang-kadang bersin. Keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung.
Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus sekret menjadi kental dan
purulen. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas lewat mulut
dan mengakibatkan anak menjadi gelisah (Ngastiyah, 2005).
2) Sinusitis
Sinusitis adalah radang akut atau kronik di sekitar sinus dan dapat
menyebabkan perubahan patologis mukosa yang ditandai keluarnya
serum dan leukosit dan jaringan menjadi kemerahan dan mengalami
pembengkakan (Ngastiyah, 2005).
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi infeksi saluran
pernapasan bagian atas, sinusitis frontalis biasanya tidak selalu sering

ditemukan pada anak kecil karena sinus frontalis belum berkembang


pada anak kecil. Jika terkena infeksi sinusitis maka akan menyebabkan
nyeri tekan pada sinus yang terkena dan biasanya infeksi sinusitis dapat
berulang-ulang hinga menetap dan kadang-kadang menyebabkan post
nasal drip (Hull, 2008).
Sinusitis mempunyai gejala seperti terdapat pengeluaran cairan
serosa sampai purulen melalui hidung dan hidung tersumbat. rasa nyeri
dan tertekan di atas sinus yang tertekan akibat tersumbatnya ostium
sehingga timbul tekanan negatif dalam sinus. Gejala lain seperti yeri
kepala, batuk, mengejan, suara serak sengau, bernafas lewat mulut,
penciuman terganggu, bengkak dan kemerahan pada pipi yang dapat
menjalar ke kelopak mata (Ngastiyah, 2005).
3) Faringitis dan tonsilofaringitis
Radang faring pada bayi dan anak hampir selalu melibatkan orang
di sekitarnya, sehingga infeksi pada faring biasanya juga mengenai
tonsil, sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis akut dan kronik.
Faringitis dan tonsilofaringitis mempunyai gejala seperti terdapat
nyeri di tenggorokan, mulut berbau, nyeri menelan. Kadang di sertai
otalgia, demam tinggi dan pembesaran kelenjar submandibula
(Ngastiyah, 2005).
4) Laringitis
Laringitis akut pada orang dewasa hanya penyakit ringan saja,
tetapi pada anak berbeda karena disertai batuk keras, suara serak
sampai afoni, sesak nafas dan stridor.
Penyebab laringitis umumnya adalah streptococus hemolyticus,
streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus hemolyticus.
Proses radang pada laring dipermudah oleh trauma, bahan kimia,
radiasi, alergi dan pemakaian suara berlebihan (Ngastiyah, 2005).

Laringitis sangat sering terjadi pada musim gugur dan biasanya


infeksi ini disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernapasan
terutama virus paraifluenza. Infeksi ini cendrung menyebar ke saluran
penapasan bagian bawah dan sering disertai gejala hidung beringus,
sulit bernapas, suara stridor, obstruksi jalan napas dan akan cendrung
lebih berat pada bayi (Hull, 2008).
Gejala yang timbul pada penyakit ini adalah, demam, batuk pilek,
nyeri menelan, dan pada waktu berbicara, suara serak, dan sesak nafas
sampai stridor. Bila penyakit berlanjut terus akan terdapat tanda
obstruksi pernafasan berupa, gelisah, nafas tersengal-sengal, napas
bertambah berat, retraksi suprasternal dan epigastrium (Ngastiyah,
2005).
5) Difteria
Penyakit difteria adalah infeksi akut menular yang sering
menyerang saluran pernafasan bagian atas, dengan tanda kas timbulnya
pseudomembran.
Penyebab

penyakit

difteria

adalah

kuman

diphtheriae

corynebacterium, bersifat gram positif, tidak bergerak dan tidak


berbentuk spora. Basil difteria akan mati pada pemanasan suhu c
selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu di dalam
es, air, susu, dan lendir yang telah mengering (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari 3
strain conynebacterium diphtheriae. Penyakit difteria ini biasanya
menginfeksi tenggorokan dan disebarkan melalui percikan ludah dari
orang-orang yang sudah terinfeksi. Masa inkubasi penyakit ini
biasanya 2-7 hari dan disertai nyeri tenggorokan dan inflamasi pada
tonsil (Hull, 2008).
Gejala umum yang timbul pada penyakit ini adalah, terdapat
demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala, dan anoreksia

sehingga pasien tampak sangat lemah. Sedangkan gejala lokal yang


timbul antara lain, nyeri menelan, bengkak pada leher karena
pembengkakan pada kelenjar regional, sesak napas, serak jika penyakit
sudah pada stadium lanjut (Ngastiyah, 2005).
6) Pertusis
Pertusis disebut juga sebagai tussis quinta (batuk rejan). Penyebab
pertusis adalah Bordetella pertussis yaitu suatu kuman yang tidak
bergerak dan bergram negatif. penyakit ini sangat mudah tertular dan
dapat mengenai seluruh golongan umur, biasanya lebih banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Penyakit ini seringkali berada
ditempat yang padat penduduknya (Ngastiyah, 2005).
Pertusis

merupakan

penyakit

yang

disebabkan

bordetella

pertussis. Penyakit ini biasanya berlansung lama dan berbahaya


kususnya pada masa bayi. Pada orang dengan pertusis biasanya akan
muncul tanda yang berupa batuk parah, spasme, muntah, sianosis,
apneu dan akan mengalami susah bernapas yang berlansung lebih dari
2-3 minggu (Hull, 2008).
Gejala penyakit ini antara lain batuk ringan pada malam hari dan
akan menjadi berat menjelang siang dan sore hari. Gejala lain bila
penyakit ini stadium lanjut ialah pilek, serak dan anoreksia, keringat
dingin, pembengkakan pembuluh darah leher dan muka melebar,
tanpak gelisah, tanpak disertai muntah dan banyak sputum kental yang
keluar (Ngastiyah, 2005).
7) Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Anak dengan daya tahan tubuh menurun akibat malnutrisi atau
faktor lain akan menderita pneumonia berulang.

Tanda dan gejala penyakit ini adalah biasanya di dahului oleh


infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu
tubuh dapat naik dengan mendadak sampai 39-40 dan kadang disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea,
pernapasan cepat dan dangkal dan disertai napas cuping hidung serta
sianosis di sekitar mulut dan hidung. Kadang-kadang disertai dengan
muntah dan diare, batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan
penyakit tetapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian
menjadi produktif (Ngastiyah, 2005).
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis akut ialah suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang
sering di derita bayi atau anak berumur kurang dari 2 tahun, paling
sering pada usia 6 bulan. Bronkiolitis akut sebagian besar disebabkan
oleh respiratorysyncyal virus (50%) (Ngastiyah, 2005).
Bronkiolitis merupakan radang pada bronkus dan biasanya dapat
mengenai trakea dan laring yang berlansung lama. penyakit ini dapat
memproduksi mukus yang berlebihan sehingga menimbulkan batuk
kurang lebih selama 3 bulan dalam kurun waktu 1 tahun (Somantri,
2007).
Bronkiolitis merupakan infeksi yang persisten yang dapat
mengakibatkan kerusakan dan dilatasi bronkus dengan gejala berupa
batuk kronik dan memproduksi sputum yang lebih banyak. Penyakit ini
biasanya karena infeksi pneumonia, pertusis dan campak kususnya
pada anak-anak kurang gizi (Hull, 2008).
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan
atas, disertai batuk pilek beberapa hari, biasanya tanpa disertai
kenaikan suhu badan. Anak mulai menderita sesak napas, makin lama
makin parah, pernapasan dangkal dan cepat, disertai serangan batuk,
terlihat juga pernapasan cuping hidung, anak menjadi gelisah dan

sianotik. Pada pemeriksaan biasanya terdapat suara perkusi hipersonor,


ekspirasi memanjang di sertai dengan mengi (Ngastiyah, 2005).
9) Tuberkolosis
Penyakit tuberkolosis (TB) pada anak dan bayi adalah penyakit
primer yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dan
mycobacterium bovis yang bersifat sistemik. TB primer biasanya
terdapat keluhan demam dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran
napas bagian atas (Ngastiyah, 2005).
TB dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali baik perempuan
maupun laki-laki, penyakit ini biasanya sering terjadi di tempat-tempat
dengan kepadatan penghuni yang dapat membuat cahaya matahari
susah menyinari bagian dalam rumah. Penyakit ini paling sering
ditemukan pada anak-anak numur 1-4 tahun (Somantri, 2007).
Basil tuberkolosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu
dalam keadaan kering, tetapi mati di dalam cairan yang bersuhu 60 c
selama 15-20 menit.
Penularan tubercolosis umumnya melalui udara hingga sebagian
besar fokus primer tuberkulosis terdapat dalam paru. Selain melalui
udara penularan juga bisa melalui oral jika meminum susu yang
mengandung basil tuberkolosis bovis. Tanda dan gejala penyakit ini
adalah demam yang naik turun selama 1-2 minggu, gambaran
kliniknya adalah batuk, demam, anoreksia dan berat badan menurun.
Kadang dijumpai demam yang menyerupai tifus abdominalis atau
malaria yang disertai atau tanpa hepatospenomegali (Ngastiyah, 2005).
c.

Penyebab ISPA
Bakteri penyebab ISPA tersering adalah Haemophilus influenzae
(20%) dan Streptococcus pneumoniae (50%). Bakteri penyebab lain
adalah Staphylococcus aureaus dan Klebsiella pneumonia, sedangkan
virus yang sering menjadi penyebab ISPA adalah respiratory syncytial

virus (RSV) dan influenza. Jamur yang biasanya ditemukan sebagai


penyebab ISPA pada anak dengan AIDS adalah Pneumocystisjiroveci
(WHO, 2003).
Klasifikasi penyebab ISPA berdasarkan umur (Depkes RI, 2010):
1) Bayi baru lahir
ISPA pada bayi baru lahir seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta
bakteri Coli, torch, Streptokokus dan Pneumokokus. Pneumonia
biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV),
dan bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S.
pneumoniae, S. aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).
2) Balita dan anak pra-sekolah
ISPA pada balita dan anak pra-sekolah sering kali disebabkan oleh
virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, InfluenzaA or B, dan berbagai
bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A.
Staphylococcus aureus, dan Chlamydia (Depkes RI, 2010).

3) Anak usia sekolah dan remaja


ISPA pada anak usia sekolah dan remaja biasanya disebabkan oleh
virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai
bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma
(Depkes RI, 2010).
d.

Tanda dan Gejala ISPA


Tanda dan gejala ISPA pada anak balita secara umum (Wong, 2003):
1) Demam

Suhu badan meningkat 39,5-40,5 c, malas dan peka ransang,


terkadang eoforia dan lebih aktif dari normal, dapat mencetuskan
kejang febris.
2) Meningismus
Demam yang terjadi secara tiba-tiba dan disertai sakit kepala,
nyeri dan kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda kernig dan
akan berkurang saat suhu tubuh turun.
3) Muntah
Muntah dapat didahului tanda-tanda lain degan selang beberapa
jam biasanya berlansung singkat tetapi dapat menetap selama sakit.
4) Diare
Diare biasanya ringan tapi lama kelamaan menjadi berat dan akan
terjadi dehidrasi.
5) Sumbatan lubang hidung
Lubang hidung balita mudah tersumbat oleh pembengkakan
mukosa dan eksudasi yang dapat mempengaruhi pernafasan dan
menyusui pada bayi sehingga dapat menyebabkan otitis media dan
sinusitis.
6) Keluarnya cairan dari lubang hidung
Keluarnya cairan pada lubang hidung yang bersifat encer dan
sedikit kental dan purulen tergantung pada tipe dan tahap infeksi, dapat
menyebabkan kegatalan, dapat mengiritasi bibir bagian atas dan kulit
sekitar hidung.
7) Batuk

Gambaran umum dari penyakit pernafasan dapat menjadi bukti


hanya selama fase akut dan dapat menetap selama beberapa bulan
setelah penyakit muncul.
8) Bunyi pernafasan
Suara serak, mengorok, stridor dan mengi.
9) Sakit tenggorokan
Sakit tenggorokan merupakan keluhan yang sering dari anak
dewasa, anak kecil tidak bisa mengambarkan gejala, mungkin tidak
akan mengeluh meskipun sudah sangat terinflamasi. Seringkali anak
menolak untuk makan dan minum.
Menurut derajat keparahanya, ISPA dapat di bagi menjadi tiga
golongan (Kartasasmita, 2010):
a) ISPA ringan
ISPA ringan yaitu terjadi batuk, serak (anak mengeluarkan suara
parau pada waktu anak bersuara), pilek (anak mengeluarkan lendir
atau ingus dari hidung), demam (suhu tubuh meningkat lebih dari
suhu tubuh normal) (Kartasasmita, 2010).
b) ISPA sedang
ISPA sedang yaitu pernafasan lebih dari 50x/menit pada anak
umur 1 tahun, suhu tubuh meningkat lebih dari 39 c, tenggorokan
berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit yang menyerupai
bercak campak, telinga sakit dan biasanya disertai keluar nanah dari
lubang telinga (Kartasasmita, 2010).
c) ISPA berat
ISPA berat yaitu bibir atau kulit membiru, bernafas dengan
mulut, terlihat cuping hidung saat bernafas, kesadaran menurun,

pernafasan berbunyi menggorok dan anak tanpak gelisah, sela iga


tertarik ke dalam pada saat bernafas, nadi cepat lebih dari 60x/menit
atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah (Kartasasmita,
2010).
e.

Cara penularan penyakit ISPA


ISPA ditularkan lewat udara pada saat orang yang sudah terinfeksi
akan mengalami batuk, bersin atau bernafas maka bersamaan dengan itu
bakteri atau zat virus yang menyebabkan ISPA secara tidak sengaja akan
menginfeksi orang yang ada di sekitar yang menghirup udara tersebut.
Faktor yang dapat memudahkan penularan (Said, 2010):
1) Kuman (bakteria dan virus) yang menyebabkan ISPA mudah
berkembangbiak dalam rumah yang lantainya lembab, pencahayaan
kurang, ventilasi yang tidak memenuhi standar dan polusi udara entah
karena asap rokok ataupun asap api sebagai bahan untuk memasak
(Said, 2010).
2) Orang yang terkena ISPA akan mudah menularkan kuman pada orang
lain baik lewat kontak lansung maupun lewat udara pada saat bersin
atau batuk tanpa menutup mulut dan hidung (Said, 2010).
3) Kuman yang menyebabkan ISPA mudah sekali menular dari orang
yang satu ke orang yang lain, terutama pada rumah yang anggota
keluarganya banyak dan tinggal dalam rumah yang ukurannya kecil
(Said, 2010).

f.

Pencegahan ISPA
ISPA dapat dicegah melalui beberapa cara baik dengan menghindarkan
atau mengurangi faktor risiko maupun melalui beberapa pendekatan, yaitu
dengan melakukan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi,
pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis
dan pengobatan ISPA, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan
waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus ISPA terutama
pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan
asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi
udara di dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian

terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi


kejadian ISPA (Depkes RI, 2010).
Usaha pencegahan ISPA (WHO, 2003):
1) Pencegahan Non spesifik.
a) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
Meningkatkan

derajat

sosio-ekonomi

dapat

mengurangi

kejadian ISPA. Pada beberapa negara berpenghasilan rendah


pembiayaan kesehatan sangat kurang. Pembiayaan kesehatan yang
tidak cukup menyebabkan fasilitas kesehatan seperti infrastruktur
kesehatan untuk diagnostik dan terapeutik tidak adekuat dan tidak
memadai, tenaga kesehatan yang terampil terbatas, di tambah lagi
dengan akses ke fasilitas kesehatan sangat kurang (WHO, 2003).
b) Menurunkan angka kemiskinan
Angka kemiskinan yang sangat tinggi merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA. Di negara
berkembang yang umumnya berpenghasilan rendah terdapat banyak
kasus ISPA karena susah untuk mendapat tempat tinggal yang layak
ditambah besarnya populasi anak akan semakin menambah tekanan
pada pengendalian dan pencegahan ISPA terutama pada aspek
pembiayaan (WHO, 2003).
c) Meningkatkan pendidikan kesehatan
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA
adalah pendidikan ibu dan status sosio-ekonomi keluarga. Makin
rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita
(Depkes RI, 2010).
d) Meningkatkan status gizi

Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena


ISPA. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA
adalah imunisasi pertusis (DTP), campak, Haemophilus influenza,
dan pneumokokus (WHO, 2003).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap ISPA sebagai komplikasi
campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkenbangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat (Hull,
2008).
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan
pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi
campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian akibat
pneumonia dapat dicegah (Hull, 2008).
e) Meningkatkan derajat kesehatan
Akibat derajat kesehatan yang rendah maka penyakit infeksi
termasuk infeksi kronis dan infeksi HIV mudah ditemukan.
Banyaknya komorbid lain seperti malaria, campak, gizi kurang,
defisiensi vit A, defisiensi seng (Zn). tingginya prevalensi kolonisasi
patogen di nasofaring, tingginya kelahiran dengan berat lahir
rendah, tidak ada atau tidak memberikan ASI dan imunisasi yang
tidak adekwat memperburuk derajat kesehatan (Depkes RI, 2010).
f) Lingkungan yang bersih, bebas polusi

Status sosio-ekologi yang tidak baik ditandai dengan buruknya


lingkungan, daerah pemukiman kumuh dan padat, polusi dalam
ruang akibat penggunaan biomass (bahan bakar rumah tangga dari
kayu dan sekam padi), dan polusi udara luar ruang. Ditambah lagi
dengan tingkat pendidikan ibu yang kurang memadai serta adanya
adat kebiasaan dan kepercayaan lokal yang salah (Depkes RI, 2010).
2) Pencegahan Spesifik
a) Cegah BBLR
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk
meningkatnya ISPA. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan
BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan (prematur)
khususnya yang masa kehamilannya <35 minggu, biasanya
mengalami penyulit seperti gangguan napas karena infeksi pada
saluran pernafasan (Depkes RI, 2010).
BLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan
waktu lahir hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga
berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang
bernafas cepat >60 kali/menit, lambat <30 kali/menit dapat disertai
sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa retraksi dinding dada
serta merintih, dengan demikian BBLR sangat beresiko untuk
terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Depkes RI, 2010).
b) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan
kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi
seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian mikronutrien bisa
membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI
suboptimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas
bawah, sebesar 20% (Depkes RI, 2010).

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang


ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya
tahan

tubuh

menyebabkan

yang

kurang.

Penyakit

balita

tidak

mempunyai

infeksi
nafsu

sendiri
makan

akan
dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita


lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama
(Depkes RI, 2010).
c) Vaksinasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung
pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib
(Haemophilus influenzae type b) dan Pneumococcus (PCV). Dua
vaksin diantaranya, yaitu pertussis dan campak telah masuk ke
dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk
Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh
WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah
kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal
belum banyak negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke
dalam program nasional imunisasi.
(1) Vaksin Campak
Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus campak. Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat
sembuh dengan sendirinya, namun dapat dikatakan berat
dengan berbagai komplikasi seperti ISPA terutama pneumonia
yang bahkan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada
anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun
(WHO, 2003).
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit
campak biasanya berat. Menurunkan kejadian penyakit campak
pada balita dengan memberikan vaksinasi dapat menurunkan
kematian akibat pneumonia (Depkes RI, 2010)

(2) Vaksin Pertusis


Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk
seratus hari. Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini
disebabkan infeksi bacteria Bordetella pertussis. Vaksinasi
terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke dalam program
imunisasi nasional di Indonesia, diberikan dalam sediaan DTP,
bersama difteri dan tetanus (Ngastiyah, 2005).
(3) Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae
type b (Hib) merupakan penyebab ISPA dan radang otak
(meningitis) yang utama. Diduga Hib mengakibatkan penyakit
berat pada 2 sampai 3 juta anak setiap tahun. Vaksin Hib sudah
tersedia sejak lebih dari 10 tahun, namun penggunaannya masih
terbatas dan belum merata.. Hal ini dimungkinkan karena
harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO
menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua anak di negara
berkembang (Somantri, 2007).
(4) Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama terutama
pneumonia

pada

anak

di

negara

berkembang.

Vaksin

pneumokokus sudah lama tersedia untuk anak usia diatas 2


tahun dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk bayi dan
anak dibawah 3 tahun sudah tersedia, yang dikenal sebagai
Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) (Ngastiyah, 2005).
g.

Pertolongan pertama penderita ISPA


Usaha penanganan ISPA pada anak di rumah oleh seorang ibu
dilakukan beberapa cara:
1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia dua bulan sampai lima tahun, demam dapat
diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi di
bawah dua bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol
diberikan sehari empat kali setiap enam jam untuk waktu dua hari.
Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian
digerus dan diminumkan, memberikan kompres, dengan menggunakan
kain bersih dengan cara kain dicelupkan pada air (tidak perlu di
tambah air es) (Kusbiyantoro, 2009).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan untuk memberikan obat batuk yang aman misalnya
ramuan tradisional yaitu jeruk nipis setengah sendok teh dicampur
dengan kecap atau madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali
sehari (Kusbiyantoro, 2009).
3) Pemberian nutrisi
Dianjurkan memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit
tetapi sering, lebih-lebih jika terjadi muntah. Pemberian ASI pada bayi
yang menyusui tetap diteruskan (Kusbiyantoro, 2009).
4) Pemberian minuman
Diusahakan memberikan cairan (air putih, air buah dan
sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Hal ini akan membantu
mengencerkan dahak, selain itu kekurangan cairan akan menambah
parah sakit yang diderita (Kusbiyantoro, 2009).
5) Pertolongan lain yang dapat dilakukan
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu
tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak yang demam. Membersihkan
hidung pada saat pilek akan berguna untuk mempercepat kesembuhan
dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Apabila selama
perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk

membawa ke dokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang


mendapat obat antibiotik, selain tindakan di atas diusahakan agar obat
yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama lima hari penuh
dan setelah dua hari anak perlu dibawa kembali ke petugas kesehatan
untuk pemeriksaan ulang (Kusbiyantoro, 2009).
3. Lingkungan Rumah
a.

Pengertian Lingkungan Rumah


Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik
berupa benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata.
Rumah dibuat karena manusia ingin bernaung serta melindungi mereka
dari berbagai macam ancaman kesehatan. Lingkungan rumah antara lain
mencakup udara, ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian rumah,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah,
sarana pembuangan air besar atau kecil dan penyediaan sumber air bersih
(Slamet, 2009).
Lingkungan rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi derajat
kesehatan serta produktifitas seseorang. Rumah merupakan surga bagi kita
karena disitulah tempat kita berlindung. Lingkungan rumah sebaiknya
dijauhi dari segala macam faktor-fakor yang dapat merugikan kesehatan
misalnya limbah buangan pabrik, asap yang membuat udara tercemar,
tempat pembuangan sampah atau perternakan yang kurang bersih,
fasilitas-fasilitas lainya seperti air minum yang kurang bersih, fasilitas
pembuangan limbah dan air yang tidak memadai. Disamping itu sumber
daya alam yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan seperti adanya
sinar matahari yang bisa menyinari segala ruangan di dalam rumah
sehingga tidak terjadi kelembaban di dalam rumah (Hindarto, 2007).

b.

Syarat Lingkungan dan Rumah Sehat


1) Syarat lingkungan sehat.
a) Sampah

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari


sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki
nilai ekonomis. Ada beberapa bentuk sampah yaitu padat, cair dan
gas. Secara sederhana sampah dapat dibagi berdasarkan sifatnya
yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik yaitu sampah
basah yang berasal dari makluk hidup seperti dedaunan dan sampah
dapur. Sampah organik ini mudah terurai secara alami. Sementara
itu sampah anorganik yaitu sampah kering yang tidak dapat terurai
seperti karet, plastik, kaleng dan logam (Suharmadi, 2002).
Sampah selalu menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang
kurang peka terhadap lingkungan. Ketidaksiplinan mengenai
kebersihan dapat menciptakan suasana semberawut akibat timbunan
sampah, kondisi yang tidak menyenangkan akan muncul seperti bau
tidak sedap, lalat berterbangan dan peluang pencemaran lingkungan
sekitar akan menjadi santapan sehari-hari. Sampah rumah tangga
dapat ditanggulangi dengan membuat lubang tempat pembuangan
sampah, melalui penimbunan supaya dapat diolah menjadi pupuk
kandang dan briket arang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).
b) Sumber Air dan Sumur
Penyediaan air minimum setiap rumah pada dasarnya harus
memenuhi persyaratan. Berkenaan dengan itu maka air yang akan
dipergunakan untuk air minum harus berdasarkan rekomendasi dari
PDAM atau instansinya yang berwenang. Pengambilan contoh air
hendaknya dilakukan oleh instansi yang menyelidiki kualitas airnya
bukan oleh pihak developer. Untuk menyediakan air minum dengan
jumlah yang cukup, dapat diambil sumber dari Sumur gali, sumur
artesis

dan

PDAM/PAM

(Direktorat

Lingkungan Pemukiman, 2008).


(1) Gali

Jenderal

Penyehatan

Dalam hal penyediaan air minum atau air bersih diambil


dari sumur gali, maka untuk setiap sumur gali hanya
diperbolehkan mensuplai maksimum 4 (empat) unit rumah
(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
2008).
Pipa sumur gali harus dibuat sedemikian rupa sehingga
sumur tersebut selalu dapat menyediakan air dengan jumlah
yang cukup, walaupun pada musim kemarau (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008) .
Jarak sumur gali terhadap pembuangan air kotor biasa,
lebih-lebih septic tank harus lebih besar dari 8 meter. Untuk
sumur gali jarak tersebut diukur dari dinding sumur ke dinding
bagian luar septic tank (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Sumur Artesis
Debit air harus dapat memenuhi kebutuhan setiap penghuni
rumah dengan cukup. Pusat reservoir dengan ketinggian yang
cukup ( >4 meter dari kran rumah yang tertinggi) dan volume
minimal 20% dari kebutuhan untuk air bersih seluruh rumah
per hari dari rumah-rumah yang disalurkan oleh sumur tersebut
(Suharmadi, 2002).
Jarak lokasi sumur artesis dengan lokasi pembuangan air
kotor (25 meter). Letak pompa atau inlet pipa sedot harus
paling dekat 2 meter di bawah muka air terendah yang ada
dalam jamban.
Instalasi jaring-jaring pipa distribusinya harus direncanakan
dan dipasang sesuai dengan ketentuan PDAM setempat dan
pelaksanaannya

harus

ditangani

oleh

instalatur

yang

mempunyai surat pas dari PDAM setempat. Untuk itu baik

perencanaan maupun pelaksanaannya harus diawasi oleh


PDAM (Suharmadi, 2002).
(3) PDAM (PAM)
Rumah yang dianggap telah tersedia air PAM dengan baik
yaitu bila penyambungan pipa beserta meterannya telah
terpasang.

Konstruksi

bangunan

air

maupun

jaringan

distribusinya supaya dibenarkan oleh persyaratan untuk air


minum. Untuk keperluan tersebut perlu adanya testing secara
periodik terhadap alat penyaring maupun hasil air yang telah
disaring. Debit airnya harus mampu untuk didistribusikan ke
seluruh rumah dengan baik, maka persyaratan bak reservoir
seperti pada sumur artesis harus tetap dipenuhi. Tiap rumah
agar dipasang meteran air, dan jaringan instalasi distribusinya
harus dilegalisir oleh PAM setempat (Direktorat Jenderal
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
c) Pembuangan air kotoran (WC)
Pembuangan air kotoran dari WC dapat dilakukan dengan dua
cara, tergantung dari tingginya permukaan tanah. Apabila
permukaan air tanah cukup dalam yakni di bawah 1 meter, dari
permukaan tanah, sebaiknya dipakai sistim Septic tank (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008):
(1) Bak septic
Dinding dan alas atau dasarnya harus rapat (tebal plesteran
harus >2 cm), volume air dalam bak septic minimal 1 meter
kubik, tinggi air dalam bak septic minimal 1,20 meter, letak
lubang inlet minimal harus 10 cm di atas lubang outlet, bagian
dinding penyekat yang masuk dalam air minimal harus 40 cm,
jarak lubang outlet dan inlet minimal 1 meter, jarak dari sumur
penampungan minimal 8 meter (Direktorat Jenderal Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, 2008).
(2) Lubang pemeriksaan kontrol untuk bak septic

Pada setiap bak septic dari sistim septic tank maupun bak
inlet perlu dipasang lubang untuk pemeriksaan dan pengurasan.
Alat tutup bak septic ataupun inlet tersebut tidak terlihat dari
permukaan tanah (Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan
Pemukiman, 2008).
(3) Peresapan
Luas bidang peresapan harus mampu meresapkan air
minimal 400 liter/hari, kalau peresapan tersebut hanya dipakai
untuk meresapkan air dari bak septic. Akan tetapi kalau
peresapan tersebut dipakai juga untuk meresapkan air dari
cucian dan kamar mandi, maka daya resapnya harus mampu
untuk meresapkan air minimal 2000 liter/hari (Direktorat
Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2008).
Luas bidang resap masih sangat tergantung kepada jenis
tanahnya. Oleh karena itu untuk daerah-daerah yang jenis
tanahnya bersifat mendekati kedap air, maka daya serap dari
tanah tersebut perlu diselidiki dulu, baru dihitung luas bidang
resap yang dibutuhkan. Jenis tanah yang sulit meresapkan air
atau kedap air antara lain, tanah liat atau sawah (biasanya
warnanya hitam), tanah lempung, tanah berkapur atau batuan
kapur. Untuk menyelidiki daya serap tanah dapat dilakukan
pengujian melalui laboratorium mekanika tanah dengan dicoba
langsung di lapangan. Apabila akan dicoba langsung di
lapangan maka sebaiknya dilakukan pada waktu musim hujan
(agar

pengadaan

tanah

dalam

keadaan

yang

terjelek)

(Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman,


2008).
d) Pembuangan air limbah dan air hujan
Apabila akan dipakai saluran, dapat dikerjakan sebagai berikut,
kalau pembuangan air dari cucian dan kamar mandi disalurkan
rembesan, maka harus dipenuhi syarat (Suharmadi, 2002):

(1)

Luas bidang rembesan harus dihitung dulu untuk mampu


meresapkan air tersebut di atas ( 2000 liter/hari).

(2) Harus dipasang saringan dan bak kontrol, sebelum air tersebut
dimasukan ke rembesan
(3)

Pembuangan atau pengaliran air hujan harus disediakan


tersendiri karena debitnya cukup besar (dibuang ke saluran
umum atau sungai).

e) Asap dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain
disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran
udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur.
Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas
penghuninya antara lain; pengguna bahan bakar biomassa untuk
memasak, asap rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar
dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes
(Sukar, 1996).
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh
pembakaran bahan bakar biomassa yang menimbulkan asap yang
berbahaya bagi kesehatan adalah :
(1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa
mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe),
mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk
langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan kimia
dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus.
Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersifat akumulatif,
paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama
akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut
dalam alat pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh
yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru (Anwar, 1992).

(2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.


Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan
karena diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene
(Anwar, 1992).
(3) Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada
mata, hidung dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi
karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur
dengan air mata atau lendir dalam saluran pernapasan (Anwar,
1992).
(4) Carbonmonoksida(CO)
Pengaruh

akut

inhalasi

CO

adalah

berkurangnya

persediaan oksigen dalam tubuh, yang disebabkan oleh


bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin
membentuk COHb (Anwar, 1992).
(5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang
paling banyak mempengaruhi kesehatan paru bagian dalam.
Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah
kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri
(pneumonia) atau virus (influenza) (Anwar, 1992).
(6) Sulfurdioksida(SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut
dalam air membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk
ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru (Anwar, 1992).
Anak-anak atau balita biasanya berada di dekat api atau berada
di pangkuan ibunya ketika sedang memasak dan saat menyiapkan

makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan polusi dari bahan


bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus
menerus menyebabkan iritasi pada mukosa saluran pernapasan,
sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Anwar, 1992).
f) Kebiasaan merokok dalam rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah
semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak
penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup
asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan
dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang
mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya
(Dachroni, 2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream
sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap
sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan
asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan
kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap
asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa
(Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan
memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti
gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakit anginapectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk
mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang
orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran
pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakit saluran
pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang
pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat
elastin di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang,
udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong
udara (Dachroni, 2003).
2) Bahan bangunan Rumah
a) Lantai
Lantai rumah yang kotor dan tidak kedap air merupakan media
yang baik untuk perkembangan bakteri atau virus penyebab ISPA.
Usaha yang perlu dilakukan untuk menghindari bakteri atau virus
infeksius ini adalah dengan cara membuat lantai rumah dari bahan
kedap air dan mudah dibersihkan misalnya lantai rumah harus di

plaster atau memasang ubin atau keramik supaya mudah dibersihkan


(Departemen Pekerjaan Umum, 1985).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 tentang hubungan antara lantai
rumah dengan kejadian ISPA di Desa Cepogo memperkuat fakta
bahwa lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat
mempengaruhi kejadian ISPA dengan didapatkan nilai p (0,025)
lebih kecil dari nilai (0,05). Dari sampel penelitian yang diteliti
memperlihatkan bahwa, rumah yang memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 13 rumah sedangkan lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat sebanyak 24 rumah.
b) Dinding
Dinding adalah bagian dari bangunan yang dipasang secara
vertikal dengan fungsi sebagai pemisah antar ruang dalam rumah
dengan ruang luar rumah. Dinding rumah yang sehat menggunakan
tembok yang terbuat dari batako dan sudah diplester, tetapi dinding
rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang
berdinding papan, kayu dan bambu, hal ini akan mempersulit untuk
dibersihkan sehingga menyebabkan penumpukan debu dan menjadi
media yang baik untuk perkembangan bakteri seperti bakteri
penyebab ISPA (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Ayu tahun 2009 mengambarkan bahwa dinding
rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan mempunyai
hubungan erat dengan kejadian ISPA dengan nilai p (0,00) lebih
kecil dari nilai (0,05). Dari beberapa responden yang diteliti
didapatkan responden yang terinfeksi penyakit ISPA dan
menggunakan dinding rumah yang memenuhi syarat kesehatan
sebanyak 5 rumah dan responden yang terkena ISPA dan
menggunakan dinding rumah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebanyak 32 rumah.
c) Atap
Atap adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai
penutup seluruh ruangan yang ada dibawahnya terhadap pengaruh
panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan perlindungan. Atap
rumah yang sehat seharusnya terbuat dari genteng dan
menggunakan plafon atau langit-langit agar debu tidak langsung
masuk ke dalam rumah ataupun panas matahari. Atap rumah yang
terbuat dari genteng akan tahan terhadap pengaruh cuaca, serta
masyarakat juga dapat membuatnya sendiri (Ambarwati, 2007).
Hasil penelitian Supriyanto (2008) di Desa Tual, Kecamatan
Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan responden
yang terkena ISPA mempunyai atap rumah yang memenuhi syarat
kesehatan sebanyak 16 rumah dan responden yang terkena ISPA

yang menggunakan atap rumah yang tidak memenuhi syarat


kesehatan sebanyak 21 rumah.

d) Ventilasi
Ventilasi adalah suatu lubang yang sengaja dibuat agar bisa
menggantikan udara ruangan yang sudah terpakai dengan udara
yang segar dari luar ruangan, agar temperatur dan kelembaban udara
dalam ruangan tetap terjaga. Temperatur udara dalam ruangan
seharusnya lebih rendah c dari temperatur luar ruangan (Sanropie,
1989).
Ventilasi yang baik harus memenuhi syarat kesehatan (Kasjono,
2011):
(1)

Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai


ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi tidak tetap (dapat
dibuka dan ditutup seperti jendela, pintu) minimal 5% luas
lantai sehingga jumblah keduanya 10% kali luas lantai ruangan.

(2)

Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak dicemari


oleh asap hasil pembakaran sampah atau asap kendaraan
bermotor serta debu.

(3)

Aliran udara harus cross ventilation dengan memastikan


lubang hawa tidak terhalang oleh barang-barang rumah seperti
lemari dan lain-lain sehingga aliran udara bisa lancar.

(4)

Kelembaban udara dalam ruangan harus diatur sesuai


kebutuhan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Ayu (2006) tantang hubungan

sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA di Desa Cepogo


Kabupaten Boyolali, menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di Desa
Penjaringan Sari rata-rata tidak memenuhi standar kesehatan yang
ditetapkan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan responden
terkena ISPA yang menggunakan

ventilasi rumah yang baik

sebanyak 10

rumah dan responden yang terkena ISPA yang

menggunakan ventilasi rumah yang tidak baik sebanyak 27 rumah.


e) Tingkat kepadatan penghuni
Luas bangunan harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas bangunan harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 20 untuk tiap anggota keluarga.
Riskesdas (2007) menunjukan provinsi dengan proporsi hunian
padat lebih tinggi dari rerata nasional antara lain Papua (51,0%),
Papua Barat (40,8%) dan DKI Jakarta (37,7%). (BPPK Depkes RI,
2008).
Langkah-langkah untuk menghitung kebutuhan ruangan
(Ambarwati, 2007) :
(1) Tentukan rumah yang akan di hitung
(2) Ukur dan hitung luas rumah L = p x l
(3)

Menghitung jumblah orang yang dapat menempati rumah


tersebut dengan cara :

f) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak lebih. Kurangnya cahaya, terutama cahaya
matahari yang masuk ke dalam rumah selain kurang nyaman, juga
merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibitbibit penyakit. Sebaliknya jika terlalu banyak akan membuat silau
dan akhirnya merusak mata (Suharmadi, 2002).
Cahaya dibedakan menjadi 2 yaitu:

(1) Cahaya alamiah


Cahaya alamiah adalah cahaya matahari yang masuk ke
dalam ruangan melalui jendela, celah-celah, dan bagian-bagian
bangunan yang terbuka. Sebaiknya sinar matahari tidak
terhalang oleh bangunan yang tinggi, pohon ataupun pagar
yang tinggi. Cahaya matahari dapat mengurangi kelembaban
dalam ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman
penyebab penyakit seperti penyakit ISPA. Jalan masuk cahaya
(jendela) luasnya sekurang-kurang 10-20% dari luas lantai
rumah (Kasjono, 2011).
(2) Cahaya buatan
Cahaya buatan adalah cahaya yang bersumber dari lampu
minyak, listrik, gas dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhankebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan
oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh sinar matahari
pagi yang baik, sebaiknya jendela kamar harus menghadap ke
timur. Luas jendela sebaiknya 10-20% dari luas lantai rumah.
Kuat sinar yang memenuhi standar penerangan dalam rumah
yaitu berkisar antara 50-100 lux. Pada bagian tertentu kuat
penyinaran untuk penerangan seperti dapur memerlukan 200
lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan
ruang belajar berkisar 100 lux (Kasjono, 2011).
Hasil penelitian Supriyanto (2008), tentang hubungan
antara kondisi fisik kamar hunian dengan kejadian ISPA di
Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan
responden yang terkena ISPA mempunyai pencahayaan yang
baik sebanyak 10 rumah sedangkan responden yang terkena
ISPA yang mendapatkan pencahayaan yang kurang baik
sebanyak 27 rumah.

g) Kelembaban
Kelembaban lantai dan dinding rumah perlu mendapat
perhatian kusus dari penghuni rumah. Kelembaban yang tinggi akan
menyebabkan lantai dan dinding rumah akan sedikit basah, hal ini
akan dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah tersebut.
Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme seperti bakteri penyebab ISPA. Kelembaban rumah
yang bagus berkisar antara 40-60% dan buruk jika kurang dari 40%
atau lebih dari 60% (Kasjono, 2011).
Berdasarkan hasil analisis statistik Ayu (2009) dengan uji Chi
square untuk hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Desa Cepogo, didapatkan nilai p (0,883) lebih
kecil dari nilai (0,05), dengan demikian tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kelembaban rumah dengan kejadian ISPA
dengan menunjukan responden yang terkena ISPA mempunyai
kelembaban rumah yang kurang baik sebanyak 18 rumah dan
responden yang terkena ISPA dan mempunyai kelembaban rumah
baik sebanyak 15 rumah.
h) Suhu
Suhu mempunyai peranan dalam menimbulkan penyakit karena
kuman biasanya bermetabolisme dan memperbanyak diri dengan
bantuan tekanan oksigen dan suhu dari lingkungannya. Dalam
mengatasi kondisi kosentrasi pencemaran udara dalam lingkungan
rumah tergantung dari kondisi suhu. Jika suhu di dalam rumah
cukup tinggi maka akan membahayakan bagi kesehatan (Sanropie,
1989).
Sebaiknya temperatur udara di dalam ruangan harus lebih
rendah 4 dari temperatur udara luar ruangan. Untuk daerah tropis
umumnya temperatur di dalam ruangan 22-30 c sudah cukup segar
(Sanropie, 1989).
B.

Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep
Sanitasi Lingkungan Rumah
ISPA
1.
2.
3.
4.

Variabel pengganggu
Nutrisi
Status imunisasi
Status ekonomi
Pendidikan

Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti :

D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada
balita usia 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis kuantitatif yaitu mengelola data yang
berbentuk angka, baik sebagai hasil pengukuran maupun hasil dari konvensi.
Metode penelitian observasional dan menggunakan rancangan cross sectional
yaitu suatu penelitian dimana variabel sebab atau variabel resiko dan akibat atau
kasus yang terjadi pada objek penelitian diobservasi dalam waktu yang
bersamaan

(Notoatmodjo,

2005).

Pendekatan

yang

digunakan

adalah

korelasional deskriptif yaitu mengkaji hubungan antara variable. Peneliti dapat


mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan
teori yang ada yang bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antarvariabel
(Nursalam, 2008).

B.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelilitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,


Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 2013 sampai dengan
tanggal 04 April 2013.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah balita umur
1-4 tahun yang terdaftar di Puskesmas Ngaglik I terhitung dari tanggal 18
Maret 2013 sampai dengan tanggal 04 April 2013 yang berdomisili di wilayah
kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
yang berjumlah 37 orang.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan sebagian dari keseluruhan subjek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam penelitian
ini adalah total populasi yang berjumlah 37 orang.
3. Tehnik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Accidental Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang
kebetulan ada atau tersedia (Notoatmodjo, 2005).

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab
timbulnya atau berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel independen
dalam penelitian ini adalah sanitasi lingkungan rumah.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat, merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2010). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian
penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

E.

Definisi Operasional
1. Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik berupa

benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun benda tak nyata (Slamet, 2009).
Berdasarkan penelitian Ayu (2006), parameter sanitasi lingkungan rumah
dikategorikan:

a. Baik
: 7-9
b. Sedang
: 4-6
c. Buruk
: 1-3
2. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
Balita umur 1-4 tahun yang didiagnosa menderita ISPA oleh dokter atau petugas
medis lainnya di Puskesmas Ngaglik I.

F. Tehnik Pengumpulan Data


Data diperoleh langsung oleh peneliti yang diawali dengan informed consent
dengan menjelaskan tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui adakah hubungan
sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
pada balita 1-4 tahun yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik,
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini juga menggunakan data
sekunder, yaitu data yang didapatkan dari Puskesmas Ngaglik I.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen
dalam penelitian ini berupa meteran untuk mengukur tingkat kepadatan penghuni
serta luas ventilasi rumah dan hygrometer untuk mengukur kelembaban ruangan serta
suhu ruangan dan lux meter untuk mengukur kekuatan cahaya untuk penerangan di
dalam rumah (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan alat

observasi berupa check list yaitu suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan
beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2005).

H. Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengolahan data
Menurut Setyadi (2009), pengolahan data merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah
dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menhasilkan informasi yang
diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan cara mengolah hasil check list yang
telah diisi oleh peneliti, kemudian diolah dengan menggunakan komputer. Pengolahan
meliputi:
a. Editing
Editing adalah memeriksa seluruh pernyataan dan pertanyaan yang
sudah diisi oleh peneliti. Jika terdapat kekeliruan, check list belum diisi atau
pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk akan diperbaiki dengan
mengulang, sehingga data yang dimasukkan dalam komputer adalah data
yang benar.
b. Coding
Coding

adalah

mengklasifikasikan

jawaban-jawaban

dari para

responden ke dalam kategori dengan memberikan tanda atau simbol untuk


memudahkan pengolahan data, kemudian dilakukan skoring. Dalam hal ini
peneliti memberikan skor pada masing-masing variabel.
c. Entry data
Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian
dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data. Data yang
dimasukkan melalui pengolahan dalam komputer.
d. Tabulating
Pada tahap ini, angka-angka dalam skor setiap item pernyataan dan
pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor secara keseluruhan yang

dijadikan dasar pertimbangan dalam pemberian predikat sesuai ketentuan.


Data yang ditabulasi kemudian dianalisis.
2. Rencana Analisis Data
Hasil pengolahan data di analisis dengan uji statistik yaitu menggunakan
Analisis Univariat dan Bivariat .
a. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
variabel terikat yaitu kejadian ISPA dan variabel bebas yaitu sanitasi
lingkungan rumah dari hasil penelitian. Pada umumnya analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2005).
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005). Analisa bivariat
digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat (dependent)
dan variabel bebas (independent) yaitu hubungan sanitasi lingkungan
rumah dengan kejadian ISPA pada balita umur 1-4 tahun. Cara analisis
bivariat

yaitu

dengan

menguji

masing-masing

variabel

dengan

menggunakan program komputer.


Menurut Sugiyono (2010), dasar pengambilan keputusan penerimaan
hipotesis dengan tingkat kepercayaan 95% :
1) Jika nilai sig p > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
2) Jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

I.

Jalannya Penelitian
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan yang dilakukan oleh peneliti dalam mengajukan proposal

penelitian ini adalah:


a. Mengidentifikasi masalah di suatu tempat.
b. Konsultasi judul kepada pembimbing I dan pembimbing II.
c. Mengurus surat ijin studi pendahuluan dari kampus.

d.

Melakukan studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I,

Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.


e. Menyusun proposal penelitian.
f. Konsultasi proposal penelitian ke pembimbing I dan pembimbing II.
g. Seminar atau mempresentasikan proposal penelitian.
h. Memperbaiki atau revisi proposal penelitian yang sudah diseminarkan.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaaan antara lain:
a. Melakukan sosialisasi ke tempat yang akan dijadikan tempat penelitian
yaitu di wilayah kerja Puskesmas Ngaglik I, Ngaglik, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta dan memberikan penjelasan tentang maksud dan
tujuan penelitian.
b. Mengajukan izin penelitian.
c. Menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian.
d. Memberikan informed consent.
e. Melakukan observasi serta mengisi lembar check list oleh peneliti.
f. Melakukan pengolahan data.
g. Menganalisis data.
3. Tahap evaluasi
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi antara lain:
a. Menyimpulkan hasil penelitian.
b. Membuat laporan hasil penelitian.
c. Konsultasi hasil penelitian pada pembimbing I dan pembimbing II.
d. Melaksanakan seminar hasil penelitian.
e. Melakukan perbaikan atau revisi hasil penelitian yang telah diseminarkan.
f. Pengumpulan hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Adningsih. (2003). Tidak Merokok Adalah Investasi. Jakarta: Interaksi Media


Promosi Kesehatan Indomesia No XIV.

Ambarwati. (2007). Cara-Cara Membuat Rumah Sehat. Jakarta: Arsitek.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Ayu, K. (2006). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeki Saluran
Pernafasan Akut di Desa Cepogo Kabupaten Boyolali.

Azwar. (1990). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

BPPK Depkes RI. (2008). Piset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.

Budiarto. (2007). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Dachroni. (2003). Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Jakarta: Media


Promosi Kesehatan Indonesia No XIV.

Departemen Pekerjaan Umum. (1985). Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat.


Jakarta: Dinas Cipta Karya.

Depkes RI. (2010). Riskesdas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinkes Kabupaten Sleman. (2011). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

Dinkes Provinsi DIY. (2010). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Direktorat Jenderal Penyehatan Lingkungan Pemukiman. (2008). Informasi


Penyehatan Lingkugan Pemukiman. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Gunawan. (1999). ISPA pencegahan dan Penanggulangan. Yogyakarta: Dinkes


Provinsi DIY.

Hindarto, P. (2007). Inspirasi Rumah Sehat di Perkotaan. Yogyakarta: Andi


Offset.

Hull, D. (2008). Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.

Iswarini, W. (2006). Rumah Sebagai Tempat Tinggal yang Nyaman. Bandung: PT


Cipta Karya.

Juwati, S. (2008). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penanganan Penyakit


ISPA di Rumah pada Balita yang Berobat di Puskesmas Jetis
Yogyakarta.

Kartasasmita, B, C. (2010). Pneumonia Pembunuh Nomor 1. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kasjono, S, H. (2011). Penyehatan Pemukiman. Yogyakarta: Gosyen.

Keman, P. (2006). Determinan Sanitasi Rumah dan Social Ekonomi Terhadap


Kejadian ISPA Pada Anak Balita serta Manajemen Penanggulangannya di
Puskesmas Blahbatu 11 Kabupaten Gianyar Bali.

Kemenkes RI. (2010). Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

(2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Indonesia.

Kumolowati, dkk. (2011). Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.


Yogyakarta: Dinas Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta.

Kusbiyantoro. (2009). Pedoman pengendalian ISPA. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Nelson, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka

Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan


Keperawatan. Jakarta: SalembaMedika.

Metodelogi

Penelitian

Ilmu

Ranuh. (2001). Penanganan Penyakit Menular Pada Anak. Jakarta: EGC.

Said, M. (2010). Pengendalian ISPA Dalam Rangka Pencapaian MDG4. Jakarta:


menrian Kesehatan Republik Indonesia.

Sanropie. (1989). Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta.

Setyadi. (2009). Statistik Pengolahan Data. Bandung: Alfabeta.

Slamet, S, J. (2009). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University


press.

Somantri, S. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharmadi. (2002). Lingkungan Rumah Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Sukar. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan dalam Ruang Terhadap ISPA.


Bandung: Buletin Penelitian Kesehatan.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Supriyanto, J, K. (2008). Hubungan Antara Kondisi Fisik Kamar Hunian Dengan


Kejadian ISPA di Desa Tual, Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara.
Yogyakarta.

Suririnah. (2006). Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Tim Penulis Penebar Swadaya. (2008). Penanganan dan Pengelolaan Sampah.


Jakarta: Penebar Swadaya.

Weber, M. (2011). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia .

Wong, dkk. (1991). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.


(2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jajarta: EGC.

World Health Organization. (2008). Global Action Plan For Prevention and
Control of Pneumonia. Ge-neva: WHO.

Rumah

(2003). Penanganan ISPA Pada Anak di


Sakit Negara Berkembang. Jakarta: Depkes RI.

Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo


0

Tambahkan komentar
2.
Apr
20

sriktur uretra

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat
diselesaikan. Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat
sebagai tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun
literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi

persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah

khususnya dalam kasus orang yang

mengalami hidronefrosis.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perawat masa kini dituntut untuk

menggunakan metode pendekatan

pemecahan masalah (problem solving approach) didalam memberikan Asuhan


Keperawatan kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota
masyarakat dan juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai
masalah yang dialami pasien yang harus segera mendapat pertolongan.
Salah satu masalah kesehatan klien

adalah hidronefrosis. Hidronefrosis

merupakan salah satu penyakit sistem genitourinarius yang dijumpai di


masyarakat. Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau
kedua ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi
di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal
tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan
maka hanya satu ginjal yang rusak.
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat
miksi atau BAK.
Untuk mencegah hidronefrosis dapat dilakukan dengan mengonsumsi air putih
sesuai kebutuhan tubuh secara teratur.

B.

TUJUAN

1. Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.

2. Tujuan Khusus
a.

Untuk mengetahui pengertian hidronefrosis.

b. Untuk mengetahui tanda dan gejala hidronefrosis serta patofisiologinya.


c.

Mengetahui manifestasi klinis tentang hidronefrosis

d.

Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari


hidronefrosis.

e.

Mampu melakukan Asuhan Keperawatan yang komprehensif untuk


pasien dengan penyakit hidronefrosis.

BAB II
TINAJUAN TEORI

A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal
dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal
(Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

B.

Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di
negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini,
misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.

C. Anatomi-Fisiologi Organ terkait

D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.
2. Batu
3. Neoplasma/tomur

4. Hipertrofi prostat
5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra
6. Penyempitan uretra
7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).

E.

Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik
sehingga tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung
kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi
terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu
ginjal

yang

rusak.

Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang
terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi
dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut
akibat obses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan
dapat sebagai akibat dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi
ginjal

yang

salah

yang

menyebabkan

ureter

kaku.

Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada
kehamilan akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi
urine di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat
ini, atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap

maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori)
akhirnya fungsi renal terganggu (Smeltzer, 2001).

F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti:
1.

Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).

2.

Gagal jantung kongestif.

3.

Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).

4.

Pruritis (gatal kulit).

5.

Butiran uremik (kristal urea pada kulit).

6.

Anoreksia, mual, muntah, cegukan.

7.

Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.

8.

Amenore, atrofi testikuler. (Smeltzer dan Bare, 2002)

G. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:


1. Urinalisis :
a.

Warna, kejernihan & bau urine

b. Keasaman (Ph) & berat jenis urine


c.

Protein, glukosa, badan keton dalam urine

d. Sedimen urine : Erytrosit, leukosit, silinder, kristal, pus & bakteri


2. Blood Study :
a.

Complete blood count :


1)

Leukosit : meningkat pada infeksi, peritonitis

2) Erytrosit, HB, HMT : menurun pada CKD


b. Protein serum : menurun pada nepritis
c.

Uric acid : meningkat pd kerusakan fungsi renal,kerusakan absorbsi


tubuler.

d.

BUN (Blood Urea Nitrogen) : meningkat pada glomerulonefritis,


obstruksi tubuler, obstruksi uropati, sindrome nefrotik

e.

Kreatinin serum : meningkat pada insufisiensi ren

3. Imaging Studies:

a.

CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non


invasif untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih
yang sangat jelas

b. IVP (intravenous Pyelogram) : visualisasi ginjal,ureter& vesika urinaria


dg memasukanmedia kontras radiopaquemelalui intra vena kmd dilakukan
foto rontgent
4.

Voiding Cystourethrogram :
a.

Memasukkanmedium kontras ke dalambladder dengan tekanan syringe


kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan fluoroskopi.

b.

Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,
vesikoureteral refluk

5.

USG : Mengetahui akumulasi cairan,massa, malformasi, perubahan ukuran


organ(renal hypertropi), urinary obstruksi, lesi renal (abces, kista, batuginjal)

H. Komplikasi
1. Gagal ginjal
2. Batu saluran kemih

I.

Penatalaksanaan

Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari


hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan serta melindungi
fungsi ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan
nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti
mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan
pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif
(batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak parah dan
hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan
Bare, 2002).

1. Pada hidronefrosis akut:


a.

Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan
(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).

b.

Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.

2.

Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi


penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat
melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambungkan kembali.
a.

Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari


jaringan fibrosa.

b.

Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan


pembedahan untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali
di sisi kandung kemih yang berbeda.

c.

Jika uretra tersumbat, maka pengobatannya meliputi:


1) Terapi hormonal untuk kanker prostat
2) Pembedahan
3)

J.

Melebarkan uretra dengan dilator.

Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk
rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
3. Riwayat penyakit sekarang

Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi


atau memperberat keluhan sehingga di bawa ke RS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit
yang berkenaan dengan saluran perkemihan ataupun penyakit lainya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau
penyakit menurun atau menular lainnya.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a.

Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat


Tanggapan px mengenai kesehatan dan kalau sakit di bawa kemana
pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep
dokter.

b. Pola nutrisi dan metabolisme


Meliputi keteraturan makan Kx dan Kx biasanya mengalami gangguan
kebutuhan nutrisi karena merasa mual.
c.

Pola aktivitas
Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut
bawah dan pinggang.

d. Pola persepsi dan kognitif


Mengenai persepsi Kx tentang penyakit yang menimpanua dan sejauh
mana Kx mengetahui penyakit dan kesehatannya.
e.

Pola tidur dan istirahat


Biasanya Kx mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tidur
karena nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.

f.

Pola persepsi diri


Adanya perasaan cemas, takut dan khawatir dengan apa yang akan
dijalaninya.

g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan
siapa saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
h. Pola eliminasi muksi dan defekasi
Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan
BAK terganggu.
i.

Pola reproduksi dan sexual


Menikah atau tidak serta jumlah anak

j.

Pola hubungan dan peran


Hubungan biasanya tidak mengalami gangguan

7. Pemeriksaan fisik
a.

Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan
BAK.

b. Kepala dan leher


Tidak mengalami gangguan.
c.

Dada dan abdomen


Meliputi bentuk, nyeri tekan pada abdomen

d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
bantu pernafasan, suara nafas tambahan.
e.

Sistem kardiovakuler
Biasanya tidak mengalami gangguan

f.

Sistem perkemihan
Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang
timbul.

g. Sistem pencernaan
Meliputi adanya mual, muntah.

h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.

K. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1.

Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan


cairan.

2.

Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit

3.

Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis

4.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia

5.

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.

BAB III

TINJAUAN KASUS

Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter

Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian
bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5).
Pasien mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri
pinggang kiri 2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan
cemas. Turgor kulit tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien
mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut
akan penyakitnya dan sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak. Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya.

Pada pemeriksaan fisik : komposmentis, TD 130/90

mmHg, N 110 x/mnt, RR 25 x/mnt, S 37 oC konjungtiva pucat.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Nama Perawat : Ayup


Tanggal Pengkajian

: 15 November 2012

Jam pengkajian : 08.30 WIB


A.

Biodata :

Pasien
Nama

: Tn. A

Umur

:46 th

Agama

:Islam

Pendidikan

:SMA

Pekerjaan

:Wiraswasta

Status Pernikahan

:Menikah

Alamat

:Jl solo, No 24 Janti

Tanggal masuk RS

:13 November 2012

Diagnosa Medis

:Hidronefrosis

Penanggung Jawab
Nama

:Ny. B

Agama

:Islam

Pendidikan

:S1

Pekerjaan

:PNS

Status Pernikahan

:Menikah

Alamat

:Jl Solo, No 24 Janti

Hubungan dengan klien :Istri klien

B.

Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).

C.

Riwayat kesehatan
1.

Riwayat penyakit sekarang:


Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien
juga mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).

2.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Klien mengatakan sebelumnya mengalami nyeri pingang kiri serta hermaturia..

3.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang
dialaminya.
D.

GENOGRAM

Keterangan:

: Laki-laki meninggal
: Laki-laki

: Perempuan meninggal

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

E.

Basic Promoting physiology of Health


1.
Aktivitas dan latihan
Klien bekerja sebagai wiraswasta. Klien jarang melakukan olahraga dalam

sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah
sakit kemampuan ADL klien masih aktif .
2.
Tidur dan istirahat
Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur
siang. Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna
cemas terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur
menjelang tidurnya.

3.

Kenyamanan dan nyeri


a. Nyeri

4.

profokatif

= nyeri pada saat melakukan aktifitas

Paliatif

= posisi semi fowler setelah miksi

b. Quality

: seperti tertusuk-tusuk

c. Region

: perut kiri bagian bawah, pingang kiri.

d. Scale

: skala 5

e. Time

: pada saat miksi

Nutrisi

Selera makan pasien berkurang,ia hanya mengahabiskan 1/3 porsi makannya.


Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak
menghabiskan porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan
170 cm. IMT = BB / (Tinggi badan(m))2 = 50 kg / (1.7 m) 2 = 17.3. Berarti pasien
tergolong kurus.
5.
Cairan, elektrolit dan asam basa
a. Frekuensi minum : Konsumsi air/hari : 800 cc/hari
b. Turgor kulit
: Tidak elastik
c. Support IV Line
: Ya
IWL selama 24 jam
= 15 cc per kg BB
= 15 x 50
= 750 cc
Urine ouput

= 25cc x 24 jam = 600 cc

IV line

= 250cc/hari

Balance cairan

= input output
= (800 + 250) ( 750 + 600 )
= 1050 1350
= 300 cc

6.

Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.

7.

Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.

8.

Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau
600 cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas
(amoniak), dan klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien
menggunakan kateter dan kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah
aktif.

9. Sensori, persepsi dan kognitif


Tidak ada gangguan penglihatan, pendengaran, penciuman, sensasi
taktil, dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan
kognitif.

F.

Pemeriksaan Fisik :
1.

Keadaan Umum :
Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign

TD

: 130/90 mmHg,

Nadi

: 110 x/mnt,

Irama

: ireguler

Respirasi frekuensi

: 25 x/mnt,normal

Suhu

: 37 oC

2.

Kepala :

Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah
oval. Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak
ikterik), kornea : keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan
( + ) dan kiri ( +), palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki
6/6.Keadaan hidung ; tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada
polip, tidak ada sputum deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan
telinga ; ki/ka simetris, tidak ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri
tekan. Keadaan mulut ; gigi normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu,
bersih dan tidak ada caries gigi. Mukosa bibir pucar dan kering.
3.
4.
5.
6.

Leher
kaku kuduk,
Tenggorokan
Bentuk dada

: Normal, Tidak ada pembesaran thyroid, tidak


: Refleks menelan baik
: datar

Pulmo:
Inspeksi
:Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi
dada, tidak ada penggunaan otot bantu napas.

Palpasi

:Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama,


tidak ada benjolan

Perkusi

:Sonor

Auskultasi

:Suara nafas Bronkial lokasinya di sterni atau scapulae,


vesikuler lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari
trachea dan bronkhi besar dan bronkovesikuler lokasinya di
percabangan bronkus dan trakhea
Cor:

7.
Inspeksi

:-

Palpasi

: Ictus cordis : Normal ( teraba pada inter costa ke- 5)

Perkusi

: batas jantung : Normal (costa ke1 costa ke inter costa ke5)

Bunyi

: pekak

Auskultasi

:Bunyi jantung tunggal

8. Abdomen:
Inspeksi

: Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka,

tidak ada bekas operasi.


Palpasi
: nyeri tekan pada abdomen sebelah kiri bawah.
Perkusi
: Tympani
Auskultasi
: Peristaltik : 15x/mnt
10 Genetalia
Pria
: tidak ada benjolan, tidak ada tumor maupun hernia
Rectum
:Tidak ada Hemoroid dan tidak ada Tumor
11 Psiko Sosio Budaya Dan Spiritual :
a. Psikologis :Klien mengalami kecemasan setelah mendapat penyakitnya
karna klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien

berencana jika penyakitnya telah sembuh klien akan menjaga kesehatan


dengan melakukan banyak minum.
b. Sosial :Gaya klien dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia,
nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan
kooperatif dengan keluarga, masyarakat, dan perawat.
c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya

Jawa dan tidak ada

kebiasaan atau kebudayaan yang dianut klien merugikan kesehatan.


d. Spiritual :Aktivitas ibadah sehari-hari klien adalah Sholat, kegiatan
keagamaan yang biasa dilakukan adalah mengaji, dan klien menganggap
penyakitnya

merupakan

sebuah

ujian

menghadapinya.

ANALISA DATA

dan

berusaha

untuk

tegar

Nama klien

: Tn. A

No. Register

Umur

: 46 th

Diagnosa Medis: Hidronefrosis

Ruang Rawat : Melati I

TGL/JAM
15-11-2012

DATA FOKUS
DS:

: 08130430

: Jl Solo No 24,Janti, sleman, Yogyakarta.

ETIOLOGI
Adanya sumbatan

07.00

PROBLEM
Gangguan
keseimbangan cairan

Klien mengatakan tidak nafsu


makan dan minum serta BAK
sedikit.
DO:
TD

: 130/90 mmHg

Nadi: 110 x/mnt


Suhu: 37 oC
RR : 25x/mnt
Turgor kulit tampak tidak
elastis dan mukosa mulut klien
terlihat kering
Balance cairan = input
output = 300 cc per hari
Urin bewarna merah, bau
khas, dan terasa panas saat
miksi.

15-11-2012

DS:

07.05
Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri

Agen injuri biologi

Nyeri akut

sejak 1,5 bulan dengan Skala


nyeri 5.
Klien

mengatakan

nyeri

pinggang kiri sejak 2,5 bulan


yang lalu.
DO:
TD

: 130/90 mmHg

Nadi: 110 x/mnt


RR: 25x/mnt
Suhu: 37 oC

15-11-2012

DS :

07.10

Kurangnya informasi
tentang proses penyakit

Klien merasa takut dan sering


menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa

disembuhkan atau tidak


Klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya

DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD

: 130/90 mmHg

RR 25 x/mnt

Ansietas

Suhu : 37 oC

Prioritas diagnosa keperawatan:

1.

Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai


klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input output = 300 cc
2.

per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:

3.

110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.


Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan
cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

RENCANA TINDAKAN

Nama klien

: Tn. A

No. Register

: 08130430

Umur

: 46 th

Diagnosa Medis : Hidronefrosis

Ruang Rawat : Melati I

Alamat

: Jl Solo No 24, Janti


Sleman, Yogyakarta.

N
o
1

Dx

Tujuan & Kriteria Hasil

Gangguan
keseimbanga
n cairan
berhubungan
dengan
adanya
sumbatan

Intervensi

Rasionalisasi

Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
1. Dengan memonitor
TTV dapat
tindakan keperawatan
mengetahui
kepada Tn.A selama
perkembangan
3x24 jam klien akan
2. Pantau intake dan output pasien
menunjukkan tidak ada klien
2. Dengan pantauan
tanda-tanda gangguan
intake dan output
keseimbangan cairan
perawat bisa
mengetahui apakah
dengan kriteria hasil:
3.
Kolaborasi
untuk
asupan cairan sama
Nafsu makan dan
pemberian antidiuretik
dengan cairan yang
minum serta BAK
dikeluarkan
3. Dengan kolaborasi
kembali normal.
pemberian
TD : 120/80 mmHg
antidiuretik
diharapkan urin bisa
Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
o
lancar sehingga
Suhu: 37 C
mengurangi adanya
edema.
RR : 16-24x/mnt
Turgor kulit tampak
elastis

dan

mukosa

mulut

klien

terlihat

lembab
Balance cairan input
dan

output

kembali

normal
Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.

Nama/
TTD
Charles

Nyeri
berhubungan
dengan Agen
injuri
biologis.

Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
tindakan keperawatan
kepada Tn. A selama 3x
24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan klien
berkurang dengan
2. Kaji tingkat nyeri
criteria hasil:
Klien tidak mengeluh

1. Mengetahui keadaan charles


umum klien dan
mengidentifikasi
adanya
penyimpanan respon
nyeri pada tubuh
pasien
2. dengan mengkaji
tingkat nyeri
perawat bisa
nyeri perut kiri bagian
mengetahui skala
3.
Atur
posisi
tidur
Klien
dan kualitas nyeri
bawah
senyaman mungkin
3. dengan mengatur
Klien tidak mengeluh
posisi nyaman pada
klien diharapkan
pinggang bagian kiri
mengurangi
TD : 120/80 mmHg4. Anjarkan klien teknik
penekanan pada
relaksasi dan distraksi
daerah nyeri.
4. dengan tehnik
Nadi: 60-100x/mnt
relaksasi dan
5.
Kolaborasi
dengan
tim
distraksi dapat
RR: 16-24x/mnt
medis dalam pemberian meminimalisir nyeri
o
analgetik yaitu asam
yang dirasakan
Suhu: 37 C
efenamat 2x 1 / hari
pasien
5. dengan pemberian
analgetik dapat
menekan rasa nyeri.

Ansietas
berhubunga
n dengan
kurangnya
informasi
tentang
proses
penyakit.

Setelah dilakukan
1. Kaji tingkat
1. Untuk mengetahui berat
kecemasaan
ringannya kecemasan
tindakan keperawatan
klien sehingga dapat
kepada Tn. A selama 1x
ditentukan tindakan yang
24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan
sesuai untuk klien.
tidak cemas lagi dengan
klien untuk
2. Dengan memberikan
kriteria hasil :
mengungkapkan
kesempatan pada klien
perasaannya.
untuk mengungkapkan
perasaannya, klien
Klien sudah tidak cemas
diharapkan mempunyai
lagi
semangat dan mau
Klien bisa tidur dengan 3. Beri penjelasan
berempati terhadap
kepada
keluarga
pengobatannya.
aman dan nyaman
dan pasien tentang3. Dengan memberikan
N: 60-100x/menit
penyakitnya.
penjelasan tentang
penyakit kepada klien
TD : 120/80 mmHg
dan keluarga dapat
meningkatkan
RR: 16-24x/mnt
pemahaman mereka
sehingga dapat

charle

mengurangi kecemasan.

Suhu : 37 oC

CATATAN PERKEMBANGAN

Nama klien: Tn. A


No. Register:08130430
Umur : 46 th

Diagnosa Medis: Hidronefrosis

Ruang : Melati I

Alamat: Jl Solo No 24, Janti


sleman, Yogyakarta.

HARI I
No Dx

Tanggal

Jam

Implementasi

Evaluasi

Nama
TTD

15-11-2012

09.00

09.30

10.00

15-11-2012

09.00

09.25

10.00

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak tidak
O:intake dan output belum
elastis dan mukosa mulut
seimbang
kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan
Balance urin input-output
obat tsb
belum seimbang. TD:
O:klien terlihat minum obat
130/90 mmHg, Nadi: 110
yang diberikan
x/mnt, RR: 25x/mnt, Suhu:
37 oC

Charle

A : tujuan belum tercapai


P : intervensi 1,2, dan 3
dilanjutkan
Pukul 12.00 WIB

1. Memonitor TTV
S:O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
bawah saat berkemih. klien
2. kaji tingkat nyeri
mengatakan skala nyerinya
S : klien mengatakan skala
5
nyerinya 5
O: klien terlihat sedikit pucat
dan gelisah.
O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman
A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien
P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman
dan 5
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan ototototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan

Vian

tehnik relaksasi napas


dalam dan distraksi kepada
pasien.
10.30

11.00

5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

15-11-2012

09.30

10.00

10.30

11.00

1. Mengkaji tingkat
Pukul 11.00 WIB
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
pengetahuan tentang
tampak pucat.
penyakitnya. klien
2. Memberi kesempatan
mengatakan sudah tidak
klien untuk
mengungkapkan
cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
gelisah lagi. Klien terlihat
O: klien tampak bingung
tidur dengan nyaman.
3. Beri penjelasan kepada
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya.
A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan
P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.

Ayub

HARI II

No Dx

Tanggal

Jam

16-11-2012

09.00

09.30

Implementasi

Evaluasi

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sedikit lancar dan tidak
24x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output
elastis dan mukosa mulut
belum seimbang
sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
Balance urin input-output
S:O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
120/80 mmHg, Nadi: 100
yang diberikan
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC

Nama/T
D
Charles

A : tujuan tercapai sebagian

10.00
2

16-11-2012

09.00

09.25

10.00

P : intervensi 1,2, dan 3


dilanjutkan
1. Memonitor TTV
Pukul 12.00 WIB
S:O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sedikit
100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
terasa nyeri saat berkemih,
Suhu: 37 oC
klien mengatakan skala
2. kaji tingkat nyeri
nyerinya 4
S : klien mengatakan skala
nyerinya 4
O: pasien terlihat tenang O :pasien terlihat segar
3. Atur posisi tidur pasien
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
senyaman mungkin
100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
S: pasien mengatakan posisi
Suhu: 37 oC
tidurnya sudah nyaman
dengan posisi semi
A : tujuan tercapai sebagian
fowler.
O: pasien terlihat tenang
4. Anjurkan klien untuk P : lanjutkan intervensi 1,2,4
dan 5
teknik relaksasi napas
dalam dan distraksi
S: pasien mengatakan otot-

Vian

ototnya sudah rileks


O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S:O: klien meminum obat
sesuai instruksi.
10.30

11.00

HARI III

No Dx

Tanggal

Jam

Implementasi

Evaluasi

Nama/T
D

17-11-2012

09.00

09.30

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sudah lancar dan tidak
22x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
cc/kgBB/jam
lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
Balance urin output sudah
S:O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
yang diberikan
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC

Charles

A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00

17-11-2012

09.00

09.25

1. Memonitor TTV
Pukul 12.00 WIB
S:O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
berkemih,
2. kaji tingkat nyeri
klien mengatakan skala
S : klien mengatakan skala
nyerinya 3
nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk
O :pasien terlihat segar
teknik relaksasi napas
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan ototSuhu: 37 oC
ototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.

A : tujuan tercapai

Ayub

10.00

10.30

4. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
P : pertahankan intervensi
S: O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu

mulai dari pengkajian, diagnose

keperawatan, perencanaan ,pelaksanaan dan evaluasi.


Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir
balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan
ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

A. Pengkajian
Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu
perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di
ruangan dan dokter serta data-data yang ada di catatan medis klien.
Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori , akan tetapi di sesuaikan dengan
kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga
cukup terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga
dan perawat sehingga mempermudah perawat dalam mengkaji klien dan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab

pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat
pada saat pengkajian hidronefrosis pada Tn. A
Kesadaran: klien dalam kesadaran kompos mentis
Tekanan darah

: 130/90 mmhg

Suhu

: 37C

Nadi

: Frekuensi

Irama

: Tidak teratur

Kedalaman

: Teraba jelas.

Pernafasan

: Frekuensi

Irama

: Teratur

: 110 x/menit

: 25 x/menit

Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi


masalah yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di
tentukan diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan
kasus tidak ada kesenjangan.
B.

Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :
1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan
ditandai klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit.
TD

: 130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak

tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input
output = 300 cc per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan
Klien mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan
Skala nyeri 5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90
mmHg. Nadi: 110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada
istrinya apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan
susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak
pucat dan cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.
Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna
pembuatan rencana

tindakan dan kriteria hasil

utnuk mengatasi masalah

keperawatan yang ada pada klien.


C. Perencanaan
Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data terkumpul,
dikelompokan, dianalisa, dan ditetapkan masalah keperawatan. Perencanaan
disusun berdasarkanm prioritas masalah yang disesuaikan dengan kondisis klien.
Setelah masalah di tentukan berdasarkan prioritas, tujuan tindakan , dan criteria
hasil keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk
pencapaian tujuan

yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana

keperawatan harus bersifat SMART.

Pada penyusunan criteria hasil perawat

menyesuaikan dengan waktu pemberian perawatan yang di lakukan perawatan


yaitu selaman 3x 24 jam. perencanaan di buat pada Tn. A dengan masalah utama
Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan
pada Tn. A adalah prioritas utama , hal ini k arena dapat menyebabkan kematian
D. Implementasi atau Pelaksanaan
Setelah rencana keperawatan di buat, kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan. Perlaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan

atau tindakan yang diberikan pada Tn. A dengan menerapkan pengetahuan


dan kemampuan klinik yang dimiliki oleh perawat berdasarkan ilmu-ilmu
keperawatan dan ilmu-ilmu

lainnya yang terkait.

seluruh perencanaan

tindakan yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung
oleh perawat yang kompeten di bidangnya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain

keterbatasan sumber

referensi buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.
E.

Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap
evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan,
menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan
asuhan keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah
di tetapkan lebih dulu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap
ginjal karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat
adanya sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan

struktural, lilitan pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu
juga, hidronefrosis bisa terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan
uretropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi :
batu di dalam ureter, tumor di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi
klinik : nyeri, demam, mual dan muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa
di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium.
Penatalaksanaan meliputi : penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan
hidronefrosis kronis, prognosisnya, pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil
jika infeksi dapat dikendalikan dan ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis
kronik belum bisa dipastikan.

B.

Saran
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada
makalah ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:
EGC.
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :
November 2012.

Diposkan 20th April 2013 oleh charles tonjo


0

Tambahkan komentar
3.
Nov
29

ASKEP KMB: Asuhan keperawatan


dengan # FEMUR
ASKEP KMB: Asuhan keperawatan dengan # FEMUR: A. Pengertian. Suatu keadaan
diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price 1985). Fraktur
adalah terp...
Diposkan 29th November 2012 oleh charles tonjo
0

Tambahkan komentar
4.
Nov
29

askep pada orang hidronefritis

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


PADA Tn. A DENGAN HIDRONEFROSIS

Oleh:

CHARLES LEOPOLD S. TANJO (08130461)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
(UNRYO)
2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Asuhan Keperawatan ini dapat
diselesaikan. Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Hidronefrosis ini dibuat
sebagai tugas dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber dari internet maupun
literature. Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya untuk memenuhi
persyaratan tugas untuk mengikuti Ujian Akhir Semester. Selain itu makalah ini kami
susun dengan harapan dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari
Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah

mengalami hidronefrosis.

BAB I

khususnya dalam kasus orang yang

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perawat masa kini dituntut untuk

menggunakan metode pendekatan

pemecahan masalah (problem solving approach) didalam memberikan Asuhan


Keperawatan kepada klien. Dalam kegiatan sehari-hari perawat sebagai anggota
masyarakat dan juga sebagai tenaga kesehatan dapat menemukan berbagai
masalah yang dialami pasien yang harus segera mendapat pertolongan.
Salah satu masalah kesehatan klien

adalah hidronefrosis. Hidronefrosis

merupakan salah satu penyakit sistem genitourinarius yang dijumpai di


masyarakat. Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau
kedua ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat. Apabila obstruksi ini terjadi
di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal
tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan
maka hanya satu ginjal yang rusak.
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul. Klien akan merasa nyeri dan panas saat
miksi atau BAK.

Untuk mencegah hidronefrosis dapat dilakukan dengan mengonsumsi air putih


sesuai kebutuhan tubuh secara teratur.

B.

TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
gambaran umum tentang penyakit hidronefrosis.

2. Tujuan Khusus
a.

Untuk mengetahui pengertian hidronefrosis.

b. Untuk mengetahui tanda dan gejala hidronefrosis serta patofisiologinya.


c.

Mengetahui manifestasi klinis tentang hidronefrosis

d.

Mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan dari


hidronefrosis.

e.

Mampu melakukan Asuhan Keperawatan yang komprehensif untuk


pasien dengan penyakit hidronefrosis.

BAB II
TINAJUAN TEORI

A. Pengertian
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal
dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal
(Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

B.

Epidemiologi
Abad ke-16 hingga abad ke-18 tercatat insiden tertinggi penderita batu saluran
kemih yang ditemukan diberbagai negara di Eropa. Berbeda dengan eropa, di

negara-negara berkembang penyakit batu ini masih ditemukan hingga saat ini,
misalnya Indonesia, Thailand, India, Kamboja, dan Mesir.

C. Anatomi-Fisiologi Organ terkait

D. Etiologi
1. Jaringan parut ginjal/ureter.
2. Batu
3. Neoplasma/tomur
4. Hipertrofi prostat
5. Kelainan konginetal pada leher kandung kemih dan uretra
6. Penyempitan uretra
7. Pembesaran uterus pada kehamilan (Smeltzer dan Bare, 2002).

E.

Patofisiologi
Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik
sehingga tekanan ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung
kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal. Tetapi jika obstruksi
terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu
ginjal

yang

rusak.

Obstruksi parsial atau intermitten dapat disebabkan oleh batu renal yang
terbentuk di piala ginjal tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi
dapat diakibatkan oleh tumor yang menekan ureter atau berkas jaringan parut
akibat obses atau inflamasi dekat ureter dan menjepit saluran tersebut. Gangguan
dapat sebagai akibat dari bentuk sudut abnormal di pangkal ureter atau posisi

ginjal

yang

salah

yang

menyebabkan

ureter

kaku.

Pada pria lansia, penyebab tersering adalah obstruksi uretra pada pintu kandung
kemih akibat pembesaran prostat. Hidronefrosis juga dapat terjadi pada
kehamilan akibat pembesaran uterus. Apapun penyebabnya adanya akumulasi
urine di piala ginjal akan menyebabkan distensi piala dan kaliks ginjal. Pada saat
ini, atrofi ginjal terjadi ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan bertahap
maka ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofi komensatori)
akhirnya fungsi renal terganggu (Smeltzer, 2001).

F. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi
akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi
maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi.
Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan
gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti:
1.

Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).

2.

Gagal jantung kongestif.

3.

Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).

4.

Pruritis (gatal kulit).

5.

Butiran uremik (kristal urea pada kulit).

6.

Anoreksia, mual, muntah, cegukan.

7.

Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.

8.

Amenore, atrofi testikuler. (Smeltzer dan Bare, 2002)

G. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:
1. Urinalisis :
a.

Warna, kejernihan & bau urine

b. Keasaman (Ph) & berat jenis urine


c.

Protein, glukosa, badan keton dalam urine

d. Sedimen urine : Erytrosit, leukosit, silinder, kristal, pus & bakteri


2. Blood Study :
a.

Complete blood count :


1)

Leukosit : meningkat pada infeksi, peritonitis

2) Erytrosit, HB, HMT : menurun pada CKD


b. Protein serum : menurun pada nepritis
c.

Uric acid : meningkat pd kerusakan fungsi renal,kerusakan absorbsi


tubuler.

d.

BUN (Blood Urea Nitrogen) : meningkat pada glomerulonefritis,


obstruksi tubuler, obstruksi uropati, sindrome nefrotik

e.

Kreatinin serum : meningkat pada insufisiensi ren

3. Imaging Studies:
a.

CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non


invasif untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih
yang sangat jelas

b. IVP (intravenous Pyelogram) : visualisasi ginjal,ureter& vesika urinaria


dg memasukanmedia kontras radiopaquemelalui intra vena kmd dilakukan
foto rontgent
4.

Voiding Cystourethrogram :
a.

Memasukkanmedium kontras ke dalambladder dengan tekanan syringe


kemudian dilakukan pengambilan gambar dengan fluoroskopi.

b.

Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,
vesikoureteral refluk

5.

USG : Mengetahui akumulasi cairan,massa, malformasi, perubahan ukuran


organ(renal hypertropi), urinary obstruksi, lesi renal (abces, kista, batuginjal)

H. Komplikasi
1. Gagal ginjal

2. Batu saluran kemih

I.

Penatalaksanaan
Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab dari
hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan serta melindungi
fungsi ginjal.Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan
nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti
mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan
pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi obstrukstif
(batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak parah dan
hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan (Smeltzer dan
Bare, 2002).

1. Pada hidronefrosis akut:


a.

Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan
(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).

b.

Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.

2.

Hidronefrosis kronis diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi


penyumbatan air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat
melalui pembedahan dan ujung-ujungnya disambungkan kembali.
a.

Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari


jaringan fibrosa.

b.

Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan


pembedahan untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali
di sisi kandung kemih yang berbeda.

c.

Jika uretra tersumbat, maka pengobatannya meliputi:


1) Terapi hormonal untuk kanker prostat
2) Pembedahan
3)

J.

Melebarkan uretra dengan dilator.

Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, tanggal masuk
rumah sakit, alamat, suku, nomor registrasi, diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan px biasnya nyeri pada daerah perut bagian bawah
tembus pinggang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Bagaimana seranga itu timbul, lokasi, kualitas, faktor yang mempengaruhi
atau memperberat keluhan sehingga di bawa ke RS.
4. Riwayat penyakit dahulu
Yang perlu dikaji px pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit
yang berkenaan dengan saluran perkemihan ataupun penyakit lainya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan Kx atau tidak atau
penyakit menurun atau menular lainnya.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a.

Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat


Tanggapan px mengenai kesehatan dan kalau sakit di bawa kemana
pemakaian obat-obatan dibeli dari apotik atau toko sesuai dengan resep
dokter.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi keteraturan makan Kx dan Kx biasanya mengalami gangguan


kebutuhan nutrisi karena merasa mual.
c.

Pola aktivitas
Kx biasanya membatasi gerakannya karena merasa nyeri pada perut
bawah dan pinggang.

d. Pola persepsi dan kognitif


Mengenai persepsi Kx tentang penyakit yang menimpanua dan sejauh
mana Kx mengetahui penyakit dan kesehatannya.
e.

Pola tidur dan istirahat


Biasanya Kx mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan tidur
karena nyeri yang timbul dan rasa cemas atas apa yang diderita.

f.

Pola persepsi diri


Adanya perasaan cemas, takut dan khawatir dengan apa yang akan
dijalaninya.

g. Mekanisme koping
Cara dalam mengatasi suatu masalah yang dihadapi dan dengan bantuan
siapa saja Kx mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
h. Pola eliminasi muksi dan defekasi

Biasanya pada BAB tidak mengalami gangguan dan ada kemungkinan


BAK terganggu.
i.

Pola reproduksi dan sexual


Menikah atau tidak serta jumlah anak

j.

Pola hubungan dan peran


Hubungan biasanya tidak mengalami gangguan

7. Pemeriksaan fisik
a.

Keadaan umum
Meliputi keadaan umum Kx seperti kesadarannya, tanda-tanda fisik dan
BAK.

b. Kepala dan leher


Tidak mengalami gangguan.
c.

Dada dan abdomen


Meliputi bentuk, nyeri tekan pada abdomen

d. Sistem respirasi
Pernafasan beberapa kali dalam 1 menit, ada atau tidak retraksi otot dan
bantu pernafasan, suara nafas tambahan.
e.

Sistem kardiovakuler

Biasanya tidak mengalami gangguan


f.

Sistem perkemihan
Meliputi adanya gangguan : keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang
timbul.

g. Sistem pencernaan
Meliputi adanya mual, muntah.
h. Sistem muskuloskeletal
Meliputi adanya gangguan pada pergerakan tubuh.

K. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1.

Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan


cairan.

2.

Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit

3.

Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologis

4.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia

5.

Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.

BAB III
TINJAUAN KASUS

Contoh Kasus
Hidronefrosis karena batu ureter

Tn. A berumur 46 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan perut kiri bagian
bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan yang lalu, hilang timbul menjalar (skala nyeri 5).
Pasien mengatakan adanya riwayat hematuria 1,5 bulan yang lalu, riwayat nyeri
pinggang kiri 2,5 bulan yang lalu hilang timbul, klien terlihat tampak pucat dan
cemas. Turgor kulit tampak tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Klien
mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit dan klien merasa takut
akan penyakitnya dan sering menanyakan kepada istrinya, apakah penyakitnya bisa
disembuhkan atau tidak. Pasien mengatakan susah tidur karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya.

Pada pemeriksaan fisik : komposmentis, TD 130/90

mmHg, N 110 x/mnt, RR 25 x/mnt, S 37 oC konjungtiva pucat.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Nama Perawat : Ayup


Tanggal Pengkajian

: 15 November 2012

Jam pengkajian : 08.30 WIB


A.

Biodata :

Pasien
Nama

: Tn. A

Umur

:46 th

Agama

:Islam

Pendidikan

:SMA

Pekerjaan

:Wiraswasta

Status Pernikahan

:Menikah

Alamat

:Jl solo, No 24 Janti

Tanggal masuk RS

:13 November 2012

Diagnosa Medis

:Hidronefrosis

Penanggung Jawab
Nama

:Ny. B

Agama

:Islam

Pendidikan

:S1

Pekerjaan

:PNS

Status Pernikahan

:Menikah

Alamat

:Jl Solo, No 24 Janti

Hubungan dengan klien :Istri klien

B.

Keluhan utama
Perut kiri pada bagian bawah terasa nyeri dengan skala nyeri 5 (skala nyeri 1-10).

C.

Riwayat kesehatan
1.

Riwayat penyakit sekarang:

Klien mengeluh nyeri pada perut kiri bagian bawah ( skala nyeri 5 ). Klien
juga mengeluh nafsu makan dan minum serta BAK sedikit (600 cc/ hari).
2.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Klien mengatakan sebelumnya mengalami nyeri pingang kiri serta hermaturia..

3.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat penyakit seperti yang
dialaminya.

D.

GENOGRAM

Keterangan:

: Laki-laki meninggal
: Laki-laki

: Perempuan meninggal

: Perempuan

: Pasien

: Tinggal serumah

E.

Basic Promoting physiology of Health


1.
Aktivitas dan latihan
Klien bekerja sebagai wiraswasta. Klien jarang melakukan olahraga dalam

sebulan paling sering 2-3 kali. Kemampuan ROM klien aktif Sebelum sakit maupun
setelah sakit. Kemampuan ambulasi dan ADL klien aktif sebelum sakit dan setelah
sakit kemampuan ADL klien masih aktif .
2.
Tidur dan istirahat
Sebelum sakit klien tidur 7-8 jam perhari dan klien tidak biasa tidur
siang. Setelah tiba di Rumah Sakit klien mengalami gangguan tidur karna
cemas terhadapa penyakit yang dideritanya. Klien mengeluh kesulitan tidur
menjelang tidurnya.

3.

Kenyamanan dan nyeri


a. Nyeri

profokatif

= nyeri pada saat melakukan aktifitas

Paliatif

= posisi semi fowler setelah miksi

b. Quality

: seperti tertusuk-tusuk

c. Region

: perut kiri bagian bawah, pingang kiri.

d. Scale

: skala 5

e. Time

: pada saat miksi

4.
Nutrisi
Selera makan pasien berkurang,ia hanya mengahabiskan 1/3 porsi makannya.
Pasien tidak suka makan bubur, tapi kalau dikasi nasi keras pasien tidak
menghabiskan porsi makannya. Berat badan pasien saat ini 50 kg dengan tinggi badan
170 cm. IMT = BB / (Tinggi badan(m))2 = 50 kg / (1.7 m) 2 = 17.3. Berarti pasien
tergolong kurus.
5.
Cairan, elektrolit dan asam basa
a. Frekuensi minum : Konsumsi air/hari : 800 cc/hari
b. Turgor kulit
: Tidak elastik
c. Support IV Line
: Ya
IWL selama 24 jam
= 15 cc per kg BB
= 15 x 50
= 750 cc
Urine ouput

= 25cc x 24 jam = 600 cc

IV line

= 250cc/hari

Balance cairan

= input output

= (800 + 250) ( 750 + 600 )


= 1050 1350
= 300 cc
6.

Oksigenasi
Klien tidak mengalami Sesak nafas, tidak Batuk dan tidak ada Sputum.
Tidak nyeri dada, dan klien perokok pasif.

7.

Eliminasi fekal/bowel
Frekuensi BAB klien yaitu 1-2x/hari, waktu BAB klien pagi atau sore,
feses klien berwarna kuning dengan konsitensi lunak. Kebutuhan pemenuhan
ADL bowel klien aktif dan tidak ada gangguan eleminasi bowel.

8.

Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien yaitu 1-2x/hari dengan jumlah 25cc/jam atau
600 cc/ hari. Warna urin tidak normal yaitu kemerahan, baunya khas
(amoniak), dan klien mengeluh nyeri dan panas saat miksi. Klien
menggunakan kateter dan kebutuhan pemenuhan ADL bladder klien adalah
aktif.

9. Sensori, persepsi dan kognitif


Tidak ada gangguan penglihatan, pendengaran, penciuman, sensasi
taktil, dan pengecapan. Klien tidak ada riwayat penyakit sensori persepsi dan
kognitif.

F.

Pemeriksaan Fisik :
1.

2.

Keadaan Umum :
Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign

TD

: 130/90 mmHg,

Nadi

: 110 x/mnt,

Irama

: ireguler

Respirasi frekuensi

: 25 x/mnt,normal

Suhu

: 37 oC
Kepala :

Keadaan kulit kepala normal, tidak ada lesi dan benjolan. Rambut beruban, tidak
rapi dan sedikit rontok. Wajah pasien pucat dan kulit teraba hangat, bentuk wajah
oval. Keadaan mata klien yaitu konjugtiva tidak anemis, sclera : normal ( tidak
ikterik), kornea : keruh, pupil : isokor = 2 mm, rangsangan terhadap cahaya : kanan
( + ) dan kiri ( +), palpebra normal,tidak edema, lensa bening,dan visus normal ka/ki
6/6.Keadaan hidung ; tidak ada gangguan penghidung, tidak ada sekret, tidak ada
polip, tidak ada sputum deviasi dan tidak ada pernafasan cuping hidung. Keadaan

telinga ; ki/ka simetris, tidak ada pembengkakan pada aurikula, dan tidak ada nyeri
tekan. Keadaan mulut ; gigi normal, masih utuh, tidak ada penggunaan gigi palsu,
bersih dan tidak ada caries gigi. Mukosa bibir pucar dan kering.
3.

Leher
kaku kuduk,
Tenggorokan
Bentuk dada

4.
5.
6.
Inspeksi

: Normal, Tidak ada pembesaran thyroid, tidak


: Refleks menelan baik
: datar

Pulmo:
:Pengembangan dada simetris, warna kulit normal, retraksi
dada, tidak ada penggunaan otot bantu napas.
:Fremitus taktil ka/ki : Fremitus kanan = premitus kiri sama,

Palpasi

tidak ada benjolan


Perkusi

:Sonor

Auskultasi

:Suara nafas Bronkial lokasinya di sterni atau scapulae,


vesikuler lokasinya di semua bagian paru yang jauh dari
trachea dan bronkhi besar dan bronkovesikuler lokasinya di
percabangan bronkus dan trakhea
Cor:

7.
Inspeksi

:-

Palpasi

: Ictus cordis : Normal ( teraba pada inter costa ke- 5)

Perkusi

: batas jantung : Normal (costa ke1 costa ke inter costa ke5)

Bunyi

: pekak

Auskultasi

:Bunyi jantung tunggal

8. Abdomen:
Inspeksi

: Normal, bentuk datar, tidak ada hematome, tidak ada luka,

tidak ada bekas operasi.


Palpasi
: nyeri tekan pada abdomen sebelah kiri bawah.
Perkusi
: Tympani
Auskultasi
: Peristaltik : 15x/mnt
10 Genetalia
Pria
: tidak ada benjolan, tidak ada tumor maupun hernia
Rectum
:Tidak ada Hemoroid dan tidak ada Tumor
11 Psiko Sosio Budaya Dan Spiritual :
a. Psikologis :Klien mengalami kecemasan setelah mendapat penyakitnya
karna klien tidak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun Klien
berencana jika penyakitnya telah sembuh klien akan menjaga kesehatan
dengan melakukan banyak minum.
b. Sosial :Gaya klien dalam berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia,
nada bicara klien sopan, pola interaksi sangat baik dengan perawat, dan
kooperatif dengan keluarga, masyarakat, dan perawat.
c. Budaya :Budaya yang diikuti pasien adalah budaya

Jawa dan tidak ada

kebiasaan atau kebudayaan yang dianut klien merugikan kesehatan.


d. Spiritual :Aktivitas ibadah sehari-hari klien adalah Sholat, kegiatan
keagamaan yang biasa dilakukan adalah mengaji, dan klien menganggap
penyakitnya

merupakan

menghadapinya.

sebuah

ujian

dan

berusaha

untuk

tegar

ANALISA DATA

Nama klien

: Tn. A

No. Register

Umur

: 46 th

Diagnosa Medis: Hidronefrosis

Ruang Rawat : Melati I

TGL/JAM

DATA FOKUS

: 08130430

: Jl Solo No 24,Janti, sleman, Yogyakarta.

ETIOLOGI

PROBLEM

15-11-2012

DS:

Adanya sumbatan

07.00

Gangguan
keseimbangan cairan

Klien mengatakan tidak nafsu


makan dan minum serta BAK
sedikit.
DO:
TD

: 130/90 mmHg

Nadi: 110 x/mnt


Suhu: 37 oC
RR : 25x/mnt
Turgor kulit tampak tidak
elastis dan mukosa mulut klien
terlihat kering
Balance cairan = input
output = 300 cc per hari
Urin bewarna merah, bau
khas, dan terasa panas saat
miksi.

15-11-2012

DS:

Agen injuri biologi

07.05
Klien mengeluh perut kiri
bagian bawah terasa nyeri
sejak 1,5 bulan dengan Skala
nyeri 5.
Klien

mengatakan

nyeri

pinggang kiri sejak 2,5 bulan


yang lalu.

Nyeri akut

DO:
TD

: 130/90 mmHg

Nadi: 110 x/mnt


RR: 25x/mnt
Suhu: 37 oC

15-11-2012

DS :

07.10

Kurangnya informasi
tentang proses penyakit

Klien merasa takut dan sering


menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa

disembuhkan atau tidak


Klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan
penyakit yang dialaminya

DO :
klien tampak pucat dan
cemas
N: 110x/menit
TD

: 130/90 mmHg

RR 25 x/mnt
Suhu : 37 oC

Ansietas

Prioritas diagnosa keperawatan:

1.

Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan ditandai


klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit. TD

130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak tidak elastis
dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input output = 300 cc
2.

per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan Klien
mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan Skala nyeri
5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90 mmHg. Nadi:

3.

110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.


Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada istrinya
apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan susah tidur
karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak pucat dan
cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.

RENCANA TINDAKAN

Nama klien

: Tn. A

No. Register

Umur

: 46 th

Diagnosa Medis : Hidronefrosis

Ruang Rawat : Melati I

Alamat

: 08130430

: Jl Solo No 24, Janti


Sleman, Yogyakarta.

N
o

Dx

Tujuan & Kriteria Hasil

Intervensi

Rasionalisasi

Nama/
TTD

Gangguan
keseimbanga
n cairan
berhubungan
dengan
adanya
sumbatan

Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
1. Dengan memonitor
TTV dapat
tindakan keperawatan
mengetahui
kepada Tn.A selama
perkembangan
3x24 jam klien akan
2. Pantau intake dan output pasien
menunjukkan tidak ada klien
2. Dengan pantauan
tanda-tanda gangguan
intake dan output
keseimbangan cairan
perawat bisa
mengetahui apakah
dengan kriteria hasil:
3.
Kolaborasi
untuk
asupan cairan sama
Nafsu makan dan
pemberian antidiuretik
dengan cairan yang
minum serta BAK
dikeluarkan
3. Dengan kolaborasi
kembali normal.
pemberian
TD : 120/80 mmHg
antidiuretik
diharapkan urin bisa
Nadi: 60-100x/mnt
keluar dengan
o
lancar sehingga
Suhu: 37 C
mengurangi adanya
edema.
RR : 16-24x/mnt

Charles

Turgor kulit tampak


elastis

dan

mukosa

mulut

klien

terlihat

lembab
Balance cairan input
dan

output

kembali

normal
Urin bewarna jernih,
tidak berbau khas, dan
tidak terasa panas pada
saat miksi.
2

Nyeri
berhubungan
dengan Agen
injuri
biologis.

Setelah dilakukan
1. Monitor TTV
tindakan keperawatan
kepada Tn. A selama 3x
24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan klien
berkurang dengan
2. Kaji tingkat nyeri
criteria hasil:
Klien tidak mengeluh
nyeri perut kiri bagian

1. Mengetahui keadaan charles


umum klien dan
mengidentifikasi
adanya
penyimpanan respon
nyeri pada tubuh
pasien
2. dengan mengkaji
tingkat nyeri
perawat bisa
mengetahui skala

bawah

3. Atur posisi tidur Klien


dan kualitas nyeri
senyaman mungkin
3. dengan mengatur
Klien tidak mengeluh
posisi nyaman pada
klien diharapkan
pinggang bagian kiri
mengurangi
TD : 120/80 mmHg4. Anjarkan klien teknik
penekanan pada
relaksasi dan distraksi
daerah nyeri.
Nadi: 60-100x/mnt
4. dengan tehnik
relaksasi dan
RR: 16-24x/mnt
5. Kolaborasi dengan tim
distraksi dapat
medis dalam pemberian meminimalisir nyeri
o
analgetik yaitu asam
yang dirasakan
Suhu: 37 C
efenamat 2x 1 / hari
pasien
5. dengan pemberian
analgetik dapat
menekan rasa nyeri.

Ansietas
berhubunga
n dengan
kurangnya
informasi
tentang
proses
penyakit.

Setelah dilakukan
1. Kaji tingkat
1. Untuk mengetahui berat
kecemasaan
ringannya kecemasan
tindakan keperawatan
klien sehingga dapat
kepada Tn. A selama 1x
ditentukan tindakan yang
24 jam diharapkan klien
2. Beri kesempatan
sesuai untuk klien.
tidak cemas lagi dengan
klien untuk
2. Dengan memberikan
kriteria hasil :
mengungkapkan
kesempatan pada klien
perasaannya.
untuk mengungkapkan
perasaannya, klien
Klien sudah tidak cemas
diharapkan mempunyai
lagi
semangat dan mau
Klien bisa tidur dengan 3. Beri penjelasan
berempati terhadap
kepada
keluarga
pengobatannya.
aman dan nyaman
dan pasien tentang3. Dengan memberikan
N: 60-100x/menit
penyakitnya.
penjelasan tentang
penyakit kepada klien
TD : 120/80 mmHg
dan keluarga dapat
meningkatkan
RR: 16-24x/mnt
pemahaman mereka
sehingga dapat
Suhu : 37 oC
mengurangi kecemasan.

charle

CATATAN PERKEMBANGAN

Nama klien: Tn. A


No. Register:08130430
Umur : 46 th

Diagnosa Medis: Hidronefrosis

Ruang : Melati I

Alamat: Jl Solo No 24, Janti


sleman, Yogyakarta.

HARI I
No Dx

Tanggal

Jam

15-11-2012

09.00

09.30

Implementasi

Evaluasi

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O:TD: 130/90 mmHg, Nadi: S: klien mengatakan BAKnya
110 x/mnt, RR :25x/mnt,
belum lancar dan tidak
Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S:klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak tidak
O:intake dan output belum
elastis dan mukosa mulut
seimbang
kering. urin bewarna merah
3. Memberikan obat diuresis
muda, sedikit berbau khas.
S:klien menayakan kegunaan

Nama
TTD
Charle

obat tsb
O:klien terlihat minum obat
yang diberikan

10.00

15-11-2012

09.00

09.25

10.00

10.30

Balance urin input-output


belum seimbang. TD:
130/90 mmHg, Nadi: 110
x/mnt, RR: 25x/mnt, Suhu:
37 oC
A : tujuan belum tercapai
P : intervensi 1,2, dan 3
dilanjutkan
Pukul 12.00 WIB

1. Memonitor TTV
S:O : TD: 130/90 mmHg, Nadi: S : klien mengatakan masih
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
terasa nyeri di perut bagian
Suhu: 35 oC
bawah saat berkemih. klien
2. kaji tingkat nyeri
mengatakan skala nyerinya
S : klien mengatakan skala
5
nyerinya 5
O: klien terlihat sedikit pucat
dan gelisah.
O :TD: 130/90 mmHg, Nadi:
3.Atur posisi tidur pasien
110 x/mnt, RR : 25x/mnt,
senyaman mungkin
Suhu: 35 oC
S: klien mengatakan posisi
tidurnya kurang nyaman
A : tujuan belum tercapai
O: mengatur posisi pasien
semi fowler dan pasien
P : lanjutkan intervensi 1,2,3,4
tampak lebih nyaman
dan 5
dengan posisi tersebut
4. Anjurkan klien untuk
teknik relaksasi( napas
dalam) dan distraksi
S: pasien mengatakan ototototnya terasa tegang dan
nyeri
O: perawat mengajarkan
tehnik relaksasi napas
dalam dan distraksi kepada
pasien.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S: klien menanyakan fungsi
obat tersebut
O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

Vian

11.00

15-11-2012

09.30

10.00

10.30

1. Mengkaji tingkat
Pukul 11.00 WIB
kecemasan
S: klien mengatakan cemas S: klien mengatakan sudah
dengan penyakitnya
sedikit tenang setelah diberi
O: klien terlihat gelisah,
pengetahuan tentang
tampak pucat.
penyakitnya. klien
2. Memberi kesempatan
mengatakan sudah tidak
klien untuk
mengungkapkan
cemas lagi.
perasaannya.
S: klien mengatakan takut O: klien terlihat tenang,
dan tidak tau akan
tampak rileks dan tidak
penyakit yang dideritanya
gelisah lagi. Klien terlihat
O: klien tampak bingung
tidur dengan nyaman.
3. Beri penjelasan kepada
keluarga dan pasien
tentang penyakitnya.
A : tujuan sudah tercapai
S: pasien mengatakan dia
sangat takut dengan
P : pertahankan intervensi
penyakit yang dideritanya.
O: wajah klien tanpak rileks
dan tenang setah diberi
penjelasan tentang
penyakitnya.
4. Mengobservasi kecemasan
dan respon klien.
S: klien mengatakan sudah
tidak cemas lagi.
O: klien terlihat tenang,
tampak rileks dan tidak
gelisah lagi.

Ayub

11.00

HARI II

No Dx

Tanggal

Jam

16-11-2012

09.00

09.30

Implementasi

Evaluasi

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sedikit lancar dan tidak
24x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit tanpak sedikit
O: intake dan output
elastis dan mukosa mulut
belum seimbang
sudah lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
merah muda, tidak berbau.
diuresis
Balance urin input-output
S:O:klien terlihat minum obat belum seimbang. TD:
120/80 mmHg, Nadi: 100
yang diberikan
x/mnt, RR: 24x/mnt, Suhu:
37 oC

Nama/T
D
Charles

A : tujuan tercapai sebagian

10.00
2

16-11-2012

09.00

P : intervensi 1,2, dan 3


dilanjutkan
1. Memonitor TTV
Pukul 12.00 WIB
S:O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sedikit

Vian

09.25

10.00

10.30

11.00

100 x/mnt, RR : 24x/mnt, terasa nyeri saat berkemih,


Suhu: 37 oC
klien mengatakan skala
2. kaji tingkat nyeri
nyerinya 4
S : klien mengatakan skala
nyerinya 4
O: pasien terlihat tenang O :pasien terlihat segar
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
3. Atur posisi tidur pasien
100 x/mnt, RR : 24x/mnt,
senyaman mungkin
S: pasien mengatakan posisi Suhu: 37 oC
tidurnya sudah nyaman
dengan posisi semi
A : tujuan tercapai sebagian
fowler.
O: pasien terlihat tenang P : lanjutkan intervensi 1,2,4
4. Anjurkan klien untuk
dan 5
teknik relaksasi napas
dalam dan distraksi
S: pasien mengatakan ototototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
dan tenang.
5. Memberikan analgesic
(asam mefenamat)
S:O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

HARI III

No Dx

Tanggal

Jam

17-11-2012

09.00

09.30

Implementasi

Evaluasi

1. Monitor TTV
Pukul 11.00 WIB
S:O: TD
: 120/80 mmHg , S: klien mengatakan BAKnya
Nadi: 100 x/mnt, RR :
sudah lancar dan tidak
22x/mnt, Suhu: 37 oC
terasa panas lagi waktu
2. Memantau intake dan
miksi
output klien
S: klien mengatakan setuju
dengan tindakan tsb
O: tugor kulit elastis dan
O: urin output normal 0,8 mukosa mulut sudah
cc/kgBB/jam
lembab. urin bewarna
3. Memberikan obat
kuning, tidak berbau.
diuresis
Balance urin output sudah
S:O:klien terlihat minum obat seimbang 0,8 cc/kgBB/jam.
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
yang diberikan
100 x/mnt, RR: 23x/mnt,
Suhu: 37 oC

Nama/T
D
Charles

A : tujuan tercapai
P : pertahankan intervensi
10.00

17-11-2012

09.00

1. Memonitor TTV

Pukul 12.00 WIB

Ayub

09.25

10.00

10.30

S:O : TD: 120/80 mmHg, Nadi:S : klien mengatakan sudah


100 x/mnt, RR : 22x/mnt, tidak terasa nyeri saat
Suhu: 37 oC
berkemih,
2. kaji tingkat nyeri
klien mengatakan skala
S : klien mengatakan skala
nyerinya 3
nyerinya 3
O: pasien terlihat segar
3.Anjurkan klien untuk
O :pasien terlihat segar
teknik relaksasi napas
TD: 120/80 mmHg, Nadi:
dalam dan distraksi
100 x/mnt, RR : 22x/mnt,
S: pasien mengatakan ototSuhu: 37 oC
ototnya sudah rileks
O: pasien terlihat nyaman
A : tujuan tercapai
dan tenang.
4. Memberikan analgesic
P : pertahankan intervensi
(asam mefenamat)
S: O: klien meminum obat
sesuai instruksi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan kepada Tn. A dengan
diagnosa medis hidro nefrosis. Adapun ruang lingkup dari pembahasan dari kasus ini
adalah sesuai dengan proses keperawatan yaitu

mulai dari pengkajian, diagnose

keperawatan, perencanaan ,pelaksanaan dan evaluasi.


Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir
balik sehingga tekanan diginjal meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung
kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan
ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Sylvia, 1995).
Apabila obstruksi ini terjadi di ureter atau kandung kemih, tekanan balik akan
mempengaruhi kedua ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat
adanya batu atau kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.

A. Pengkajian
Proses pengkajian terhadap klien dengan hidronefrosis adalah dengan cara
wawancara, observasi dan pemerikasaan fisik langsung kepada klien. Selain itu

perawat mendapat keterangan dari keluarga klien, diskusi dengan perawat di


ruangan dan dokter serta data-data yang ada di catatan medis klien.
Pelaksanaan pengkajian mengacu pada teori , akan tetapi di sesuaikan dengan
kondisi klien saat di kaji. pada saat di lakukan pengkajian , klien dan keluarga
cukup terbuka dan sudah terjalin hubungna saling percaya antar aklien, keluarga
dan perawat sehingga mempermudah perawat dalam mengkaji klien dan dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini dibuktikan dengan klien mau menjawab
pertanyaan dari perawat dan menerima saran yang diberikan. Data yang didapat
pada saat pengkajian hidronefrosis pada Tn. A
Kesadaran: klien dalam kesadaran kompos mentis
Tekanan darah

: 130/90 mmhg

Suhu

: 37C

Nadi

: Frekuensi

Irama

: Tidak teratur

Kedalaman

: Teraba jelas.

Pernafasan

: Frekuensi

Irama

: Teratur

: 110 x/menit

: 25 x/menit

Dari data yang terkumpul kemudian di lakukan analisa dan identifikasi


masalah yang di hadapi oleh klien yang merupakan data focus dan selanjutnya di

tentukan diagnose atau masalah keperawatan. Dari teori dan hasil pembahasan
kasus tidak ada kesenjangan.
B.

Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang muncul pada Tn. A adalah :
1. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan adanya sumbatan
ditandai klien mengatakan tidak nafsu makan dan minum serta BAK sedikit.
TD

: 130/90 mmHg. Nadi: 110 x/mnt. Suhu: 37 oC. Turgor kulit tampak

tidak elastis dan mukosa mulut klien terlihat kering. Balance cairan = input
output = 300 cc per hari. Urin bewarna merah, bau khas, dan terasa panas.
2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis yang ditandai dengan
Klien mengeluh perut kiri bagian bawah terasa nyeri sejak 1,5 bulan dengan
Skala nyeri 5. Klien mengatakan nyeri sejak 2,5 bulan yang lalu. TD: 130/90
mmHg. Nadi: 110 x/mnt. RR: 25x/mnt. Suhu: 37 oC.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
yang ditandai dengan, klien merasa takut dan sering menanyakan kepada
istrinya apakah penyakitnya bisa disembuhkan atau tidak. klien mengatakan
susah tidur karena sering memikirkan penyakit yang dialaminya. Klien tampak
pucat dan cemas. N: 110x/menit. TD: 130/90 mmHg. RR 25 x/mnt.
Setelah diagnosa atau masalah keperawatan ditegakkan selanjutnya di lakukna
pembuatan rencana

tindakan dan kriteria hasil

utnuk mengatasi masalah

keperawatan yang ada pada klien.


C. Perencanaan
Perencanaan dalam proses keperawatan dimulai setelah data terkumpul,
dikelompokan, dianalisa, dan ditetapkan masalah keperawatan. Perencanaan
disusun berdasarkanm prioritas masalah yang disesuaikan dengan kondisis klien.
Setelah masalah di tentukan berdasarkan prioritas, tujuan tindakan , dan criteria
hasil keperawatan di tentukan . Tujuan dan KH sebagai alat ukur untuk
pencapaian tujuan

yang mengacu pada tujuan yang di susun pada rencana

keperawatan harus bersifat SMART.

Pada penyusunan criteria hasil perawat

menyesuaikan dengan waktu pemberian perawatan yang di lakukan perawatan


yaitu selaman 3x 24 jam. perencanaan di buat pada Tn. A dengan masalah utama
Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan cairan
pada Tn. A adalah prioritas utama , hal ini k arena dapat menyebabkan kematian
D. Implementasi atau Pelaksanaan
Setelah rencana keperawatan di buat, kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan. Perlaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan
atau tindakan yang diberikan pada Tn. A dengan menerapkan pengetahuan
dan kemampuan klinik yang dimiliki oleh perawat berdasarkan ilmu-ilmu
keperawatan dan ilmu-ilmu

lainnya yang terkait.

seluruh perencanaan

tindakan yang telah di buat dapat di lakukna dengan baik. hal ini di dukung
oleh perawat yang kompeten di bidangnya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan. Hambatan-hambatan itu antara lain

keterbatasan sumber

referensi buku sebagai acuan perawat dan juga alat yang tersedia.
E.

Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses kerperawatan. Tujuan tahap
evaluasi adalah untruk memberikan umpan balik rencana keperawatan,
menilai, meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan
asuhan keperawatan yang dberikan serta hasilnya dengan standar yang telah
di tetapkan lebih dulu.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hidronefrosis adalah penggembungan ginjal akibat tekanan balik terhadap
ginjal karena aliran air kemih tersumbat. Hidronefrosis biasanya terjadi akibat
adanya sumbatan pada sambungan ateropelvik yang meliputi : kelainan
struktural, lilitan pada sumbangan, batu di dalam pelvis renalis, dll. Selain itu
juga, hidronefrosis bisa terjadi akibat adanya penyumbatan di bawah sambungan
uretropelvik atau karena arus balik air kemih dari kandung kemih yang meliputi :
batu di dalam ureter, tumor di dalam ureter, penyempitan ureter, dll. Manifestasi
klinik : nyeri, demam, mual dan muntah. Diagnosa hidronefrosis terdapat massa
di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul, USG, urografi, laboratorium.
Penatalaksanaan meliputi : penatalaksanaan pada hidronefrosis akut dan
hidronefrosis kronis, prognosisnya, pembedahan pada hidronefrosis akut berhasil
jika infeksi dapat dikendalikan dan ginjal dengan baik. Untuk hidronefrosis
kronik belum bisa dipastikan.

B.

Saran
Dari kesimpulan di atas disarankan pembaca tidak hanya terpacu pada
makalah ini. Jika ingin mendalami lebih lanjut tambahkan referensi dari buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Moorhouse. Dkk. (1993). Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Jakarta: EGC
D o e n g e , M a r i l y n n E . ( 1 9 9 9 ) . Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta:
EGC.
Kumar dan Robbins. (1995). Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Price dan Sylvia. (1992). Patofisiologi edisi 4. Jakatya: EGC.
Smeltzer, Suzanne, dkk. (2002). buku aajar keperawatan medikal bedah edisi 8
. Jakarta: EGC.
Webmaster. Batu Saluran Kemih. Diunduh dari : http://www.medicastore.com. Last
update : 18 november 2012
Webmaster. Renal Calculus. Diunduh dari : http://www.icm.tn.gov.in. Last update :
November 2012.

ASKEP KMB
Minggu, 05 Agustus 2012
Askep pada Klien Fraktur
I. PENGERTIAN
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).

Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana
potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat
trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (FKUI,
1995:543)

Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh
kekerasan langsung, biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi
anterior dari sendi tersebut (FKUI, 1995:553).
II. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet,
tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
III. KLASIFIKASI FRAKTUR FEMUR
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukan di kulit, fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu :
1) Derajat I
- luka kurang dari 1 cm
- kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
- fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
- Kontaminasi ringan.
2) Derajat II
- Laserasi lebih dari 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
- Fraktur komuniti sedang.
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Fraktur complete
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergerseran
(bergeser dari posisi normal).
d. Fraktur incomplete

Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.


e. Jenis khusus fraktur
a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis pata obliq
3) Garis patah spiral
4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulsi
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan
3) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
c) Bergeser-tidak bergeser
- Fraktur tidak bergeser garis patali kompli tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
- Fraktur bergeser, terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut di
lokasi fragmen (Smeltzer, 2001:2357).
IV. PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
Terjadi 1 5 hari setelah injury
Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru
fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
Terjadi 6 10 harisetelah injuri
Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
Mulai pada 2 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium
yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan
oksifitas osteoblast dan osteuctas (Black, 1993 : 19 ).
V. TANDA DAN GEJALA FRAKTUR
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5. Tenderness/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.

7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)


8. Pergerakan abnormal
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10. Krepitasi (Black, 1993 : 199).
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun
( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple
atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).
VII. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Reduction
- Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali
secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
- Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi
pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat,
sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung
umur klien.
Peralatan traksi :
* Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
* Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
2. Fraktur Immobilisasi
- Pembalutan (gips)
- Eksternal Fiksasi
- Internal Fiksasi
- Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
- Pembedahan debridement dan irigrasi
- Imunisasi tetanus
- Terapi antibiotic prophylactic
- Immobilisasi (Smeltzer, 2001).
MANAJEMEN KEPERAWATAN FRAKTUR
I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer,
atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego

Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi
simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi
immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ;
Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia
malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obatobatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi,
antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi
koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata
maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 :
17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson,
2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka /
ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994:20)

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang


telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op
frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan
meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan
dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas
ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk
memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup
mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi
kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan
untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari
latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami
perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.


R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan
tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses
peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan
steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah
terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit
normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya
luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian,
pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
g. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
h. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
i. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
j. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
k. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan
sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.


Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka,
dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan
leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.
Kriteria Hasil : melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari
suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen
perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan
merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

Diposkan oleh gimy di 18:00 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Askep Glomerulonefritis dan Pielonefritis


BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari
glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti
sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik
yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai
membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan
penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus
(LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein
plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang
menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M.
Nettina, 2001).

Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan
jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling
umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter
dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup
obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal
lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A
tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah
hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine
M. Willson, 2005).
Penyebab
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan
gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah
kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi


pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya
yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi
menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar.
5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah
melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan.
Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.
B.
Tujuan
penulisan
1.
Tujuan
Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan
glomerulonefritis dan pielonefritis.
2.
Tujuan
Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan
pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
BAB II PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah
sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang
mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus
(Brunner & Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a.
b.
Berhubungan
c.
d.
e.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis

Kuman
dengan
penyakit
Reaksi

streptococcus.
autoimun
lain.
obat.
Bakteri.
Virus.

a.
Faringitis
b.
c.
Sakit
d.
e.
Nyeri
f.
g.
h.
i.
Edema
j.
Oliguria,
proteinuria,
dan
(Sandra M. Nettina, 2001).

atau

urine

berwarna

tansiktis.
Demam.
kepala.
Malaise.
panggul.
Hipertensi.
Anoreksia.
Muntah.
akut.
cokelat.

4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus).
Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan
kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak
dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman
streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis
sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen,
menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M.
Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a.
Urinalisis
b.
Laju
filtrasi
glomerulus
c.
Nitrogen
urea
darah
(BUN)
dan
kreatinin
d.
Pielogram
intravena
e.
Biopsi
f.
Titer
antistrepsomisin
O
(Sandra M. Nettina, 2001).

(UA).
(LFG).
serum.
(PIV).
ginjal.
(ASO).

6. Penatalaksanaan
a.
Manifestasi
diet:
Pembatasan
cairan
dan
natrium.
Pembatasan
protein
bila
BUN
sangat
meningkat.
b.
Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis
progresif
cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
Dialisis,
untuk
penyakit
ginjal
tahap
akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a.
b.

Dekopensasi

Hipertensi.
jantung.

c.
GGA
(Sandra M. Nettina, 2001).

(Gagal

Ginjal

Akut).

B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan
interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara
hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b.
Obstruksi
urinari
track.
c.
Refluks.
d.
Kehamilan.
e.
Kencing
manis.
f.
Keadaan-keadaan
menurunnya
imunitas
untuk
melawan
infeksi.
(Barbara
Engram,
1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai
menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra.
Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa,
dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan
pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut,
inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula
mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi.
Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik
muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan
degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat
berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a.
b.
c.
USG
d.
e.
f.
(Barbara Engram, 1988).

Whole
dan
Serum

Blood.
Urinalisis.
Radiologi.
BUN.
Kreatinin.
Selectrolytes.

6.
a.
b.
c.
(Barbara
7. Penatalaksanaan

Nekrosis

papila
Abses
Engram,

Komplikasi
ginjal.
Fionefrosis.
perinefrit.
1988).

a.
Terapi
antimikroba
spesifik
organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian
disesuaikan
berdasarkan
hasil
kultur
urine.
Pengobatan
dilakukan
2
minggu
atau
lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien
tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati
abses
renal
atau
abses
perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2.
Kardivaskular
:
hipertensi.
3.
Neurologis
:
letargi,
iritabilitas,
kejang.
4.
Gastrointestinal
:
anoreksia,
azotemia,
hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia)
berhubungan
dengan
infeksi
pada
ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria
Hasil
:

Pasien
bisa
berkemih
secara
normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
Ukur
dan
catat
urine
setiap
kali
berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui
input/output.
Anjurkan
untuk
berkemih
setiap
2-3
jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
Palpasi
kandung
kemih
setiap
4
jam.
Rasional
:
Untuk
mengetahui
adanya
distensi
kandung
kemih.
Bantu
klien
ke
kamar
kecil,
memakai
pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan
:
Kebutuhan
nutrisi
pasien
terpenuhi
dengan
cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi
akan dihabiskan minimal 80%.

Intervensi:
Sediakan
makanan
yang
tinggi
karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori
essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan
bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan
dapat
meningkatkan
nafsu
makan.
Batasi
masukan
sodium
dan
protein
sesuai
order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal
tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan
cairan.
3.
Nyeri
berhubungan
dengan
infeksi
pada
ginjal.
Tujuan
:
Nyeri
berkurang
atau
tidak
ada.
Kriteria
Hasil
:

Klien
menunjukkan
wajah
yang
rileks.
Infeksi
bisa
diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional
: Rasa
sakit
yang
hebat
menandakan
adanya
infeksi.
Berikan
waktu
istirahat
yang
cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional
:
Untuk
membantu
klien
dalam
berkemih.
Berikan
analgesik
sesuai
dengan
program
terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1.
EGC.
Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC.
Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. EGC. Jakart
Diposkan oleh gimy di 17:57 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik


A.
Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematik
untuk menentukan keadaan kesehatan klien sekarang dan masa lalu serta untuk
mengevaluasi pola koping klien sekarang dan masa lalu. Data dapat diperoleh dengan
5 (lima) cara yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, menelaah catatan dan
laporan diagnostik serta berkolaborasi dengan tim kesehatan lain. Untuk mewujudkan
pengkajian yang akurat, perawat harus dapat berkomunikasi secara efektif,

mengobservasi secara sistematik dan menginterprestasikan data yang akurat


(Carpenito,
2000)
Data dasar yang ada pada saat pengkajian pasien stroke menurut Doenges,
Moorhouse,
Geissler
(1999)
adalah
:
1.
Aktifitas/istirahat
Adanya kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis, terdapat gangguan tonus otot
dan
gangguan
tingkat
kesadaran.
2.
Sirkulasi
Adanya hipertensi arterial, disritmia, desiran pada karotis, femoralis dan aorta yang
abnormal.
3.
Integritas
Ego
Ditemukan adanya emosi yang labil dan kesulitan untuk mengekspresikan diri,
perasaan
tidak
berdaya
dan
putus
asa.
4.
Eliminasi
Ditemukan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urine maupun
anuria, distensi abdomen (pada perabaan kandung kemih berlebihan).
5.
Status
Nutrisi
Didapatkan anoreksia, mual dan muntah selama fase peningkatan TIK, kehilangan
sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan dan disfagia (kesulitan menelan).
6.
Neurosensori
Adanya sakit kepala (yang bertambah berat dengan adanya perdarahan intraserebral),
kelemahan, kesemutan, penglihatan menurun (total), kehilangan daya lihat sebagian
(kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia) serta hilangnya rangsang
sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas. Dapat juga
ditemukan adanya gangguan tingkat kesadaran seperti koma, kelemahan atau
paralisis, pada ekstermitas (kontralateral pada semua jenis stroke), parase pada wajah,
afasia, miosis/midriasis pada pupil disertai dengan ukuran yang tidak sama.
7.
Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-bada, adanya tingkah laku yang tidak
stabil
dan
gelisah
8.
Pernafasan
Ditandai dengan ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas.
9.
Keamanan
Ditemukan perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, kesulitan untuk
melihat objek dari sisi kiri atau kanan, gangguan berespon terhadap panas atau dingin.
10.
Interaksi
sosial
Masalah
dalam
berbicara,
ketidak
mampuan
untuk
berkomunikasi
11.
Penyuluhan
atau
pembelajaran
Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke dan pacandu alcohol.
12.
Pemeriksaan
Diagnostik
a. CT Scan memperlihatkan edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
b. Sinar X menggambarkan klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
c. EEG mengidentifikasi masalah berdasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan
daerah
lesi
yang
spesifik.
d. Angiografi serebral memperlihatkan adanya perdarahan arteri atau adanya oklusi
atau
ruptur.
e. MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi
arteriovena
(AVM).

f. Pungsi lumbal memperlihatkan adanya peningkatan dan cairan yang mengandung


darah menunjukan adanya perdarahan intrakranial.
B.
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi
kebutuhan spesifik serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Doenges
dkk,
1999).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan stroke hemoragik menurut
Doenges,
et
al
(1999)
adalah
:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan
oklusif,
hemoragi,
vasospasme
serebral,
edema
serebral.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, flaksid/paralisis hipotonik (awal), paralisis spastis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral,
kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial atau oral,
kelemahan/kelelahan
umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
transmisi,
integrasi
(trauma
neurologis
atau
defisit).
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot, kerusakan
perseptual/kognitif.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual
kognitif.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler
atau
perseptual.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
C.
Perencanaan
Keperawatan
Stroke
Hemoragik
Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan yaitu
penentuan apa yang ingin dilakukan untuk membantu klien dalam pemenuhan
kebutuhan
kesehatan
dan
mengatasi
masalah
keperawatan.
Fase perencanaan dari proses keperawatan mempunyai 3 (tiga) komponen (Carpenito,
2000)
yaitu
:
1.
Menetapkan
set
prioritas
diagnosis
Untuk membedakan prioritas diagnosa dari semua yang penting, tapi bukan prioritas.
a.
Diagnosa
prioritas
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif yang apabila tidak
diarahkan akan menghambat kemajuan untuk mencapai hasil atau akan berpengaruh
negative pada status fungsional klien (gangguan perfusi jaringan serebral pada klien
dengan
perdarahan
di
otak)
b.
Diagnosa
penting
Diagnosa-diagnosa keperawatan atau masalah-masalah kolaboratif dimana
pengobatanya dapat ditangguhkan pada waktu lain tanpa menurunkan status
fungsional yang ada (resiko gangguan perawatan diri pada pasien dengan kondisi
kesehatan
yang
mulai
stabil)
2.
Menyusun
kriteria
hasil
dan
sasaran
keperawatan
Menurut Bulechek dan McCloskey (1985) dalam Carpenito (2000) Tujuan diagnosa
keperawatan adalah sebagai pos pemandu untuk memilih intervensi keperawatan dan
kriteria
evaluasi
dari
intervensi
keperawatan.
3.
Memutuskan
intervensi
keperawatan

Bulechek dan McCloskey (1989) mendifinisikan intervensi keperawatan sebagai suatu


tindakan perawatan langsung yang dapat dilakukan perawat atas nama klien. Tindakan
ini termasuk tindakan inisiatif perawat sebagai hasil dari diagnosa keperawatan,
tindakan inisiatif dokter sebagai hasil dari diagnosa medis dan penampilan dari fungsi
harian yang esensial bagi klien yang tidak dapat melakukannya.
Diagnosa keperawatan yang telah disusun pada pasien dengan stroke hemoragik,
maka rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan menurut Doenges et al,
(1999)
adalah
:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah,
gangguan
oklusif,
hemoragi,
vasospasme
serebral,
edema
serebral.
Kriteria
evalusi
pasien
akan
:
a. mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisidan fungsi motorik
atau
sensori.
b. mendemostrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda
peningkatan
Tekanan
Intrakranial
(TIK).
Intervensi
:
a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan
TIK.
Rasional : Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda
atau kemunduran tanda atau gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah
fase awal memerlukan pembendahan dan atau pasien harus di pindahkan ke ruang
perawatan
kritis
(ICU).
b. Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan
normalnya
atau
standar
Rasional : Mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
TIK dan mengetahui lokasi, luas dan kemajuan/resolusi kerusakan Sistem Saraf Pusat
(SSP).
Dapat
menunjukan
Transient
Ischemic
Attack
(TIA).
c. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika pasien sadar.
Rasional : Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari
lokasi/derajat gangguan serebral dan mungkin mengidentifikasikan dengan
penurunan/peningkatan
TIK.
d. Pertahankan keadaan tirah baring; ciptakan lingkungan yang tenang; batasi
pengunjung/aktivitas pasien sesuai indikasi. Berikan istirahat secara periodik antara
aktivitas
perawatan,
batasi
lamanya
setiap
prosedur.
Rasional : Aktivitas/stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK. Istirahat total
dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam
kasus
stroke
hemoragi
e. Pentau tanda-tanda vital seperti adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan
darah
yang
terbaca
pada
kedua
lengan.
Rasional : Hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. Hipotensi dapat terjadi
karena syok (kolaps sirkulasi vaskuler). Peningkatan TIK dapat terjadi karena edema,
adanya formasi bekuan darah. Tersumbatnya arteri subklavia dapat dinyatakan dengan
adanya
perbedaan
tekanan
pada
kedua
lengan.
f. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan,
dan
reaksinya
terhadap
cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam
menentukan apakah batang otak tersebut masih baik. Ukuran dan kesamaaan pupil
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis yang
mempersarafinya.

g. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,
lapang
pandang
menyempit
dan
kedalaman
persepsi.
Rasional : Gangguan penglihatan yang telah spesifik mencerminkan daerah otak yang
terkena mengindikasikan keamanan yang harus mendapat perhatian dan
mempengaruhi
intervensi
yang
harus
dilakukan.
h.
Pantau
pemasukan
dan
pengeluaran.
Rasional : Keseimbangan harus dipertahankan untuk menjamin hidrasi untuk
mengencerkan sekresi pada saat yang sama mencegah hipovolemia yang
meningkatkan
TIK
(Tucker
et
al,
1998).
i. Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau posisi netral, sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.
Rasional : Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
meningkatkan sirklasi atau perfusi serebral (Tucker et al, 1998).
j. Kolaborasi dalam analisa gas darah dan pemberian terapi medis.
Rasional : Hipoksia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan terbentuknya edema
(Tucker et al,1998).
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan,
flaksid/paralisis
hipotonik,
paralisis
spastis.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
a. mempertahankan posisi yang optimal yang dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur.
b. mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh yang
terkena.
c. mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, serta
mempertahankan
integritas
kulit.
Intervensi
:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dengan cara yang
teratur.
Klasifikasikan
melalui
skala
0-4.
0
=
pasien
tidak
tergantung
pada
orang
lain
1
=
pasien
butuh
sedikit
bantuan
2
=
pasien
butuh
bantuan/pangawasan/bimbingan
sederhana
3
=
pasien
butuh
bantuan/peralatan
yang
banyak
4
=
pasien
sangat
tergantung
pada
pemberian
pelayanan
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang
berbeda
digunakan
untuk
paralisis
spastik
dengan
flaksid.
b.
Ubah
posisi
minimal
tiap
dua
jam
(miring,
telentang).
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang
terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan
lebih
besar
menimbulkan
kerusakan
pada
kulit/dekubitus
c. Lakukan latihan gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas (bila
memungkinkan). Sokong ekstermitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki
selama
periode
paralisis.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, menurunkan sirkulasi, membantu mencegah
kontraktur menurunkan resiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah
utamanya
adalah
perdarahan.
d. Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak, sesuai indikasi.
Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko
terjadinya
subluksasio
lengan
dan
sindrom
bahu-lengan.
e.
Posisikan
lutut
dan
panggul
dalam
posisi
ekstensi

Rasional
:
Mempertahankan
posisi
fungsional.
f. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian
kepala)
tempat
tidur,
bantu
untuk
duduk
disisi
tempat
tidur.
Rasional : Membantu dalam melatih kembali fungsi saraf, meningkatkan respon
proprioseptik
dan
motorik.
g. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan
berat
badan
dalam
interval
yang
teratur.
Rasional : Mencegah/menurunkan tekanan koksigeal atau kerusakan kulit.
h. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema atau tanda lain dari
gangguan
sirkulasi.
Rasional : Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan
penyembuhannya
lambat.
i. Lakukan massase pada daerah kemerahan dan beri alat bantu seperti bantalan lunak
kulit
sesuai
kebutuhan.
Rasional : Titik-titik takanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk
terjadinya penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan bantalan
membantu mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus.
j. Susun tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisipasi dalam latihan
dan
mengubah
posisi.
Rasional : Meningkatkan harapan terhadap perkembangan atau peningkatan dan
memeberikan
perasaan
kontrol
atau
kemandirian.
k. Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan
ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang
mengalami
kelemahan.
Rasional : Dapat berespon dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih
terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk menyatukan kembali
sebagai
bagian
dari
tubuhnya
sendiri.
l. Kolaborasikan dengan ahli fisioterapi dan obat-obatan medis dalam membantu
pemulihan
kondisi.
Rasional : Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan
yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan
kekuatan.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirulasi serebral,
kerusakan
neuromuskuler,
kehilangan
tonus
otot
fasia/oral.
Kriteria
hasil
pasien
akan
:
mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi, membuat metode
komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumber-sumber
dengan
tepat.
Intervensi
:
a. Kaji derajat disfungsi, seperti klien mengalami kesulitan berbicara atau membuat
pengertian
sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah atau derajat kerusakan serebral yang terjadi
dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
b. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang
keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata. Umpan
balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti atau
berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi isi atau makna
yang
terkandung.

c. Tunjukkan objek dan minta klien untuk menunjukkan nama dari objek tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik)
seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
d. Minta klien untuk menggucapkan suara sederhana seperti Sh atau Pus.
Rasional : Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara
(seperti : lidah, gerakan bibir, kontrol nafas) yang dapat mempengaruhi artikulasi.
e.
Minta
klien
untuk
menulis
nama
atau
kalimat
pendek.
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca
yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensori dan afasia
motorik.
f. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien jatak
waktu untuk merespons. Bicaralah tanpa tekanan pada sebuah respons.
Rasional : Perawat tidak perlu merusak pendengaran dan meninggikan suara dapat
menimbulkan pasien marah. Mefokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi dan
mungkin menyebabkan pasien terpaksa untuk bicara otomatis seperti :
memutarbalikkan
kata.
g. Anjurkan kepada orang terdekat untuk tetap memelihara komunikasi dengan klien.
Rasional : Mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi
yang efektif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
trasmisi,
integrasi
(trauma
neurologis).
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perceptual, mengakui perubahan dalam
kemampuan dan adanya keterbatasan residual, mendemonstrasikan perilaku untuk
mengkompensasikan
terhadap/defisit
hasil.
Intervensi
:
a. Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul.
Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetik
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan/posisi tubuh dan kesesuaian dari gerakan
yang
menggangu ambulasi,
meningkatkan resiko
terjadinya
trauma.
b. Dekati pasien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala,
letakkan banda dalam jangkauan lapang penglihatan yang normal. Tutup mata yang
sakit
jika
perlu.
Rasional : Pemberian pengenalan terhadap adanya orang/benda dapat membantu
masalah persepsi, mencegah pasien dari terkejut. Penutupan mata mungkin dapat
menurunkan
kebingungan
karena
adanya
pandangan
ganda.
c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabotan yang membahayakan.
Rasional : Menurunkan/membatasi jumlah stimulasi penglihatan yang mungkin dapat
menimbulkan kebingungan terhadap interprestasi lingkungan, menurunkan resiko
terjadinya
kecelakaan
d. Lindungi pasien dari suhu yang berlebih, kaji adanya lingkungan yang
membahayakan. Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang
normal.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.
e. Hindari kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebih sesuai kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas dan respons emosi yang berlebihan/kebingungan
yang
berhubungan
dengan
sensori
berlebihan.
f. Lakukan validasi terhadap persepsi pasien. Orientasikan kembali pasien secara
teratur pada lingkungannya, staf dan tindakan yang akan dilakukan.

Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidak-konsistenan dari persepsi


dan integritas stimulasi dan mungkin menurunkan distorsi persepsi pada realitas.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordinasi otot.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
mendemonstrasikan teknik/perubahan gaya hidup yang memenuhi kebutuhan
perawatan diri, melakukan akativitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan
sendiri, mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas memberikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Intervensi
:
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakan skala 0-4) untuk
melakukan
kebutuhan
sehari-hari.
0
=
pasien
tidak
tergantung
pada
orang
lain.
1
=
pasien
butuh
sedikit
bantuan.
2
=
pasien
butuh
bantuan/pangawasan/bimbingan
sederhana.
3
=
pasien
butuh
bantuan/peralatan
yang
banyak.
4
=
pasien
sangat
tergantung
pada
pemberian
pelayanan.
Rasional : Mambantu dalam mangantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan
secara
individual.
b. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri, tetapi
berikan
bantuan
sesuai
kebutuhan.
Rasional : Pasien ini mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan
meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah
penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk
mempertahankan
harga
diri
dan
meningkatkan
pemulihan.
c. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau
keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri. Meningkatkan kemandirian, dan
mendorong
pasien
untuk
berusaha
secara
kontinu.
d. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup untuk
mengerjakan
tugasnya.
Rasional : Pasien akan memerlukan empati tapi perlu untuk mengetahui pemberi
asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial,
perseptual
kognitif.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
Berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang telah
terjadi, mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi, mengenali dan
menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam cara yang akurat tanpa
menimbulkan
harga
diri
negatif.
Intervensi
:
a. Kaji luasnya gangguan peresepsi dan hubungkan dengan derajat
ketidakmampuannya.
Rasional : Penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam mengembangkan
perencanaan
asuhan/pilihan
intervensi.
b. Anjurkan pasien untuk mengekpresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan
dan
perasaan
marah.
Rasional : Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan

mulai
mamahami
perasaan
ini.
c. Tekankan keberhasilan yang kecil sekali pun baik mengenai penyembuhan fungsi
tubuh
ataupun
kemandirian
pasien.
Rasional : Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah
dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.
d. Bantu dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional : Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol atas salah satu
bagian
kehidupan.
e. Dorong orang terdekat agar memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan
sebanyak
mungkin
untuk
dirinya
sendiri.
Rasional : Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan
meningkatkan
proses
rehabilitasi.
f. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti meningkatkan minat/pertisipasi
pasien
dalam
kegiatan
rehabilitatif.
Rasional : Mengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami
tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler
atau
perseptual.
Kriteria
evaluasi
pasien
akan
:
mendemostrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi
tercegah,
mempertahankan
berat
badan
yang
diinginkan
Intervensi
:
a. Kaji ulang kemampuan menalan pasien secara individual, catat luasnya paralisis
fasial, gangguan lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timbang berat
badan
secara
periodik
sesuai
kebutuhan.
Rasional : Identifikasi kemampuan menelan pasien untuk menentukan pemilihan
intervensi
yang
tepat.
b. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : Pasien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya
distraksi/gangguan
dari
luar.
c. Mulai berikan makan per oral setengah cair, makanan lunak ketika pasien dapat
menelan air. Pilih/Bantu pasien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu
mengunyah dan mudah ditelan, contohnya : telur, agar-agar, makanan kecil yang
lunak
lainnya.
Rasional : Makanan lunak/cair kental lebih muda untuk mengendalikannya di dalam
mulut,
menurunkan
resiko
terjadinya
aspirasi.
d. Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional : Menguatkan otot fasialis dan otot menelan dan menurunkan resiko
terjadinya
tersedak.
e. Pertahankan masukan dan haluan dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.
Rasional : Jika usaha menelan tidak mamadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
makanan
harus
dicarikan
metode
alternatif
untuk
makan.
f. Berikan cairan melalui IV dan/atau makanan melalui selang.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga
makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan serta perawatan.
Kriteria
evalusi
pasien
akan
:
berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang

kondisi/prognosis dan aturan terapeutik, memulai perubahan gaya hidup yang


diperlukan.
Intervensi
:
a. Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana/kemungkinan melakukan
kembali
aktifitas.
Rasional : Meningkatkan pemahaman, memberikan harapan pada masa. Datang dan
menimbulkan
harapan
dari
keterabatasan
hidup
secara
normal.
b. Tinjau ulang/pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara
meneruskan
program
setelah
pulang.
Rasional : Aktvitas yang dianjurkan, pembatasan dan kebutuhan obat/terapi dibuat
pada dasar pendekatan interdisipliner terkoordinasi. Mengikuti cara tersebut
merupakan suatu hal yang penting pada kemajuan pemulihan/pencegahan komplikasi.
c. Sarankan menurunkan/membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan
berpikir.
Rasional : Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.
d. Identifikasi sumber-sumber yang ada dimasyarakat, seperti perkumpulan stroke,
atau
program
pendukung
lainnya.
Rasional : Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di
rumah dan penyelesaian terhadap kerusakan.
D.
Pelaksanaan
Keperawatan
Stroke
Hemoragik
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah preskripsi untuk mengetahui perilaku
positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat
sesuai
dengan
apa
yang
direncanakan
(Doenges
et
al,
1999).
Alfaro (1994) dalam Carpenito (2000) menyatakan bahwa komponan implementasi
dari proses keperawatan meliputi penerapan keterampilan yang perlu implementasi
intervensi keperawatan. Keterampilan dan pengetahuan perlu untuk implementasi
yang
biasanya
difokuskan
pada
:
1.
Melakukan
aktivitas
untuk
klien
atau
membantu
klien.
2. Melakukan pengakajian keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau
mamantau
status
atau
masalah
yang
ada.
3. Melakukan penyuluhan untuk membantu klien mamperoleh pengetahuan baru
mangenai kesehatan mereka sendiri atau penatalaksanaan penyimpangan.
4. Membantu klien membuat keputusan tantang perawatan kesehatan dirinya sendiri.
5. Konsultasi dan rujuk pada profesional perawatan kesehatan lainnya untuk
memperoleh
arahan
yang
tepat.
6. Memberikan tindakan perawatan spesifik untuk menghilangkan, mengurangi atau
mengatasi
masalah
kesehatan.
7. Membantu klien untuk melaksanakan aktivitas mereka sendiri.
8. Membantu klien untuk mengidentifikasi resiko, atau masalah dan menggali pilihan
yang tersedia.
E.
Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku
yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasilnya sudah tercapai
atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges et al, 2000).
Evaluasi mencakup tiga pertimbangan yang berbeda (Carpenito, 2000) yaitu :
1.
Evaluasi
mengenai
status
klien
2.
Evaluasi
tentang
kemajuan
klien
kearah
pencapaian
sasaran.
3.
Evaluasi
mengenai
status
dan
kejadian
rencana
perawatan.

Hasil yang diharapkan sebagai indikator evaluasi asuhan keperawatan pada penderita
stroke yang tertuang dalam tujuan pemulangan (Doenges et al, 2000) adalah :
1. Fungsi serebral membaik/meningkat, penurunan fungsi neurologis diminimalkan
atau
dapat
stabil.
2.
Komplikasi
dapat
dicegah
atau
diminimalkan.
3. Kebutuhan pasien sehari-hari dapat dipenuhi oleh pasien sendiri atau dengan
bantuan
yang
minimal
dari
orang
lain.
4. Mampu melakukan koping dengan cara yang positif, perencanaan untuk masa
depan.
5. Proses dan prognosis penyakit dan pengobatanya dapat dipahami.
Dokumentasi keperawatan sangat penting bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan. Dokumentasi ini penting karena pelayanan keperawatan yang diberikan
kepada klien membutuhkan catatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai
tanggung jawab dan tanggung gugat dari berbagai kemungkinan masalah yang
dialami klien baik masalah kepuasan maupun ketidakpuasan terhadap pelayanan yang
diberikan (Hidayat 2001).
Diposkan oleh gimy di 17:55 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Kamis, 26 Juli 2012


PEMERIKSAAN JANTUNG

Inspeksi
Dilakukan inspeksi pada prekordial penderita yang berbaring terlentang atau dalam
posisi sedikit dekubitus lateral kiri karena apek kadang sulit ditemukan misalnya pada
stenosis mitral. dan pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita.
Memperhatikan bentuk prekordial apakah normal, mengalami depresi atau ada
penonjolan asimetris yang disebabkan pembesaran jantung sejak kecil. Hipertropi dan
dilatasi ventrikel kiri dan kanan dapat terjadi akibat kelainan kongenital.
Garis anatomis pada permukaan badan yang penting dalam melakukan pemeriksaan
dada adalah:
Garis tengah sternal (mid sternal line/MSL)
Garis tengah klavikula (mid clavicular line/MCL)
Garis anterior aksilar (anterior axillary line/AAL)
Garis parasternal kiri dan kanan (para sternal line/PSL)
Mencari pungtum maksimum, Inspirasi dalam dapat mengakibatkan paru-paru
menutupi jantung, sehingga pungtum maksimimnya menghilang, suatu variasi yang
khususnya ditemukan pada penderita emfisema paru. Oleh kerena itu menghilangnya
pungtum maksimum pada inspirasi tidak berarti bahwa jantung tidak bergerak bebas.
Pembesaran ventrikel kiri akan menggeser pungtum maksimum kearah kiri, sehingga
akan berada diluar garis midklavikula dan kebawah. Efusi pleura kanan akan
memindahkan pungtum maksimum ke aksila kiri sedangkan efusi pleura kiri akan
menggeser kekanan. Perlekatan pleura, tumor mediastinum, atelektasis dan

pneumotoraks akan menyebabkan terjadi pemindahan yang sama.


Kecepatan denyut jantung juga diperhatikan, meningkat pada berbagai keadaan
seperti hipertiroidisme, anemia, demam.
Palpasi
Pada palpasi jantung, telapak tangan diletakkan diatas prekordium dan dilakukan
perabaan diatas iktus kordis (apical impulse)
Lokasi point of masksimal impulse , normal terletak pada ruang sela iga (RSI) V kirakira 1 jari medial dari garis midklavikular (medial dari apeks anatomis). Pada bentuk
dada yang panjang dan gepeng, iktus kordis terdapat pada RSI VI medial dari garis
midklavikular, sedang pada bentuk dada yang lebih pendek lebar, letak iktus kordis
agak ke lateral. Pada keadaan normal lebar iktus kordis yang teraba adalah 1-2 cm2
Bila kekuatan volum dan kualitas jantung meningkat maka terjadi systolic lift, systolic
heaving, dan dalam keadaan ini daerah iktus kordis akan teraba lebih melebar.
Getaranan bising yang ditimbulkan dapat teraba misalnya pada Duktus Arteriosis
Persisten (DAP) kecil berupa getaran bising di sela iga kiri sternum.
Pulsasi ventrikel kiri
Pulsasi apeks dapat direkam dengan apikokardiograf. Pulsasi apeks yang melebar
teraba seperti menggelombang (apical heaving). Apical heaving tanpa perubahan
tempat ke lateral, terjadi misalnya pada beban sistolik ventrikel kiri yang meningkat
akibat stenosis aorta. Apical heaving yang disertai peranjakan tempat ke lateral
bawah, terjadi misalnya pada beban diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat
insufisiensi katub aorta. Pembesaran ventrikel kiri dapat menyebabkan iktus kordis
beranjak ke lateral bawah. Pulsasi apeks kembar terdapat pada aneurisme apikal atau
pada kardiomiopati hipertrofi obstruktif.
Pulsasi ventrikel kanan
Area dibawah iga ke III/IV medial dari impuls apikal dekat garis sternal kiri, normal
tidak ada pulsasi. Bila ada pulsasi pada area ini, kemungkinan disebabkan oleh
kelebihan beban sistolik ventrikel kanan, misalnya pada stenosis pulmonal atau
hipertensi pulmonal. Pulsasi yang kuat di daerah epigastrium dibawah prosesus
sifoideus menunjukkan kemungkinan adanya hipertropi dan dilatasi ventrikel kanan.
Pulsasi abnormal diatas iga ke III kanan menunjukkan kemungkinan adanya
aneurisma aorta asendens. Pulsasi sistolik pada interkostal II sebelah kiri pada batas
sternum menunjukkan adanya dilatasi arteri pulmonal.
Getar jantung ( Cardiac Trill)
Getar jantung ialah terabanya getaran yang diakibatkan oleh desir aliran darah. Bising
jantung adalah desiaran yang terdengar karena aliran darah. Getar jantung di daerah
prekordial adalah getaran atau vibrasi yang teraba di daerah prekordial. Getar sistolik
(systolic thrill) timbul pada fase sistolik dan teraba bertepatan dengan terabanya
impuls apikal. Getar diastolic (diastolic thrill) timbul pada fase diastolik dan teraba
sesudah impuls apikal.
Getar sistolik yang panjang pada area mitral yang melebar ke lateral menunjukkan
insufisiensi katup mitral. Getar sistolik yang pendek dengan lokasi di daerh mitral dan
bersambung kearah aorta menunjukkan adanya stenosis katup aorta. Getar diastolik
yang pendek di daerah apeks menunjukkan adanya stenosis mitral. Getar sistolik yang

panjang pada area trikuspid menunjukkan adanya insufisiensi tricuspid. Getar sistolik
pada area aorta pada lokasi didaerah cekungan suprasternal dan daerah karotis
menunjukkan adanya stenosis katup aorta, sedangkan getar diastolik di daerah
tersebut menunjukkan adanya insufisiensi aorta yang berat, biasanya getar tersebut
lebih keras teraba pada waktu ekspirasi. Getar sistolik pada area pulmonal
menunjukkan adanya stenosis katup pulmonal.
Pada gagal jantung kanan getar sistolik pada spatium interkostal ke 3 atau ke 4 linea
para sternalis kiri.
Perkusi jantungCara perkusi
Batas atau tepi kiri pekak jantung yang normal terletak pada ruang interkostal III/IV
pada garis parasternal kiri pekak jantung relatif dan pekak jantung absolut perlu dicari
untuk menentukan gambaran besarnya jantung.
Pada kardiomegali, batas pekak jantung melebar kekiri dan ke kanan. Dilatasi
ventrikel kiri menyebabkan apeks kordis bergeser ke lateral-bawah. Pinggang jantung
merupakan batas pekak jantung pada RSI III pada garis parasternal kiri. Kardiomegali
dapat dijumpai pada atlit, gagal jantung, hipertensi, penyakit jantung koroner, infark
miokard akut, perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, regurgitasi tricuspid,
insufisiensi aorta, ventrikel septal defect sedang, tirotoksikosis, Hipertrofi atrium kiri
menyebabkan pinggang jantung merata atau menonjol kearah lateral. Pada hipertrofi
ventrikel kanan, batas pekak jantung melebar ke lateral kanan dan/atau ke kiri atas.
Pada perikarditis pekat jantung absolut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada emfisema
paru, pekak jantung mengecil bahkan dapat menghilang pada emfisema paru yang
berat, sehingga batas jantung dalam keadaan tersebut sukar ditentukan.
Auskultasi Jantung
Auskultasi ialah merupakan cara pemeriksaan dengan mendengar bunyi akibat vibrasi
(getaran suara) yang ditimbulkan karena kejadian dan kegiatan jantung dan kejadian
hemodemanik darah dalam jantung.
Alat yang digunakan ialah stetoskop yang terdiri atas earpiece, tubing dan chespiece.
Macam-macam ches piece yaitu bowel type dengan membran, digunakan terutama
untuk mendengar bunyi dengan frekuensi nada yang tinggi; bel type, digunakan untuk
mendengar bunyi-bunyi dengan frekuensi yang lebih rendah.
Beberapa aspek bunyi yang perlu diperhatikan :
a) Nada berhubungan dengan frekuensi tinggi rendahnya getaran.
b) Kerasnya (intensitas), berhubungan dengan ampitudo gelombang suara.
c) Kualitas bunyi dihubungkan dengan timbre yaitu jumlah nada dasar dengan
bermacam-macam jenis vibrasi bunyi yang menjadi komponen-komponen bunyi yang
terdengar.
Selain bunyi jantung pada auskultasi dapat juga terdengar bunyi akibat kejadian
hemodemanik darah yang dikenal sebagai desiran atau bising jantung (cardiac
murmur).
Bunyi jantung
Bunyi jantung utama: BJ, BJ II, BJ III, BJ IV
Bunyi jantung tambahan, dapat berupa bunyi detik ejeksi (ejection click) yaitu bunyi
yang terdengar bila ejeksi ventrikel terjadi dengan kekuatan yang lebih besar misalnya
pada beban sistolik ventrikel kiri yang meninggi. Bunyi detak pembukaan katub
(opening snap) terdengar bila pembukaan katup mitral terjadi dengan kekuatan yang

lebih besar dari normal dan terbukanya sedikit melambat dari biasa, misalnya pada
stenosis mitral.
Bunyi jantung utama
Bunyi jantung I ditimbulkan karena kontraksi yang mendadak terjadi pada awal
sistolik, meregangnya daun-daun katup mitral dan trikuspid yang mendadak akibat
tekanan dalam ventrikel yang meningkat dengan cepat, meregangnya dengan tiba-tiba
chordae tendinea yang memfiksasi daun-daun katup yang telah menutup dengan
sempurna, dan getaran kolom darah dalam outflow track (jalur keluar) ventrikel kiri
dan di dinding pangkal aorta dengan sejumlah darah yang ada didalamnya. Bunyi
jantung I terdiri dari komponen mitral dan trikuspidal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas BJ I yaitu:
Kekuatan dan kecepatan kontraksi otot ventrikel, Makin kuat dan cepat makin keras
bunyinya
Posisi daun katup atrio-ventrikular pada saat sebelum kontraksi ventrikel. Makin
dekat terhadap posisi tertutup makin kecil kesempatan akselerasi darah yang keluar
dari ventrikel, dan makin pelan terdengarnya BJ I dan sebaliknya makin lebar
terbukanya katup atrioventrikuler sebelum kontraksi, makin keras BJ I, karena
akselerasi darah dan gerakan katup lebih cepat.
Jarak jantung terhadap dinding dada. Pada pasien dengan dada kurus BJ lebih keras
terdengar dibandingkan pasien gemuk dengan BJ yang terdengar lebih lemah.
Demikian juga pada pasien emfisema pulmonum BJ terdengar lebih lemah.
Bunyi jantung I yang mengeras dapat terjadi pada stenosisis mitral,
BJ II ditimbulkan karena vibrasi akibat penutupan katup aorta (komponen aorta),
penutupan katup pulmonal (komponen pulmonal), perlambatan aliran yang mendadak
dari darah pada akhir ejaksi sistolik, dan benturan balik dari kolom darah pada
pangkal aorta yang baru tertutup rapat.
Bunyi jantung II dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten besar, Tetralogi
Fallot, stenosis pulmonalis,
Pada gagal jantung kanan suara jantung II pecah dengan lemahnya komponen
pulmonal. Pada infark miokard akut bunyi jantung II pecah paradoksal, pada atrial
septal depect bunyi jantung II terbelah.
BJ III terdengar karena pengisian ventrikel yang cepat (fase rapid filling). Vibrasi
yang ditimbulkan adalah akibat percepatan aliran yang mendadak pada pengisisan
ventrikel karena relaksasi aktif ventrikel kiri dan kanan dan segera disusul oleh
perlambatan aliran pengisian
Bunyi jantung III dapat dijumpai pada syok kardiogenik, kardiomiopati, gagal
jantung, hipertensi
Bunyi jantung IV dapat terdengar bila kontraksi atrium terjadi dengan kekuatan yang
lebih besar, misalnya pada keadaan tekanan akhir diastole ventrikel yang meninggi
sehingga memerlukan dorongan pengisian yang lebih keras dengan bantuan kontraksi
atrium yang lebih kuat.
Bunyi jantung IV dapat dijumpai pada penyakit jantung hipertensif, hipertropi
ventrikel kanan, kardiomiopati, angina pectoris, gagal jantung, hipertensi,
Irama derap dapat dijumpai pada penyakit jantung koroner, infark miokard akut,
miokarditis, kor pulmonal, kardiomiopati dalatasi, gagal jantung, hipertensi,
regurgitasi aorta.
Bunyi jantung tambahan

Bunyi detek ejeksi pada awal sistolik (early sisitolic click). Bunyi ejeksi adalah bunyi
dengan nada tinggi yang terdengar karena detak. Hal ini disebabkan karena akselerasi
aliran darh yang mendadak pada awal ejeksi ventrikel kiri dan berbarengan dengan
terbukanya katup aorta yang terjadi lebih lambat.. keadaan inisering disebabkan
karena stenosis aorta atau karena beban sistolik ventrikel kiri yang berlebihan dimana
katup aorta terbuka lebih lambat.
Bunyi detak ejeksi pada pertengahan atau akhir sistolik (mid-late systolick klick)
adalah bunyi dengan nada tinggi pada fase pertengahan atau akhir sistolik yang
disebabkan karena daun-daun katup mitral dan chordae tendinea meregang lebih
lambat dan lebih keras. Keadaan ini dapat terjadi pada prolaps katup mitral karena
gangguan fungsi muskulus papilaris atau chordae tendinea.
Detak pembukaan katup (opening snap) adalah bunyi yang terdengar sesudah BJ II
pada awal fase diastolik karena terbukanya katup mitral yang terlambat dengan
kekuatan yang lebih besar yang disebabkan hambatan pada pembukaan katup mitral.
Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis katup mitral.
Pada stenosis trikuspid pembukaan katup didaera trikuspid.
Bunyi ekstra kardial
Gerakan perikard (pericardial friction rub) terdengar pada fase sistolik dan diastolik
akibat gesekan perikardium viseral dan parietal. Bunyi ini dapat ditemukan pada
perikarditis.
Bising (desir) jantung (cardiac murmure)
Bising jantung adalah bunyi desiran yang terdengar memanjang yang timbul akibat
vibrasi aliran darah turbulen yang abnormal.
Evaluasi desir jantung dilihat dari:
1. Waktu terdengar: pada fase sistolik atau diastolik
Terlebih dahulu tentukan fase siklus jantung pada saat terdengar bising (sistolik atau
diastolik) dengan patokan BJ I dan BJ II atau dengan palapasi denyut karotis yang
teraba pada awal sistolik.
Bising diastolik dapat dijumpai pada stenosis mitral, regurgitasi aorta, insufisiensi
aorta, gagal jantung kanan, stenosis tricuspid yang terdengar pada garis sternal kiri
sampai xipoideus, endokarditis infektif, penyakit jantung anemis
Bising sistolik dapat dijumpai pada stenosis aorta, insufisiensi mitral, endokarditis
infektif, angina pectoris, stenosis pulmonalis yang terdengar di garis sternal kiri
bagian atas, tatralogi fallot,
Bising jantung sistolik terdengar pada fase sistolik, dibedakan:
Bising jantung awal sistolik: Terdengar mulai pada saat sesudah BJ I dan menempati
pase awal sistolik dan berakhir pada pertengahan pase sistilik
Bising jantung pertengahan sistolik: Terdengar sesudah BJ I dan pada pertengahan
fase sisitolik dan berakhir sebelum terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP) sedang,
Bising jantung akhir sistolik: Terdengar pada fase akhir sistolik dan berakhir pada saat
terdengar BJ II
Bising ini dapat dijumpai pada sindrom marfan
Bising jantung pan-sistolik: Mulai terdengar pada saat BJ I dan menempati seluruh
fase sisitolik dan berakhir pada saat terdengar BJ II.
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal defect , regurgitasi trikuspid
Bising jantung diastolik terdengar pada fase diastolik, dibedakam:
Bising jantung awal: terdengar mulai saat BJ II menempati fase awal diastolik dan

biasanya menghilang pada pertengahan diastolik.


Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect
Bising jantung pertengahan: terdengar sesaat sesudah terdengar BJ II dan biasanya
berakhir sebelum BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada ventrikel septal depect, stenosis mitral, Duktus
Arteriosus Persisten (DAP) yang berat
Bising jantung akhir diastolik atau presistolik: terdengar pada fase akhir diastolik dan
berakhir pada saat terdengar BJ I
Bising ini dapat dijumpai pada stenosis mitral,
Bising jantung bersambungan: mulai terdengar paada fase sistolik dan tanpa interupsi
melampai BJ II terdengar kedalam fase diastolic
Bising ini dapat ditemukan pada patent dutus srteriosus
2.Intensitas bunyi:
intensitas bunyi yang ditimbulkan berbeda-beda dari yang ringan sanpai yang keras.
Pada insufisiensi mitral intensitas bising sedang sampai tinggi. Pada gagal janntung
kanan dapat terdengar bising Graham Steel yang merupakan bising yang terdengar
dengan nada tinggi yang terjadi akibat hipertensi pulmonal.
Didasarkan pada tingkat kerasnya suara, dibedakan:
3.Tipe (konfigurasi): timbul karena penyempitan atau aliran balik, dibedakan
Bising tipe kresendo: mulai terdengar dari pelan kemudian mengeras
Bising kresendo diastolik dapat terdengar pada stenosis mitral
Bising tipe dekresendo: bunyi dari keras kemudian menjadi pelan
Bising tipe kresendo-dekresendo: bunyi pelan lalu keras lalu pelan kembali
Bising tipe plateau: keras suara bising lebih menetap sepanjang pase sistolik, keras
jarang berbunyi kasar
Bising ini dapat dijumpai pada insufisiensi mitral.
4.Lokasi dan penyebaran: daerah bising terdengar paling keras dan mungkin
menyebar kearah tertentu
Pada stenosis aorta bising diastolik di sela iga 2 kiri atau kanan dapat menjalar ke
leher atau aorta
Diposkan oleh gimy di 19:19 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Asuhan keperawatan dengan # FEMUR

A. Pengertian.
Suatu keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Sylvia Anderson Price
1985).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi
1982).

B. Insidensi
Fraktur femur mempunyai angka kejadian/ insiden yang cukup tinggi di banding
dengan patah tulang jenis yang berbeda. Umumnya fraktur terjadi pada 1/3 tengah.

C. Penyebab Fraktur
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan
lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada underlying disesase dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
D. Tanda dan gejalanya
1.

Sakit (nyeri).

2.

Inspeksi

3.

4.

a.

Bengkak.

b.

Deformitas.

Palpasi
a.

Nyeri.

b.

Nyeri sumbu.

c.

Krepitasi.

Gerakan
a. Aktif (tidak bisa fungsio laesa).
b.

Pasif gerakan abnormal.

E. Patofisiologi
F. Deskripsi fraktur
1.

Berdasarkan keadaan luka

a. Fraktur tertutup (Closed Fraktur) bila tidak terdapat hubungan antara


fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (Open/ Compound Fraktur) bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
2.

Berdasarkan garis patah

a. Fraktur komplet, bila garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi yang
lain, jadi mengenai seluruh dari korteks tulang.
b. Fraktur inkomplet, bila tidak mengenai korteks tulang pada sisi yang lain, jadi
masih ada korteks tulang yang masih utuh. Hal ini seringkali terjadi pada anakanak yang lazim di sebut dengan Greenstick Farcture.
3.

Berdasarkan jumlah garis patah

a.

Simple fraktur bila hanya terdapat satu garis patah.

b. Comunitive fraktur bila ada garis patah lebih dari satu dan saling berbungan/
bertemu.
c. Segmental fraktur bila garis patah lebih dari satu dan tidak saling berhubungan
dengan pengertian bahwa fraktur terjadi pada tulang yang sama, misalnya fraktur
yang terjadi pada 1/3 proksimal dan 1/3 distal.
4.

Berdasarkan arah garis patah

a.

Fraktur melintang.

b.

Farktur miring.

c.

Fraktur spiral.

d. Fraktur kompresi.
e.

Fraktur V/ Y/ T sering pada permukaan sendi.

Beberapa hal lain yang perlu di perhatikan dalam patah tulang:


a.

Mengenai sisi kanan (dextra) atau sisi kiri (sinistra) anggota gerak.

b. Lokalisasinya semua tulang di bagi menjadi 1/3 proksimal, 1/3 tengah dan 1/3
distal, kecuali kalvikula dibagi menjadi medial, tengah, lateral.
c.

Dislokasi fragmen tulang:

- Undisplaced.
- Fragmen distal bersudut terhadap proksimal.

- Fragmen distal memutar.


- Kedua fragmen saling mendekat dn sejajar.
- Kedua fragmen saling menjauhi dan sumbu sejajar.
G. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan
operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara
konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
Cara konservatif:
1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3.

Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.

4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.


Cara operatif di lakukan apabila:
1.

Bila reposisi mengalami kegagalan.

2.

Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).

3.

Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.

4.

Fraktur patologik.

5.

Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.

Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:


- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin
traksi adalah 5 Kg.
Pengobatan operatif:
- Reposisi.
- Fiksasi.

Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation)
H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan fraktur
1.

Pengkajian

a. Aktivitas dan istirahat


Keterbatasan, kehilangan fungsi pada bagian yang mengalami fraktur.
b.

Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah atau denyut nadi (akibat dari nyeri, response dari
stress).
Penurunan tekanan darah akibat dari kehilangan darah.
Penurunan jumlah nadi pada bagian yang sakit, pemanjangan dari capilarry
refill time, pucat pada bagian yang sakit.
Terdapat masaa hematoma pada sisi sebelah yang sakit.

c. Neurosensori
Kehilangan sensai pada bagian yang sakit, spasme otot, paraesthaesi pada
bagian yang sakit.
Lokal deformitas, terjadinya sudut pada tempat yang abnormal, pemendekan,
rotasi, krepitasi, kelemahan pada bagian tertentu.
d. Kenyamanan
Nyeri yang sangat dan yang terjadi secara tiba-tiba. Hilangnya sensai nyeri
akibat dari kerusakan sistem syaraf.
e. Keamanan
Laserasi kulit , perdarahan, perubahan warna.
f.

Studi diagnostik
X ray : Menunjukkan secra pasti letak dan posisi dari terjadinya fraktur.
Bone scan, tomography, CT/ MRI scan : Menegakan diagnosa fraktur dan
mengidentifikasi lokasi jaringan lunak yang mengalami kerusakan.
Ateriogram: Mungkin Jika diduga ada kerusakan pembuluh darah pada daerah
yang mengalami trauma.

CBC: Mungkin mengalami peningkatan dari Hct, Peningkatan WBC


merupakan hal yang normal setelah mengami trauma.
Creatinine: Trauma pada otot meningkatkan pembuangan creatininke ginjal.
2.

Diagnosa keperawatan dan rencana tindakan

a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan diskotinuitas jaringan


tulang, jaringan lunak di sekitar tulang
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan
adanya penurunan rasa nyeri, pengendalian terhadap spasme dan cara berelaksasi.
Rencana:
1.

Pertahankan posisi atau imobilisasi pada bagian yang terkait.

2.

Bantu dan tinggikan akstrimitas yang mengalami injuri.

3.

Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.

4.

Lakukan diskusi dengan pasien mengenai nyeri dan alternatif solusinya.

5.

Jelaskan pada pasien setiap akan melakukan suatu tindakan.

6.

Kaji kemampuan klien dalam ROM ekstrimitasnya.

7. Jelaskan pada pasien beberapa tahenik yang dapat dilakukan guna mengurangi
nyeri (relaksasi, distraksi dan fiksasi).
8.

Kolaborasi dalam pemberian analgetik, antispamodik.

9.

Observasi TTV dan keluhan nyeri.

b. Perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan adanya batu di saluran


kemih, iritasi jaringan oleh batu, mekanik obstruksi, inflamasi.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan perawatan klien mampu melakukan eliminasi
miksi secara normal, dan bebas dari tanda-tanda obstruksi.
Rencana:
1.

Monitor intake dan output dan kaji karakteristik urine.

2.

Kaji pola miksi normal pasien.

3. Anjurkan pada pasien untuk meningkatkan konsumsi minum.

4. Tampung semua urine dan perlu di lihat apakah ada batu yang perlu untuk di
lakukan pemeriksan.
5. Kaji adanya keluhan kandung kemih yang penuh, penurunan jumlah urine dan
adanya periorbital/ edema dependent sebagai tanda dari terjadinya obstruksi.
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan elektrolit, Bun, serum creat, urine kultur, dan
pemberian antibiotik.
7.

Observasi keadaan umum pasien, status mental, perilaku dan kesadaran.

c. Resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan (defisit) berhubungan


dengan post obstruktif deurisis, nausea vomiting.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan (defisit) selama di lakukan
tindakan keperawatan.
Rencana:
1.

Monitor intake dan output cairan.

2.

Kaji dan catat bila terjadi nausea vomiting.

3. Anjurkan pasien untuk minum banyak (3-4 l/hari) jika tidak ada kontra
indikasi.
4. Monitor tanda vital (peningkatan nadi, turgor kulit, mukosa membran, capilary
refill time).
5.

Kaji berat badan setiap hari jika memungkinkan.

6.

Kolaborasi dalam pemberian cairan intra vena sesuai indikasi, antiemetik.

7.

Observasi KU pasien dan keluhan.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 1985, Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit,


Jakarta: EGC.
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai