Anda di halaman 1dari 27

GANGGUAN PANIK, GANGGUAN CEMAS MENYELURUH,

GANGGUAN CAMPURAN CEMAS DEPRESI, DAN POSTTRAUMATIC STRESS DISORDER

Perceptor :
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes
Oleh :
Adityo Muhamad Farid

1118011001

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karuniaNya sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penyusun juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ,
M.Kes sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Penyusunan Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran
mengenai gangguan cemas, serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Dalam
makalah ini penyusun membahas Gangguan Panik, Gangguan Cemas
Menyeluruh, Gangguan Campuran Cemas Depresi dan Post Traumatic Stress
Disorder. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga
dapat memberi informasi kepada para pembaca.
Penyusun menyadari dalam penyusunan referat ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sehingga lebih baik pada penyusunan referat
berikutnya. Terima kasih.

Bandar Lampung, November 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Setiap manusia pasti mempunyai rasa cemas, rasa cemas ini terjadi pada
saat adanya kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu
halm (Kaplan et al., 2010). The Anxiety and Depression Association of America
menuliskan bahwa gangguan kecemasan dan depresi diderita oleh 40 juta
populasi orang dewasa di Amerika pada usia 18 tahun atau lebih (National
Institute of Mental Health, 2010). Diperkirakan 20% dari populasi dunia
menderita kecemasan dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas. Di
Indonesia, masalah gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan
depresi pada orang dewasa secara nasional mencapai 11,6%.
Kecemasan berubah menjadi abnormal ketika di dalam diri individu
menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya. Individu yang
mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami anxiety disorder
(gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak
rasional. Seseorang dikatakan menderita gangguan kecemasan apabila kecemasan
menimbulkan penderitaan dan mengganggu aktivitas kehidupan individu tersebut.
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan
dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan dan ketakutan
yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang disertai oleh
gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea. Gangguan campuran cemas
depresi dimana terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masingmasing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan
diagnosis tersendiri. Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan
kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman
kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma sehingga menjadi suatu stressor yang
berat (Elvira & Hadisukanto, 2015).
Beberapa gangguan cemas tersebut sering terjadi dalam masyarakat.
Sehingga perlu diketahuinya perbedaan gejala-gejala antara gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh, gangguan campuran anxietas dan depresi, dan Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) untuk menegakkan diagnosis penyakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Cemas
Definisi
Cemas

didefinisikan

sebagai

suatu

sinyal

yang

menyadarkan,

memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan


seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Rasa tersebut
ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi,
rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah. Rasa cemas dapat
datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya terkait
dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga.
Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri (Kaplan,
2010).
Tanda dan gejala
Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni
kesadaran terhadap sensasi fisiologis (palpitasi atau berkeringat) dan
kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan
viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan
belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi
persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar dengan menurunkan
kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu
kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan hal lainnya (Kaplan,
2010).
Klasifikasi
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSMIV), gangguan cemas terdiri dari :
1. Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia;
2. Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik;

3. Fobia spesifik;
4. Fobia sosial;
5. Gangguan Obsesif-Kompulsif;
6. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD);
7. Gangguan Stress Akut;
8. Gangguan Cemas Menyeluruh (Maslim, 2013).
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan
somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan stress (F40-48) .
F40F48 gangguan neurotik, gangguan somatoform dan gangguan yang
berkaitan dengan stres
F40 Gangguan Anxietas Fobik
F40.0 Agorafobia
.00 Tanpa gangguan panik
.01 Dengan gangguan panik
F40.1 Fobia sosial
F40.2 Fobia khas (terisolasi)
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya
F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT (Maslim, 2013)
F41 Gangguan Anxietas Lainnya
F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)
F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
F41.9 Gangguan anxietas YTT (Maslim, 2013)
F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif
F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)

F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional


F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT
F43 Reaksi terhadap Stres Berat&Gangguan Penyesuaian (F43.0-F43.9)
F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)
F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)
F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9) (Maslim, 2013)
A. Gangguan Panik
Definisi
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan
dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan dan
ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun),
yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan panik adalah
bervariasi dari serangan multiple dalam satu hari sampai hanya beberapa
serangan selama setahun (Kaplan, 2010).
Epidemiologi
Gangguan panik di negara barat dialami oleh kurang lebih 1,7% dari
populasi orang dewasa. Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi
seumur hidup untuk gangguan panik adalah 1,5-5% dan untuk serangan
panik adalah 3-5,6%. Jenis kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki. Faktor sosial satu-satunya yang dikenali berperan
dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau
perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang pada
dewasa muda, usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun, walaupun
dapat berkembang pada setiap usia (Elvira & Hadisukanto, 2015).

Tanda dan gejala klinis


Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang.
Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relatif singkat dan disertai gejala somatik. Suatu serangan panik secara tibatiba akan menyebabkan minimal 4 dari gejala-gejala somatik berikut:
1. Palpitasi
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sesak napas
5. Perasaan tercekik
6. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
7. Mual dan gangguan perut
8. Pusing, bergoyang, melayang atau pingsan
9. Derealisasi atau depersonalisasi
10. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
11. Rasa takut mati
12. Parestesi atau mati rasa
13. Menggigil atau perasaan panas (Kaplan, 2010).
Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala
otonomik yang kuat, terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan.
Serangan dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat
selama 10 menit. Topik mengenai Sistem pernafasan sangat penting dalam
investigasi pasien dengan gangguan panik karena pernafasan yang cepat dan
pendek merupakan gejala yang sangat dirasakan pasien (suffocation false
allarm) (Kaplan, 2010). Serangan panik dapat pula terjadi pada jenis
gangguan cemas yang lain, namun hanya pada gangguan panik, serangan
terjadi meskipun tidak terdapat faktor presipitasi yang jelas (Memon, 2011;
Cloos, 2005).
Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan
ancaman kematian atau bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit
berkonsentrasi. Pada pemeriksaan status mental saat serangan sering
dijumpai ruminasi, kesulitan berbicara seperti gagap dan gangguan memori.
Depresi, derealisasi dan depersonalisasi bisa dialami pasien saat serangan
panik. Fokus perhatian somatik adalah perasaan takut mati karena masalah
jantung dan pernafasan. Sering pasien merasa akan menjadi gila.

Pedoman Diagnostik
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III)

Gangguan Panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak

ditemukan adanya gangguan anxietas fobik


Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan beberapa kali serangan anxietas
berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya;
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
c.

diduga sebelumnya (unpredictable situations);


Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian
umumnya dapat terjadi juga anxietas antisipatorik, yaitu anxietas
yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan
akan terjadi) (Maslim, 2013).

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah
sejumlah gangguan medis dan juga gangguan mental. Untuk gangguan
medis misalnya infark miokard, hipertiroid, dan hipoglikemia. Sedangkan
diagnosis banding psikiatri untuk gangguan panik adalah bagian dari
gangguan fobik, serangan panik sekunder dari gangguan depresi dan
gangguan stress pasca traumatik (Kaplan, 2010).

Penatalaksanaan
Respon yang lebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita
memahami bahwa penyakit panik melibatkan proses biologis dan psikis.
Obat-obatan dan terapi perilaku dapat mengendalikan gejala-gejalanya.
Selain itu, psikoterapi bisa membantu menyelesaikan berbagai pertentangan
psikis yang mungkin melatarbelakangi perasaan dan perilaku cemas
a.

Farmakoterapi

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah


obat anti depresi dan obat anti cemas:

SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitors), terdiri atas beberapa


macam dapat dipilih salah satu dari sertralin, fluoksetin, fluvoksamin,
escitalopram, dll. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau lebih,
tergantung kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah

sehingga dapat mencegah kekambuhan


Alprazolam; awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6
minggu, setelah itu secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai
akhirnya dihentikan. Jadi setelah itu dan seterusnya, individu hanya
minum golongan SSRI (Maslim, 2007).

b.

Psikoterapi
Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan
menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih
setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan (menarik nafas dalam
dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan
seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang
diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan mebimbing
secara perlahan-lahan, selama 20-30 menit. Setelah itu, individu diminta
untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari (Memon, 2011).

Terapi Kognitif Perilaku


Pasien diajak bersama-sama melakukan restrukturisasi kognitif, yaitu
membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang irasional dan
menggantinya dengan yang lebih rasional. Terapi berlangsung 30-45
menit.
Psikoterapi Dinamik

Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan


sekedar menghilangkan gejalanya semata. Pada psikoterapi ini, biasanya
pasien lebih banyak berbicara, sedangkan dokter lebih banyak
mendengar. Terapi ini memerlukan waktu panjang, dapat berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Hal ini tentu memerlukan kerjasama yang baik
antara individu dengan dokternya, serta kesabaran kedua belah pihak
(Memon, 2011).
Prognosis
Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita
dengan fungsi premorbid yang baik sertai durasi serangan yang singkat
bertendensi untuk prognosis yang lebih baik (Kaplan, 2010).
B. Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
Definisi
merupakan salah satu jenis gangguan kecemasan dengan karakteristik
kekhawatiran yang tidak dapat dikuasaidan menetap, biasanya terhadap
hal-hal yang sepele/tidak utama. Individu dengan gangguan cemas
menyeluruh akan terus menerus merasa khawatir tentang hal-hal yang
kecil/ sepele (Kaplan, 2010).
Etiologi
Menurut para ahli psikofarmaka, gangguan kecemasan menyeluruh
bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi
lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu. Sebagaimana diketahui,
Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan
bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul
dipermukaan dari gunung es itu, bagian terkecil dari kejiwaan yang disebut
sebagai bagian kesadaran. Agak di bawah permukaan air adalah bagian
yang disebut pra-kesadaran, dan bagian yang terbesar dari gunung es
tersebut ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam

10

ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidaksadaran ini berisi ide, yaitu


dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau
peraturan-peraturan yang ada di lingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin
muncul ke permukaan/ kekesadaran, sedangkan tempat di atas sangat
terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur
dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal
di ketidaksadaran karena ketidaksesuaiannya dengan superego, yaitu salah
satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan
yang berlaku dilingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup
kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan
atau gangguan-gangguan kejiwaan (Adiwena, 2007).
Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat
dari ketidakmampuan ego menahan dorongan ide. Gangguan Kecemasan
Menyeluruh,

menurut

pendekatan

psikodinamika

berakar

dari

ketidakmampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang


muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan
mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri
ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme
pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan
berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak
adaptif dan tidak realistis (Adiwena, 2007).

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh
ditegakkan apabila dijumpai gejala-gejala antara lain keluhan cemas,
khawatir, was-was, ragu untuk bertindak, perasaan takut yang berlebihan,
gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana perasaan
tersebut

mempengaruhi

seluruh

aspek

kehidupannya,

sehingga

pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu

11

spesifik untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah kecemasanya


terjadi kronis secara terus-menerus mencakup situasi hidup (cemas akan
terjadi kecelakaan, kesulitan finansial),cemas akan terjadinya bahaya,
cemas kehilangan kontrol, cemas akan`mendapatkan serangan jantung.
Sering penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur (Kaplan, 2010).
Diagnosis
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (DSM-IV halaman 435, 300.02)
ditegakkan bila terdapat kecemasan kronis yang lebih berat (berlangsung
lebih dari 6 bulan; biasanya tahunan dengan gejala bertambah dan kondisi
melemah) dan termasuk gejala seperti respons otonom (palpitasi, diare,
ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air kecil), insomnia, sulit
berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas, gemetaran, waspada
berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi. Ada kecenderungan
diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen genetik yang sedang dan
dihubungkan dengan fobiasosial dan sederhana serta depresi mayor
(terdapat pada 40% atau lebih pasien;meningkatkan resiko bunuh diri.
Biasanya pada kondisi ini tidak ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi
harus dicari penyebabnya (Elvira & Hadisukanto, 2015).
Diagnosis

gangguan

cemas

menyeluruh

menurut

PPDGJ-III

ditegakkan berdasarkan :
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampirsetiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atauhanya menonjol pada keadaan situasi khusus
tertentu saja (sifatnya free floatingAtau mengambang).
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulitberkonsentrasi, dsb)
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai); dan

12

3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,


jantung berdebar-debar,sesak napas, keluhan lambung, pusing
kepala, mulut kering, dsb)
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnyadepresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas
Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari
episode depresif (F.32.-), gangguan anxietas fobik (F.40.-), gangguan panik
(F42.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F.42.-) (Maslim, 2013).
Penanganan
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat
dilakukan dengan 2 cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi
dengan obat-obatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan terapi yang
tinggi dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang
sederhana sangat efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan
dokter yang baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang
tidak perlu. Penanganan dengan psikoterapi juga dapat dijelaskan melalui
pendekatan psikodinamika, humanistik eksistensialis atau pendekatan
behavioristik maupun kognitif (Adiwena, 2007).
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti depresan
yang baru, venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk
pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan benzodiazepin dengan
tidak berlebihan (diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10 mg
sebelum tidur) untuk jangka pendek (beberapa minggu hingga beberapa
bulan); biarkan penggunaan obat-obatan untuk mengikuti perjalanan
penyakitnya. Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal
atau untuk pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien
tertentu yang telah terbiasa dengan efek cepat benzodiazepin akan
merasakan kurangnya efektivitas buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI, dan
MAOI bermanfaat terhadap pasien-pasien tertentu (terutama bagi mereka
yang disertai dengan depresi). Sedangkan pasien dengan gejala otonomik
akan membaik dengan -bloker (misal, propanolol 80-160 mg/hari) (Tomb,
2000).
13

Tabel 1. Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran (Maslim, 2007)


N
o
1.

2.

3.
4.

Nama Generik

Nama

Sediaan

Dosis

Dagang
Diazepin

Tab. 2-5 mg

Lovium

Tab. 2-5 mg

Stesolid

Tab. 2-5 mg

Cetabrium

Amp. 10mg/2cc
Drg. 5-10 mg

Arsitran

Tab. 5 mg

Lorazepam

Tensinyl
Ativan

Cap. 5 mg
Tab.0,5-1-2 mg

2-3 x 1 mg/h

Clobazam

Renaquil
Frisium

Tab. 1 mg
Tab. 10 mg

2-3x

Diazepam

Chlordiazepoxide

Anjuran
10-30 mg/h

15-30 mg/h

1m

5.

Alprazolam

Xanax

Tab.0,25-0,5 mg

mg/h
0,75-1,50

6.
7.
8.

Sulpiride
Buspirone
Hydroxyzine

Alganax
Dogmatil
Buspar
Iterax

Tab.0,25-0,5 mg
Cap. 50 mg
Tab. 10 mg
Caplet 25 mg

mg/h
100-200 mg/h
15-30 mg/h
3x25 mg/h

Prognosis
Prognosis

Gangguan

Kecemasan

Menyeluruh

sukar

untuk

untuk

diperkirakan. Nemun demikian beberapa data menyatakan peristiwa


kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa
peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan
akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya
gangguan tersebut (Maslim, 2007).
C. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi
Definisi
Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-masing
tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan
diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus

14

ditemukan walaupun tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau


kekhawatiran berlebihan. Kecemasan adalah keadaan individu atau
kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas
sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas,
nonspesifik. Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi
manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala
penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan
bunuh diri (Kaplan, 2010).
Epidemiologi
Keberadaan ganggguan depresif berat dan gangguan panik secara bersamaan
lazim ditemukan. Dua pertiga pasien dengan gejala depresif memiliki gejala
ansietas yang menonjol, dan dua pertiganya dapat memenuhi kriteria
diagnostik ganguan panik. Peneliti telah melaporkan bahwa 20 sampai 90
persen pasien dengan ganggguan panik memiliki episode gangguan depresif
berat. Data ini mengesankan bahwa keberadaan gejala depresif dan ansietas
secara bersamaan, tidak ada di antaranya yang memenuhi kriteria diagnostik
gangguan depresif atau ansietas lain dapat lazim ditemukan. Meskipun
demikian, sejunlah klinisi dan peneliti memperkirakan bahwa pravelensi
gangguan ini pada populasi umum adalah 10% dan di klinik pelayanan
primer

sampai

tertinggi

50%,

walaupun

perkiraan

konservatif

mengesankanpravelensi sekitar 1% pada populasi umum (Kaplan, 2010).


Tanda dan Gejala Klinis
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel di
bawah (Maslim, 2007):
1. Kedutan otot/ rasa gemetar
Ketegangan Motorik

2. Otot tegang/kaku/pegal
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah

Hiperaktivitas Otonomik
5. Nafas pendek/terasa berat

15

6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Kewaspadaan berlebihan
dan

Penangkapan

berkurang

14. Mudah terkejut/kaget


15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung

Sedangkan untuk gangguan depresif ditandai dengan suatu mood depresif,


kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama depresi.
Gejala utama :
1. Afek depresi
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
( rasa lelah yang nyata sesudah kerja yang sedikit) dan menurunnya
aktifitas (Kaplan, 2010).
Gejala lainnya dapat berupa :

Konsentrasi dan perhatian berkurang


Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang.

16

Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di nilai
berdasarkan ungkapan pribadi atau hasil pengamatan orang lain misalnya
keluarga pasien (Kaplan, 2010).
Pedoman diagnostik
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ-III
1. Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-masing
tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan
diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus
ditemukan walaupun tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau
kekhawatiran berlebihan.
2. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, harus
dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan
anxietas fobik.
3. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk
menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan.
Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka
gangguan depresif harus diutamakan.
4. Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang
jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian
(Maslim, 2013).
Kriteria DSM-IV-TR Gangguan Campuran Ansietas Depresif
Mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya 1 bulan
Mood disforik disertai empat (atau lebih) gejala berikut selama sedikitnya
1 bulan :
1. Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong
2. Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tidur atau
gelisah tidur tidak puas)
3. Lelah atau energi rendah
4. Iritabilitas
5. Khawatir
6. Mudah nangis

17

7. Hipervigilance
8. Antisipasi hal terburuk
9. Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)
10. Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Gejala tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth.
Penyalahguanaan obat atau pengobatan) atau keadaan medis umum
Semua hal berikut ini :
1. Kriteria tidak pernah memenuhi gangguan depresif berat, gangguan
distimik; gangguan panik, atau gangguan ansietas menyeluruh
2. Kriteria saat ini tidak memenuhi gangguan mood atau ansietas lain
(termasuk gangguan ansietas atau gangguan mood, dalam remisi
parsial)
3. Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding mencakup gangguan ansietas dan depresif lainnya serta
gangguan kepribadian. Di anatara gangguan ansietas, gangguan ansietas
menyeluruh merupakan gangguan yang lebih besar kemungkinannya untuk
bertumpang tindih dengan gangguan campuran ansietas-depresif. Diantara
ganggguan kepribadian, gangguan kepribadian mengindar, dependen, dan
obsesfi kompulsif dapar memiliki gejala yang mirip dengan gejala gangguan
campuran ansietas-depresif. Diagnosis gangguan somatoform juga harus
dipertimbangkan (Kaplan, 2010).
Penatalaksanaan
Karena studi yang membandingkan modalitas terapi gangguan campuran
ansietas-depresif

tidak

tersedia,

klinis

mungkin

lebih

cenderung

memberikan terapi berdasarkan gejala yang muncul, keparahannya, dan


tingkat pengalaman klinis tersebut dengan berbagai modalitas terapi.
Farmakoteapi untuk gangguan campuran ansietas-depresif dapat mencakup
obat antiansietas, obat antidepresif, atau keduanya. Diantara obat ansiolitik,
18

sejumlah data menunjukkan bahwa penggunaan triazolobenzodiazepine


( Alprazolam (Xanax) ) dapat di indikasikan karena efektivitas nya dalam
mengobati depresi yang disertai ansietas. Obat yang mempengaruhi reseptor
5-HT, seperti busipron juga dapat di indikasikan. Diantara anti depresan,
meskipun teori noradrenergik menghubungkan gangguan ansietas dengan
gangguan depresif, anti depresif serotonergik (contohnya, fluoxetine) dapat
menjadi obat yang paling efektif dalam mengobati gangguan campuran
ansietas-depresif (Kaplan, 2010).

D. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Definisi
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/
mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan
fisik atau perasaan terancam. Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah
sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang
mengancam keselamatan atau menimbulkanperasaan tidak berdaya.
Epidemiologi
Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9-15%.
Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8%. Pada populasi yang
mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya
dapat mencapai 75%. Wanita (18.3%) lebih sering mengalami PTSD
dibanding pria (10.3%). PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih
seringpada usia dewasa muda.
Patofisiologi
Aspek biologis dari gangguan stress pasca trauma yaitu saat timbul stressor,
pada amigdala terjadi aktivasi beberapa neurotransmitter sebagai respon
tubuh yang terjadi dalam beberapa milidetik. Amigdala kemudian akan
bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada:

19

1. sistem saraf simpatis (katekolamin): terjadi peningkatan denyut jantung


dan tekanan darah (reaksi fight or flight), peningkatan aliran darah dan
jumlah glukosa pada otot skeletal
2. sistem parasimpatis: membatasi reaksi sistem saraf simpatis di beberapa
jaringan tubuh.
3. aksis hipotalamus hipofisis kelenjar adrenal (aksis HPA): hipotalamus
akan mengeluarkan Corticol Releasing Factor (CRF) sehingga kelenjar
hipofisis terangsang, terjadi sekresi dari ACTH dan akhirnya akan
menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.
Setelah stressor itu mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi
respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika
tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi
stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari
adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali
memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada
saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan
bahaya itu masih ada. Aspek psikodiamik yaitu terjadi karena reaktivasi dari
konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan di masa lampau. Sistem
ego akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan
meredakan kecemasan yang terjadi.
Manifestasi Klinis
Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptive
terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme
penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam
fungsi sosialnya. Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan
setelah kejadian,awitan dalam 6 bulan.
3 kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan):
1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)
a
b

Ansietas yang menetap


Kewaspadaan yang berlebihan
20

c
d

Konsentrasi buruk
Insomnia

2. Intrusions( pengacauan)
a
b
c

Kilasan balik
Mimpi buruk
Ingatan yang hidup

3. Avoidance (penghindaran)
a
b
c

Menghindari hal-hal yang mengingatkan


Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian
Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari

Penegakan Diagnosis
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
a

Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun


waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masalaten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberap abulan, jangan sampai
melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan
apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan
melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan

tidak terdapat alternative kategori gangguan lainnya.


Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayangbayangatau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebutsecara

berulang-ulang kembali (flashbacks)


Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah lakusemuanya

dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.


Suatu sequelae manahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa,

misalnya

saja

beberapa

puluh

tahun

setelah

trauma,

diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang


berlangsung lama setelah mengalami katastrofa) (Maslim, 2013).
Kriteria DSM-IV untuk Gangguan Stress Pascatraumatik:
A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana
kedua dari berikut ini terdapat:
1

Orang

mengalami,

menyaksikan,

atau

dihadapkan

dengan

suatukejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian

21

atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau


2

ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.


Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak berdaya
atau horor (Maslim, 2013).

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu atau lebih
cara berikut:
1

Rekoleksi

yang

menderita,

rekuren,

dan

mengganggu

2
3

kejadian,termasuk bayangan, pikiran atau persepsi.


Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian

terjadikembali.
Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tandainternal

traumatik

atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatuaspek


5

kejadian traumatik.
Reaktivitas psikologis
ataueksternal

yang

saat

terpapar

menyimbolkan

dengan
atau

tanda

internal

menyerupai

suatu

aspekkejadian traumatik (Maslim, 2013).


C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan
traumadan

kaku

karena

responsivitas

umum

(tidak

ditemukan

sebelumtrauma), seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:
1 Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang
2

berhubungan dengan trauma.


Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang

3
4

menyadarkan rekoleksi dengan trauma.


Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas

yangbermakna.
5 Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6 Rentang aspek yang terbatas.
7 Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (Maslim, 2013).
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:
1 Kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur.
2 Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3 Sulit berkonsentrasi.
4 Kewaspadaan berlebihan.
5 Respon kejut yang berlebihan.
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan.

22

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis


ataugangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan, atau fungsi penting lain
(Maslim, 2013).
Diagnosis banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa
pasien juga menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik
yang dapat menyebabkan dan memperberat gejala adalah epilepsi, gangguan
penggunaan alkohol, dan gangguan terkait zat lain. Intoksikasi akut atau
putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan
dengan

gangguan

ini

sampai

efek

zat

hilang.

Klinisi

harus

mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang memiliki gangguan


nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan anxietas lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya PTSD dapat dibedakan dengan wawancara pasien mengenai
pengalaman traumatik sebelumnya, dan dengan sifat gejala saat ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatanjuga
harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang sulit dibedakan
dengan PTSD karena dapat muncul bersamaan atau bahkan penyebabnya
dapat berkaitan. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki
derajat perilaku menghindar hyperaurosal otonom atau riwayat trauma yang
dimiliki gangguan PTSD.
Gejala PTSD dapat sulit dibedakan juga dengan gejala gangguan panik dan
gangguan

Cemas

Menyeluruh.

Hal

ini

dikarenakan

ketiganya

berhubungandengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik.Kunci untuk


membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan
gejala.

Penatalaksanaan

23

Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk


mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping
(contohnya relaksasi). Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat
membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik masa lalu dan
sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai
gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.
1

Farmakoterapi
Obat yang biasanya digunakan untuk membantu penderita PTSD
meliputi serotonergik antidepresan (SSRI) dimana Selektif Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena
efektivitas dan tingkat keamanannya. fluoxetine (Prozac) 10-60
mg/hari, sertraline (Zoloft) 50-200 mg/hari, dan flufoxamin 50300mg/hariserta obat-obatan yang membantu mengurangi gejala fisik
yang terkait dengan penyakit, seperti prazosin (Minipress) , clonidine
2

(Catapres), guanfacine (TENEX), dan propranolol.


Psikoterapi
Ketika timbul PTSD, ada 2 pendekatan psikoterapik utama, yang
pertama adalah teknik membayangkan terhadap peristiwa tersebut.
Pajanan ini bertahap seperti pada desensitisasi sistematik. Pendekatan
kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksaanaan stress
termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi
strss. Sejumlah data menunjukkan bahwa penatalaksanaan stress lebih
cepat daripada teknik pemajanan. Akan tetapi, hasil teknik pemajanan
lebih bertahan lama.

Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala
ringan,

20%

terus

menderita

gejala

sedang

dan

10%

tidak

berubah

atau memburuk. Umumnya orang yang sangat muda atau sangat

tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila
kondisi gangguan stres pasca traumatik muncul dalam waktu singkat,

24

durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik,

dukungan

sosial

yang

baik dan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat. Tingkat pemulihan


tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50% menjadi chronic
psychiatric disorder (Kaplan, 2010).

BAB III
PENUTUP

25

Gangguan cemas dibagi menjadi beberapa golongan. Setiap gangguan


memiliki etiopatogenesis yang berbeda seperti faktor genetik, faktor biologis, dan
faktor

psikososial.

Penatalaksanaannya

berupa

suatu

kombinasi

terapi

farmakologis dan terapi kognitif perilaku, terapi psikososial, dan konseling.


Beberapa golongan obat yang efektif untuk gangguan cemas adalah obat-obat
golongan, Trisiklik dan Tetrasiklik, benzodiazepine, MAOI, dan SSRI. Pasien
dengan fungsi pramorbid yang baik dan durasi gejala singkat tidak disertai depresi
memiliki prognosis yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

26

Adiwena, Nuklear. 2007. Anxietas. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Islam Indonesia.
Cloos JM. Treatment of panik disorder. Updated on January 2005. [Cited on
September

06,

2016].

Available

from:

http://www.medscape.com/

viewarticle/497207_1
Elvira S, Hadisukanto G. 2015. Buku Ajar Psikiatri UI Jilid 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.
Kaplan H, Sadock, Benjamin. 2010. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2.
Jakarta: Bina Rupa Aksara Jakarta
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya.
Maslim, Rusdi. 2007. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya. Hal. 12
Memon, MA. Panic Disorder Treatment and Disorder. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/287913-treatment.
National Institute of Mental Health. 2010. Depression and College Students,
NIMH, 1-8.
Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal. 96-110

27

Anda mungkin juga menyukai