Anda di halaman 1dari 29

BAB III

PEMBANGUNAN HUKUM

A. UMUM
Selama kurun waktu berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)
2000-2004, pelaksanaan Agenda Pembangunan Kedua yaitu
mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik
dilaksanakan melalui 4 (empat) program Pembangunan Bidang
Hukum, yaitu Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak
Hukum Lainnya; Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia; dan Program
Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum;
dan Sub Bidang Penyelenggara Negara yang tertuang dalam Bab
Pembangunan Politik dan akan menguraikan secara mendalam
langkah-langkah mewujudkan pemerintahan yang baik selama kurun
waktu pelaksanaan PROPENAS.
Bab ini akan menguraikan pelaksanaan Pembangunan Hukum
dalam PROPENAS yang merupakan perintah dari Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang

menetapkan 10 (sepuluh) arah kebijakan di bidang hukum;


melaksanakan perintah dari Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan dalam rangka mendukung
pelaksanaan Program Kerja Kabinet Gotong Royong yang keempat,
yaitu melaksanakan penegakan hukum secara konsisten, mewujudkan
rasa aman serta tentram dalam kehidupan masyarakat, dan melakukan
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Berbagai
perintah sebagaimana disebutkan di atas merupakan upaya-upaya
yang berkesinambungan yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan
supremasi hukum dan sebagai penjabaran lebih lanjut dari UUD 1945
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas
kekuasaan (machtsstaat).
Secara menyeluruh, keluaran (output) yang dihasilkan dari
pelaksanaan program-program pembangunan hukum dan Program
Kerja Kabinet Gotong Royong telah memperlihatkan kemajuan yang
cukup siginifikan baik dari sisi kinerja penyelenggara negara di
bidang hukum maupun dari sisi keterlibatan masyarakat dalam
berbagai pelaksanaan program pembangunan hukum.
Sebagai kelanjutan tuntutan reformasi pada berbagai bidang
pembangunan sejak pertengahan tahun 1997, pembangunan hukum
juga mengalami reformasi besar. Kondisi tersebut terlihat dari
besarnya tuntutan rakyat terhadap penegakan hukum yang tidak
pandang bulu terhadap siapa saja yang melakukan tindak pidana
korupsi yang merugikan uang rakyat yang seharusnya digunakan
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tuntutan reformasi di satu
sisi juga telah meningkatkan kesadaran, keberanian dan keterbukaan
mata rakyat terhadap kondisi penyelenggaraan negara, dan di sisi lain
penyelenggaran negara juga mulai memperlihatkan keterbukaan dan
menerima berbagai koreksi yang disampaikan oleh rakyat serta
bersama-sama melakukan upaya perbaikannya.
Upaya-upaya pencapaian untuk memenuhi perintah PROPENAS,
TAP MPR dan Program Kerja Kabinet Gotong Royong sebagaimana
diuraikan di atas pada dasarnya sangat berkaitan erat satu dengan
III 2

lainnya, sehingga langkah-langkah untuk melaksanakan kegiatan yang


penting, prioritas dan mendesak dilakukan seoptimal mungkin dan
sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Walaupun pencapaian yang
menonjol baru sebatas pada keluaran (output), seperti dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan pembentukan lembaga-lembaga
penegak hukum, namun pencapaian tersebut telah menunjukkan
kemajuan yang cukup berarti. Paling tidak keterlibatan berbagai
komponen lembaga masyarakat dalam kurun waktu pelaksanaan
PROPENAS cukup banyak memberikan kontribusi yang signifikan
dalam perumusan peraturan perundang-undangan dan dalam proses
pembentukan kelembagaan hukum seperti Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Judisial, dan lain sebagainya.
Namun harus diakui bahwa penegakan hukum untuk mewujudkan
supremasi hukum tidak hanya memerlukan peraturan perundangundangan dan kelembagaan pelaksana hukum, tetapi juga manusia di
dalam kelembagaan/penegak hukum yang melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang harus benar-benar berkualitas dalam arti
memahami bidang tugasnya, profesional, independen, yang tidak
dipengaruhi oleh pihak manapun dalam melaksanakan penegakan
hukum, dan integritas serta moral yang tinggi dalam melaksanakan
peraturan perundang-undangan secara konsisten dan konsekuen.
Selanjutnya kondisi tersebut juga tidak akan tercapai secara optimal
apabila para pelaksana/penegak hukum tidak mendapatkan
kompensasi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
memadai dan wajar sehari-harinya serta dukungan sarana dan
prasarana yang memadai.
Beberapa hasil yang cukup memberikan harapan untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan sebagai
penjabaran dari pelaksanaan program-program dalam PROPENAS,
TAP MPR dan Program Kerja Kabinet Gotong Royong adalah
pembinaan satu atap 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu Lingkungan
Peradilan Umum, Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
yang kewenangan administrasi, keuangan, kepegawaian dan
organisasi yang semula dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan
HAM beralih kepada Mahkamah Agung dan telah mulai
III 3

ditindaklanjuti dengan perubahan berbagai undang-undang terkait dan


penyerahan secara formal oleh Menteri Kehakiman dan HAM kepada
Mahkamah Agung.
Sebagai benteng terakhir harapan para pencari keadilan, maka
lembaga peradilan ke depan diharapkan benar-benar mandiri,
independent dan imparsial, sehingga dapat memberikan pelayanan
keadilan yang lebih baik kepada masyarakat pencari keadilan tanpa
kekhawatiran akan adanya intervensi pihak manapun terhadap proses
peradilan. Langkah-langkah dan upaya yang dilakukan Mahkamah
Agung antara lain secara terus menerus melakukan berbagai
pembenahan internal, agar seluruh aparat di Mahkamah Agung benarbenar menyadari bahwa beban yang sangat berat harus diimbangi
dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme seluruh hakim dan
staf peradilan.
Dengan dialihkannya peran pembinaan administrasi, keuangan
dan kepegawaian di bidang peradilan, maka Departemen Kehakiman
dan HAM hanya akan melaksanakan fungsi-fungsi antara lain
Pemasyarakatan, Imigrasi, pengkajian dan penelitian bidang hukum;
perundang-undangan di bidang hukum seperti Badan Hukum,
Kenotariatan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dan Hak Asasi
Manusia.
Dari sisi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan hukum
cukup memberikan gambaran kemajuan dalam bentuk keterlibatan
dalam proses penyusunan berbagai langkah-langkah reformasi hukum
pada lembaga Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung;
lembaga Advokat; Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Komisi Ombudsman; Mahkamah Konstitusi yang keluaran (output)nya juga dikonsultasikan langsung kepada masyarakat. Upaya-upaya
tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas lembaga-lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya,
sehingga masyarakat benar-benar memperoleh rasa keadilan yang
sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kemajuan lain yang sangat diharapkan oleh masyarakat dan
sejalan dengan PROPENAS, TAP MPR dan Program Kerja Kabinet
III 4

Gotong Royong dalam kaitannya dengan arah kebijakan


pemberantasan KKN adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai perintah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disempurnakan
dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada
bulan Desember 2002, DPR menyetujui dibentuknya KPK dengan UU
Nomor 30 Tahun 2002. Pada bulan Desember Tahun 2003
keanggotaan pimpinan KPK terbentuk sebanyak 5 (lima) orang
melalui proses seleksi yang ketat dan transparan ditingkat pemerintah
serta melibatkan berbagai komponen masyarakat serta fit and proper
test di DPR. Fungsi dan tugas KPK sangat independen dengan
wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
nilainya lebih dari 1 miliar rupiah. Dengan adanya KPK, maka Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang dibentuk
melalui UU Nomor 28 Tahun 1999 diintegrasikan ke dalam KPK.
Dengan demikian pada saat ini di samping Kepolisian dan Kejaksaan,
terdapat KPK yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang nilainya di atas
1 miliar rupiah. Di samping itu KPK dapat pula mengambil alih
penanganan perkara korupsi dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Sejalan dengan dibentuknya KPK, berdasarkan Pasal 53 UU
Nomor 30 Tahun 2002 diperintahkan untuk dibentuk Pengadilan
Tipikor yang sampai dengan saat ini telah tersedia 30 (tigapuluh)
orang Jaksa; 10 Hakim; dan 9 (sembilan) orang Hakim Ad-Hoc yang
akan menangani perkara korupsi pada Pengadilan Tipikor tingkat
pertama, tingkat Bandung dan kasasi. Untuk menciptakan persamaan
persepsi dalam menangani perkara korupsi, telah dilakukan diklat
pembekalan selama 5 (lima) hari yang melibatkan hakim pengadilan
Tipikor, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Tipikor dan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persiapan gedung Pengadilan
Tipikor juga telah dilakukan termasuk dukungan sarana dan
prasarananya. Diharapkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah
dapat menerima berkas perkara dari KPK pada bulan September 2004.

III 5

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
1.

Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2000


tentang PROPENAS, Program Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
dalam rangka mewujudkan supremasi hukum terutama
penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan warisan
kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Adapun sasaran program ini adalah
terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Sedangkan arah kebijakan pembentukan peraturan perundangundangan sesuai dengan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 adalah
(1) Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum
adat serta memperbarui perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi; (2) Melanjutkan ratifikasi konvensi
internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk
undang-undang; (3) Mengembangkan peraturan perundangundangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan
nasional.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun


2000, krisis multidimensi yang terjadi sampai dengan saat ini
membutuhkan antara lain pemulihan ekonomi agar
kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan kembali. Untuk itu
III 6

selama kurun waktu 2001-2004 telah ditetapkan berbagai


peraturan perundang-undangan yang dianggap penting,
prioritas dan mendesak di berbagai bidang sebagai tindak
lanjut di dalam mengatasi krisis multidimensi. Dalam
kaitannya dengan pembangunan hukum, maka krisis
multidimensi yang terjadi juga disebabkan antara lain karena
masih belum terwujudnya penegakan hukum yang konsisten,
lemahnya penanganan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), dan belum optimalnya penanganan pelanggaran
HAM.
Sebagaimana ditetapkan dalam PROPENAS, khususnya
dalam Program Pembentukan Peraturan Perundangundangan, selama kurun waktu tahun 2001-2004 telah
ditetapkan berbagai undang-undang yang ditujukan untuk
mendukung pemulihan ekonomi, antara lain di bidang Hak
atas Kekayaan Intelektual (HaKI) seperti Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor
31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; UU Nomor 32 Tahun
2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Nomor
14 Tahun 2001 tentang Paten; UU Nomor 15 tentang Merek
dan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Berbagai
UU tersebut juga dilengkapi dengan instrumen penegakan
hukum melalui lembaga pengadilan niaga agar kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa benar-benar
terjamin. Selanjutnya juga telah dilakukan penyesuaian
mekanisme perumusan kebijakan moneter dan penataan
kembali kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggung
jawab otoritas kebijakan moneter melalui UU Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan
undang-undang ini, peran Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan nasional akan semakin besar sehingga diharapkan
akan semakin meningkatkan efisiensi dan efektifitas
kehidupan perbankan nasional.

III 7

Dalam rangka upaya untuk menghimpun pendanaan dari


masyarakat yang akan dikembalikan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk berbagai kegiatan pembangunan
terutama di daerah, telah ditetapkan berbagai undang-undang
dalam rangka mendukung pendanaan pembangunan yang
bersumber dari perpajakan. Berbagai undang-undang tersebut
antara lain UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang tentang Perubahan Kedua
Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Selanjutnya dalam rangka menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak, telah ditetapkan UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain,
Indonesia juga memberi perhatian serius terhadap tindak
pidana lintas negara yang terorganisir (transnational
organized crime) seperti pencucian uang (money laundring)
dan terorisme. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam
rangka penanggulangan tindak pidana pencucian uang dan
pendanaan terorisme yang telah semakin kompleks dan
canggih modus operandinya adalah dengan menetapkan UU
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang dan telah disempurnakan dengan UU Nomor 25 Tahun
2003. Terlepas dari keterikatan Indonesia dengan organisasi
internasional di bidang pencucian uang, Pemerintah secara
terus-menerus berupaya untuk meningkatkan pengawasan
terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang diyakini
berasal dari praktik tindak pidana korupsi.
Dalam rangka memberantas kasus tindak pidana korupsi
telah ditetapkan beberapa peraturan perundang-undangan
yang terkait, yakni antara lain UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
III 8

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memperluas


pendefinisian korupsi dan pembuktian terbalik serta UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Sejalan dengan Amandemen UUD 1945 telah terjadi
perubahan di bidang kekuasaan Kehakiman yaitu dengan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi dengan UU Nomor 24
Tahun 2003, Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dengan UU Nomor 5 Tahun 2004, UU Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum dan UU Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU Nomor 21 Tahun 2004
tentang Pengalihan Organisasi Administrasi, dan Finansial di
Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. Khusus
untuk Peradilan Militer peralihan tersebut akan dilakukan
secara bertahap.
Selain itu, dalam rangka mendukung perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) telah ditetapkan antara
lain UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi
ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
(ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and
Immediate Action For the Elimination of The Worst Form of
Child Labour). Dalam rangka turut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta
memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan
aman kepada perorangan ataupun masyarakat, telah
ditetapkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. UU ini memberikan landasan hukum bagi
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat

III 9

seperti tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang


Hak Asasi Manusia.
Untuk mendukung upaya terwujudnya sistem hukum
nasional yang benar-benar menjamin tegaknya supremasi
hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran,
dengan Keppres Nomor 15 Tahun 2000 telah dibentuk
Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional
dengan Keppres Nomor 44 Tahun 2000. Kedua Komisi ini
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk membuka
jalan ke arah reformasi hukum dan reformasi aparatur yang
lebih mendasar dan bertujuan menemukan gagasan dan
persepektif baru untuk melakukan perubahan lembagalembaga hukum yang ada.
Di samping itu, sebagai bagian dari anggota Perserikatan
Bangsa-bangsa, Indonesia telah meratifikasi berbagai
konvensi internasional. Saat ini telah pula dilakukan
pengkajian terhadap berbagai konvensi internasional baik
yang telah ditandatangani maupun belum ditandatangani oleh
Pemerintah Indonesia, antara lain Konvensi Transnational
Organized Crimes (TOC), dan Konvensi mengenai Larangan
Perdagangan Perempuan dan Anak. Selanjutnya hasil
pengkajian ini akan dipergunakan untuk menyusun peraturan
lebih lanjut sebagai implementasi konvensi tersebut. Upaya
pembaruan di bidang peraturan perundang-undangan juga
mengalami kemajuan yang signifikan dengan telah
disetujuinya Rancangan UU tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan oleh DPR. Dengan adanya UU ini,
maka diharapkan proses pembaruan legislasi nasional yang
dilakukan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah dapat lebih mencerminkan
kepentingan masyarakat sehingga mendukung pencapaian
sistem hukum nasional yang mantap.
Di bidang sosial dan politik, UU Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum sudah tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana digariskan dalam Ketetapan MPR
III 10

No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Untuk


itu agar sesuai dengan perkembangan dan tuntutan politik
telah dilakukan perubahan melalui UU Nomor 4 tahun 2000
tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum. Di sisi lain, peraturan yang terkait dengan
pembuatan perjanjian dengan negara lain yang selama ini
digunakan sebagai pedoman di dalam membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional juga sudah tidak sesuai
lagi dengan semangat reformasi. Dengan ditetapkannya UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional maka
Indonesia telah mempunyai landasan yang kuat dalam
melakukan perjanjian internasional dengan negara lain baik
yang sifatnya bilateral maupun multilateral. Beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kedaulatan rakyat juga telah ditetapkan, yakni antara lain UU
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
serta UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah ditetapkan UU
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 45
Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya
Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota
Sorong; UU Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
UU Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi
Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku
Tenggara Barat; UU Nomor 23 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Propinsi Banten; UU Nomor 27 Tahun 2000
tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung;
UU Nomor 38 tentang Pembentukan Propinsi Gorontalo; UU
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
III 11

Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua; UU Nomor 25 Tahun


2002 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Riau.
Kesemua upaya tersebut ditujukan untuk semakin
meningkatkan kreativitas daerah dalam mengelola rumah
tangga di daerahnya agar kesejahteraan rakyat dapat lebih
dipercepat peningkatannya.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan yang dihadapi sehubungan


dengan pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2000, khusus
dalam Program Pembentukan Peraturan Perundangundangan, belum sepenuhnya mengacu rencana tindak yang
telah ditetapkan. Dari 120 (seratus dua puluh) RUU yang
direncanakan untuk ditetapkan menjadi UU, hingga saat ini
baru 32 (tigapuluh dua) RUU yang telah ditetapkan sebagai
UU sesuai dengan PROPENAS. Mengingat adanya
kebutuhan yang mendesak dan harus segera dibuat, maka
terdapat sejumlah RUU yang dibuat di luar PROPENAS dan
telah ditetapkan menjadi UU, yaitu sebanyak 47 (empat
puluh tujuh) UU. Rendahnya pencapaian produk undangundang sesuai dengan PROPENAS disebabkan antara lain
karena belum adanya mekanisme yang baku yang mengatur
hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan
RUU. Di satu sisi Pemerintah menggunakan Keppres Nomor
188 Tahun 1998 sebagai dasar penyusunan RUU, sedangkan
DPR menggunakan Tata Tertib DPR. Adanya UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diharapkan
pada tahun mendatang proses penyusunan dan pembentukan
peraturan
perundang-undangan
dapat
benar-benar
mencerminkan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya baik
melalui Pemerintah, DPR dan DPD.
Permasalahan lain yang dihadapi di bidang pembentukan
perundang-undangan, khususnya dalam rangka mendukung
pemulihan ekonomi, antara lain adalah masih belum
memadainya peraturan perundang-undangan di bidang
ekonomi yang secara terus menerus mengalami perubahan
III 12

sebagai implikasi dari globalisasi dunia. Tidak secara


cepatnya
perundang-undangan
nasional
merespon
perkembangan yang ada mengakibatkan terjadinya
ketidakpastian dan jaminan hukum terhadap implementasi
peraturan perundang-undangan terutama di bidang ekonomi,
sehingga
mengakibatkan
berkurangnya
kepercayaan
kalangan dunia usaha terutama para investor dari luar negeri
untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan
peran pembentukan peraturan perundang-udangan adalah
dengan melanjutkan langkah-langkah evaluasi terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang telah
dikeluarkan melalui pengkajian yang intensif. Hasil evaluasi
harus ditujukan untuk melihat sampai sejauh mana implikasi
(impact) dikeluarkannya peraturan perundangan tersebut
kepada masyarakat. Apakah dapat menciptakan ketertiban,
kepastian dan rasa keadilan masyarakat. Dengan
dilakukannya evaluasi yang mendalam maka penyempurnaan
dan perubahan peraturan perundang-undangan akan benarbenar sesuai dengan situasi dan kondisi dalam masyarakat.
Mengingat bahwa peraturan perundang-undangan
merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan berbagai
kegiatan pembangunan, maka peran peraturan perundangundangan ke depan akan ditingkatkan untuk mempercepat
proses
pemulihan
ekonomi;
memantapkan
proses
desentralisasi; serta menciptakan rasa keadilan yang sesuai
dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.
Langkah-langkah lain yang perlu segera ditindaklanjuti
dan akan sangat menentukan kualitas peraturan perundangundangan yang dihasilkan adalah dengan meningkatkan
pengetahuan dan wawasan tenaga perancang peraturan
perundang-undangan (legal drafter) pada masing-masing
instansi dan lembaga pemerintah. Ditetapkannya UU tentang
III 13

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mempunyai


konsekuensi yang sangat besar terutama bagi instansi
pemerintah yang sehari-harinya menangani fungsi
perancangan, pembulatan dan pengharmonisasian peraturan
perundang-undangan untuk sesegera mungkin meningkatkan
pengetahuan dan kualitas tenaga perancanng peraturan
perundang-undangan. Upaya yang telah dimulai adalah
dengan diterbitkannya keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Perancangan
Peraturan Perundang-undangan, yang akan lebih memberikan
kepastian pembinaan karir yang lebih jelas bagi masa depan
tenaga perancang peraturan perundang-undangan.
2.

Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga


Penegak Hukum Lainnya
a.

Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kembali


kepercayaan masyarakat terhadap peran dan citra lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan,
Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai
bagian dari upaya mewujudkan supremasi hukum dengan
dukungan hakim dan aparat penegak hukum lainnya yang
profesional, berintegritas, dan bermoral tinggi. Adapun sasaran
program ini adalah terciptanya lembaga peradilan dan lembaga
penegak hukum lainnya yang mandiri, bebas dan pengaruh
penguasa maupun pihak lain, dengan tetap mempertahakan
prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan. Sedangkan arah
kebijakan ditujukan dalam rangka penegakan hukum secara
konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan
kebenaran, supremasi hukum, serta penghargaan terhadap hak
asasi manusia; serta untuk mewujudkan lembaga peradilan yang
mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun juga melalui
aparat penegak hukum yang mempunyai integritas moral dan
profesionalisme yang lebih baik.

III 14

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Salah satu hasil penting dalam kurun waktu empat tahun


ini adalah terwujudnya lembaga peradilan yang lebih
independen bebas dari pengaruh pihak manapun juga. Upaya
ini dilakukan dengan melalui pembentukan sistem satu
atap dimana Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan
tertinggi diberikan kewenangan untuk mengatur semua
urusan pengadilan yang ada di bawahnya. Upaya ini
dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU Nomor
14 Tahun 1970 diganti dengan UU Nomor 35 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menangani
urusan administrasi, keuangan dan kepegawaian diserahkan
dari Departemen Kehakiman dan HAM kepada Mahkamah
Agung RI. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan lembaga
pengadilan akan lebih mandiri tidak terpengaruh oleh
kekuasaan eksekutif. Namun demikian, mengingat
penyerahan kewenangan tersebut menyangkut permasalahan
yang sangat luas, maka pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap dan akan selesai pada tahun 2004. Proses
penyerahan kewenangan tersebut berjalan secara bertahap
mengingat kesiapan dari sumber daya di lingkungan
Mahkamah Agung masih terbatas. Proses pelimpahan
kewenangan tersebut mengandung konsekwensi pada
perubahan organisasi dan tata laksana di lingkungan
Mahkamah Agung. Disamping itu terjadi pula penambahan
unit pelaksana teknis (UPT) dimana dahulu berada pada
kewenangan departemen berpindah kepada Mahkamah
Agung yaitu sebanyak kurang lebih 800 unit. Dengan
demikian, dukungan pendanaan yang diperlukan juga tidak
kecil. Tantangan ke depan adalah dengan telah
dilaksanakannya sistem satu atap ini maka lembaga
pengadilan diharapkan lebih baik dan berwibawa;
independen dan bebas dari pengaruh siapapun juga termasuk
kepentingan pihak-pihak yang berperkara.

III 15

Upaya untuk memperbaiki sistem rekruitmen juga telah


diperbaiki antara lain dengan menggunakan sistem fit and
proper test yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dalam rangka memilih hakim agung yang akan ditempatkan
di Mahkamah Agung. Adapun calon hakim agung tersebut
juga dijaring tidak hanya berasal dari hakim karir saja akan
tetapi juga diambil dari kalangan praktisi hukum lainnya dan
akademisi. Permasalahan dalam sitem rekruitmen khususnya
untuk calon hakim agung adalah adanya peraturan perudangundangan yang mengharuskan persyaratan masa kerja
tertentu untuk mendapat mendapatkan promosi dan sebagai
akibatnya hakim karier yang menjadi calon hakim agung
telah memasuki usia yang kurang produktif lagi. Tantangan
yang muncul adalah apakah fit and proper test tersebut
benar-benar dapat menjaring calon hakim agung yang
berkualitas dan berintegritas.
Sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi
permasalahan kepailitan sebagai akibat adanya krisis
perbankan yang berlanjut menjadi krisis ekonomi, maka
melalui undang-undang Kepailitan telah dibentuk Pengadilan
Niaga yang merupakan pengadilan khusus, sebagai bagian
dari lingkungan Pengadilan Umum. Pada awal
pembentukannya Pengadilan Niaga hanya berada di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan tetapi dalam
perkembangannya telah dibentuk Pengadilan Niaga di
beberapa kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Medan,
Semarang, dan Makassar. Di samping itu untuk mengisi
kebutuhan akan hakim pengadilan niaga maka melalui
Keppres Nomor 71/M/1999 dan Keppres Nomor 108/M/2000
telah ditunjuk hakim Ad-Hoc. Dalam perkembangannya
banyak kritik yang diarahkan kepada penanganan kasus
kepailitan di Indonesia. Permasalahan yang timbul tidak
hanya terjadi karena belum maksimalnya kinerja pengadilan
niaga akan tetapi karena masih adanya kelemahan-kelemahan
hukum dari undang-undang kepailitan yang ada. Upaya untuk
merevisi undang-undang kepailitan saat ini sedang

III 16

dilaksanakan untuk mengantisipasi permasalahan yang dapat


timbul dimasa yang akan datang.
Terkait dengan sistem manajemen peradilan di Indonesia
maka Kepolisian Negara RI memegang peranan yang sangat
penting sebagai ujung tombak penegakan hukum di
Indonesia. Sebagai aparat penyidik, polisi bersama-sama
dengan PPNS menempati posisi yang paling depan dalam
rangka melakukan penyidikan. Dalam rangka untuk
meningkatkan kemandirian dan profesionalisme aparat
kepolisian maka telah dilakukan reformasi keorganisasian
dalam tubuh Kepolisian Negara RI. Melalui TAP MPR
Nomor VII/MPR/2000 dan Keppres Nomor 89 Tahun 2000,
Lembaga Kepolisian diberikan kewenangan yang lebih besar
dalam rangka penyelenggaraan fungsi keamanan negara
dengan menempatkannya langsung dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Di samping Kepolisian, tidak kalah pentingnya
kedudukan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum yang
merupakan titik sentral dalam manajemen peradilan pidana.
Untuk
lebih
mengefektifkan
dan
meningkatkan
profesionalisme serta menegaskan kemandirian Kejaksaan
sebagai satu-satunya lembaga penuntut umum yang mandiri
tanpa dapat diintervensi dari pihak manapun, maka telah
diundangkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 1991.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Sepanjang tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah


terjadi kerusuhan pada beberapa tempat di wilayah Republik
Indonesia. Dampak negatif dari kerusuhan-kerusuhan
tersebut antara lain rusaknya sarana prasarana pemerintah
yang ada pada daerah-daerah tersebut. Sebagai akibatnya,
roda penyelenggaraan pemerintahan pada daerah tersebut
mengalami hambatan termasuk juga dalam rangka penegakan
hukum. Untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan upaya
III 17

penanggulangannya antara lain berupa Program Percepatan


(crash program) penerimaan calon hakim untuk daerahdaerah konflik seperti NAD, Ambon, dan Jayapura. Untuk
mengisi kekosongan aparat kejaksaan yang berada di daerah
Aceh maka dilakukan penempatan jaksa yang berasal daerah
tersebut. Disamping itu dengan persetujuan dari Mahkamah
Agung maka pelaksanaan persidangan pada daerah-daerah
tersebut dapat dilaksanakan dengan hakim tunggal karena
adanya kekurangan tenaga hakim.
Perhatian besar juga diberikan kepada permasalahan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
(narkoba). Perlu adanya penanganan khusus dalam
menangani pelaku tindak pidana ini, mengingat kebanyakan
pemakai narkoba berasal dari kalangan pemuda yang
merupakan generasi penerus bangsa. Mulai tahun 2001 telah
dibentuk 13 (tiga belas) Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
yaitu pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Pematang
Siantar, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Lubuk Linggau,
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Bandar Lampung,
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta, Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Cirebon,
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Bandung,
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Nusakambangan, Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Madiun,
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Pamekasan,
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Martapura,
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Bangli, Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Sungguminasa, dan Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Jayapura.
Upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa terus dilakukan antara lain dengan mengupayakan
pencegahan dan penindakan terhadap praktek-praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Upaya tersebut
dilakukan secara lebih komprehensif baik pada tahap
penanganan kasus-kasus KKN maupun sampai dengan
pencegahan arus uang hasil korupsi. Rangkaian kegiatan
III 18

tersebut antara lain dilakukan dengan melakukan


penyempurnaan terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang memperluas pengertian tindak pidana
korupsi dan memberlakukan pembuktian terbalik dengan
tetap menjunjung asas praduga tidak bersalah. Selanjutnya
untuk lebih menciptakan sinergi dan koordinasi antar
lembaga penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan
penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi besar maka melalui
UU Nomor 30 Tahun 2002 telah dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sampai
dengan saat ini KPK sedang dalam proses mempersiapkan
operasionalisasinya bekerjasama dengan berbagai pihak
terkait. Di samping itu KPK saat ini sedang melakukan
penyidikan terhadap 6 (enam) kasus korupsi besar dan
diantaranya melibatkan pejabat pemerintah. Mengingat
besarnya tuntutan masyarakat terhadap kinerja KPK, maka
penanganan perkara korupsi yang melibatkan pejabat
pemerintah merupakan tantangan besar bagi KPK untuk
menunjukan penegakan hukum yang tidak pandang bulu.
Untuk menindaklanjuti hasil penyidikan yang dilakukan
oleh KPK, berdasarkan Pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Langkah yang telah dilakukan sampai dengan tahun 2004,
antara lain dengan melakukan rekrutmen terhadap Hakim
Tipikor dan Hakim Ad-Hoc Tipikor. Saat ini telah dilakukan
rekrutmen terhadap 10 hakim dan 30 Jaksa untuk menangani
perkara yang diajukan oleh KPK. Proses rekrutmen terhadap
hakim Ad-Hoc Tipikor juga telah dilakukan dan diambil baik
dari kalangan praktisi hukum di luar hakim maupun diambil
calon dari hakim karier. Proses rekruitmen ini dilakukan
melalui beberapa tahapan dengan melibatkan anggota
masyarakat untuk melihat kapabilitas dan integritas moral
calon hakim Ad-Hoc tersebut, sehingga Pengadilan Tipikor
benar-benar mempunyai hakim-hakim yang mempunyai
kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

III 19

Saat ini sudah terbentuk 2 Majelis pada Pengadilan


Tipikor tingkat pertama, 1 (satu) Majelis pada tingkat
banding, 1 (satu) Majelis pada tingkat kasasi yang nantinya
akan menerima pelimpahan perkara dari Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diharapkan
Pengadilan Tipikor akan mulai menerima pelimpahan perkara
pada bulan Agustus 2004.
Dalam rangka untuk perlindungan dan penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, telah dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Misi yang diemban
oleh lembaga ini antara lain adalah untuk memajukan dan
memelihara HAM serta membantu penyelesaian masalah
HAM di masyarakat. Selanjutnya melalui UU Nomor 26
Tahun 2000 telah dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM). Untuk melaksanakan proses peradilannya maka
telah diangkat hakim, dan jaksa ad hoc, di samping Komnas
HAM dapat pula berperan sebagai penyelidik. Pada dasarnya
undang-undang ini telah mengakomodasi ketentuan dalam
statuta Roma yang memasukan definisi kejahatan
internasional seperti genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Meskipun undang-undang tentang pengadilan
HAM
telah
mengatur
mengenai
hukum
acara
persidangannya, akan tetapi untuk menunjang pelaksanaan
pengadilan HAM yang lebih memberikan perlindungan
kepada korban maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi
dan Korban Pelanggaran HAM Berat dan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi dari Korban Pelanggaran HAM
Berat.
iii. Tindak Lanjut
Upaya-upaya
yang
perlu
dilakukan
untuk
menindaklanjuti berbagai pelaksanaan pembangunan yang
terkait dengan pemberdayaan Lembaga Peradilan dan
III 20

Lembaga Penegak Hukum Lainnya pada tahun mendatang


dukungan komitmen dan kemauan politik (political will) dari
pimpinan Lembaga Peradilan dan Lembaga-lembaga
Penegak Hukum yang selama ini tertuang dalam Law
Summit 3, yang juga melibatkan berbagai komponen
lembaga swadaya masyarakat. Berbagai rencana pembaruan
hukum dan peradilan yang tertuang dalam berbagai cetak
biru (blueprint) perlu ditindaklanjuti konkretisasinya secara
konsisten dan benar-benar mempunyai implikasi yang besar
kepada masyarakat. Instrumen pembaruan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan lembaga Peradilan
dan Lembaga-lembaga Penegak Hukum lainnya seperti
Kejaksaan, Komisi Judisial, Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung, Pengadilan Umum, Pengadilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor,
Pengadilan Niaga telah dilakukan. Untuk itu tindak lanjut
yang perlu segera dilakukan adalah menciptakan kinerja
lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya
yang lebih terbuka, transparan dan mempunyai akuntabilitas
yang tinggi.
3.

Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,


serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia
a.

Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk memulihkan kembali


kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan hak
asasi manusia di Indonesia. Adapun sasaran program ini adalah
terselesaikannya berbagai kasus KKN dan pelanggaran terhadap
HAM yang belum terselesaikan secara hukum. Sedangkan arah
kebijakan pada program ini adalah merupakan upaya untuk
melaksanakan arah kebijakan pembangunan hukum yang lebih
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi
hukum serta menghargai hak asasi manusia. Disamping itu
program ini juga bertujuan untuk menyelenggarakan proses
peradilan pada kasus KKN dan menyelesaikan berbagai proses
III 21

peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia


yang belum ditangani secara cepat, adil dan tuntas.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai dalam masa kurun waktu 4 (empat)


tahun dalam program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, serta Pelanggaran Hak Asasi walaupun telah
secara terus menerus dilakukan namun masih diakui belum
optimal dan masih jauh dari apa yang diharapkan terutama
terhadap rasa keadilan masyarakat. Masih terdapat banyak
kritikan dan keluhan yang menyangkut kinerja aparat
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang masih didasarkan pada hubungan materialisme. Bahkan
tingkat penyalahgunaan kewenangan penyelenggara negara
dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme semakin
meningkat yang dapat diukur dari berbagai laporan
internasional bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
yang tingkat korupsinya paling besar.
Langkah-langkah diupayakan untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan citra Indonesia
di mata dunia internasional selain melalui menyempurnakan
berbagai peraturan perundang-undangan, juga dengan
meningkatkan kualitas dan profesionalisme aparat penegak
hukum melalui antara lain peningkatan wawasan dan
pengetahuan dan pengawasan internal Pemerintah yang lebih
intensif. Terkait dengan pemberantasan korupsi, salah satu
hasil penting yang diharapkan dapat mengubah atau
mempersempit ruang gerak dalam melakukan tindak pidana
korupsi adalah dengan memperluas lingkup tindak pidana
korupsi dan menerapkan pembuktian terbalik. Pembuktian
terbalik diartikan sebagai seseorang yang disangka
melakukan korupsi harus dapat membuktikan bahwa dirinya
memang tidak melakukan korupsi dan apabila dirinya tidak
dapat membuktikan hal tersebut maka akan dianggap
III 22

bersalah dan tentunya dalam proses pelaksanaannya juga


harus mempedulikan dan mempertimbangkan asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence).
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menjadi harapan terakhir masyarakat terhadap
penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Luasnya
permasalahan tindak pidana korupsi telah berkembang
melintasi batas negara yang akhirnya Pemerintah menetapkan
untuk membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU tersebut antara
lain mengatur mengenai pencegahan hasil kejahatan yang
dilakukan dalam batas wilayah negara Republik Indonesia
maupun yang melintasi batas wilayah negara. Untuk itu
kerjasama antar negara yang telah menandatangani konvensi
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah dilakukan dan
telah dapat meminimalisasi praktik pencucian uang yang
terjadi di Indonesia, walaupun belum optimal.
Selama kurun waktu 2001-2004, dalam rangka
penanganan perkara tindak pidana khusus yang ditangani
Kejaksaan Agung termasuk pemberantasan korupsi dari
1.807 kasus telah dilimpahkan ke pengadilan sebanyak 1.174
perkara dan sudah diputus banyak 1.099 perkara atau 93,6%.
Sedangkan penerimaan hasil dinas perkara tindak pidana
korupsi selama kurun waktu Tahun 2001-2004 seluruhnya
berjumlah Rp 69.956.961.159 (enam puluh sembilan miliar
sembilan ratus lima puluh enam juta sembilan ratus enam
puluh satu ribu seratus lima puluh sembilan rupiah), yang
terdiri dari penerimaan tahun 2001. Dalam periode yang
sama, jumlah uang pengganti yang dapat ditagih dari
terpidana
melalui
instrumen
perdat
berjumlah
Rp12.233.223.726 (dua belas miliar dua ratus tiga puluh tiga
juta dua ratus dua puluh tiga ribu tujuh ratus dua puluh enam
rupiah). Keseluruhan jumlah hasil dinas tersebut telah
disetorkan ke Kas Negara.

III 23

Untuk lebih meningkatkan penegakan disiplin terhadap


aparat penegak hukum khususnya di lingkungan Kejaksaan
Agung telah dibuka kotak pengaduan dari masyarakat
terhadap sikap tindak aparat Kejaksaan. Selama kurun waktu
2001-2004 telah diterima pengaduan masyarakat berjumlah
1.193 (seribu seratus sembilan puluh tiga) pengaduan.
Sebagai tindak lanjut dari pengaduan masyarakat tersebut
telah dilakukan tindakan penerapan saksi hukuman disiplin
terhadap aparat Kejaksaan yang selama kurun waktu 20012004 berjumlah 566 (lima ratus enam puluh enam) orang.
Selain penegakan disiplin, peningkatan kualitas aparat
Kejaksaan juga terus dilakukan antara lain melalui berbagai
pendidikan dan pelatihan baik yang sifatnya jangka pendek,
pendidikan S2 dan S3, seminar-seminar dan lokakarya, agar
pengetahuan dan wawasan aparat Kejaksaan semakin
meningkat seiring dengan perkembangan pembangunan.
Upaya-upaya untuk mendukung penegakan hukum
khususnya terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran
hak asasi manusia, dilakukan antara lain melalui pendidikan
dan pelatihan khususnya di bidang investigasi khusus
terhadap tindak pidana korupsi, kejahatan komputer,
pencucian uang dan peningkatan pemahaman terhadap
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Guna menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, telah
diupayakan dengan diterbitkannya UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keppres Nomor 31
Tahun 2001 yang menetapkan pembentukan Pengadilan
HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surabaya, Medan
dan Makassar. Dalam kurun waktu 2001-2004 telah
diselesaikan sebanyak 24 perkara pelanggaran HAM Berat di
Timor Timur sejumlah 18 perkara, di Tanjung Priuk sebanyak
4 perkara dan di Abepura, Irian Jaya sejumlah 2 perkara.
Sedangkan untuk kasus Semanggi I, II dan kasus Trisakti
oleh Kejaksaan Agung sedang dalam proses penelitian yang
lebih mendalam.
III 24

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan berbagai


kasus KKN dan pelanggaran HAM yaitu masyarakat
mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum karena masih
banyaknya kasus KKN dan pelanggaran HAM yang belum
terselesaikan secara hukum termasuk pengembalian
kekayaan negara yang telah dikorupsi. Kasus mengenai
korupsi, kolusi dan nepotisme juga telah mengalami
peningkatan baik di pusat maupun di berbagai daerah. Hal ini
antara lain karena masih adanya perbedaan pemahaman antar
aparat penegak hukum terhadap penerapan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penanganan
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Hal lain yang menjadi permasalahan antara lain
lemahnya fungsi intelijen di kalangan penyidik dan penuntut
yang menyebabkan sulitnya pengumpulan bukti-bukti yang
terkait dengan berbagai kasus KKN, dan mengakibatkan
penyelesaian perkara KKN menjadi lamban serta tidak
tuntas. Selain itu tindak pidana korupsi di Indonesia telah
terjadi secara sistematis dan meluas yang tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat dan pemeriksaan yang dilakukan belum
dilakukan secara luar biasa, konsisten, cepat, tegas, dan
transparan serta tuntas.
iii.

Tindak Lanjut

Upaya dan langkah yang akan dilakukan oleh


pemerintah dalam rangka penyelesaian kasus korupsi adalah
melanjutkan dan meningkatkan langkah-langkah konkret
guna terwujudnya Pemerintah dan Penyelenggara Negara
yang bersih serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
memperhatikan secara sungguh-sungguh kesejahteraan,
peningkatan kualitas dan kuantitas aparatur penegak hukum,
serta yang juga sangat menentukan adalah dukungan
III 25

peningkatan sarana dan prasarana di bidang hukum.


Merupakan suatu hal yang mustahil apabila hakim dan aparat
penegak hukum lainnya hanya dituntut untuk meningkatkan
kinerjanya, namun secara bersamaan tidak dilakukan
langkah-langkah
untuk
meningkatkan
pemenuhan
kesejahteraan dalam tingkat yang wajar, sehingga mereka
benar-benar hanya terfokus pada tugas dan fungsinya sebagai
hakim dan penegak hukum.
Pengadilan HAM yang telah dibentuk sejak tahun 2000
melalui UU Nomor 26 Tahun 2000 sampai dengan saat ini
telah menjalankan tugasnya. Namun harus diakui kinerja
yang dicapai masih belum sepenuhnya memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat. Langkah selanjutnya untuk
meningkatkan kinerja Pengadilan HAM antara lain melalui
pendidikan dan pelatihan bersama antara aparat penegak
hukum terkait agar dalam menginterpretasikan berbagai
undang-undang terkait tercipta persamaan persepsi. Di
samping dari sisi substansi juga perlu secara terus menerus
diupayakan peningkatan dukungan sarana dan prasarana
untuk mendukung kelancaran penanganan perkara
pelanggaran HAM di Indonesia.
4

Program
Peningkatan
Kesadaran
Pengembangan Budaya Hukum
a.

Hukum

dan

Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan


Budaya Hukum bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan hukum baik masyarakat maupun aparat penyelenggara
negara secara keseluruhan dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap peran dan fungsi aparat penegak hukum,
serta diharapkan akan menciptakan budaya hukum di semua
lapisan masyarakat. Adapun sasaran program ini adalah
meningkatnya jumlah masyarakat dan aparat penyelenggara
negara yang sadar terhadap hak dan kewajibannya serta semakin
III 26

meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai proses


perumusan kebijakan pembangunan. Sedangkan arah kebijakan
peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya
Hukum adalah (1) mengembangkan budaya hukum di semua
lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan
hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara
hukum; dan (2) meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta
meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM
dalam seluruh aspek kehidupan.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Pelaksanaan Program Peningkatan Kesadaran Hukum


dan Pengembangan Budaya Hukum selama kurun waktu
pelaksanaan PROPENAS antara lain melalui kegiatan (1)
pemetaan permasalahan hukum dalam rangka menerapkan
materi, metode, dan pendekatan dialogis yang tepat sasaran;
(2) menggunakan nilai-nilai budaya luhur daerah sebagai
salah satu sarana untuk meningkatkan penyadaran hukum;
(3) merumuskan pendekatan penyadaran hukum yang lebih
demokratis
melalui
pendekatan
dialogis
antara
instansi/lembaga pemerintah dan lembaga kemasyarakatan
yang memfasilitasi penyadaran hukum dengan masyarakat
untuk mengembangkan kesadaran dan peran serta mereka
terhadap hukum dan sistem penegakannya; (4) meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam mengaktualisasikan hak serta
melaksanakan kewajiban masyarakat sebagai warga negara
sekaligus dalam rangka membentuk budaya hukum bagi
masyarakat dan aparat penyelenggara negara; serta (5)
meningkatkan penggunaan media komunikasi yang lebih
modern dalam rangka pencapaian sasaran penyadaran hukum
di berbagai lapisan masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan pemetaan permasalahan hukum
telah menghasilkan gambaran kebutuhan materi hukum yang
diperlukan oleh suatu masyarakat di dalam wilayah geografis
III 27

tertentu. Kegiatan ini merupakan langkah awal dari satu


rangkaian upaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
dalam mengaktualisasikan hak serta melaksanakan kewajiban
masyarakat sebagai warga negara sekaligus dalam rangka
membentuk budaya hukum bagi masyarakat dan aparat
penyelenggara negara. Dengan menemukenali materi hukum
yang dibutuhkan, maka diharapkan upaya peningkatan
kesadaran hukum masyarakat dapat dilakukan secara lebih
tepat guna karena materi yang diberikan selalu disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
Upaya lainnya adalah dengan melakukan pembaruan
terhadap metode penyadaran hukum, yaitu melalui metode
yang lebih bersifat dialogis dan persuasif serta lebih mampu
membangkitkan keterlibatan masyarakat dalam memahami
dan mengaktualisasikan perilaku patuh hukum. Di samping
itu, upaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat juga
telah dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan
teknologi, antara lain melalui media televisi dan radio, baik
milik pemerintah maupun milik swasta.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Dengan jumlah pendudukan yang menempati peringkat


4 (empat) di dunia, maka tidak mudah untuk secara serentak
melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran hukum dan
pengembangan budaya hukum. Tingkat pendidikan yang
masih rendah menjadi salah satu kendala rendahnya
kesadaran hukum masyarakat. Di samping itu juga masih
terdapat kelemahan dari program-program Pemerintah dalam
menyusun metode peningkatan kesadaran hukum yang dapat
langsung dengan mudah dipahami oleh masyarakat yang
tingkat pendidikannya bervariasi. Oleh karena itu tantangan
ke depan yang perlu ditindaklanjuti dalam rangka
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat perlu didukung
tidak hanya semata melalui pendidikan di bidang hukum
tetapi juga melalui disiplin ilmu lain seperti sosiologi,
antropologi, dan lain sebagainya.
III 28

iii. Tindak Lanjut


Adanya suatu metode peningkatan kesadaran hukum
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ke depan sangat
mutlak diperlukan. Koordinasi yang intensif perlu segera
dilakukan terutama Departemen Kehakiman dan HAM dan
Kejaksaan Agung, serta Kepolisian yang selama ini
menjalankan fungsi untuk meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat. Berbagai pengaruh perdagangan bebas sebagai
implikasi dari globalisasi dunia tidak dapat dihindari oleh
negara manapun termasuk Indonesia. Oleh karena itu
penguatan lembaga-lembaga adat di daerah-daerah terpencil
merupakan salah satu upaya untuk membendung pengaruh
globalisasi yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang
dianut di Indonesia.
Pentingnya kesadaran hukum masyarakat di masa depan
akan memberikan sumbangan yang besar dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang
sadar akan hak-hak dan kewajibannya tidak akan terperdaya
oleh
pihak-pihak
yang
hanya
mengutamakan
kepentingannya sendiri. Untuk itu keterlibatan lembaga
swadaya masyarakat bersama-sama dengan Pemerintah
merupakan salah satu prioritas yang utama sehingga
pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.

III 29

Anda mungkin juga menyukai