Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya yang
sudah cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan
melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.
BI tidak punya instrumen lain untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, selain
membiarkan rupiah melemah, kata Anton. Tampaknya BI lebih comfort (nyaman) dengan
rupiah di atas Rp 13.000.
Apalagi, tingkat BI Rate yang tinggi bertentangan dengan keinginan pemerintah yang
meminta penurunan suku bunga supaya memacu pertumbuhan ekonomi yang tahun ini
ditargetkan sebesar 5,7 persen.
Jadi BI memang lebih mencoba mengikuti, tapi jangan sampai rupiah melemah terlalu kaget.
(Kebijakan) itu kelihatannya yang akan dilakukan BI ke depan, kata Komisaris Independen
Bank Mandiri itu.
Hal ini pun terlihat dari cadangan devisa per Februari 2015 yang masih menunjukkan
peningkatan dari US$ 114,25 miliar pada Januari menjadi US$ 115,53 miliar.
Sasaran BI menjaga nilai rupiah yang lemah, kata Anton, utamanya adalah untuk menekan
impor, terutama impor konsumsi. Bukan ingin menaikkan ekspor yang mayoritas berupa
produk komoditas. Ini sudah terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa impor
barang konsumsi yang turun 20,25 persen pada Januari.
Tapi yang jadi persoalan adalah bagaimana pemerintah dapat menahan impor bahan baku dan
barang modal yang diperkirakan meningkat pada semester II nanti. Ini seiring dengan mulai
berjalannya proyek-proyek infrastruktur milik pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah langkah yang dapat membantu BI
menjaga supaya defisit neraca transaksi berjalan tidak bertambah. Ada delapan strategi yang
disiapkan pemerintah:
1. Mengenakan bea anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara sebagai
respons jika terdapat lonjakan impor barang tertentu serta penyederhanaan prosedur
dan mekanisme pengembalian.
2. Insentif pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang minimal 30 persen produknya
untuk ekspor.
3. Insentif PPN bagi perusahaan galangan kapal.
4. Meningkatkan komponen biofuel agar impor BBM berkurang.
5. Insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirimkan 100 persen dividennya
ke negara asal.
6. Merancang formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.
7. Mendorong BUMN membentuk reasuransi.
BI sangat takut dengan defisit neraca transaksi berjalan (melonjak), kata Anton di Financial
Club, Graha Niaga, Jakarta, Kamis (12/3).
Kekhawatiran BI pun sudah terlihat dalam kebijakan moneternya sejak 2013, yakni dengan
beberapa kali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). Kebijakan ini diambil karena kinerja
ekspor yang terus turun, sehingga BI mesti membuat kebijakan yang dapat memastikan aliran
modal dapat masuk ke pasar keuangan dalam negeri (capital inflow) yang dapat dipakai
untuk membiayai defisit tersebut.
Namun BI tidak dapat terus menggunakan instrumen suku bunga lantaran besarannya yang
sudah cukup tinggi. Selain itu, tren sejumlah negara yang menurunkan suku bunganya dan
melemahkan mata uangnya terhadap dolar AS ikut menekan rupiah.
BI tidak punya instrumen lain untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, selain
membiarkan rupiah melemah, kata Anton. Tampaknya BI lebih comfort (nyaman) dengan
rupiah di atas Rp 13.000.
Apalagi, tingkat BI Rate yang tinggi bertentangan dengan keinginan pemerintah yang
meminta penurunan suku bunga supaya memacu pertumbuhan ekonomi yang tahun ini
ditargetkan sebesar 5,7 persen.
Jadi BI memang lebih mencoba mengikuti, tapi jangan sampai rupiah melemah terlalu kaget.
(Kebijakan) itu kelihatannya yang akan dilakukan BI ke depan, kata Komisaris Independen
Bank Mandiri itu.
Hal ini pun terlihat dari cadangan devisa per Februari 2015 yang masih menunjukkan
peningkatan dari US$ 114,25 miliar pada Januari menjadi US$ 115,53 miliar.
Sasaran BI menjaga nilai rupiah yang lemah, kata Anton, utamanya adalah untuk menekan
impor, terutama impor konsumsi. Bukan ingin menaikkan ekspor yang mayoritas berupa
produk komoditas. Ini sudah terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa impor
barang konsumsi yang turun 20,25 persen pada Januari.
Tapi yang jadi persoalan adalah bagaimana pemerintah dapat menahan impor bahan baku dan
barang modal yang diperkirakan meningkat pada semester II nanti. Ini seiring dengan mulai
berjalannya proyek-proyek infrastruktur milik pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah langkah yang dapat membantu BI
menjaga supaya defisit neraca transaksi berjalan tidak bertambah. Ada delapan strategi yang
disiapkan pemerintah:
1. Mengenakan bea anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara sebagai
respons jika terdapat lonjakan impor barang tertentu serta penyederhanaan prosedur
dan mekanisme pengembalian.
2. Insentif pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang minimal 30 persen produknya
untuk ekspor.
3. Insentif PPN bagi perusahaan galangan kapal.