PERITONITIS
Disusun untuk memenuhi tugas profesi keperawatan Departemen Surgikal
RUANG 13
DISUSUN OLEH
NUR ANISA
NIM. 115070201111031
PERITONITIS
1. DEFINISI
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum parietale yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada
dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang
peritoneal atau kantong peritoneum.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yaitu lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis. (Haryono, 2012)
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi
rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat
lokal maupun generalisata, bacterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing.
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membrane serosa rongga
abdomen) dan organ di dalamnya. (Mutaqqin, 2011)
2. KLASIFIKASI
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan
menjadi: primer, sekunder, dan tersier, yakni:
Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Sumber infeksi umumnya
ekstraperitonial
yang
menyebar
secara
hematogen.
Penyebabnya
bersifat
: misalnya Tuberculosis
sumber
infeksi
intraperitoneal;
apendisitis,
difertikulitis,
salpingitis
kolesistisis, pankreastitis.
d. Dapat dari trauma yang menyebabkan rupture pada GIT atau perforasi setelah
endoskopi, biopsy
e. Dapat terjadi keganasan GIT
f.
g. Sangat nyeri
h. Tidak berani bergerak saat tidur
i.
Napas pendek
j.
Awalnya tensi turun sedikit dan nadi lebih cepat, kemudian masuk dalam renjatan
dengan nadi kecil dan cepat
k. Hipovolemia
l.
Abdomen tegang
Peritonitis Tersier
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis tersier terjadi akibat
kegagalan respon inflamasi tubuh atau superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi
akibat peritonitis sekunder yang telah dilakukan intervensi pembedahan ataupun
medikamentosa. Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.
3. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga
peritoneum. Kuman yang paling sering adalah bakteri gram negatif, meliputi: E. coli
(40%), Klebsiella pneumonia (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram
negatif lainnya (20%), sedangkan bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia
(15%), Streptococcus lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme
anaerob kurang dari 5%.
a. Infeksi bakteri
Tukak thypoid
Salpingitis
Diverticulitis
Kuman yang paling sering adalah bakteri Coli, Streptokokus dan b hemolitik,
Stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah Clostridium
wechii
b. Secara langsung dari luar
Keganasan intraabdomen
g. Imunosuppresi
h. Splenektomi
i.
Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus-menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.
j.
Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
k. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
l.
Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi
m. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri
ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
n. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak
pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
4. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manifestasi klinis awal dari
peritonis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada awalnya
nyeri menyebar dan sangat terasa. nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih
terasa didekat sisi inflamasi dan biasanya diperberat oleh gerakan.
Diagnosis peritonitis biasanya diteggakan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(pertonium visceral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum
parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya perforasi lambung,
duodenum, pankreatitis akut yang berat, atau iskemia usus, nyeri abdomen berlangsung
luas berbagai lokasi.
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat lainnya, yakni demam
tinggi, atau pasien yang sepsis bias menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi, sehingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum
ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang, biasanya
karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi
yang menyakitkan, atau juga memang tegang karena iritasi peritoneum. Nyeri ini kadang
smar denga nyeri akibat abses yang terlokalisasi dengan baik. Pada penderita wanita di
perlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic
inflammatory disease, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan peritonitis
yang akut.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bias saja jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan
imunosepresi,
(misalnya
diabetes
berat,
penggunaan
steroid,
paraplegia dan penderita geriatri. Penderita tersebut sering merasakan nyeri yang hebat
di perut meskipun tidak terdapat infeksi di perutnya.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Tes laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
b. X-ray
Menurut Muttaqin, 2011 pemeriksaan diagnostik pada klien yang mengalami peritonitis
terdiri atas pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiografik, dan USG.
a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal sebagai berikut:
Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak
protein (>3 gram/100ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur
b. Pemeriksaan radiografik
anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan
perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks
perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah
diafragma (paling sering di sebelah kanan) sebagai indikasi adanya viskus
berlubang. (Bandy, 2008)
CT Scan
CT Scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk
abses peritoneal. CT Scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis
tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan di foto polos abdomen. Abses
peritoneal dan cairan lain dpat diambil untuk diagnosis atau terapi di bawah
bimbingan CT. (Kleinhaus, 1982)
MRI
MRI adalah salah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnosis dicurigai
abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan intensitas sinyal
pada gambar T!-weighted. Terbatasnya ketersediaan dan biaya tinggi, serta
kebutuhan MRI yang kompatibel dengan dukungan peralatan dan waktu
pemeriksaan yang lama membatasi kegunaannya sebagai alat diagnostik
peritonitis, terutama bagi pasien yang sakit kritis.
c. USG
USG abdomen dpat membantu dalam evaluasi kuaddran kanan atas (misalnya
perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreastitis, pancreas pseudocyst), kuadran
kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya: apendisitis, abses tuba-ovarium, abses
douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri,
distensi perut dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah
cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah <100ml
sangat terbatas. (Peralta, 2006)
7. PENATALAKSANAAN
Fokus utama penatalaksanaan pada pasien peritonitis adalah penggantian cairan,
koloid, dan elektrolit.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
Pemeriksaan laboratorium.
Pemberian antibiotic.
Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
Pemberian antibiotic
Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk NGT minimal, peristaltic usus pulih,
dan tidak ada distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang
perforasi.
c. Lavase
peritoneum
dilakukan
pada
peritonitis
yang
difus,
yaitu
dengan
pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu
beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan
pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
a. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk
intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup
aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian
dasar pasien ditatanan klinik atau dirumah, menjalani wawancaran praoperatif dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun,
aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
praoperatif ditempat ruang operasi.
b. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau
dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas
keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan medikasi intravena,
melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan
menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanya pada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak
dalam peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi
pasien diatas meja operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran
tubuh.
c. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup
keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase
pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi
diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini.
Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.
Jadi, secara umum tujuan dari penatalaksanaan medis pada klien yang mengalami
peritonitis adalah:
8. KOMPLIKASI
Seringkali, inflamasi tidak local dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada
sepsis umum. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat
diakibatkan dari septicemia atau hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan
obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus.
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan
abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri
tekan, nyeri, atau merasa seakan sesuatu terbuka harus dilaporkan. Luka yang tibatiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka.
9. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktifitas / istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : kesulitan ambulasi
Sirkulasi
Tanda : Takikardia,berkeringat,pucat,hipotensi,edema jaringan.
Eliminasi
Gejala : ketidakmampuan defikasi dan flatus diare ( kadang-kadang ).
Tanda :Cekungan ; distensi abdomen;abdomen diam penurunan haluaran urine,warna
gelap penurunan/ ada bising usus ( ileus ); bunyi keras hilang timbul,bising usus kasar
( obstuksi ),kekakuan abdomen, nyeri tekan hiperesonan/ timpani( ileus ),hilang suara
pekak diatas hati ( udara bebas dalam abdomen ).
Makanan / cairan
Gejala : aneroksia,mual/ muntah,haus.
Tanda : muntah proyektif membrane mukosa kering,lidah bengkak,turgor kilat buruk
Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen tiba-tiba berat,umum atau local,menyebar kebahu,terumenerus oleh gerakan.
Tanda : distensi,kaku,nyeri tekan otot tegang ( abdomen );lutut fleksi,perilaku
distraksi:gelisah;focus pada diri sendiri.
Pernafasan
Tanda : pernafasan dangkal,takipnea.
Keamanan
gaster,perforasi
gaster/ulkus,duodenal,obstruksi
gangrenosa
usus,perforasi diveirculum,ileltis,regional,bernistrangulasi.
Px penunjang
SDP Meningkat kadang-kadang lebih besar dari 20.000.SDM mungkin meningkat,
menunjukkan nemokonsentrasi
-
amilase serum
: biasanya meningkat
elektrolit serum
GDA
ada.
-
Kultur
Foto dada
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap infeksi (septicemia) b/d tidak adekuat pertahanan primer (kulit
rusak, trauma jaringan, gangguan peristaltic) tidak adekuat pertahanan sekunder
(penekanan imunologi), prosedur infasif d/d tidak dapat diterapkan, adanya tandatanda dan gejala-gejala yang ada membuat diagnosa actual
Tujuan
a. catat faktor resiko individu contoh: trauma abdomen, apendisitis, akut, gralisa
perifoneal.
Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi.
b. Kaji tanda vital dengan sering catat tidak membaiknya atau berlanjutnya hipotensi,
penurunan tekanan nadi, takikardia, demam dan takipnea.
Rasional: tanda adanya syok septic, endotoksin, sirkulasi, menyebabkan
vasodilatasi, kehilangan cairan dari sirkulasi dan rendahnya status curah jantung.
c. Catat perubahan status mental ( contoh bingung, pingsan)
Rasional : hipoksemia, hipotensi, dan asidosis, dapat menyebabkan penyimpanagan
status mental.
d. Catat warna kulit, suhu, kelembaban
Rasional : hangat, kemerahan, kulit kering adalah tanda dini septicemia. Selanjutnya
manifestasi termasuk dingin, kulit pucat, lembab, dan sianosis sebagai tanda syok
e. Awasi haluaran urine
Rasional : oliguria terjadi sebagai akibat penerunan perfusi , toksin dalam sirkulasi
mempengaruhi antibiotic.
f.
Pertahanan teknik aseptic ketat pada perawatan drem abdomen, luka insisi/ terbuka,
dan visi infasif. Bersihkan dengan betadine atau larutan lain yang tepat.
Rasional : mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme infektif/
kontaminasi silang.
Awasi / batasi pengunjung dan staf sesuai kebutuhan. Berikan perlindungan isolasi
dila diindikasikan.
Rasional : menurunnya resiko terpajan pada / menambah infeksi sekunder pada
pasien yang mengalami tekanan imun.
a. Pantau TTV
Rasional : membantu dalam evaluasi derajat devisit / keefektifan penggantian
terapi cairan dan respon terhadap pengobatan.
b. Observasi kulit / membrane mukusa untuk kekeringan, catat udema feriper / sacral
Rasional : hipovalemia, perpindahan cairan dan kekurangan nutrisi memperburuk
kulit, menambah udema jaringan.
c. Ukur intake dan output pasien
Rasional : menunjukkan status hidrasi keseluruhan
Anjurkan klien untuk minum banyak sesuai kebutuhan / yang dapat ditoleransi.
Rasional : mempertahankan hidrasi dan meminimalkan kekurangan volume cairan
Kolaborasi
d. Awasi pemeriksaan laboratorium contoh : HB/HR, elektrolit, protein, albumi, BUM,
kreatinin.
Rasional : memberikan informasi tentang hidrasi, fungsi organ.
e. Berikan caiaran elektrolit, plasma / darah.
Rasional : mengisi / mempertahankan volume sirkulasi dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, koloid (plasma darah) membantu menggerakkan air ke dalam area
intraskuler dengan meningkatkan tekanan osmotic
3. Hipertermi b/d proses infeksi d/d peningkatan suhu tubuh, klien mengeluh demam,
wajah nampak kemerahan, kulit teraba panas
Tujuan
: hypertermi teratasi dengan criteria klien tidak mengeluh demam, kulit tidak
: nyeri teratasi/ hilang dengan criteria laporan nyeri hilang, wajah ceria, tidak
DAFTAR PUSTAKA
Bandy, Steven M. 2008. Spontaneous bacterial Peritonitis. eMedicine Specialities
Emergency Medicine Infectious Diseases
Daley, Brian James. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
Gayatri, A.A.Ayu Yuli., dkk. 2006. Artikel: Peritonitis Bakterial Spontan pada Sirosis Hati dan
Hubungannya dengan Beberapa Faktor Resiko. Denpasar: FK UNUD
Haryati, Elizabeth. 2010. Artikel: Kejadian Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory
Peritoneal Diatysis: Identifikasi Mikroorganisme dan Sensitifitas Antibiotik. Denpasar:
FK UNUD
Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Laroche, M., G, Harding. 1998. Primary and Secondary Peritonitis. Telah diperbarui Eur J
Clin Microbiol Infect Dis.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetr. Jilid I. Edisi 2. EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif., Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Peralta, Ruben. 2006. Peritonitis and Abdominal Sepsis. eMedicine Specialties General
Surgery Abdomen
Pieter, John. 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. In Sjamsuhidayat, R dan
Jong, Wim D (eds). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
Price, Silvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: ECG
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC ; 1997
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
Smeltzer, C. Suzanne, Bare G. Brenda., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC