Disusun Oleh :
RENY RUDY ASISTA
NIM. 140070300011100
diabetes,
hiperlipidemia,
dan
hipertensi
berat.
Setelah
akan
meningkatkan
resiko
penyakit
arteri
koronaria,
dan
peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240
mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang
tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
c) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan
risiko
ischemic
heart
disease
(IHD)
sekitar
60%
sehingga
menyebabkan
hipertropi
ventrikel
kiri
atau
orang normal.
d) Diabetes
mellitus
menginduksi
hiperkolesterolemia
dan
juga
4. Patofisiologi
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba
setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang
secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini
difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic
mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan
kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural
thrombus (thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada
tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet
monolayer terbentuk pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis
(kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah
stimulasi agonis platelet, thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat)
dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika
reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan
membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul
multivalent yang dapat berikatan dengan dua platelet secara simultan,
menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami
aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya
pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi
protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri
dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus STEMI terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik,
terutama inflamasi.
Besarnya
kerusakan
myocardial
yang
disebabkan
oklusi
koroner
tergantung pada:
a)
b)
c)
d)
Jenis
Angina
Nyeri Dada
Angina pada waktu
EKG
Depresi segmen ST
Pectoris
istirahat/ aktivitas
Inversi gelombang T
Stabil
NSTEMI
Q
Depresi segmen ST
Meningkat
Inversi Gelombang T
minimal 2 kali
dalam
perlu opium
Enzim Jantung
Tidak meningkat
normal
STEMI
Elevasi segmen ST
Meningkat
inversi gelombang T
minimal 2 kali
perlu opium
normal
b. Respiratory
-
kontraktilitas
yang
dapat
mengindikasikan
adanya
shock
(a)
(b)
Gambar 1. a) segmen ST elevasi pada STEMI inferior, ada juga ST depresi di lead aVL.
b) STEMI pada dinding lateral dengan ST elevasi di lead V5 dan V6.
Gambar 3. STEMI inferolateral diikuti perubahan reciprocal pada lateral (I dan aVL) dan
lead anterior (V1 hingga V3)
Gambar 4. STEMI di dinding anterior dengan segmen ST elevasi pada lead V1 dan V4
juga dengan perubahan reciprocal pada lead inferior.
Gambar 5. Variasi penyebab segmen ST elevasi pada dewasa dengan nyeri dada, LVH
(left ventricular hypertrophy).
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan
elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III,
dan aVF.
Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG
No
1
2
Lokasi
Anterior
Anteroseptal
Anterolateral
Lateral
Inferolateral
Inferior
Inferoseptal
True posterior
RV Infraction
Gambaran EKG
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan
I dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan
inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan
aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan
aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi
di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.
a. Cardiac Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung.
Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT),
dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka dan
jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara
keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot
jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk
membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari
cardiac troponin. Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji
troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip
dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama
kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan
menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat
hubungan antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse
cardiac event pada ACS.
b. Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan
untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau
hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih
terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga
terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false
positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati. CKMB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24
jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan
spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan
tidak mempunyai nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan
CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari
otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5
menunjukkan
untuk
meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI. Pemakaian indeks relatif CKMB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi
tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI
dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis),
sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan
hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada
keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif
hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami
peningkatan.
d. Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin
adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat
molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin
biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah
pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam. Uji cepat mioglobin
telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji serial
setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau
perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada
kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI.
Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis
AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi
origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari
standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk
AMI menurun.
e. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CKMB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah
MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera
setelah
gejala
terjadi.
Isoform
CK-MB
dapat
dianalisis
menggunakan
dikatakan
positif
jika
CK-MB2
meningkat
dan
rasionya
marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya
adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk
CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif
sulit dilakukan oleh laboratorium.
f.
C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung
pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an
menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac
events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk
mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa
CRP berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS.
Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart
Association (AHA):
-
Total CK
perempuan.
Isoform CKMB
Marker
CK
CK-MB
Mioglobin
LDH
Troponin I
Troponin T
Waktu Awal
Waktu Puncak
Waktu Kembali
Peningkatan (jam)
48
48
24
10 12
46
46
Peningkatan (jam)
12 24
12 24
49
48 72
12 24
12 48
Normal
72 96 jam
48 72 jam
< 24 jam
7 10 hari
3 10 hari
7 10 hari
Nilai Rujukan
10-13 units/L
< 110 ng/mL
< 1,5 ng/mL
< 0,1 ng/mL
Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat
pasien
harus
mendapatkan
terapi
reperfusi.
Estimasi
besar dan
Reaksi
nonspesifik
terhadap
injuri
myocardial
berhubungan
dengan
7. Penatalaksanaan
Menurut American Heart Ascossiation, 2013
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA (Smeltzer, 2001)
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah
sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke
rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu
iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5
dikaitkan
dengan
aktivasi
simpatis yang
menyebabkan
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 515 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena
yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi
tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin
juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang
biasadiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi
dini
meminimalkan
akan
derajat
memperpendek
lama
disfungsi
dilatasi
dan
oklusi
koroner,
ventrikel
dan
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan
fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik.
3. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis
harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.
4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI
dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite
end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal
berkurang.
8. Komplikasi
8.1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dan lokasi infark.
8.2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
8.3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme
yang
berperan
dalam
aritmia
karena
infark
meliputi
sedangkan
disfungsi
ventrikel
kanan
atau
gagal
jantung
kanan
Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah hipertensi, DM.
Tanda:
1)
2)
3)
Bunyi
jantung
ekstra
(S3/S4)
mungkin
menunjukkan
gagal
Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5)
6)
7)
Edema,
edema
perifer,
krekels
mungkin
ada
dengan
jantung/ventrikel.
8)
g. Integritas ego
gagal
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang tak perlu, khawatir tentang keluarga,
pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
h. Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
i.
Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda:penurunan
turgor
kulit,
kulit
kering/berkeringat,
muntah,
dan
k. Neurosensori
Gejala:
pusing,
kepala
berdenyut
selama
tidur
atau
saat
bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
l.
Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda:peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas bersih
atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
m. Interaksi sosial
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi). Tanda: kesulitan istirahat
dengan tenang, respon emosi meningkat, dan menarik diri dari keluarga.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
oklusi arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan
paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari
edema paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, otot infark, kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik
jaringan miokard, efek obat depresan jantung
6. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi
aktivitas
DAFTAR PUSTAKA
ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction :
A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2013.
Djohan, Anwar Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbins Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department.
Available at. http://emedicine.medscape.com/article/811905overview .
DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.
http://www.surgeryencyclopedia.com/A-Ce/Cardiac-Marker-Tests.html