Anda di halaman 1dari 83

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir

Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan


Kementerian Kelautan dan Perikanan

ISSN 1907-0659

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG


SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN
KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG
SURUT TIDE MODEL DRIVER
Muhammad Ramdhan

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING


NEURAL NETWORK
Danang Surya Candra

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI


KABUPATEN BATUBARA
(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)
Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI


UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL
PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR
(Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA
SELATAN JAWA-BALI
Teja Arief Wibawa
SPOT-4 Image of The Aceh Tamiang District, Nanggroe Aceh
Darussalam

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT


TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS
PRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIR
MUNDU, KABUPATEN CIREBON
Wahyu Budi Setyawan

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON


TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK
Chaetoceros gracilis
Rachma Puspitasari

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS


LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Susi Rahmawati

J. Segara

Volume 7

Nomor 1

Hal. 1 - 71

Jakarta
Agustus 2011

ISSN
1907-0659

ISSN 1907-0659

VOLUME 7 NO. 1 AGUSTUS 2011


Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/2010
(Periode Oktober 2010 - Oktober 2013)
Jurnal SEGARA adalah Jurnal yang diasuh oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP, dengan
tujuan menyebarluaskan informasi tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di Indonesia,
seperti: oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja,kewilayahan sumberdaya nonhayati, energi,
arkeologi bawah air dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari
hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan
oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari
dalam dan luar negeri. Terbit pertama kali tahun 2005 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu
tahun.

Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab


Dr. Budi Sulistiyo

Pemimpin Pengelola Redaktur


Prof. Dr. Ngurah N. Wiadnyana

Dewan Editor
Prof. Dr. Wahyoe S. Hantoro
Dr. Sugiarta Wirasantosa
Ir. Tukul Rameyo Adi, MT
Dr. Irsan S. Brodjonegoro
Dr. Richardus Kaswadji
Dr. Edvin Aldrian

Mitra Bestari
Prof. Dr. Rosmawati Peranginangin
Prof. Dr. Safwan Hadi
Prof. Dr. Cecep Kusmana
Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abiddin
Ir. Tjoek Aziz Soeprapto, M. Sc
Dr. I Wayan Nurjaya
Dr. Hamzah Latif

Redaksi Pelaksana
Bagus Hendrajana, ST, M.Sc
Dicky Hartawan, S.Ikom
Syahrial Nur Amri, M.Si
Dani Saepuloh, A.Md

Redaksi Jurnal Ilmiah Segara bertempat di Kantor Pusat Balitbang Kelautan dan Perikanan
Alamat
: JL. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telpon
: 021 - 6471-1583
Faksimili
: 021 - 6471-1654
E-mail
: jurnal.segara@gmail.com
Jurnal Segara Volume 7 No. 1 Agustus 2011 diterbitkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Tahun Anggaran 2011

ISSN 1907-0659

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir


Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011
Hal. 1 - 81

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI


PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN
PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER
Muhammad Ramdhan
SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL
NETWORK
Danang Surya Candra
STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN
BATUBARA
(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)
Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar
PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK
PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA
BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA SELATAN
JAWA-BALI
Teja Arief Wibawa
POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP
DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DI
KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON
Wahyu Budi Setyawan
UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP
PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis
Rachma Puspitasari
ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI
PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Susi Rahmawati

PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Segara adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Jurnal Segara Volume 7 No.1 Agustus 2011 merupakan terbitan pertama di tahun anggaran 2011. Naskah yang
dimuat dalam jurnal Segara berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan
Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademis, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan
dari dalam dan luar negeri.
Di nomor pertama 2011, jurnal ini menampilkan 7 artikel ilmiah hasil penelitian tentang: komparasi hasil pengamatan
pasang surut di perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan prediksi pasang surut tide model driver, spot4 data classification analysis using neural network, studi potensi ekowisata bahari di Kabupaten Batubara (studi
kasus pada Pulau Pandang), pemanfaatan data satelit oseanografi untuk prediksi daerah potensial penangkapan
tuna mata besar (thunnus obesus) di Samudera Hindia selatan Jawa-Bali, potensi dampak kenaikan muka laut
terhadap dataran pesisir dan aktifitas produksi garam di kawasan pesisir mundu, Kabupaten Cirebon, uji toksisitas
sedimen pesisir cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik chaetoceros gracilis, estimasi cadangan karbon
pada komunitas lamun di Pulau Pari, taman nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.
Diharapkan artikel tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kelautan Indonesia. Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas partisipasi
aktif peneliti dalam mengisi jurnal ini.

REDAKSI

ISSN 1907 - 0659

Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................

DAFTAR ISI ...............

ii

LEMBAR ABSTRAK ..............................................................................................................

iii-vii

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut di Perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan
Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver
Muhammad Ramdhan ......................................................................................................................................................

1-10

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network


Danang Surya Candra..................................................................................................................

11-16

Studi Potensi Ekowisata Bahari di Kabupaten Batubara (Studi Kasus pada Pulau Pandang)
Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar...........................................................................

17-28

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata
Besar (Thunnus obesus) Di Samudera Hindia Selatan Jawa-Bali
Teja Arief Wibawa..........................................................................................................................................................
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut terhadap Dataran Pesisir dan Aktifitas Produksi Garam
di Kawasan Pesisir Mundu, Kabupaten Cirebon
Wahyu Budi Setyawan......................................................................................................................................
Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik
Chaetoceros Gracilis
Rachma Puspitasari...............................................................................................................
Estimasi Cadangan Karbon Pada Komunitas Lamun di Pulau Pari, Taman Nasional Kepulauan
Seribu, Jakarta
Susi Rahmawati...............................................................................................................

29-41

42-56

57-64

65-71

ii

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN
PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER
THE COMPARISON BETWEEN TIDAL OBSERVATION AND THE PREDICTION BY USING TIDE MODEL DRIVER
SOFTWARE, IN PRAMUKA ISLAND AND PATI COASTAL WAVES

Muhammad Ramdhan

ABSTRAK

ABSTRACT

Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis
pantai dan pelaksanaan survey bathimetri. Paper ini akan
membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu
prediksi yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Mode Driver
(TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk wilayah
perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan
berbeda dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD.
Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut dari data
pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari
prediksi TMD.

Tidal data for sea water level are needed to determine the coastline
and the bathymetric survey. This paper will compare the results of
tidal observations in the field with a prediction generated from the
Tide Model Driver (TMD) software. The results show that for the
islands waters, tipe of tidal data from the field observation was
different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As
for the open sea water, tidal data from the field observation match
with the tipe of tidal predictions are obtained from TMD.
Keywords: tide, tide prediction, tide type, Tide Model Driver

Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide Model


Driver

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK


ANALISA PENGKLASIFIKASIAN DATA SPOT-4 MENGGUNAKAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN

Danang Surya Candra

ABSTRACT

ABSTRAK

The overall objective of remote sensing image classification


procedures is to automatically categorize all pixels in an image
into land use/land cover classes. Normally, multispectral pattern
present within the data for each pixel is used as the numerical
basis for the categorization. The knowledge of land use/land cover
is important for many planning and management activities and is
considerd an essential element for modeling and understanding
the earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topics
in the neural network field. In the data clustering, the SOFM net
carries out the online cluster process in the input model, in the
topological nature of the input multi-bands data is clustered into
the output layer of neuron weights . The research shows that SOFM
method is better than MLC in accuracy. The experiment prove that
SOFM is quite good in term of classification processing speed.
Clearly, the results of using SOFM classifier in classification of
multi-spectral remote sensing data are very good result of
accuracy and fast in classification process.

Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untuk


mengkategorikan semua piksel dalam gambar ke dalam kelas
penggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya data
penginderaan jauh multispektral digunakan untuk melakukan
klasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixel digunakan
sebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentang
penggunaan lahan/penutupan penting untuk memodelkan dan
memahami bumi sebagai sebuah sistem. SOFM adalah salah satu
proses pengelompokan secara langsung, di mana SOFM
memberikan suatu pengaruh pada winner neuron neighborhood
pada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-band
dikelompokkan ke dalam output layer dari neuron weights.
Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network

Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network

iii

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA


(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)
STUDY OF MARINE ECOTOURISM POTENCY IN BATUBARA REGENCY

Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar

ABSTRAK

ABSTRACT

Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahaman


dan pengetahuan menyangkut kelestarian lingkungan. Pulau Pandang
seluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yang dapat
dikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukan
berdasarkan pada pengkajian kondisi Pulau Pandang dan perairan di
sekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenis pantai,
substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertama
untuk konservasi penyu dan ekosistem terumbu karang; yang kedua
untuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan
ekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untuk
mencegah dampak kegiatan wisata terhadap zona konservasi.
Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan
adalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalan
pantai, olahraga pantai lainnya, berkemah dan sebagainya.

Ecotourism is nature-based tourism that involves education


and concern on natural environment and ecological sustainability.
Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resources
that can be developed to be ecotourism destination. The islands
zonation and its surrounding waters have been established by
considering natural condition, such as shore line, shore type,
substrate, temperature, coral reefs and coral fishs type. The first
zone is allocated for conservation purpose especially for turtle
nesting and coral reefs; the second zone is allocated for supporting
and facilitates for tourism activities, and the last zone is buffer
zone for preventing direct impact of tourism activities on the
conservation zone (the first zone). Tourism activities recommended
in the utilization zone are: diving, snorkeling, swimming, sport
fishing, beach tracking, other beach sports, camping and other
reasonable ecotourism activities.

Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona


Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism,
coastal and marine zonation, island carrying.
capacity

pesisir dan bahari, daya dukung pulau

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA
BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA HINDIA SELATAN JAWA-BALI
OCEANOGRAFYC SATELLITE DATA UTILISATION FOR TUNA (Thunnus obesus) FISHING GROUND PREDICTION IN
THE INDIAN OCEAN, SOUTHERN PART OF JAWA-BALI
Teja Arief Wibawa
ABSTRAK

ABSTRACT

Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber


daya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalah
teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan
sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu
jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairan
Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut.
Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time dan
terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi,
dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk
mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial
penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan JawaBali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar selama
periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh
dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali.

Responsible and sustainable fisheries management require


essential information of identified important habitat of each fish
species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large
pelagic fish which has a high economic value in Indonesian waters.
Oceanographic factors have an important role in determining the
distribution of bigeye tuna habitat. The availability of
oceanographic satellite data in near real-time and continuously
observe condition of some oceanographic parameters, can be
used as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the
research was to predict the distribution of bigeye tuna potential
fishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali during
southeast monsoon period. Bigeye tuna catchment data
encompassed during southeast monsoon period of 2004-2007
were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali.
Oceanographic variables were sea surface chlorophyll-a
concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface

iv

Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface


chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST),
sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE).
Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap
koordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan generalized additive model (GAM).
Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan
untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna
mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk persamaan
GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik
memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate
tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial penangkapan
tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November,
menunjukkan adanya kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna

The selected GAM equation was used to predict the


distribution of bigeye tuna potential fishing ground. GAM analysis
revealed that GAM which constructed from the combination of
SSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracy
in explaining hook rate of bigeye tuna variation. Monthly prediction
of bigeye tunas potential fishing ground on June, July, August,
September and November, indicated its suitability with the real
bigeye tuna fishing ground.
Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM

mata sebenarnya.
Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM
DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON
POTENTIAL IMPACT OF SEA LEVEL RISE TO THE COASTAL ZONE AND SALT PRODUCTION ACTIVITY OF MUNDU
COASTAL REGION, CIREBON REGENCY

Wahyu Budi Setyawan

ABSTRAK

ABSTRACT

Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikan


muka laut, dan daerah yang paling terpengaruh adalah dataran
rendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikan
muka laut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan tahun 2007, masingmasing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hingga
tahun 2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisis
penggenangan dengan asumsi tidak terjadi perubahan morfologi
menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akan
tergenang pada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisi
skenario kenaikan muka laut; dan analisis erosi pantai dengan tidak
memperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahan
kedalaman perairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratan
pesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebut akan menyebabkan
sebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang.

One of the primary effects of global warming is sea-level rise,


and coastal lowland will be the strongly affected area of the effect,
such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios of
Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001
and 2007, for 0.8 and 0.5 meters maximum sea-level rise
respectively at 2100, was applied on the coastal zone. Inundation
analysis with no morphological change assumption indicates that
most of the coastal lowland will be inundated when high tide
condition at both sea level scenarios; and erosion analysis with
disregarding erosion rate due to sea-level rate indicates that most
of the coastal land will be eroded away. The erosion will also make
lost of salt production lands from the coastal zone.
Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone,
salt production land

Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah


pesisir, lahan produksi garam

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis
TOXICITY TEST OF SEDIMENT FROM CIREBON COASTAL AREA IN RELATION TO THE GROWTH OF DIATOM
PLANKTONIK
Rachma Puspitasari
ABSTRAK

ABSTRACT

Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitas


rumah tangga, industri dan pelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut
berpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalam
ekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat.
Kondisi kesehatan sedimen dapat ditinjau dari berbagai aspek
diantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisir
Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis. Sampel
sedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab Smith
McIntrye 0,05m2. Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awal
satu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama 96 jam. Titik
akhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis pada
perlakuan dibandingkan dengan kontrol setelah 96 jam pemaparan.
Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimen dianalisa
untuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhan
C. gracilis dibanding dengan kontrolnya. Selain itu, kadar logam
berat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasi
pertumbuhan. Efek stimulasi pertumbuhan ditandai dengan ratarata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatan pada
perlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVA
menunjukkan tidak ada beda nyata jumlah sel di tiap stasiun. Hasil
analisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antara
kadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal ini
menunjukkan bahwa sedimen Cirebon masih berada dalam kondisi
baik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis.

Coastal area of Cirebon is much influenced from domestic


activities, industries, fisheries and ports. These activities
potentially contribute contaminants that enter the aquatic
ecosystems and affect the quality of sediment. The health condition
of sediment can be evaluated from various aspects including
aspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims to
evaluate toxicity of sediment Cirebon to planktonic diatomae, C.
gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using the
Grab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sediment
for 96 hours. Endpoint of the test is mean number of cells C.
gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure.
Mean number of cells of C. gracilis in treatment was analyzed
wheter its showed a stimulation or an inhibition growth effect
compared to control. The results indicate that Cirebon sediment
still showed stimulation effect on growth of C. gracilis. Stimulation
effect of growth was characterized by the increasing of cells
number in sediment treatment than that of cells in seawater control.
Result of ANOVA shows no significance difference was among
stations. Result of correlation analysis shows that there was no
strong correlation between Cd concentration in sediment and
number of cells of C. gracilis. Generally, Cirebon sediment is still
in a good condition and can support for planktonic diatom, C.
gracilis s life.
Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon

Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis,


Cirebon

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU,
JAKARTA
CARBON BACKUP ESTIMATION OF SEAGRESS COMMUNITY IN PARI ISLAND, THOUSAND IS LANDS NATIONAL
PARK, JAKARTA
Susi Rahmawati
ABSTRAK

ABSTRACT

Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagai


negara menyebabkan peningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan
pengembangan ekosistem laut dan pesisir sebagai penyerap dan
penyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangan
karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperoleh
secara acak di sepanjang pesisir pantai dengan menggunakan plot
berukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untuk
menentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamun
dianalisis dengan menggunakan metode Kurmies. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitas lamun
Enhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas

The rapid development of industrial sector in many countries


has caused the increasing of greenhouse gases emission in the
atmosphere that contributes to global climate change. One of
aspect of climate change mitigation is maintaining and improving
the ability of ocean and coastal area ecosystems as carbon
sequester and carbon storage. A study was conducted on carbon
stock of seagrass community at Pari Island, Jakarta. Data were
colected randomly along the coastal area using plots measuring
of 0.0625 m 2 for biomass and 0.25 m 2 for community structure.
Whilst carbon content of seagrasses was analysed using Kurmies
method. Results show that Pari Coastal Island was formed by
Enhaluss-Thalassia community. The average of carbon stock of
seagrass community at Pari Island was 200.5 g C m-2

vi

lamun di Pulau Pari adalah 200,5 g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1


atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnya
adalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikan
sebagai acuan dasar dalam strategi mitigasi dan adaptasi lamun

or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean while


the total carbon stock was 67.21 Mg C (67.21 tons C). This
information could be used as a basic information on the mitigation
and adaptation to climate change.

terhadap perubahan iklim.

.
Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan
Seribu

Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu


Islands

vii

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA


DAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER

Muhammad Ramdhan1)
1)

Peneliti pada Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 13 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 20 April 2011; Disetujui terbit tanggal 24 Mei 2011

ABSTRAK
Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis pantai dan pelaksanaan survey
bathimetri. Paper ini akan membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu prediksi
yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Model Driver (TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa untuk wilayah perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan berbeda dengan
tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut
dari data pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD.
Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide Model Driver

ABSTRACT
Tidal data for sea water level are needed to determine the coastline and the bathymetric survey.
This paper will compare the results of tidal observations in the field with a prediction generated from
the Tide Model Driver (TMD) software. The results show that for the islands waters, tipe of tidal data
from the field observation was different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As for the
open sea water, tidal data from the field observation match with the tipe of tidal predictions are obtained
from TMD.
Keywords: tide, tide prdiction, tide tipe, Tide Model Driver

PENDAHULUAN
Data pasang surut (pasut) air laut memiliki arti
penting dalam mengimplementasikan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 (UU-27/2007)
tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil. Perairan Pesisir oleh UU-27/2007 didefinisikan
sebagai laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulaupulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan
laguna.
Dalam UU-27/2007 tidak dinyatakan secara
eksplisit tentang garis pantai mana yang digunakan

sebagai dasar penarikan batas area perairan pesisir.


Namun dalam UU ini diterangkan bahwa sempadan pantai
adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai,
minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi
ke arah darat. Sehingga secara tersirat UU-27/2007
mengambil titik pasang tertinggi (Highest Water Level
HWL) sebagai awal rezim yurisdiksi perairan pesisir.
Titik pasang tertinggi dapat diperoleh dari pengamatan
pasut air laut. Fenomena pasut diartikan sebagai naik
turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya
tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan
terhadap massa air di bumi (Pariwono,1989). Sedangkan
menurut Dronkers (1964) pasut laut merupakan suatu

Korespondensi Penulis:
Jl. Raya Padang-Painan Km.16,Bungus,Padang-25245. Email: m.ramdhan@kkp.go.id

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut


secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda
astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan.
Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena
jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Untuk
mengetahui posisi titik pasut terendah atau tertinggi di
suatu wilayah pengamatan pasut yang ideal dilakukan
adalah selama 18,6 tahun (Dahuri et al., 1996; Djunarsjah,
2007; Malik, 2007).
Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia
dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1.

Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide).


Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini
terdapat di Selat Karimata.

Gambar 1.

2.

Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide).


Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut yang tingginya hampir sama
dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka
hingga Laut Andaman.

Gambar 2.
3.

Pola gerak pasut harian tunggal (diurnal


tide) (Malik,2007).

Pola gerak pasut harian gandal (semidiurnal tide) (Malik,2007).

Pasang surut campuran condong harian tunggal


(Mixed Tide, Prevailing Diurnal). merupakan
pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang
dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua
kali pasang dan dua kali surut yang sangat
berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di
Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara
Jawa Barat.

Gambar 3.
4.

Pola gerak pasut harian campuran


condong harian tunggal (Malik,2007).

Pasang surut campuran condong harian ganda


(Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan
pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu
kali pasang dan satu kali. Surut dengan memiliki
tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di
Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.

Gambar 4.

Pola gerak pasut harian campuran


condong harian ganda (Malik,2007).

Pola gerak muka air pasut di wilayah Indonesia


didominasi oleh tipe harian ganda. Secara umum pola
tersebut dapat dilihat pada gambar 5.
Dari data hasil pengamatan pasut yang akan
dilakukan pada kegiatan pengamatan pasut salah satu
tujuannya adalah untuk memperoleh informasi tentang
tipe pasang surut apa yang berlaku di daerah kegiatan
berlangsung.
Inti dari dilakukannya pengamatan pasut adalah untuk
memperoleh data tinggi muka air laut, kemudian
digunakan untuk menentukan datum vertikal yang akan
digunakan dalam survey penetapan legal coastline
(Andriani, 2007).
METODE PENELITIAN
Paper ini akan menyajikan data hasil pengamatan
langsung pasang surut di dua lokasi kegiatan, yaitu
wilayah Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati. Dimana
wilayah tersebut merupakan wilayah studi kasus dalam
kegiatan aplikasi survey legal coastline untuk mendukung
penetapan hak pengusahaan perairan pesisir tahun 2010

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

Gambar 5.

Pola tipe pasut di Indonesia (digambar ulang dari Anugerah, 1987 Triatmodjo, 1996)

di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut


dan Pesisir (Puslitbang SDLP), Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP).
Lama waktu pengamatan pasut di lokasi kegiatan belum
bisa memenuhi kondisi ideal, oleh sebab itu akan
digunakan data modelling sebagai alat bantu untuk
mendapatkan titik tertinggi di wilayah tersebut. Koordinat
stasiun pengamatan pasut untuk kegiatan ini dapat di
lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.

No.
1.
2.

Lokasi stasiun pengamatan

Lokasi
Stasiun
Pulau Pramuka
Kabupaten pati

Gambar 6.

Lintang

Bujur

-5,7425
-6,4587

106,6136
111,0511

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Pengamatan langsung

Dari data yang diperoleh, Secara visual dapat terlihat


bahwa di kawasan pulau Pramuka pada tanggal 12
Agustus 2010 jam 20:00 WIB hingga 13 Agustus 2010
jam 20:00 WIB terjadi dua kali pasang dan satu kali
surut dengan surut terendah terjadi pada 13 Agustus 2010
jam 07.00 WIB, dan pasang tertinggi pada pada 12
Agustus 2010 jam 22.00 WIB. Hal ini sesuai dengan
yang disebutkan oleh Wyrtki (1961) bahwa wilayah P.
Pramuka yang berada di kawasan pantai utara Jawa
Barat tergolong dalam tipe pasang surut campuran

Lokasi daerah kegiatan pengamatan pasut

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

condong harian tunggal. Grafik hasil pengamatan pasang


surut di P. Pramuka dapat dilihat pada Gambar 7.
GrafikpasangsurutpermukaanairlautP.Pramukatanggal1216Agustus2010
140
130
120

Ketinggian(cm)

110
100
90
80
70
60
50
0
8/12/2010
20:00:0 0

Gambar 7.

12
8/13/2010
0 8:00:00

24 10
8/13/20
20 :00:00

36
8/14/2010
08:00 :00

8/1448
/2010
20:00:00

60
8/15/2010
08:00:00

72
8/15/2010
20:00:0 0

84
8/16/2010
08:00 :00

Grafik Pengamatan pasut pulau Pramuka.

Tinggi Pasut (cm)


Rata-rata
100,77

Maksimum
133,00

Di stasiun pasut Banyutowo - Kab. Pati dilakukan


pengamatan pada tanggal 28 Oktober 2010 jam 13:00
WIB hingga 04 November 2010 jam 13:00 WIB. Hasil
pengamatan menunjukkan terjadi 7 (tujuh) kali pasang
tinggi dan 7 (tujuh) kali surut rendah dengan surut
terendah terjadi pada 29 Oktober 2010 jam 11.00 WIB

Gambar 8.

Minimum
56,00

dengan ketinggian pasut 56 cm, dan pasang tertinggi


pada pada 30 Oktober 2010 jam 00.00 WIB dengan
ketinggian pasut 181 cm. Hal ini menunjukkan bahwa
tipe pasut di wilayah tersebut adalah pasang surut harian
tunggal (diurnal tide). Grafik hasil pengamatan pasang
surut di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Gambar 8.

Grafik Pengamatan pasut Kab. Pati.


Tinggi Pasut (cm)
Rata-rata
115,34

Maksimum
181,00

Minimum
56,00

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

2.

untuk dapat memberikan hasil prediksi selama 365 hari


pada tahun 2010.

Hasil model TMD

Tidal Model Driver (TMD) adalah perangkat lunak /


software yang dapat digunakan untuk melakukan ramalan
(prediksi) ketinggian pasut di permukaan bumi dengan
platform Matlab, Software ini dikembangkan pada tahun
2003 di Universitas Oregon State - Amerika Serikat.
Secara global, Software tersebut menggunakan
konstanta-konstanta pasut yang telah di generate secara
global dari berbagai sumber.
Untuk mendapatkan gambaran kondisi pasut
sepanjang tahun di daerah lokasi kegiatan, TMD di setting
Tabel 2.

Grafik prediksi pasut hasil pemodean TMD untuk


lokasi kedua kegiatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.
Tipe pasang surut dapat ditentukkan berdasarkan
bilangan Formzahl (F) yang dinyatakan dalam bentuk:

Konstanta pasut yang digunakan dalam pemodelan TMD


P.
Pramuka
Kab.
Pati

Gambar 9.

TMD menggunakan konstanta pasut m2, s2, k1, o1,


n2, p1, k2, q1 dalam menghitung prediksi ketinggian
pasut di suatu titik.

Amplitudo
(cm)
o

Amplitudo
(cm)
o

m2

s2

k1

o1

n2

p1

k2

q1

3,38

4,45

25,87

12,36

1,15

7,28

0,86

2,87

167,77

97,03

35,63

18,09

115,37

25,83

78,4

2,43

4,31

7,56

40,3

15,59

1,82

11,5

0,19

1,71

332,65

223,38

230,22

162,64

285,17

230,17

185,29

129,99

Grafik pasut untuk P. Pramuka hasil pemodelan TMD.


Maksimum (cm)

Minimum (cm)

52,21

-48,9

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 10.

Grafik pasut untuk Kab. Pati hasil pemodelan TMD.


Maksimum (cm)

Minimum (cm)

69,77

-77,12

F = [A(o1) + A(k1)]/[A(m2) + A(s2)]..........................1)


Dimana:
F
A(k1)
A(o1)

:
:

bilangan Formzahl
amplitudo komponen pasang surut
tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan & matahari
amplitudo komponen pasang surut
tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
amplitudo komponen pasang surut
ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
amplitudo komponen pasang surut
ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik matahari

A(m2) :
A(s2)

dengan ketentuan :
F d 0.25 :
0,25<Fd1.5 :
1.50<Fd3.0 :
F > 3.0

Pasang surut tipe harian ganda


Pasang surut tipe campuran condong
harian ganda
Pasang surut tipe campuran condong
harian tunggal
Pasang surut tipe harian tunggal

Untuk lokasi pulau Pramuka, dari konstanta pasut


yang digunakan oleh TMD diperoleh nilai F sebesar
4,882503193. Hal ini menunjukkan bahwa TMD
menggolongkan tipe pasut di lokasi tersebut kedalam
pasang surut harian tunggal. Hasil ini berbeda dengan
apa yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan.
Di lokasi Kab. Pati diperoleh nilai F sebesar 4,708509.
TMD menggolongkan tipe pasut di wilayah Kab. Pati
sebagai tipe pasang surut harian tunggal, hasil yang
sesuai dengan pengamatan langsung di lapangan.
Hasil berbeda yang diperoleh di stasiun pulau Pramuka
diduga karena TMD menggunakan konstanta pasut yang
global, sehingga kurang mampu untuk memprediksi
secara akurat tipe pasut di wilayah pulau-pulau kecil
seperti pulau Pramuka. Pada tabel 2-5 Lampiran.
disajikan secara lengkap data hasil pengamatan pasut
dan data prediksi hasil modeling dengan TMD.
3.

Perbandingan data Insitu dengan data TMD

Grafik pada gambar 11 dan 12 menunjukkan perbedaan


data hasil pengamatan langsung di P.Pramuka dan Kab.
Pati dengan data yang dihasilkan oleh TMD. Data
pengamatan di masing-masing tempat ditumpang
susunkan dengan data yang dihasilkan oleh TMD.

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

Gambar 11.

Grafik perbandingan data pasut pengamatan P.Pramuka dengan TMD

Gambar 12.

Grafik perbandingan data pasut pengamatan Kab. Pati dengan TMD

Data pengamatan di Pulau Pramuka memiliki nilai


RMS error sebesar 8,68 cm. Dari grafik dapat terlihat
bahwa pada beberapa bagian data hasil pengamatan
menunjukkan hasil tren pasut yang menurun, namun data
TMD menunjukkan data tren pasut naik. Seperti pada
data pengamatan jam 16.00 WIB tanggal 13 Agustus
2010. Hal ini dikarenakan hasil model TMD
mengklasifikasikan daerah perairan P. Pramuka memiliki
tipe pasut harian tunggal, namun pada kenyataannya P.
Pramuka memiliki tipe pasut campuran cenderung harian
tunggal.
Data pengamatan di Kab. Pati memiliki RMS error
yang lebih kecil dari pada data P. Pramuka yaitu sebesar

7,84 cm. Untuk bentuk grafik, dapat dilihat bahwa tren


kenaikan dan penurunan pasut relatif sama antara data
pengamatan lapangan dengan data yang di hasilkan TMD.
Kesimpulan dan Saran
Pulau pramuka, yang terletak di gugusan Pulau
Seribu, memiliki tipe pasut campuran condong harian
tunggal, hal tersebut didukung oleh data hasil
pengamatan lapangan dan literatur. Namun dari hasil
prediksi pasut TMD, tipe pasut yang diperoleh untuk pulau
Pramuka adalah tipe harian tunggal. Penyebabnya dapat
dikarenakan TMD menggunakan konstanta pasut global
dalam perhitungan prediksi pasutnya, atau adanya

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

komponen pasut lain yang dominan di perairan kepulauan


yang belum dimasukkan dalam formula model prediksi
perangkat lunak TMD.
Untuk perairan terbuka seperti wilayah perariran Kab.
Pati yang terletak di Laut Jawa, tipe pasut yang diperoleh
dari data pengamatan lapangan dan prediksi TMD
menunjukkan hasil yang sama, yaitu tipe harian tunggal.
Prediksi pasut dari TMD disarankan baik untuk
digunakan pada wilayah perairan terbuka. Namun untuk
perairan kepulauan, prediksi pasut TMD harus dimodifikasi
ulang konstanta pasutnya, sesuai dengan data
pengamatan lapangan.
PERSANTUNAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
Endhay Kusnendar, MS sebagai Kepala Balitbang-KP,
Dr. Budi Sulistiyo-Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut
dan Pesisir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik, 2007. Power Point Bahan kuliah Pasang
Surut, http://www.slideshare.net/guest01cdf1/pasangsurut-pasut, diakses tanggal 24 Oktober 2010.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 1996.


Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Djunarsjah, E., 2007, Konsep penentuan batas laut, KK
sains dan rekayasa hidrografi, FTSL-ITB, Bandung.
Nontji, A., Dr. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
Jakarta
Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut.
Dalam Pasang Surut. P3O -LIPI. Jakarta.
Triatmodjo, B. 1996. Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta
Andriani,V. 2007. Kajian Legal Coastline dalam
Mendukung Pelaksanaan Kadaster Kelautan di
Indonesia, Tesis Magister FTSL-ITB, Bandung.
Wyrtki, K.1961. Naga report: scientific results of marine
investigations of the. South China Sea and the Gulf
ofThailand, 1959-1961. vol. 2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007
tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.

LAMPIRAN
Tabel 1.

Data hasil pengamatan pasut dan prediksi TMD


Lokasi
Stasiun

Tinggi Muka Air laut (cm)


MSL*

MAX**

MIN***

Tungang
pasut
(cm)

Tipe
Pasut

Selang
Waktu
(hari)

Pulau
Pramuka

100,77

133

56

77

tipe
campuran
condong
harian
tungal

Kab. Pati

115,34

181

56

125

tipe
harian
tungal

Pulau
Pramuka

52,21

-48,89

101,1

tipe
harian
tungal

365

Kab. Pati

69,77

-77,12

146,89

tipe
harian
tungal

365

Ket: * Mean Sea Level, ** Ketinggian Maksimum, *** Ketinggian Minimum

10
5

98

86

66

11
6
10
0

93

74

9
8
9
0
7
9
5
8

2
9
6
8
6
7
6
5
6

3
9
4
8
6
7
4
5
7

4
9
0
8
7
7
6
6
2

8
0
6
8

9
0

6
8
8
8
6
8
6
7
4

9
0
8
9
8
9

95

96

10
0

10
6
10
5
10
5

10

Jam
28/10/20
10
29/10/20
10
10/30/20
10
10/31/20
10
1/11/201
0
2/11/201
0
3/11/201
0
4/11/201
0

Tgl

16
8
17
7
17
3
16
0
17
4
16
6
16
2

17
8
18
1
17
8
15
5
16
6
15
8
14
6

15
9
17
5
17
3
16
4
17
6
17
2
16
2

2
14
8
16
5
16
8
15
6
16
8
16
4
15
8

3
13
2
14
8
15
5
14
6
16
2
15
6
15
2

4
11
8
13
4
13
3
13
2
15
4
14
8
14
6

96
10
6
10
4

99
11
6
11
8
11
6
13
8
13
4
13
2
98
11
2
11
4
11
6

6
8
5
9
8
9
4
8
7
9
4
9
8
9
8

82
78
74

86
86
82

76

82
77

74

82

78

64

10

11
0
11
3
11
0

11

68

Tabel 3. : Data hasil pengamatan Lapangan Banyutowo, Kab. Pati

Jam
12/8/201
0
13/8/201
0
14/8/201
0
15/8/201
0
16/8/201
0

Tgl

Tabel 2 . Data hasil pengamatan Lapangan P. Pramuka

72

78

82

75

68

76

56

11

11
4
11
3
12
0

12

70

86

77

75

76

70

58

12

11
6
10
8
12
0

70

92

92

78

68

72

61

64

13

13

96
10
4

86

80

70

63

74

14

11
8
11
5
12
3

14

98
10
8

92

80

64

67

76

15

11
4
11
6
12
6

15

98
10
2
11
2

82

74

78

84

16

11
4
11
6
12
8

16

82
10
2
10
2
11
4

82

88

88

17

11
0
11
7
13
0

17

84
10
6
10
8
12
0

92

18
11
2
10
4

11
6
11
9
13
3

18

98
12
2

97
10
8

19
12
6
12
0
11
5

12
0
12
8

19

21
12
0
11
0
10
6
10
5

95

22
12
4
11
6
10
6

86

23
12
2
10
5
10
0

20
13
6
13
6
12
6
10
4
11
4
10
8
12
4

21
15
4
15
2
15
5
11
2
12
4
12
2
12
6

22
16
2
16
6
16
5
13
4
13
4
12
8
13
2

23
17
2
17
6
17
2
15
2
14
8
13
8
13
8

ketinggian dalam cm

20
11
0
10
6
11
5
12
0

ketinggian dalam cm

Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)

16

10

-9

18

22

14

-6

12

-7

15
24

13
22

-2

-1

-3

10
16
24

-8

-9

5
16
12
12
16
23

6
21
15
13
14
19

Jam

4/11/2010

3/11/2010

2/11/2010

1/11/2010

10/31/2010

10/30/2010

29/10/2010

28/10/2010

Tgl

57

62

65

64

60

52

43

35

58

62

63

60

54

45

36

28

37

46

54

60

62

61

57

51

35

43

50

54

54

51

47

40

28

35

40

42

41

38

33

27

17

23

26

27

25

21

16

11

11

11

-1

-5

Tabel 5. : Data TMD untuk Banyutowo, Kab. Pati

Jam
12/8/20
10
13/8/20
10
14/8/20
10
15/8/20
10
16/8/20
10

Tgl

Tabel 4. Data TMD untuk P. Pramuka

11

-6

-5

-5

-8

7
21
17
12

7
23
16
12
12
14

8
34
30
26
21
18
17
18
22

-9

-8

8
22
15
10

9
44
41
36
32
28
26
27
30

-3

-3

-7

9
19
12

10
51
48
44
38
33
31
30
33

-3

-9

10
15

11
54
52
47
41
36
31
30
31

-5

11
11

12
54
53
49
43
36
30
26
26

13

10

-1

-7

12

13
50
51
48
42
34
27
22
20

16

13

-3

13

14
45
47
46
41
33
24
17
12

20

16

10

-1

14

-6

15
37
42
42
39
32
23
13

22

17

11

15

-2

16
28
34
37
36
30
21
11

24

18

12

16

17
17
24
30
31
28
21
10

25

18

11

17

13
20
24
24
19
10

-4

18

24

17

10

18

-8

15
17
15

-8

19

22

14

10

19

11

15

21

16

22

-6

-6

-2

16

23

-4

-8

-7

-2

16

23

20

13

22

31

37

21

13

10

13

19

28

38

45

48

22

19

20

25

33

43

51

56

57

23

ketinggian dalam cm

17

11

13

20

ketinggian dalam cm

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

10

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK

Danang Surya Candra1)


1)

Peneliti pada Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional - LAPAN

Diterima tanggal: 27 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 5 April 2011; Disetujui terbit tanggal 19 Mei 2011

ABSTRACT
The overall objective of remote sensing image classification procedures is to automatically categorize
all pixels in an image into land use/land cover classes. Normally, multispectral remote sensing data
are used to perform the classification and, indeed, the spectral pattern present within the data for each
pixel is used as the numerical basis for categorization. The knowledge of land use/land cover is important
for many planning and management activities and is considered an essential element for modeling and
understanding the earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topics in the neural network
field. In the data clustering, the SOFM net carries out the online cluster process in the input model, in
which the SOFM net exerts a constraint of the winner neuron neighborhood of the output layer so that
the topological nature of the input multi-bands data is clustered into the output layer of neuron weights.
The research shows that SOFM method is better than MLC in accuracy. The experiment prove that
SOFM is quite good in term of classification processing speed. Clearly, the results of using SOFM
classifier in classification of multi-spectral remote sensing data are very good result of accuracy and
fast in classification process.
Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network

ABSTRAK
Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel dalam gambar
ke dalam kelas penggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya data penginderaan jauh
multispektral digunakan untuk melakukan klasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixel
digunakan sebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentang penggunaan lahan/penutupan
lahan sangat penting untuk kegiatan perencanaan dan pengelolaan dan dianggap sebagai elemen
penting untuk memodelkan dan memahami bumi sebagai suatu sistem. SOFM adalah salah satu
topik yang paling menarik di neural network. Dalam data clustering, SOFM neural network melakukan
proses pengelompokan secara langsung, di mana SOFM memberikan suatu pengaruh pada winner
neuron neighborhood pada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-band dikelompokkan
ke dalam output layer dari neuron weights. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi metode SOFM
lebih baik daripada MLC. Penelitian membuktikan bahwa SOFM cukup baik dalam hal kecepatan
pemrosesan klasifikasi. Jadi hasil dari metode SOFM dalam klasifikasi multi-spektral data penginderaan
jauh adalah SOFM memiliki akurasi hasil yang baik dan kecepatan dalam proses klasifikasi.
Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network

Korespondensi Penulis:
Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13320.

Email: thedananx@yahoo.com

11

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

INTRODUCTION
The knowledge of land use/land cover is important for
many planning and management activities and is
considered an essential element for modeling and
understanding the earth as a system. More recently,
remote sensing data have been utilized for land use/land
cover mapping.
The ability to classify multispectral remote sensing
data correctly and quickly is very important. The neural
network classifier presents distribution-free approach to
multispectral remote sensing data classification. Neural
network perform considerably better than classical
methods (Bhiscof & Leonardis, 1998). There are many
methods in neural network. One of them is Back
propagation method. Back propagation neural network
has weakness of very slow convergence during training
(Li & Si, 1992). Another one is Self-Organizing Feature
Map (SOFM) neural network. SOFM is one of the most
fascinating topics in the neural network field. Such
networks can learn to detects regularities and correlations
in their input and adapt their future responses to that
input accordingly. SOFM learn to classify input vectors
according to how they are grouped in the input space. It
learns both the distribution and topology of the input
vectors they are trained on.
Operationally SPOT-4 data was applied to depict land
use changes, urban planning, disaster, etc in Indonesia,
providing basic maps for planning and development.
The research has primary objectives: (1) to apply the
SOFM classifier to classify land cover from SPOT-4 data.
The aim is to show how SOFM can be a classifier for
multi-spectral remote sensing data, (2) to analyze the
classification result of the SOFM classifier. The aim is to
know how accurate and classification process speed of
this classifier, and (3) to compare the classification result
accuracy using SOFM and MLC. The purpose is to know
which one is the better one for classifier.
SOFM Neural Network
Neural network models have two important properties:
the ability to learn from input data and to generalize and
predict unseen patterns based on the data source, rather
than on any particular a priori model (Seto & Liu, 2003).
The self-organizing feature map neural network developed
by Kohonen is a neural network model providing a
topology-preserving mapping from a high-dimensional
input space onto a low-dimensional map space (Ji, 2000).
The fundamental idea of SOFM is related to constructing
a hierarchic pattern searching system using a special

neural model, which is able to map a given vector space


in a labeled discrete neural structure (Kohonen, 1996).
SOFM is one of the most fascinating topics in the
neural network field. Such networks can learn to detect
regularities and correlations in their input and adapt their
future responses to that input accordingly. SOFM learns
to recognize groups of similar input vectors in such a
way that neurons physically near each other in the neuron
layer respond to similar input vectors.
The network is created from a two dimensional lattice
of nodes, each of which is fully connected to the input
layer. Figure 1 shows a very small SOFM network of 5 X
5 nodes connected to the input layer representing a two
dimensional (Hasi, et al - 11. 2004).
Each node has a specific topological position (x, y
coordinate in the lattice) and contains a vector of weights
of the same dimension as the input vectors. That is to
say, if the training data consists of vectors V of n
dimensions:
V1,V2,V3,......,Vn ............................... 1)
Then each node will contain a corresponding weight
vector W of dimensions:
W1,W2,W3,......,Wn ........................... 2)
The lines connecting the nodes in Figure 1 are only
there to represent adjacency and do not signify a
connection as normally indicated when discussing a
neural network. There are no lateral connections between
nodes within the lattice.
In the data clustering, the SOFM net carries out the
online cluster process in the input model, in which the
SOFM net exerts a constraint of size of the winner neuron
neighborhood of the output layer so that the topological
nature of the input multi-bands data is clustered into the
output layer of neuron weights. The cluster centers are
represented by their weights. Through competing and
learning rules, the weight can also be updated. In this
clustering process, both the new neuron weights and
those of the winner neuron neighborhood are updated.
The size of the winner neuron neighborhood reduces
gradually during the iteration. The SOFM structure is
presented in Figure 1. When the process is finished, the
input data are partitioned into non-intersected classes.
In this way, the similarity of the individuals in the same
class is stronger than that in different classes.

12

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

Figure 1.

The SOFM neural network structure (Hasi. et al., 2004).


Step 5.

SOFM Algorithm
Let Wj is the weighting vector transmitted from input
vector i to output vector j, and let x={x1, x2,...,xn }
be an input vector, n is the dimension, equal to the
number of input satellite bands. Network training and
testing includes fine tuning and coarse tuning. Coarse
tuning is the learning process, which is accomplished
by following steps (Ji, 2000):
Step 1.

Step 2.

For each neuron, the weight is randomly


initialized to a real value within the range
of 0.0255.0 (Digital Number (DN) value
of satellite image data).
Feed the network with an input vector ,
the distances of vector x to all neurons
are computed by formula (3.1).

.............. 1)

For each input vector, label it as its class


and label each neuron of output layer
as its cluster by majority voting principle.
The learning rate
decreases
gradually with time :
a value for is selected between 0.5
and 0.9.
..................... 4)

After the competition and learning process are


finished, the input data are grouped into non-intersected
clusters. Every cluster is represented by its centroid.
Such centers are called template vectors or coding
vectors. With regard to the input vector, the corresponding
coding vector, instead of the input vector itself, is applied
in the next step, i.e. the fine tune. This method is called
the vector quantization. The fine tune is accomplished
by the learning vector quantization (LVQ) algorithm, which
consist of the following steps:
Step 1.

Step 3.

Find the neurons that have the minimum


distance to the input vector x , and
update the weight by formula (3.2) and
(3.3).

After a training input vector is


randomly selected, is identified under
the condition of minimum
Step 2. The LVQ algorithm is used, if x and wc are in the
same class, wc is changed by using

.................................................................... 2)
..................... 3)

formula (3.4),
Otherwise, using formula (3.5)

Step 4.

Feed new inputs and repeat steps 2 and


3, until the network convergences.

......... 5)

13

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Study Area and Data Analysis


The Area of Interest (AoI) is put in Aceh Tamiang
District, Nanggroe Aceh Darussalam. SPOT-4 data is
used in this research. The 512 x 512 pixel of SPOT-4
data is used for the AoI. The K/J of SPOT-4 data is 262/
341. And the acquisition date is June 12, 2008.

PRE
PROCESSING
PROCESSI NG

Or tho Rectification
Software and
ER Mapper 7.1

POST
PRO CESSING

The iteration is stopped when it comes


to the maximum times; otherwise, return
to step 1.

Figure 6.

Ortho-Rectification and
Projection Transformation

Image Enhancement,
Ima ge Transform, and
Cropping

La nd Cover
Classification
Using SOFM & LVQ

Land Cover
Classification
Using MLC

Calculation of Classification
Result Accuracy

Calculation of Classification
Result Accuracy

Arc GIS 9.3

Step 3.

Scene Selection of
SPOT-4 Data

DEM SRTM

Envi 4.4

The learning rate t is a small positive value,


decreases with iteration until 0.001.

Map Reference

.................. 6)

After that, classification result from SOFM and MLC are


compared. The stages are described by flowchart below.

SOFM Neural N etwor k Program


Using Visual C++ 2008

The data analysis has three stages. The first stage is


pre-processing. In this stage, ortho-rectification, projection
transfor-mation, composite band, image enhancement,
and cropping is done. The second stage is processing.
In this stage, If
is not equal to
, wi is changed by
(3.6)

Comparison of Classification
Result Accuracy Betwe en SOFM
and MLC

Flowchart of making land cover


classification.

RESULTS
The SOFM structure in the experiment is illustrated
as follows: the input layer has 4 nodes and each of them
corresponds uniquely to one of the SPOT-4 bands 1, 2,
3 and 4. The initial value of the learning rate is set here
to 0.9, which reduces gradually with the training time
until 0.005. The maximum iteration time is 2000. In the
output layer, the initial size of the the winner neuron
neighborhood is set to be 12x12.

Figure 5.

The SPOT-4 Image of The Aceh Tamiang


District, Nanggroe Aceh Darussalam.

The data analysis has three stages. The first stage is


pre-processing. In this stage, ortho-rectification, projection
transfor-mation, composite band, image enhancement,
and cropping is done. The second stage is processing.
In this stage, remote sensing data classification for land
cover is done. SOFM Neural Network is used in this
stage. And the last stage is post-processing. Land cover
classification result accuracy is calculated in this stage.

Figure 7.

The image of SOFM classification


result.

14

SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)

The classification was conducted after the SOFM


training. There is no threshold set during the process so
that no unclassified pixel occurs. To the purpose of
comparison, the same training data sets are classified
with the maximum likelihood method (MLC). The input
bands are the same bands 1, 2, 3 and 4 produced by
SPOT-4 ortho-rectification process. Likewise, there is no
threshold set during the processing. The result images
of classification are shown in Figures 7 and 8. In the
experiment, the SOFM process needs 14 second in
classification process. Clearly, the classification process
speed of the SOFM classifier is quite fast.

We computed a confusion matrix to evaluate the ability


to detect land cover and to assess the accuracy of the
SOFM method compared to a more conventional
classifier, MLC. The confusion matrix is a commonly used
tool for assessment of accuracy of land cover
classification (Card, 1982). The matrix scores how the
classification process has labeled a series of test sites
or test pixels at which the correct land cover label is
known. Typically, the true class label is displayed across
rows, while the actual mapped class is displayed in
columns. The diagonal of the confusion matrix displays
the number of sites or pixels for which the true class and
the mapped class agree. The overall accuracy of the entire
sample is then the sum of the diagonal elements divided
by the total of all sites or pixels. For individual classes,
the marginal totals of the matrix can easily be used to
estimate the producers accuracy and users accuracy
from the sample. The producers accuracy is the
probability that a pixel truly belonging to class i is also
mapped as class i, while the users accuracy is the
probability that a pixel mapped as class i is truly of class
I (Card, 1982).
Comparing both of classifier, the SOFM result has
more accuracy in classification of urban (99.04%) than
MLC (94.97%). It is also happened in others class. The
general accuracy of SOFM is 97.13%, whereas that of
MLC is only 87.54%. Clearly, the accuracy of the SOFM
method is higher than the MLC method.

Figure 8.

The image of MLC classification result.

Table 1.

The confusion matrix of SOFM classification result


C la ss

R ef

SO FM
U rb an
A g ricul tu re L and
W ater Bo dy
M an gro ve
B are Land
W et L an d
T o ta l
A cc ur ac y ( % )

Ur ba n

238 36
38
2
2
1 08
80
240 66
99 .04

A g ric u ltur e
L an d

Wa te r B o d y

53
1 39 64 3
2
22 0
1 94 9
2
1 41 86 9
98 .4 3

M an g ro ve

1
1
20 687
225
0
258
21 172
97 .71

Ba re Lan d

61
2 05 7
85 7
24 30 3
10 5
49 7
27 88 0
8 7.1 7

W et Land

1 89
2 55
0
0
1 83 78
2
1 88 24
9 7. 64

11 0
5
30 7
11 7
8
2 778 6
2 833 3
9 8.0 7

B a re L a nd

W e t L a nd

*) Total sample = 262144 pixels; accurate = 254633 pixels; general accuracy = 97.13 %

Table 2.

The confusion matrix of MLC classification result.


C la s s

Ref

M LC
U rb a n
A g ri c u l tu r e L a n d
W a te r B o d y
M a n g ro v e
B a re L a n d
W e t L a nd
T o ta l
A c c u ra c y ( % )

U rb a n

22856
309
5
0
574
322
24066
9 4 .9 7

A g r ic u ltu re
L an d
2129
136737
53
399
2551
0
141869
9 6 .3 8

W a te r
Bo dy

M a n g ro v e

298
27
18880
158
0
1809
21172
89.17

3269
3656
2724
18231
0
0
27880
65.39

4658
1283
0
0
12883
0
18824
68.44

3738
170
4481
60
0
19884
28333
70.18

*) Total sample = 262144; accurate = 229471; general accuracy = 87.54 %

15

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

DISCUSSION AND CONCLUSION


In this research, we applied the SOFM to classify
land cover from multi-spectral remote sensing data. The
SPOT-4 data that we used had four bands and we used
all the bands in the experiment. We choose 512 x 512
pixels of this data for the samples. This data can be
classified by the SOFM. This SOFM is combined by LVQ
to form the target classes. After that, we analyzed the
classification result of the SOFM classifier. The research
shows that the SOFM classifier accomplished 97.13 %
accuracy in general. In the experiment, the SOFM needs
14 second in the classification process. Thus, the SOFM
classifier is quite good in accuracy and classification
process speed. We also do comparing between the
SOFM classifier and MLC. The MLC has 87.54 %
accuracy. It shows that SOFM is better than MLC in
accuracy. Clearly, the results of using SOFM classifier
in classification of multi-spectral remote sensing data
are SOFM has a quite good result of accuracy and fast
in classification process speed. The results can prove
that the SOFM is quite good for classifier.
The main problem in Indonesia regarding land cover
classification manner is about the remote sensing data.
Mostly, the data is covered by cloud. We know that radar
data has not a cloud in its coverage. So, the suggestion
for the next research is to classify the radar data using
SOFM classifier. Many methods are studied to find a
good classifier for land cover classification in remote
sensing data. We should compare the SOFM classifier
to other methods. We can also do the modification of
the SOFM to get better and faster classifier.

Foody, G.M., 2004, Thematic map comparison evaluating


the statistical significance of differences in
classification accuracy, Photogrammetric Engineering
and Remote Sensing, 70, pp. 627633.
Hasi, B., et al, 2004, Self-organizing Feature Map Neural
Network Classification of The ASTER Data Based
on Wavelet Fusion, Science in China Ser. D Earth
Sciences, Vol.47, No.7, pp. 651658.
Ji, C. Y., 2000, Land-use Classification of Remote Sensed
Data Using Kohonen Self-Organizing Feature Map
Neural Networks, Photogrammetric Engineering and
Remote Sensing, vol. 66, No.12, pp. 1451-1460.
Kohonen, T., 1982, Self-organized Formation of
Topologically Correct Feature Maps, Biological
Cybernetics, 43, pp. 5969.
Kohonen, T., 1990, Self-organizing Map. Proc. IEEE 78,
pp. 14641480.
Kohonen, T., 1993, Physiological Interpretation of The
Self-organizing Map Algorithm. Neural Netw. 6, pp.
895905.
Kohonen, T., Oja, E., Simula, O., Visa&, A., Kangas, J.,
October 1996, Engineering Applications of The Selforgnizing Map, Proceedings of the IEEE, vol. 84. pp.
12581384.

ACKNOWLEDGEMENT

Li, R & Si, H., 1992, Multi-spectral Image Classification


Using Improved Backpropagation Neural Networks,
Downloaded on February 2, 2009 at 01:37 from IEEE
Xplore.

This research has been partially supported by LAPAN


for SPOT-4 data. Our thanks goes to them, without their
support in this paper, it could not have been
accomplished.

Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., & Chipman, J. W., 2004,


Remote Sensing and Image Interpretation, John
Wiley&Sons, Inc, Fifth Edition.

REFERENCES
Bischof, H & Leonardis, A., 1998, Finding Optimal Neural
Networks for Landuse Classification, IEEE Xplore,
Downloaded on February 2, 2009 at 01:57 from IEEE
Xplore.
Bullinaria, J. A., 2004, Introduction to Neural Networks :
Lecture 18 - Learning Vector Quantization (LVQ).

Minsky, M., Kohonens Self Organizing Feature Maps.,


http://www.ai- junkie.com/ann/som/som1.html.,
accessed on May 31th, 2009.
Seto, K.C. & Liu, W., 2003, Comparing ARTMAP Neural
Network with the Maximum-Likelihood Classifier for
detecting urban change. Photogrammetric Engineering
and Remote Sensing, 69, pp. 981990.

Card, D.H., 1982, Using known map category marginal


frequencies to improve estimates of thematic map
accuracy, Photogrammetric Engineering and Remote
Sensing, 48, pp. 431439.

16

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA


(Studi Kasus Pada Pulau Pandang)
Alexander M. A. Khan1), Fedi A. Sondita1) & Budhi H. Iskandar1)
1)

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung

Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011

ABSTRAK
Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahaman dan pengetahuan menyangkut
kelestarian lingkungan. Pulau Pandang seluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yang
dapat dikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukan berdasarkan pada pengkajian
kondisi Pulau Pandang dan perairan di sekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenis
pantai, substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertama untuk konservasi penyu
dan ekosistem terumbu karang; yang kedua untuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasi
kegiatan ekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untuk mencegah dampak kegiatan
wisata terhadap zona konservasi. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan
adalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalan pantai, olahraga pantai lainnya,
berkemah dan sebagainya.
Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona pesisir dan bahari, daya dukung

pulau
ABSTRACT
Ecotourism is nature-based tourism that involves education and concern on natural environment
and ecological sustainability. Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resources that
can be developed to be ecotourism destination. The islands zonation and its surrounding waters have
been established by considering natural condition, such as shore line, shore type, substrate, temperature,
coral reefs and coral fishs type. The first zone is allocated for conservation purpose especially for
turtle nesting and coral reefs; the second zone is allocated for supporting and facilitates for tourism
activities, and the last zone is buffer zone for preventing direct impact of tourism activities on the
conservation zone (the first zone). Tourism activities recommended in the utilization zone are: diving,
snorkeling, swimming, sport fishing, beach tracking, other beach sports, camping and other reasonable
ecotourism activities.
Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism, coastal and marine zonation, island

carrying capacity

Korespondensi Penulis:
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 40600. Email: alexander.khan@unpad.ac.id

17

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN
Menurut Alcock & Crossland (1999) dan Gunn (1994)
bahwa pengembangan strategi pengelolaan daerah
ekowisata didasarkan pada sistem zonasi berbagai
bentuk pemanfaatan dan prinsip-prinsip ekologis.
Kesesuaian lahan untuk pengembangan wisata bahari
mutlak memerlukan dukungan data dan informasi yang
benar dan berbasiskan ilmu pengetahuan, meliputi: (1)
kondisi kawasan (2) daya dukung kawasan (3) sumber
daya hayati dan non hayati serta (4) kondisi sosial
ekonomi masyarakat (Prasetyo et al., 1996 yang diacu
dalam Arifin, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji potensi
ekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara,
Sumatera Utara, (2) merancang pengembangan
ekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara,
Sumatera Utara yang sesuai dengan kondisi alam dan
manfaat penelitian ini adalah: memberikan masukan bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara dan pihak terkait
lainnya tentang pengembangan suatu kawasan wisata,
khususnya kawasan ekowisata bahari.

instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun pada


perpustakaan yang telah dikumpulkan, diantaranya; data
saran dan prasarana wisata, rencana strategis kabupaten
dan peta-peta pendukung (rupa bumi, lingkungan pantai,
bathimetri dan tata-ruang lahan).
2. Analisis Data
a. Potensi Pulau Pandang
Data kondisi dan potensi Pulau Pandang diantaranya
adalah: (1) data ekosistem dan keberadaan sumber daya
alam dan (2) ketersediaan air tawar, dimana jarak lokasi
dengan sumber air tawar jika kurang dari 2 km merupakan
kondisi yang ideal bagi pariwisata (Bakosurtanal, 1996).
Kapasitas volume air tawar untuk memprediksi jumlah
wisatawan yang dapat berkunjung ke pulau tersebut.
Untuk mengetahui volume air tawar yang ada di pulau
tersebut digunakan rumus:
Volume = Luas alas x tinggi air
b. Analisis Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata
Bahari

METODE PENELITIAN

1.

Tempat dan Waktu Penelitian

Analisis spasial digunakan untuk mengidentifikasi


kesesuaian lahan untuk berbagai peruntukan dan
digambarkan dalam hirarki kesesuaian lahan. Dalam
penelitian ini, kelas kesesuaian lahan dibagi ke dalam 4
(empat) kelas (Tabel 1).

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pandang


Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Propinsi
Sumatera Utara. Pengumpulan data sekunder pada bulan
Februari sampai dengan Maret 2004 dan survei lapangan
untuk memperoleh data primer dilakukan pada bulan
Maret sampai dengan Oktober 2004.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah peralatan survei lingkungan perairan, seperti:
handheld GPS, kompas, current meter, thermometer,
handheld refractor meter, sechi disc, kayu ukur, komputer,
stopwatch, underwater equipment dan peralatan scuba
diving. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara
lain: peta-peta laut dan daratan, kuisioner dan software
Sistem Informasi Geografis.
1. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data utama (primer)
dan data penunjang (sekunder), diperoleh dari
pengamatan langsung dan tidak langsung. Data primer
yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung,
diantaranya adalah: peta penggunaan lahan, inventarisasi
ekosistem dan keberadaan sumber daya alam. Data
sekunder berupa data yang telah tersedia di berbagai

Pembuatan Peta Digital

Parameter kesesuaian lahan merupakan hasil


modifikasi dari Bakosurtanal (1996) yaitu untuk kegiatan
wisata pantai: kecepatan arus menjadi luasan pantai,
kecerahan perairan menjadi panjang pantai untuk wisata
bahari.
2.

Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Pariwisata

Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata


pantai yang dikeluarkan oleh WTO (1981), (Tabel 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Ekosistem dan Keberadaan Sumberdaya
Alam
A. Terumbu karang
Penentuan posisi terumbu karang dan keberadaan
sumber daya alam menggunakan global positioning
system (GPS) dan peta dasar. Analisis yang digunakan
dalam menginventarisir keberadaan sumber daya alam,

18

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

Gambar 1.

Terumbu karang.

Tabel 1.

Kelas kesesuian lahan


Kel as kesesua ian
S-1
(sanga t sesuai )

S2 (S esuai ),

S3
(S esuai be rsya rat)

N (Tida k sesua i)

Pen jelasan
Da erah ini tid ak mempun ya i pemb ata s (pen ghamb at)
ya ng seri us untuk men eta pkan perla kuan ya ng di berika n
ata u h anya me mp unyai pemba ta s (pan gha mb at) yang
bera rti atau be rpen garu h se ca ra nyata terh ada p
peng gun aann ya da n tida k akan mena ikka n masuka n
ata u tin gkatan pe rlakuan yan g dibe rikan
Da erah ini memp unyai p embatas (pe ngh ambat) yan g
agak serius un tuk memper ta hanka n tin gkat pe rlakua n
ya ng ha rus ditetap ka n. Pemba ta s ( peng hamba t) ini aka n
me ning ka tkan ma su kan atau ting ka ta n perl akuan yan g
dipe rlukan
Da erah ini memp unyai p embatas (pe ngh ambat) yan g
se rius untuk me mp ertaha nkan ting ka t per lakuan yan g
haru s ditetap ka n. P embatas (pen gha mb at) a ka n lebi h
me ning ka tkan ma su kan atau ting ka ta n perl akuan yan g
dipe rlukan
Da erah in i me mpunyai p embatas (pen gha mb at)
perman en, sehi ngga menceg ah seg ala ke mu ngkina n
perla ku an pa da dae rah tersebu t

S kor
71 8 840

51 4 717

27 4 513

=273

Sumber: modifikasi dari BAKOSURTANAL, (1996).

Tabel 2.

Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata pantai


2
No
Kapasitas
m /orang
orang/ 20 50 m pantai
10
2,0 5,0
Kelas Rendah
15
1,5 3,5
Kelas Mewah
1
20
1,0 3,0
Kelas Istimewa (VIP)
30
0,7 1,5
Penginapan daerah pesisir = 200
300 liter/hari/orang
2
Air Bersih
Penginapan daerah pesisir pantai
tropik = 500 1.000 liter/hari/orang
Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10
2
m /bed
Menengah, ruang yang disyaratkan =
3
Akomodasi (Penginapan)
2
19 m /bed
Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30
2
m /bed
Sumber: WTO (1981) yang diacu dalam Arifin (2001)

ialah dengan menggunakan metode ecological rapid


assessment, yaitu suatu metode pendugaan dengan cara
mengamati secara seksama keberadaan suatu
ekosistem di suatu daerah atau wilayah. Salah satu jenis

terumbu karang yang sudah langka adalah jenis


Tubastrea sp dan menurut beberapa ahli tidak semua
daerah terumbu karang di Indonesia mempunyai jenis
karang ini (Gambar 2). Jenis-jenis karang yang ditemukan

19

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 2.

Genus Tubastrea sp (tanda panah).

Gambar 3.

Contoh kerusakan terumbu karang akibat; (a) jaring dan (b) jangkar.

dalam penelitian ini, diantaranya dari jenis: Porites sp,


Pocillopora sp, Acropora sp, Tubastrea sp, Zoanthid sp,
Sponge sp dan Porites sp.
Kerusakan terumbu karang di Pulau Pandang banyak
diakibatkan oleh ulah manusia. Kondisi perairan Pulau
Pandang yang relatif tenang dijadikan sebagai daerah
peristirahatan (fishing base) oleh para nelayan yang
daerah operasinya (fishing ground) berada di sekitar
perairan Pulau Pandang. Kerusakan terumbu karang yang
diketahui selama penelitian, diantaranya disebabkan oleh
jangkar dan alat tangkap sejenis pukat teri (trawl) yang
banyak dioperasikan oleh nelayan di sekitar lokasi
penelitian.
2. Sumber Daya Ikan
Sumberdaya hayati yang dapat diamati, diantaranya
adalah Crustacea spp (udang dan kepiting), Molusca sp
(kerang-kerangan) dan Echinodermata (teripang dan bulu
babi). Jenis ikan yang tercatat selama penelitian ini,
diantaranya adalah: Abudefduf spp, Chromis spp, Scarus
spp, Achanturus spp, Lutjanus spp, Caesio spp, Zanclus
spp, Thalasoma spp, Neopomacentrus spp, heniochus
spp, Pterocaesio spp, Epinephelus spp, Neoglyphidodon

spp, Scolopsis spp, Anampses spp, Myripristis spp,


Sargocentron spp, Siganus spp, Labroides spp,
Halichoeres spp, Dischistodus spp dan Pomachantus
spp (Gambar 4).
Jenis biota laut lainnya yang banyak dijumpai di lokasi
penelitian, diantaranya, jenis seaweed, Diadema sp (bulu
babi), teripang dan penyu.
3. Pantai Pasir
Dengan luasan yang hanya sekitar 7 hektar, Pulau
Pandang hanya memiliki sekitar 2 3 hektar pantai.
Sebagian dari luasan tersebut merupakan tempat
bertelurnya (nursery ground) penyu laut. Untuk
kepentingan konservasi, pantai yang biasa digunakan
oleh penyu untuk bertelur sangat perlu di jaga keberadaan
dan kelestariannya. Pantai-pantai yang terdapat di Pulau
Pandang memiliki panjang pantai antara 120 sampai
dengan 360 meter. Panjang pantai yang ada ini dapat
digunakan untuk berbagai keperluan dalam menunjang
kegiatan ekowisata maupun untuk kegiatan konservasi.
Lokasi penyu bertelur memiliki luasan 40 x 30 meter atau
sekitar 120 meter persegi dan terletak di sebelah timur
pulau, kondisi lokasi penyu bertelur.

20

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)

Gambar 4.

Beberapa jenis ikan-ikan karang di Pulau Pandang.

4. Pantai berbatu
Pantai berbatu dapat di jumpai pada bagian selatan
dan utara Pulau Pandang. Batu-besar menjulang dan
mengelilingi pulau sehingga tidak dijumpai adanya pantai
berpasir di bagian tersebut. Panjang garis pantai berbatu
di sebelah selatan sekitar 270 meter dan disebelah utara
memiliki panjang garis pantai sekitar 480 meter.

Kesesuaian Pulau Dan Perairan Sekitar Pulau


Pandang
berhubungan dengan kegiatan rekreasi pantai
dengan fokus pada kegiatan snorkling dan menyelam.
Analisis ini berguna untuk pembuatan peta digital,
menurut kriteria untuk pariwisata pantai dan bahari yang
dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasil
modifikasi.

Gambar 6.

Pantai berbatu.

5. Ketersediaan Air Bersih


Saat ini, sumber air bersih yang ada di Pulau Pandang
berasal dari sumur galian peninggalan Belanda berjarak
20 meter dari tepi pantai di sebelah barat. Sumur galian
tersebut memiliki kedalaman air sedalam 8 meter dengan
diameter sumur sebesar 1 meter. Dari kondisi tersebut,
dapat diperkirakan bahwa volume air maksimal dari sumur
galian tersebut adalah sebanyak 6,28 m3 air tawar atau
setara dengan 6000 liter air.
Penentuan zonasi dalam kawasan Pulau Pandang
dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa
parameter biofisik yang ada. Pariwisata yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang

1. Analisis Kesesuaian Lahan Darat Untuk Kegiatan


ekowisata
Kelas kesesuaian untuk pariwisata pantai
ditentukan dengan rencana kegiatan pariwisata pada
kawasan tersebut. Jenis kegiatan pada pariwisata pantai
yang bisa dilakukan, seperti berjalan di sepanjang pantai,
permainan pasir, berjemur, olahraga pantai, berenang,
berperahu, dan kegiatan lainnya yang memungkinkan
untuk dilakukan di pantai. Parameter pembatas untuk
kegiatan di pantai adalah: (1) kedalaman pantai, (2)
tutupan pantai, (3) tipe pantai, (4) substrat, (5) panjang
pantai dan (6) luasan pantai Analisis kesesuaian untuk
kegiatan pariwisata pantai diukur menurut pemberian
bobot dan skor bagi tiap parameter.

21

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Tabel 3.

Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata pantai di Pulau Pandang

No.

Lokasi

Pantai 1

Pantai 2

Pantai 3

Pantai 4

Keterangan:
K
= Kategori
S
= Skor
N
= Nilai

Kedalama
n
K S N
S 1 1
1 8 8
0
S 1 1
1 8 8
0
S 1 1
1 8 8
0
S 1 1
1 8 8
0

S1
S2
S3

Substrat
K S
S 1
1 6
S 1
1 6
S 1
1 6
S 1
1 6

N
1
2
8
1
2
8
1
2
8
1
2
8

Luasan
pantai
K S N
S 1 1
1 4 4
0
S 6 6
3
0
S
2

1
4

S
2

1
4

1
4
0
1
4
0

Parameter
Panjang
Tipe
pantai
pantai
K S N K S N
S 1 9 S 1 8
1 5 0 1 4 4

Penutupa Nilai Ket


n lahan total
K S N
S 1 8 70 S1
1 4 4 6

S
3

3
0

S
3

1
2

7
2

S
1

1
4

8
4

55
4

S2

S
2

1
0

6
0

S
2

1
4

8
4

S
1

1
4

8
4

67
6

S2

S
1

1
5

9
0

S
1

1
4

8
4

S
1

1
4

8
4

70
6

S1

= Sangat Sesuai
= Sesuai
= Sesuai Bersyarat

Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1.


(a)

Sangat sesuai, S1 (highly suitable)

Pantai yang termasuk pada kondisi sangat sesuai ini


(S1) dapat dikatakan sebagai pantai yang tidak memiliki
faktor pembatas yang serius untuk dijadikan sebagai
lokasi pariwisata pantai dengan jenis kegiatan yang dapat
dilakukan diantaranya, adalah: berenang, bermain pasir,
olahraga air dan pantai, berjemur, berjalan santai di pantai,
kemah dan menikmati pemandangan pantai. Berdasarkan
pada analisis sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata
pantai, didapatkan suatu bagian pantai di Pulau Pandang
yang termasuk ke dalam kategori sangat sesuai, yaitu
pada pantai 1 dan pantai 4 dengan nilai 706 (Tabel 3).
Pantai 1 dapat dikembangkan menjadi kawasan
pemanfaatan (zona pemanfaatan) untuk menunjang
kegiatan ekowisata yang ada. Berdasarkan pada
pengalaman penulis, jarak antara pantai yang ada di
Pulau Pandang tersebut dengan sumber air tawar berjarak
kurang dari 2 km.
(b)

kriteria cukup sesuai, S2 (moderately suitable) dengan


nilai 554 dan 676. Faktor-faktor yang menjadi pembatas
dalam pengembangan wisata pantai, diantaranya adalah
luasan pantai yang kurang, panjang pantai yang tidak
memadai, tipe pantai yang ada dan jenis penutupan lahan
yang ada.
2. Analisis Kesesuaian Perairan Untuk Kegiatan
ekowisata
Aktifitas pariwisata bahari dapat difokuskan pada kegiatan
menyelam dan snorkling. Parameter pembatas dalam
kegiatan menyelam dan snorkling adalah: (1) kecerahan
perairan, (2) daerah terumbu karang, (3) Kecepatan arus
dan (4) kedalaman perairan. Setiap parameter mendapat
nilai dan skor sesuai dengan tingkat kepentingannya bagi
kegiatan olahraga bahari, seperti snorkling dan menyelam
(Lampiran 1).
a. Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)

Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)

Pulau Pandang ini ternyata mempunyai faktor


pembatas yang cukup serius untuk dijadikan kawasan
pariwisata pantai, namun demikian masih cukup sesuai
untuk dikembangkan.
Berdasarkan pada analisis menggunakan sistem
penilaian kelayakan untuk pariwisata bahari yang
dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasil
modifikasinya diperoleh bahwa ada 2 (dua) bagian pantai
di Pulau Pandang, yaitu pantai 2 dan 3 yang memiliki

Hasil analisis kesesuaian dalam pengembangan


ekowisata bahari di Pulau Pandang menurut kajian dari
Bakosurtanal (1996), dan modifikasinya ternyata hanya
menempati kategori cukup sesuai (S2, moderately
suitable). Nilai yang diperoleh untuk tiap-tiap parameter
yang diukur pada setiap stasiun yang ada hanya
memperoleh nilai paling kecil, sebesar 608 dan paling
besar memperoleh nilai 680 (Tabel 4). Parameter yang
sangat mencolok untuk dijadikan pengukuran kategori
yang ada adalah kondisi keberadaan terumbu karang di

22

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)


Tabel 4.

Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata bahari di Pulau Pandang

Stasiun
pengamata
n

Kedalaman

Suhu
perairan

Kecepata
n arus

S
1

14

84

S
1

1
0

8
0

S
2

1
2

S
2

12

72

S
1

1
0

8
0

S
2

1
2

S
2

12

72

S
1

1
0

8
0

S
2

1
2

S
1

14

84

S
1

1
0

8
0

S
1

1
8

S
2

12

72

S
1

1
0

8
0

S
2

1
2

S
1

14

84

S
1

1
0

8
0

S
1

1
8

Parameter
Kecerahan
perairan

N
1
2
0
1
2
0
1
2
0
1
8
0
1
2
0
1
8
0

Terumbu
karang
(Genus)
K S N

Ikan
karang
(Genus)
K S N

Nilai Ket
total

S
2

1
8

18
0

1
6

S
1

2
0

16
0

64
S2
0

S
3

1
6

16
0

1
6

S
1

2
0

16
0

60
S2
8

S
3

1
6

16
0

1
6

S
1

2
0

16
0

60
S2
8

S
3

1
6

16
0

1
6

S
1

2
0

16
0

68
S2
0

S
3

1
6

16
0

1
6

S
1

2
0

16
0

60
S2
8

S
3

1
6

16
0

1
6

S
1

2
0

16
0

68
S2
0

Keterangan:
K
S
N
Sts

= Kategori
= Skor
= Nilai
= Stasiun

S1
S2
S3

= Sangat Sesuai
= Sesuai
= Sesuai Bersyarat

Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1


pulau Pandang yang hanya terdata sekitar 6 genus. Untuk
ikan-ikan karang, data yang berhasil dihimpun dalam
penelitian ini ada sekitar 22 genus dan kondisi terumbu
karang yang ada banyak yang mengalami kerusakan
akibat jangkar dan jaring nelayan.
3. Daya dukung kawasan untuk kegiatan ekowisata
di Pulau Pandang
Istilah daya dukung (carrying capacity) dalam
penelitian ini adalah kemampuan dari Pulau Pandang
untuk dapat menampung segenap aktivitas manusia yang
akan memanfaatkan Pulau Pandang sebagai kawasan
ekowisata, khususnya ekowisata bahari. Kebutuhan
setiap orang akan ruang dan jenis kegiatan yang
diinginkan adalah sangat bervariasi dan relatif, bergantung
pada latar belakang budaya, kemampuan ekonomi dan
gaya hidup (Tabel 5). Langkah dalam menganalisis daya
dukung kawasan Pulau Pandang dilihat dari data panjang
garis pantai, ketersediaan air tawar dan luas lahan untuk
akomodasi. Setelah diketahui panjang garis pantai,
volume air tawar yang ada serta luasan dari lahan yang
ada di pulau pandang, kemudian akan dibandingkan
dengan standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata

di wilayah pesisir yang dikeluarkan oleh WTO (1981) yang


diacu dalam Dahyar (1999).
a. Panjang Pantai
Pantai pasir merupakan salah satu bentang alam yang
dapat dijadikan objek wisata. Banyak wisatawan yang
menggemari wilayah pantai untuk berbagai aktivitas
wisatanya, seperti: berjalan di pantai, menikmati
keindahan pantai, berjemur di pantai, olahraga di pantai
dan lain sebagainya.
Daya tampung 2 (dua) bagian pantai di Pulau
Pandang diperkirakan bahwa untuk kelas rendah paling
sedikit dapat menampung 12 orang dan paling banyak
dapat menampung 32 orang. Sedangkan untuk kelas
menengah, paling sedikit dapat menampung 8 orang dan
paling banyak dapat menampung 23 orang. Untuk kelas
mewah, paling sedikit dapat menampung 6 orang dan
paling banyak dapat menampung 17 orang selanjutnya
untuk kelas istimewa (VIP) kapasitas daya tampung
Pulau Pandang paling sedikitnya dapat menampung 3
orang dan paling banyak untuk kelas istimewa (VIP) ini
sebanyak 10 orang (Tabel 6).

23

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Tabel 5.

Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata di wilayah pesisir

No
1

Kapasitas pantai
Kelas Rendah
Kelas Menengah
Kelas Mewah
Kelas Istimewa (VIP)

Air Bersih

Akomodasi (Penginapan)

m /orang
10
15
20
30

orang/ 20 50 m pantai
2,0 5,0
1,5 3,5
1,0 3,0
0,7 1,5

Penginapan daerah pesisir = 200


300 liter/hari/orang
Penginapan daerah pesisir pantai
tropik = 500 1.000 liter/hari/orang
Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10
2
m /bed
Menengah, ruang yang disyaratkan =
2
19 m /bed
Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30
2
m /bed

Sumber : WTO (1981) yang diacu dalam Dahyar (1999)

b. Ketersediaan Air Tawar


Ketersediaan air tawar di Pulau Pandang hanya
berasal dari sumur galian peninggalan Belanda. Estimasi
volume air tawar yang berasal dari sumur galian yang
ada sebesar 6.000 liter.
Daya dukung Pulau Pandang menurut kapasitas atau
ketersediaan air tawar di pulau tersebut hanya dapat
menampung wisatawan antara 6 12 wisatawan per hari
(Tabel 7). Menurut PERPAMSI (Persatuan Perusahaan
Air Minum di Seluruh Indonesia) (2005) kebutuhan air
untuk kegiatan aktifitas ekowisata di pulau tersebut dapat
Tabel 6.

menampung orang antara 23 sampai dengan 200 orang


per hari.
Kapasitas air tawar yang ada, jika hanya 60% yang
dapat dipergunakan atau setara dengan 3.600 liter, maka
pulau tersebut hanya dapat menampung wisatawan
menurut WTO (1981) sekitar 4 sampai dengan 7 orang
sedangkan menurut PERPAMSI (2005) pulau tersebut
dapat menampung antara 14 sampai dengan 120 orang
per hari.

Estimasi data tampung wisatawan berdasarkan kapasitas pantai pasir di Pulau Pandang
Estimasi panjang pantai terhadap
daya tampung
Panjang pantai pasir (m)
Daya tampung (orang)
* Kelas rendah
* Kelas menengah
* Kelas mewah
* Kelas istimewa (VIP)

Lokasi
Pantai 1
321

Pantai 2
121,8

32
23
17
10

12
8
6
3

Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1

Tabel 7.

Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan ketersediaan air tawar


Ketersediaan air tawar
6.000 Liter
Daya tampung (orang per hari) berdasarkan kebutuhan air di
6 12 orang per
daerah pesisir pantai tropik = 500 1000 liter per hari per orang
hari

24

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)


c. Lahan Untuk Akomodasi
Luas lahan untuk akomodasi sangat terkait erat
dengan luasan pantai dengan daya tampung wisatawan
yang ada di Pulau Pandang.
Untuk kelas rendah Pulau Pandang paling sedikit
dapat menampung orang sebanyak 183 orang dan paling
banyak sekitar 578 orang, sedangkan untuk kelas
menengah, paling sedikit dapat menampung orang
sebanyak 96 orang dan paling banyak sekitar 304 orang.
Untuk kelas istimewa, paling sedikit dapat menampung
orang sebanyak 61 orang dan paling banyak dapat
menampung orang sebanyak 193 orang (Tabel 8).

Tabel 8.

dapat dilakukan pada zona ini, antara lain adalah: hiking,


sport fishing, sun bathing, water sports, diving, swimming
dan kegiatan olahraga air lainnya. Pada zona ini, tidak
ada pemanfaatan lahan yang bersifat permanen, seperti
adanya bangunan bagi tujuan ekowisata. Zona ini, dapat
menampung antara 10 sampai dengan 36 orang untuk
melakukan aktivitas ekowisata.
(3). Zona pemanfaatan (Pantai 1 dan 2)
Pembangunan infrastruktur yang menunjang
segenap kegiatan baik itu kegiatan konservasi maupun
kegiatan ekowisata terpusatkan pada zona ini. Zona ini
terletak di pantai 1 dan 2 dengan daya tampung
maksimum 120 orang wisatawan berdasarkan pada

Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan luasan pantai di Pulau Pandang


Lokasi

Luasan dan daya


tampung
2

Luas lahan pantai (m )


Daya tampung (orang)
* Ekomomi
* Menengah
* Istimewa

Pantai 1

Pantai 2

5.776

1.827

578
304
193

183
96
61

Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1

d. Zonasi dan aktivitas ekowisata di Pulau Pandang


dan perairan sekitarnya
Aktivitas yang dapat dilakukan sangat berbeda pada
tiap zonasi. Zonasi bertujuan untuk memberikan arahan
bagi penataan ruang pemanfaatan lahan daratan dan
perairan agar tetap terjaga keaslian dan keunikannya.
(1). Zona konservasi (Pantai 3)
Zona konservasi berada di pantai 3 dan perairan di
depannya. Kegiatan dapat dirancang dengan tujuan untuk
mengkonservasi penyu laut dan terumbu karang yang
ada pada lokasi tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan
antara lain adalah kegiatan penelitian dan pengembangan
khusus bagi habitat penyu dan ekosistem terumbu karang
jenis langka, seperti: Tubastrea sp. Selain kegiatan
penelitian dan pengembangan bagi konservasi, tidak
diperbolehkan kegiatan lainnya pada lokasi tersebut.
(2). Zona Penyangga (pantai 4)
Zona ini ditujukan sebagai daerah peralihan antara
zona konservasi dan zona pemanfaatan. Zona ini terletak
di pantai 4 dan perairan di depannya. Jenis kegiatan yang

ketersediaan air tawar. Daya tampung ini menjadi lebih


kecil, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 32 orang
apabila dihitung menurut panjang garis pantai yang
tersedia. Perhitungan menurut luasan lahan untuk
akomodasi menunjukkan daya tampung maksimum
sekitar 61 orang kelas VIP. Dengan demikian, pulau ini
agar ditujukan bagi wisatawan kelas VIP dan hanya dapat
menampung sekitar 61 orang agar tetap sesuai dengan
daya dukung pulau tersebut. Selain untuk tujuan
akomodasi, pada zona ini juga dapat dilakukan kegiatan
wisata pantai, seperti: sun bathing, hiking, beach
tracking, camping, banana boat dan sebagainya.
KESIMPULAN
Pulau Pandang dan perairan sekitarnya memiliki
ekosistem terumbu karang, pantai berpasir, pantai
berbatu, daerah perbukitan, vegetasi hutan dan semak
belukar. Salah satu pantai di pulau ini merupakan habitat
penyu untuk bertelur pada musim tertentu. Berdasarkan
pada kriteria panjang pantai, pulau ini dapat menampung
3 32 orang, sedangkan menurut kriteria ketersediaan
air tawar pulau ini menampung 4 120 orang. Namun
demikian, kriteria luasan pantai untuk keperluan
akomodasi (panginapan) membatasi daya tampung pulau
ini pada 3 32 orang. Kelestarian dan kekhasan pulau

25

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

tersebut perlu dijaga sehingga jumlah wisatawan yang


diperbolehkan agar dibatasi hanya sekitar 61 orang.
Secara umum pulau tersebut sangat sesuai (S2,
moderately suitable) untuk pengembangan kegiatan
ekowisata bahari dalam jumlah terbatas dan meliputi
kegiatan berikut: menyelam, berenang, snorkling, hiking,
sun bathing, beach tracking, beach sports, fishing sport,
camping dan lain sebagainya.
Kegiatan ekowisata yang dikembangkan di Pulau
Pandang hendaknya merupakan kegiatan ekowisata
dalam jumlah terbatas sesuai dengan daya dukung
lahannya. Disarankan agar dilakukan upaya-upaya
rehabilitasi dan konservasi terhadap ekosistem yang ada
di pulau tersebut, khususnya untuk ekosistem terumbu
karang dan pantai pasir tempat penyu bertelur.
Rehabilitasi dan konservasi ini dimaksudkan untuk
memperbaiki kondisi ekosistem yang ada agar dapat pulih
kembali.
PERSANTUNAN
Penulis dalam kesempatan ini bermaksud
menghaturkan ucapkan terima kasih yang setinggi-tinggi
kepada beberapa pihak yang telah membantu penulisan
penelitian, diantaranya:
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Badan
Perencanaan Pembangunan Kabupaten Asahan, Badan
Perencanaan Pembangunan Kabupaten Batubaru, Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, PT.
Multi Mas Nabati, Asahan, PT. Inalum Asahan, Jurnal
Segara P3SDLP Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Medan Diving
Club (MeDiC) Serta masyarakat Kabupaten Batubara
yang telah banyak membantu.
DAFTAR PUSTAKA
Alcock, D & Crossland C. 1999. Tourism: The key player
in the ecologically sustainable development of the
Great Barrier Reef. CRC Reef Research Center. James
Cook University Townsville. Queensland Australia:
Indonesian Journal Of Coastal and Marine Resources.
Vol. 2 No. 1 PKSPL IPB.
Arifin T. 2001. Evaluasi kesesuaian kawasan pesisir dan
arahan pengembangannya bagi pariwisata bahari di
Teluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan tesis.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor: (tidak diterbitkan).
Asahan Dalam Angka. 2001. Pemerintah Kabupaten
Asahan. Kisaran.
Asahan Dalam Angka. 2002. Pemerintah kabupaten
Asahan. Kisaran.

Asahan Pos No. 68/Tahun II/6-11 Juli. 2004. Untuk


meningkatkan keamanan Selat Malaka, Indonesia,
Malaysia dan Singapura akan gelar patroli bersama.
Kisaran.
Azman S. 2001. Analisis kebijakan pengembangan
pariwisata bahari dalam rangka meningkatkan
keragaan perekonomian wilayah Kabupaten Padang
Pariaman. Laporan tesis. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB(tidak diterbitkan).
Bakosurtanal 1996. Pengembangan prototipe wilayah
pesisir dan marine Kupang Nusa Tenggara Timur.
Pusbina-Indrasig. Bakosurtanal. Cibinong: (tidak
diterbitkan).
Canter, L.W & Loren GH. 1979. Handbook Of Variables
For Environmental Impact Assessment. Michigan:
Ann Arbor Science Publisher Inc.
Clark, J.R. 1991. Carrying capacity and tourism in coastal
and marine areas. Parks. Vol 2.3.
Dahuri, R. 1993. Daya dukung lingkungan dan
pengembangan pariwisata bahari berkelanjutan.
Makalah. Disajikan Pada Seminar Nasional
Manajemen Pesisir Untuk Turisme. Magister
Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, R, J Rais, SP Ginting & MJ Sitepu. 1996.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Jakarta. PT. Pradnya Paramita.
Dahuri R. 1999. Kebijakan dan strategi pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan.
Makalah. Disajikan Pada Pelatihan Untuk Pelatih
Bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Bogor: IPB (Tidak diterbitkan).
Dahyar M. 1999. Penerapan pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir terpadu dalam pembangunan
pariwisata di Kepulauan Derawan Propinsi Kalimantan
Timur. Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor:
IPB.
Dante 2001. Red coral for tourism?: 10 Principles and
challenges for a sustainable tourism development in
the 21st. Working Group On Tourism and Development.
www.ecotourism.org.
Davies, T. & Sarah, C. 2000. Enviromental implication of
the tourism industry. Discussion Paper 00-14.
Resouces For The Future. www.ecotourism.org.

26

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)


[ESD] Ecotourism Society and Development Working
Group. 1991. Tourism. final report. Government
Publishing Services. Canberra: Australia.
Fennel, D.A. & Eagles PFJ. 1990. Ecotourism in Costa
Rica: A Conceptual Framework. Journal of Park and
Recreation Administration 8.
Gunn CA. 1994. Tourism Planning: Basics, Concepts,
Cases. 3rd ed. Taylor & Francis. Washington DC:
USA.
Hidayati. D. Mujiyani. L Rachmawati&, A Zaelani. 2003.
Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur.
Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Ikawati Y, PS Hanggarawati, H Parlan, H Handini&, B
Siswodihardjo. 2001. Terumbu Karang di Indonesia.
Jakarta Penerbit Masyarakat Penulis Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi berkerja sama dengan
Kantor Menteri Negara Rist dan Teknologi.
Ilahude AG&, S Liasaputri. 1980. Teluk Jakarta : Sebaran
Normal Hidrologi di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta.

Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penertbit


Djambatan.
ERPAMSI] Persatuan Perusahaan Air Minum di Seluruh
Indonesia. 2005. Pelayanan air bersih dan sanitasi
dasar masih lemah. www.perpamsi.com
[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan - Institut Pertanian Bogor. 2002. Atlas Pesisir
Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu Propinsi
Sumatera Utara. Laporan Akhir. Institut Pertanian
Bogor. Bogor: IPB.
Rangkuti F. 1997. Analisa SWOT Teknik Membedah
Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia.
Saifullah. 2000. Kajian pengembangan pariwisata bahari
dan kontribusinya pada kesejahteraan masyarakat
pesisir di Pulau Weh (Sabang). Thesis. Program
Pascasarjana IPB. Bogor: IPB.
Sunarminto T. 2002. Dampak ekoturisme wisata bahari
Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat terhadap
ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan.
Laporan Tesis. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB.

[Insula-INCID] Insula-International Scientific Council For


Island Development. 1995. Piagam Pariwisata
Berkelanjutan (Charter For Sustainable Tourism) hasil
dari World Conference On Sustainable Tourism
Meeting di Lanzarote, Canary Island. Spanyol. http:/
/www.insula.org/tourism/charte.htm.
Linberg K. 1991. Policies For Maximising Nature
Tourisms Ecological and Economic Benefits. World
Resources Institute: Washington DC.
McLean J&, Stepen W. 1997. Developing Ecotourism: A
Community Based Aprroach. School of Leisure and
Tourism Studies. UTS. Sydney
Moscardo G&, Kim E. 1999. Sosial Science Research
Needs For Sustainable Coastal and Marine Tourism.
CRC Reef Research Center. James Cook University.
Townsville Old: Australia.

27

Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)


Lampiran 1. Peta Lokasi dan Rencana Zonasi Pulau Pandang

28

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH


POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA
HINDIA SELATAN JAWA-BALI
Teja Arief Wibawa1)
1)

Peneliti pada Balai Penelitian Observasi Laut, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP

Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011

ABSTRAK
Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggungjawab
dan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjang
siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai
ekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat penting
dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secara
near real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapat
dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata
besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar
selama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapan
tuna yang berbasis di Benoa, Bali. Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface
chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA),
dan eddy kinetic energy (EKE). Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinat
penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive
model (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksi
sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk
persamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik memiliki tingkat
akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial
penangkapan tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November, menunjukkan adanya
kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata sebenarnya.
Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM

ABSTRACT
Responsible and sustainable fisheries management require essential information of identified
important habitat of each fish species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large pelagic
fish which has a high economic value in Indonesian waters. Oceanographic factors have an important
role in determining the distribution of bigeye tuna habitat. The availability of oceanographic satellite
data in near real-time and continuously observe condition of some oceanographic parameters, can be
used as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the research was to predict the
distribution of bigeye tuna potential fishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali during
southeast monsoon period. Bigeye tuna catchment data encompassed during southeast monsoon
period of 2004-2007 were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali. Oceanographic variables
were sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface
height anomaly (SSHA) and eddy kinetic energy (EKE). Extraction of each SSC, SST, SSHA and EKE
value on each bigeye tuna fishing ground were performed. Data analysis was performed using generalized
additive model (GAM). The selected GAM equation was used to predict the distribution of bigeye tuna
potential fishing ground. GAM analysis revealed that GAM which constructed from the combination of
SSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracy in explaining hook rate of bigeye
tuna variation. Monthly prediction of bigeye tunas potential fishing ground on June, July, August,
September and November, indicated its suitability with the real bigeye tuna fishing ground.
Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM
Korespondensi Penulis:
Jl. Baru Perancak,Negara-Jembrana,Bali 82251.

Email: tejaarief@gmail.com

29

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN
Perairan Indonesia memiliki sumber daya perikanan
pelagis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi.
Hampir sebagian besar jenis ikan pelagis besar yang
ditemukan di Perairan Indonesia memiliki nilai ekonomis
tinggi dengan tingkat penangkapan pada beberapa
wilayah sudah mendekati overfishing. Pengelolaan
sumber daya perikanan pelagis yang berkelanjutan
memerlukan informasi secara spasial dan temporal
tentang kelimpahan suatu jenis ikan pelagis sepanjang
siklus hidupnya. Informasi tersebut diperlukan untuk
mengurangi tekanan antropogenik terhadap habitathabitat ikan pelagis (Valavanis et al., 2008; Robinson,
2010). Umumnya jenis ikan pelagis besar seperti tuna,
memiliki fish behaviour yang berbeda antara setiap jenis
tuna (Brill, 1994; Brock et al., 1997; Merta et al., 2004;
Lehodey et al., 2008). Perbedaan tersebut menyebabkan
pengelolaan sumber daya perikanan pelagis sebaiknya
didasari pada pola kelimpahan setiap jenis ikan pelagis
pada suatu skala ruang dan waktu.
Ikan tuna mata besar merupakan salah satu sumber
daya perikanan pelagis besar yang bernilai ekonomis
tinggi di Perairan Indonesia. Hanya beberapa wilayah laut
dalam Perairan Indonesia yang merupakan habitat tuna
mata besar, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelah
Selatan Jawa dan sebelah Barat Sumatra (Ukolseja,
1996; Davis & Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiarti
et al., 2005). Diduga telah terjadi overfishing penangkapan
tuna pada kedua wilayah tersebut, yang ditandai dengan
semakin turunnya laju tangkapan tuna dari tahun ke
tahun.
Selain mempunyai keanekaragaman sumber daya
ikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia juga
mempunyai karakteristik oseanografi yang unik dan
dinamis (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004;
Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di Perairan
Indonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena AsiaAustralian Monsoon (Tomczack & Godfrey, 2001;
Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007),
Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels et
al., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)(
Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnya
kondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam Perairan
Indonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang dan
waktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya
ikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalah
diperlukannya informasi yang akurat tentang kondisi
oseanografi optimum bagi habitat satu jenis sumber daya
ikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam Perairan
Indonesia.

Prediksi sebaran habitat tuna secara spasial dan


temporal telah dikembangkan dengan memanfaatkan
data satelit oseangrafi dan pemodelan statistika non
linear, diantaranya untuk ikan tuna albakora (Zainuddin
et al., 2008), ikan tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004)
dan ikan cakalang (Mugo et al., 2010). Satelit oseanografi
yang mampu menyediakan data near real time dan terus
menerus dari beberapa parameter oseanografi, dapat
digunakan untuk mengetahui dinamika sebaran
parameter-parameter oseanografi secara temporal
maupun spasial. Salah satu parameter oseanografi
tersebut adalah konsentrasi klorofil-a permukaan laut
(SSC). Data SSC yang diperoleh dari sensor-sensor
Ocean Color, telah mendapat apresiasi dari para ahli
oseanografi, setelah salah satu sensornya yaitu
SeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampu
menghasilkan data SSC global selama sepuluh tahun
berturut-turut (McClain, 2009). Sedangkan parameter
oseanografi lainnya yang dapat diperoleh dari satelit
oseanografi adalah Sea Surface Height Anomaly (SSHA).
Tidak seperti sensor-sensor Ocean Color, pengukuran
SSHA dengan menggunakan satelit altimetri merupakan
suatu terobosan baru dalam teknologi satelit oseanografi,
karena kemampuannya melakukan observasi tanpa
terpengaruh oleh kondisi awan (Fu & Cazenave, 2001;
Robinson, 2004). Observasi dengan menggunakan data
satelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbukti
dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi
yang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001;
Hendiarti et al., 2004; Susanto & Marra, 2005; Susanto
et al., 2006; Sartimbul et al., 2010).
Pemodelan statistika non-linear banyak digunakan
dalam analisis-analisis data ekologi, karena
kemampuannya mengakomodasi data ekologi yang
cenderung tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melakukan pemodelan statistika secara linear (Zuur et
al., 2009). Generalized additive model (GAM) merupakan
salah satu pemodelan statistika non-linear yang banyak
digunakan dalam analisis data-data bidang perikanan
(Valavanis et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk memprediksi sebaran daerah potensial
penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia selatan
Jawa-Bali pada musim timur dari data-data satelit
oseanografi.
METODE PENELITIAN
Wilayah penelitian adalah Samudra Hindia Selatan
Jawa-Bali dengan batasan koordinat 100 - 120 BT dan
5 - 20 LS. Data harian tuna mata besar periode musim
timur selama empat tahun (2004 2007) diperoleh dari
logbook perusahaan penangkapan tuna yang berbasis
di Pelabuhan Benoa, Bali. Data tersebut meliputi
koordinat penangkapan tuna mata besar, jumlah individual

30

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
tuna yang tertangkap, jumlah mata pancing yang
digunakan dan waktu penangkapan tuna. Data tersebut
diolah menjadi informasi tentang laju tangkapan tuna
pada setiap koordinat daerah penangkapan tuna (hook
rate). Data harian konsentrasi klorofil-a permukaan laut
(SSC) dan suhu permukaan laut (SST) harian dengan
periode yang sama dengan periode data tangkapan tuna
mata diperoleh dari sensor MODIS Aqua dengan resolusi
spasial 4 km. Data komposit 7 harian sea surface height
anomaly (SSHA) diperoleh dari satelit altimetri dengan
resolusi spasial 0.33. Sedangkan variabel eddy kinetic
energy (EKE) diperoleh dari perhitungan east component
of eddy velocity field (u) dan north component of eddy
velocity field (v) dari satelit altimetri dengan persamaan:

EKE 1 / 2 u 2 v 2

(Fu & Cazenave, 2001; Robinson, 2004).


Untuk menyamakan resolusi spasial dan
temporal dari seluruh dataset, data tangkapan ikan tuna
mata besar, SSC dan SST diolah menjadi data komposit
7 harian dengan resolusi spasial 0,33. Komposit 7 harian
tersebut berdasarkan pada periode komposit 7 harian
data satelit altimetri. Untuk lebih detilnya, pembagian
komposit 7 harian tersebut ditampilkan dalam Tabel 1.
Setiap data komposit 7 harian tuna mata besar dioverlay
dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE, untuk
mendapatkan nilai keempat variabel tersebut pada setiap
lokasi penangkapan tuna mata besar.
Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yang
ada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data dan
evaluation data. Training data digunakan untuk
pembentukan model, sedangkan evaluation data
digunakan untuk memvalidasi hasil prediksi dari
pemodelan tersebut (Himmerman & Guissan, 2000).
Sebelum dilakukan pemodelan GAM, terlebih dahulu
dilakukan eksplorasi dataset sesuai dengan prosedur
yang mengacu pada Zuur et al., (2009) dan Zuur et al.,
(2010). Generalized additive model (GAM) merupakan
salah satu alternatif model statistika apabila tidak
ditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuur
et al., 2007; Zuur et al., 2009). Metode ini bersifat
nonlinear dan dapat digunakan untuk mengurangi
kelemahan penggunaan asumsi distribusi normal dalam
analisis data ekologi. Secara umum GAM menggunakan
smoothing curve untuk memodelkan hubungan antara
variabel respon dengan variabel penjelasnya (Zuur et al.,
2007). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah:

Yi f ( X i ) i

dimana

f ( X i ) merupakan smoothing curve (Zuur et al.,

2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan


mgcv package (Wood, 2006) yang terdapat dalam
program R (R Core Development Project, 2008).
Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan
distribusi gaussian dan fungsi identity link. Sebagai
variabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR),
sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah
SSC, SST, SSHA dan EKE. Pembentukan model GAM
dimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yang
dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat
variabel-variabel penjelas. Pemilihan model GAM yang
akan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna
mata besar didasarkan pada nilai Akaikes Information
Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai
deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat
signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan
dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al.,
2007; Zuur et al., 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika sebaran daerah penangkapan tuna mata
besar periode musim timur 2004-2007
Data tangkapan tuna termasuk dengan koordinat
penangkapannya relatif sulit ditemukan dalam dunia
perikanan di Indonesia. Umumnya, data yang tersedia
adalah data jumlah ikan tuna yang didaratkan di suatu
pelabuhan tanpa diketahui dimana ikan-ikan tersebut
ditangkap. Selain itu, karena adanya kompetisi diantara
kapal-kapal penangkap tuna, umumnya data lokasi
penangkapan tuna menjadi satu hal yang bersifat rahasia.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan data harian logbook penangkapan tuna
mata besar dari perusahaan penangkapan tuna yang
berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Meskipun terdapat
bias dalam data tersebut, namun setidaknya data
tangkapan tuna mata besar yang digunakan dalam
penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang
lokasi-lokasi penangkapan tuna mata besar di Samudra
Hindia Selatan Jawa-Bali. Sebaran daerah penangkapan
tuna mata besar di wilayah tersebut cenderung berada
pada daerah yang sama setiap bulannya. Secara umum
daerah penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia
Selatan Jawa-Bali berada pada koordinat 110 - 115 BT
dan 12 - 16 LS (Gambar 1). Kondisi tersebut salah
satunya disebabkan belum digunakannya alat-alat bantu
pemantau dinamika oseanografi oleh kapal-kapal longline
dalam menentukan lokasi penangkapan tuna di perairan
tersebut. Akibatnya, kapal-kapal longline tersebut hanya
mengandalkan data-data penangkapan tuna pada triptrip sebelumnya.

31

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Berdasarkan atas data penangkapan tuna mata besar


tahun 1978 -1990, Ukolseja (1995), menyebutkan puncak
musim penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia
Selatan Jawa-Bali terjadi pada November. Namun
berdasarkan pada analisis data tangkapan tuna besar
periode 2004 2007, puncak penangkapan tuna mata
besar terjadi pada Juli. Pergeseran puncak penangkapan
tuna mata besar tersebut diduga terkait erat dengan
perubahan iklim. Satu dekade terakhir, intensitas badai
siklon tropis yang merupakan salah satu dampak
perubahan iklim di perairan tersebut semakin meningkat.
Umumnya badai siklon tropis mulai muncul pada akhir
periode musim timur. Badai tersebut berdampak pada
tingginya gelombang di perairan tersebut, sehingga
menyebabkan berkurangnya trip-trip penangkapan tuna
pada periode tersebut.
Fenomena upwelling di Samudra Hindia Selatan JawaBali yang terjadi pada musim timur (Susanto et al., 2001;
Susanto et al., 2005; Hendiarti et al., 2005), diduga tidak
berpengaruh pada sebaran daerah penangkapan tuna
mata besar. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2,
daerah penangkapan tuna mata besar berada diluar daerah
upwelling. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Hendiarti
et al.(2005), ketika melakukan analisis data tangkapan
tuna yang didaratkan di Pelabuhan Cilacap dengan data
konsentrasi klorofil-a permukaan, sebagai salah satu
indikator terjadinya upwelling.
Dinamika SSC, SST, SSHA dan EKE Samudra Hindia
Selatan Jawa-Bali pada periode musim timur 20042007
Rata-rata tujuh harian variabel SSC, SST, SSHA, dan
EKE ditampilkan pada Gambar 3, 4, 5, dan 6. Rata-rata
SSC tertinggi ditemukan pada minggu ke 17 (2004), 19
(2005), 30 (2006) dan 22 (2007). Nilai SSC tertinggi
tersebut terjadi pada periode Agustus September setiap
tahunnya, kecuali pada 2006 yang terjadi pada
November. Pada periode normal, intesitas upwelling di
wilayah ini terjadi pada periode Juni September. Proses
upwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjang
pantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom air
di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhu
yang lebih dingin ke lapisan permukaan laut (Hendiarti
et al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayah
upwelling cenderung meningkat ketika terjadi periode
upwelling. Proses upwelling juga mengakibatkan
penurunan SST (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005)
dan penurunan SSHA (Susanto et al., 2001). Seperti
terlihat pada Gambar 3, kenaikan SSC diikuti dengan
penurunan SST dan SSHA.
Pola upwelling yang berbeda pada periode musim
timur 2006, diduga kuat terkait dengan El Nino Southern

Oscillation (ENSO). Pola dan distribusi SSC pada periode


musim timur 2006 hampir sama dengan periode musim
timur 1997/1998. Gambar 3 menunjukkan pada periode
musim timur 2006, puncak upwelling terjadi pada
November dan menyebar ke arah barat. Southern
Oscillation Index (SOI) tahun 2006 dari NOAA National
Center for Environmental Prediction (NCEP)
menunjukkan adanya fenomena El Nino pada periode
tersebut. Ketika terjadi El Nino, massa air arus lintas
Indonesia (ARLINDO) dari sebelah barat Samudra Pasifik
menuju Samudra Hindia berintensitas rendah dengan
suhu massa air yang relatif dingin. Akibatnya, massa air
ARLINDO tersebut mempunyai pengaruh minimum
terhadap proses upwelling (Hendiarti et al., 2004). Kondisi
tersebut menyebabkan pergerakan angin monson dari
Benua Australia menuju Benua Asia akan mempunyai
pengaruh maksimal terhadap intensitas upwelling baik
pada skala ruang maupun waktu (Susanto et al., 2001;
Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006).
Prediksi daerah potensial penangkapan tuna mata
besar pada musim timur
Eksplorasi seluruh variabel penjelas (SSC, SST,
SSHA dan EKE) dengan variance inflation factors (VIF)
menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar setiap
variabel penjelas (Tabel 2). Nilai VIF yang ditunjukkan
setiap variabel penjelas kurang dari 3. Nilai VIF 3
digunakan sebagai indikasi terjadinya kolinearitas antar
setiap variabel (Zuur et al., 2009). Analisis dengan
menggunakan pairplot juga mengindikasikan hal yang
sama. Nilai koefisien korelasi antar setiap variabel
penjelas kurang dari 0.5 (Gambar 7). Transformasi dengan
logaritma natural + 1 dilakukan terhadap variabel respon,
yaitu laju penangkapan tuna mata besar (HR+1).
Sedangkan untuk variabel EKE dilakukan transformasi
dengan logaritma natural (ln(EKE)).
Pembentukan GAM selengkapnya ditampilkan dalam
Tabel 3. Pembentukan GAM dimulai dengan satu variabel
penjelas yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga
dan empat variabel penjelas. Jumlah data yang digunakan
dalam pembentukan GAM adalah 1689.Tingkat
signifikansi setiap variabel penjelas dikelompokkan
menurut Verzani (2005). Hanya variabel SST pada
persamaan GAM nomor 5 dan persamaan GAM nomor
11 yang menunjukkan penggunaan smoothing factor
terhadap SST dalam kedua persamaan tersebut tidak
signifikan. Sedangkan deviance dan AIC menunjukkan
tingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalam
menjelaskan variasi variabel respon dalam setiap
persamaan GAM. Semakin besar nilai deviance dan
semakin kecil nilai AIC berarti semakin tinggi tingkat
keakuratan model GAM dalam menjelaskan variasi
variabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).

32

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
Persamaan GAM nomor 15 mempunyai nilai deviance
terendah, AIC tertinggi dan tingkat signifikansi setiap
variabel penjelas berada dalam kelompok statistically
significant dan could be significant. Persamaan tersebut
dipilih dan digunakan untuk memprediksi daerah
potensial penangkapan tuna mata besar dengan input
data-data SSC, SST, SSHA dan EKE pada Mei-November
2007.
Persamaan GAM nomor 15 tersebut juga
menunjukkan bahwa variabel EKE mempunyai pengaruh
terbesar terhadap variasi data hookrate tuna mata besar,
dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC.
Sedangkan estimasi smoothing curve pada setiap variabel
penjelas dari persamaan GAM nomor 15 ditampilkan pada
Gambar 8. Pengaruh positif SSC terhadap variasi
hookrate tuna mata besar berada pada kisaran 0,05
0,15 mg/m3. Sedangkan untuk SST dan SSHA berada
pada kisaran 26 27 C dan -5 5 cm. Log natural EKE
menunjukkan pengaruh positif pada kisaran 5 6, berarti
nilai EKE yang mempunyai pengaruh positif terhadap
variasi tangkapan tuna mata besar berada pada kisaran
150 400 cm2/dt2.
Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan
tuna mata besar pada periode musim timur 2007
ditampilkan pada Gambar 9. Hasil prediksi bulanan antara
Mei November 2007 tersebut dioverlay dengan data
tangkapan tuna mata besar bulanan periode Mei
November 2007. Pada prediksi Juni, Juli, Agustus,
September dan November 2007, terlihat adanya
kesesuaian daerah potensial penangkapan tuna mata
besar yang diprediksikan menggunakan persamaan GAM
dengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya.
Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksi
daerah potensial penangkapan tuna mata besar hanya
dapat menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar
sebesar 5,14% saja. Nilai tersebut lebih kecil
dibandingkan dengan persamaan GAM yang dibentuk
oleh Mugo et al.(2010) untuk memprediksi habitat ikan
cakalang, yaitu sebesar 13,3 %. Diduga rendahnya nilai
deviance persamaan tersebut karena sedikitnya jumlah
dataset yang digunakan untuk memodelkan GAM dan
lapisan renang tuna mata besar yang berada di bawah
lapisan termoklin (Holland, 1990; Liu et al., 2003),
Variabel-variabel oseanografi yang digunakan dalam
penelitian ini semuanya berasal dari satelit oseanografi.
Sehingga variabel-variabel oseanografi tersebut hanya
dapat menjelaskan kondisi oseanografi pada lapisan
permukaan saja.
Dengan demikian diperlukan penelitian yang lebih
mendalam dengan menggunakan variabel-variabel
oseanografi pada lapisan renang tuna mata besar,

sehingga sebaran habitat tuna mata besar dapat


diidentifikasi dengan lebih akurat. Secara umum disadari
bahwa dinamika dalam suatu ekosistem adalah sangat
komplek dan heterogen untuk dapat dimodelkan secara
akurat baik dalam skala ruang dan waktu (Himmerman
& Guissan, 2000). Namun pendekatan yang kami lakukan
dengan menggunakan data satelit oseanografi tersebut
merupakan suatu langkah awal dalam memahami sebaran
habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan JawaBali.
KESIMPULAN
Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasi
tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata
besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan JawaBali, merupakan kombinasi dari variabel SSC, SST, SSHA
dan EKE. Variabel EKE mempunyai tingkat signifikansi
tertinggi dalam persamaan GAM tersebut, dilanjutkan
dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Prediksi daerah
potensial penangkapan tuna pada uni, Juli, Agustus,
September dan November 2007 menunjukkan kesesuaian
dengan daerah penangkapan tuna mata besar
sebenarnya.
PERSANTUNAN
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Goddard Space Flight Center National Aeronautics and
Space Administration (GSFC-NASA) dan Archive
Validation and Interpretation of Satellite Oceanography
(AVISO) untuk akses data-data SSC, SST, SSHA dan
UV Component of Geostrophic Velocity. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Seiichi Saitoh, Robinson Mugo, Ph.D, I Nyoman Radiarta,
Ph.D (Laboratory of Marine Bioresources and Environment
Sensing, Faculty of Fisheries Sciences Hokkaido
University), Prof. Jason Roberts (Marine Geospatial
Ecology Laboratory, Nicholas School of the Environment,
Duke University , USA), Takahiro Osawa, Ph.D (Center
for Remote Sensing and Ocean Sciences, Universitas
Udayana) dan I Made Tirta Ph.D (Jurusan Matematika
FMIPA Universitas Jember) atas masukan dan saran
tentang teknis pengolahan dan penganalisaan data. Tidak
lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
mitra bestari Jurnal Segara yang telah menelaah dan
memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Brill, R.W. 1994. A Review of Temperature and Oxygen
Tolerance Studies of Tunas Pertinent to Fisheries
Oceanography, Movement Models and Stock

33

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204


216
Davis, T.L.O & J.H. Farley. 2001. Size Distribution of
Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depth
on Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381
386.
Fu,L.L & A. Cazenave. 2001. Satellite Altimetry and Earth
Sciences: A Handbook of Techniques and Applications.
International Geophysics Series . Vol 69. Academic
Press.
Hendiarti, N., H. Siegel & T. Ohde. 2004. Investigation of
Different Coastal Processes in Indonesian Waters
using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II:
Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97.
Hendiarti, N., Suwarso., E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti,
S.E. Sachoemar & I.B. Wahyono. 2005. Pelagic Fish
Catch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123.
Holland K.N., R.W. Brill, dan R.K.C. Chang. 1990.
Horizontal and vertical movement of yellowfin tuna and
bigeye tuna associated with fish aggregating devices.
Fish Bull 88:493-507
Lehodey, P., I. Senina & R. Murtugudde. 2008. A Spatial
Ecosystem and Population Dynamics Model
(SEAPODYM)- Modelling of Tuna and Like Tuna
Populations. Progress in Oceanography 78 : 304
318.
Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-Jung
Kuo, Ming-Kuang Hsu & Ruo-Shan Tseng. 2003.
Application of satellite remote sensing on the tuna
fishery of Eastern Tropical Pacific. International
Association of Geodesy Symposia, 126:175-182
Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea.
Second Edition. Elsevier
McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean Color
Observations. Annual Review of Marine Science. 1 :
19 -24.
Merta, G.S., B Iskandar & S. Bahar. 2004. Musim
Penangkapan Ikan Pelagis Besar dalam Musim
Penangkapan Ikan di Indonesia. BRPL BRKP
Moore II, T.S., J. Marra, dan Alkatiri, A. 2006. Response
of the Banda Sea to the Southeast Monsoon. Marine
Ecology Progress Series 261:41-49.
Mugo, R., S. Saitoh, A. Nihira, dan T. Kuroyama. 2010.
Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus
pelamis) in The Western North Pacific : A Remote
Sensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5)
: 382 396.

Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers & J. Slingo. 2005.


Sea Surface Temperature and its Variability in The
Indonesian Region. Oceanography 18 : 50 61.
R Development Core Team. 2008. R : A Language and
environment for statistical computing. R Foundation
for Statistical Computing, Vienna, Austria. available
from: URL:http://www.R-project.org.
Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space,
The Principles and Methods of Satellite Oceanography.
Springer-Praxis.
Robinson, I. 2010. Discovering The Ocean from Space.
The Unique Applications of Satellite Oceanography.
Springer-Praxis.
Sartimbul, A. H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf & H.P.
Kadarisman. 2010. Variations in Chlorophyll-a
Concentration and The Impact on Sardinella lemuru
Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in
Oceanography 87 : 168 -174.
Sprintal, J., T.J. Potemra, S.L. Hautala, N.A. Bray & W.W.
Pandoe. 2003. Temperature and salinity variability in
the exit passages of the Indonesian Throughflow. DeepSea Research II ,50:2183-2204.
Susanto, R.D., A.L. Gordon & Q. Zheng. 2001. Upwelling
along the coast of Java and Sumatra and its relation
to ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599
1602.
Susanto, R.D. & J. Marra. 2005. Effect of the 1997/98 El
Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern
Coast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph,
18:124-127.
Susanto, R.D, T.S. Moore II & J. Marra 2006. Ocean
Color Variabilty in The Indonesia Seas during SeaWiFS
Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7
(5). doi: 10.029/2005GC001009.
Susanto, R.D., A. Gordon & J. Sprintall. 2007.
Observations and Proxies of the Surface Layer
Troughflow in Lombok Strait. Journal of Geophysical
Research, 112:1-11
Tomczak, M., dan M.J. Godfrey. 2001. Regional
Oceanography : An Introduction. Available on http://
www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html
Ukolseja, Y. 1996. Monthly Average Distribution of Fishing
Effort and Catch per Unit Effort for Yellowfin Tuna and
Bigeye Tuna in Indonesian Waters of The Indian
Ocean, 1978 1990. Expert Consultation on Indian
Ocean Tunas 6. Available on http://iotc.org.

34

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
Valavanis, D.V., G.J. Pierce, A.F. Zuur, A. Palialexis, A.
Saveliev, I. Katara & J. Wang. 2008. Modelling of
Essential Fish Habitat Base on Remote Sensing ,
Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 -20.
Wijffels, S.E., G. Meyers & J.S. Godfrey. 2008. A 20-Yr
Avarage of the Indonesia Troughflow: Regional
Currents and Interbasin Exchange. Journal of Physical
Oceanography, 38:1965-1978.

Zainuddin, M., K. Saitoh dan S. Saitoh. 2008. Albacore


(Thunnus alalunga) fishing ground in relation to
oceanographic conditions in the western North Pacific
Ocean using remotely sensed satellite data. Fisheries
Oceanography, 17:61-73.
Zuur, A.F., E.N. Ieno & G.M. Smith. 2007. Analysing
Ecological Data. Springer.

Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An


Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.

Zuur, A.F., E.N. Ieno, N.J. Walker, A.A. Saveliev & G.M.
Smith. 2009. Mixed Effect Models and Extension in
Ecology with R. Springer.

Zagaglia, C.R., J.A. Lorenzzetti & J.S. Stech. 2004.


Remote sensing data and longline catches of yellowfin
tuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic.
Remote Sensing of Environment, 93:267-281.

Zuur, A.F., E.N. Ieno & C.S. Elphick. 2010. A Protocol


for Data Exploration to Avoid Common Statistical
Problems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1):
3 14.

Lampiran

Tabel 1.

Periode komposit 7 harian seluruh dataset


Tahun
2004
2004
2005
2005
2006
2006
2007
2007

Tabel 2.

Minggu
1
31
1
31
1
31
1
30

Periode
29 April 5 Mei
24 November 1 Desember
28 April 4 Mei
23 November 30 November
27 April 3 Mei
22 November 29 November
3 Mei 9 Mei
21 November 28 November

Nilai VIF setiap variabel penjelas


Variabel Penjelas
SSC
SST
SSHA
ln(EKE)

VIF
1,589
1,494
1,085
1,066

35

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Tabel 3.

Pembentukan GAM
No
1
2
3
4
5

Model
SSC
SST
SSHA
ln(EKE)
SSC + SST

SSC + SSHA

SSC + ln(EKE)

SST + SSHA

SST + ln(EKE)

10

SSHA + ln(EKE)

11

SSC + SST + SSHA

12

SSC + SST + ln(EKE)

13

SSC + SSHA + ln(EKE)

14

SST + SSHA + ln(EKE)

15

SSC + SST + SSHA + ln(EKE)

Variable
SSC
SST
SSHA
ln(EKE)
SSC
SST
SSC
SSHA
SSC
ln(EKE)
SST
SSHA
SST
ln(EKE)
SSHA
ln(EKE)
SSC
SST
SSHA
SSC
SST
ln(EKE)
SSC
SSHA
ln(EKE)
SST
SSHA
ln(EKE)
SSC
SST
SSHA
ln(EKE)

Pvalues
< 0,01
< 0,01
0,02
0,02
0,02
0,14
< 0,01
0,01
< 0,01
0,03
< 0,01
0,01
< 0,01
< 0,01
< 0,01
< 0,01
0,01
0,11
< 0,01
0,02
0,02
< 0,01
< 0,01
< 0,01
0,02
< 0,01
< 0,01
< 0,01
0,04
0,02
< 0,01
< 0,01

AIC
Deviance(%)
1,72
1,22
1,12
0,91
2,42

-1516,408
-1511,048
-1509,046
-1507,839
-1519,062

2,85

-1525,671

2,62

-1522,492

2,53

-1521,193

2,46

-1522,504

2,32

-1518,895

3,71

-1529,136

3,66

-1529,718

3,98

-1534,189

4,06

-1536,557

5,14

-1542,482

36

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

Gambar 1.

Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar setiap bulan dalam periode musim timur.

SSC

SST

SSHA

EKE

Gambar 2.

Komposit SSC, SST, SSHA dan EKE untuk periode musim timur 2004 2007 yang dioverlay
dengan lokasi penangkapan tuna mata besar.

37

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 3.

Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSC periode 2004 2007

Gambar 4.

Rata-rata komposit tujuh harian variabel SST periode 2004 2007.

38

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

Gambar 5.

Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSHA periode 2004 2007.

Gambar 6.

Rata-rata komposit tujuh harian variabel EKE periode 2004 2007.

39

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 7.

Analisis pairplot antar setiap variabel penjelas

Gambar 8.

Estimasi smoothing curve setiap variabel penjelas.

40

Gambar 9.

Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2007.
Lingkaran-lingkaran yang ada pada gambar tersebut merupakan plot koordinat penangkapan tuna
mata besar pada periode yang sama.

Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan


Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)

41

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT


TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM
DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON

Wahyu Budi Setyawan1)

1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011

ABSTRAK
Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut, dan daerah yang paling
terpengaruh adalah dataran rendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikan muka
laut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan
tahun 2007, masing-masing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hingga tahun
2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisis penggenangan dengan asumsi tidak
terjadi perubahan morfologi menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akan tergenang
pada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisi skenario kenaikan muka laut; dan analisis
erosi pantai dengan tidak memperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahan kedalaman
perairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratan pesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebut
akan menyebabkan sebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang.
Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah pesisir, lahan produksi garam

ABSTRACT
One of the primary effects of global warming is sea-level rise, and coastal lowland will be the
strongly affected area of the effect, such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios of
Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001 and 2007 is 0.8 and 0.5 meters
maximum sea-level rise respectively until 2100, this is applied on the coastal zone e.g Mundu. Inundation
analysis with no morphological change assumption indicates that most of the coastal lowland will be
inundated when high tide condition at both sea level scenarios; and erosion analysis with disregarding
erosion rate due to sea-level rate indicates that most of the coastal land will be eroded away. The
erosion might also make lost of salt production lands from the coastal zone.
Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone, salt production land

PENDAHULUAN
Kawasan pesisir adalah kawasan yang paling rentan
terhadap dampak pemanasan global karena salah satu
efek primernya adalah kenaikan muka laut, sedang
kawasan pesisir itu sendiri sangat peka terhadap
perubahan muka laut. Efek langsung dari kenaikan muka
laut terhadap kawasan pesisir adalah penggenangan

lahan basah dan dataran rendah di tepi pantai, erosi


pantai, dan peningkatan salinitas air tanah (Hopley, 1992),
juga terhadap infrastruktur dan masyarakatnya (Mimura,
1999). Perubahan yang terjadi di kawasan pesisir karena
kenaikan muka laut tidak hanya berpengaruh terhadap
kondisi lingkungan fisiknya, tetapi juga akan berpengaruh
terhadap aktifitas manusia yang ada di kawasan pesisir
yang terpengaruh oleh kanaikan muka laut itu.

Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: wahyubudisetyawan@yahoo.com

42

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Besar kecilnya dampak dari kenaikan muka laut


tersebut berbeda antara satu kawasan dengan kawasan
lainnya, tergantung pada kondisi geografi dan sosial dari
kawasan tersebut (Mimura, 1999). Tentang pentingnya
studi tentang potensi dampak kenaikan muka laut ini
Nicholls (2003) menyebutkan bahwa, perubahan iklim
global atau kenaikan muka laut global memiliki dampak
potensial (potential impacts). Adaptasi untuk
mengantisipasi dampak potensial yang terencana dapat
mengurangi dampak potensial menjadi dampak awal
(initial impacts).
Kawasan pesisir Mundu adalah salah satu kawasan
penghasil garam yang utama di Kabupaten Cirebon.
Sebagian besar penduduk di kawasan tersebut adalah
petani garam. Tujuan penulisan makalah ini adalah
memberikan gambaran tentang apa yang akan terjadi
terhadap kawasan pesisir Mundu dan para petani garam
di kawasan tersebut bila dampak pemanasan global
terjadi sesuai dengan skenario dari Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) yang telah
dipublikasikan.
METODE PENELITIAN

detil dilakukan di dua lokasi, yaitu di bagian timur (Lokasi


titi A) dan utara (Lokasi titik B). Data lapangan
dikumpulkan pada kunjungan lapangan pada Maret dan
Juli 2006, September dan Nopember 2008, dan Mei dan
September 2009. Data lapangan yang dikumpulkan
meliputi data kondisi geomorfologi pantai, batuan
penyusun pantai, dan aktifitas manusia di daerah pesisir.
Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisis
kemungkinan penggenangan kawasan pesisir dengan
membuat profil pantai terukur dan mempergunakan
skenario kenaikan muka laut maksimal dari IPCC tahun
2001 (Gambar 2A dan tahun 2007 (Gambar 2B). Menurut
Folland et al. (2001), dengan skenario SRES (Special
Report on Emission Scenarios), kenaikan muka laut
global diproyeksikan berkisar dari 0,09 hingga 0,88 meter
dalam periode tahun 1990 2100, dengan titik tengah
0,48 meter. Sementara itu, menurut Bindoff et al. (2007),
dengan mempergunakan skenario SRES seri A1B,
kenaikan muka laut global berkisar dari 0,22 hingga 0,44
meter. Dalam penelitian ini, untuk memudahkan analisis
dilakukan pembulatan. Kenaikan maksimum skenario
IPCC tahun 2001 dipakai 0,8 meter, dan skenario IPCC
tahun 2007 dipakai angka 0,5 meter pada proyeksi tahun
2100.

Lokasi penelitian terletak di bagian timur delta Kali


Bangkaderes di daerah Mundu (Gambar 1). Secara
administrasi daerah penelitian masuk ke dalam wilayah
administrasi Desa Rawaurip dan Pangarengan, Mundu,
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pengamatan lapangan

Gambar 1.

Peta lokasi penelitian. Titik bulat hitam dengan notasi A dan B adalah titik lokasi pengamatan detil
dan pembuatan profil pantai.

43

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Gambar 2A. Skenario kenaikan muka laut dari IPCC


tahun 2001 (Folland et al.,, 2001).
Profil pantai terukur dibuat dengan metode pengukuran
dengan waterpass pada September 2009. Posisi muka
laut pada profil pantai ditentukan dengan mempergunakan
prediksi pasang-surut untuk Pelabuhan Cirebon yang
dipublikasikan oleh Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL untuk
tahun 2009. Penentuan posisi dan survei garis pantai
dilakukan dengan GPS (Global Positioning System)
Garmin 45. Selanjutnya, prediksi kemungkinan
penggenangan juga dilakukan berdasarkan kondisi
pasang surut. Di dalam Tabel Pasang Surut Tahun 2009
dari Jawatan Hidro-Oseanografi TNI-AL, pasang tertinggi
yang mungkin terjadi adalah 1,1 meter. Oleh karena itu,
diambil prediksi kemungkinan penggenangan pada
ketinggian air laut pasang 1,1 meter untuk setiap skenario
kenaikan muka laut.
Peta dasar yang dipergunakan adalah Peta Rupabumi
Lembar 1309-214 Karangsembung skala 1:25.000 Edisi
1 Tahun 2001 dari Bakosurtanal yang dibuat dari
kompilasi Foto Udara tahun 1993/1994. Gambaran umum
kawasan pesisir Cirebon dilihat dari Citra Satelit Landsat
komposit warna 321 perekaman 9 Agustus 2003. Untuk
melihat gambaran detil kawasan pesisir Delta Mundu
dipergunakan citra satelit dari Google Earth tahun 2010.

Gambar 2B.

Skenario kenaikan muka laut dari


IPCC tahun 2007 (Bindoff et al., 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Geomorfologi Kawasan Pesisir Mundu dan
Aktifitas Produksi Garam
Citra satelit (Gambar 3) dan Peta Rupabumi (Gambar
1) kawasan pesisir Cirebon menunjukkan bahwa daerah
Mundu merupakan sebuah delta kecil dari aliran Sungai
Bangkaderes. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan
bahwa kawasan pesisir Mundu merupakan dataran
rendah tepi pantai yang tersusun oleh batulempung pejal,
dan sebagian besar lahan di dataran pantai tersebut
merupakan kawasan ladang garam (Gambar 4A dan 4B).
Aktifitas produksi garam merupakan satu-satunya
aktifitas produksi di dataran pesisir Delta Mundu. Lahan
yang dipakai untuk kegiatan tersebut mencakup sebagian
besar kawasan delta tersebut (Gambar 5A).
Gambaran detil kondisi lahan produksi garam itu dapat
dilihat pada Gambar 5B dan 5C. Kondisi lahan datar tepi
pantai yang tersusun oleh batulempung pejal serta
didukung oleh udara yang sangat panas di musim
kemarau membuat kawasan tersebut sangat cocok untuk
produksi garam.

Berkaitan dengan penggunaan GPS Garmin 45 dapat


diberikan catatan sebagai berikut. Menurut manual yang
diterbitkan tahun 1994, GPS Garmin 45 memiliki
keakuratan 15 meter (Garmin, 1994 hal. 2). Bila
dioperasikan secara diferensial, keakuratannya dapat
mencapai kurang dari 10 meter (Garmin, 1994 hal iv).
Dalam penelitian ini GPS dioperasikan secara tunggal
sehingga keakuratan penentuan posisi dalam penelitian
ini memiliki deviasi 10 15 meter.

44

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 3.

Citra fals color composite 321 kawasan pesisir Cirebon. Tanda panah menunjuk ke lokasi penelitian.

Gambar 4A.

Dataran pantai dan pantai bertebing


tersusun oleh batulempung di lokasi A,
bagian timur. Di kejauhan sebelah kiri
adalah kawasan tambak garam. Arah
pengambilan foto ke utara (lihat Gambar
5B).

Gambar 4B.

Pantai pasir dengan endapan pasir


menumpang diatas batuan induk
batulempung di lokasi B, bagian Utara.
Di kejauhan bagian kanan adalah
kawasan tambak garam. Arah
pengambilan foto ke tenggara (lihat
Gambar 5C).

45

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Gambar 5A.

Citra satelit kawasan Delta Mundu. Hampir seluruh kawasan delta tersebut merupakan areal produksi
garam rakyat. Sumber: Google Earth 2010.

Gambar 5A.

Kenampakan lahan tambak garam


dalam masa produksi di Lokasi A.
Warna putih di dalam petak segi empat
adalah garam. Panah putih adalah arah
pengambila foto Gambar 4A.

Gambar 5B.

Kenampakan lahan tambak garam


dalam masa produksi di Lokasi B.
Warna putih di dalam petak segi empat
adalah garam. Panah putih adalah arah
pengambila foto Gambar 4B.

46

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Plot garis pantai yang diperoleh dari survei GPS di


sekitar lokasi pengamatan dan diplotkan pada Peta
Rupabumi menunjukkan bahwa pantai di daerah penelitian
bersifat erosional dan telah mengalami pergeseran garis
pantai yang signifikan sejak tahun 1993 (Gambar 6A dan
6B). Kemudian, hasil pengamatan lapangan di titik lokasi
A ketika laut pasang menunjukkan bahwa sebagian
dataran tepi pantai tergenang oleh air laut (Gambar 7A
dan 7B). Ketika itu, kondisi laut bukan pada saat pasang
tertinggi.

Gambar 6A.

Gambar 7A.

Plot garis pantai di sekitar lokasi A.


Memperlihatkan perubahan garis pantai
dari tahun 1993 sampai 2008.

Kawasan tambak garam yang tergenang


pada saat laut pasang di lokasi A. Lensa
menghadap ke arah darat. Genangan air
laut menyebabkan petak-petak tambak
garam tidak terlihat.

3.2. Potensi Efek Kenaikan Muka Laut


Salah satu dampak primer dari pemanasan global
adalah kenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerah
penelitian yang rendah dan tersusun oleh batulempung
pejal dan pantainya bersifat erosional, dampak dari
kenaikan muka laut yang akan terasa adalah
penggenangan dataran pantai yang rendah dan erosi
pantai. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan garis
pantai. Menurut London dan Volonte (1991), analisis

Gambar 6B.

Gambar 7B.

Plot garis pantai di sekitar lokasi B.


Memperlihatkan perubahan garis pantai
dari tahun 1993 sampai 2008.

Kawasan tepi dataran pantai yang


tergenang ketika laut pasang di lokasi
A. Lensa menghadap ke arah laut.
Daratan yang tergenang menyebabkan
batas tepi pantai tidak terlihat.

47

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan


pendekatan analisis penggenangan dan analisis erosi
pantai. Ini berarti bahwa, membicarakan penggenangan
dan erosi pantai karena kenaikan muka laut adalah juga
membicarakan perubahan garis pantai.
3.2.1. Penggenangan Dataran Pantai
Gambar 8A dan 8B menunjukkan profil pantai dan
skenario penggenangan daratan pesisir dari lokasi
pengamatan A dan B. Secara umum, kondisi pantai di
kedua lokasi pengamatan itu hampir sama, yaitu pantai
bermorfologi rendah dengan dataran pantai yang relatif
datar, tersusun oleh batu lempung pejal, dan bersifat
erosional. Hal yang membedakan kondisi pantai di antara
kedua lokasi pengamatan itu adalah hadirnya endapan
pasir yang menyebabkan terbentuknya pantai pasir di
Salah satu dampak primer dari pemanasan global adalah
kenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerah penelitian
yang rendah dan tersusun oleh batulempung pejal dan
pantainya bersifat erosional, dampak dari kenaikan muka
laut yang akan terasa adalah penggenangan dataran
pantai yang rendah dan erosi pantai. Kedua hal tersebut
menyebabkan perubahan garis pantai. Menurut London
& Volonte (1991), analisis lokasi B, sedang di lokasi A
tidak dijumpai endapan pasir (Bandingkan Gambar 4A
dan 4B). Lebar endapan pasir di lokasi B sekitar 20 meter.
Tabel 1 memberikan gambaran tentang skenario
penggenangan kawasan pesisir daerah penelitian.
Analisis itu dibuat dengan asumsi morfologi pantai tetap,
tidak berubah oleh proses erosi pantai atau aktifitas
gelombang.

Dari dua skenario kenaikan muka laut dari IPCC


tersebut terlihat bahwa penggenangan daerah penelitian
ini lebih dipengaruhi oleh pasang-surut. Pengenangan
hanya terjadi ketika laut dalam kondisi pasang, sedang
ketika dalam kondisi surut atau muka air berada pada
rata-rata muka laut dataran pantai muncul ke permukaan
air. Dengan kata lain, dataran pantai menjadi dataran
pasang-surut. Pada profil pantai, hal ini terlihat dari posisi
muka laut rata-rata yang belum melewati elevasi dataran
pantai. Saat ini, skenario kenaikan muka laut dari IPCC
tahun 2007 masih mendapat kritik dari para ilmuwan,
karena dipandang melakukan prediksi yang
underestimate dengan tidak memperhitungkan
kecenderungan kondisi sekarang ini berlanjut maupun
kemungkinan kejadian perubahan yang luar biasa di
Antartika dan Greenland, dan disarankan untuk direvisi
(Wheeler, 2007).
3.2.2. Erosi Pantai dan Pergeseran Garis Pantai
Erosi pantai terutama terjadi karena akfititas
gelombang laut yang mendorong ke pantai. Selain faktor
resistensi batuan terhadap pukulan gelombang, laju erosi
ditentukan oleh kekuatan pukulan gelombang.
Gelombang laut yang memukul ke pantai adalah
gelombang perairan dangkal yang kekuatan
gelombangnya dipengaruhi oleh kedalaman perairan
(Komar, 1976). Penambahan kedalaman air dekat pantai
karena kenaikan muka laut dengan demikian akan
menyebabkan meningkatnya energi gelombang dan
energi pasang-surut di tepi pantai (Crooks, 2004),
konsekuensinya adalah laju erosi pantai juga akan
meningkat. Di daerah penelitian ini, pergeseran garis
pantai karena erosi pantai akan terekspresikan dalam

Gambar 8A.

Profil pantai di titik lokasi A. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.

Gambar 8B.

Profil pantai di titik lokasi B. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.

48

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Tabel 1.

Resume analisis penggenangan dataran pesisir Mundu


Titik Lokasi A, Pantai Timur
Kondisi Sekarang muka laut rata-rata 0
meter
Posisi muka laut rata-rata:
Dataran tepi pantai sekitar 0,9 1
meter di atas muka laut.
Posisi garis pantai di tebing pantai.

Posisi air pasang 1,1 meter:


Dataran tepi pantai tergenang air laut.
Batas garis pantai adalah tanggul
tambak garan terluar.

Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC 2007)


Posisi muka laut rata-rata:
Ketinggian dataran tepi pantai berada
0,4 - 0,5 meter di atas muka laut.
Posisi garis pantai di tebing pantai.
Posisi air pasang 1,1 meter:
Dataran tepi pantai tergenang dengan
ketinggian air laut sekitar 0,7 meter.
Ketinggian air laut melebihi ketinggian
tanggul tambak sekarang.
Garis pantai temporer bergeser ke
arah daratan mengikuti pola pasangsurut.

Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC 2001)


Posisi muka laut rata-rata:
Ketinggian dataran tepi pantai sekitar
0,1 0,2 meter di atas muka laut.
Posisi garis pantai pada tebing pantai.

Posisi air pasang 1,1 meter:


Seluruh dataran tepi pantai tergenang
dengan kedalaman air laut sekitar 0,9
1 meter.
Posisi garis pantai temporer lebih jauih
masuk ke pedalaman.

Titik Lokasi B, Pantai Utara


Kondisi Sekarang muka laut rata-rata 0
meter
Posisi muka laut rata-rata:
Ketinggian berm pantai pasir sekitar
1,35 meter di atas muka laut; garis
pantai di pantai pasir
Ketinggian dataran pantai di belakang
berm sekitar 0,95 meter di atas muka
laut.
Posisi air pasang 1,1 meter:
Ketinggian berm pantai pasir sekitar
0,25 meter di atas muka laut; garis
pantai di pantai pasir.
Dataran pantai di belakang berm telah
berada di bawah permukaan laut
sekitar 0,15 meter.
Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC
2007)
Posisi muka laut rata-rata:
Ketinggian berm pantai pasir sekitar
0,85 meter di atas muka laut; garis
pantai di pantai pasir.
Ketinggian dataran pantai di belakang
berm sekitar 0,45 di atas muka laut.
Posisi air pasang 1,1 meter:
Seluruh daratan tepi pantai tergenang,
ketinggian air laut melebihi tanggul
tambak.
Berberada sekitar 0,3 meter di bawah
muka laut.
Dataran di belakang berm berada
sekitar 0,65 meter di bawah muka
laut.
Garis pantai temporer bergeser masuk
ke arah daratan sesuai pola pasangsurut.
Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC
2001)
Posisi muka laut rata-rata:
Ketinggian berm pantai pasir sekitar
0,55 meter di atas muka laut; garis
pantai di pantai pasir.
Ketinggian dataran pantai di belakang
berm sekitar 0,15 meter di atas muka
laut..
Posisi air pasang 1,1 meter:
Seluruh dataran tepi pantai telah
tergenang.
Berm telah berada sekitar 0,6 meter di
bawah muka laut.
Dataran pantai di belakang berm
berada sekitar 0,95 meter di bawah
permukaan laut.

49

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

bentuk pergeseran tebing-tebing pantai yang tersusun


oleh batulempung. Dalam penelitian ini, prediksi
pergeseran garis pantai dilakukan berdasarkan perubahan
garis pantai dalam periode tahun 2008 sampai 2009
dengan asumsi bahwa laju erosi tetap. Gambaran tentang

Tabel 2.

besarnya pergeseran itu dapat dilihat dalam Tabel 2 dan


Gambar 9 dan 10.
Rangkaian seri foto lapangan pada Gambar 9
menunjukkan bagaimana perubahan garis pantai terjadi
di lokasi Titik B antara tahun 2008 dan 2009 yang

Hasil analisis, pengukuran dan prediksi pergeseran garis pantai di daerah Mundu.
No.

Lokasi

1993 2008
2008 2009
100 tahun
Keterangan Tempat
(m)
(m)
kemudian (m)
Pengukuran
1.
Titik A
78,15
13,85
1385
Rataan depan pantai
2.
Titik B
58,37
10,63
1063
Pergeseran berm
Catatan: Tanda (-) menunjukkan pantai bergeser ke arah darat atau tererosi.

Gambar 9A1.

Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulan
belukar, P4 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk batas air di tepi pantai. Perhatikan posisi
batas air.

Gambar 9A2.

Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008, ke arah darat. P1 menunjuk patok yang terletak
pada batas endapan pasir dan tambak garam. Posisi laut di sebelah belakang arah pengambilan
gambar.

50

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 9B1.

Patok titik lokasi B, bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulan
belukar, P3 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk ke batas air di tepi pantai. Bandingkan
dengan Gambar 9A1, Posisi P1 dan P2 tetap. Posisi P3 pada gambar ini bergeser ke P2, ini berarti
pergeseran puncak berm. Posisi P4 relatif sama terhadap P4, sehingga berarti garis batas air juga
bergeser. Perhatikan posisi batas air yang telah bergeser ke arah darat, dan telah berada dekat
gerumbulan belukar.

Gambar 9B2.

Patok titik lokasi B pada bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok (tepat di bawah Waterpass)
yang telah berada di tengah endapan pasir (berm). P5 menunjuk ke patok baru yang dipasang pada
batas antara endapan pasir dan tambak garam seperti posisi P1 tahun 2008. Jarak antara P1 dan
P5 adalah jarak pergeseran endapan pasir ke arah darat. Perhatikan batas antara endapan pasir
dan tambak yang bergeser ke arah darat. Posisi laut di belakang arah pengambilan gambar.

51

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Gambar 10.

Plot prediksi perubahan garis pantai dan posisi garis pantai pada tahun 2100 (garis putus-putus) di
kawasan pesisir Mundu berdasarkan pengamatan periode tahun 2008 2009.

ditunjukkan dengan pergeseran puncak berm dan batas


endapan pasir dengan tambak garam. Gambar 9A1 dan
9A2 diambil tahun 2008 di lokasi yang sama dengan arah
yang pandang yang berbeda; dan demikian pula dengan
Gambar 9B1 dan 9B2 yang diambil tahun 2009. Posisi
dan arah pengambilan Gambar 9A1 relatif sama dengan
Gambar 9B1; posisi Gambar 9A2 relatif sama posisi dan
arah pengambilannya dengan Gambar 9B2.
Gambar 10 memperlihatkan prediksi perubahan garis
pantai di daerah penelitian dan prediksi posisi garis pantai
pada tahun 2100. Dari gambar tersebut terlihat jelas
bahwa sebagian besar dataran pesisir di kawasan Delta
Mundu akan hilang karena tererosi, dan garis pantai akan
berada di dekat kawasan pemukiman yang ada sekarang.
Gambaran untuk kawasan seluruh Delta Mundu dapat
dilihat pada Gambar 11.
Skenario perubahan garis pantai itu adalah skenario
perubahan garis pantai yang lambat. Pada kenyataannya,
sangat mungkin terjadi laju erosi yang lebih cepat, karena
kenaikan muka laut yang diprediksi itu apabila benarbenar terjadi dapat dipastikan akan meningkatkan energi
gelombang. Gelombang yang memukul ke pantai adalah
gelombang perairan dangkal yang karakteristiknya adalah
akan mengalami peningkatan energi bila terjadi
penambahan kedalaman kolom air. Secara matematis,
untuk perairan dangkal, keadaan tersebut dapat ditulis
sebagai berikut (Komar, 1976):

P EC
karena

..................................... (1)

h gh
C
maka P E gh

......................... (2)
......................... (3)

dimana P : kekuatan gelombang, E : energi


gelombang, C : kecepatan rambat gelombang, g :
percepatan gravitasi, dan

: kedalaman air.

Dari persamaan matematis tersebut terlihat jelas


bahwa makin tinggi kenaikan muka laut akan
mempercepat laju erosi. Hal itu berarti, bila kita
memperhitungkan perubahan muka laut untuk
memprediksi perubahan garis pantai, maka besar
perubahan garis pantai yang akan terjadi akan lebih besar
dan lebih cepat.
3.2.3. Kehilangan Lahan Produksi Garam
Di depan telah diberikan gambaran bahwa dataran
pesisir di Delta Mundu sebagian besar merupakan lahan
tepi pantai yang dipergunakan sebagai lahan tambak
garam. Dengan demikian, kelangsungan hidup aktifitas
produksi garam itu sangat ditentukan oleh keberadaan
lahan datar tersebut. Di atas juga telah diuraikan bahwa
potensi efek kenaikan muka laut di kawasan ini adalah
penggenangan dan erosi pantai atau pergeseran garis

52

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Gambar 11.

Citra satelit kawasan Delta Mundu dan prediksi posisi garis pantai pada tahun 2100. Garis hitam
putus-putus adalah posisi garis pantai yang diprediksi. Sumber citra: Google Earth 2010.

pantai. Analisis skenario penggenangan karena kenaikan


muka laut di atas, seperti yang ditunjukkan dengan
Gambar 8A dan 8B, menunjukkan bahwa baik dengan
skenario kenaikan muka laut 0,5 maupun 0,8 dataran
pantai belum tergenangi pada posisi muka laut rata-rata,
tetapi kawasan dataran pantai delta ini akan tergenang
ketika air laut pasang. Ini berarti lahan produksi garam
tidak dapat dipergunakan lagi dengan cara tradisional
seperti sekarang. Kehilangan lahan karena
penggenangan ini dapat ditanggulangi dengan pembuatan
tanggul di sekeliling kawasan delta ini minimal setinggi
0,5 m untuk skenario kenaikan muka laut 0,5 m, atau
0,8 untuk skenario kenaikan muka laut 0,8 m.
Potensi dampak kenaikan muka laut yang ke-dua
adalah pergeseran garis pantai karena erosi pantai.
Analisis perubahan garis pantai yang dilakukan di atas
adalah analisis berdasarkan laju perubahan garis pantai
antara tahun 2008 2009 dengan asumsi laju erosi tetap.
Dengan analisis itu, terlihat pada Gambar 10 dan 11
sebagian besar lahan produksi garam di sebelah timur
aliran Kali Bangkaderes akan hilang karena tererosi.
Angka prediksi dalam Tabel 2 adalah angka prediksi yang
lambat yang belum memperhitungkan laju kenaikan muka
laut. Bila kenaikan muka laut diperhitungkan maka
pergeseran garis pantai akan lebih jauh lagi ke arah

daratan. Ini berarti lahan garam yang dapat hilang akan


lebih besar lagi.
3.3. Pilihan Tindakan Antisipasi
Secara umum, dalam menghadapi efek pemanasan
global, yang juga mencakup efek dari kenaikan muka
laut, menurut Hopley (1992) terdapat beberapa pilihan
alternatif berikut:
1) Tidak melakukan apapun. Pilihan ini paling
sedikit mengeluarkan biaya, tetapi akan
menyebabkan kehilangan yang besar, seperti
kehilangan lahan tepi pantai dan segala sesuatu
yang diatasnya. Pilihan ini dapat dilakukan untuk
daerah-daerah yang belum terbangun.
2) Membangun pertahanan pantai yang sesuai
dengan laju kenaikan muka laut.
Pekerjaan ini meliputi membangun dinding
pantai, groin, tetrapod dan sebagainya; termasuk
juga ke dalam cara ini adalah tindakan-tindakan
bioteknik seperti menanam vegetasi. Pilihan
tindakan ini berbiaya tinggi dan bersifat temporer.
Biasanya pilihan ini hanya dilakukan untuk
daerah yang bernilai ekonomi tinggi.

53

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

3) Mundur dengan perencanaan dan rekayasa


sosial.
Pilihan ini harus dilakukan dengan
memperhitungkan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat yang akan dipindahkan, dan kondisi
lingkungan. Pilihan untuk mundur ini dilakukan
bila upaya mempertahankan atau perlindungan
tidak mungkin dilakukan secara ekonomi.
4) Perlindungan total. Tindakan perlindungan total
seperti membangun dinding pertahanan untuk
melindungi lahan atau suatu kawasan dilakukan
untuk daerah-daerah berinvestasi sangat tinggi,
memiliki nilai sejarah, atau karena tidak ada
alternatif lain.
Uraian tentang penggenangan dan erosi pantai yang
diberikan di depan menggambarkan kondisi yang
mungkin akan terjadi di daerah penelitian ini bila tidak
dilakukan upaya apapun dalam menghadapi masalah
kenaikan muka laut karena pemanasan global. Dari uraian
tentang efek kenaikan muka laut itu terlihat bahwa,
apabila hanya terjadi kenaikan muka laut dan tidak
menyebabkan erosi, maka sebagian besar dataran pesisir
itu akan menjadi lahan pasang-surut. Perubahan kondisi
lahan dari kondisinya yang sekarang menjadi lahan
pasang-surut dengan laju kenaikan muka laut 0,5 atau
0,8 meter per 100 tahun dapat dikatakan relatif lambat.
Persoalan yang lebih serius adalah persoalan erosi
pantai. Kenyataan di lapangan saat ini adalah bahwa
pantai di daerah penelitian adalah pantai yang mengalami
erosi. Dengan demikian, upaya perlindungan pantai yang
perlu diupayakan adalah bagaimana menghambat laju
erosi pantai.
Apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi apapun,
lahan di Delta Mundi ini akan rusak atau hilang karena
erosi dengan laju 13,85 m/tahun di lokasi Titik A, dan
10,63 m/tahun di lokasi Titik B (lihat Tabel 2). Dengan
laju erosi pantai seperti itu, maka pada tahun 2100
sebagian besar lahan tepi pantai di delta ini akan hilang
(Gambar 10 dan 11). Secara geomorfologi, membiarkan
kondisi seperti itu dengan tidak melakukan kegiatan
apapun berarti mempertahankan kondisi alam
sebagaimana kecenderungannya yang ada sekarang.
Apabila lahan yang akan hilang itu adalah lahan yang
tidak terbangun, maka membiarkan saja kecenderungan
itu dapat menjadi pilihan dalam menghadapi kemungkinan
perubahan karena kenaikan muka laut itu. Kenyataan
yang ada saat ini adalah bahwa di atas lahan dataran
pantai itu ada aktifitas produksi garam. Dengan
kenyataan seperti itu, pilihan membiarkan dengan tidak
melakukan tindakan pencegahan erosi apapun sama
artinya dengan membiarkan lahan produksi garam

berkurang dengan laju seperti laju perubahan garis pantai


di atas. Para petani garam di kawasan tersebut tidak
mungkin mengganti lahan yang hilang itu dengan
membuka lahan baru ke arah darat karena lahan di arah
darat itu merupakan kawasan pemukiman mereka.
Pilihan antisipasi yang lain, selain dari membiarkan,
memerlukan biaya. Menurut Nicholls & Tol (2006),
diperlukan cost-benefit analysis dalam menentukan
pilihan tindakan dalam merespon dampak dari kenaikan
muka laut. Dengan demikian, persoalan di dalam pilihan
tindakan antisipasi terhadap hasil prediksi efek kenaikan
muka laut adalah bagaimana penilaian yang diberikan
terhadap aktifitas produksi garam itu. Pembahasan lebih
lanjut mengenai pilihan antisipasi yang tersedia
memerlukan pembahasan lebih lanjut, dan hal itu berada
di luar konteks tulisan ini.
Laju kenaikan muka laut sebesar 0,5 atau 0,8 meter
per tahun memang kecil, tetapi laju perubahan garis pantai
karena erosi sebesar sekitar 10 sampai 13 meter
sekarang adalah laju yang cepat. Kenaikan muka laut
akan memperbesar angka laju erosi tersebut. Oleh karena
itu upaya antisipasi perubahan garis pantai perlu segera
dilakukan. Menggerakkan suatu kelompok masyarakat
untuk melakukan antisipasi dalam menghadapi suatu
perubahan sama artinya dengan menggerakkan
masyarakat untuk beradaptasi. Proses adaptasi adalah
suatu proses yang berjalan dengan waktu seiring dengan
perubahan yang terjadi.
Mengenai dampak kenaikan muka laut terhadap
kawasan pesisir Nicholls (2003) menyebutkan bahwa
dampak perubahan iklim global atau kenaikan muka laut
adalah persoalan jangka panjang. Oleh karena itu,
adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim
global atau kenaikan muka laut global harus
diperhitungkan dengan cermat. Disebutkan pula oleh
Nicholls, pengalaman mengelola kawasan pesisir dari
Belanda, Inggris dan Jepang menunjukkan bahwa,
adaptasi terhadap masalah di kawasan pesisir lebih
merupakan suatu proses daripada penerapan pilihan
teknik. Ada empat tahapan proses adaptasi, yaitu (1)
menyampaikan informasi dan perancangan, (2)
perencanaan dan perancangan, (3) evaluasi, dan (4)
monitoring dan evaluasi. Rangkaian proses tersebut
merupakan suatu siklus kegiatan. Kemudian, berkaitan
dengan proses adaptasi, dengan mengutip Adger et al
tahun 2004, Smith et al (2007) menyebutkan bahwa,
kapasitas untuk melakukan adaptasi adalah fungsi dari
sejumlah faktor, yaitu:
1) Pengenalan akan kebutuhan adaptasi;
2) Kepercayaan bahwa adaptasi adalah mungkin
dan dapat dilakukan;

54

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

DAFTAR PUSTAKA
3) Kemauan melakukan adaptasi;
4) Ketersediaan sumberdaya yang diperlukan untuk
menerapkan berbagai strategi adaptasi;
5) Kemampuan memanfaatkan sumberdaya secara
memadai; dan
6) Hambatan eksternal dalam menerapkan berbagai
strategi adaptasi.
Gambaran tentang pilihan adaptasi dan kemampuan
untuk melakukan adaptasi tersebut di atas menegaskan
bahwa upaya untuk melakukan antisipasi potensi dampak
kenaikan muka laut harus dilakukan jauh hari sebelum
potensi dampak yang digambarkan berubah menjadi
persoalan yang nyata di depan mata yang tidak dapat
dielakkan.
KESIMPULAN
Kawasan pesisir Mundu adalah dataran rendah tepi
pantai yang tersusun oleh batulempung pejal. Sebagian
dataran rendah dekat pantai di kawasan tersebut akan
tergenang oleh air laut bila laut pasang tinggi. Di dataran
pantai tersebut berkembang kegiatan pembuatan garam
yang mencakup sebagian besar lahan datar yang rendah
di kawasan tersebut. Pendekatan analisis profil pantai
yang terukur, yang dikaitkan dengan posisi muka laut
rata-rata, melalui analisis kondisi pasang-surut
memberikan gambaran bahwa, dengan skenario kenaikan
muka laut 0,5 dan 0,8 meter sebagian besar dataran
pantai akan menjadi daerah pasang-surut pada tahun
2100. Sementara itu, analisis perubahan garis pantai
berdasarkan laju perubahan garis pantai antara tahun
2008-2009 memberikan gambaran bahwa garis pantai
akan bergeser sejauh 1000 sampai 1300 meter sampai
tahun 2100. Perubahan garis pantai yang diprediksi itu
akan menyebabkan sebagian besar dataran pantai di
daerah penelitian hilang pada tahun 2100. Kehilangan
lahan datar tepi pantai itu, yang juga berarti hilang pula
lahan produksi garam di kawasan tersebut. Persoalan
dampak kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisir
adalah persoalan jangka panjang, sehingga langkah untuk
melakukan tindakan antisipasi harus segera dilakukan
dari sekarang.
PERSANTUNAN
Data lapangan yang dipergunakan dalam makalah ini
berasal dari kegiatan penelitian yang dibiayai oleh DIPA
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun anggaran 2006,
2008 dan 2009 untuk Program Pengendalian Pencemaran
dan Perusakan Lingkungan Hidup.

Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J.


Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Qur, S. Levitus,
Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley & A. Unnikrishnan.
2007. Observations: Oceanic Climate Change and
Sea Level. In: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z.
Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L.
Miller (Eds.), Climate Change 2007: The Physical
Science Basis. Contribution of Working Group I to
the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge University Press, Cambridge, United
Kingdom and New York, NY, USA.
Crooks, S. 2004. The effect of sea-level rise on coastal
geomorphology. Ibis, 146 (Suppl. 1), 18-20.
Hopley, D. 1992. Global change and the coastline:
assessment and mitigation planning. Journal of
Southeast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 515.Hopley, D., 1992. Global change and the coastline:
assessment and mitigation planning. Journal of
Southeast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 5-15.
Folland, C.K., T.R. Karl, J.R. Christy, R.A. Clarke, G.V.
Gruza, J. Jouzel, M.E. Mann, J. Oerlemans, M.J.
Salinger & S.-W. Wang, 2001: Observed Climate
Variability and Change. In: Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J.
Griggs, M. Noguer,P.J. van der Linden, X. Dai, K.
Maskell, & C.A. Johnson (eds.), Climate Change 2001:
The Scientific Basis. Contribution of Working Group
I to the Third Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change .
Cambridge University Press, Cambridge, United
Kingdom and New York, NY, USA.
Komar, P.D. 1976. Beach Processes and Sedimentation,
Prentice-Hall, &., Englewood Cliffs, New Jersey, 429
p.
London, J.B. & Volonte, C.R., 1991. Land use
implications of sea level rise: a case study at Myrtle
beach, South Carolina. Coastal Management, 19: 205218.
Mimura, N. 1999. Vulnerability of island countries in the
South Pacific to sea level rise and climate change.
Climate Research, v. 12, 137-143.
Nicholls, R.J. & Tol, R.S.J. 2006. Impacts and responses
to the sea-level rise: a global analysis of the SRES
scenario over the twenty-first century. Philosophical

55

Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)

Transaction of The Royal Society A, 364, 1073-1095,


doi: 10.1098/rsta.2006.1754.
Nicholls, R.J. 2003. Case study on sea-level rise impacts.
Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) Workshop on the Benefits of
Climate Policy. OECD, Paris.
Smith, T.F., Brooke, C., Preston, B., Gorddard, R., Abbs,
D., McInnes, K., Withycombe, G. & Morrison, C. 2007.
Managing for climate variability in the Sydney region.
Journal of Coastal Research, SI 50 (Proceedings of
the International Coastal Symposium), 109-113.
Wheeler, D. 2007. The IPCC debate on sea-level rise:
critical stakes for poor countries. Center for Global
Development.
[http://blogs.cgdev.org/
globaldevelopment/2007/02/the-ipcc-debate-on-sealevel-r.php]. Akses 11 April 2010.

56

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP


PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis

Rachma Puspitasari1)

1)

Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011

ABSTRAK
Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitas rumah tangga, industri dan
pelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut berpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalam
ekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat. Kondisi kesehatan sedimen dapat
ditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik. Penelitian
ini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik
C. gracilis. Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab Smith McIntrye 0,05m2.
Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awal satu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama
96 jam. Titik akhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan dibandingkan
dengan kontrol setelah 96 jam pemaparan. Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimen
dianalisa untuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhan C. gracilis dibanding
dengan kontrolnya. Selain itu, kadar logam berat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan. Efek
stimulasi pertumbuhan ditandai dengan rata-rata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatan
pada perlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada beda nyata
jumlah sel di tiap stasiun. Hasil analisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antara
kadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen Cirebon
masih berada dalam kondisi baik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis.
Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis, Cirebon

ABSTRACT
Coastal area of Cirebon is much influenced from domestic activities, industries, fisheries and
ports. These activities potentially contribute contaminants that enter the aquatic ecosystems and
affect the quality of sediment. The health condition of sediment can be evaluated from various aspects
including aspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims to evaluate toxicity of sediment
Cirebon to planktonic diatomae, C. gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using the
Grab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sediment for 96 hours. Endpoint of the test is
mean number of cells C. gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure. Mean number
of cells of C. gracilis in treatment was analyzed wheter its showed a stimulation or an inhibition growth
effect compared to control. The results indicate that Cirebon sediment still showed stimulation effect
on growth of C. gracilis. Stimulation effect of growth was characterized by the increasing of cells
number in sediment treatment than that of cells in seawater control. Result of ANOVA shows no
significance difference was among stations. Result of correlation analysis shows that there was no
strong correlation between Cd concentration in sediment and number of cells of C. gracilis. Generally,
Cirebon sediment is still in a good condition and can support for planktonic diatom, C. gracilis s life.
Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon
Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: rachma.puspitasari@lipi.go.id

57

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN
Sedimen, sebagai salah satu unsur penyusun
kawasan pesisir, merupakan habitat bagi banyak
organisme akuatik dan merupakan penyimpan utama dari
banyak senyawa kimia yang secara terus menerus
terpapar pada permukaan perairan. Dalam lingkungan
akuatik, sebagian besar senyawa antropogenik dan
buangan limbah (termasuk toksikan organik dan
anorganik) akhirnya dapat terakumulasi dalam sedimen.
Senyawa kimia dalam sedimen dapat menimbulkan efek
toksik langsung terhadap kehidupan akuatik atau dapat
terbioakumulasi dalam rantai makanan. Toksisitas
sedimen diartikan sebagai perubahan ekologik dan
biologik yang disebabkan oleh sedimen terkontaminasi
atau reaksi teramati yang timbul pada organisme uji yang
dipaparkan pada sedimen terkontaminasi (Luoma & Ho,
1993). Saat ini, mikroalga banyak digunakan dalam uji
ekotoksikologi baik air tawar atau air laut. Dalam uji
toksisitas, beberapa parameter yang umum dilihat untuk
memperkirakan efek dari toksikan terhadap mikroalga
antara lain pertumbuhan dan aktivitas fotosintetik
(Campanella et al., 2000).
Alga adalah komponen esensial dari ekosistem
akuatik yang memproduksi oksigen dan substansi
organik melalui proses fotosintesis yang sangat
dibutuhkan bagi organisme lainnya antara lain ikan dan
invertebrata (Berard, 1996). Mikroalga berperanan penting
dalam keseimbangan ekosistem akuatik, karena berada
di tingkat pertama dalam rantai makanan yang
memproduksi bahan organik dan oksigen melalui
fotosintesis. Diatom planktonik C. gracilis adalah spesies
yang dapat digunakan sebagai biota uji dalam uji
toksisitas sedimen karena memenuhi beberapa
persyaratan sebagai biota uji (Rand & Petrocelli, 1985),
yaitu pertumbuhannya yang cepat, sensitivitas dan
penanganannya mudah di laboratorium (Hindarti, 2008).
Chaetoceros gracilis merupakan spesies dari kelas
Bacillariophyceae dan merupakan salah satu genus
diatom penting dalam plankton laut karena merupakan
genus terbesar dan berperan sebagai produsen primer
serta merupakan makanan penting bagi biota lain
terutama udang (Panggabean, 1997). Jenis diatom ini
dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran air
karena mampu bertahan di perairan tercemar. Hal ini
disebabkan karena diatom ini memiliki kemampuan
melekat pada substrat lebih baik daripada mikroalga lain.
Kemampuan melekat disebabkan karena diatom memiliki
material berupa lendir atau organel berupa setae
(Aunurohim et al., 2008). Menurut Isnansetyo &
Kurniastuty (1995), Chaetoceros toleran terhadap suhu
air yang tinggi. Alga ini akan tumbuh optimal pada kisaran
suhu 25-30C dan masih dapat tumbuh pada suhu 37C.

Pada suhu 40, C. gracilis masih dapat bertahan hidup


namun tidak berkembang. Kisaran salinitas optimum
untuk pertumbuhan antara 17-25 permil dengan salinitas
minimum sekitar 6 permil.
Pada penelitian terdahulu (Puspitasari & Hindarti,
2009; Hindarti et al., 1999; Hindarti et al., 2008; Hindarti,
2008), diperoleh gambaran tentang efek sedimen terhadap
pertumbuhan diatom, C. gracilis. Hal ini mendorong
dilakukan penelitian yang lebih spesifik tentang efek
toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan
diatom planktonik C. gracilis. Jika terdapat kandungan
bahan toksik yang berbahaya di dalam sedimen, maka
pertumbuhan C. gracilis akan terganggu ditandai dengan
adanya penghambatan pertumbuhan dan rata-rata jumlah
selnya akan berkurang dibandingkan jumlah sel pada
kontrol. Terlebih lagi bahwa salah satu permasalahan
yang dihadapi kawasan pesisir seperti Cirebon adalah
masuknya bahan pencemar atau limbah dari kegiatan
yang terjadi di daratan sekitarnya (land based pollution),
daratan dengan cakupan yang lebih luas melalui sungai,
maupun hasil kegiatan yang ada di perairan pesisir dan
laut itu sendiri (sea based pollution), seperti kegiatan
pelabuhan, pelayaran, dan penambangan lepas pantai,
yang menyebabkan terjadinya pencemaran akibat terlalu
banyaknya bahan pencemar yang masuk ke perairan
hingga melampaui daya dukung alamnya (Dahuri et al.
1996).
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel
Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun di daerah
muara sungai dan laut sekitar Sungai Sukalila (Gambar
1). Posisi stasiun dicatat menggunakan GPS Garmin III
Plus. Sampel sedimen diambil menggunakan Grab Smith
Mc-Intyre 0,05 m2 sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap
stasiun. Sampel sedimen dicuplik dari lapisan permukaan
dasar laut (kira-kira 0-10 cm) kemudian diambil sedimen
lapisan atas setebal 1-5 cm, dikomposit dan dimasukkan
dalam botol 1 L sesuai dengan standar. Sampel sedimen
disimpan dalam suhu 4oC dalam keadaan gelap sampai
saat dilakukan pengujian toksisitas (ASTM, 2006).
Prosedur uji toksisitas
Pembuatan larutan toksikan acuan kadmium
Toksikan acuan (reference toxicant) merupakan bahan
atau zat yang diketahui dari penelitian sebelumnya untuk
mendapatkan penjelasan pengaruh pada organisme uji
(Rand & Petrocelli, 1985). Uji toksikan acuan toksikan
dilakukan bersamaan dengan uji toksisitas sedimen. Uji
toksikan acuan digunakan untuk menilai kesehatan dan

58

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

Gambar 1 .

Lokasi penelitian di perairan pesisir Cirebon, Februari 2010.

sensitifitas biota uji yang digunakan. Toksikan standar


yang digunakan adalah kadmium. Prosedur pengujiannya
mengacu pada Hindarti (1997). Larutan stok kadmium
disiapkan dengan melarutkan kadmium klorida (CdCl2)
ke dalam akuades. Konsentrasi uji disiapkan dengan
mengencerkan larutan stok kadmium sesuai konsentrasi
yang diinginkan Konsentrasi larutan kadmium yang
dipakai adalah 0,56; 1.0; 1,8; 3,2; 5,6 mg/L Cd
(Puspitasari & Hindarti, 2009). Jadi, ada dua set
pengujian yang dilakukan yaitu satu set pengujian
kadmium (termasuk kontrol) sebagai toksikan acuan
serta satu set pengujian sedimen termasuk kontrol.
Uji Toksisitas Sedimen
Kultur murni C.gracilis berumur 4 hari diperoleh dari
laboratorium Marikultur-Puslit Oseanografi LIPI. Sedimen
ditimbang sebanyak 18 gram kemudian diaduk kira-kira

10 detik dengan 900 ml air laut yang sudah disaring


dengan kertas saring ukuran 0,45 m dan disteril dengan
autoklaf. Campuran dibiarkan selama 4 jam sampai
sedimen mengendap, dan lapisan atas (overlying water)
diambil sebanyak 100 ml untuk uji toksisitas sedimen
dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Larutan
kontrol sedimen dan kontrol kadmium disiapkan dan
hanya berisi air laut steril saja. Larutan toksikan acuan
kadmium disiapkan dengan volume yang sama (100 ml).
Kemudian 1 ml larutan kultur C. gracilis dengan
kepadatan satu juta sel/ml diinokulasikan ke dalam
erlenmeyer berisi 100 ml larutan uji, sehingga kepadatan
sel menjadi 10,000 sel/ml. Masing-masing perlakuan
memiliki 3 ulangan. Lama pemaparan dengan kadmium
dan sedimen adalah 96 jam. Titik akhir pengamatan
adalah pertumbuhan (jumlah sel) diatom pada perlakuan
dibanding dengan kontrol setelah 96 jam yang dihitung

59

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

dengan haemocytometer. Uji dianggap valid apabila jumlah


sel pada kontrol mencapai 2 x 105 sel/ml (CPMS-II, 1995).
Nilai Persentase penghambatan/Inhibition (I) dan
stimulasi (S) dari rata-rata jumlah sel tiap perlakuan (P)
dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel pada kontrol
air laut (K) setelah 96 jam pemaparan dihitung
berdasarkan persamaan berikut:
KP
I = X 100 %
K

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh sampel sedimen terhadap pertumbuhan
diatom C.gracilis.
Nilai IC50 toksikan acuan Cd diperoleh sebesar 2,36
mg/L Cd. Nilai ini diperoleh dengan memasukkan data
jumlah sel diatom setelah pemaparan 96 jam ke dalam
program software ICPIN. Nilai ini masih berada dalam
kisaran nilai IC50 Cd untuk C. gracilis yang diperoleh dari
penelitian rutin di Laboratorium Ekotoksikologi LIPI yaitu
1,74 +0,82 mg/L Cd (unpublished data). Nilai IC50 ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan biota uji dalam
keadaan normal dan prosedur uji telah dilaksanakan
sesuai dengan prosedur standar.

................ (1)

PK
S = X 100 %
K

software ICPIN (Norberg-King, 1993). Pengaruh sampel


sedimen terhadap C. gracilis di tiap stasiun dibandingkan
dengan kontrol dianalisa dengan SPSS 17.0

................ (2)

Parameter kualitas air yang dipantau selama uji


adalah oksigen terlarut yang diukur menggunakan DO
meter YSI 55, salinitas menggunakan refraktometer, pH
dan suhu menggunakan pH meter Eijkelkamp.
Pengukuran kadar logam berat dalam sedimen
Sampel sedimen dikeringkan di oven pada suhu 105oC
+ 24 jam. Sampel kemudian dihaluskan dengan mortar
hingga halus dan homogen. Sebanyak satu gram contoh
sedimen tersebut didestruksi dengan HNO3/HCl (1:3)
dalam Erlemeyer yang dipasangi oleh alat refluks di
hotplate (USEPA, 1996). Pengukuran konsentrasi logam
berat dalam sampel sedimen menggunakan alat atomic
absorption spectrophotometer (AAS) merek Varian
AASpectra 20 dengan nyala campuran udara-asetilen.
Analisis statistik
Nilai IC50 (Effective Concentration) Cd terhadap ratarata jumlah sel diatom C. gracilis dihitung dengan

Uji toksisitas pertumbuhan fitoplankton dianggap valid


bila jumlah sel pada kontrol negatif setelah 96 jam adalah
e 2 x 105 sel/mL (ASTM, 2006). Mengacu pada kondisi
tersebut, uji toksisitas sedimen ini valid karena rata-rata
jumlah sel C. gracilis pada kontrol uji kadmium adalah
8,2 x 105 sel/mL dan pada kontrol uji toksisitas sedimen
9,5 x 105 sel/mL. Pengaruh toksikan kadmium terhadap
rata-rata jumlah sel diatom disajikan dalam Gambar 2.
Parameter kualitas air larutan uji kadmium yang diukur
pada permulaan uji berkisar antara 23,6 - 23,7 oC; 5,63 6,80 mg/L; 8,12 - 8,20, dan 32 ppt masing-masing untuk
suhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 1).
Hasil uji toksisitas sedimen terhadap diatom disajikan
dalam Gambar 3. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat
bahwa pertumbuhan diatom di tiap stasiun bervariasi.
Rata-rata jumlah sel di sebagian besar stasiun lebih tinggi
daripada kontrolnya.

100

Jumlah sel (x10 sel/ml)

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
kontrol

0,56

1,0

1,8

3,2

5,6

Konsentrasi kadmium (mg/L)

Gambar 2.

Pengaruh konsentrasi kadmium terhadap rata-rata jumlah sel diatom, C. gracilis.

60

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

Tabel 1.

Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium


Kons.
(mg/L)
Kontrol
0,56
1
1.8
3,2
5,6

Oksigen Terlarut
(mg/L)
5,63
6,80
6,7
6,65
6,64
6,71

pH

Suhu
(C)
23,6
23,6
23,6
23,7
23,7
23,7

8,12
8,16
8,19
8,19
8,19
8,20

Salinitas
(ppt)
32
32
32
32
32
32

Jumlah sel (x10 4 sel/ml)

250
200
150
100
50
0
kontrol

St 1

St 2

St 3

St 4

St 5

St 6

St 7

St 8

St 9

St 10

St A

Stasiun

Gambar 3.

Perata jumlah sel diatom setelah 96 dipaparkan dengan sedimen pesisir Cirebon.

Sedangkan efek stimulasi (S) dan penghambatan/


Inhibition (I) sedimen pada tiap stasiun terhadap
pertumbuhan diatom, C. gracilis dapat dilihat dalam
Gambar 4. Sebagian besar sedimen masih menunjukkan
efek stimulasi pertumbuhan dengan maksimum nilai di

stasiun muara sungai (A) sebesar 75,5%. Pada stasiun


6, 7 dan 10 dijumpai penghambatan pertumbuhan C.
gracilis dengan maksimum nilai di stasiun 7 sebesar 19,3
%.

100

Persentase (%)

80
60
40
20
0
-20

St 1

St 2

St 3

St 4

St 5

St 6

St 7

St 8

St 9

St 10

St A

-40
Stasiun

Gambar 4.

Pengaruh sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom, C. gracilis berupa stimulasi
pertumbuhan atau penghambatan pertumbuhan. Stimulasi dinyatakan dengan nilai positif sedangkan
penghambatan dinyatakan dengan nilai negatif.

61

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Parameter kualitas air larutan uji sedimen yang diukur


pada permulaan uji berkisar antara 23,6-24,2 oC; 5,056,59 mg/L; 8,05-8,15 dan 32 ppt, masing-masing untuk
suhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 2).
Tabel 1.

Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium


Kons.
(mg/L)
ST A
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
ST 5
ST 6
ST 7
ST 8
ST 9
St 10
Kontrol

Oksigen Terlarut
(mg/L)
5,05
6,05
6,43
6,46
6,33
6,25
6,36
6,26
6,12
6,59
5,12
5,63

Sebagian besar stasiun sedimen menunjukkan efek


stimulasi pertumbuhan C. gracilis dibanding kontrol,
hanya di tiga stasiun (Stasiun 6, 7 dan 10) menunjukkan
efek penghambatan yang relatif kecil masih dibawah
50%. Walaupun tampak stimulasi pertumbuhan yang
ditandai dengan meningkatnya jumlah sel C. gracilis
dibanding kontrol, tetapi setelah dianalisa dengan ANOVA,
diperoleh hasil bahwa tidak ada beda nyata rata-rata
jumlah sel antara perlakuan sedimen dengan kontrol air
laut (p>0,05) setelah 96 jam pemaparan. Walaupun
demikian, peningkatan jumlah sel di sebagian besar
stasiun sedimen, dapat menjadi indikator bahwa sedimen
masih dalam kondisi baik. Kondisi sedimen dapat

Gambar 5.

dikatakan seragam dilihat dari tidak adanya beda yang


signifikan pada jumlah sel C. gracilis.

pH
8,05
8,07
8,14
8,15
8,12
8,12
8,14
8,12
8,15
8,05
8,15
8,12

Suhu
(C)
24,0
23,8
23,8
24,1
23,9
24,0
24,0
23,7
24,0
24,2
23,8
23,6

Salinitas
(ppt)
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32
32

Bulan Februari merupakan musim Barat, dimana pada


bulan ini masih dijumpai hujan sehingga aliran nutrien
dari daratan yang masuk ke dalam perairan pesisir cukup
tinggi. Data Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian
Cirebon menyebutkan bahwa pada Februari 2006-2008,
curah hujan di daerah Cirebon mencapai 171-533 mm
(Anonim, 2008). Nutrien ini dapat terendap ke dasar
perairan dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat.
Nutrien ini akan memperkaya zat hara dalam sedimen
sehingga memicu pertumbuhan diatom setempat. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Kunarso et al. (2008) bahwa
perairan pesisir konsentrasi nutriennya lebih tinggi
daripada di laut karena mendapat masukan dari aktivitas

Kadar logam kadmium dalam sedimen pesisir Cirebon, Februari 2010

62

Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)

daratan melalui aliran sungai maupun air limpasan (run


off). Adanya pasokan air yang berasal dari hujan akan
memperkaya nutrien di lokasi setempat serta dapat
mengencerkan konsentrasi toksikan yang mengalir ke
perairan. Hal ini menjadi alasan sehingga pertumbuhan
diatom cenderung meningkat dibandingkan kontrol. Pada
beberapa stasiun seperti stasiun 6, 7 dan 10 dijumpai
efek penghambatan pertumbuhan yang kecil (<50%),
yaitu adanya penurunan jumlah sel C. gracilis
dibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini disebabkan
adanya limpasan yang dibawa arus dari daratan. Namun,
secara umum sedimen perairan Cirebon menunjukkan
efek stimulasi terhadap pertumbuhan diatom ditandai
dengan peningkatan jumlah sel C. gracilis di sebagian
besar stasiun.
Menurut Anonim (2010), hasil pengukuran logam berat
dalam sedimen menunjukkan bahwa konsentrasi
kadmium sudah melewati ambang batas yang ditetapkan
CCME (2002) sebesar 0,7 mg/kg Cd. Indonesia sendiri
belum memiliki baku mutu sedimen, oleh karena itu bila
dipakai baku mutu dari Canadian Council of Ministers of
the Environment, konsentrasi kadmium di beberapa
stasiun (Stasiun 4, 9, 10 dan A) sudah melewati ambang
batas (Gambar 5).
Walaupun kadar kadmium sudah melewati ambang
batas dari CCME, namun respon diatom secara umum
masih menunjukkan stimulasi pertumbuhan. Sedimen
Cirebon masih mengandung unsur nutrien yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan diatom sehingga
dikategorikan masih dalam kondisi baik. Sifat hidup dari
C. gracilis yang planktonik atau melayang di kolom air
juga turut berpengaruh. Sedimen dasar diduga tidak
mengalami pengadukan yang cukup kuat oleh arus
sehingga partikel-partikel logam berat tidak terlepas ke
kolom air. Akibatnya walaupun logam berat kadmium
terukur tinggi dalam sedimen di beberapa stasiun namun
tidak mempengaruhi secara nyata terhadap pertumbuhan
diatom.
KESIMPULAN
Dari hasil uji toksisitas sedimen yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon secara
umum masih menstimulasi pertumbuhan diatom
planktonik C. gracilis ditandai dengan peningkatan ratarata jumlah sel C. gracilis dibandingkan dengan kontrol
air laut setelah 96 jam pemaparan dengan sedimen. Hal
ini menunjukkan sedimen pesisir Cirebon masih dalam
kondisi baik dan mendukung pertumbuhan diatom
planktonik C. gracilis.

PERSANTUNAN
Penelitian ini didanai oleh anggaran APBN Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI tahun anggaran 2010. Ucapan
terimakasih diucapkan kepada teman-teman peneliti dan
teknisi yang telah membantu dalam pengambilan sampel
dilapangan, pengujian sampel di laboratorium sampai
penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurohim, D. Saptarini & D. Yanthi. 2008. Fitoplankton
penyebab harmful Algae blooms (HABs) di Perairan
Sidoarjo. Surabaya Institut Teknologi Sepuluh
November.
Anonim. 2010. Polutan Antropogenik dan Toksisitasnya
di Perairan Estuari Sukalila, Cirebon. Laporan Akhir
Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Anonim. 2008. Profil Kota Cirebon 2008. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat
Statistik kota Cirebon.1-189
ASTM. 2006. Standard Guide for Conducting Static 96-h
Toxicity Testing with Marine Algae method E 12 1819 in : Annual Book of Standards. Vol. 11.06 Biological
Effects and Environmental Fate; Biotechnology; Water
and Environmental Technology. ASTM International,
West Conshohocken, PA. pp 58-78
Berard, A. 1996. Effect of Organic Four Solvents on
Natural Phytoplankton Assemblages: Consequences
for Ecotoxicological Experiments on Herbicides. Bull.
Environ. Contam. Toxicol. 57: 183190.
CCME. 2002. Sediment Quality Guidelines. Canadian
Environmental Quality Guidelines. 2 pp.
Campanella, L., F. Cubadda, M. P. Sammartino & A.
Saoncella.2000. An Algal Biosensor for the Monitoring
of Water Toxicity in Estuarine Environments. Water
Res. 25: 6976.
CPMS-II 1995. Draft Protocol for Sub lethal Toxicity Tests
Using Tropical Marine Organisms. ASEAN-Canada
Cooperative Programme on Marine Science Phase
II. Regional Workshop on Chronic Toxicity Testing,
Burapha University, Institute of Marine Science,
Thailand.
Dahuri, R. J. Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu.1998.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.1996
Luoma, S. N & K.T. Ho.1993. Approriate Uses of Marine
and Estuarine Sediment Bioassays. In : Handbook

63

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

of Ecotoxicology Vol.1. P. Calow (Ed.).Oxford


Blackwell Sci.Publ., London.(1993):193-226.
Hindarti, D. 1997. Metode Uji toksisitas Dalam : Metode
Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi : 160-168.

Rand, G. M. & S. R. Petrocelli.1985.Fundamentals of


Aquatic Toxicology: Methods and Applications. New
York: Hemisphere Pub. Corp.1985.
USEPA. 1996.Test Methods for Evaluating Solid Waste
SW-846 Methods 3050B

Hindarti D.,Y.Darmayati, Sulistijo & M.G.L.Panggabean.


1999. Effect of Jakarta Bay Sediment on Green
Mussel Larvae (Perna viridis) and Phytoplankton
(Chaetoceros gracilis and Tetraselmis sp) In:
Proceedings of the Fourth ASEAN-Canada Technical
Conference on Marine Sciences. EVS Environments
Consultants, Langkawi Malaysia. pp 124-13.
Hindarti, D. 2008. Uji Toksisitas Sedimen Dengan Diatom
Planktonik, Chaetoceros gracilis. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 34 (3) : 461-478.
Hindarti, D., Z. Arifin, R. Puspitasari & E.
Rochyatun.2008. Sediment contaminants and their
toxicity in Kelabat Bay, Bangka Belitung Province,
Indonesia. Mar. Res. in Indonesia. 33 (1) :203-212.
Isnansetyo & Kurniatuty.1995. Teknik Kultur
Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta. Penerbit
Kanisius.
Kunarso, D.H.,Y.Darmayati & R. Nuchsin. 2008. Kajian
bakteri produktivity di estuari Cisadane. Ekosistem
Estuari Cisadane. LIPI :27-38.
Norberg-King, T.J. 1993. A Linear Interpolation Method
for Sublethal Toxicity: The Inhibition Concentration
(Icp) Approach (version 2.0). U.S. Environmental
Protection Agency, Environmental Research
Laboratory, Duluth, M.N. Tech. Report 03-93 of the
National Effluent Toxicity Assessment Center.30 pp.
Panggabean, L. M. G.1997. Toxicity of Hexavalent
Chromium and Cadmium to Green Mussels (Perna
viridis) Embryo. Pp X-38-43. In : Vigers, G. A,K.S.Ong,
C. McPherson, N. Millson,I. Watson and A. Tang
(eds.).ASEAN Marine Environmental Management :
Quality Criteria and Monitoring for Aquatic Life and
Human Health Protection. Proceedings of the ASEAN
Canada Technical Conference on Marine Science
(24-28 June 1996), Penang, Malaysia. EVS
Environment Consultants, North Vancouver and
Department of Fisheries Malaysia .817 pp.
Puspitasari, R. & D. Hindarti. 2009. Korelasi Antara
Logam Berat Dalam Sedimen dan Toksisitasnya
Terhadap Diatom, Chaetoceros gracilis. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia Volume 35 Nomor 2. 131149.

64

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN


NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Susi Rahmawati1)
1)

Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI

Diterima tanggal: 28 April 2011; Diterima setelah perbaikan: 12 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal 27 Juli 2011

ABSTRAK
Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagai negara menyebabkan peningkatkan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan ekosistem laut
dan pesisir sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangan
karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperoleh secara acak di sepanjang pesisir
pantai dengan menggunakan plot berukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untuk
menentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamun dianalisis dengan menggunakan
metode Kurmies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitas
lamun Enhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari adalah 200,5
g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1 atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnya
adalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam
strategi mitigasi dan adaptasi lamun terhadap perubahan iklim.
.
Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan Seribu
ABSTRACT
The rapid development of industrial sector in many countries has caused the increasing of greenhouse
gases emission in the atmosphere that contributes to global climate change. One of aspect of climate
change mitigation is maintaining and improving the ability of ocean and coastal area ecosystems as
carbon sequester and carbon storage. A study was conducted on carbon stock of seagrass community
at Pari Island, Jakarta. Data were colected randomly along the coastal area using plots measuring of
0.0625 m2 for biomass and 0.25 m2 for community structure. Whilst carbon content of seagrasses was
analysed using Kurmies method. Results show that Pari Coastal Island was formed by EnhalussThalassia community. The average of carbon stock of seagrass community at Pari Island was 200.5 g
C m-2 or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean while the total carbon stock was 67.21
Mg C (67.21 tons C). This information could be used as a basic information on the mitigation and
adaptation to climate change.
Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu Islands

Korespondensi Penulis:
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta.

E-mail: susi005@lipi.go.id

65

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

PENDAHULUAN
Pertumbuhan sektor industri dan ekonomi di berbagai
negara yang relatif cepat menyebabkan peningkatan
emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan
CH 4 di atmosfer. Akibatnya peningkatan tersebut
berkontribusi dalam perubahan iklim dan berdampak pada
perubahan pola cuaca, produksi makanan, serta
kehidupan manusia (Nellemann et al., 2009). Fakta
mengenai emisi CO2 dapat dilihat pada hasil penelitian
Yusratika et al. (Tanpa tahun) dalam bidang transportasi
di Jakarta pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Salah satu upaya mitigasi yang dilakukan untuk
mengurangi konsentrasi CO 2 di atmosfer adalah
memelihara dan mengembangkan kemampuan hutan dan
lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon.
Pemanfaatan hutan dalam upaya mitigasi tersebut sudah
banyak diimplementasikan, sedangkan penerapan peran
lautan belum terlihat secara signifikan (Nellemann et al.,
2009).
Lautan memiliki peranan yang penting dalam siklus
karbon secara global. Sekitar 93% CO 2 di bumi
disirkulasikan dan disimpan melalui lautan. Laut,
termasuk ekosistem pesisir pantai, dapat menyimpan
karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka
waktu yang relatif lama. Ekosistem pesisir pantai seperti
ekosistem mangrove, rawa masin (salt marshes), dan
padang lamun memiliki luas area yang relatif kecil
dibandingkan luas lautan (<0,5%) dan ekosistem
terestrial lainnya. Namun, ekosistem tersebut memiliki
kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengan
kapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50% total
penyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan juga
memiliki produksi primer bersih (net primary production/
NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem
lainnya (Larkum et al., 2006). Selain itu, biomassa
vegetasi pesisir yang bernilai sekitar 0,05% dibandingkan
biomassa tumbuhan di daratan mampu menyimpan
karbon dengan jumlah yang sebanding setiap tahunnya
(Nellemann et. al., 2009). Dengan demikian, lautan
memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat
dan menyimpan CO2 di atmosfer.
Padang lamun, salah satu komunitas penyusun
ekosistem pesisir pantai, memiliki fungsi ekologis dan
bernilai ekonomi, juga merupakan habitat dengan
biodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologis
ekosistem lamun antara lain sebagai tempat pembenihan
berbagai jenis ikan, tempat berbagai biota laut mencari
makan, menghubungkan habitat darat dan habitat laut
lainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosi
pesisir pantai, dll. (Green & Short, 2003; Kennedy &
Bjrk, 2009). Padang lamun juga memiliki fungsi utama

yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagai penyimpan


karbon (Kennedy & Bjrk, 2009).
Waktu pergantian komponen lamun yang relatif lama,
terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan
kemampuan lamun menyimpan kelebihan produksi
karbon di dalam sedimen, serta kemampuan akumulasi
jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran
padang lamun dalam menyimpan cadangan karbon
(carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran
berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih saja.
Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai
reservoir karbon (carbon sink) (Kennedy & Bjrk, 2009;
Mateo et al., 1997).
Informasi mengenai kemampuan lamun sebagai
penyimpan cadangan karbon tersebut masih terbatas,
terutama di Indonesia, sehingga penelitian mengenai
pengukuran cadangan karbon pada lamun perlu
dilakukan. Selain itu, wilayah pesisir Indonesia dengan
luas area padang lamun sekitar 30.000 km2, terluas
kedua di dunia setelah Australia Timur (Green & Short,
2003), kemungkinan memiliki kapasitas yang cukup
besar dalam meyimpan CO2. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan mengestimasi nilai cadangan karbon yang
terkandung pada komunitas lamun di Pulau Pari, Taman
Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di rataan terumbu pantai Pulau
Pari (Gambar 1), Taman Nasional Kepulauan Seribu,
Jakarta. Pencuplikan sampel dilakukan pada Juni 2010.
Pendugaan cadangan karbon pada padang lamun
dilakukan dengan menggunakan metode random kuadrat.
Pencuplikan sampel dilakukan pada dua lokasi yaitu
Pantai Selatan (lokasi 1) dan Pantai Barat (lokasi 2) Pulau
Pari (Gambar 1). Pantai Selatan memiliki vegetasi
campuran, sedangkan Pantai Barat bervegetasi sejenis
(Enhalus acoroides). Parameter-parameter yang diukur
yaitu penutupan, biomassa, dan kandungan karbon pada
setiap jenis lamun.
a)

Penutupan lamun
Pengukuran penutupan lamun dilakukan dengan
metode estimasi secara visual pada kuadrat
berukuran 0,25 m2 (Short et al., 2004). Perkiraan
penutupan dilakukan terhadap penutupan total dan
masing-masing jenis.

b)

Perhitungan Biomassa
Perhitungan biomassa dilakukan pada setiap bagian
tumbuhan lamun yang berbeda yaitu bagian above-

66

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

ground (Abg) meliputi taruk (daun dan pelepah daun)


dan bunga, dan bagian below-ground (Blg) meliputi
akar dan rhizome (Kaldy & Dunton, 2000). Sampel
biomassa dicuplik pada kuadrat berukuran 0,0625 m2
(Short & Coles, 2001). Selanjutnya sampel
dikeringkan pada temperatur 60C sampai beratnya
konstan sehingga diperoleh bobot kering (BK) (Short
et. al., 2004).
a)

Kandungan karbon
Kandungan karbon didefinisikan sebagai jumlah
karbon yang terdapat di dalam setiap jenis lamun.
Perhitungan kandungan karbon (%) pada setiap jenis
lamun (Abg dan Blg) dilakukan dengan metode
Kurmies terhadap biomassa kering lamun. Pengujian
dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian
Tanaman dan Sayuran, Kabupaten Bandung.

Pantai Barat masing-masing adalah 22,86% dan 23,17%.


Komposisi jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan pada hasil penelitian, nilai biomassa dan
cadangan karbon dapat dilihat dalam Tabel 3. Nilai
cadangan karbon rata-rata lamun adalah 200,5 g C m-2
atau 2,005 Mg C ha-1, dengan cadangan pada Abg dan
Blg masing-masing 79,2 g C m-2 dan 120,8 g C m-2. Nilai
cadangan karbon pada lamun di Pulau Pari tidak berbeda
jauh dibandingkan dengan nilai karbon padang lamun
menurut Kennedy & Bjrk (2009) yaitu 184 g C m-2 (Tabel
4).
Menurut Duarte & Chiscano (1999) rerata biomassa
lamun adalah 461 g BK m-2 (Tabel 5), sedangkan nilai
biomassa rata-rata lamun di Pulau Pari adalah 486 g BK

Gambar 1.
b)

Peta Lokasi Penelitian di Pulau Pari.

Perhitungan cadangan karbon


Cadangan karbon ditentukan dengan mengalikan
biomassa dengan nilai kandungan karbon pada setiap
jenis.

m-2 relatif tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai biomassa


dan cadangan karbon antara literatur dan hasil penelitian
ini dapat disebabkan oleh kadar nutrisi lingkungan habitat
lamun yang berbeda. Variabilitas kandungan nutrisi
dihasilkan dari perbedaan dalam satu jenis dan antar jenis
lamun (Duarte, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rataan terumbu pantai Pulau Pari memiliki lamun
dengan komunitas pembentuk Enhalus-Thalassia.
Penutupan rata-rata lamun pada Pantai Selatan dan

Nilai cadangan karbon ditentukan oleh biomassa dan


nilai kandungan karbon setiap jenisnya. Dari kedua
lokasi, nilai cadangan karbon terbesar terdapat pada
lokasi kedua yaitu Pantai Barat Pulau Pari dengan

67

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

Thlassia hemprichii
Enhalus acoroides
Cymodocea rotundata
Halophila ovalis
Halodule uninervis
Cymodocea serrulata

Jenis
Lamun

Enhalus acoroides

Pantai Selatan

Pantai Barat
Lokasi Penelitian

Gambar 2.

Jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasi penelitian di Pulau Pari.

Tabel 3.

Biomassa dan cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari.

Pantai Selatan

Biomassa
-2
(g BK m )
Abg
Blg
182,7
99,9

Pantai Utara
Rerata

224,8
203,7

Lokasi

Keterangan: C = carbon
Tabel 4.

464,7
282,3

Cadangan Karbon
-2
(g C m )
Abg
Blg
68,9
33,9
90,5
79,2

486
BK = bobot kering

207,7
120,8

Tipe vegetasi
Campuran
Sejenis

200,5

Perbandingan cadangan karbon berdasarkan satuan luas pada ekosistem terestrial dan padang
lamun (Kennedy & Bjrk, 2009).
Ekosistem
Hutan tropis
Hutan Subtropis
Hutan boreal
Savana tropis dan
padang rumput
Padang rumput
subtropis dan
padang semak
Padang pasir dan
semi padang
pasir
Tundra
Lahan pertanian
Lahan basah
Padang lamun
(Posidonia
oceanica)

NPP
-2
(g C m
-1
th )
778
625
234
787

Standing stock
-2
(g C m )
Plant
Soil
12.045
12,273
5.673
9,615
6.423
34,380
2.933
11,733

424

720

23,600

31

176

4,198

105
425
1.229
400-817
a
(60-184 )

632
188
4.286
184
b
(124 )

12,737
8,000
72,857
c
7.000
(40.000d
160.000 )

a. Pergent et al. (1994), b. Romero et al. (1992), c. Dihitung menggunakan konsentrasi karbon
0,7 % BK, porositas 80%, dan dry solid density 2,5 g cm-2, d. Mateo et al. (1997).

68

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

Tabel 5.

Rata-rata biomasa dan produksi primer bersih pada komunitas tumbuhan yang berbeda (Duarte
& Chiscano, 1999).
Komunitas
Hutan
Tropis
Subtropis
Boreal
Padang rumput
Savana
Subtropis
Tundra dan alpine
Rawa dan marshes
Lahan kultivasi
Fitoplankton
Microfitoplankton
Terumbu karang
Makroalga

Biomassa
-2
(g BK m )

NPP
-2
(g DW m per hari)

45000
35000
20000

5,2
3,4
2,2

Whittaker (1975)
Whittaker (1975)
Whittaker (1975)

4000
1600
600
15000
1000
9,2

2,4
1,6
0,4
5,5
1,8
0,35
0,13

Whittaker (1975)
Whittaker (1975)
Whittaker (1975)
Whittaker (1975)
Whittaker (1975)
Cebrin dan Duarte (1994)
Charpy-Roubaud & Sournia
(1990)
B = Whittaker (1975)
P = Crossland et al. (1991)
B = Cebrin & Duarte (1994)
P = Charpy-Roubaud & Sournia
(1990)
B = Cebrin & Duarte (1994)
P = Woodwell et al. (1973)
P = (Lugo et al. (1988)
Duare & Chiscano (1999)

2000
40,7

0,8
1,0

Marsh plant

767

3,0

Mangrove
Lamun

461

2,7
2,7

cadangan karbon sebesar 298,2 g C m-2. Pantai Barat


merupakan lamun bervegetasi sejenis, E. acorides, yang
memiliki rerata nilai biomassa relatif lebih besar
dibandingkan Pantai Selatan (Tabel 3). Selain biomassa,
nilai kandungan karbon E. acoroides, sekitar 40% BK,
juga relatif lebih besar dibandingkan jenis lain yang
tercatat dalam penelitian (Gambar 3), sehingga
memungkinkan vegetasi tersebut memiliki cadangan
karbon yang lebih besar. Nilai kandungan karbon pada
E. acoroides sesuai dengan hasil telaah Duarte (1990)
pada lamun yaitu berkisar antara 36-41% BK.

Gambar 3.

Referensi

Perbedaan nilai cadangan karbon pada dua lokasi


penelitian juga didukung oleh komposisi jenis lamun yang
berbeda (Gambar 2). Menurut Kennedy & Bjrk (2009),
jenis lamun yang besar memiliki kapasitas yang lebih
besar untuk mengakumulasi karbon dikarenakan
pergantian akar dan rimpang yang relatif lambat sehingga
vegetasi sejenis E. acoroides di Pantai Barat cenderung
memiliki cadangan karbon lebih besar dibandingkan
vegetasi campuran di Pantai Selatan. Menurut Gattuso
(1998), kecepatan dan keberhasilan penyerapan karbon
berbeda-beda di antara dan di dalam jenis lamun,

Penelitian Perbandingan kandungan karbon pada setiap jenis lamun yang tercatat.

69

J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12

tergantung pada seluruh rangkaian proses alami termasuk


aktivitas herbivora, ekspor nutrisi dan dekomposisi.
Cadangan karbon pada setiap jenis ditentukan oleh
biomassa dan kandungan karbonnya. Kandungan karbon
yang terbesar terdapat pada jenis C. rotundata yaitu
sebesar 41,6% BK pada bagian Blg dan 40,3% BK pada
bagian Abg. Namun, menurut Duarte & Chiscano (1999)
jenis ini pada umumnya memiliki biomassa yang relatif
kecil jika dibandingkan E. acoroides (Tabel 6) sehingga
cadangan karbonnya relatif kecil. Nilai kandungan karbon
terkecil terdapat pada jenis H. ovalis, masing-masing
18,9% dan 25,2% BK pada Blg dan Abg. Sementara itu,
jenis lamun lainnya memiliki kandungan karbon berkisar
antara 30-40 % BK.
Tabel 6.

lamun pada rataan terumbu Pulau Pari yang sudah


diketahui. Total cadangan karbon pada ekosistem lamun
di Puau Pari adalah 67,21 Mg C. Jumlah CO2 yang
diserap juga dapat dihitung melalui konversi nilai
cadangan karbon dengan menggunakan persamaan
berikut:

C = 44/12 CO2

(Nellemann, 2009)

Nilai CO2 yang diserap oleh lamun di rataan terumbu


Pulau Pari adalah sekitar 18,31 Mg CO2-.

Rata-rata biomassa maksimum, pada Abg dan Blg, pada jenis lamun yang berbeda (Duarte &
Chiscano, 1999)
-2

Jenis Lamun
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Halodule uninervis
Halophila ovalis
Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Hasil penelitian mengenai kandungan karbon memiliki
nilai yang relatif sama dengan hasil telaah Duarte (1990).
Menurutnya, kandungan karbon rata-rata pada daun lamun
adalah sebesar 33,60,31% BK. Nilai tersebut
disimpulkan dari 21 jenis lamun dengan kisaran nilai
kandungan karbon yang berbeda-beda setiap jenisnya.
Setiap jenis lamun memiliki kandungan karbon dan
biomassa yang berbeda-beda. Halophila sp. memiliki
kandungan karbon yang kecil diduga karena jenis ini
merupakan jenis lamun perintis (pioneering species),
dengan ekspansi vegetatif dan produksi taruk baru yang
relatif cepat, namun penyimpanan karbon yang relatif
sedikit. Sedangkan, jenis lamun klimaks (climax species)
memiliki penyebaran yang lambat, namun menyimpan
karbon yang relatif besar, pada umumnya jenis lamun
yang berukuran besar seperti Thallasia spp. dan
Posidonia oceanica (Bjrk et al., 2008). Hal ini juga
mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
Pantai Selatan dengan komposisi jenis lamun yang
beragam memiliki nilai cadangan karbon yang lebih kecil
dibandingkan Pantai Barat Pulau Pari yang terdiri dari
vegetasi sejenis E. acoroides yang berukuran besar.
Menurut data Citra Aster tahun 2005, luas padang lamun
di Pulau Pari adalah 32,706 ha (Supriyadi, komunikasi
langsung). Total cadangan karbon dapat ditentukan dari
nilai cadangan karbon rata-rata yang diperoleh dan luas

Biomassa (g BK m )
Abg
Blg
33,2
62,5
69,7
37,9
27
60,8
54,8
21,1
86,9
209,9
72
392,4
Estimasi cadangan karbon juga dilakukan di Perairan
Barat, Pulau Belitung dengan rata-rata cadangan karbon
pada lamun sebesar 0,54 Mg Ha-1 (Rahmawati, 2010).
Tiga lokasi pencuplikan sampel memiliki komunitas
pembentuk Enhalus-Thalassia dengan vegetasi lamun
campuran. Pulau Pari, apabila dibandingkan dengan
komunitas lamun di Perairan Barat Pulau Belitung,
memiliki cadangan karbon (Ha -1) yang lebih besar.
Perbedaan ini bergantung terhadap jenis lamun dan
kondisi lingkungan (interaksi dalam ekosistem lamun)
seperti pendapat Gattuso (1998).
Data yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan
sebagai basis data untuk mengetahui potensi padang
lamun sebagai penyimpan CO2 di Indonesia dan sebagai
salah satu upaya mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim. Selain itu, kondisi dan kontribusi padang
lamun dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
upaya konservasi terhadap keberlanjutan ekosistem
lamun di Pulau Pari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Padang lamun di rataan terumbu pantai Pulau Pari,
Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta diduga
mengandung cadangan karbon sebesar 67,21 Mg C atau
2,005 Mg C ha-1. Adapun penelitian lanjutan dapat
dilakukan dalam hal pengukuran karbon yang dilepaskan

70

Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)

dari komunitas tersebut dan kemampuan penyerapan


karbon dalam satuan waktu oleh setiap jenis lamun di
Pulau Pari.
PERSANTUNAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Yaya Ihya Ulumudin atas gambar Peta Pulau Pari dan
Bapak Indarto Happy Supriyadi atas data sekunder yang
diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Bapak Mumuh, Onny Nurahman, dan Hadiyanto
atas kerja sama dan bantuannya saat pengambilan
data di lapangan.

Mateo, M. A., J. Romero, M. Prez, M. M. Littler & D. S.


Littler, 1997, Dynamics of Millenary Organic
Deposits Resulting from the Growth of the
Mediterranean Seagrass Posidonia oceanica,
Estuarine, Coastal and Shelf Science, 44, 103110.
Nellemann, C., E. Corcorn, C. M. Duarte, L. Valds, C.
DeYoung, L. Fonseca & G. Grimsditch, 2009, Blue
Carbon : A Rapid Response Assessment. United
Nations Environment Programme, Birkeland
Trykkeri AS.

DAFTAR PUSTAKA
Bjrk M., F. Short, E. McLeod & S. Beer, 2008, Managing
Seagrasses for Resilience to Climate Change, IUCN,
Gland.

Rahmawati, S. 2010, Estimasi Cadangan Karbon


Komunitas Padang Lamun di Perairan Barat Pulau
Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Belum
dipublikasi.

Duarte, C. M. 1990, Seagrass Nutrient Content, Marine


Ecology Progress Series, 67, 201-207.

Short, F. T. & R. G. Coles, 2001, Global Seagrass


Research Method, Elsevier.

Duarte, C. M. & C. L. Chiscano, 1999, Biomass and


Production: A Reassessment, Aquatic botany, 65,
159-174.

Short, F. T., L. J. Mckenzie, R. G. Coles & J. L. Gaeckle,


2004, SeagrassNet Manual for Scientific Monitoring
of Seagrass Habitat Western Pasific Edition,
University of New Hampshire, USA; QDPI, Northern
Fisheries Centre.

Duarte, C. M., J. J. Middelburg & N. Caracao, 2005, Major


role of marine Vegetation on The Oceanic Carbon
Cycle, Biogeosciencea, 2, 1-8.
Gattuso, J. P., M. Frankignoulle & R. Wollast, 1998,
Carbon and Carbonate Metabolism in Coastal Aquatic
Ecosystems, Annual Review of Ecology, Evolution
and Systematic, 29, 405-34.

Yusratika, N., P. Lestari & I. Uttari, tanpa tahun, Inventori


Emisi Gas Rumah Kaca (CO2 dan CH4) dari Sektor
Transportasi di DKI Jakarta Berdasarkan
Konsumsi Bahan Bakar, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Green, E. P. & F. T. Short, 2003, World Atlas of


Seagrasses, University of California Press.
Kaldy, J. E. & K. H. Dunton, 2000, Above- and belowground production, biomass and reproductive ecology
of Thalassia testudinum (turtle grass) in a subtropical
coastal lagoon, Marine Ecology Progress Series, 193,
271-283.
Kennedy, H. & M. Bjrk, 2009, Seagrass Meadows, In:
Laffoley, D. dA. & Grimsditch, G., (eds), 2009, The
management of natural coastal carbon sinks, IUCN,
Gland.
Larkum, A. W. D.; R. J. Orth & C. M. Duarte, 2006,
Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation,
Spinger.

71

KETENTUAN CARA PENGIRIMAN NASKAH UNTUK JURNAL SEGARA


Jenis Naskah
Jenis Naskah yang dapat dimuat di Jurnal Segara adalah :

Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan Kelautan Indonesia yang dilakukan
oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan
luar negeri.
Naskah yang berisikan hasil-hasil penelitian di bidang pengembangan ilmu oseanografi, akustik dan
instrumentasi kelautan, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan
lingkungan.

Bentuk Naskah
Naskah tulisan dapat dikirim dalam bentuk :

Naskah tercetak di atas kertas A4, dengan jumlah halaman 10 15 halaman. Ditulis dengan menggunakan
aplikasi MS.Word dengan spasi ganda, jenis font Arial, ukuran huruf 10.
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan ketentuan, bila naskah ditulis
dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bila
naskah ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan
mengacu pada Agrovoca.
Materi naskah disusun mengikuti kaidah umum dan tidak mengikat, namun harus berisikan latar belakang
masalah yang membahas hasil penelitian terdahulu, teori singkat yang mendukung, metode yang digunakan,
analisis, dan kesimpulan.
Apabila terdapat istilah asing maka istilah tersebut perlu ditulis dengan abjad miring (Italic). Gambar (foto
ilustrasi, grafik, statistik) dan tabel.
Judul tabel ditulis di atas tabel.
Apabila terdapat gambar berupa grafik, statistik, peta atau foto, maka judul dari gambar tersebut harus
ditulis dibawah.
Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan, serta
hasil penelitian.
Referensi
Referensi dari Jurnal lain ditulis seperti :
Nama, Tahun, judul Makalah, Nama jurnal, Volume, Nomor, halaman.
Referensi dari buku ditulis seperti: Nama, Tahun, Judul Buku, Penerbit.
Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan.
Pengutipan sumber tertulis tercetak mengikuti sistem Harvard, yaitu menuliskannya di antara tanda kurung
nama (belakang) penulisan yang diacu, titik dua, & halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat
kutipan pada batang tubuh karangan, contoh seperti di bawah ini :
.......(Gordon,et al.2003:12)
.......(Holt, 1967 : 11)

Metode Penilaian dan Pengiriman Naskah

Redaksi tidak membatasi waktu pengiriman makalah, semua makalah akan dinilai oleh editor/penyunting
ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan oleh dewan editor. Hasil penilaian dari editor/penyunting
ahli akan diolah oleh dewan editor dan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki kembali.
Agar makalah dapat dimuat, penulis diharapkan dapat menyerahkan makalah yang telah direvisi sebelum
tanggal yang ditentukan.
Makalah di atas dapat langsung dikirim dalam bentuk file dan print out ke Redaksi Jurnal Segara yang
bertempat di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alamat : Jalan
Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta utara 14430 atau kirim ke alamat e-mail : jurnal.segara@gmail.com.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir


Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Anda mungkin juga menyukai