Anda di halaman 1dari 64

ISSN 1907-8226

BAWAL
WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP

Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012


Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012
(Periode: April 2012-April 2015)

BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan,


baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang natural history
ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan)
serta lingkungan sumber daya ikan.

Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan


tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan:
APRIL, AGUSTUS, DESEMBER.

Ketua Redaksi:
Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI)

Anggota:
Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL)
Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI)
Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU)
Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI)
Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI)

Mitra Bestari untuk Nomor ini:


Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB)
Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI)
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB)
Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT)
Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan)
Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI)

Redaksi Pelaksana:
Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si.
Kharisma Citra, S.Sn.

Desain Grafis:
Arief Gunawan, S.Kom.

Alamat Redaksi/Penerbit:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640
Email: drprpt2009@gmail.com

BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan


Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISBN 1907-8226

BAWAL
Widya Riset Perikanan Tangkap
Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................ i

DAFTARISI.............. iii

Struktur Ukuran, Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi Ikan Tuna di Perairan Prigi, Jawa Timur
Oleh : Erfind Nurdin, Am Azbas Taurusman dan Roza Yusfiandayani ............................................................. 67-73

Jenis, Ukuran dan Daerah Penangkapan Hiu Thresher (Famili alopiidae) yang Tertangkap Rawai Tuna di
Samudera Hindia
Oleh : Agustinus Anung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette ......................................................................... 75-82

Hubungan Panjang Bobot, Faktor Kondisi dan Struktur Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker,
1853) di Perairan Selat Bali
Oleh : Arief Wujdi, Suwarso dan Wudianto .......................................................................................................... 83-89

Parameter Populasi Ikan Kadah (Valamugil speigleri) sebagai Indikator Pemanfaatan Sumber Daya Perairan
Estuaria di Pemalang 91-96
Oleh : Adrian Damora dan Karsono Wagiyo .........................................................................................................

Hubungan Panjang-Bobot Siput Lola (Trochus niloticus) di Perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah
Oleh : Andrias Steward Samu Samu, J. A. Pattikawa dan Pr. A. Uneputty 97-103

Keragaman Genetik Ikan Semah (Tor tambroides Bleker 1854) di Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai
Semanka, Lampung
Oleh : Arif Wibowo ...................................................................................................................................................... 105-112

Makanan dan Reproduksi Ikan Lukas (Dangila cuvieri, Valenciennes 1842) di Perairan Waduk Gajah Mungkur
Wonogiri
Oleh : Kamaluddin Kasim, Chairulwan Umar, Priyo Suharsono Sulaiman, dan Naila Zulfia 113-120

Status Trofik dan Estimasi Potensi Produksi Ikan di Perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan
Oleh : Samuel, Safran Makmur dan Petrus Rani Pong Masak .......................................................................... 121-129

iii
KATAPENGANTAR

Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap BAWAL memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi
hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan
dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan
(stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber
daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan.

Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012 ini, kami ucapkan
terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah.

Pada Volume 4 Nomor 2 Agustus 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian perairan umum daratan
dan perairan laut. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, struktur ukuran, hubungan panjang berat-bobot dan
faktor kondisi ikan tuna di perairan Prigi, Jawa Timur, jenis, ukuran dan daerah penangkapan Hiu Thresher (Famili
alopidae) yang tertangkap Rawai Tuna di Samudera Hindia, hubungan panjang bobot, faktor kondisi dan struktur
ukuran ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan Selat Bali, parameter populasi ikan Kadah (Valamugil
speigleri) sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya perairan Estuari di Pemalang, hubungan panjang-bobot Siput
Lola (Trochus niloticus) di perairan Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, keragaan genetik ikan Semah (Tor tambroides
Bleker 1854) di sungai Manna, Bengkulu dan sungai Semanka, Lampung, makanan dan reproduksi ikan Lukas (Dangila
cuvieri, Valenciennes 1842) di perairan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri dan status Trofik estimasi potensi produksi
ikan di perairan Danau Tempe, Sulawesi Selatan.

Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis
dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.

Redaksi

i
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

STRUKTUR UKURAN, HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR


KONDISI IKAN TUNA DI PERAIRAN PRIGI, JAWA TIMUR

SIZE STRUCTURE, LENGTH WEIGHT RELATIONSHIP AND


CONDITION FACTOR OF TUNAS IN THE PRIGI WATERS, EAST JAVA

Erfind Nurdin1),AmAzbas Taurusman2) dan Roza Yusfiandayani2)


1)
Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
2)
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012

ABSTRAK

Penelitian tentang struktur ukuran dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di perairan sekitar rumpon di
Selatan Prigi, Jawa Timur dilakukan pada bulan Juli 2010, Desember 2010 dan Januari 2011. Sampel ikan diperoleh
di PPN Prigi, diidentifikasi menurut jenis dan diukur panjang cagak serta ditimbang bobotnya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon. Hasil
penelitian menunjukkan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang diukur sebanyak 115 ekor dengan dominasi
ukuran panjang berkisar antara 3236 cmFL dan bobot antara 0,751,20 kg; tuna mata besar (Thunnus obesus)
sebanyak 114 ekor dengan dominasi panjang pada kisaran 4044 cmFL dan bobot antara 0,75 1,20 kg; dan tuna
sirip kuning (Thunnus albacares) 107 ekor dengan dominasi panjang berkisar antara 2832 cmFL dengan bobot
0,300,75 kg. Hubungan panjang bobot ikan cakalang mengikuti persamaan W= 0,055FL2,733, tuna mata besar W=
0,014FL3,096 dan tuna sirip kuning W= 0,0006FL3,960. Faktor kondisi (K) ikan cakalang adalah 2, tuna mata besar
2,1 dan tuna sirip kuning 2,0.

KATA KUNCI: Hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, tuna, Prigi

ABSTRACT:

Study on size structure and condition factor of tuna caught around FADs in the south of Prigi, East Java was
conducted in July 2010, December 2010 and January 2011. The objectives of this study are to investigate that the
size distribution, L-W relationship and condition factor of dominant fish caught around of FADs. The result showed
that the size distribution of skipjack tuna dominated in range of 3236 cmFL and 0.751.20 kg (body weight),
bigeye tuna range of 4044 cmFL and 0.75 1.20 kg (body weight), yellowfin tuna range of 2832 cmFL and 0.30
0.75 kg (body weight). Length weight relationship of skipjack tuna can described as W= 0.055FL2.733, bigeye tuna
W= 0.014FL3.096 and yellowfin W= 0.0006FL3.960. The value of condition factor was 2.0 for skipjack tuna, mean
while for bigeye tuna was 2.1 and for yellowfin tuna was 2.0.

KEYWORDS: Length-weight relationship, condition factor, tuna, Prigi

PENDAHULUAN Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil (small


scale fisheries) di selatan pulau Jawa adalah Pelabuhan
Perkembangan usaha penangkapan tuna telah Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, Jawa Timur. Kegiatan
memberikan konstribusi terhadap peningkatan ekonomi yang penangkapan ikan dilakukan di perairan Selatan Jawa
cukup signifikan di beberapa daerah. Data sementara menggunakan alat bantu rumpon sebagai pengumpul ikan.
menunjukkan bahwa porsi terbesar hasil tangkapan yang Armada yang melakukan penangkapan di rumpon dengan
didaratkan tergolong surface tuna yang umumnya memiliki tujuan utama jenis ikan tuna dan cakalang adalah armada
ukuran panjang belum layak tangkap (Nurdin, 2009). tonda dan jaring insang.
Peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan telah
menimbulkan persoalan kapasitas penangkapan yang Monintja & Zulkarnain (1995) dan Diniah et al. (2006)
berlebih. menyatakan awal keberadaan rumpon mampu
meningkatkan hasil tangkapan. Semakin padatnya
Berkembangnya upaya penangkapan mengarah pada pemasangan rumpon menyebabkan penurunan hasil
menurunnyaketersediaanstoksumberdayaikan. Apabilaukuran tangkapan per satuan upaya, ditandai oleh ukuran rata-
hasil tangkapan ikan tuna semakin mengecil, hal ini akan rata ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan
mengakibatkan berkurangnya jumlah ikan yang berkesempatan yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
memijah yangmengakibatkan rekruitmen berkurang.
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Laut
Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email : erfind_nurdin@yahoo.co.id 67
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

Dampak negatif rumpon perlu diwaspadai secara serius BAHANDANMETODE


apabila dalam pengoperasian melebihi kapasitas: a) jumlah
ikan di daerah penangkapan sekitar pantai menurun Pengumpulan data dilakukan di Pelabuhan Perikanan
dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; b) Laju Nusantara PPN Prigi, Jawa Timur pada bulan Juli 2010,
tangkap unit penangkapan di luar areal rumpon cenderung Desember 2010 dan Januari 2011. Pencatatan panjang dan
menurun; c) berhentinya operasi penangkapan dari bobot serta faktor kondisi dikhususkan bagi ikan tuna
sebagian unit penangkapan skala kecil (Simbolon, 2004). yang tertangkap di sekitar rumpon yang berada di
Samudera Hindia, sebelah selatan Jawa Timur. Posisi
Pengoperasiaan beberapa jenis alat tangkap rumpon dijelaskan pada gambar 1.
menyebabkan ukuran ikan tuna yang tertangkap
bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengukuran panjang cagak (fork length, FL) dilakukan
struktur ukuran, pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan menggunakan meteran gulung dengan panjang maksimum
tuna yang merupakan hasil tangkapan utama di sekitar 5 meter, sedangkan bobot ikan diukur menggunakan
rumpon yang didaratkan di PPN Prigi, Jawa Timur. Hasil timbangan berkapasitas 10 kg. Jumlah ikan cakalang
penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran struktur (Katsuwonus pelamis) yang diamati sebanyak 115 ekor,
ukuran ikan tuna yang tertangkap di sekitar rumpon dan tuna mata besar (Thunnus obesus) 114 ekor dan tuna sirip
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kuning (Thunnus albacares) 107 ekor yang merupakan
pengelolaan perikanan tuna khususnya yang tertangkap hasil tangkapan armada tonda dan jaring insang yang
di sekitar rumpon. beroperasi di sekitar rumpon (Gambar 2).

Gambar 1. Peta menunjukkan posisi rumpon nelayan Prigi.


Figure 1. Map showing FADs position of Prigi fisherman

Gambar 2. Ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi.


Figure 2. Tuna species landed at PPN Prigi.

68
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

Hubungan panjang - bobot dianalisis dengan model Nilai b diuji untuk mengetahui apakah nilai b yang
pertumbuhan menurut Bal & Rao (1984) menggunakan diperoleh berbeda nyata dengan nilai b= 3 menggunakan
persamaan: uji-t pada tingkat kepercayaan 95% (Steell & Torrie, 1989).
Menurut Effendie (1997), analisis faktor kondisi (K)
W= aLb dilakukan untuk melihat kondisi ikan dari kapasitas fisik
menggunakan persamaan K= 100 (W/L3 ), dimana: W=
dimana: W= bobot, L= panjang, a dan bobot dan L= panjang.
b= konstanta
HASIL DAN BAHASAN
Nilai b sebagai penduga hubungan antara panjang dan
bobot dengan kriteria: HASIL

Nilai b = 3, ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot
(pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan
panjang) Pengukuran dilakukan terhadap jenis ikan hasil
Nilai b > 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik tangkapan dominan dari alat tangkap tonda dan jaring
positif (pertambahan bobot lebih besar dari insang di sekitar rumpon yang didaratkan di PPN Prigi.
pertambahan panjang) Ukuran bobot untuk ketiga jenis ikan yang tertangkap di
Nilai b < 3, ikan memiliki pola pertumbuhan alometrik sekitar rumpon yang dipasang di perairan sebelah selatan
negatif (pertambahan bobot lebih kecil dari Jawa Timur dan berhasil diukur berkisar antara 0,3-3,9 kg,
pertambahan panjang). dengan dominasi cakalang pada kisaran 0,751,20 kg, tuna
mata besar pada kisaran 0,751,20 kg, tuna sirip kuning
pada kisaran 0,300,75 kg (Gambar 3).

40 Cakalang 40 Tuna mata besar


30 n= 115 30 n= 114
Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

20 20
10 10
0 0
0.3-0.75

0.75-1.2

1.2-1.65

1.65-2.1

2.1-2.55

2.55-3.0

3.0-3.45

3.45-3.9

0.3-0.75

0.75-1.2

1.2-1.65

1.65-2.1

2.1-2.55

2.55-3.0

3.0-3.45

3.45-3.9

Kisaran bobot (kg) Kisaran bobot (kg)

40 Tuna sirip kuning


30 n= 107
Jumlah (ekor)

20
10
0
0.3-0.75

0.75-1.2

1.2-1.65

1.65-2.1

2.1-2.55

2.55-3.0

3.0-3.45

3.45-3.9

Kisaran bobot (kg)

Gambar 3. Sebaran bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi


Figure 3. Weight distribution of tuna species caught in Prigi Waters

Ukuran panjang cagak (FL) untuk ketiga jenis ikan yang Hubungan Panjang dan Bobot
tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan
sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, Analisis panjang-bobot ikan mempunyai beberapa
dengan dominasi panjang cagak cakalang pada kisaran kegunaan, diantaranya untuk memprediksi berat
32-36 cmFL, tuna mata pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna berdasarkan ukuran panjang ikan. Hasil penelitian di PPN
sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sebaran frekwensi Prigi diperoleh hubungan panjang-bobot ikan cakalang
panjang ikan tuna yang didaratkan di PPN Prigi disajikan dengan persamaan W= 0,055FL2,733 dengan nilai koefisien
pada gambar 4. korelasi r= 0,9483, ikan tuna mata besar dengan persamaan
W= 0,007FL3,260 dan nilai r= 0,9288 sedangkan tuna sirip
kuning dengan persamaan W= 0,0006FL3,960 dan nilai r=
0,9883 (Gambar 5).

69
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

50 Cakalang 50 Tuna mata besar 50 Tuna sirip kuning


40 n= 115 40 n= 114 40 n= 107
Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)
30 30 30

20 20 20

10 10 10

0 0 0

28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60 28-32 32-36 36-40 40-44 44-48 48-52 52-56 56-60

Kisaran panjang FL (cm) Kisaran panjang FL (cm) Kisaran panjang FL (cm)

Gambar 4. Sebaran panjang cagak (fork length, FL) ikan tuna yang tertangkap di Perairan Prigi.
Figure 4. Fork length distribution of tuna species caught in Prigi Waters

6000 Cakalang 6000 Tuna mata besar Tuna sirip kuning


n = 115 n = 114 6000
n=107
Bobot (gram)

Bobot (gram)
Bobot (gram)

y = 0,055x 2,733 y= 0,007x 3,260 y = 0,0006x3,960


4000 r = 0,9483 4000 4000 r = 0,9883
r = 0,9288

2000 2000 2000

0 0 0
0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80
FL (cm) FL (cm) FL (cm)

Gambar 5. Hubungan panjang-bobot ikan tuna yang tertangkap di perairan Prigi.


Figure 5. Lengthweight relationship of tuna species caught in Prigi waters.

Dalam penelitian ini sampel ikan yang digunakan tidak Faktor Kondisi
membedakan jenis kelamin. Untuk mengetahui sejauh
mana hubungan panjang dengan bobot ikan ada beberapa Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN
faktor yang mungkin mempengaruhi nilai b, dimana salah Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang
satunya adalah faktor lingkungan perairan. Uji-t terhadap adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan
nilai b=3 yang dilakukan bagi ketiga jenis ikan tuna tuna sirip kuning adalah 1,99 (Tabel 2). Mengacu pada
tersebut (Tabel 1) pada selang kepercayaan 95% ( = Effendie (1997) hasil ini menandakan ketiga ikan tersebut
0,05) diperoleh nilai b berbeda nyata (t-hitung > t-tabel). masih berada pada batas ambang kondisi yang baik
dengan kisaran nilai (K) antara 1-3.

Tabel 1. Parameter hubungan panjang dan bobot hasil tangkapan ikan tuna disekitar rumpon di perairan Prigi
Table 1. Parameter of length weight relationship of tuna species caught around FADs in Prigi waters

Jenis ikan n r a b T hit Ttabel Hasil Keterangan


Cakalang 115 0,9483 0,055 2,733 24,542 1,981 T hit > Ttabel Alometrik negatif
Tuna mata besar 114 0,9288 0,007 3,260 22,889 1,986 T hit > Ttabel Alometrik positif
Tuna sirip kuning 107 0,9883 0,0006 3,960 14,317 1,983 T hit > Ttabel Alometrik positif

Tabel 2. Faktor kondisi (K) hasil tangkapan ikan tuna di sekitar rumpon di perairan Prigi
Table 2. Condition factor of tuna species caught around of FADs in Prigi waters

Cakalang Tuna mata besar Tuna sirip kuning


(n=115) (n=114) (n=107)
FL W FL W FL W
K K K
(cm) (gram) (cm) (gram) (cm) (gram)
Min. 30,0 500,0 1.40 28,0 0,35 1,38 27,0 250,0 1,14
Max. 60,0 3500,0 2.70 58,0 3,70 2,96 58,0 3700,0 2,81
Rata-rata 40,5 1451,7 2,08 41,9 1,58 2,01 36,8 1188,0 1,99
St.Dev. 6,3 622,6 0,29 6,1 0,72 0,36 7,2 838,7 0,50

70
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

BAHASAN (b<3) dimana pertambahan bobot lebih lambat dari


pertambahan panjang. Hasil ini sama dengan hasil
Distribusi Ukuran Panjang dan Bobot penelitian Nugraha et al. (2010) yang menyatakan bahwa
cakalang hasil tangkapan huhate di Laut Banda bersifat
Menurut Nugraha et al. (2010) ukuran pertama kali alometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,751.
matang gonad (Lm) ikan cakalang di perairan Tulehu
(Ambon) sebesar 40,9 cmFL. Nikijuluw (2009) menyatakan Pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan tuna sirip
bahwa di perairan Samudera Hindia untuk Lm ikan cakalang kuning bersifat alometrik positif (b>3) dimana pertambahan
berkisar antara 4143 cmFL. Menurut Froose & Pauly bobot lebih cepat dari panjang. Nilai b untuk ikan tuna
(2011) bahwa panjang cakalang saat matang gonad (Lm) mata besar 3,260 dan tuna sirip kuning 3,960. Nugraha &
berkisar antara 40-45 cmFL. Di perairan Filipina ditemukan Mardlijah (2006) menyatakan pola pertumbuhan tuna mata
panjang Lm 40 cmFL, sedangkan di perairan Papua besar hasil tangkapan tuna longline di Laut Banda bersifat
Newguinea pada panjang Lm 45 cmFL. Hasil penelitian di alometrik negatif dengan nilai b= 2,470 untuk jantan dan
perairan sebelah selatan Prigi diperoleh ukuran ikan 2,567 untuk betina. Faizah & Prisantoso (2010)
cakalang yang tertangkap pada panjang lebih dari 40 cmFL menyatakan pola pertumbuhan tuna mata besar hasil
sebanyak 52%. Dengan melihat beberapa hasil penelitian tangkapan tuna longline di Samudera Hindia bersifat
terdahulu menunjukkan bahwa ikan cakalang yang alometrik negatif dengan nilai b= 2,965. Penelitian Zubaidi
tertangkap masih dapat dikatakan layak tangkap, dimana et al. (1994) menyatakan hasil tangkapan tuna sirip kuning
hasil tangkapan yang diduga telah matang gonad lebih dengan pancing ulur di perairan Bacan-Maluku Utara
banyak dibandingkan yang belum matang gonad. bersifat alometrik negatif dengan nilai b= 2,67 untuk betina
dan 2,81 untuk jantan.
Perbedaan ukuran tersebut dapat terjadi karena nilai
Lm sangat bervariasi. Dengan demikian individu yang Perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan karena
berasal dari satu kelas umur ataupun kelas panjang yang ukuran ikan hasil tangkapan yang berbeda, pada penelitian
sama, tidak harus selalu mencapai panjang pertama kali ini ukuran ikan hasil tangkapan masih relatif kecil (juvenil
matang gonad pada ukuran yang sama (Udupa, 1986). tuna). Sementara hasil tangkapan troll line dan gillnet
ikan yang hidup pada permukaan perairan sangat
Nugraha & Mardlijah (2006) memperoleh ukuran dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya ukuran
panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan tuna mata dan jenis makanan, kondisi oseanografi perairan (suhu,
besar di Laut Banda untuk ikan jantan dan betina masing- oksigen, dan lain-lain), dan kondisi ikan (umur). Menurut
masing 146,1 cmFL dan 133,5 cmFL. Nootmorn (2004) pada Hossain (2010) hubungan panjang-bobot ikan dipengaruhi
penelitiannya di Samudera Hindia bagian barat beberapa faktor diantaranya habitat, lingkungan, musim,
memperoleh nilai Lm jantan berukuran 86,85 cmFL dan jenis makanan, matang gonad, kesehatan dan jenis kelamin.
betina berukuran 88,08 cmFL. Farley et al., (2003) di King (2007) menyatakan bahwa hubungan panjang bobot
Samudera Hindia memperoleh nilai Lm sebesar 102,4 cmFL. dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan
Mardlijah (2008) menyatakan bahwa ukuran pertama kali perbedaan antara jenis ikan yang sama pada stok yang
matang gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning di Perairan berbeda.
Marisa (Sulawesi Utara) untuk ikan betina berkisar antara
89,2100,9 cmFL. Zubaidi (1994) pada penelitiannya di Faktor Kondisi
Perairan Maluku diperoleh Lm ikan tuna sirip kuning jantan
dan betina masing-masing sebesar 118,7 cmFL dan 113 Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi (K)
cmFL. merupakan derivat dari pertumbuhan. Faktor kondisi
menunjukkan kondisi baik fisiologis ikan dilihat dari
Dengan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu kapasitas fisik survival dan reproduksi. Secara komersial
menunjukkan bahwa ukuran ikan tuna mata besar dan tuna kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging
sirip kuning yang tertangkap di sekitar rumpon di Perairan yang tersedia. Nilai K berkisar antara 24 apabila badan
Prigi Jawa Timur jauh dibawah ukuran pertama matang ikan pipih, dan 13 apabila badan ikan tidak pipih. Variasi
gonad (Lm), hal ini menggambarkan hasil tangkapan tuna nilai K tergantung pada ketersediaan makanan, umur, jenis
tersebut masih berukuran kecil atau belum layak tangkap kelamin dan kematangan gonad.
yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap
keberlanjutan sumberdaya ikan. Pengamatan terhadap contoh ikan didaratkan di PPN
Prigi diperoleh rata-rata faktor kondisi (K) ikan cakalang
Hubungan Panjang dan Bobot adalah 2,08, ikan tuna mata besar adalah 2,01 dan ikan
tuna sirip kuning adalah 1,99. Hasil penelitian ini hampir
Ikan cakalang memiliki nilai b sebesar 2,733 dengan sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faizah
pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat alometrik negatif

71
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

& Aisyah (2011) di Sendang Biru, Jawa Timur pada bulan 3. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang K= 2,08,
Oktober 2010 diperoleh nilai faktor kondisi ikan tuna sirip sedangkan ikan tuna mata besar diperoleh nilai K=
kuning berkisar antara 1,3-2,37 dengan rata-rata 1,66 dan 2,01 dan tuna sirip kuning diperoleh nilai K= 1,99. Hal
ikan tuna mata besar berkisar antara 1,35-1,91 dengan rata- ini menandakan kondisi fisiologis ikan tersebut dalam
rata 1,80. Hossain (2010) menyatakan bahwa faktor kondisi keadaan baik.
merupakan indikator ketersediaan makanan di wilayah
perairan dan secara umum siklus perubahan musim dapat PERSANTUNAN
mempengaruhi perkembangan gonad.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan
Hasil tangkapan di sekitar rumpon di perairan penelitian karakteristik perikanan rumpon skala kecil di
Samudera Hindia bagian Selatan Jawa khususnya di Selatan Jawa tahun 2010, di Balai Penelitian Perikanan Laut.
perairan Prigi untuk jenis ikan tuna mata besar maupun
tuna sirip kuning menunjukkan hasil tangkapan didominasi DAFTAR PUSTAKA
oleh ukuran kecil atau belum layak tangkap yang
mengakibatkan dampak negatif terhadap keberlanjutan Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata
sumberdaya ikan. Untuk penanggulangannya antara lain Mc.Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
diperlukan metode operasi penangkapan dengan alat p. 5-24.
tangkap yang selektif dalam ukuran seperti hand line dan
gillnet yang dioperasikan dengan ukuran mata jaring lebih Diniah, D.R. Monintja & A. Ardianto. 2006. Teknologi
besar pada kedalaman tertentu dimana merupakan area Rumpon Laut Dalam sebagai Alat Bantu Pemanfaatan
ikan dewasa menyebar. Pengetahuan tentang tingkah laku Sumberdaya Cakalang. Di dalam: Sondita MFA, Solihin
ikan yang menjadi sasaran utama penangkapan juga I, editor. Buku Kumpulan Pemikiran Teknologi
diperlukan guna pengembangan metode pengoperasian Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor:
dan alat tangkap yang lebih efektif. FPIK IPB. p. 36-42.

Hasil penelitian Josse et al. (2000) dengan Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
menggunakan perangkat akustik menunjukkan schooling Nusantara. Yogyakarta. 163 p.
ikan tuna kecil pada strata kedalaman 1050 meter
merupakan area dengan kepadatan dan jumlah schooling Faizah, R & B. I. Prisantoso, 2010. Hubungan panjang dan
terbesar. Priatna et al. (2010) menyatakan bahwa bobot, sebaran frekuensi panjang dan faktor kondisi
kepadatan ikan (density) di sekitar rumpon tertinggi tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia.
ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 50 Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (3): 183
meter, dengan dominasi 80% ukuran ikan 4070 cm berada 189.
pada kedalaman 25 sampai 50 meter yang diduga kuat
adalah jenis cakalang dan tuna kecil. Faizah, R & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi
ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur
KESIMPULAN di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal. Widya Riset
Perikanan Tangkap. 3 (6): 377385.
1. Ukuran panjang cagak untuk ketiga jenis ikan yang
tertangkap di sekitar rumpon yang dipasang di perairan Farley, J., N. Clear, B. Leroy, T. Davis & G. Mcpherson.
sebelah selatan Jawa Timur berkisar antara 28-60 cmFL, 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus)
dengan dominasi cakalang pada kisaran 32-36 cmFL, from the eastern and western AFZ. Report no. 2000/
tuna mata besar pada kisaran 40-44 cmFL dan tuna 100 CSIRO Marine Research. Australia. 93 p.
sirip kuning pada kisaran 28-32 cm FL. Sedangkan
bobot untuk ketiga jenis ikan yang berhasil diukur Froese, R & D. Pauly. 2011. FishBase. World Wide Web
berkisar antara 0,3-3,9 kg, dengan dominasi cakalang Electronic Publication, www.fishbase.org.
pada kisaran 0,751,20 kg, tuna mata besar pada
kisaran 0,751,20 kg, tuna sirip kuning pada kisaran Hossain, Y. 2010. Length-Weight, Length-Length
0,300,75 kg. Relationship and Condition Factors of Three Schibid
2. Pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Catfish from The Padma River, Northwestern
bersifat alometrik negatif dengan persamaan W= Bangladesh. Asian Fisheries Science. (23): 329-339.
0,055FL2,733, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
alometrik positif dengan persamaan W= 0,007FL3,260 Josse, E., L. Dagron & A. Bertrand. 2000. Typology and
dan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) behaviour of tuna aggregation around fish
alometrik positif dengan persamaan W= 0,0006FL3,960. aggregating device from accoustic surveys in french
polynesia. Aquat Living Resour. 13:183192.

72
E. Nurdin, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 67-73

King, M. 2007. Fisheries Biology, Assessment and tangkapan huhate yang didaratkan di Tulehu Ambon.
Management. Second edition. Blackwell Sciencetific Bawal. Widya Riset Perikanan Tangkap 3(3): 199
Publication, Oxford. 381 p. 207.

Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung dan gonad ikan Nurdin, E. 2009. Perikanan tuna skala rakyat (small scale)
madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) yang di Prigi, Trenggalek Jawa Timur. Bawal. Widya Riset
tertangkap di perairan Marisa, Gorontalo, Teluk Tomini. Perikanan Tangkap. 2(4): 177-183.
Tesis. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. 105 p.
Priatna, A, D. Nugroho & Mahiswara. 2010. Keberadaan
Monintja, D.R & Zulkarnain. 1995. Analisis dampak ikan pelagis rumpon laut dalam pada musim timur di
pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Teluk
terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial Pelabuhanratu dengan metode hidroakustik. Jurnal
Selatan Jawa dan Utara Sulawesi. Laporan Penelitian: Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Pusat Riset
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Perikanan Tangkap. 16 (2): 83-91.
Pertanian Bogor. 70 p.
Simbolon D. 2004. Suatu studi tentang potensi
Nikijuluw, V.P.H. 2009. Status sumber daya ikan tuna pengembangan sumberdaya ikan cakalang dan
Samudera Hindia: Implikasinya bagi Indonesia. Jurnal teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Kebijakan Perikanan Indonesia. 1(1): 32-44. Bul FPIK IPB. 13(1): 4867.

Nootmorn, P.,A. Yakoh & K. Kawises. 2004. Reproductive Steell, R. G. H & J. S. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur
biology of yellowfin tuna in the Eastern Indian Ocean. Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-
IOTC-2005-WPTT-14. 8 p. dua. Gramedia. Jakarta: 748 p.

Nugraha, B & S. Mardlijah. 2006. Hubungan panjang Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the
bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat size at first maturity in fishes. ICLARM. Metro Manila.
kematangan gonad tuna mata besaar (Thunnus obesus) Fishbyte. 4 (2): 8-10.
di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 12 (3): 195200. Zubaidi, T., I. N. Edrus & M. S. Hurasan. 1994. Beberapa
aspek biologi ikan madidihang (Thunnus albacares)
Nugraha, B., S. Mardlijah & E. Rahmat. 2010. Komposisi di Perairan Bacan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
ukuran cakalang (Katsuwonus pelamis) hasil (94): 110.

73
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

JENIS, UKURAN DAN DAERAH PENANGKAPAN HIU THRESHER (Famili


alopiidae) YANG TERTANGKAPRAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA

SPECIES, SIZE AND FISHING GROUND OFTHRESHER SHARK (Famili


alopiidae) CAUGHT BY TUNA LONG LINER IN INDIAN OCEAN

AgustinusAnung Widodo dan Ralph Thomas Mahulette


Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol Jakarta.
Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012

ABSTRAK

Sebagai anggota Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) Indonesia wajib mengadopsi isi Resolusi IOTC 10/12
yang mengatur pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher (famili Alopiidae). Secara spesifik Indonesia belum
melaksanakan pengelolaan sumberdaya hiu thresher karena spesies tersebut belum mendapatkan perhatian serius.
Tulisan ini bermaksud menyampaikan hasil penelitian tentang ikan hiu thresher (Famili Alopiidae) yang tertangkap
rawai tuna di Samudera Hindia berbasis di Cilacap. Data diperoleh dari kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan
tahun 2010, kegiatan observasi di atas kapal rawai tuna bulan Januari 2010 dan laporan statistik PPS Cilacap tahun
2006-2010. Hasil kajian menunjukkan bahwa: (a) di perairan Indonesia ada dua spesies dari tiga spesies hiu
thresher yang ada di dunia, yaitu hiu monyet atau pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) dan hiu
paitan atau bigeye thresher (A. superciliosus Lowe 1840). Satu spesies lainnya yang belum pernah ditemukan
adalah thinfin thresher (A.vulpinus Bonnaterre1788). Dilihat dari teknologi rawai tuna yang digunakan, daerah
sebaran hiu thresher sama dengan tuna di Samudera Hindia, sehingga sulit untuk menghindari tidak tertangkapnya
hiu thresher oleh rawai tuna. Jumlah dari jenis hiu monyet yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia berkisar
0,1-0,6 % dan hiu paitan berkisar 0,1-1,3 % dari total tangkapan. Ukuran hiu thresher yang tertangkap rawai tuna
umumnya ikan yang telah dewasa (berkisar 54-74%) dan diduga telah mengalami pemijahan. Hampir semua bagian
hiu thresher dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, ikan hiu thresher
juga diekspor terutama siripnya ke manca negara dan terbanyak ke China.

KATA KUNCI : Jenis dan ukuran, daerah penangkapan, hiu thresher, Samudera Hindia

ABSTRACT:

As a member of IOTC, Indonesia is obliged to implement all IOTCs resolutions including resolution 10/12 on
the conservation of thresher sharks (Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC area of
competence. Indonsia has not implementing the Resolution 10/12 yet, especifically for thresher sharks as an
important resource. Therefore, in order to support implementation of the IOTC Resolution 10/12, this paper
presents results of a research on thresher shark caught by tuna long line operated in Indian Ocean based at Cilacap
was carried out. Data obtained by port sampling program in Cilacap Fishing Port in 2010, onboard observer
program on the commercial tuna long line vessel based in Cilacap on January 2010 and annual report (fisheries
statistic) of Cilacap Fishing Port 2006-2010 were used within this paper. The result showed that: (a) thresher
sharks are one of bycatch in tuna long line fisheries; (2) there are two species of thresher shark caught by tuna long
liner i.e. pelagic thresher (Alopias pelagicus Nakamura 1935) and bigeye thresher (A.superciliosus Lowe 1840),
while thinfin or fox thresher (A.vupinus Bonneterre 1788) has not been noted in the catch composition so far. The
percentage of pelagic and bigeye thresher sharks caught by tuna long liner were 0.1-0.6 % and 0.1-1.3 % of the
total catch, respectively. Mostly, the thresher shark caught by tuna long line is adult fishes (54-74%) this predicted
that this species has spowned. The products of thresher are marketed locally and exported, mainly to China,
especially for their fin.

KEYWORDS: species and zise, fishing ground, thresher shark, Indian Ocean.

PENDAHULUAN 10/12 IOTC disepakati berdasarkan Resolusi Nomor 05/05


tentang konservasi ikan hiu dan mempertimbangkan
Resolusi Nomor 10/12 tentang konservasi thresher diantaranya bahwa family Alopiidae yang tertangkap
shark familiAlopiidae yang tertangkap di perairan negara- sebagai hasil tangkapan sampingan (by-catch) di area
negara anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) kewenangan IOTC. International Scientific Community
telah disepakati dan diadopsi pada pertemuan IOTC ke 14 merekomendasikan agar bigeye thresher shark atau hiu
tahun 2010 di Busan, Korea Selatan. Selanjutnya thresher thresher matabesar (Alopias supercilliosus) sebagai
shark disebut sebagai hiu thresher. Resolusi Nomor spesies yang harus dilindungi karena mulai terancam
Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email: anungwd@yahoo.co.id
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430 75
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

punah. Masalah yang muncul adalah bahwa nelayan minggu terakhir setiap bulan. Seluruh ikan hiu thresher
bahkan ilmuwan sekalipun sering menghadapi kesulitan yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang
membedakan spesies hiu thresher matabesar dengan didaratkan di PPS Cilacap saat kegiatan pengambilan
spesies hiu thresher yang lain. Oleh karena itu dipandang contoh dicatat dan diukur panjang totalnya. Data primer
aman jika semua spesies hiu thesher dilindungi sebagai lain adalah berdasarkan hasil observasi di kapal (onboard
tindakan kehati-hatian. Di dunia terdapat 3 spesies hiu observation) rawai tuna yang berbasis di Cilacap bulan
thresher, yaitu Alopias pelagicus Nakamura, 1935; Alopias Januari 2010. Data sekunder adalah laporan statisitik PPS
superciliosus Lowe 1840 dan Alopias vulpinus Cilacap tahun 2010 serta informasi kepustakaan terkait
Bonnaterre, 1788 (Last et al., 2009). aspek biologi hiu thresher dari Liu, et al.(1999); White
(2007); Last, et al., (2009); dan Compagno (2002). Data
Sebagai anggota IOTC, Indonesia wajib mengadopsi dan inforamsi dikompilasi, disarikan dan disajikan dalam
isi Resolusi Nomor 10/12 IOTC tersebut. Garis besar isi bentuk naratif, gambar dan tabel.
Resolusi Nomor 10/12 antara lain (1) Melarang menahan
di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain, mendaratkan,
menyimpan, menjual atau menawarkan untuk menjual
bagian manapun atau seluruh bangkai spesies hiu thresher
dari family Alapiidae, (2) Melaporkan hasil tangkapan hiu
thresher (termasuk estimasi tangkapan hiu thresher yang
dibuang dan ukuran hiu thresher) dan (3) Pelepasan dalam
keadaan hidup untuk hiu thresher yang tertangkap pada
kegiatan rekreasi dan olahraga penangkapan ikan (4)
Anggota atau non anggota yang biasa disebut sebagai Gambar 1. Ukuran panjang total (TL) hiu thresher.
Cooperating non Contracting Parties (CPCs) IOTC Figure 1. Total length of thresher shark.
melakukan penelitian hiu thresher di area IOTC guna
mengidentifikasi daerah pemijahan dan daerah asuhannya HASIL DAN BAHASAN
sehingga memungkinkan dilakukan penutupan area
(closing area) atau melakukan pengelolaan yang sesuai. HASIL

Penelitian khusus tentang hiu thresher di Indonesia 1. Spesies Hiu Thresher


masih sangat jarang dilakukan dan secara spesifik a. Jumlah spesies
Indonesia belum melaksanakan Resolusi Nomor 10/12.
Satu-satunya penelitian yang membahas hiu thresher di Hasil penelitian melalui kegiatan pengambilan contoh
Samudera Hindia adalah yang dilakukan Dharmadi et al. (port sampling) di PPS Cilacap tahun 2010 menunjukkan
(2010). Hasil penelitian tersebut bahwa Alopias pelagicus bahwa terdapat 2 (dua) spesies hiu thresher yang
dan A.superciliosus merupakan dua spesies yang dominan tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu paitan
tertangkap jaring insang tuna atau tuna gillnet di Samudera atau bigeye thresher shark (Alopias supeciliosus) dan
Hindia. Persentase Alopias pelagicus dan A.superciliosus hiu tikusan/monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus).
masing-masing berkisar 59,4-70,2% dan 9,7-21,7% dari total Nelayan di Indonesia umumnya menyebut hiu sebagai
tangkapan hiu oleh jaring insang hanyut. Didorong ikan cucut. Tabel 1 menyajikan nama ilmiah, Inggris dan
sedikitnya data dan informasi dari hasil penelitian tentang lokal dari hiu thresher yang tertangkap.
hiu thresher tersebut maka tulisan ini ini ditujukan sebagai
penelitian awal sebelum dilakukan penelitian khusus dan b. Prosentase Tangkapan Hiu Thresher
mendalam tentang hiu thresher sebagaimana dimandatkan
pada Resolusi Nomor 10/12 IOTC. Di Samudera Hindia, hiu thresher merupakan hasil
tangkapan sampingan (HTS) atau bycatch dari perikanan
BAHANDANMETODE rawai tuna dan jaring insang tuna. Prosentase hasil
tangkapan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna di
Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah hasil Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap disajikan
kegiatan pengambilan contoh di PPS Cilacap (port pada Tabel 2. Dari Tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa
sampling) oleh enumerator tahun 2010. Data meliputi jumlah hiu monyet (Alopias pelgicus) dan hiu paitan
identifikasi jenis dan ukuran panjang total atau total (Alopias supeciliosus) yang tertangkap rawai tuna di
length-TL (Gambar 1) hiu thresher yang terangkap rawai Samudera Hindia secara berturutan berkisar 0,1-0,6 % dan
tuna atau tuna long line yang beroperasi di Samudera 0,1-1,3 % dari total hasil tangkapan.
Hindia dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPS
Cilacap. Kegiatan pengambilan contoh dilakukan pada

76
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

Tabel 1. Nama ilmiah, nama Inggris dan nama lokal dari hiu thresher.
Table 1. Scientific name, English name and local name of thresher shark.

Nama Ilmiah (Scientific name) Nama Inggris (English name) Nama Lokal (Local name)
Alopias pelagicus Nakamura,1935 Pelagic thresher Hiu monyet, hiu tikusan, hiu pedang
Alopias superciliosus Lowe,1840 Bigeye thresher Hiu paitan, hiu lancur, hiu lutung
Alopias vulpinus Bonnaterre,1788 *) Common thresher, fox thresher, -
thintail thresher
*)
Belum ada nama lokal karena di Indonesia belum ditemukan spesies tersebut.

Tabel 2. Prosentase spesies hiu thresher hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS
Cilacap tahun 2006-2010.
Table 2. Procentage of thresher shark caught by tuna long line in Indian Ocean landed at Cilacap Fishing Port
2006-2010.

Sumber (Source): PPS Cilacap (2010).

Tabel 3. Komposisi hasil tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010
Table 3. Cacth composition of thresher shark among tuna long line caught in the Indian Ocean which was
landed in Cilacap Fishing Port 2010

Sumber (Source): PPS Cilacap (2010)

c. Ukuran Panjang Ikan di Samudera Hindia berukuran panjang antara 202-309 cm


TL dengan modus pada panjang 271-280 cm TL. Panjang
Tidak banyak informasi hasil penelitian di Indonesia hiu monyet atau pelagic thresher (A. pelagicus) betina
yang menginformasikan mengenai aspek biologi hiu yang tertangkap tertangkap rawai tuna mempunyai
thresher. Hasil kegiatan pengambilan contoh di pelabuhan panjang 206-328 cm dengan modus pada panjang TL 291-
(port sampling) oleh enumerator tahun 2010 di PPS Cilacap 300 cm TL (Gambar 2 A-B). Data panjang hiu paitan atau
menunjukkan bahwa ukuran hiu monyet atau pelagic bigeye thresher (A.superciliosus) tidak tersedia.
thresher (A. pelagicus) jantan yang tertangkap rawai tuna

77
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

monyet atau pelagic thresher maupun hiu paitan atau


bigeye thresher (Gambar 5).

Gambar 2A-B Distribusi panjang total (TL) hiu monyet


(A.pelagicus) jantan [A] dan betina [B]
yang tertangkap rawai tuna di Samudera
Hindia yang berbasis di PPS Cilacap tahun
2010, Lm ikan jantan 269 cm dan betina 290
(Liu et al., 1999).
Figure 2A-B Total length (TL) distribution of male
pelagic thresher (A.pelagicus) male [A]
and female [B] caugth by tuna long line
in Indian Ocean landed at Cilacap
Fishing Port 2010, Lm male 269 cm and
female 290 (Liu et al., 1999).

d. Daerah Penyebaran Hiu Thresher

Secara spesifik tidak ada data yang akurat terkait posisi


daerah penangkapan rawai tuna yang menangkap hiu
thresher. Para nakoda rawai tuna juga tidak bersedia
menyampaikan posisi lintang dan bujur (koordinat) dimana
mereka mengoperasikan rawainya. Hasil observasi di kapal
Gambar 3. Posisi setting salah sat kapal rawai tuna hasil
(onboard observation) di salah satu kapal rawai tuna yang
observasi di kapal (onboard observation) rawai
berbasis di Cilacap yang dilakukan tahun 2010 adalah
tuna di Samudera Hindia bulan Januari 2010.
sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Hasil observasi
Figure 3. Setting position of tuna long line based on
menunjukkan bahwa hiu monyet dan hiu paitan tertangkap
onboard observation in Indian Ocean
masing-masing sebanyak 1 (satu) ekor dengan berat 23.5
January 2010.
kg dan 24,5 kg.

e. Produksi dan Pemasaran

Rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap yang


menghasilkan hiu thresher sebagai hasil tangkapan
sampingan (HTS) atau bycatch. Sejak lima tahun terakhir,
data pendaratan hiu thresher yang tertangkap rawai tuna
di Samudera Hindia dicatat dengan sangat baik di
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap. Produksi
hiu thresher berluktuatif setiap tahunnya, produksi
tertinggi hiu paitan atau bieye thresher (A.superciliosus)
terjadi pada tahun 2009 yaitu mencapai 11808 kg dan turun
kembali menjadi 1718 kg pada tahun 2010. Produksi hiu Gambar 4. Fluktuasi hasil tangkapan hiu thresher yang
monyet atau pelagic thresher (A.pelagicus) tahun 2006- tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia yang
2010 relatif menurun yaitu 4618 kg menjadi 3077 kg. didaratkan di PPS Cilacap tahun 2006-2010.
(Gambar 4). Figure 4. Catch fluctuation of thresher shark caugth
by tuna long line in Indian Ocean which was
Fluktuasi produksi hiu thresher bulanan menunjukkan landed at Cilacap Fishing Port 2006-2010.
bahwa bulan April merupakan bulan puncak baik hiu

78
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

lokal dan ekport. Banyak retoran seafood kelas atas di


Indonesia menghidangkan sup sirip (isit) cucut. Hati hiu
thresher dimanfaatkan untuk diambil minyaknya dan
tulang rawannya digunakan untuk salah satu bahan
farmasi. Selain dipasarkan di dalam negeri, produk dari
bahan cucut termasuk hiu thresher juga diekspor ke
beberapa negara terutama China (Widodo et al., 2004).

BAHASAN

1. Jenis Ikan Hiu Thresher

Gambar 5. Fluktuasi jumlah hiu thresher yang tertangkap Last at al. (2009) menyebutkan bahwa terdapat tiga
rawai tuna di Samudera Hindia yang didaratkan spesies hiu thresher di dunia yaitu Alopias pelagicus
di PPS Cilacap sepanjang tahun 2006-2010. Nakamura,1935, Alopias superciliosus Lowe (1840) dan
Figure 5. Catch Average fluctuation of thresher shark Alopias vulpinus Bonnaterre (1788). Selama penelitian
caugth by tuna ling line in Indian Ocean tidak ditemukan spesies hiu thresher spesies Alopias
landed in Cilacap Fishing Port, 2006-2010. vulpinus Bonnaterre (1788). Secara umum hiu thresher
shark di Indonesia dikenal hiu (cucut) monyet atau tikusan,
Daging hiu thresher in Indonesia digunakan sebagai yang dicirikan dengan ekor yang panjang. Terminologi
bahan pangan dalam bentuk segar, asap dan asin. Siripnya utama dari hiu thresher adalah sebagaimana disajikan pada
dimanfaatkan dengan cara diambil isit-nya untuk konsumsi Gambar 6.

Gambar 6. Terminologi utama hiu thresher (Compagno, 2002)


Figure 6. Principal terminology of thresher shark (Compagno, 2002)

a. Spesies hiu Alopias pelagicus Nakamura, 1935.

Spesies ini di Indonesia biasa disebut hiu monyet atau


tikusan dan mempunyai nama Inggris pelagic thresher.
Ciri fisik yang sangat khas yaitu mempunyai cuping (lobe)
di bagian atas dari sirip ekor yang yang sangat panjang
(Gambar 7). Ukuran mata yang yang relatif lebar, tetapi
tidak melebar hingga permukaan atas dari kepalanya. Sirip Gambar 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al.,
dadanya lurus, salur berwarna putih pada bagian bawah 2009).
tubuhnya tidak mamanjang melebihi pangkal sirip Figure 7. Alopias pelagicus Nakamura,1935 (Last et al.,
dadanya. Tidak terdapat salur labial atau salur yang dalam 2009).
di belakang kelopak matanya (Liu et al., 1999; White, 2007).

79
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

Bentuk badan fusiform, moncong mulut relatif pendek halus. Sisi belakang sirip punggung segaris dengan sisi
dan lonjong. Ukuran mata agak lebar namun tidak melebar depan sirip perut. Sirip perut relatif besar, sirip punggung
hingga sisi atas kepala. Gigi pada rahang atas dan bawah kedua dan sirip anal sangat kecil, sirip dadanya berbetuk
relatif sama, yaitu berukuran kecil-kecil tumbuh dengan seperti sabit. Cuping atas sirip ekor sangat panjang, namun
posisi miring dengan pinggiran halus dan berjumlah antara ukurannya lebih pendek dari panjang cagak tubuhnya.
4-5 baris. Jika ditarik garis dari atas ke bawah, sisi belakang Jumlah giginya 22/19 [19-27/20-24], jumlah ruas tulang
sirip punggung pertamanya mempunyai jarak yang tidak belakangnya antara 278-308 dan precaudal-nya antara
saling terkait dengan sisi depan sirip perutnya. Posisi sisi 98-106 buah.
depan dari sirip punggung kedua dan sisi belakang sirip
perut lurus. Sisi depan sirip dada berbentuk lurus dan sisi
belakang agak lengkung. Cuping sirip ekor bagian atas
sangat panjang hingga melebihi ukuran panjang cagak
tubuhnya. Jumlah gigi antara 41-45/37-38, jumlah ruas
tulang belakang (vertebrae) antara 453-477 dan jumlah
tulang precaudal 126 buah.

Hiu monyet atau tikusan mempunyai warna abu-abu Gambar 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al.,
pucat pada bagian punggung dan warna putih pada bagian 2009).
dada hingga perutnya, bagian atas dan penutup insang Figure 8. Alopias superciliosus Lowe, 1840 (Last et al.,
berwarna perak metalik. Ukuran maksimal mencapai 2009).
panjang total 340 cm dan mulai dewasa pada panjang total
antara 247-269 cm atau berumur antara 7-8 tahun pada hiu c. Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788.
jantan dan panjang total antara 246-290 cm atau berumur
antara 8-9 tahun pada hiu betina. Umur maksimal hiu Spesies hiu Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788
monyet atau tikusan jantan dapat mencapai 20 tahun dan mempunyai nama inggris thintail thresher atau fox
betina 29 tahun (Compagno, 2002). thresher. Sama dengan dua spesies sebelumya, yaitu
mempunyai cuping ekor bagian atas yang sangat panjang
Reproduksi adalah oophagus dan biasanya (Gambar 9). Matanya relatif besar namun tidak sebesar
menghasilkan 2 anak juvenile yang biasa diistilahkan bigeye thresher, terdapat alur labial dan tidak terdapat
sebagai pups, selama hidupnya hiu ini dapat memproduksi alur dalam di belakang matanya. Sirip dadanya melengkung
40 hiu muda. Tidak terdapat musim bereproduksi, namun berbentuk bulan sabit dan bagian bawah tubuhnya
diketahui cucut ini maksimal melahirkan 2 kali dalam berwarna putih.
setahun. Makanan hiu monyet atau tikusan ini adalah ikan-
ikan kecil dan cumi-cumi. Sebelum disantap ikan-ikan kecil Bentuk badan fusiform, agak gendut, moncong
atau cumi-cumi tersebut digiring dan dikumpulkan dengan mulutnya relatif pendek dan berbentuk lonjong. Gigi-
ekornya lalu dibuat pingsan dengan kibasan ekornya yang giginya relatif sama antara yang di rahang atas dan bawah,
panjang. ujung gigi-giginya halus dan berbentuk segitiga yang
runcing.
b. Spesies hiu Alopias superciliosus Lowe, 1840.

Sebagaimana hiu monyet atau tikusan, (Alopias


superciliosus Lowe,1840) juga mempunyai sirip ekor
dengan cuping (lobe) bagian atas sangat panjang. Nama
local hiu ini adalah hiu paitan, hiu lancur atau hiu lutung.
Spesies ini mempunyai mata yang lebar/besar (hingga ke
permukaan atas dari kepalanya). Dibanding spesies
lainnya, ukuran mata spesies ini adalah paling besar, Gambar 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al.,
sehingga disebut bigeye thresher. Terdapat alur lateral 2009).
yang nyata (jelas) pada bagian atas kepalanya (Gambar 8). Figure 9. Alopias vulpinus Bonnaterre, 1788 (Last et al.,
2009).
Bentuk badan fusiform, agak gemuk, moncong mulut
relatif panjang dan bulat. Terdapat alur memanjang pada Dari hasil penelitian ini, tercatat hanya ada 2 (dua)
bagian punggung belakang dan bermuara di atas tutup spesies hiu thresher yang biasa tertangkap rawai tuna
insang. Ukuran gigi-giginya relatif besar dan bentuknya yang beroperasi di Samudera Indonesia dan mendaratkan
sama antara yang di rahang bawah maupun atas. Ujung hasil tangkapannya di PPS Cilacap. Hasil serupa dilaporkan
dari gigi-giginya panjang, ramping dan pinggirannya juga oleh Widodo & Anung (2002); Widodo & Rahmat

80
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

(2002); Adrim et al., 2006). Dua spesies yang dimaksud telah dewasa. Adapun persentase hiu monyet betina yang
adalah Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus. dewasa relatif lebih kecil dibanding hiu jantannya yaitu
Adapun jenis hiu thresher yang tidak ditemukan adalah 53,5%. Bukti dari temuan ini mengindikasikan bahwa
hiu jenis Alopias vulpinus. Padahal, jika dilihat dari kegiatan eksploitasi dengan teknologi rawai tuna tidak
distribusinya hiu jenis Alopias vulpinus juga terdapat di terlalu membahayakan kelangsungan populasi
Indonesia. Tidak ditemukannya jenis hiu ini diduga sumberdaya hiu monyet. White et al. (2006) menyampaikan
dikarenakan jumlahnya yang sangat sedikit di perairan bahwa secara umum populasi sumberdaya hiu thresher di
Samudera Hindia. Penyebaran vertikal spesies ini Samudera Hindia masih aman dieksploitasi. Namun
mencapai kedalaman perairan 366 meter (Compagno et al., demikian untuk mengetahui populasi ikan hiu yang akurat
2002). Di lain pihak, kebanyakan rawai tuna yang diperlukan data dan informasi yang runtun waktu,
dioperasikan di Indonesia tipe rawai tuna permukaan mengingat karakteristi biologi hiu terutama fekunditas dan
(surface tuna long line) sehingga tidak dapat mencapai reproduksi yang rendah serta berumur panjang sehingga
kedalaman dimana biasa diketemukan di mana jenis hiu mudah mengalami kepunahan jika dilakukan penangkapan
tersebut menyebar. yang intensif (Dharmadi et al., 2010). Pendapat tersebut
juga sejalan dengan salah satu isi Resolusi No. 10/12 IOTC
Prosentase hiu threser yang tertangkap rawai tuna tentang kewajiban bagi anggota IOTC termasuk Indonesia
adalah relatif kecil dibanding spesies lainnya (Tabel 2). melakukan penelitian hiu thresher terkait daerah mijah dan
Kecilnya prosentase hiu thresher dibanding total dari hasil asuhnya sehingga memungkinkan dilakukan penutupan
tangkapan lainnya pada rawai tuna tersebut tidak berarti area atau melakukan pengelolaan yang sesuai.
keberadaan hiu thresher dapat diabaikan. Justru kecilnya
jumlah hasil tangkapan hiu thresher haruslah diartikan 2. Daerah Penangkapan
sebagai telah langkanya sumberdaya ikan ini, sehingga
menjadi perhatian serius IOTC dengan dikeluarkannya Widodo & Anung (2004) menyampaikan bahwa daerah
Resolusi No.10/12. penangkapan ikan hiu termasuk hiu thresher yang
tertangkap jaring insang tuna yang beroperasi di Samudera
1. Struktur Ukuran Hindia dan berbasis di Cilacap adalah pada area 107o-112o
BT dan 8o-10o LS. Compagno et al. (2002) menyampaikan
Analisis terhadap data distribusi ukuran panjang yang bahwa daerah penyebaran Alopias pelagicus, Alopias
tersedia, menunjukkan bahwa bahwa 73,6% hiu monyet superciliosus dan Alopias vulpinus di Indonesia terutama
jantan yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hidia yang adalah di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Gambar
didaratkan di PPS Cilacap tahun 2010 merupakan ikan yang 10A-C).

Gambar 10A-C. Daerah penyebaran sumberdaya Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Alopias vulpinus
(Compagno, 2002).
Figure 10A-C. Area distribution of Alopias pelagicus, Alopias superciliosus and Alopias vulpinus (Compagno,
2002).

Compagno (2002) menyampaikan bahwa hiu monyet 3. Hasil Tangkapan


atau pelagic thresher shark (Alopias pelagicus)
mempunyai distribusi vertikal hingga kedalaman 500 meter, Dengan memperhatikan Tabel 3 terlihat bahwa hasil
namun terbanyak pada kedalaman 100 meter. Bigeye shark tangkapan hiu thresher didaratkan di PPS Cilacap tertinggi
(Alopias superciliosus) ditemukan secara merata dari pada bulan April, fenomena tersebut mengindikasikan
permukaan hingga kedalaman 152 meter perairan. Thintail bahwa musim tertangkapnya hiu thresher oleh rawai tuna
thresher atau fox thresher (Alopias vulpinus) banyak diduga pada bulan April. Rata-rata hasil tangkapan
ditemukan hingga kedalaman 366 meter (Compagno, 2002). bulanan hiu monyet atau pelagic thresher dan hiu paitan

81
A.A. Widodo, R.T. Mahulette / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 75-82

atau bigeye thresher yang tertangkap rawai tuna di Compagno, L.J.V., 2002. Sharks of theWorld.An annotated and
Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap masing- illustrated catalogueofSharkspecies known to date.Volume
masing 275,3 kg dan 453,9 kg. Tertangkapnya hiu thresher 2. Bullhead, mackereland carpet sharks (Heterodontformes,
sebagai HTS pada rawai tuna adalah sulit dihindari, hampir LamniformesandOrectolobiformes).FAO.Rome.
setiap bulan selalu terjadi walaupun prosentasenya sangat
kecil dibanding total hasil tangkapan rawai tuna. Dharmadi, S.Triharyuni & J.Rianto, 2010. Hasil tangkapan
cucut yang tertangkap dengan jaring insang tuna
KESIMPULAN DAN SARAN permukaan di perairan Samudera Hindia. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (4): 285-291.
KESIMPULAN
Last, Peter R, & John D.Stevens, 2009. Shark And Rays Of
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: Australia (Second Edition). Harvard University Press.
Garden St, Cambridge, Massachusetts-USA.
1. Hiu thresher merupakan hasil tangkapan sampingan
(HTS) pada alat tangkap rawai tuna dan sulit dihindari Liu, K.M., C.T..Chen, T.H. Liao, & S.J. Joung, 1999. Age,
untuk tidak tertangkap. growth and reproduction of the pelagic thresher shark,
2. Terdapat dua spesies hiu thresher yang tertangkap Alopias pelgicus in the northwestern Pacific. Copeia
rawai tuna di Samudera Hindia yaitu hiu monyet atau 1999. (1): 68-74.
pelagic thresher dan hiu paitan atau bigeye thresher.
3. Prosentase hiu monyet (pelagic thresher) dan hiu paitan Liu, K.M., P.J. Chiang, & C.T. Chen, 1998.Age and growth
(bigeye thresher) adalah sangat kecil yaitu 0,1-1,3% dari estimates of the bigeye thresher shark, Alopias
total tangkapan rawai tuna di Samudera Hindia. superciliosus in the northeastern Taiwan waters.
4. Sebagian hiu thresher yang tertangkap rawai tuna Fishery Bulletin. 96 (3): 482-491.
merupakan ikan yang telah dewasa sehingga diprediksi
telah mengalami pemijahan. PPS Cilacap, 2010. Laporan Statistik Pelabuhan
Perikanan Cilacap Tahun 2006-2010. Cilacap
SARAN (diterbitkan setiap tahun).

Indonesia sebaiknya mulai melaksanakan ketentuan- White, W.T., P.R.Last, D.J.Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi
ketentuan yang terdapat pada Resolusi 10/12 IOTC, & Dharmadi, 2006. Economically important sharks and
dimulai dengan melakukan pencatatan Statistik Perikanan rays of Indonesia. ACIAR monograph series. No. 124.
baik untuk keperluan nasional ataupun regional (RFMO). Perth. WA. 329 p.
Aspek lain yang juga harus dilakukan adalah penelitian
tentang hiu thresher secara berkesinambungan terkait White, W.T, 2007. Biological observations on lamnoid
aspek biologi, dinamika dan perikanannya bagi shark (Lamniformes) caught by fisheries in eastern
kepentingan pengelolaan sumberdaya ikan hiu thresher. Indonesia. Journal of the Marine. Biological
Association of the United Kingdom. 87: 781-788.
PERSANTUNAN
Weng, K.C. & B.A. Block, 2004. Diel vertical migration of
Tulisan ini merupakan sebagian dari hasil kegitan the bigeye thresher shark (Alopias superciliosis), a
Program Enumerator tahun 2010 yang dibiayai oleh species prossessing orbital retia mirabilia. Fihery
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Bulletin. 102 (1): 221-229.
Kelautan dan Perikanan. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ir. Joko Rianto dan M. Alif, S.St.Pi. sebagai Widodo, J. & A. Anung, 2002. Perikanan cucut artisanal
enumerator di PPS Cilacap yang telah membantu dalam di perairan Samudera Hindia Selatan Jawa dan Lombok.
pengumpulan data ikan hiu threser tahun 2010. Juga Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi
diucapkan terima kasih kepada Ignatius Tri Hargiatno Sumberdaya dan Penangkapan. 8 (1): 75-83.
yang telah menyiapkan gambar peta penangkapan.
Widodo, J. & A. Anung, 2004. Musim penangkapan ikan
DAFTAR PUSTAKA cucut. Musim penangkapan ikan di Indonesia. Balai
Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap.
Adrim, M., Fahmi, S. Balkis, & N.M. Rahmadani., 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. p. 101-109.
Keragaman Spesies Hiu di Indonesia (Shark Diversity
of Indonesia Waters). Sensus Biota Laut-LIPI, Jakarta,
[Poster].

82
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

HUBUNGAN PANJANG BOBOT, FAKTOR KONDISI DAN STRUKTUR


UKURAN IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) DI PERAIRAN
SELAT BALI

LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP, CONDITION FACTORS AND SIZE


STRUCTURE OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) IN
BALI STRAIT WATERS

Arief Wujdi1, Suwarso2 dan Wudianto1


1
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2
Balai Penelitian Perikanan Laut
Teregistrasi I tanggal: 2 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012

ABSTRAK

Ikan lemuru merupakan jenis ikan hasil tangkapan utama kegiatan perikanan di perairan Selat Bali yang status
pemanfaatannya sudah mengalami lebih tangkap dan memerlukan upaya pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan panjang dan bobot, faktor kondisi, serta struktur ukuran ikan lemuru di perairan Selat Bali.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2010 hingga Desember 2011 dengan metode survei dan pengamatan
langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan lemuru mengikuti
persamaan W=0,007FL3,167 dan memiliki pola pertumbuhan allometrik positif (b>3) namun pada setiap bulannya
mengalami perubahan pola pertumbuhan. Nilai faktor kondisi relatif berkisar antara 0,95-1,28 dan berfluktuasi
setiap bulannya. Hasil ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Ikan lemuru berukuran kecil atau sempenit
(<11 cmFL) banyak tertangkap pada bulan Agustus dan September 2010 serta Juli dan November 2011 dan diduga
pada waktu tersebut terjadi awal rekruitmen.

KATA KUNCI: Hubungan panjang bobot, faktor kondisi, struktur ukuran, ikan lemuru, Selat Bali

ABSTRACT:

Bali sardinella (lemuru) is mostly caught by fishers in the Bali Strait waters, and its status predicted have
overfishing so that it needs to manage this resources. The purpose of this study to investigate the length-weight
relationship, the condition factors and size structure of lemuru in the Bali Strait waters. The data was collected
through survey and direct observation in the field from August 2010 to December 2011. The result of this study
shows that length-weight relationship could be described as W = 0.007 FL3, 167. Nevertheless, it is change on the
growth pattern by monthly. The value of relative condition factors of lemuru were ranging from 0.95 to 1.28 and
very fluctuated by monthly. It is predicted that influenced by feed availability in Bali Strait waters. The smaal size of
lemuru, namely sempenit (<11 cmFL) are dominantly caught during August to September 2010 and July and
November 2011 that indicated lemuru is recruit during those months.

KEYWORDS: Length-Weight Relationship, condition factors, size structure, Sardinella lemuru, Bali
strait.(Footnotes)
PENDAHULUAN Selain itu, ikan lemuru juga digunakan sebagai umpan
perikanan tuna longline yang beroperasi di Samudera
Sumberdaya ikan lemuru merupakan sumberdaya yang Hindia.
paling dominan dan bernilai ekonomis penting di perairan
Selat Bali. Sejak dikenalkannya pukat cincin di perairan Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali secara intensif
tersebut oleh peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut pada diduga telah menyebabkan lebih tangkap atau overfishing
tahun 1972, komoditas tersebut paling banyak dieksploitasi (Martosubroto et al., 1986; Merta & Eidman, 1994;
oleh nelayan di sekitar Selat Bali (Merta, 1992). Salah satu Nurhakim & Merta, 2004). Oleh karena itu, diperlukan
pusat pendaratan utama ikan lemuru terdapat di Pelabuhan upaya pengelolaan untuk memelihara kelestarian
Perikanan Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi, sumberdaya ikan lemuru agar dapat dimanfaatkan secara
Provinsi Jawa Timur. Perkembangan perikanan lemuru berkesinambungan. Untuk keperluan pengelolaan
yang sangat pesat mendukung industri lokal yang terdapat perikanan lemuru diperlukan informasi terkini terkait
di sekitar Muncar, seperti: industri pengalengan, dengan beberapa aspek biologi sehingga pengelolaan
penepungan ikan, pemindangan dan pembuatan ikan asin. dapat dilakukan secara tepat.

Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email: arief_wujdi@yahoo.com
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430 83
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan a dan b = konstanta


panjang dan bobot, faktor kondisi dan struktur ukuran
ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali. Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan
Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga
pertimbangan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al.,
lemuru di perairan Selat Bali. 2001) :

BAHANDANMETODE log W = log a + b log L ............................................. (2)

WAKTUDANTEMPAT Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan lemuru


dapat ditentukan dari nilai konstanta b hubungan panjang
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi berat ikan tersebut. Jika b=3, maka pertumbuhannya
langsung di lapangan berturut-turut pada bulan Agustus bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding
2010 hingga Desember 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan pertambahan berat). Jika b 3 maka hubungan
di perairan Selat Bali dengan pusat pendaratan di Muncar. yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang
Jumlah ikan lemuru contoh adalah 2850 ekor. Pengambilan tidak sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b>3,
contoh dilakukan setiap bulan sebanyak 30-600 ekor/ maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana
bulan (rata-rata 238 ekor/bulan). Pengambilan contoh pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan
dilakukan secara acak dari hasil tangkapan kapal nelayan panjangnya, sedangkan jika b<3, maka hubungan yang
purse seine melalui pengukuran sistematis dengan terbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahan
mengikuti standar prosedur pengambilan contoh dan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya
pengukuran menurut Suwarso (2010). Parameter biologi (Effendie, 2002). Untuk menentukan bahwa nilai b berbeda
yang diukur meliputi panjang cagak (fork length) dalam nyata atau tidak dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan
satuan cm, bobot tubuh dalam gram, dan jenis kelamin. persamaan menurut Pauly (1984):

Prosedur Pra Pengambilan Contoh ........................................ (3)

Berdasarkan pengamatan pra sampling yang Faktor kondisi (K)


dilaksanakan pada Bulan Agustus 2010 menunjukkan
bahwa ikan lemuru kategori dewasa (adult) dimana gonad Menurut Vakily et al., (1986) dalam Manik (2009), faktor
jantan dan betina sudah bisa dibedakan, memiliki ukuran kondisi ikan umumnya antara 0,5-2,0 untuk pola
panjang cagak mulai 13-14 cm, sedangkan dibawah ukuran pertumbuhan isometric, faktor kondisinya dihitung
tersebut pada umumnya ikan belum dewasa (sub adult) dengan persamaan sebagai berikut:
sehingga ciri-ciri jantan dan betina belum dapat dibedakan
secara jelas. Oleh karena itu, pengambilan contoh dan ................................................................ (4)
pengukuran hubungan panjang berat dilakukan terhadap
ikan dengan ukuran panjang cagak 13 cm sehingga Nilai K pada ikan yang berbadan agak pipih berkisar
dapat dibedakan antara ikan lemuru jantan dan betina. antara 2,0-4,0 sedangkan pada ikan yang kurang pipih
berkisara antara 1,0-3,0 (Effendie, 2002). Ikan dengan pola
Analisis Data pertumbuhan allometrik, faktor kondisinya dihitung
dengan menggunakan faktor kondisi relatif, yaitu:
Hubungan Panjang dan Bobot
................................................................. (5)
Hubungan panjang dan bobot ikan dianalisis untuk
mengetahui pola pertumbuhannya. Menurut Effendie dimana:
(2002), rumus hubungan panjang dan bobot ikan adalah: Kn = faktor kondisi relatif
W = bobot ikan hasil observasi
W = a Lb ..................................................................... (1) W = bobot ikan hasil estimasi (W^ =aLb)

dimana: Diamati pola hubungan panjang bobot dan


W = bobot ikan (g) perkembangan faktor kondisi ikan disajikan setiap bulan
L = panjang ikan (cm) selama penelitian.

84
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

HASIL DAN BAHASAN 113,74 gram. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot
menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ikan lemuru jantan
HASIL mengikuti persamaan W = 0,008 FL3,152, sedangkan ikan
lemuru betina mengikuti persamaan W=0,007 FL3,181
Struktur Ukuran Panjang Ikan (Gambar 2). Apabila ikan jantan dan betina digabungkan
maka pola pertumbuhan ikan lemuru mengikuti persamaan
Ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang terukur dalam W=0,007 FL3,167 (Tabel 2). Berdasarkan hasil uji-t terhadap
penelitian ini mempunyai ukuran panjang cagak (FL) nilai b (slope) ikan lemuru jantan dan betina pada selang
dengan nilai tengah 6,75-19,75 cm. Modus ukuran ikan kepercayaan 95% (=0,05), menunjukkan bahwa nilai b
lemuru berkisar 14,0-14,5 cmFL, yaitu berjumlah 953 ekor berbeda nyata terhadap nilai 3 (b>3). Hal tersebut berarti
(Gambar 1). Jumlah contoh ikan lemuru yang diamati dalam pola pertumbuhan ikan lemuru keseluruhan bersifat
penelitian ini adalah 8.183 ekor. Dalam pengamatan ini, allometrik positif. Besaran nilai b ikan lemuru memiliki
hasil tangkapan ikan lemuru secara keseluruhan perbedaan setiap bulannya. Pertumbuhan ikan lemuru
didominasi ukuran 13-17 cmFL atau biasa disebut cenderung kurus terjadi pada bulan Agustus, September,
protolan dan lemuru. Adapun penyebutan nama lokal November, Desember pada tahun 2010; serta bulan
ikan lemuru yang digunakan oleh masyarakat di Muncar Januari, Februari dan Oktober tahun 2011. Pertumbuhan
disajikan pada Tabel 1. ikan lemuru cenderung gemuk terjadi pada bulan Oktober
2010; serta bulan Agustus, September, November dan
Desember tahun 2011 (Tabel 2).
1200
953
Jumlah/number

1000
740 799 719
799
800 636 599 655
567
600
381
400 274
182193 143
200 76 98 114
1 11 35 20 18 40 33 5 1 1
0
6,75
7,25
7,75
8,25
8,75
9,25
9,75
10,25
10,75
11,25
11,75
12,25
12,75
13,25
13,75
14,25
14,75
15,25
15,75
16,25
16,75
17,25
17,75
18,25
18,75
19,25
19,75

Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL)

Gambar 1. Sebaran ukuran kelas panjang ikan lemuru


(S.lemuru) hasil tangkapan armada pukat cincin
di Muncar
Figure 1. Range of length distribution of Bali
Sardinella (S.lemuru) were caught by purse
seiner in Muncar

Tabel 1. Nama lokal ikan lemuru (Sardinella lemuru)


berdasarkan ukuran panjang
Table 1. The local name of Bali sardine (Sardinella
lemuru) based on size of length

Panjang Total / Nama Lokal /


No
Total Length (cm) Local Name
1. < 11 Sempenit
2. 11 15 Protolan
3. 15 18 Lemuru
4. > 18 Lemuru Kucing
Sumber/Source: Merta (1992) dan Wudianto (2002)
Gambar 2. Hubungan panjang dan bobot ikan lemuru (S.
lemuru); A) jantan dan B) betina
Hubungan Panjang Bobot
Figure 2. Length-Weight relationship of Bali
Sardinella (S.lemuru); A) males and B)
Ikan lemuru yang dianalisis memiliki ukuran panjang
females
cm dan memiliki kisaran panjang cagak (FL) antara
13
13.0-20.0 cm dengan bobot tubuh berkisar antara 14,8-

85
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

Tabel 2. Hubungan panjang dan bobot ikan lemuru (S. lemuru) setiap bulan tahun 2010-2011
Table 2. Monthly length-weight relationship of Bali Sardinella (S. lemuru), 2010-2011

n/
Bulan/ Jantan/ Betina/ Gabungan/ Pola Pertumbuhan/
number
Month Males Females Combination Growth Pattern
of sample
Agustus W=0,019 FL2,837 W=0,149 FL2,042 W=0,032 FL2,630 120 Allometrik negatif
September W=0,031 FL2,621 W=0,011 FL2,998 W=0,019 FL2,802 330 Allometrik negatif
Oktober W=0,013 FL2,98 W=0,008 FL3,145 W=0,009 FL3,079 600 Allometrik positif
November W=0,027 FL2,678 W=0,035 FL2,599 W=0,029 FL2,659 240 Allometrik negatif
Desember W=0,167 FL2,040 W=0,041 FL2,546 W=0,054 FL2,441 239 Allometrik negatif
Januari W=0,075 FL2,297 W=0,088 FL2,245 W=0,077 FL2,290 214 Allometrik negatif
Februari W=0,035 FL2,603 W=0,019 FL2,825 W=0,021 FL2,783 117 Allometrik negatif
Agustus W=0,005 FL3,329 W=0,002 FL3,640 W=0,005 FL3,283 30 Allometrik positif
September W=0,002 FL3,68 W=0,003 FL3,514 W=0,002 FL3,542 213 Allometrik positif
Oktober W=0,035 FL2,670 W=0,017 FL2,930 W=0,022 FL2,833 330 Allometrik negatif
November W=0,014 FL2,985 W=0,008 FL3,167 W=0,011 FL3,056 330 Allometrik positif
Desember W=0,006 FL3,250 W=0,011 FL3,039 W=0,009 FL3,123 117 Allometrik positif
Gabungan/
W=0,008 FL3,152 W=0,007 FL3,181 W=0,007 FL3,167 2850 Allometrik positif
Combination

Faktor Kondisi 1,2


Relative Condition Factors
Faktor Kondisi Relatif/

1,15

Rata-rata faktor kondisi relatif ikan lemuru (Sardinella 1,1

lemuru) selama pengamatan adalah 1,11. Faktor kondisi 1,05

relatif ikan lemuru mengalami fluktuasi berdasarkan bulan 1


pengamatan. Nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru dari 0,95
bulan Agustus 2010 mengalami penurunan hingga 13.0-14.0 14.0-15.0 15.0-16.0 16.0-17.0 17.0-18.0 18.0-19.0 19.0-20.0
Kelas Panjang/Range of Length (cmFL)
mencapai titik terendah pada bulan Januari 2011 (0,95).
Nilai faktor kondisi relatif kemudian mengalami
peningkatan hingga mencapai nilai tertinggi pada bulan Gambar 4. Faktor kondisi relatif ikan lemuru (Sardinella
Oktober 2011 (1,28). Kemudian kembali mengalami lemuru) berdasarkan kelas panjang
penurunan hingga bulan Desember 2011 (Gambar 3). Figure 4. Relative condition factor of Bali sardinella
(S. lemuru) based on range of length
1,3
1,25 BAHASAN
Relative Conditions Factors

1,2
Faktor kondisi relatif/

1,15
1,1 Struktur Ukuran
1,05
1
0,95 Komposisi ukuran ikan lemuru yang ditemukan adalah
0,9
2,45% sempenit; 36,62% protolan; 54,01% lemuru; dan
Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Aug Sep Oct Nov Dec
6,90% lemuru kucing. Ikan lemuru protolan dan
2010 2011 lemuru dapat ditemukan hampir di setiap bulan
Bulan dan Tahun/Month and Year pengamatan. Ikan lemuru berukuran kecil (sempenit)
ditemukan pada bulan Agustus dan September tahun 2010;
Gambar 3. Variasi bulanan faktor kondisi relatif bulanan serta bulan Juli dan November tahun 2011 (Lampiran 1).
ikan lemuru (S. lemuru) tahun 2010-2011 Pada bulan Agustus 2010 dan Juli 2011 ukuran kelas
Figure 3. Monthly variation of relative condition factors panjang terkecil ikan lemuru yang tertangkap adalah sama,
the Bali Sardinella (S. lemuru) in 2010-2011 yaitu 8,5-9,0 cmFL, sedangkan pada bulan November 2011
berukuran lebih kecil yaitu 6,0-6,5 cmFL. Hasil yang sama
Nilai faktor kondisi ikan lemuru menurut kelas panjang juga ditemukan oleh Setyohadi (2010), yaitu ikan berukuran
ikan lemuru berkisar antara 0,99-1,15. Faktor kondisi kecil (sempenit) tertangkap pada bulan Juli. Menurut
mencapai nilai tertinggi pada kelas panjang 15-16 cmFL Wudianto (2002) ikan lemuru terkecil juga ditemukan
sebesar 1,15, sedangkan nilai terendah terdapat pada kelas dengan panjang cagak (FL) 6 cm pada bulan Agustus-
panjang 19-20 cmFL (Gambar 4). Nilai ini mengindikasikan September.
bahwa kondisi ikan lemuru di perairan Selat Bali memiliki
badan yang pipih hingga agak gemuk.

86
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

Hubungan Panjang dan Bobot Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Menurut
Merta (1993), nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru tertinggi
Pertumbuhan ikan lemuru bersifat allometrik positif pada bulan September dan terendah pada bulan Juli. Hal
yaitu pertambahan ukuran bobot tubuh ikan lebih cepat tersebut dipengaruhi oleh banyak tertangkapnya ikan lemuru
daripada pertambahan ukuran panjang tubuhnya (ikan yang telah memijah (spent) dan puncak musim pemijahan
cenderung gemuk). Pola pertumbuhan allometrik positif ikan lemuru terjadi pada bulan Juli (Merta, 1992).
ikan lemuru juga ditemukan Merta (1993); Merta &
Badrudin (1992); Setyohadi et.al (1998); Wudianto (2002) Rendahnya nilai faktor kondisi relatif hasil pengamatan,
di perairan Selat Bali. Menurut Setyohadi (2010), ikan pada bulan Januari 2011 menunjukkan bahwa ikan yang
lemuru jantan dan betina di Selat Bali memiliki pola tertangkap berada pada kondisi yang kurang gemuk. Selain
pertumbuhan yang isometrik (b=3) dan pertambahan itu, banyaknya ikan muda (belum matang gonad) yang
ukuran panjang seimbang dengan pertambahan bobot tertangkap juga mempengaruhi rendahnya nilai faktor
tubuhnya. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor kondisi relatif ikan lemuru pada bulan Januari 2011. Faktor
dalam maupun faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit kondisi mencapai nilai tertinggi pada bulan Oktober 2011.
dikontrol yang meliputi keturunan, sex, umur, parasit, dan Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh banyaknya ikan
penyakit. Faktor luar utama yang mempengaruhi matang gonad yang tertangkap pada bulan Oktober 2011.
pertumbuhan ikan adalah ketersediaan makanan dan suhu Perbedaan nilai faktor kondisi relatif diinterpretasikan
perairan (Effendie, 2002). sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan
tersebut, seperti kegemukannya, kesesuaian dari
Gemuknya ikan lemuru pada periode bulan Agustus- lingkungannya, dan perkembangan gonadnya (Le Cren
Desember diduga dipengaruhi oleh proses terjadinya 1951 dalam Merta 1993).
kenaikan air laut (upwelling). Menurut Salijo (1973), proses
upwelling di Selat Bali terjadi pada musim timur atau bulan Menurut Effendie (2002), ikan-ikan yang badannya
April-Oktober yang ditandai dengan tingginya kurang pipih atau montok memiliki harga K berkisar antara
konsentrasi fosfat dan nitrat dalam zona eufotik sehingga 1-3. Nilai faktor kondisi dari ikan lemuru yang lebih dari
mendukung perkembangan fitoplankton di perairan satu juga mengindikasikan bahwa contoh ikan yang
tersebut. Proses upwelling juga mengakibatkan perairan diamati berada dalam kondisi yang baik dan dapat
laut kaya akan nutrien dan sumber makanan. Melimpahnya digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil
dapat mendukung pertumbuhan organisme-organisme di pengamatan, nilai faktor kondisi relatif ikan lemuru
perairan Selat Bali. berfluktuasi pada setiap kelas panjang dan bulan. Menurut
Effendie (2002), perbedaan nilai faktor kondisi dipengaruhi
Menurut Merta (1993) analisis hubungan panjang dan oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad,
bobot dimaksudkan untuk mengukur variasi bobot makanan, jenis kelamin, dan umur ikan.
harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara individual
atau kelompok-kelompok individu sebagai suatu petunjuk KESIMPULAN
tentang kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad,
dan sebagainya. Kegunaan lain dari analisis hubungan 1. Sebaran frekuensi panjang ikan lemuru didominasi
panjang dan bobot yaitu dapat digunakan untuk ukuran 13-17 cmFL. Ikan lemuru berukuran kecil atau
melakukan estimasi faktor kondisi atau sering disebut sempenit (<11 cmFL) tertangkap pada bulan Agustus
dengan index of plumpness, yang merupakan salah satu dan September 2010 serta Juli dan November 2011.
derivat penting dari pertumbuhan untuk membandingkan 2. Pola pertumbuhan ikan lemuru jantan dan betina
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau bersifat allometrik positif (b>3) sehingga ikan dikatakan
individu tertentu (Everhart & Youngs, 1981). mampu tumbuh lebih gemuk.
3. Faktor kondisi relatif ikan lemuru berfluktuasi
Faktor Kondisi berdasarkan bulan pengamatan dan kelas panjang
dengan nilai berkisar antara 0,95-1,28.
Salah satu derivat penting dari pertubuhan adalah
faktor kondisi atau indeks ponderal atau sering disebut PERSANTUNAN
pula sebagai faktor K. Faktor kondisi menunjukkan
keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan
survival dan reproduksi. Penggunaan nilai faktor kondisi penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di
secara komersiil mempunyai arti penting menentukan Selat Bali merupakan kerjasama penelitian antara
kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dapat dimakan (Effendie 2002). dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 yang
dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan
dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Jakarta.

87
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

DAFTAR PUSTAKA Sea. PELFIS. Marine and Fisheries Research Project.


Jakarta. p. 137-144.
Effendie, I. M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara. Bogor. 163 p. Nurhakim, S. & I.G.S. Merta. 2004. Perkembangan dan
Pengelolaan Perikanan Lemuru, Sardinella lemuru
Everhart, W. H. & W. D. Youngs. 1981. Principles of Bleeker 1853 di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan
Fishery Science. 2nd Edition. Comstock Publishing Indonesia Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 10
Associates, a Division of Cornell University Press. (4): 53-63.
Ithaca and London. 349 p.
Pauly, D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical
Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine Waters: a Manual For Use With Programmable
Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Calculators. ICLARM Contribution No.143. ICLARM.
Publishing. United Kingdom. 417 p. Manila. 325 p.

Martosubroto, P.,N. Naamin & S. Nurhakim. 1986. Menuju Salijo, B. 1973. Keadaan Oseanografi daerah-daerah
Manajemen Perikanan Lemuru yang Rasional. Jurnal penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Laporan
Penelitian Perikanan Laut. (35): 59-66. Penelitian Perikanan Laut. 42 : 1-17.

Manik, N. 2009. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Setyohadi, D., D.O. Sutjipto, & DGR. Wiadnya, 1998.
Kondisi Ikan Layang (Decapterus russelli) dari Dinamika populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru)
Perairan Sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. serta Alternatif Pengelolaannya. Jurnal Penelitian
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35 (1): 65-74. Ilmu-Ilmu Hayati. 10 (1): 91-104.

Merta, I. G. S. & Badrudin. 1992. Dinamika Populasi dan Setyohadi, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Perairan Lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis
Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (65): 1-9. Simulasi Kebijakan Pengelolaan 2008-2020. Disertasi
(Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 339 p.
(Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali. Disertasi
(Tidak dipublikasikan). IPB. Bogor. 201 p. Suwarso. 2010. Recording of Catch Landings and Fishery
Modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian
__________. 1993. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya
Kondisi Ikan Lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853) Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p.
dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut. (73): 35-44. Wudianto. 2002. Ukuran Ikan Lemuru (Sardinella lemuru
Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali Berdasarkan
Merta, I.G.S. & M. Eidman, 1994, Predicted Biomass, Yield Waktu dan Daerah Penangkapan. Jurnal Penelitian
and Value of The Lemuru (Sardinella lemuru) Fishery Perikanan Indonesia Edisi Sumberdaya dan
in Bali Strait. BIODYNEX: Biologi, Dinamies, Penangkapan. 8 (1): 103-111.
Exploitation Of The Small Pelagic Fishes In Java

88
A. Wujdi, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 83-89

Lampiran 1. Struktur ukuran ikan lemuru (S. lemuru) tertangkap pada bulan Agustus 2010 sampai Desember 2011.
Appendix 1. Size stucture of Bali sardinella (S. lemuru) caught from August 2010 to December 2011

Apr 2011
Aug 2010
n = 52
n = 427

Sep 2010
n = 968 Jul 2011
n = 349

Okt 2010
n = 1453 Aug 2011
n = 408

Sep 2011
Nov 2010 n = 555
n = 549

Des 2010 Okt 2011


n = 300 n = 695

Nov 2011
Jan 2011
n = 1074
n = 512

Feb 2011 Des 2011


n = 217 n = 411

Mar 2011
n = 123

89
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

PARAMETER POPULASI IKAN KADAH (Valamugil speigleri) SEBAGAI


INDIKATOR PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERAIRAN ESTUARIA DI
PEMALANG

POPULATION PARAMETERS OF SPILGLERS MULLET (Valamugil


speigleri) IN AS AN INTENSITY INDICATOR OF UTILIZATION OF
ESTUARIES WATERS RESOURCES IN PEMALANG, CENTRAL JAVA

Adrian Damora dan Karsono Wagiyo


Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012

ABSTRAK

Kemungkinan intrusi air laut, perubahan musim, penurunan hasil pertambakan, abrasi air laut yang cukup parah
dan rhob besar di Kabupaten Pemalang diperkirakan akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove, termasuk
ikan-ikan estuari diantaranya adalah ikan Kadah (Valamugil speigleri). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan status populasi ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang. Penelitian dilakukan pada bulan Juni
Nopember 2010. Sebanyak 753 ekor contoh ikan Kadah yang diambil secara acak dari berbagai alat tangkap di TPI
Ketapang, Kabupaten Pemalang. Data yang diperoleh diolah dengan aplikasi model analitik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan Kadah bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang lebih cepat
dibandingkan pertambahan beratnya. Rata-rata panjang ikan Kadah tertangkap adalah 14,48 cm. Laju pertumbuhan
(K) ikan Kadah 0,98/tahun dan panjang total maksimum (L) sebagai 21,53 cm. laju kematian total (Z) ikan Kadah
5,56/tahun dan laju kematian alamiah (M) 2,00/tahun, sementara laju kematian karena penangkapan (F) 3,56/tahun,
serta laju pengusahaan (E) sekitar 0,64/tahun. Laju pengusahaan ikan Kadah sudah berada dalam keadaan jenuh
(fully exploited) yang menandakan intensitas pemanfaatan sumber daya perikanan estuaria yang tinggi.

KATA KUNCI: Populasi, ikan Kadah, estuaria, Pemalang

ABSTRACT:

Sustainability of Pemalang mangrove ecosystems and their estuarine fish such as, Speiglers mullet (V. speigleri)
could be threaten by salt water intrusion, seasonal change, sea water abrasion and highest water tide. Therefore,
a study aimed to identify the population status of Speiglers mullet in Pemalang estuarine was conducted from June
to Nopember 2010. Approximately 753 samples of Speiglers mullet were collected from varieties of fishing gears at
Ketapang fish landing area (site), Pemalang. The data were analyzed using the analytical model application. The
results showed that Speiglers mullet has a negative allometric growth indicating growth of fish length faster than
its weight. The average length of Speiglers mullet captured was 14,48 cm. Other biological parameters of Speiglers
mullet such as growth rate (K), maximum total length (L), total mortality rate (Z), natural mortality rate (M),
fishing mortality rate (F) and exploitation rate (E) were 0,98/year, 21,53 cm, 5,56/year, 2,00/year, 3,56/year and
0,64/year, respectively. The exploitation rate of Speiglers mullet in Pemalang waters was high. It suggests that
estuaries resources utilization was already high.

KEYWORDS: Population, Speiglers mullet, estuaries, Pemalang

PENDAHULUAN sebesar 11.465 ,3 ton (4,69%) dengan nilai produksi


sebesar Rp. 39.005.920 (4,73 %) atau pada urutan ke-6 dari
Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten seluruh kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan
yang berada di pesisir utara Pulau Jawa dengan luas dengan lautan (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi
wilayah 11.530 km2 dengan panjang pantai kurang lebih Jawa Tengah, 2005).
34,6 km. Sebagian besar wilayah pesisir merupakan
kawasan pertambakan, hutan bakau (mangrove) serta Permasalahan yang ada di pesisir Kabupaten Pemalang
tanaman pantai untuk perlindungan penanggulangan saat ini adalah kemungkinan telah terjadinya intrusi air
abrasi. laut, perubahan musim, penurunan hasil pertambakan,
abrasi air laut yang cukup parah, dan rhob besar yang
Kabupaten Pemalang pada tahun 2004 memberikan sering terjadi (Sahlan et al., 2010). Hal ini tentunya akan
konstribusi volume produksi perikanan laut Jawa Tengah mengancam kelestarian ekosistem mangrove, termasuk
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Laut
Jl. Muara Baru Ujung Komplek Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman-Jakarta Utara. Email : adriandamora@gmail.com 91
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

ikan-ikan estuaria yang ada termasuk diantaranya adalah Untuk mencegah penurunan populasi akibat
Ikan Kadah (V. speigleri). penangkapan diperlukan satu informasi tentang sumber
daya perikanan ikan Kadah yang menunjang ke arah
Ikan Kadah termasuk ke dalam famili Mugilidae yang pelestarian dan pengembangannya, salah satunya adalah
sering disebut sebagai ikan circum global. Ikan ini dapat aspek dinamika populasi. Tulisan ini bertujuan mengetahui
hidup pada kedalaman dan salinitas yang tinggi (Karna et dinamika populasi ikan Kadah di perairan Pemalang dan
al., 2011). Ikan Kadah memiliki panjang maksimal 35 cm sekitarnya dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
TL dengan panjang rata-rata 17,5 cm TL (Harrison & Senou, masukan untuk pengelolaan sumber daya ikan Kadah yang
1997), dapat hidup pada perairan laut, tawar dan payau berkelanjutan di perairan Pemalang.
(McDowall, 1997). Penyebarannya meliputi Timur Tengah,
Asia Selatan, Asia Timur, Indonesia sampai dengan Papua BAHANDANMETODE
Nugini (Thomson, 1984). Di antara ikan-ikan laut dan
payau, jenis ikan dari famili Mugilidae mempunyai prospek Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan
yang paling baik untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan contoh ikan Kadah (V. speigleri) di perairan estuaria
penyebarannya yang luas, mampu menoleransi suhu dan Pemalang pada bulan Juni-Nopember 2010 dengan metode
salinitas yang ekstrim dan dapat menyesuaikan terhadap survei. Sebanyak 753 ekor contoh ikan diambil secara acak
keadaan makanan di berbagai macam habitat (Effendie, dari berbagai alat tangkap di Tempat Pendaratan Ikan (TPI)
1984). Ketapang sebanyak enam kali pengambilan yang mewakili
setiap bulannya.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.


Figure 1. Research site in Pemalang, Central Java.

Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di
pengukuran panjang total (total length) dan berat total atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga menjadi
(total weight). Hubungan panjang-berat dianalisa persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) :
menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut
(Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) : loge W = loge a + b loge L ........................................ (2

W = aLb ......................................................................... (1 Hubungan panjang-berat dapat dilihat dari nilai


konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat
di mana : isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan
W = berat total ikan (gram) pertambahan berat), jika b 3, maka hubungan yang
L = panjang cagak ikan (cm) terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak
a dan b = konstanta hasil regresi sebanding dengan pertambahan berat). Untuk
menentukan bahwa nilai b = 3 atau b 3, maka digunakan
uji-t (Walpole, 1993).

92
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

Parameter pertumbuhan (K dan L ) ditentukan dengan dengan laju kematian alamiah (M) atau F=Z-M dan laju
metode ELEFAN (Gayanilo et al., 1994) didasari melalui pengusahaan (E) dihitung sebagai E=F/Z (Sparre &
persamaan von Bertalanffy (1934) in Sparre & Venema Venema, 1992). Rata-rata panjang ikan tertangkap
(1992) sebagai berikut: diturunkan dari 50% kumulatif frekuensi sebaran ukuran
(Atmaja & Nugroho, 2004).
Lt = L (1 e K (t to)) ................................................ (4
di mana: HASIL DAN BAHASAN
Lt = panjang ikan saat umur ke-t (cm)
L = panjang asimtotik ikan (cm) HASIL
K = laju pertumbuhan ikan
Stuktur Ukuran dan Hubungan Panjang-Berat Ikan
Kemudian dengan mengestimasi melalui metode
Gulland & Holt (1959) in Sparre & Venema (1992), Pengukuran panjang total (TL) dan berat ikan Kadah
persamaan di atas diturunkan menjadi persamaan berikut: dilakukan terhadap 753 ekor. Sebaran ukuran panjang total
berkisar antara 9,5-21,1 cm (Gambar 2), dengan berat
= KL K ......................................... (5 berkisar antara 10-98 gram.

dengan menganggap sebagai y, KL sebagai a dan


K sebagai b, maka nilai L dapat diestimasi melalui
persamaan:
a
L ................................................................... (6
b
dan nilai K diestimasi melalui persamaan:

K = b ........................................................................... (7

Laju kematian total (Z) diduga dengan metode kurva


hasil tangkapan (catch curve) yang menggunakan slope
(b) dan Ln N/t dengan umur relatif sesuai dengan rumus Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang total ikan Kadah
Pauly (1980) sebagai berikut: (Valamugil speigleri) di perairan estuaria
Pemalang.
Ln N/t = a Zt ............................................................ (8 Figure 2. Total length frequency distribution of
Speiglers mullet (Valamugil speigleri) in
di mana: estuaries waters of Pemalang.
N = banyaknya ikan pada waktu t
t = waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu
kelas panjang Gambar 2 juga menunjukkan bahwa struktur ukuran
a = hasil tangkapan yang dikonversikan panjang ikan Kadah yang tertangkap cenderung menyebar
terhadap panjang normal dengan modus panjang sebesar 15,5 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan Kadah yang tertangkap
Sementara itu kematian alamiah Ikan Kadah diduga didominasi oleh satu kohort dengan modus panjang 15,5
dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) sebagai cm TL. Penelitian pada jenis ikan yang sama di laguna
berikut: Chilika, India pada bulan September 2007-Agustus 2008
menunjukkan ikan Kadah yang tertangkap berada pada
Log M= -0,0066-0,279 Log + 0,654 Log K + 0,4534 Log T ....... (9 kisaran panjang cagak 0,3-16 cm (Karna et al., 2011).
Berdasarkan dua informasi di atas, dapat diduga bahwa
di mana: ikan Kadah berukuran relatif kecil.
M = laju kematian alamiah
L = panjang total maksimum (cm) Rata-rata panjang ikan Kadah yang tertangkap
K = laju pertumbuhan (cm/tahun) didapatkan sebesar 14,48 cm. Pengukuran ini merupakan
T = suhu (oC) hal yang penting untuk dipelajari bila dihubungkan
dengan rata-rata panjang ikan saat matang gonad.
Untuk nilai laju kematian karena penangkapan
diperoleh dengan mengurangi laju kematian total (Z) Hasil analisis hubungan antara panjang dan berat ikan
Kadah menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan Kadah

93
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

mengikuti persamaan W = 0,0192L2,7738 (N=753; r=0,9147) Kadah di perairan estuaria Pemalang adalah 0,64. Kriteria
(Gambar 3). Setelah dilakukan uji-t dengan tingkat Pauly et al. (1984) mengatakan bahwa nilai laju
kepercayaan 95% (=0,05), didapatkan pola pertumbuhan pemanfaatan yang rasional dan lestari di suatu perairan
ikan Kadah bersifat allometrik negatif, yang berarti berada pada nilai E<0,5 atau paling tinggi pada nilai E=0,5.
pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan Nilai E ikan Kadah menunjukkan bahwa pemanfaatan
pertambahan beratnya. Sifat pertumbuhan seperti ini sama sumber daya ikan di perairan estuaria Pemalang tergolong
dengan hasil penelitian pada jenis ikan yang sama di tinggi dan bahkan sudah mengarah pada tekanan
laguna Chilika, India dengan nilai b sebesar 2,6342 (Karna penangkapan yang berlebih. Meskipun jenis ikan ini
et al., 2011). Penelitian pada jenis Mugil cephalus di merupakan ikan non-ekonomis penting, namun apabila
perairan Ujung Pangkah juga menunjukkan sifat allometrik kondisi ini terus dibiarkan tanpa dilakukan upaya penataan
negatif dengan nilai b sebesar 2,92 (betina) dan 2,72 (jantan) pemanfaatan ikan Kadah, maka dapat diduga dalam jangka
(Sulistiono et al., 2001). panjang sumber daya ikan Kadah akan terancam
kelestariannya.

Gambar 4. Penyebaran frekuensi panjang total ikan


Kadah yang dirunut dengan ELEFAN.
Figure 4. Total length frequenly distribution of
Gambar 3. Hubungan panjang-berat ikan Kadah Speiglers mullet and growth curves fitted by
(Valamugil speigleri) di perairan estuaria ELEFAN.
Pemalang, 2010.
Figure 3. Length-weight relationship of Speiglers
mullet (Valamugil speigleri) in estuaries
waters of Pemalang, 2010.

Laju Pertumbuhan dan Laju Kematian

Dengan merunut data frekuensi panjang total dari


bulan ke bulan (Gambar 4), diperoleh laju pertumbuhan

(K) Ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang adalah 0,98/
tahun dan panjang total maksimum (L ) adalah 21,53 cm.
Nilai K Ikan Kadah yang kurang dari satu menunjukkan
bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat
(Gulland, 1983; Naamin, 1984).

Selanjutnya dengan menggunakan parameter


pertumbuhan ikan Kadah, dihitung nilai dugaan Z dan
Gambar 5. Nilai Z sebagai slope kurva hasil tangkapan
diperoleh nilai Z sebesar 5,56/tahun (Gambar 5). Nilai
ikan Kadah di perairan estuaria Pemalang.
dugaan laju kematian alamiah (M) dan nilai dugaan laju
Figure 5. The value of total mortality (Z) of Speiglers
kematian karena penangkapan (F) ikan Kadah masing-
mullet in estuaries waters of Pemalang.
masing adalah 2,00/tahun dan 3,56/tahun.

Laju Pemanfaatan
BAHASAN
Dengan menggunakan nilai laju kematian karena
penangkapan (F) dan nilai laju kematian total (Z) yang Variasi nilai b pada hubungan panjang-berat
telah dihitung, didapatkan nilai laju pemanfaatan (E) ikan menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya

94
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

dapat berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan tahun ke tahun (Pauly et al., 1984). Hal ini menyebabkan
terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan laju kematian total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak
diperkirakan nilai ini juga akan berubah. Selain itu, variasi ditentukan oleh laju kematian karena penangkapan (F)
nilai b disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jumlah dibandingkan laju kematian alamiah (M).
contoh ikan yang diukur (semakin banyak contoh akan
semakin akurat), kondisi perairan dan musim (Gokhan et KESIMPULAN
al., 2007 dalam Karna et al., 2011). Meskipun dipengaruhi
terutama pada bentuk dan kegemukan dari masing-masing 1. Pertumbuhan ikan Kadah bersifat allometrik negatif,
spesies, variasi nilai b juga disebabkan berbagai faktor, dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
seperti suhu, salinitas, makanan (kuantitas, kualitas dan pertambahan beratnya.
ukuran), jenis kelamin, tahap kematangan gonad, dan 2. Ikan Kadah di perairan Pemalang memiliki laju
kelestarian habitat (Gulland, 1983; Sparre & Venema, 1992; pertumbuhan dan laju kematian yang agak lambat.
Mourad, 2008 in Karna et al., 2011). 3. Laju pemanfaatan ikan Kadah di perairan Pemalang
sudah berada dalam keadaan jenuh dan cenderung
Laju pertumbuhan ikan Kadah yang lambat sangat sudah mengarah pada tekanan penangkapan yang
mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola berlebih.
pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu
yang tepat untuk menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber PERSANTUNAN
dayanya maupun segi ekonominya. Ikan-ikan yang
berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
dahulu sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda penelitian karakteristik habitat, sediaan dan pemanfaatan
yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan tangkap sumberdaya ikan estuaria di pantai utara Jawa, T. A. 2010,
pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga di Balai Penelitian Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta.
menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru
(recruitment overfishing), karena ikan-ikan muda yang DAFTAR PUSTAKA
belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap
terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2004. Karakteristik parameter
penambahan baru (recruitment). populasi ikan siro (Amblygaster sirm, Clupeidae) dan
model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna dan
Hasil penelitian yang dilakukan Sulistiono et al. (2001) sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
terhadap jenis Mugil dussumieri di perairan Ujung 10(4): 21-27.
Pangkah menunjukkan nilai K sebesar 0,82/tahun.
Sementara Pauly (1988) menemukan nilai K Mugil Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah. 2005.
cephalus sebesar 0,435/tahun. Faktor lingkungan perairan Buku Pintar Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan
estuaria di Pemalang diduga sangat rnendukung Propinsi Jawa Tengah. 124 p.
kecepatan pertumbuhan ikan Kadah. Hal ini terlihat dari
nilai K yang lebih besar dibandingkan nilai K M. dussumieri Effendie, M. I. 1984. Penilaian perkembangan gonad ikan
dan M. cephalus. Selain faktor lingkungan, diduga belanak, Liza subviridis Valenciennes, di perairan
makanan tersedia cukup banyak sehingga muara sungai Cimanuk, Indramayu, bagi usaha
pertumbuhannya lebih cepat. pengadaan benih. Disertasi. Doktor pada Fakultas
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.136 p.
Laju kematian karena penangkapan (F) bervariasi
menurut keragaman upaya penangkapan (f) setiap Gayanilo Jr., F. C., Sparre, P. & Pauly, D. 1994. The FAO-
tahunnya. Nilai F menunjukkan seberapa besar dan ICLARM Stock Assessment Tools FISAT Users
meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure) Guide. FAO Computerized Information Series
terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Fisheries. No. 6. Rome. FAO. 186 p.
Informasi mengenai parameter populasi ikan Kadah masih
terbatas sehingga belum didapatkan perbandingan nilai F Gulland, J. A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of
dari perairan lain. Namun, nilai F yang ada mengindikasikan Basic Methods. John Wiley & Sons. Chicester. 233 p.
bahwa tekanan penangkapan ikan Kadah di perairan
Pemalang berada dalam keadaan yang intensif, mengingat Harrison, I. J. & H. Senou. 1997. Order Mugiliformes.
ikan ini merupakan hasil tangkapan sampingan (by catch) Mugilidae. Mullets. p. 2069-2108. In K. E. Carpenter &
dari berbagai alat tangkap di perairan estuaria Pemalang. V. H. Niem (eds.) FAO species identification guide for
fishery purposes. The living marine resources of the
Variasi laju kematian alamiah (M) dari satu jenis ikan
tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap tetap dari

95
A. Damora, K. Wagiyo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 91-96

Western Central Pacific. Volume 4. Bony fishes part 2 234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-
(Mugilidae to Carangidae). FAO, Rome. 137 p. England.
Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine
Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Pauly, D. 1988. Fisheries research and the demersal
Publishing. United Kingdom. 417 p. fisheries of Southeast Asia. p:329-348 in J.A. Gulland
(ed.) Fish population dynamics (second edition). John
Karna, S. K., S. Panda & B. C. Guru. 2011. Length-weight Wiley & Sons. New York.
relationship (Lwr) and seasonal distribution of
Valamugil speigleri (Valancienues) through size Sahlan, M., Giyanto, Rohmat & Eko B. P. 2010. Kajian
frequency variation and landing assessment in Chilika baseline data desa-desa pantai Kabupaten Pemalang.
Lagoon, India. Asian J. Exp. Biol. Sci. 2(4): 654-662. Wetlands InternationalIndonesia Programme.
Bogor. 35 p.
Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C.
Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 p. Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduksi Pengkajian
Stok Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Organisasi Pangan
McDowall, R. M. 1997. The evolution of diadromy in fishes dan Petanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pusat
(revisited) and its place in phylogenetic analysis. Rev. Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan
Fish Biol. Fish. 7(4): 443-462. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 p.

Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang
(Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan kelamin, musim pemijahan, dan parameter pertumbuhan
alternatif pengelolaannya. Disertasi. Doktor pada udang dogol (Metapenaeus ensis de Haan) di perairan
Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertaanian Bogor. Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan
Bogor. 381 p. Indonesia. 11(2): 69-74.

Pauly, D. 1980. A selection of a simple methods for the Sulistiono, M. Arwani, & K. A. Azis. 2001. Pertumbuhan
assessment of the tropical fish stocks. FAO Fish. Circ. ikan belanak (Mugil dussumieri) di perairan Ujung
FIRM/C 729. Roma. 54 p. Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2):
39-47.
Pauly, D., J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp
stocks of objective methods for the estimation of Thomson, J. M. 1984. Mugilidae. In W. Fischer & G. Bianchi
growth, mortality, and recruitment related parameters (eds.) FAO species identification sheets for fishery
from length frequency data (ELEFAN I and II). In purposes. Western Indian Ocean fishing area 51. Vol.
Penaeid Shrimp-Their Biology and Management. 220- 3. [pag. var.]. FAO, Rome. 254 p.

Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 p.

96
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

HUBUNGAN PANJANG-BOBOT SIPUT LOLA (Trochus niloticus)


DI PERAIRAN KECAMATAN SAPARUA, MALUKU TENGAH

LENGTH-WEIGHT RELATIONSHIP LOLA SNAIL (Trochus niloticus)


AT SAPARUA DISTRICT WATERS, CENTRAL MOLUCCAS

Andrias Steward Samu Samu1), J.A. Pattikawa2) dan Pr.A. Uneputty2)

1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan,
2)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon.
Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012

ABSTRAK

Siput lola (Trochus niloticus) adalah jenis siput laut yang berukuran besar, hidup di daerah terumbu karang pada
daerah pasang surut. Populasi siput lola terus mengalami penurunan sebagai akibat dari eksploitasi yang terus
meningkat. Penelitian ini dilakukan di dua desa, Desa Siri Sori Amapatty yang menerapkan sistim sasi dan Desa
Porto yang tidak menerapkan sistim sasi, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Sampel siput lola yang
dianalisis, dikoleksi secara bebas dengan cara penyelaman dan pengumpulan siput pada daerah intertidal. Distribus
frekuensi panjang dan analisis kohort siput lola menunjukan bahwa siput lola berukuran besar dan berusia dewasa
ditemukan di Desa Siri Sori Amapatty sedangkan Desa Porto sebaliknya. Hubungan panjang bobot menunjukan
pola pertumbuhan siput lola jantan di Desa Siri Sori Amapatty adalah isometrik dan betinanya alometrik positif.
Pola pertumbuhan alometrik negatif ditemukan pada siput lola jantan dan betina di Desa Porto. Analisis rasio
kelamin siput lola jantan terhadap betina di kedua desa masing-masing 1:3 dan 1:2. Perbedaan frekuensi panjang,
hubungan panjang bobot dan kohort dari siput lola yang hidup di kedua desa tersebut memperlihatkan keefektifan
sasi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut.

KATA KUNCI : Trochus niloticus, hubungan panjang-bobot, sasi, Maluku Tengah.

ABSTRACT:

Lola snail (Trochus niloticus)is a type of large sea snail, inhabits the tidal area of coral reef. Snail population
decline steadily as a result of increasing exploitation. This research was conducted in two villages, the Siri Sori
Amapatty which apply sasi system and the Porto which do not apply the system, Saparua, central of Moluccas. The
lola snail sample collected randomly by divers within intertidal areas. Length frequency distribution and cohort
analysis of lola snails show that large sea snail that mature can be found in the Siri Sori Amapatty vilage where as
in the Porto vilage the lola snails were smaller and inmature. Length-weight relationship shows that growth
characteristic of male lola snail at Siri Sori Amapatty is isometric and female is positive alometric. Negative
alometric characteristic growth found in male and female snail lola at Porto. Sex ratio analysis of male and female
lola snails are 1:3 and 1:2. The difference in length frequency, length-weight and cohort in lola snail in those two
villages shows that efectiveness of sasi in the resources management.

KEYWORDS: Trochus niloticus, length-weight relationship, sasi, Central Moluccas.

PENDAHULUAN eksploitasi yang signifikan dipengaruhi oleh adanya


permintaan pasar yang meningkat terhadap cangkang
Siput lola (Trochus niloticus) sejak dulu telah siput lola dari beberapa negara seperti Jepang, Singapura,
dieksploitasi untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena Taiwan, China, dan Italia (Arifin, 1993). Eksploitasi yang
dagingnya memiliki kandungan protein yang tinggi terus meningkat ini mengancam kelestarian dan sediaan
sedangkan cangkang siput lola memiliki lapisan mutiara alami siput lola di wilayah propinsi Maluku, khususnya
(mother of pearl) yang bermutu tinggi karena ketebalan daerah-daerah yang berdekatan dengan pusat ekonomi
dan kilapan yang tahan lama. Dilain pihak, cangkang siput seperti di Pulau Saparua dan Kepulauan Banda, Maluku
lola dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis Tengah (Anonymous, 1994). Peningkatan eksploitasi siput
industri seperti cat kuku, kancing baju dan perhiasan lola dapat dikendalikan dengan sistem pengelolaan yang
(Moorhouse, 1932). dikembangkan dari suatu nilai estimasi hubungan panjang
bobot siput tersebut, dimana hubungan panjang bobot
Eksploitasi siput lola di Maluku mengalami peningkatan siput lola dan distribusi panjangnya diperlukan dalam
yang signifikan sejak tahun 1979-1991. Peningkatan konversi statistik hasil tangkapan dari panjang ke berat
Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Email: buce.prpt@gmail.com
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430 97
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

atau sebaliknya dan untuk mengetahui faktor kondisi yang terhadap sumberdaya. Sasi secara tegas mengatur tentang
menunjukan kegemukan relatif atau well-being dari suatu periodik dan ukuran tertentu siput lola yang boleh dipanen
organisme (Merta, 1993). di suatu wilayah perairan laut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara panjang dan bobot
Kegiatan perikanan siput lola di Pulau Saparua, yaitu lola pada perairan kedua desa yang secara tidak langsung
Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto, memiliki berhubungan dengan keefektifan sasi bagi pengelolaan
perbedaan yang sangat mencolok dari segi sumberdaya siput lola secara berkelanjutan.
pengelolaannya. Pada Desa Siri Sori Amapatty pengelolaan
sumberdaya siput lola didasarkan pada sistem sasi yang BAHANDANMETODE
melarang pengambilan lola pada periode tertentu dan
menetapkan batas ukuran minimal yang boleh ditangkap, Penelitian dilakukan selama enam bulan (Mei-
sedangkan di Desa Porto, pengelolaan sumberdaya lola November 2007) di perairan Desa Siri Sori Amapatty dan
tidak berdasarkan sasi (Samu, 2007). Sasi adalah sistem Desa Porto, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku
pengelolaan tradisional yang mengacu pada aturan adat Tengah (Gambar 1).
dengan tujuan pemeliharaan lingkungan dan perlindungan

Siri Sori Amapatty


Porto

Gambar 1. Lokasi penelitian siput lola (Trochus niloticus) di Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto
Figure 1. Location of research lola snail (Trochus niloticus) at Siri Sori Amapatty and Porto Vilage

Koleksi sampel dilakukan dengan dua cara yaitu,


penyelaman sampai kedalaman enam meter dengan
menggunakan snorkeling dan koleksi sepanjang intertidal
dengan jarak 1 km. Siput lola langsung diambil dari
substratnya dengan menggunakan tangan kemudian
dimasukan ke dalam kantung plastik dan diberi label.
Sampel yang tekumpul kemudian diukur basal diameter Hubungan panjang bobot dihitung dengan
cangkang dengan menggunakan kaliper manual dan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Fowler &
ditimbang bobotnya dengan menggunakan neraca digital, Cohen, 2003:
ketelitian 0,1 gram. Sampel kemudian diawetkan dengan
formalin 4% dan alkohol 70% untuk kepentingan analisis W = aLb
gonad di laboratorium (Rao, 1937).
Dalam bentuk linear: Log W = Log a + b Log L
Analisis Data dimana: W = Berat siput
L = Panjang siput
Data disusun dalam bentuk tabel ditsribusi frekuensi a dan b = Konstanta
untuk mengestimasi nilai rerata (X) dan simpangan baku
sampel (SD) (Efendi, 1979).

98
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

Nilai konstanta b yang diperoleh dari persamaan regresi O = Frekuensi yang diobservasi
hubungan panjang bobot digunakan untuk melihat E = Frekuensi yang diharapkan
pertumbuhan. Nilai b yang didapat pada umumnya berkisar
sekitar tiga (Fowler & Cohen, 2003). Apabila nilai b sama Kelompok umur (kohort) dianalisis dengan
dengan tiga, maka pertumbuhannya isometris, yaitu menggunakan metode Bhattacharya (1967) dalam (Rao,
pertumbuhan dengan bentuk tubuh dan berat jenisnya 1937). Metode Bhattacharya merupakan salah satu opsi
tidak berubah selama proses pertumbuhannya. Jika nilai dari paket FISAT (Fish Stock Assesment Tools). Metode
b tidak sama dengan tiga pertumbuhannya alometris. Uji Bhattacharya bertujuan untuk memecah distribusi
statistik dan nilai b dilakukan dengan t-student (Efendi, frekuensi panjang menjadi kurva normal. Pemakaian
1979). metode ini perlu didukung oleh asumsi bahwa sampel yang
memiliki ukuran yang hampir sama merupakan suatu
SDx b 3
t x x n2 kelompok umur (kohort) karena pertumbuhan individu
SDy 1 R 2

pada suatu kohort cenderung hampir sama.

Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan HASIL DAN BAHASAN


memecahkan bagian apeks cangkang dan mengamati
warna gonad. Gonad jantan berwarna putih sampai krem HASIL
dan ovarium siput lola betina berwarna hijau tua (Paully,
1984). Distribusi Frekuensi Panjang

Untuk menguji rasio kelamin digunakan uji Chi-square Siput lola hasil pengambilan contoh di Desa Siri Sori
(Fowler & Cohen, 2003). ( tabel (db=1;=0,05:3,384 Amapatty berjumlah 189 individu dan Desa Porto 136
dan =0,01:6,63). individu. Sampel siput lola di desa Siri Sory Amapatty
dengan cangkang terkecil yaitu berukuran 20 mm dan
terbesar 109 mm sedangkan, sampel siput lola di Desa
Porto yang berukuran kecil yaitu 36,3 mm dan cangkang
terbesarnya 99 mm (Tabel 1).
Dimana: 2 = Chi square

Tabel 1. Jumlah individu hasil pengambilan contoh dan kisaran panjang diameter siput lola (Trochus niloticus) pada
Desa Siri Sori Amapaaty dan Desa Porto
Table 1. Number of individual was sampled and range of lenght diameter for snail lola (Trochus niloticus) at Siri
Sori Amapatty and Porto Vilage

Jumlah Individu Diameter Diameter Diameter


Standar
Lokasi <60 mm 60 mm terkecil terbesar rata-rata
Deviasi
Total (%) (%) (mm) (mm) (mm)
Desa Siri Sori 189 22,2 77,8 20 109 69,8 20,6
Amapatty
Desa Porto 136 50,7 49,3 36,3 99 56,4 13,4

Hubungan Panjang-Bobot Porto diperoleh 47 individu jantan (34,56%) dan 89 individu


betina (65,44%) dengan rasio kelamin 1:2 (Tabel 2).
Hasil analisis hubungan panjang bobot siput lola di
Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto dilakukan dengan Kelompok Umur
dua cara yaitu: 1). untuk siput lola betina saja, 2). Untuk
siput lola jantan saja (Gambar 2 dan 3). Hasil analisis menunjukan bahwa di Desa Siri Sori
Amapatty diperoleh enam buah kurva normal dan untuk
Perbandingan Kelamin Desa Porto diperoleh empat buah kurva normal (Tabel 3).
Banyaknya kurva normal yang dihasilkan menggambarkan
Hasil pengambilan sampel siput lola di Desa Siri Sori banyaknya kelompok umur dari suatu populasi yang
Amapatty diperoleh 48 individu jantan (25,4%) dan 141 sedang dipelajari (Gambar 4 dan 5).
individu betina (74,6%) dengan rasio kelamin 1:3. Dari Desa

99
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

Gambar 2. Persamaan hubungan panjang bobot siput lola (Trochus niloticus) di Desa Siri Sori Amapatty
Figure 2. Length weight relationship of lola snail (Trochus niloticus) at Siri Sori Amapatty Vilage

Gambar 3. Persamaan hubungan panjang bobot siput lola (Trochus niloticus) di Desa Porto
Figure 3. Length weight relationship of lola snail (Trochus niloticus) at Porto Vilage

Tabel 2. Perbandingan Kelamin siput lola (Trochus niloticus) pada Desa Siri Sori Amapatty dan Desa Porto
Table 2. Sex ratio of lola (Trochus niloticus) at Siri Sory Amapatty and Porto Vilage

Jumlah (Individu) Rasio


Lokasi 2 Hitung
Jantan Betina Jantan Betina
Desa Siri Sori Amapatty 48 141 1 3 45,76
Desa Porto 47 89 1 2 12,97

Gambar 4. Kelompok umur siput lola (Trochus niloticus) Gambar 5. Kelompok umur siput lola (Trochus niloticus)
pada Desa Siri Sory Amapatty pada Desa Porto
Figure 4. Cohort by lola snail (Trochus niloticus) at Siri Figure 5. Cohort by lola snail (Trochus niloticus) at
Sory Amapatty Vilage Porto Vilage

100
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

Tabel 3. Nilai rata-rata panjang, simpangan baku dan populasi Trochus niloticus pada Desa Siri Sori Amapatty dan
Desa Porto dari hasil analisis FISAT.
Table 3. Average of length, standart deviation and population of Trochus niloticus at Siri Sori Amapatty and Porto
village resolted FISAT analysist.

Panjang Mean Simpangan Populasi Indeks


Lokasi Kohort
Kelas (mm) Baku (individu) Separasi
1 21-39 30,00 3,340 14 n.a
2 28-56 42,17 5,540 16 2,740
Desa
3 51-76 64,97 4,110 44 4,730
Siri Sori
4 67-82 74,88 2,410 45 3,040
Amapatty
5 77-96 86,44 3,160 35 4,150
90-102 96,42 2,160 26 3,750
Panjang Mean Simpangan Populasi Indeks
Kohort
Kelas (mm) Baku (individu) Separasi
1 37-53 45,11 2,360 65 n.a
Desa Porto
2 46-74 60,19 4,930 56 4,140
3 67-83 75,40 2,720 9 3,980
4 77-91 84,81 3,250 10 3,150

BAHASAN terjadi karena disebabkan oleh penangkapan yang terjadi


terus menerus.
Distribusi Fekuensi Panjang
Hubungan Panjang-Bobot
Tabel 1 menunjukan bahwa sampel siput lola di Desa
Siri Sori Amapatty memiliki diameter rata-rata cangkang Hasil pengujian nilai b dari persamaan hubungan
69,8 mm (SD=20,6). Sebaran distribusi frekuensi diameter panjang bobot siput betina di Desa Siri Sori Amapatty
cangkang memperlihatkan siput lola dengan kisaran adalah W=0.0001L3.32 menunjukan pola pertumbuhan yang
antara 72-74 mm memiliki jumlah dominan dan siput lola alometrik positif. Siput lola jantan saja menunjukan pola
berdiameter 20-22 mm yang sedikit. Hasil analisis distribusi pertumbuhan isometrik dengan persamaan hubungan
frekuensi panjang menunjukkan bahwa individu berukuran panjang bobot adalah W=0.0009L 2.80 (Gambar 2),
besar yang telah melakukan pemijahan minimal sekali sedangkan sampel dari Desa Porto, persamaan hubungan
sebanyak 147 individu (77,8%) dari total sampel, panjang bobot siput lola betina dan jantan masing-masing
sedangkan individu yang berukuran kecil dan belum adalah W=0.2606L 1.38 dan W=0.2563L 1.39 . Kedua
pernah memijah sebanyak 42 individu (22,2%). persamaan ini menunjukan bahwa pola pertumbuhan siput
Diameter rata-rata cangkang siput lola di Desa Porto lola betina dan jantan di desa ini adalah alometrik negatif
adalah 56,4 mm (SD = 13,4) dengan kisaran diameter (Gambar 3). Pertumbuhan isometrik (b=3) adalah
cangkang berkisar antara 44-46 mm memiliki jumlah pertumbuhan dari organisme yang ditandai dengan
terbanyak dan diameter 70-72 mm memiliki jumlah yang pertambahan panjang yang sebanding dengan
sedikit. Hasil analisis memperlihatkan bahwa individu pertambahan bobotnya sedangkan, pertumbuhan
berukuran besar yang telah memijah paling sedikit satu alometrik positif (b>3) menunjukan suatu pertumbuhan
kali sebanyak 67 individu (49,3%) dan individu berukuran organisme yang pertambahan bobotnya lebih cepat jika
kecil yang belum pernah memijah berjumlah 69 individu dibandingkan dengan pertambahan panjangnya dan
(50,7%) dari total sampel. pertumbuhan alometrik negatif (b<3) adalah pertumbuhan
dari organisme yang ditandai dengan pertambahan
Data kisaran panjang diameter dan diameter rata-rata panjang lebih cepat dari pertambahan bobot (Efendi, 1979).
cangkang siput lola di kedua desa menunjukan bahwa
Desa Siri Sori Amapatty memiliki populasi siput lola Menurut Le Cren (1951) dalam (Merta, 1993), nilai b
berukuran lebih besar (Tabel 1). Hal ini menunjukan bahwa akan berbeda-beda menurut tempat, jenis kelamin, dan
penerapan sasi, bermanfaat untuk menjaga sekaligus kematangan gonad. Pertumbuhan individu siput lola pada
menjamin pertumbhan individu siput lola untuk mencapai lokasi yang berbeda memiliki kecepatan pertumbuhan yang
panjang yang optimal. Disisi lain, populasi siput lola pada tidak sama. Perbedaan ini terutama disebabkan karena
perairan Desa Porto yang didominasi oleh individu berusia populasi siput lola pada lokasi yang berbeda memiliki
muda mengindikasikan bahwa proses rekruitmen dan tahapan perkembangan, kondisi fisiologi, kondisi genetik,
pemijahan pada populasi siput lola di desa ini belum lama dan faktor fisika-kimia yang tidak sama (Paully, 1984).

101
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

Struktur Kelamin Universitas Pattimura atas fasilitas dan kontribusi data


untuk penelitian.
Hasil penelitian menunjukan rasio jantan berbanding
betina pada kedua desa secara statistik berbeda nyata, DAFTAR PUSTAKA
dengan betina lebih banyak (2 hitung > 2 tabel = 0,05;
db = 1) (Tabel 2). Penelitian yang dilakukan di Kepulauan Anonymous, 1994. Pelestarian dan budidaya siput lola
Cook, Australia, ditemukan jumlah siput lola betina lebih (Trochus niloticus). Balai Litbang Sumberdaya Laut,
banyak dibanding dengan siput lola jantan, dengan rasio Puslitbang Oseanologi LIPI. Ambon. p. 27-31.
2:1 (Sparre & Venema, 198). Hasi studi terhadap siput lola
di perairan Desa Haria dan Noloth, Maluku Tengah, terlihat Arifin, Z. 1993. Sebaran Geografis, Habitat dan
bahwa rasio kelamin jantan dan betina adalah 1:2 (Ponia, Perikanan Lola (Trochus niloticus) di Perairan
1997). Lebih banyaknya jumlah siput lola betina yang Maluku. Balai Litbang Sumberdaya Laut, Puslitbang
tertangkap ini mengindikasikan bahwa hasil rekruitmen Oseanologi-LIPI. Ambon. p. 40-48.
musim pemijahan sebelumnya yang menghasilkan jumlah
individu siput lola betina lebih banyak dari pada siput lola Efendi, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan
jantan. Dalam kondisi alami, pertumbuhan siput lola betina Dwi Sri. Bogor: 112 p.
umumnya lebih cepat daripada pertumbuhan siput lola
jantan (Leimena, 2004). Rasio jenis kelamin individu dalam Fowler, J. & L. Cohen. 2003. Practical Statistic for Field
suatu populasi berhubungan dengan potensi reproduksi Biology. John Wlley and Sons: 259 p.
dari individu anggota populasi tersebut. Bila individu-
individu dalam satu populasi memiliki rasio jenis kelamin Leimena, H. E. P. Subahar & TS, Adianto. 2005. Estimasi
yang sama maka peluang terjadinya fertilisasi akan semakin daya dukung dan pola pertumbuhan populasi keong
besar (Rao, 1936). lola (Trochus niloticus) di Pulau Saparua, Kabupaten
Maluku Tengah. p. 75-80.
Kelompok Umur
Merta, I. G. S. 1993. Hubungan panjang berat dan faktor
Menurut Paonganan, 2002, diduga siput lola di alam kondisi ikan lemuru, dari perairan Selat Bali. Jurnal
mulai memasuki tahap pemijahan ketika mencapai ukuran Penelitian Sub Balitbang LON LIPI-Ambon.
55-56 mm. Tabel 3 menunjukan bahwa siput lola di Desa Nusantara. Yogyakarta. p. 35-44.
Siri Sori Amapatty pada kohort keempat merupakan siput
lola yang sudah dewasa dan siap bereproduksi, sedangkan Moorhouse, F.W. 1932. Notes on Trochus niloticus.
populasi siput lola pada perairan Desa Porto cenderung Scientific reports of the great barrier reef expedition:
didominasi oleh kohort yang belum bereproduksi atau 1928-1929, nature. 3: 145-155.
kohort usia muda (kohort 1) dan yang menjelang matang
gonad (kohort 2). Hasil analisis ini memperlihatkan bahwa Paonganan Yulianus. 2002. Biolekologi kerang siput lola.
daerah yang tidak menerapkan sasi cenderung memiliki Makalah Pengantar falsafah sains (PPS702).
populasi siput lola yang lebih berukuran kecil serta Program pasca sarjana/ S3 Institut Pertanian Bogor.
didominasi populasi muda yang belum matang gonad November 2002. http://tumoutou.net/702 _05123/
karena yang berukuran besar telah dieksploitasi. Hal ini yulianus_paonganan.htm.
berbeda dibandingkan Desa Siri Sori Amapatty yang
menerapkan sistim sasi. Paully, D. 1984. Fish population dynamics in Tropical
Waters: A Manual for Use With Programable
KESIMPULAN Calculators ICLARM, Manila: 325 p.

Hasil penelitian menunjukan hubungan panjang Ponia. B. O. Terekia, & T. Taime. 1997. Study of Trochus
dengan bobot siput lola (Trochus niloticus) adalah niloticus introduce to Penrhyn Cook Islands: 10 year
isometris, alometrik positif dan alometrik negatif dimana laters. SPC. Trochus information bulletin. p. 18-24.
semuanya dipengaruhi oleh keefektifan sasi sebagai suatu
sistem pengelolaan yang mengatur periode dan ukuran Rao, D. 1936. Observation on The rate of growth and
tertentu suatu sumberdaya pada saat dipanen. longevity of Trochus niloticus. Linn in the Andaman
Island. Rec. ind. Mus. XXXVIII. Illust. Calcuta. p. 473-
PERSANTUNAN 499.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf LIPI- Rao, D. 1937. On the habitat and habits of Trochus
Ambon dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, niloticus. Linn. In the Andaman seas. Records of the
Indian museum. Calcuta. p. 47-82.

102
A.S. Samu Samu, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 97-103

Sparre, P. & S.C, Venema.1998. Introduction to tropiocal


Fish Stock Assesment. Part-1 Manual. FAO fisheries
technical paper, No. 306. 1. Rev.2. Rome Italy. 407 p.

103
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

KERAGAMAN GENETIK IKAN SEMAH (Tor tambroides BLEKER 1854)


DI SUNGAI MANNA, BENGKULU DAN SUNGAI SEMANKA, LAMPUNG

GENETIC DIVERSITY OF MASHER (Tor tambroides BLEKER 1854) IN


MANNA RIVER, BENGKULU AND SEMANKA RIVER, LAMPUNG

Arif Wibowo
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang
Teregistrasi I tanggal: 2 April 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012

ABSTRAK

Ikan semah adalah ikan air tawar Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan jarang ditemukan, hidup di
hulu sungai dengan kondisi perairan yang jernih dan kebutuhan oksigen tinggi. Untuk mempertahankan keberlanjutan
ikan semah diperlukan informasi keragaman genetik sampai pada penanda molekuler.Molekul DNA dapat berfungsi
menjadi penanda molekular yang mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai
komponen genetik. Penelitian tentang keragaman genetik ikan semah dilakukan pada tahun 2011 di Sungai Manna,
Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman genetik dan
penanda molekuler ikan semah dari Sungai Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung. Contoh diambil secara
acak, darah dan jaringan otot ikan semah dari masing-masing spesimen dikoleksi dan diekstraksi menggunakan
Geneaid DNA ekstraksi kit. Bagian gen mtDNA yang digunakan adalah gen Cytochrome Oxidase Subunit I
(COI). Analisis keragaman genetik yang meliputi penanda genetik dan hubungan kekerabatan ikan semah berdasarkan
runutan nukleotida dan asam amino, dilakukan menggunakan program MEGA versi 4.0 dengan metode bootstrapped
Neighbor Joining dengan 1000 kali pengulangan. Hasil penelitian menunjukkan komposisi basa nukleotida untuk
ikan semah dari Sungai Manna dan Semanka mengidentifikasi 4 situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya
parsimoni informatif. Basa nukleotida dari gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat dijadikan penanda
genetik spesifik antara ikan semah, spesies Tor tambroides dengan genus Tor yang lain. Tor tambroides yang
berasal dari Bengkulu dan Lampung (Indonesia) juga memiliki basa nukleotida spesifik yang membedakannya
dengan Tor tambroides dari luar Indonesia, bahkan bisa menjadi penanda genetik spesifik lokasi Bengkulu dan
Lampung.

KATA KUNCI : Keragaman genetik, Tor tambroides, Sungai Manna & Semanka, Bengkulu dan Lampung

ABSTRACT:

Masher is Indonesian fresh water fish species, has a high economic value and is rarely found in nature. This
species inhabit river upstream with clear water conditions and has high oxygen demand. In order to maintain the
sustainability of masher fish information on the genetic diversity include molecular markers is required. DNA
molecules can also serve as molecular markers that can identify genetic differences directly at the level of DNA as
a genetic component. Research on the genetic diversity of masher fish was conducted in 2011 at the Manna River,
Bengkulu and Semanka River, Lampung. The research objective was to determine the genetic diversity and molecular
markers of masher fish from Manna River, Bengkulu and Semanka River, Lampung. Samples were collected at
random, blood and muscle tissue of each specimen was collected and extracted using the Geneaid DNA extraction
kit. The parts of mtDNA used is gene cytochrome oxidase subunit gene is I (COI). Analysis of genetic diversity,
including genetic markers and kinship relations based on the sequence of nucleotide and amino acid from the
collected masher fish, was conducted using the MEGA program version 4.0 with bootstrapped Neighbor Joining
method with 1000 repetitions. The results showed that nucleotide base composition of masher fish from Manna and
Semanka river identified four variable nucleotide sites and all parsimony informative. Nucleotide bases of the gene
cytochrome oxidase subunit I (COI) can serve as specific genetic markers between masher fish species, genus Tor
spp with others. Tor Tambroides from Bengkulu and Lampung (Indonesia) also have has a specific nucleotide
bases that distinguish them from Tor tambroides outside Indonesia, moreover it can be location-specific genetic
markers from Bengkulu and Lampung.

KEYWORDS: Genetic diversity, Tor tambroides, Manna & Semanka River, Bengkulu & Lampung

Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum
Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email : wibarf@yahoo.com 105
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

PENDAHULUAN sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan utuh.


Kecuali itu mempunyai tingkat evolusi yang tinggi (5-10
Ikan semah (Tor tambroides) digolongkan dalam ikan kali lebih besar dari DNA inti) sehingga dapat
cyprinid, hidup di hulu sungai dengan kondisi perairan memperlihatkan dengan jelas perbedaan antar populasi
yang jernih dan kebutuhan oksigen tinggi. Ikan ini adalah dan hubungan kekerabatan (Brown et al., 1979; Brown,
salah satu ikan air tawar Indonesia yang memiliki nilai 1983). mtDna memiliki jumlah copy yang besar antara 1000-
ekonomis tinggi dan sudah jarang ditemukan di alam 10000 serta lebih cepat dan mudah untuk mendapatkan
(Nurdawati et al., 2007). Kerabat ikan sapan (Tor spp.) di hasil dari jaringan yang telah diawetkan sebelumnya
dunia telah diketahui sebanyak 20 jenis yang tersebar di (Brown, 1983).
kawasan Asia, sedangkan di Indonesia terdapat empat
jenis, yaitu: Tor tambroides Blkr., T. tambra (C.V.), T. Gen penyandi protein dari DNA mitokondria adalah
douronensis (C.V.), dan T. soro (C.V.). Sinonim dari genus bagian yang sering digunakan untuk mendapatkan
Tor adalah Labeobarbus; untuk membedakan keempat informasi keragaman genetik dan sebagai penanda genetik
jenis kerabat ikan tambra yang berasal dari Indonesia suatu spesies. Diantara gen penyandi protein yang sering
sementara ini masih berdasarkan ada tidaknya cuping pada digunakan untuk mempelajari keragaman genetik adalah
bibir bawah dan ukuran cuping itu sendiri (Roberts, 1999). gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI). Selain itu, Gen
Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dapat pula
Tor tambroides memiliki penyebaran yang luas di digunakan sebagai penanda genetik untuk mempelajari
Pantai Barat Sumatera (Lampung dan Bengkulu) (Wibowo keragaman jenis dan hubungan kekerabatan diantara
et al., 2012) dan sangat potensial untuk dikembangkan kelompoknya (intraspesies) maupun kelompok lainnya
dimasa yang akan datang, namun demikian informasi (interspesies) (Ping et al., 2007).
tentang ikan ini masih terbatas. Haryono (2006)
menginformasikan aspek biologi ikan semah (Tor Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman
tambroides), selanjutnya Haryono & Tjakrawidjaja (2006) genetik dan penanda molekuler ikan semah dari Sungai
mengidentifikasi kerabat ikan semah berdasarkan karakter Manna, Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung.
morfologi, penelitian yang terkait aspek keragaman genetik Informasi ini sangat diperlukan untuk memberikan arah
dan penanda molekuler belum penah dilakukan. Informasi bagi upaya konservasi maupun domestikasinya untuk
data runutan basa nukleotida yang ada untuk ikan semah mempertahankan keberlanjutan ikan semah.
(Tor tambroides) baru terbatas pada ikan semah dan
kerabatnya yang ada di luar Indonesia (Yang et al., 2010; BAHANMETODE
Lakra & Verma, 2008; Sade & Biun, 2011).
Waktu dan Tempat Penelitian
Keragaman genetik memiliki pengertian keragaman
struktur maupun fungsi dari kehidupan pada tingkat Penelitian dilakukan pada tahun 2011 dengan lokasi
komunitas dan ekosistem, populasi, spesies dan molekul pengambilan sampel di Sungai Manna, Bengkulu dan
DNA. Molekul DNA dapat pula berfungsi menjadi penanda Sungai Semanka, Lampung (Tabel 1 dan Gambar 1).
molekular yang mampu mengidentifikasi perbedaan
genetik langsung pada level DNA sebagai komponen Analisis keragaman genetik ikan semah berdasarkan
genetik. Karakteristik penanda molekular ini dapat gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) dilakukan di
menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda laboratorium Biologi molekuler, Departemen Biosains
morfologi karena penanda ini bebas dari pengaruh- Hewan.
pengaruh epistasi, lingkungan dan fenotipe, sehingga
dapat menyediakan informasi yang lebih akurat (Muladno, Ikan semah di tangkap dengan menggunakan pancing,
2006). tajur dan jaring dengan ukuran mata jaring 0,75 inci (untuk
juvenil) dan 2 inci (untuk dewasa). Tahap penelitian
Informasi keragaman genetik dan penanda genetik keragaman genetik, sampel otot dan darah ikan semah
dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap diawetkan dengan alkohol absolut, selanjutnya sampel
sekuense mtDNA. Hal ini karena mtDNA bersifat maternal tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan isolasi
dan diturunkan oleh parentalnya tanpa rekombinasi dan purifikasi DNA totalnya. Jumlah sampel untuk setiap
(Harrison, 1989; Amos & Hoelzel, 1992), molekulnya stasiun sampling dan data runtutan nukleotida yang
kompak dan ukuran panjangnya relatif pendek (antara diperoleh dari Genebank secara detil terlihat pada Tabel
1600020000 nukleotida), tidak sekompleks DNA inti 2.

106
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

Tabel 1. Stasiun pengambilan contoh ikan


Table 1. Sampling stations

No Stasiun No Stasiun
1 Kerinjing, Bengkulu 6 Air Sebilo, Bengkulu
(040 07.054S, 1030 05.529E) (040 23.800S, 1020 57.936E)
2 Air Tenam, Bengkulu 7 Kotabumi, Bengkulu
(040 15.856S, 1030 03.771E) (040 22.541S, 1020 7.752E)
3 Batu Aji, Bengkulu 8 Kutopadang, Bengkulu
(040 15.188S, 1030 00.033E) (040 28.122S, 1020 55.600E)
4 Merabung, Bengkulu 9 Melebuy, Lampung
(040 07.226S, 1030 01.597E). (050 08.926S, 1040 14.870E)
5 Bandar Agung, Bengkulu
(040 20.282S, 1020 57.306E).

Gambar 1a. Stasiun pengambilan contoh di Sungai Gambar 1b. Stasiun pengambilan contoh di Sungai
Manna (Husnah et al., 2012) Semanka (Husnah et al., 2012)
Figure 1a. Sampling station in Manna River (Husnah Figure 1b. Sampling station in Semanka River (Husnah
et al., 2012) et al., 2012)

Tabel 2. Daftar contoh yang digunakan dalam penelitian


Table 2. List of samples used in this study

Jenis Lokasi Jumlah


(Species) (Location) (Number)
Tor tambroides Kerinjing, Air Tenam, Batu Aji, Merabung, Bandar Agung, Air Sebilo, 37
Kotabumi, Kutopadang (Bengkulu) dan Melebuy (Lampung) JQ665787
JQ665837 (www.ncbi.nlm.nih.gov)
Genbank kode akses HM536923 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor duorenensis Genbank kode akses JM646100.1(www. ncbi.nlm.nih.gov) 2
Genbank kode akses JM646100.3(www. ncbi.nlm.nih.gov)
Tor tor Genbank kode akses EU714115.1 (www.ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor malabaricus Genbank kode akses HM585024.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor putitora Genbank kode akses GQ469826.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor macrolepis Genbank kode akses GQ469832.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor khudree Genbank kode akses GQ469796.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1
Tor sinensis Genbank kode akses HM536900.1 (www. ncbi.nlm.nih.gov) 1

107
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

Isolasi, Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total pemanjangan dengan suhu 72C selama 1,5 menit
(sebanyak 35 siklus) dan post PCR dengan suhu 72 C
Ekstraksi DNA menggunakan Genomic DNA mini kit selama 7 menit.
for blood (Geneaid) yang dimodifikasi. Bagian yang
dimodifikasi adalah dalam penghancuran jaringan, Perunutan sampel DNA dengan kit perunutan DNA,
penambahan SDS dan Proteinase K (Muladno, 2006). Sel- menggunakan mesin perunut DNA automatis Bio Trace
sel darah ikan semah yang disimpan dalam alkohol 70% 3100 (USA). Semua pekerjaan ini dilakukan pada dua arah
dicuci dengan air destilata (molecular grade) sebanyak (forward dan reverse) di kerjakan di Macrogen, Korea
dua kali kemudian disuspensikan dalam bufer STE (NaCl Selatan (www.macrogen.com). Akhirnya sekuense setiap
1M, Tris-HCL10mM, EDTA0.1mM, pH 8) hingga volume spesimen ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai
350 l. Sel-sel darah dilisis (dipecah/dikeluarkan) dengan Semanka disimpan di dalam GenBank dengan kode akses
SDS 1% dan proteinase K 0.125 mg/ml pada suhu 55oC JQ665787 - JQ665823.
selama 2 jam sambil dikocok perlahan dalam rotary. Untuk
jaringan, sebelum dicuci dengan air destilata, otot ikan Analisis Data Keragaman Genetik
semah diambil dalam bentuk potongan kecil dan di cacah
halus untuk mempermudah melisis sel otot. Sampel otot Sisi homolog dari runutan-runutan basa nukleotida
yang sudah diperlakukan dengan SDS 1% dan proteinase maupun runutan asam amino gen Cytochrome Oxidase
K 0.125 mg/ml dihomogenasi dengan rotary dan diinkubasi Subunit I (COI) DNA mitokondria ikan semah yang
pada suhu 55oC selama semalam. Metode ekstraksi DNA diperoleh, kemudian disejajarkan (multiple alignment)
selanjutnya mengikuti petunjuk Genomic DNA mini kit yang dibandingkan dengan runutan-runutan gen
for fresh blood (Geneaid) (Petunjuk perusahaan). Sampel Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) kerabat semah (Tor)
DNA yang didapat, disimpan pada suhu 4oC dari Genbank yang utuh maupun parsial. Runutan asam
amino diterjemahkan mengikuti kode genetik DNA
Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen mtDNA mitokondria untuk vertebrata.

Amplifikasi sebagian fragmen Cytochrome Oxidase Analisis keragaman genetik yang meliputi penanda
Subunit I (COI) mtDNA menggunakan primer universal genetik dan hubungan kekerabatan ikan semah
Ivanova et al. (2009) COI F (5 TCT ACC AAC CAC berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino,
AAA GAC ATC GG 3) dan COI R (5 TAC TTC TGG dilakukan menggunakan program MEGA versi 4.0 (Tamura
GTG TCC RAA GAA TCA 3). Komposisi reaksi PCR et al., 2007) dengan metode Bootstrapped Neighbor
dilakukan dengan volume akhir 50 l terdiri atas sampel Joining dengan 1000 kali pengulangan.
DNA 5 l, DW steril 16 l, primer masing-masing 2 l dan
Taq ready mix 25 l. Reaksi PCR dilakukan menggunakan HASIL DAN BAHASAN
mesin thermocycler BIOER dengan kondisi sebagai
berikut: tahap pradenaturasi 95C selama 10 menit, tahap HASIL
kedua yang terdiri dari 30 siklus yang masing-masing
mencakup tahap denaturasi 94C selama 1 menit, Jenis ikan semah yang diperoleh dari Sungai Manna,
penempelan primer (annealing) pada suhu 48C selama 1 Bengkulu dan Sungai Semanka, Lampung adalah Tor
menit, pemanjangan (extension) pada suhu 72C selama tambroides (hanya satu jenis). DNA total telah diisolasi
1,5 menit dan tahap terakhir yaitu pemanjangan akhir (final dari cuplikan otot semua jenis ikan semah tersebut. Hasil
extension) pada suhu 72 C selama 7 menit. Produk PCR isolasi DNA total ikan semah digunakan sebagai cetakan
diuji menggunakan PAGE 6% dalam bufer 1x TBE (10 Mm untuk amplikasi gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI)
Tris-HCL, 1 M asam borat, dan EDTA 0.1 Mm) yang DNA mitokondria dengan teknik PCR. Amplikasi gen
dijalankan pada kondisi 200 Mv selama 50 menit. Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) menghasilkan
Selanjutnya DNA diwarnai dengan pewarnaan sensitif fragmen gen COI berukuran 654 pb pada semua spesimen
perak (Tegelstrom, 1986). ikan semah. Profil DNA hasil amplikasi disajikan pada
Gambar 2.
Amplifikasi dan Visualisasi Fragmen mtDNA
Runutan DNA diperoleh dari hasil penjajaran berganda
DNA produk PCR dipurifikasi dengan kit purifikasi, yaitu sepanjang 654, pada posisi 5559 6212 pb
kemudian digunakan sebagai cetakan untuk perunutan. berdasarkan acuan Genbank. Dari 218 asam amino hasil
Amplifikasi untuk perunutan menggunakan primer translasi 654 nukleotida pada gen COI parsial Tor spp,
universal Ivanova et al. (2009) dengan kondisi PCR yaitu terdiri dari 209 situs asam amino bersifat kekal, 5 situs
pra PCR (denaturasi) dengan suhu 95C selama 10 menit; asam amino bersifat variabel yang terdiri dari 1 situs asam
PCR: denaturasi dengan suhu 94C selama 1 menit, amino parsimoni informasif dan 4 situs asam amino
penempelan dengan suhu 48C selama 1 menit, sinonimous.

108
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan semah


dari Sungai Manna dan Sungai Semanka mengidentifikasi
4 situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya
parsimoni informatif (sebuah karakter jika terdapat 2 atau
lebih state yang berbeda, dan masing-masing state
tersebut terdapat pada 2 atau lebih sikuen/gen/organisme
yang sedang diuji). (Tabel 3). Komposisi empat basa
nukleotida dari 654 nukleotida gen COI yang
mentranslasikan 218 asam amino secara keseluruhan, rata-
rata nukleotida Timin adalah yang paling banyak
ditemukan (29,2%), sedangkan rata-rata yang paling
sedikit ditemukan adalah Guanin (17,4%). Rata-rata
komposisi basa nukleotida Adenin+Timin secara
keseluruhan pada Tor adalah lebih banyak (55,4%)
Gambar 2. Profil DNA Tor tambroides hasil amplifikasi daripada rata-rata Guanin+Cytosin (45,5%).
menggunakan pasangan primer COI F dan COI R.
Figure 2. DNA profile of Tor tambroides amplicon
using COI F and COI R primer.

Tabel 3. Situs basa nukleotida sebagai penanda genetik pada gen COI parsial (654 nt) yang membedakan ikan semah
dan kerabatnya
Table 3. Base site of nucleotide as genetic marker using parsial Gen COI (654 nucleotide) distinguised masher and
its relatives

Basa nukleotida/nucleotide Base


Jenis
Species 270 324 342 474 495 546 552 576 591
(5828) (5882) (5900) (6032) (6053) (6104) (6110) (6134) (6149)
Tor soro (GenBank) A A T T T G T T C
Tor malabaricus (GenBank) A G T T T G T T C
Tor putitora (GenBank) A A T T T G T T C
Tor macrolepis (GenBank) A A T T T G T T C
Tor khudree (GenBank) A G T T T G T T C
Tor sinensis (GenBank) A G T T T G T T C
Tor duoronensis (GenBank) A G T T T G T T C
Tor duoronesis (Malaya/GB) A G T T T G T T C
Tor tambroides (GenBank) A A T T T G T T T
Tor tambroides (Bengkulu 1-25
A A T C T A C C T
spesimen)
Tor tambroides (Bengkulu 2-12
G A T C C A C C T
spesimen)
Tor tambroides (Lampung- 2
A G C C T A C C T
spesimen)
Keterangan: Angka dalam tanda kurung ( ) = urutan berdasarkan gen COI utuh ikan data GenBank.
Remarks: Figures in parentheses () = COI gene sequences based on the complete GenBank fish data

Berdasarkan posisi kodon, komposisi basa nukleotida nukleotida Guanin (6,4%). Keragaman terbesar komposisi
pada posisi pertama triplet kodon, frekwensi yang paling basa nukleotida dari keseluruhan triplet kodon gen COI
banyak ditemukan adalah nukleotida Guanin (31,2%), ikan semah terletak pada posisi kodon ketiga.
sedangkan nukleotida Adenin mempunyai frekwensi yang
paling sedikit yaitu 23,8%. Komposisi pada posisi kedua Dari 654 nukleotida gen COI ikan semah (Tor
dari triplet kodon, frekwensi yang paling banyak ditemukan tambroides) dari Sungai Manna dan Semanka yang
adalah nukleotida Timin (41,7%), sedangkan yang paling dibandingkan dengan data GenBank, beberapa basa
sedikit ditemukan adalah nukleotida Guanin (14,7%). nukleotida dapat dijadikan penanda genetik untuk
Komposisi pada posisi ketiga triplet kodon, frekuensi membedakan ikan semah Indonesia dengan ikan semah
paling banyak ditemukan adalah nukleotida Adenin dan kerabat ikan semah dari luar Indonesia (Tabel 3). Basa
(40,4%), sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah nukleotida yang dapat membedakan spesies Tor

109
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

tambroides dengan kerabatnya adalah Timin yang berada Rekontruksi hubungan kekerabatan dari runutan basa
pada posisi ke-591, untuk Tor tambroides yang berasal nukleotida semah dan kerabatnya tersebut disajikan pada
dari Bengkulu dan Lampung (Indonesia) secara spesifik Gambar 3. Hasil filogram berdasarkan nukleotida gen COI
memiliki penanda genetik Cytocin pada posisi basa memperlihatkan bahwa intraspesies ikan semah dari
nukleotida ke-474, 552 dan 576 dan basa nukleotida Adenin Sungai Manna dan Sungai Semanka masing-masing secara
pada posisi ke-546 (Tabel 3). Semua sampel Tor tambroides garis besar membentuk satu hubungan kekerabatan yang
asal Bengkulu (37 spesimen), memiliki penanda genetik didukung oleh nilai bootsrap 99%. Kelompok ini memiliki
Timin pada posisi basa nukleotida ke-342 dan basa hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan Tor
nukleotida Guanin (270) dan Cytosin (495) yang merupakan tambroides, di dukung dengan nilai bootsrap 54%. Hal
variasi genetik penanda spesifik lokasi Bengkulu ini dapat diartikan bahwa ikan semah yang digunakan
(ditemukan pada 12 spesimen). Tor tambroides asal dalam penilitian ini yang berasal dari Sungai Manna dan
Lampung memiliki penanda genetik Cytosin pada posisi Semanka secara jelas merupakan spesies Tor tambroides.
basa nukleotida ke-342 dan memiliki penanda spesifik
Indonesia asal Lampung, yaitu basa nukleotida Guanin BAHASAN
pada posisi ke-324.
BK80 (F) bandar agung
Pada ikan semah (Tor tambroides), perubahan asam
BK89 (F) air tenam amino yang terjadi sebagian besar adalah bersifat
BK33 (F) bandar agung
BK71 (F) sebilo
substitusi silet, sehingga pengamatan melalui asam amino
BK72 (F) sebilo tidak dapat mendeteksi adanya penanda genetik ikan
88 BK61 (F) air tenam
BK95 (R) merabung
semah asal Indonesia, asam amino hanya dapat dijadikan
BK29 (R) k otabumi sebagai penanda genetik diantara kerabat semah
BK91 (F) merabung
BK77 (F) bandar agung
walaupun tidak spesifik. Kondisi ini menurut Nei & Kumar
BK47 (F) k erinjing (2000) karena adanya substitusi nukleotida yang dapat
BK59 (F) air tenam
BK11 (F) k utopadang
menyebabkan perubahan asama amino atau bersifat non
BK100 (R) batu aji
sinonimous, namun ada pula yang tidak menyebabkan
BK58 (F) air tenam
BK 52 (F) b. rancing perubahan asam amino didalam hasil translasinya atau
BK22 (R) massat
BK66 (F) air tenam
bersifat sinonimious. Oleh karena substitusi yang bersifat
BK16 (F) k utopadang sinonimous lebih banyak terjadi daripada substitusi non
BK21 (R) massat
79 BK60 (F) air tenam
sinonimious, atau dengan kata lain tidak semua substitusi
BK17 (F) k utopadang nukleotida akan menyebabkan perubahan asam amino,
BK64 (F) air tenam
BK 100 (F) batu aji
maka lebih baik menggunakan basa nukleotida sebagai
BK63 (F) air tenam penanda genetik.
BK48 (F) k erinjing
BK65 (F) air tenam
BK31 (F) bandar agung Ikan semah dari Sungai Manna dan Sungai Semanka
99 BK62 (F) air tenam
BK30 (R) k otabumi
memiliki nilai Guanin yang rendah, nilai Guanin yang
BK82 (F) lubuk tapi rendah, umum ditemukan pada DNA mitokondria ikan
BK28 (F) k otabumi
BK101 (F) batu aji (Doadrio et al., 2002; Peng et al., 2004). Rata-rata
54 BK94 (F) merabung
komposisi basa nukleotida Adenin+Timin secara
BK88 (F) air tenam
BK12 (F) k utopadang keseluruhan pada Tor adalah lebih banyak daripada rata-
35 BK104 (F) melebuy
80 BK111 (F) melebuy
rata Guanin+Cytosin, komposisi basa nukleotida
Tor tambroides (HM536923) Adenin+Timin yang lebih banyak daripada
Tor k hudree (GQ469796.1)
Tor malabaricus (HM585024.1)
Guanin+Cytosin juga ditemukan oleh Ketmaier et al.
32

47
Tor tor (EU714115.1) (2004). Keragaman terbesar komposisi basa nukleotida dari
Tor putitora (GQ469826.1)
93
98 Tor macrolepis (GQ469832.1)
keseluruhan triplet kodon gen COI ikan semah terletak
Tor sinensis (HM536900.1) pada posisi kodon ketiga. Peng et al. (2004), Ketmaier et
Tor dourenensis (JN646100.1)
100 Tor dourenensis (malaya)
al. (2004), Doadrio & Perdices (2005) juga mendapatkan
keragaman terbesar pada posisi kodon ketiga dari keselurah
0.005
kodon gen penyandi protein pada DNA mitokondria.
Gambar 2. Filogram bootstrapped Neigbor Joining 1000 Substitusi sinonim seringkali terjadi di basa ke-1 dan ke-3
kali pengulangan berdasarkan 654 nukleotida setiap kodon, sedangkan substitusi nonsinonim sering terjadi
gen COI ikan semah dan kerabat di basa ke-2 (Kumar & Nei, 2000). Substitusi nukleotida pada
pembandingnya dari Genbank. protein coding region yang menghasilkan kodon berbeda
Figure 2. Joining neigbor Filogram bootstrapped tetapi penyusun protein yang sama disebut dengan
1000 times based on 654 nucleotides substitusi sinonim, sedangkan apabila menghasilkan kodon
repetition based on COI gene masher fish berbeda dan menyusun protein yang berbeda pula maka
and its comparison relative from Genbank. disebut substitusi nonsinonim.

110
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

Basa nukleotida COI dapat digunakan sebagai penanda the limits of resolution for analyzing relationships
genetik spesifik ikan semah. Penanda molekuler dapat among Cichlid fishes. J Mol Evol. 53:89-103.
diandalkan dan memiliki hasil yang konsisten untuk
identifikasi diantara spesies (Ryan & Esa, 2006) dan tingkat GenBank. 2010. Genomes. http://www.ncbi.nlm.nih.gov//.
keragaman genetik (Vrijenhoek, 1998). Lebih jauh, Smith (14 Februari 2012).
& Wayne (1996) and Nguyet et al. (2006), mengatakan
bahwa aplikasi teknik molekuler (seperti DNA sekuensing) Haryono. 2006. Aspek biologi ikan tambra (Tor tambroides
menyediakan pemahaman baru dan yang lebih mendalam Blkr.) yang eksotik dan langka sebagai dasar
tentang taksonomi, struktur populasi dan manajemen dan domestikasi. Biodiversitas. 7 (2): 195-198.
konservasi Tor tambroides. Gen penyandi protein
berdasarkan posisi kodon, memiliki region yang kekal Haryono & A.H. Tjakrawidjaja. 2006. Morphological study
(conserve) dan region yang beragam (Farias et al., 2001). for identification improvement of tambra fish (Tor spp.:
Region yang conserve dapat dijadikan sebagai penanda Cyprinidae) from Indonesia. Biodiversitas. 7 (1): 59-62.
genetik (barcoding) untuk mengidentifikasi keaslian
genetik suatu jenis secara akurat dan juga sebagai Harrison, R.G. 1989.Animal mitochondrial DNAas a genetic
barcoding untuk mengetahui daerah asal suatu spesies; marker in population and evolutionary biology. Trends
sedangkan region yang beragam dapat digunakan untuk in Evolutionand Ecology. 4. p. 611.
mengetahui hubungan kekerabatan.
Ketmaier, V., P.G. Bianco, M. Cobolli, M. Krivokapic, R.
KESIMPULAN Caniglia & E. De Matthaesis. 2004. Molecular
phylogeny of two lineages of Leuciscinae Cyprinids
1. Analisa komposisi basa nukleotida untuk ikan semah (Telestes and Sardinius) from the Peri-Mediterranean
dari Sungai Manna dan Semanka mengidentifikasi 4 area based on Cytochrome-b data. Mole Phylogenet
situs nukleotida yang bervasiasi dan semuanya Evol. 32: 1061-1071.
parsimoni informatif.
2. Basa nukleotida dari gen Cytochrome Oxidase Subunit Kumar S & M. Nei. 2000. Molecular Evolution and
I (COI) dapat dijadikan penanda genetik spesifik antara Phylogenetics. New York: Oxford University Press.
ikan semah, spesies Tor tambroides dengan genus
Tor yang lain. Tor tambroides yang berasal dari Lakra,W.S & M.S Verma. 2008. DNA Barcoding of Indian
Bengkulu dan Lampung (Indonesia) juga memiliki basa Fishes. Unpublished. GenBank http://www.ncbi.nlm.
nukleotida spesifik yang membedakannya dengan Tor nih.gov//.
tambroides dari luar Indonesia, bahkan bisa menjadi
penanda genetik spesifik lokasi Bengkulu dan Muladno. 2006. Aplikasi Teknologi Molekuler dalam
Lampung. Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan
Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan
DAFTAR PUSTAKA Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur
Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga
Amos, B & A.R, Hoelzel. 1992. Applications of molecular Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut
genetic techniques to the conservation of small Pertanian Bogor dan Direktorat Jendral Pendidikan
populations. Biological Conservation 6. p. 133144. Tinggi Depdiknas, Bogor.

Brown, W. M., M. George & A. C. Wilson. 1979. Rapid Nei, M & S. Kumar. 2000. Molecular evolution and
evolution of mitochondrial DNA, Proc. Natl Acad. Sci. phylogenetics. New York: Oxford University Press.
USA. 76: p. 1967-71.
Nurdawati, S., D. Oktaviani., S. Makmur., S. Wargasasmita.,
Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA, I. Rachmatika & Haryono. 2007. Tata nama spesies
pp 62-88. In: M. Nei & R.K. Koehn (eds). Evolution of ikan air tawar Indonesia di tinjau dari perkembangan
Genes and Proteins. Sinauer, Sunderland, MA. taksonomi. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 97 p.

Doadrio, I., J.A. Carmona & A. Machordom. 2002. Nguyen T.T.T., B. Ingram, S. Sungan, G. Gooley, S.Y. Sim,
Haplotype diversity and phylogenetic relationships D. Tinggi & S.S. DeSilva. 2006. Mitochondrial DNA
among the Iberian Barbels (Barbus, Cyprinidae) reveal diversity of broodstock of two indigenous Mahseer
two evolutionary lineages. J Hered. 93:140-147. species, Tor tambroides and Tor douronensis
(Cyprinidae) cultured in Sarawak. Aquaculture. 253:
Farias, I.P., G. Orti, I. Sampaio, H. Schneider & A. Meyer. 259-269.
2001. The Cytochrome b gene as aphylogenetic marker:

111
A. Wibowo / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 105-112

Peng, Z., S. Heng & Y. Zhang. 2004. Phylogenetic Smith T.B & R.K. Wayne. 1996. Molecular genetic
relationships of Glyptosternoid fishes (Siluriformes: approaches in conservation. New York: Oxford Univ.
Sisoridae) inferred from mitochondrial Cytochrome b Press.
gene sequences. Mol Phyogenetic Evol. 31: 979-987.
Tegelstrom H. 1986. Mitochondrial DNA in Natural
Ping, Y., Z. Hao., C. Li-qiao., Y. Jin-yun., Y. Na., G. Zhi-min Populations: an Improved Routine for the Screening
and S. Da-xiang. 2007. Genetic structure of the oriental of Genetic Variation Based on Sensitive Silver Staining.
river prawn (Macrobrachium nipponense) from Electrophoresis 7: 226-229.
Yangtze and Lancang River, inferred from COI gene
sequence. Zoological Research. 28 (2): 113-118. Tamura K., J. Dudley, M. Nei & S. Kumar. 2007. MEGA4:
Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA)
Ryan J.R.J & Y.B. Esa. 2006. Phylogenetic analysis of software version 4.0. Molecular Biology and
Hampala Fishes (Subfamily Cyprininae) in Malaysia Evolution 10.1093/molbev/msm092.
inferred from partial mitochondrial cytochrome b DNA
sequences. Zool. Sci. 23: 893-901. Vrijenhoek RC. 1998. Conservation genetics of freshwater
fish. J. Fish. Biol. 53: 394-412.
Roberts, T.R. 1999. Fishes of the Cyprinid genus Tor in
the Nam Theun Watershed (Mekong basin) of Laos, Yang, L., R.L. Mayden, T. Sado, S. He, K. Saitoh. & M.
with description of a new species. The Raffles Bulletin Miya. 2010. Molecular phylogeny of the fishes
of Zoology. 47 (1): 225-236. traditionally referred to Cyprinini sensu stricto
(Teleostei: Cypriniformes). Zoologica Scripta. 39:
Sade,A. & H. Biun. 2011. The Ichthyofauna of Maliau Basin 527550.
Conservation Area, Sabah, Malaysia. Unpublished.
GenBank. http://www.ncbi.nlm.nih.gov//. Wibowo, A.,A. Farajalah & Husnah. 2012. DNAbarcoding
of freshwater fish species of Manna River (Bengkulu)
and Semanka River (Lampung). Inpress.

112
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

MAKANAN DAN REPRODUKSI IKAN LUKAS (Dangila cuvieri, Valenciennes


1842) DI PERAIRAN WADUK GAJAH MUNGKUR WONOGIRI

FOOD AND REPRODUCTION OF LUKAS (Dangila cuvieri, Valenciennes


1842) IN GAJAHMUNGKUR RESERVOIR WONOGIRI

Kamaluddin Kasim, Chairulwan Umar, Priyo Suharsono Sulaiman, dan Naila Zulfia
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Teregistrasi I tanggal: 5 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 16 Agustus 2012

ABSTRAK

Ikan Lukas (Dangila cuvieri) memiliki nilai ekonomis penting karena merupakan ikan konsumsi oleh masyarakat
di sekitar Waduk Gajah Mungkur. Informasi mengenai beberapa aspek biologi seperti hubungan panjang-berat,
kebiasaan makanan, pemijahan, faktor kondisi, fekunditas dan diameter telur ikan Lukas saat ini masih sangat
terbatas. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan mengetahui beberapa aspek biologi ikan tersebut di perairan
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri. Ikan contoh diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di beberapa
lokasi pendaratan ikan. Data panjang-bobot serta tingkat kematangan gonad juga diamati secara visual sedangkan
diamater telur diukur di laboratorium dengan bantuan mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan Lukas
betina memiliki tipe pertumbuhan allometrik, sedangkan ikan jantan bersifat isometrik. Faktor kondisi ikan betina
rata-rata adalah 0,0218 sedangkan ikan jantan adalah 0,0166. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina lebih gemuk
daripada ikan jantan. Fekunditas ikan Lukas berkisar antara 1,517 sampai dengan 10,857 butir telur dengan diameter
telur berkisar antara 0,89 sampai dengan 0,98 mm. Ikan Lukas cenderung bersifat herbivor (herbivorous) dengan
makanan utamanya berupa serasah tumbuhan, makanan tambahan berupa detritus, dan makanan pelengkap adalah
fitoplankton dan zooplankton.

KATA KUNCI: Ikan lukas, makanan, aspek biologi, Waduk Gajah Mungkur

ABSTRACT :

Lukas (Dangila cuvieri) is an economically important fish because it is consumed by people around the Gajah
Mungkur reservoir. Information on the biological aspects such as length-weight relationships, food
habits, spawning, condition factor, fecundity and egg diameter of this species is still very limited. Therefore, the
aim of this study is to know the biological aspects of this fish. Fish samples were taken from the catches landed in
several landing places. Length-weight data and gonadal maturity were also taken by visual method, while fecundity
and the diameter of egg were measured in the laboratory by using microscope. The results showed that female fishes
have an allometrik growth type, while isometric for male fishes. The mean values of condition factor for female and
male fish are 0,0218, and 0,0166, respectively. This indicates that female fish is fatter than male fish. The fecundity of
this fish was around 1,517 to 10,857 eggs, with the diameter of mature eggs ranging from 0.89 to 0.98 mm. Lukas
fish tends to be herbivorous, with plant litter as main food, detritus as the additional food, and phytoplankton as
supplements food, as well as zooplankton.

KEYWORDS: Lukas fish, food, Biological aspects, Gajah Mungkur Reservoir

PENDAHULUAN Gajah Mungkur. Ikan ini digolongkan kedalam famili


cyprinidae dan merupakan salah satu ikan ekonomis
Waduk Gajah Mungkur terletak di Kabupaten penting bagi masyarakat di sekitar waduk, karena
Wonogiri, Jawa Tengah memiliki luas perairan 8.800 ha. dikonsumsi sebagai sumber protein hewani. Ikan Lukas
Kegiatan perikanan di Waduk Gajah Mungkur dimulai merupakan salah satu jenis ikan yang telah dimanfaatkan
sejak tahun 1981. Produksi perikanan di Waduk Gajah oleh masyarakat di sekitar waduk sejak tahun 1981 ketika
Mungkur terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun Waduk Gajah Mungkur pertama kali dibangun.
2005 produksi perikanan Waduk Gajah Mungkur sebesar
748 ton meningkat signifikan menjadi 953 ton pada tahun Pada tahun 2005, produksi ikan Lukas di Waduk Gajah
2009. Mungkur berada pada urutan kelima yakni sebesar 140
ton, namun pada tahun 2009 produksi ikan ini turun drastis
Ikan Lukas (Dangila cuvieri) merupakan nama lokal menjadi hanya 63,1 ton. Penurunan produksi ikan Lukas
yang diberikan nelayan dan masyarakat di sekitar Waduk di waduk ini diduga terkait dengan laju eksploitasi yang
Korespondensi penulis :
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. kamalu_fish00@yahoo.com
Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur-Jakarta Utara 14430 113
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

semakin meningkat dari tahun ke tahun dan metode survey di stasiun pendaratan ikan yang telah
diintroduksinya spesies patin (Pangasius pangasius). ditentukan. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan
jaring gillnet dengan ukuran mata jaring 2-2.5 inci.
Ikan Lukas (Dangila cuvieri) secara alami merupakan
jenis ikan sungai (riverine) yang terdistribusi secara luas
di beberapa sungai di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Ikan Lukas umumnya mendiami bagian tengah kolom air
hingga dasar perairan sungai maupun danau. Ikan Lukas
tersebar secara luas di wilayah Indo-Australia, seperti
Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan,
Thailand, Laos dan Vietnam (Anonymous, 2010). Ciri khas
dari ikan ini adalah bentuk tubuhnya yang mirip dengan
ikan bandeng. Susatyo et al., (2010) melaporkan bahwa
terdapat sembilan jenis family Cyprinidae yang telah
tertangkap di Sungai Serayu, Banyumas Jawa Tengah
dimana salah satu jenisnya adalah ikan Lukas (Dangila
cuvieri). Hardjamulia et al, (1988) mengemukakan bahwa
terdapat empat jenis ikan dari family Cyprinidae yang
mendominasi Waduk Gajah Mungkur yaitu Puntius
gonoinitus (24%), Hampala macrolepidota (17%),
Puntius bramoides (10%) dan Dangila cuvieri (6%).
Gambar 1. Peta Waduk Gajah Mungkur tempat lokasi
Informasi mengenai lokasi dan waktu pemijahan ikan
pengambilan contoh ikan.
Lukas selama ini berasal dari laporan masyarakat di sekitar
Figure 1. Gajah Mungkur Reservoir map, showing the
Waduk Gajah Mungkur bahwa ikan Lukas umumnya
location of sampling sites.
memijah pada saat air pasang atau air tinggi, yakni diawal
musim penghujan di sekitar area inlet waduk yaitu pada
bulan September dan Oktober. Pada bulan tersebut, Prosedur Kerja
nelayan bahkan dapat menangkap ikan Lukas cukup
dengan menggunakan serok atau tangan tepat pada saat Pengukuran panjang dan bobot ikan di lokasi
ikan memijah karena ikan yang memijah dalam keadaan pendaratan ikan dilakukan dengan menggunakan meteran
bergerombol. Setelah memijah dilaporkan bahwa banyak dan timbangan digital dengan skala minimal 0.5 gram.
ikan Lukas yang mati karena mereka tidak sempat kembali Sebanyak 73 ekor ikan sampel dibedah untuk diambil
ke daerah yang lebih dalam karena air telah surut. gonadnya dan ditentukan Tingkat Kematangan Gonadnya
Fenomena ini cukup menarik, sehingga dianggap perlu melalui pengamatan visual (Effendie, 2002). Menurut
untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang kebiasaan Efendie (2002), kondisi gonad ikan jantan dan betina dari
memijah ikan Lukas, disamping informasi aspek biologi ikan Lukas terbagi atas 5 tingkatan TKG (Tabel 1).
lainnya juga masih sangat terbatas.
Penghitungan jumlah telur dilakukan dengan bantuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan mikroskop, cawan bogorov (cawan untuk menghitung
makanan, fekunditas, hubungan panjang bobot serta telur), cawan petri, pipet, dan alat hitung hand tally
faktor kondisi ikan Lukas guna mendapatkan informasi counter. Gonad terlebih dahulu ditimbang dengan
ilmiah yang bermanfaat dalam pengelolaan perikanan di timbangan digital, contoh gonad diambil sebagian
Waduk Gajah Mungkur. kemudian direndam dalam larutan formalin 10% selama 24
jam. Selanjutnya sampel gonad sebanyak 25% dari total
BAHANDANMETODE berat gonad dituang dalam cawan petri untuk dipisahkan
antara telur dan kulit gonad. Proses selanjutnya adalah
Waktu dan Lokasi menghitung jumlah telur, yaitu telur-telur yang ada dalam
cawan petri diambil menggunakan pipet kemudian
Penelitian dilakukan di perairan waduk serbaguna Gajah dimasukkan ke cawan bogorov untuk selanjutnya dihitung
Mungkur, Wonogiri Jawa Tengah pada bulan Juli sampai dibawah mikroskop dengan bantuan hand tally counter.
dengan September 2010. Pengambilan data dilakukan dengan

114
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

Tabel 1. Tingkatan kematangan gonad pada ikan jantan dan betina


Table 1. Gonads maturity stage of male and female fish

TKG./Gonads
Jantan/Male Betina/Female
Maturity Stage
Testes seperti benang, lebih pendek (terbatas) Ovari seperti benang, panjang sampai ke
1. dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, dan depan rongga tubuh, warna jernih, dan
berwarna jernih permukaan licin.
Ukuran testes lebih besar, pewarnaan putih Ovari lebih besar, warna lebih gelap
2. seperti susu, bentuk lebih jelas daripada kekuningkuningan, telur belum terlihat jelas
tingkat I dengan mata.
Permukaan testes tampak bergerigi, berwarna Ovari berwarna kuning, secara morfologi
3.
makin putih telur mulai kelihatan butirnya dengan mata
Kondisi gonad jantan seperti pada tingkat III Ovari makin besar, telur berwarna kuning,
namun tampak lebih jelas, testes makin pejal dan mudah dipisahkan. Butir minyak tidak
4.
tampak, mengisi - 2/3
rongga perut, dan usus terdesak
Testes bagian belakang kempis dan di bagian Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa
5
dekat pelepasan masih berisi terdapat didekat pelepasan.

Kebiasaan makanan ikan dianalisa sebagaimana Analisis kuantitatif kebiasaan makanan ikan dengan
metode yang dikemukakan oleh Sukimin (2004). Usus ikan menggunakan metode frekuensi kejadian dan indeks
yang telah direndam dengan menggunakan alkohol/ preponderance yang dirujuk dari Natarajan dan Jhingran
formalin 10% diambil satu persatu kemudian dihancurkan. dalam Effendie (2002) yang dituliskan matematis sebagai
Isi usus dan daging usus dipisahkan. Isi usus diencerkan berikut:
kembali sebanyak 10 ml. Satu tetes usus yang diencerkan
diambil dan diamati langsung dibawah mikroskop.
Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dengan
VixOi
lima lapang pandang. Jenis dan jumlah makanan dicatat
IP =
VixOi x 100%
dan diidentifikasi sesuai dengan buku panduan Needham
& Needham (1963).
dimana :
IP = Indek Preponderance/ Indeks bagian
Analisis Data
terbesar
Vi = Persentase frekuensi kejadian satu
Dalam kajian ini, berbagai parameter biologi yang
macam makanan
diamati antara lain kebiasaan makanan, hubungan panjang
Oi = Persentase volume satu macam makanan
berat, faktor kondisi, diameter telur dan fekunditas.
( Vi x Oi ) = Jumlah Vi x Oi dari semua macam
makanan
Hubungan panjang berat ditentukan dengan mengikuti
persamaan :
HASIL DAN PEMBAHASAN
b
W = aL
HASIL
Faktor kondisi (FK) dihitung menurut Effendie (2002)
Hubungan Panjang Berat
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut;
Hasil analisa hubungan panjang berat ikan Lukas
F K = (W/L3 ) x 102
(Dangila cuvieri) yang diperoleh selama penelitian di
perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri dikelompokkan
dimana:
menjadi dua, yaitu ikan jantan dan ikan betina yang
W = berat ikan contoh (gram)
digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
a dan b = konstanta pertumbuhan
L = panjang ikan contoh (cm)
FK = faktor kondisi

115
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

Gambar 2. Grafik Hubungan panjang berat ikan Lukas (Dangila cuvieri) jantan dan betina dari perairan Waduk Gajah
Mungkur, Wonogiri.
Figure 2. Male and female length-weight relationship of Lukas (Dangila cuvieri) from Gajah Mungkur Reservoir,
Wonogiri.

Berdasarkan Gambar 2 diatas, menunjukkan bahwa Faktor Kondisi


pertambahan bobot ikan Lukas betina lebih cepat daripada
pertambahan panjangnya (allometrik positif) yang Nilai faktor kondisi ikan Lukas jantan di Perairan Waduk
ditunjukkan dengan nilai b>3 dengan menggunakan uji t. Gajah Mungkur, Wonogiri berkisar antara 0,0072 sampai
Hal yang berbeda ditemukan pada pertumbuhan ikan dengan 0,0094 dengan nilai rata-rata 0,0166 , sedangkan
Lukas jantan. Hubungan panjang bobot ikan jantan ikan betina berkisar antara 0,005926 sampai dengan 0,0158
bersifat allometrik negatif (b<3), dimana pertambahan dengan nilai rata-rata 0,0218 (Tabel 2).
panjangnya lebih cepat daripada pertambahan beratnya.

Tabel 2. Nilai faktor kondisi ikan Lukas di perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri.
Tabel 2. Condition Factor of Lukas ((Dangila cuvieri) in Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri

Faktor kondisi (K) /Condition Factor


Jenis Kelamin / Sex Minimum/minimum Maksimum/maximum Rata-rata / Average
Jantan/male 0,0072 0,0094 0,0166
Betina/female 0,0060 0,0158 0,0218

Fekunditas dan Diameter Telur Hasil pengukuran diameter telur memperlihatkan


bahwa ikan Lukas memiliki rata-rata ukuran diameter telur
Hasil pengukuran jumlah telur ikan Lukas berkisar antara antara 0,55 1,09 mm. Frekuensi ukuran diameter telur
1517 sampai dengan 10.857 butir telur. Hasil pengukuran tertinggi ditemukan pada kisaran 0,88 0,98 mm sebesar
jumlah telur digambarkan dalam Tabel 3 dibawah ini: 47% yang mengindikasikan bahwa ikan Lukas mengalami
fase matang gonad dengan ukuran telur berkisar antara
0,88 0,98 mm (Gambar 3.)

Tabel 3. Jumlah telur (fekunditas) ikan Lukas dari perairan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Tabel 3. Number of eggs of Lukas ((Dangila cuvieri) from Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri

Berat gonad Jumlah telur gonad


TKG / Berat tubuh Berat gonad Fekunditas
Panjang (cm) / contoh (gram)/ contoh (butir)/
Maturity (gram) / (gram) / Gonad (butir) /
Length(cm) Gonad Sample Numbers of eggs in
stage Weight(g) Weight (g) fecundity
Weight(g) gonad samples(ind.)
IV - - 6,04 0,247 444 10857
IV 18 46 7,56 1,998 401 1517

116
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

Gambar 3. Histogram frekuensi diameter telur ikan Lukas dari perairan Waduk, Gajah Mungkur Wonogiri.
Figure 3. Histogram of eggs diameter of Lukas ((Dangila cuvieri) from in, Gajah Mungkur Reservoir, Wonogiri

Kebiasaan Makanan serasah tumbuhan sebesar 41,09%, makanan


pelengkapnya berupa detritus (29,23%) dan makanan
Hasil pengamatan terhadap kebiasaan makanan ikan tambahan yakni fitoplankton sebesar 28,38% (Tabel 4).
Lukas menunjukkan bahwa makanan utama ikan ini adalah

Tabel 4. Nilai Indeks Propenderance dari beberapa jenis makanan yang ditemukan dalam usus ikan Lukas (Dangila
cuvieri) di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Tabel 4. Preponderance Index of food types found in the gut of Lukas ((Dangila cuvieri) at Gajah Mungkur Reservoir,
Wonogiri

Kelompok Makanan/ Jenis makanan/ Indeks Preponderance (IP)/


Group of food Type of food Preponderance index
FITOPLANKTON/ 28.38
PHYTOPLANKTON Chlorophyceae 9.31
Cyanophyceae 4.25
Bacillariophyceae 8.43
Dinophyceae 6.30
Euglenaphyceae 0.08
ZOOPLANKTON/ 1.29
ZOOPLANKTON Rotifera 0.98
Copepoda 0.28
Cladocera 0.01

SERASAH TUMBUHAN/ 41.09


LITTER
DETRITUS/DETRITUS 29.23
TOTAL 100

BAHASAN Dari hasil analisa Gambar 2. memperlihatkan bahwa


pertambahan bobot ikan Lukas betina di Perairan Waduk
Hubungan Panjang Berat Gajah Mungkur pertumbuhannya bersifat allometrik
positif. Kondisi ini kemungkinan karena ikan betina yang
Pertumbuhan ikan didefinisikan sebagai pertambahan tertangkap pada saat penelitian didominasi oleh ikan betina
panjang dan berat. Pertumbuhan ideal ikan digambarkan matang gonad (TKG IV) yang siap memijah. Dari total 40
secara matematis yakni pertambahan bobot ikan adalah ekor ikan Lukas betina sampel yang diamati pada bulan
tiga kali dari pertambahan panjangnya. Informasi tentang September, terdapat 28 ekor ikan betina dengan TKG IV
hubungan panjang bobot ikan dapat menggambarkan (68%) dan 13 ekor TKG V (23%). Ikan-ikan yang matang
kondisi pertumbuhan ikan yang tertangkap di alam untuk gonad terutama ikan betina, umumnya mengalami
selanjutnya menjadi dasar dalam pengelolaan pertambahan berat 10-25% dari bobot normal tubuhnya
sumberdaya. karena bertambahnya bobot gonad (Naziri, 2010). Semakin
matang gonad ikan Lukas betina, maka diameter sel-sel

117
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

telur akan semakin membesar dan terdistribusi secara dengan ikan-ikan betina yang tampak lebih gemuk pada
merata dalam kantung telur yang mengisi rongga perut saat tertangkap. Menurut Naziri (2010) bahwa ikan jantan
ikan. Effendie (2002) mengemukakan bahwa ikan umumnya mengalami pertambahan bobot 5-10% dari bobot
menggunakan banyak energinya selama proses normal pada saat ikan jantan tersebut mengalami matang
reproduksi. Bobot ikan maksimum dicapai sesaat sebelum gonad dan siap memijah. Ikan-ikan jantan yang berhasil
memijah dan kembali menurun dengan pesat pada saat diidentifikasi dalam penelitian ini umumnya telah mencapai
memijah dan setelah memijah. TKG V, dimana kantong sperma telah sebagian besar
mengempis sehingga kurang berpengaruh terhadap
Hal yang berbeda ditemukan pada pertumbuhan ikan pertambahan bobot tubuh keseluruhan.
Lukas jantan. Hubungan panjang bobot ikan jantan
bersifat allometrik negatif (b<3), dimana pertambahan Sebagai perbandingan, berikut disajikan hubungan
panjangnya lebih dominan daripada pertambahan panjang berat beberapa jenis ikan air tawar lainnya yang
beratnya. Hal ini berarti, bahwa ikan-ikan jantan tampak ditemukan di perairan waduk seperti dalam Tabel 5 dibawah
memiliki ukuran tubuh yang lebih pipih dibandingkan ini:

Tabel 5. Hubungan panjang berat dan tipe pertumbuhan beberapa jenis ikan dominan yang ditemukan di perairan
waduk.
Tabel 5. Length-Weight Relationship and Growth Type of Some Dominant Species in the Reservoir Waters

Panjang (L) Berat (W) Hubungan Pjg- Tipe


Spesies/Species n (mm)/Length (g)/Weight berat/Length-Weight r Pertumbuhan/
(cm) (g) Relationship Growth type
Dangila cuvieri
- Jantan/male 8 143-190 25-57 W=(9.2 x10-3)L2.9761 0.906 isometric

- Betina/female 42 129-198 16-67 W=(5 x10-3)L3.1833 0.850 allometrik

Hampala macrolepidota*
- Jantan/male 185-340 90-500 W=(2.33x10-5)L2.8821 Isometric

- Betina/female 198-507 100-1420 W=(3.18 x10-5)L2.8242 Isometrik


Pangasius pangasius*
- Jantan/male
125-560 40-1250 W=(1.41x10-5)L2.9204 Isometric
- Betina/female
145-795 30-3700 W=(1.78 x10-5)L2.8814 Isometrik
-6 3.2099
Macrones nemurus* 100 145-550 35-3450 W=(4.90 x10 )L 0.988 allometric
Puntius gonoinotus* 150 145-405 40-1405 W=(4.13 x10-6)L2.2311 0.995 allometric
Puntius bromoides* 106 100-260 20-260 W=(5.53 x10-5)L2.7592 0.953 allometric
Oreochromis niloticus* 63 135-440 50-2000 W=(3.69 x10-5)L2.8992 0.993 isometric
Keterangan: *) Sumber Hardjamulia (1987)

Faktor Kondisi ikan betina pada saat dilakukan kegiatan penelitian ini
umumnya sudah siap memijah (sebagian besar berada
Nilai faktor kondisi ikan merupakan gambaran tentang pada TKG IV), sehingga mengalami pertambahan berat
kondisi kegemukan ikan dalam populasinya yang gonad, sedangkan ikan-ikan jantan relatif telah memijah
dinyatakan dengan notasi F K. Pengetahuan tentang faktor yang ditandai dengan fase pemijahan TKG V.
kondisi ikan Lukas dimaksudkan untuk mengetahui
gambaran kondisi kesehatan ikan Lukas di Waduk Gajah Fekunditas dan Diameter Telur
Mungkur ditinjau dari ketersediaan makanannya di
perairan. Nilai F K yang tinggi menggambarkan bahwa Fekunditas didefinisikan sebagai jumlah telur yang
tersedia makanan yang cukup untuk menopang dihasilkan oleh ikan yang telah matang gonad.
pertumbuhan somatic dan gonad ikan di suatu perairan. Pengetahuan tentang fekunditas telur dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan reproduksi ikan
Nilai faktor kondisi yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dalam mempertahankan populasinya di alam yang
menggambarkan bahwa ikan-ikan Lukas betina cenderung nantinya berpengaruh terhadap hasil rekrutmen individu
lebih gemuk jika dibandingkan dengan ikan Lukas jantan yang baru dalam suatu populasi.
pada panjang tubuh yang sama. Hal ini disebabkan karena

118
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

Jumlah telur (fekunditas) diambil dari dua ekor ikan merupakan ikan herbivor yang hidup di Perairan Waduk
contoh yang telah dianggap matang gonad yakni pada Gajah Mungkur antara lain ikan Tawes (Puntius
Tingkat Kematangan Gonad IV (TKG IV). Pada contoh gonoinotus), ikan Jambal (Pangasius pangasius), dan ikan
ikan pertama, berat contoh gonad yang diambil sebanyak Lalawak (Puntius bramoides) (Hardjamulia et al., 1987).
0,25 gram atau 4,1% dari berat gonad keseluruhan yakni Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan
6,04 gram. Untuk contoh ikan kedua, berat gonad contoh dalam Anonymous (2011) bahwa ikan Lukas merupakan
yang dianalisis sebanyak 2,0 gram dari 7,56 gram berat ikan pemakan serasah, fitoplankton, maupun algae dasar
gonad keseluruhan atau sebesar 26% dari berat gonad perairan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ikan ini dapat
keseluruhan. pula memakan zooplankton, perifiton, dan larva serangga.

Gambar 3. menunjukkan bahwa ukuran diameter telur Penelitian sebelumnya tentang kebiasaan makanan
ikan Lukas jauh lebih kecil dibandingkan dengan ikan Oskar ikan Lukas juga dilaporkan oleh Susatyo, et al, (2010)
yang berkisar antara 1,00 1,82 mm pada saat matang dimana makanan utama ikan Lukas adalah fitoplankton,
gonad dan siap dipijahkan (Purnamaningtyas, et. al, 2010). sedangkan zooplankton, cacing, dan gastropoda adalah
Hal ini membuktikan bahwa contoh ikan yang diambil makanan pelengkap, sedangkan potongan hewan, detritus
selama periode September memperlihatkan bahwa sebagian dan potongan tumbuhan adalah makanan tambahan pada
besar ikan contoh yang diambil berada pada fase telah ujicoba domestikasi ikan Lukas di kolam.
matang gonad dan siap memijah.
KESIMPULAN
Ikan Lukas yang tertangkap pada bulan September
umumnya telah matang gonad dimana ikan betina Berdasarkan hasil kajian ini, maka dapat disimpulkan
didominasi oleh TKG IV sedangkan ikan jantan TKG IV beberapa hal sebagai berikut:
dan V. Dengan hasil pengamatan TKG tersebut,
diperkirakan bahwa masa pemijahan ikan Lukas di perairan 1. Ikan Lukas jantan memiliki tipe petumbuhan allometrik
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri adalah pada bulan negatif dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dari
September dan Oktober dimana pada bulan-bulan ini pertambahan beratnya, sedangkan ikan betina memiliki
tinggi muka air waduk meningkat seiring dengan tipe pertumbuhan allometrik positif dimana pertambahan
dimulainya musim penghujan. beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya.
2. Nilai faktor kondisi (FK) ikan jantan dan betina berbeda,
Hasil dugaan waktu pemijahan ini sedikit berbeda dimana ikan betina cenderung mempunyai nilai faktor
dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Anonymous kondisi yang lebih tinggi daripada ikan jantan yang
(2011) yang mengemukakan bahwa ikan-ikan Lukas yang berarti ikan betina lebih gemuk dari ikan jantan.
ditangkap di perairan Sungai Mekong, Laos, memijah 3. Jumlah telur (fekunditas) ikan Lukas betina berkisar
antara bulan Juni dan Juli. antara 1,517 sampai dengan 10,857 butir telur dengan
diameter telur yang sudah matang berkisar antara 0,89
Kebiasaan Makanan (food habit) sampai dengan 0,98 mm.
4. Ikan Lukas cenderung bersifat herbivora
Informasi tentang kebiasaan makanan ikan Lukas (herbivorous) dimana makanan utama ikan Lukas
sangat diperlukan karena makanan merupakan faktor yang adalah serasah tumbuhan, detritus sebagai makanan
sangat menentukan dalam pertumbuhannya. Ikan Lukas tambahan sedangkan fitoplankton sebagai makanan
(Dangila cuvieri) yang hidup di Waduk Gajah Mungkur pelengkap. Ikan ini juga memakan beberapa jenis
merupakan populasi ikan asli waduk yang kebiasaan zoplankton.
makanannya sangat tergantung dari ketersediaan makanan
dan kondisi perairan. Ditambahkan oleh Nurnaningsih, et PERSANTUNAN
al., (2005) kebiasaan makanan suatu jenis ikan, selain
ditentukan oleh ketersediaan makanan, juga ditentukan Kegiatan ini merupakan kegiatan riset pengelolaan
oleh selera makan ikan itu sendiri dan ukuran ikan karena perikanan perairan umum daratan di Waduk Gajah
berkenaan dengan lebar bukaan mulut. Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, T.A 2010, Pusat
Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Tabel 4. menunjukkan bahwa jenis makanan ikan Lukas Sumberdaya Ikan. Ucapan terima kasih disampaikan
berupa serasah tumbuhan, detritus serta fitoplankton kepada Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
menunjukkan bahwa ikan jenis ini tergolong sebagai ikan Konservasi Sumberdaya Ikan, Bapak Purwanto, Ph.D dan
herbivor. Untuk fitoplankton, ikan Lukas lebih dominan Bapak Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja atas segala
memakan jenis Chlorophyceae dan Bacillariophyceae dukungan yang telah diberikan sehingga kegiatan
sebagaimana ikan herbivora lainnya seperti ikan nilem penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
(Taofiqurohman et al., 2007). Beberapa ikan lainnya yang

119
K. Kasim, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 113-120

DAFTAR PUSTAKA Naziri Z. 2010. Aspek Biologi Reproduksi Ikan


Lele(Clarias Batrachus). http://
Anonymous.2009.http://www.eol.org/pages/211349. zaldibiaksambas.wordpress.com/2010/06/21/aspek-
diakses 18 November 2010. biologi-reproduksi-ikan-lele-clarias-batrachus/ diakses
tanggal 27 Desember 2010.
Anonymous.2010.http://www.seriouslyfish.com/
profile.php?genus=Cyclocheilichthys&species=apogon+&id=1330. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the
diakses 18 November 2010. Study of Freshwater Biology. Fifth edition. Revused
and Enlarged. Holden Day Inc. San Francisco. 180 p.
Anonymous.2011.http://fishbase.sinica.edu.tw/Summary/
SpeciesSummary.php?ID=25195. diakses 4 Januari Nurnaningsih, M.F. Rahardjo, & S. Sukimin. 2005.
2011. Pemanfaatan Makanan oleh Ikan-Ikan Dominan Di
perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Jurnal Iktiologi
Hardjamulia A., & N. Rabegnatar. 1988. The use of carps Indonesia. 4 (2). 61-65.
in the fishery management of reservoirs and lakes in
Indonesia. P70-p89. FAO Fisheries Report No. 405 Purnamaningtyas, S. E. & D. W. H. Tjahjo. 2010. Beberapa
Supplement. Indo pacific Fishery Aspek Biologi Ikan Oskar (amphilophus citrinellus)
Commission.Research Institute for Freshwater Di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Jawa Barat. Bawal.
Fisheries, Bogor, Indonesia. Papers Contributed to Widya Riset Perikanan Tangkap. 3(1). 9-15.
The Workshop on The Use of Cyprinids in The
Fisheries Management of Larger Inland Water Bodies Susatyo P., Sugiharto, & W. Lestari. 2010. Aspek
of The Indo Pacific. Kathmandu, Nepal, 8-10 September Reproduksi dan Ekologis Brek (Puntius orphoides)
1988. http://books.google.co.id/books?id=Mp0eqEM- dan Lukas (Puntius bramoides) Sungai Serayu
IfwC&pg=PA87&dq=puntius+bromoides&hl=id&ei= Banyumas Sebagai Dasar Domestikasi dan
ZpnkTImcIIaiuQOLuYzqDA&sa=X&oi= Diversifikasi Budidaya Perikanan. Makalah Publikasi
book_result&ct=result&resnum=3&ved= Untuk Jurnal Semnaskan2010. http://
0CDEQ6AEwAg#v=onepage&q=puntius%20bromoides&f=false. www.scribd.com/doc/34958023/Predomestikasi-Ikan-
Diakses tanggal 23 Desember 2010. Brek-Dan-Ikan-Lukas-Sungai-Serayu-Makalah-
Publikasi-Untuk-Jurnal-Semnaskan-2010. Diakses
HardjamuliaA., E. S. Kartamiharja, & N.S. Rabegnatar. 1987. tanggal 27 Desember 2010. 12 p.
Some Biological Aspects of The Predominant Fish
Species in The Jatiluhur Reservoir, West Java, Sukimin, S. 2004. Modul Praktikum Biologi Perikanan.
Indonesia. Reservoir Fishery Management and Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Development in Asia. Proceedings of a Workshop Held Pertanian Bogor.
in Kathmandu, Nepal, 23-28 November 1987.
Editor:Sena S. da Silva. p. 98-104. Taofiqurohman, A., I. Nurruhwati, & Z. Hasan. 2007. Studi
Kebiasaan Makanan (Food Habit) Ikan Nilem
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka (Osteochilus hasselti) Di Tarogong Kabupaten Garut.
Nasional. Yogyakarta. 36 p. Laporan Penelitian Peneliti Muda. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. p. 14-18.

120
BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

STATUS TROFIK DAN ESTIMASI POTENSI PRODUKSI IKAN


DI PERAIRAN DANAU TEMPE, SULAWESI SELATAN

TROPHIC STATE AND ESTIMATION OF FISH PRODUCTION POTENTIAL


IN THE TEMPE LAKE WATERS, SOUTH SULAWESI

Samuel 1), Safran Makmur 1) dan Petrus Rani Pong Masak 2)


1)
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang
2)
Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros
Teregistrasi I tanggal: 19 Februari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Agustus 2012;
Disetujui terbit tanggal: 10 Agustus 2012

ABSTRAK

Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran yang dikenal sebagai danau yang banyak menghasilkan ikan
air tawar di Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian status trofik dan estimasi potensi produksi ikan di Danau Tempe
dilakukan pada bulan Pebruari-Nopember 2010, bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini tentang status trofik
dan potensi produksi ikan pada perairan danau. Penelitian bersifat survei lapangan dan analisis di laboratorium.
Survei dilakukan sebanyak 4 kali mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Pengukuran parameter kualitas
air dilaksanakan di sepuluh stasion yang dipilih secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air
Danau tempe masih ideal mendukung kehidupan dan perkembanganbiakan ikan serta organisme air lainnya sebagai
pakan ikan. Status trofik perairan Danau Tempe sesuai kriteria Trophic Status Index, mempunyai indeks rata-rata
56,6 - 59,8 dengan status eutrofik ringan, ditandai melimpahnya tumbuhan air di perairan danau. Angka potensi
produksi ikan berkisar antara 69-148 kg/ha/tahun dengan nilai rata-rata 95 kg/ha/tahun. Dengan luasan Danau
Tempe antara 15.000-20.000 hektar menghasilkan produksi ikan antara 1428 -1904 ton/tahun.

KATA KUNCI : Status trofik, potensi produksi, Danau Tempe

ABSTRACT :

Lake Tempe is a floodplain lake that produces a lot of freshwater fish in South Sulawesi Province. Research on
trophic status and estimation of potential fish production in Lake Tempe was conducted from February-November,
2010. Aim of this study was to obtain information on the current condition of the trophic status and potential fish
production in the lake waters. This study is based on the field survey and analysis in the laboratory. Surveys were
conducted 4 times to represent the dry and rainy seasons, and water quality parameter measurements were carried
out at ten stations selected purposively. The results shows that water quality parameters of Lake Tempe was still
quite ideal to support aquatic life and the development of fish and other aquatic organisms as fish food. Trophic
status of Tempe Lake waters according to the Trophic State Index (TSI) had mean index of 56,6 to 59,8 with state of
mild eutrophic by indicating the abundance of aquatic plants. Potential fish production in Lake Tempe ranged from
69 to 148 kg/ha/year with an average value of 95 kg/ha/year. In normal conditions, the vast waters of Lake Tempe
ranged between 15000-20000 hectares produce fish between 1428 to 1904 tons / year.

KEYWORDS : Trophic state, potential of fish production , Lake Tempe

PENDAHULUAN tidak digenangi air merupakan hamparan lahan yang subur


sehingga digunakan sebagai lahan pertanian palawija.
Danau Tempe merupakan tipe danau rawa banjiran Areal yang digenangi air 45% permukaannya tertutupi
yang sebagian besar berada dalam wilayah administrasi oleh gulma air, selebihnya merupakan areal penangkapan
Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. Luas Danau ikan dan alur pelayaran. Proses penyuburan air (proses
Tempe sekitar 13.000 ha dengan kedalaman maksimum 5,5 eutrofikasi) Danau Tempe terjadi karena tanah yang tadinya
m dan dapat mencapai lebih dari 30.000 ha saat banjir, digunakan untuk lahan perkebunan, banyak mengandung
sedangkan pada saat musim kemarau luas genangannya unsur-unsur hara dan bahan-bahan organik yang pada
hanya mencapai 1.000 ha dengan kedalaman maksimum 1 waktu tergenang air akan mengalami penyuburan.
m (Anonimous, 2003). Pada saat terjadi kemarau panjang,
airnya hanya ada pada alur-alur sungai, sedangkan pada Kegiatan perikanan yang dominan di Danau Tempe
saat musim penghujan seluruh areal danau tertutup oleh adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan
air. Perbedaan tinggi permukaan air saat musim hujan dan sepanjang tahun. Kegiatan ini memperlihatkan puncaknya
musim kemarau 4 m. Pada musim kemarau daerah yang pada saat air rendah yang umumnya terjadi pada bulan
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum
Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan, Email : wibarf@yahoo.com 121
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

September-November. Jenis ikan yang ada berdasarkan ini disebabkan penangkapan yang berlebih / jumlah
hasil penelitian oleh Makmur et al. (2010), terdiri dari : nelayan meningkat (Pratiwi et al., 2009) dan terjadinya
ikan gabus (Channa striata), betok (Anabas Testudineus), pendangkalan perairan danau (Anonimous, 2003). Danau
sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat jawa Tempe termasuk tipe danau rawa banjiran dengan kondisi
(Trichogaster trichopterus), lele (Clarias batrachus), mas kesuburan air yang dapat berbeda antara musim kemarau
(Cyprinus carpio), tawes (Barbodes gonionotus), nilem dan penghujan, maka data dan informasi tentang
(Osteochilus hasselti), mujair (Oreochromis mossambica), kesuburan perairan Danau Tempe dan potensi produksi
nila (O. niloticus), bunaka (Bunaka gyrinoides), bungo ikan sangatlah diperlukan dalam rangka pengelolaan dan
(Glossogobius giuris), masapi (Anguillla marmorata), pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal dan
belut (Monopterus albus) dan belanak (Mugil cephalus). berkelanjutan di perairan danau ini. Tujuan penelitian
Adanya hubungan langsung perairan Danau Tempe adalah untuk mengetahui kondisi terkini tentang status
dengan laut di Teluk Bone memungkinkan adanya migrasi trofik dan potensi produksi ikan di perairan Danau Tempe.
atau pengembaraan golongan ikan air tawar sekunder di
perairan ini. BAHANDANMETODE

Jenis ikan betok dan ikan gabus yang oleh nelayan Penelitian dilakukan di perairan Danau Tempe pada
setempat dikatakannya sebagai ikan asli, sudah ada di bulan Pebruari, Mei, Agustus dan Nopember tahun 2010.
perairan Danau Tempe. Jenis lainnya, sepat siam, tawes, Pengumpulan data primer yang terdiri dari temperatur air,
lele, tambakan dan mas, adalah ikan introduksi dari Jawa substrat dasar, kecerahan, kedalaman air, daya hantar
yang dilakukan sejak tahun 1937 (Anonimous, 2008). listrik, pH air, oksigen terlarut, karbondioksida bebas,
Produksi ikan dari Danau Tempe pada tahun 1975 alkalinitas, fosfat, amoniak, nitrat, total fosfor dan khlorofil-
dilaporkan sebesar 4.000 ton/tahun atau 200 kg/ha/tahun. a, dilakukan langsung di lapangan. Stasiun pengambilan
Berdasarkan data stastistik perikanan Sulawesi Selatan contoh dan pengukuran parameter kualitas air ditentukan
pada tahun 1974, produksi perikanan yang berasal dari secara purposif didasari pada keberadaan inlet dan outlet,
Danau Tempe dan Sidenreng mencapai lebih kurang 4.500 zona tengah danau, serta berdasarkan keberadaan
ton, produksi ini relatif sama sampai tahun 1977. Produksi populasi ikan. Posisi geografis dan diskripsi dari masing-
tersebut dianggap menurun bila dibandingkan dengan masing stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dan
produksi ikan pada tahun 1955 yang tercatat 16.500 ton/ Lampiran 1. Metode analisis kualitas air merujuk pada
tahun, dan semakin menurun dibandingkan dengan buku Standart Method for the Examination of Water
produksi ikan sebelum perang (PD II) yang tercatat sebesar and Wastewater (APHA, 1981) dan secara rinci disajikan
25.000 ton/tahun (Anonimous, 2008). Penurunan produksi pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter kualitas air yang dianalisa, metode dan alat yang digunakan
Table 1. Water quality parameters analyzed, methods and instrument used

No Parameter Metode Alat


1 Temperatur insitu Termometer air raksa
2 Substrat dasar insitu Ekman grab
3 Kecerahan insitu Sechi disk
4 Kedalaman perairan insitu Deep Sounder
5 Daya Hantar Listrik insitu SCT-meter
6 pH insitu pH indicator
7 Oksigen terlarut insitu DO Meter
8 Karbondioksida Titrimetri Alat titerasi
9 Alkalinitas Titrimetri Alat titerasi
10 Phosphat Vanadate Molybdate Spektrofotometer
11 Amoniak Phanate Spektrofotometer
12 Nitrat Neslers Spektrofotometer
13 Total Fosfor Vanadate Molybdate Spektrofotometer
14 Klorophil-a Kalorimetrik Spektrofotometer

122
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

5
1
6
4
3 1 2
10
7
8

Gambar 1. Stasiun pengamatan kualitas air di Danau Tempe, Sulawesi Selatan


Figure 1.Research station of water quality in Lake Tempe, South Sulawesi

Tingkat kesuburan perairan atau status trofik perairan TSI-TP = 4,15 + 14,42 * Ln [TP], dimana TP = total Fosfor
Danau Tempe dianalisa dengan cara menghitung nilai index dalam ug/Liter ;
status trofik (trophic state index, TSI) yang dirumuskan TSI-Chl = 30,6 + 9,81 * Ln [Chl], dimana Chl = kadar
Carlson (1977) dalam Kementerian Negara Lingkungan Khlorofil-a dalam ug/Liter.
Hidup (2008), dengan rangkaian rumus sebagai berikut :
Kriteria status trofik perairan dari Carlson
TSI = (TSI-SD + TSI-TP + TSI-Chl) / 3 ... 1) diklasifikasikan dalam tingkat kesuburan sangat rendah,
rendah, sedang dan tinggi (Lampiran 2).
Rumus yang digunakan untuk mencari nilai Trofik
Status Indek (TSI-SD, TSI-TP dan TSI-Chl) adalah sebagai Besarnya potensi produksi ikan diestimasi dengan
berikut : menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Henderson
& Welcomme (1974) dalam Moreau & De Silva (1991)
TSI-SD = 60 14,41 * Ln [SD], dimana SD = kecerahan air yaitu :
dalam meter ;
Y = 14,314 MEI 0,4681, ................................................... 2)

123
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

dimana : Y = nilai potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) kesadahan sebagaimana tercantum pada Tabel 2 tergolong
MEI = Morphoedhaphic Index = nilai parameter sedang. Kadar amonia terendah terjadi di bulan Agustus
Daya Hantar Listrik dalam satuan umhos/ yaitu sebesar 0,050 mg/L dan tertinggi di bulan Pebruari
cm dibagi dengan rata-rata kedalaman yaitu 0,238 mg/L. Hasil analisa kandungan nitrat diperoleh
perairan danau dalam satuan meter. nilai antara 0,106-0,262 mg/L dan fosfat nilainya berkisar
antara 0,025-0,081 mg/L, Nilai total fosfor Danau Tempe
HASIL DAN BAHASAN tergolong rendah. Konsentrasi khlorofil-a dengan nilai
berkisar antara 14,24-16,66 ug/L.
HASIL
Status trofik perairan dicirikan dengan tinggi
Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air dapat rendahnya kandungan unsur hara, seperti N dan P serta
dilihat pada Tabel 2. Kedalaman rata-rata perairan selama konsentrasi klorofilnya. Nilai indeks status trofik perairan
pengamatan berkisar antara 2,10-5,16 meter. Kecerahan Danau Tempe dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3
perairan berkisar antara 69,7-129,5 cm. Kecerahan air yang terlihat bahwa tingkat kesuburan perairan Danau Tempe
rendah ditemukan pada saat kedalaman air rendah, termasuk dalam kategori eutrofik ringan.
demikian juga kecerahan air yang tinggi, ditemukan pada
saat kedalaman air tinggi. Suhu perairan Danau Tempe Hasil pengukuran nilai potensi produksi ikan Danau
tergolong tinggi berkisar antara 29,3-31,50C. Nilai Daya Tempe dengan menggunakan MEI (Morphoedhaphic
Hantar Listrik (DHL) berkisar antara 149-307 umhos/cm. Index) dari empat kali survei dapat dilihat pada Tabel 4, 5,
PH perairan berkisar antara 6,89 - 7,80, kadar oksigen 6 dan 7. Angka potensi tertinggi terjadi di bulan Pebruari
terlarut antara 5,00 - 7,02 mg/L. Konsentrasi yaitu sebesar 147,695 kg/ha/tahun. Angka potensi
karbondioksida bebas di perairan danau selama penelitian terendah terjadi di bulan Agustus yaitu sebesar 69,092
berkisar antara 8,79-11,31 mg/L. Nilai alkalinitas dan kg/ha/tahun.

Tabel 2. Rataan nilai parameter kualitas air Danau Tempe tahun 2010
Table 2. Mean of water quality parameter values of Lake tempe in 2010

Parameter Satuan Bulan Bulan Bulan Bulan Rata-


No
Perairan (Unit) Pebruari Mei Agustus Nopember Rata
1 Kedalaman Meter 2,10 3,35 5,16 4,20 3,70
2 Kecerahan Cm 69,7 116 129,5 89,5 101,2
o
3 Suhu Air C 31,5 30,6 29,3 30,6 30,5
4 DHL umhos 307 161 149 149 192
5 pH Unit 7,09 7,60 6,89 7,80 7,40
6 O2-terlarut mg/L 5,27 5 6,43 7,02 5,93
7 CO2-bebas mg/L 9,67 8,79 11,31 10,68 10,11
8 Alkalinitas mg/L 81 75 73 86 79
9 Kesadahan mg/L 87 78 78 88 83
10 Fosfat mg/L 0,081 0,063 0,066 0,025 0,059
11 Nitrat mg/L 0,106 0,155 0,262 0,221 0,186
12 Amonia mg/L 0,238 0,184 0,050 0,057 0,132
13 Total-P ug/L 37,378 34,407 38,312 35,459 36,389
14 Khlorofil-a ug/L 16,07 14,24 16,66 14,88 15,46

124
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

Tabel 3. Trofik status indeks Carlson untuk perairan Danau Tempe tahun 2010
Table 3. Carlsons trophic state index for waters of the Tempe Lake in 2010

Pebruari-2010
Stasion Nama Stasion Score Status Trofik
1 Ajitase 56,7 Eutrophik ringan
2 Pasele 60,7 Eutrophik sedang
3 Menara Air (Tengah Danau) 65,4 Eutrophik sedang
4 Hulu Solok 55,9 Eutrophik ringan
5 Capai Ujung 48,7 Mesotrophik
6 Tancung Burai 58,6 Eutrophik ringan
7 Sungai Menralang 57,2 Eutrophik ringan
8 Solo Abedan 59,5 Eutrophik ringan
9 Rumah Terapung 61,7 Eutrophik sedang
10 Batu-Batu 62,0 Eutrophik sedang
Nilai Rata-Rata 59,8 Eutrophik ringan
Mei-2010
1 Ajitase 54,2 Eutrophik ringan
2 Pasele 57,3 Eutrophik ringan
3 Menara Air (Tengah Danau) 61,4 Eutrophik sedang
4 Hulu Solok 51,5 Eutrophik ringan
5 Capai Ujung 43,3 Mesotrophik
6 Tancung Burai 53,7 Eutrophik ringan
7 Sungai Menralang 54,6 Eutrophik ringan
8 Solo Abedan 58,5 Eutrophik ringan
9 Rumah Terapung 60,2 Eutrophik sedang
10 Batu-Batu 59,5 Eutrophik ringan
Nilai Rata-Rata 56,6 Eutrophik ringan
Agustus-2010
1 Ajitase 60,6 Eutrofik Sedang
2 Pasele 62,1 Eutrofik Sedang
3 Menara Air (Tengah Danau) 48,1 Mesotrofik
4 Hulu Solok 46,3 Mesotrofik
5 Capai Ujung 58,9 Eutrofik Ringan
6 Tancung Burai 53,0 Eutrofik Ringan
7 Sungai Menralang 60,2 Eutrofik Sedang
8 Solo Abedan 55,7 Eutrofik Ringan
9 Rumah Terapung 46,9 Mesotrofik
10 Batu-Batu 61,0 Eutrofik Sedang
Nilai Rata-Rata 55,3 Eutrofik Ringan
Nopember-2010
1 Ajitase 57,8 Eutrofik Ringan
2 Pasele 57,5 Eutrofik Ringan
3 Menara Air (Tengah Danau) 52,6 Eutrofik Ringan
4 Hulu Solok 49,3 Mesotrofik
5 Capai Ujung 62,1 Eutrofik Sedang
6 Tancung Burai 51,1 Eutrofik Ringan
7 Sungai Menralang 56,9 Eutrofik Ringan
8 Solo Abedan 54,5 Eutrofik Ringan
9 Rumah Terapung 54,6 Eutrofik Ringan
10 Batu-Batu 65,7 Eutrofik Sedang
Nilai Rata-Rata 56,2 Eutrofik Ringan

125
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

Tabel 4. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Pebruari, 2010
Table 4. Potential of fish production value of Lake Tempe on February, 2010

Stasiun Riset Kedalaman DHL MEI Potensi Produksi Ikan


(meter) (umhos) (umhos/m) (kg/ha/tahun)
Ajitase 2,25 305 135,600 142,52
Pasele 2,10 308 146,619 147,82
Menara Air 2,05 312 152,341 150,50
Hulu Solok 2,05 323 157,707 152,96
Capai Ujung 2,00 318 159,150 153,61
Tancung Burai 2,10 306 145,857 147,46
Sungai Menralang 2,85 322 112,807 130,75
Solo Abedan 1,80 283 157,056 152,66
Rumah Terapung 2,00 320 160,150 154,06
Batu-Batu 1,80 276 153,111 150,85
Nilai Rata-Rata 2,10 307 146,348 147,70

Tabel 5. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Mei, 2010
Table 5. Potential of fish production value of Lake Tempe on May, 2010

Kedalaman DHL MEI Potensi Produksi Ikan


Stasiun Riset
(meter) (umhos) (umhos/m) (kg/ha/tahun)
Ajitase 3,40 160 47,059 86,84
Pasele 3,20 157 49,063 88,55
Menara Air 3,45 156 45,217 85,23
Hulu Solok 3,20 157 49,063 88,55
Capai Ujung 3,25 154 47,385 87,12
Tancung Burai 3,40 156 45,882 85,82
Sungai Menralang 3,40 160 47,059 86,84
Solo Abedan 2,90 174 60,000 97,30
Rumah Terapung 3,60 185 51,389 90,49
Batu-Batu 3,70 155 41,892 82,24
Nilai Rata-Rata 3,35 161 48,060 87,70

Tabel 6. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Agustus, 2010
Table 6. Potential of fish production value of Lake Tempe on August, 2010

Stasiun Riset Kedalaman DHL MEI Potensi Produksi Ikan


(meter) (umhos) (umhos/m) (kg/ha/tahun)
Ajitase 5,20 145 27,885 67,97
Pasele 5,10 144 28,235 68,37
Menara Air 5,20 147 28,269 68,41
Hulu Solok 5,20 147 28,269 68,41
Capai Ujung 5,00 145 29,000 69,23
Tancung Burai 4,80 143 29,792 70,11
Sungai Menralang 6,00 145 24,167 63,57
Solo Abedan 5,00 154 30,800 71,21
Rumah Terapung 5,10 159 31,177 71,62
Batu-Batu 5,00 164 32,800 73,34
Nilai Rata-Rata 5,16 149 28,876 69,09

126
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

Tabel 7. Angka potensi produksi ikan Danau Tempe pada bulan Nopember, 2010
Table 7. Potential of fish production value of Lake Tempe on November, 2010

Kedalaman DHL MEI Potensi Produksi Ikan


Stasiun Riset
(meter) (umhos) (umhos/m) (kg/ha/tahun)
Ajitase 4,10 147 35,854 76,46
Pasele 4,40 151 34,318 74,91
Menara Air 4,60 142 30,870 71,29
Hulu Solok 4,50 142 31,556 72,02
Capai Ujung 3,50 146 41,714 82,07
Tancung Burai 3,50 135 38,571 79,12
Sungai Menralang 4,80 149 31,042 71,47
Solo Abedan 4,20 141 33,571 74,14
Rumah Terapung 4,10 166 40,488 80,94
Batu-Batu 4,40 171 38,864 79,40
Nilai Rata-Rata 4,21 149 35,685 76,29

BAHASAN bagi kehidupan ikan (NTAC, 1968). Konsentrasi


karbondioksida bebas di perairan danau selama penelitian
Kecerahan perairan Danau Tempe berkisar antara 69,7- berkisar antara 8,79-11,31 mg/l. Menurut NTAC (1968),
129,5 cm. Kecerahan air yang rendah ditemukan pada saat Pescod (1973) dan Swingle (1968) masih aman bagi
kedalaman air rendah, demikian juga kecerahan air yang kehidupan ikan karena nilainya dibawah 12 mg/l dari nilai
tinggi, ditemukan pada saat kedalaman air tinggi. yang dianjurkan. Kadar amonia berkisar antara 0,050-0,238
Perubahan kecerahan ini diduga oleh adanya pengadukan mg/l, merupakan kisaran nilai yang masih dalam batas-
air akibat tiupan angin yang menyebabkan air batas yang dapat ditoleransi bagi kehidupan ikan. Pescod
bergelombang dan partikel-partikel yang ada di dasar (1973) mengatakan suatu kriteria pada perairan di daerah
perairan tersuspensi ke kolom air pada saat kedalaman air tropis yang tidak membahayakan kehidupan ikan, kadar
rendah. Hal lain yang menyebabkan kecerahan air rendah amonianya jangan lebih dari 1,0 mg/l dan bila mengacu
saat tinggi muka air rendah kemungkinan karena pada Peraturan Pemerintah No.20, tahun 1990 tentang
banyaknya aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas pengendalian pencemaran air, disarankan konsentrasi
perkebunan dan pertanian di areal lahan sekitar Danau amoniak bebas dalam perairan tidak boleh lebih dari 0,02
Tempe. Untuk perairan danau dengan tingkat kecerahan mg/l. Mengacu pada nilai ini, perairan Danau Tempe
antara 69,7-129,5 cm, diklasifikasikan sebagai danau tergolong perairan dengan kandungan ammoniak sudah
dengan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi atau tinggi. Sumber amonia pada suatu perairan dapat berasal
meso-eutrofik (Likens, 1975 dalam Jorgensen, 1980). PH dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota
perairan berkisar antara 6,89 sampai 7,80 menunjukkan akuatik yang telah mati). Di Danau tempe, tumbuhan air
perairan danau bersifat alkalis sedang. Hal tersebut yang membusuk berasal dari aktivitas penangkapan ikan
diperkuat dengan nilai alkalinitas rata-rata perairan danau dengan cara bungka toddo sudah merupakan
antara 73-86 mg/l CaCO3-eq. yang mengindikasikan pemandangan yang biasa dan hal ini diduga bahwa sumber
perairan danau dengan tingkat produktivitas sedang amonia diperairan danau ada hubungannya dengan
(Golman & Horne, 1983). Swingle (1968) mengatakan kegiatan tersebut. Goldman & Horn (1983) mengatakan
bahwa perairan dengan nilai alkainitas antara 50-200 mg/l bahwa konsentrasi amonia dapat berasal dari proses
CaCO3-eq. dan kesadahan diatas 50 mg/l CaCO3-eq. dekomposisi bahan organik yang menumpuk di dasar
menunjukkan produktivitas perairan sedang sampai perairan. Hasil analisa kandungan Nitrat diperoleh nilai
tinggi. Menurut Moyle & Mair (1945) dalam Boyd (1982), antara 0,106-0,262 mg/l dan Fosfat nilainya berkisar antara
suatu perairan dengan kadar alkalinitas sebesar 40 mg/l 0,025-0,081 mg/l, mengindikasikan perairan Danau Tempe
atau lebih menunjukkan perairan yang subur atau tergolong perairan yang subur. Menurut Liaw (1969) suatu
produktif. Perairan demikian ideal mendukung kehidupan perairan dengan konsentrasi Fosfat berkisar antara 0,051-
dan perkembangbiakan organisme perairan termasuk ikan 0,100 mg/l merupakan perairan yang subur. Konsentrasi
dan organisme air lainnya sebagai makanan ikan khlorofil-a dengan nilai berkisar antara 14,24-16,66 ug/l,
(Wardoyo, 1979). menunjukkan perairan meso-eutrofik atau perairan yang
mempunyai tingkat kesuburan sedang sampai tinggi
Kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,00 sampai 7,02 (OECD, 1982).
mg/l, menunjukkan nilai kisaran yang cukup mendukung

127
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

Hasil perhitungan nilai-nilai indek status trofik perairan produser (fitoplankton dan tumbuhan air) yang menjadi
dengan mengacu pada kriteria yang dikemukakan Carlson tingkat pertama dalam sistem rantai makanan.
(1977) dalam OECD (1982) ternyata perairan Danau Tempe
mempunyai tingkat kesuburan rata-rata eutrofik ringan. Hasil integrasi selama penelitian (dari 4 x survei, tahun
Tingkat kesuburan eutrofik ringan ini diduga karena adanya 2010), angka potensi produksi ikan di Danau Tempe
beban unsur hara yang berasal dari aktifitas pemukiman berkisar antara 69,09-147,69 kg/ha/tahun dengan nilai rata-
penduduk, aktivitas perkebunan, persawahan yang rata sebesar 95,19 kg/ha/tahun. Menurut Kartamihardja
banyak ditemukan di tepian perairan danau. Melimpahnya (1987) angka rata-rata potensi sebesar 95,19 kg/ha/tahun
tumbuhan air di danau juga menyumbangkan unsur hara secara alami tergolong sedang. Potensi produksi ikan
melalui proses dekomposisinya. Pada Tabel 2 terlihat Danau Tempe sebesar 95,19 kg/ha/tahun tahun 2010
bahwa senyawaan fosfat, total fosfor, nitrat dan kadar termasuk lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2004
khlorofil-a perairan Danau Tempe cendrung nilainya lebih sebesar 51 kg/ha/tahun (Tjahyo et al., 2005) dan lebih
tinggi pada saat tinggi muka air rendah. Demikian juga rendah dibandingkan dengan potensi produksinya pada
nilai status trofik, nilai yang tinggi ditemukan pada tahun 1975 sebesar 200 kg/ha/tahun.
kedalaman perairan yang rendah (Gambar 2). Senyawaan
tersebut merupakan unsur-unsur utama untuk kesuburan 160 6

suatu perairan dan berpengaruh terhadap nilai indeks 140

Potensi Produksi Ikan / Potential of fish


status trofik perairan. 5

Level Tinggi Air / Water Level (meter)


120
production (kg/ha/tahun)
4
61 6 100
Potensi Produksi Ikan
Indeks Status Trofik / Trophic State Index

60 80 Level Tinggi Air 3


Kedalaman air / Water depth (meter)

5
59 60
2
4
58 TSI 40

Kedalaman 1
57 3 20

56 0 0
2
Pebruari Mei Agustus Nopember
55 Bulan Penelitian - 2010
Bulan / Month
1
54
Gambar 3. Hubungan antara potensi produksi ikan
53 0
Pebruari Mei Agustus Nopember dengan tinggi muka air di Danau Tempe.
Waktu Survei / Time of Survey Figure 3. Relationships between potential of fish
production and water level depth in Lake Tempe
Gambar 2. Hubungan nilai indek status trofik dengan
kedalaman air di Danau Tempe tahun 2010. Luas perairan Danau Tempe sangat tergantung pada
Figure 2. Relationships between trophic state index tinggi-rendahnya level air danau. Dalam kondisi normal,
and water depth in Lake Tempe in 2010. luas perairan danau berkisar antara 15.000-20.000 hektar
(Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008).
Besarnya potensi produksi ikan dengan menggunakan Berdasarkan luas perairan danau sebagaimana tersebut
MEI berkaitan erat dengan besarnya nilai Daya Hantar diatas, maka potensi produksi ikan di Danau Tempe dalam
Listrik (DHL). Besaran nilai DHL memberikan gambaran kondisi normal berkisar antara 95,19 kg/ha/tahun x 15.000
pada besarnya kandungan unsur-unsur kation dan anion ha = 1427,91 ton/tahun (1428 ton/tahun) sampai dengan
yang larut dalam perairan. Unsur-unsur kation dan anion 95,194 kg/ha/tahun x 20.000 ha = 1903,88 ton/tahun (1904
tersebut merupakan unsur hara untuk pertumbuhan ton/tahun).
produser (fitoplankton dan tumbuhan air) yang dalam
sistem rantai makanan dimanfaatkan oleh ikan (konsumer). KESIMPULAN
Tingginya nilai DHL akan membuat nilai MEI juga tinggi
sehingga potensi produksi ikan di perairan bersangkutan 1. Kualitas air Danau Tempe pada umumnya mendukung
akan tinggi. Demikian fenomena yang terjadi pada perairan kehidupan dan perkembangbiakan ikan dan organisme
Danau Tempe. Pada Gambar 3, nilai potensi produksi ikan air lainnya.
tinggi pada saat tinggi muka air rendah, hal ini disebabkan 2. Perairan Danau Tempe tergolong perairan yang
karena nilai MEI yang merefleksikan kandungan mineral / mempunyai tingkat kesuburan eutrofik ringan dengan
unsur hara nilainya tinggi dalam perairan. Unsur hara nilai Trophic Status Index (TSI) rata-rata antara 55,3-59,8.
tersebut merupakan elemen yang sangat diperlukan oleh 3. Nilai potensi produksi ikan di Danau Tempe berkisar
antara 69,09-147,69 kg/ha/tahun dengan nilai rata-rata

128
Samuel, et al. / BAWAL Vol. 4 (2) Agustus 2012 : 121-129

95,19 kg/ha/tahun dan secara alami termasuk dalam Liaw. W.K. 1969. Chemical and biological studies of fish
katagori sedang. ponds and reservoirs in Taiwan. Reprinted from
Chinese-American Joint Commission on Rural
PERSANTUNAN Reconstruction Fish. Series : (7) : 43.

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Makmur, S., Samuel, P.R. Pongmasak, A. Farid, V.
riset kajian stok sumberdaya ikan di Danau Tempe, Adiansyah, S. Selamet, T. Hifni & Burnawi. 2010. Kajian
Sulawesi Selatan, T. A. 2010, di Balai Penelitian Perikanan Stok Sumberdaya Perikanan di Perairan Danau Tempe
Perairan Umum Palembang. Sulawesi Selatan. Laporan Teknis Balai Riset
Perikanan Perairan Umum, Palembang. 49 p.
DAFTAR PUSTAKA
Moreau. J. & S. S. De Silva. 1991. Predictive fish yield
Anonimous. 2003. Masalah, kendala, dan rencana models for lakes and reservoirs of the Philippines. Sri
pengelolaan dan konservasi Danau Tempe, Sulawesi Langka and Thailand. FAO Fiheries Technical Paper
Selatan. Balai Besar Wilayah Sungai Walanae- (319).Food and Agriculture Organization of The United
Cenranae. 24 p. Nations.Rome. 42 p.

Anonimous. 2008. Danau Tempe. http://id.wikipedia.org/ NTAC. 1968. Water Quality Criteria. FWPAC.
wiki/ Danau Tempe/12 Desmber 2010. Washington DC. 234 p.

Anonimous. 1990. Peraturan Pemerintah No. 20, tahun OECD. 1982. Eutrophication of waters. Monitoring.
1990, tentang : Pengendalian Pencemaran Air. 30 p. assessment and control. OECD. Paris. 154 p.

APHA. 1981. Standart Method for the Examination of Pescod, M. B. 1973. Investigation of rational and effluent
Water and Wastewater. 15th Edition. American Public and stream standards for tropical countries. AIT,
Health Association. Washington. D.C. 1134 p. Bangkok. 59 p.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Pratiwi, N.T.M., M. Krisanti & P. Suwignyo. 2009. Kondisi
University of Auburn. Birmingham, Alabama. 482 p. dan permasalahan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan.
Prosiding Forum Perairan Umum Daratan VI. Balai
Goldman. C.H. & A. J. Horne. 1983. Limnology. McGraw- Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang, p. 63-70.
Hill Book Company, New York, San Fransisco, Toronto,
Sydney, Tokyo. 464 p. Swingle, H.S. 1968. Standardization of chemical analyses
for waters and pond muds. In : Proceedings of the
Jorgensen. S.E. 1980. Lake Management. Water World Symposium on Warm Water Pond Fish Culture.
Development. Supply and Management. Pergamon FAO Fisheries Report. 44 (4) : 397-421.
Press. Oxford- New York- Toronto- Sydney- Paris-
Frankfurt. 167 p. Tjahyo, D. W. H., Husnah, D. Oktaviani, A.S. Nastiti, S.E.
Purnamaningtyas, & D. Nugroho. 2005. Riset
Kartamihardja. E.S. 1987. Potensi produksi dan keanekaragaman hayati ikan perairan pedalaman di
pengelolaan perikanan di Danau Toba. Sumatera Utara. Sulawesi. Di Presentasikan pada Pertemuan Pakar
Bulletin Penelitian Perikanan Darat, 6 (1) : 65-77. Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. 85 p.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman
Pengelolaan Ekosistem Danau. Kementerian Negara Wardoyo, S.T. H. 1979. Kriteria kualitas air untuk keperluan
Lingkungan Hidup. Deputi Bidang Peningkatan pertanian dan perikanan. Bahan Training Analisa
Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Dampak Lingkungan, PUSDI-PSL, IPB, Bogor. 35 p.
Kerusakan Lingkungan. Jakarta. Indonesia. 118 p.

129
BAWAL
WIDYARISETPERIKANANTANGKAP
Pedoman bagi Penulis

UMUM

1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang natural history ikan (pemijahan, pertumbuhan
serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan.
2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah
dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja.
3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak
umum
4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan),
kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya.
Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan
Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
drprpt2009@gmail.com.
5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan.

PENYIAPAN NASKAH

1. Judul : Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama
penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama.
2. Abstrak : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas
serta mewakili isi naskah.
3. Kata Kunci : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak
dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs.
4. Pendahuluan : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan
menggunakan sub bab.
5. Bahan dan Metode : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga
memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait.
6. Hasil dan Bahasan : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau
permasalahan yang terkait dengan judul.
7. Kesimpulan : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil
penelitian.
8. Persantunan : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah.
9. Daftar Pustaka : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut.
Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku
atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.

Contoh : Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di
Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind.
13 (3). 1-14.
Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company.
New York. 318 p.
Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with
emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries
Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24.
Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum
di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja,
D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia
Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192.
Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut:
Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes:
Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.

10. Tabel : Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan.
11. Gambar : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan
gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan
Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital.
13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari
seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai