April 2012
ISSN: 2089-7790
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Penerbit
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan)
Editor Pelaksana
: Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi)
Sekretaris Editor
: Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika)
Anggota Dewan Editor :
Prof. Dr. Adlim, M.Sc
(Kimia Lingkungan)
Prof. Dr. Syamsul Rizal
(Fisika Perairan)
Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si
(Ekologi Perairan)
Dr. Indra, M.Si
(Manejemen Pesisir & Kelautan)
Dr. Edi Rudi, M.Si
(Biologi Laut)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan)
Farok Afero, Ph.D
(Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan)
Teknisi IT/Web Master
Sirkulasi dan Dokumentasi
: Achmad Muhadjier
: Muhammad Saumi, A.Md
Alamat Redaksi:
Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : jurnaldepik@yahoo.co.id Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DEPIK
JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN
VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2012
ISSN: 2089-7790
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang
tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh
Mulfizar, Zainal A. Muchlisin, Irma Dewiyanti
1-9
10-21
Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan
bandeng, Chanos-chanos
Sofyatuddin Karina, Rizwan, Khairunnisak
22-25
26-30
31-36
37-44
45-52
53-60
61-67
68-77
78-85
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Abstract. The study of the lenght weight relationships and condition factors of
the brackiswater fishes found in Kuala Gigeng was conducted. The objective of
the present study was to evaluate the growth pattens and condition factor of the
belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) and petek (Leiognathus
fasciatus). The sampling was conducted for eight time on July 2011 by using
gillnet and castnet. The results showed that the belanak (M. cephalus) and
seriding (A. koopsii) have allometric negative growth patten, while the petek
(L. fasciatus) has an allometric positive. In addition, the relative weight
condition factors was higher than 100. And the Fultons condition factor were
not different significantly among fishes. Indicating the condition of the Kuala
Gigeng is relatively in good condition and support fish growth as well.
Keywords: Allometric, Fultons condition factor, fish relative weight,
morphology
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang hubungan panjang-berat dan faktor
kondisi ikan yang ditemukan di muara Kuala Gigeng. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan belanak (Mugil
cephalus), seriding (Ambassis koopsii) dan petek (Leiognathus fasciatus).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak delapan kali pada bulan Juli 2011 dengan
menggunakan jaring insang dan jala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan
belanak (M. cephalus) dan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. sementara petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan
allometrik positif. Selain itu, faktor kondisi berat relatif lebih tinggi dari
100. Dan faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda nyata. Kondisi
muara Kuala Gigeng mengindikasikan secara relatif dalam keadaan baik dan
mendukung pertumbuhan ikan.
Kata kunci : Allometrik, faktor kondisi Fulton, berat relatif ikan, morfologi
Pendahuluan
Perairan Kuala Gigieng terletak di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh,
perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan
sungai. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis hidup di perairan ini dan
sering ditangkap oleh nelayan setempat antara lain ikan belanak (Mugil
cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus). Ikan-ikan ini diperjual-belikan oleh nelayan setempat dan merupakan
ikan-ikan yang dominan tertangkap di Kuala Gigeng. Namun demikian penelitian
tentang aspek biologi ikan-ikan tersebut belum pernah dikaji, termasuk aspek
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi di perairan esuaria yang terdapat di
Aceh. Informasi
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan penting
1
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
diketahui dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan ini. Hal ini
mengingat intensitas aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat
dan ancaman gangguan terhadap kondisi perairan baik yang disebabkan oleh alam
misalnya pemanasan global maupun aktifitas manusia misalnya penangkapan ikan
secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Dalam biologi perikanan, hubungan panjangberat ikan merupakan salah satu
informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya
perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikanikan
yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam
Merta, 1993). Lebih lanjut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa
pengukuran panjangberat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompokkelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjangberat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu
(Everhart & Youngs, 1981).
Kajian hubungan panjang-berat ikan telah banyak dilakukan oleh para
peneliti, diantaranya; ikan layang (Decapterus ruselli) dari perairan sekitar
Teluk Likupang, Sulawesi Utara (Manik, 2009), ikan sebelah (Psettodes erumel) di
perairan Jepara (Redjeki, 2003), beberapa jenis ikan asli Danau Sentani, Papua
(Umar & Lismining, 2006), ikan kerapu (Serranidae) diperairan Berau, Kalimantan
Timur (Nuraini, 2007). Salah satu kajian tentang hubungan panjang-berat ikan
yang hidup di perairan Aceh yang pernah dilaporkan adalah dua jenis ikan air
tawar yang hidup di Danau Laut Tawar Rasbora tawarensis dan Poropuntius
tawarensis (Muchlisin, 2010a). Namun kajian terhadap spesies ikan yang lain
terutama yang hidup di perairan estuaria dan laut Aceh belum pernah dilaporkan,
oleh karena itu penelitian ini penting sebagai upaya penyedia data awal tentang
kondisi ikan di perairan estuaria khususnya di Kuala Gigeng.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan
faktor kondisi ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii)
dan
ikan
petek
(Leiognathus
fasciatus)
sehingga
dapat
diketehui
pola
pertumbuhannya masing-masing.
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Gambar
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Faktor kondisi
Ikan belanak (M. cephalus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K)
berkisar 1.74 sampai 3.07 (rata-rata 2.510.22) dan berat relatif (Wr) berkisar
48.76 g sampai 195.41 g (rata-rata 103.1815.2 g). Ikan petek (L. fasciatus)
memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 0.96 sampai 3.29 (rata-rata
2.360.53) dan berat relatif (Wr) berkisar 55.06 g sampai 158.56 g (rata-rata
104.59 19.34). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki nilai faktor
kondisi Fulton (K) berkisar 1.29 sampai 2.88 (rata-rata 2.260.19) dan berat
relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41g (rata-rata 103.5117.46 g).
Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat yang diamati (observed weight)
lebih rendah berbanding berat yang diprediksi (predicted weight), ini
mengindikasikan kondisi perairan kurang baik untuk mendukung pertumbuhan. Namun
nilai faktor kondisi memberikan nilai rata-rata diatas 100. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator
rendah disini, ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air
tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan
kondisi yang menekan bagi sebagian besar organisme, tetapi bagi organisme yang
dapat menyesuaikan diri akan dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dan
kondisi ini juga dapat menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak
menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. FAO (1983) juga menyatakan
bahwa predator yang pada umumnya ditemukan di wilayah muara adalah spesies
reptilia seperti ular dan biawak, namun di Asia jumlah spesies reptilia yang
ditemukan sedikit.
Variasi pasokan pakan yang terjadi antar musim dapat mengubah faktor
kondisi musiman (Offem et al., 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Anderson & Neumann, 1996) nilai berat relatif (Wr) berada dibawah 100 bagi
suatu individu ataupun populasi menunjukkan adanya masalah seperti rendahnya
ketersediaan mangsa atau tingginya kepadatan suatu predator. Sedangkan apabila
nilai berat relatif (Wr) berada di atas 100 hal ini menunjukkan kelebihan
ketersediaan suatu mangsa atau rendahnya kepadatan suatu predator. Selain
ketersediaan pakan atau pemangsa, faktor biotik, abiotik dan manajemen
perikanan juga dapat mempengaruhi berbagai faktor kondisi (Murphy et al., 1991;
Blackwell et al., 2000).
Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum,
produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter,2007; Blackwell
et al., 2000). Faktor kondisi ini mencerminkan karakteristik morfologi tubuh,
kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan (Bister et al., 2000; Rypel & Richter,
2008; Froese, 2006; Stevenson & Woods, 2006). Secara umum nilai faktor kondisi
ketiga jenis ikan yang diteliti tidak berbeda. Namun, nilai faktor kondisi yang
di peroleh ikan belanak lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lain. Ikan
dengan faktor kondisi yang lebih tinggi diharapkan akan memiliki fekunditas
lebih tinggi daripada ikan dengan faktor kondisi lebih rendah (Baltz & Moyle,
1982). Ini sesuai dengan Sulistiono et al., (2001) yang menyatakan ikan belanak
termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi, hal
ini merupakan daya adaptasi ikan tersebut untuk mempertahankan populasinya di
alam.
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Tabel 1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan belanak, petek dan seriding
Parameters
Ikan belanak
(Mugil cephalus)
(n=98)
Ikan
petek
fasciatus)
(n=100)
68.23-150.84
(98.57 12.61)
54.34-127.34
(82.46 17.82)
68.85-95.79
(82.06 4.99)
Berat (W) gr
(rata-rata SD)
4-31
(12.34 4.74)
2-33
(10.03 6.63)
3-14
(7.12 1.51)
Berat
(Ws)
12 4.55
9.666.40
6.880.84
48.76-195.41
(103.1815.20)
55.06-158.56
(104.5919.34)
48.76-195.41
(103.5117.46)
1.74-3.07
(2.510.22)
0.96-3.29
(2.360.53)
1.29-2.88
(2.260.19)
0.860
0.930
0.352
Indek
(r)
0.927
0.964
0.593
2.81
3.18
2.00
yang
diprediksikan
Nilai b
koefesien
(K)
korelasi
(Leiognathus
Ikan
seriding
koopsii)
(n=97)
(Ambasis
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
(d)
(d)
(e)
(f)(f)
Gambar 2. Hubunganpanjang berat (a) ikan belanak (Mugil cephalus) n=98, (b) ikan petek (Leioghnathus
fasciatus) n=100 dan (c) ikan seriding (Ambassis koopsii) n=97. Perbandingan hubungan panjang-berat yang
diamati dan prediksi (d) ikan belanak (Mugil cephalus) (e) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) dan (f) ikan
seriding (Ambassis koopsii).
Kesimpulan
Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan bervariasi, ikan petek (Leiognathus
fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan belanak
(Mugil cephalus) dan ikan seriding (Ambasis koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng
merupakan perairan yang lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Faktor
kondisi ketiga jenis ikan berdasarkan nilai berat relatif (Wr) berada diatas 100,
menunjukkan ketersediaan makanan mencukupi atau kepadatan predator rendah. Nilai
faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda, ini mengindikasikan kondisi
perairan relatif baik dan mendukung pertumbuhan ikan belanak (Mugil cephalus),
ikan seriding (Ambasis koopsii) dan ikan petek (L. fasciatus).
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka
Anderson, R.O., R.M. Newmann. 1996. Length weight and associated structural
indices. In: Fisheries techniques, 2nd edition. B.R.Murphy and D.W. Willis
(eds). American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. pp 447-481.
Baltz, O.M,
P.B. Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch
(Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Environmental
Biology of Fish, 7: 227-242.
Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status and
current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries
Science, 8: 1-44.
Bister, T.J., D.W. Willis, M.L. Brown, S.M. Jordan, R.M. Neumann, M.C. Quist,
C.S. Guy. 2000. Proposed standard weight (Ws) equations and standard length
categories for 18 warmwater nongame andriverine fish species. North American
Journal of Fisheries Management. 20:570-574.
De Robert, A., K. William. 2008. Weight-legth relationship in fisheries studies:
the standard allometric model should be applied with caution. Transaction of
the American Fisheries Society, 137: 707-719.
Djadja, S.S.,
Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leioghnathus
splendens cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi
Indonesia. 1(1): 13-17.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Everhart, W.H.,
W.D. Youngs. 1981. Principles of fishery Science. 2nd Edition
Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press,
London.
FAO. 1983. Management and Utilization of Mangroves in Asia Pasific. FAO
Environmental Paper 3, FAO, Rome.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship:
history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology,
22: 241-253.
Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell
Sciences, Oxford.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus
ruselli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah
Oseanologi dan Limnologi, 35(1): 65-74.
Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan lemuru,
Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian
Perairan Laut, 73 : 35 - 44.
Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010a. Length-weight relationships
and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and
Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 949-953.
Muchlisin, Z.A. 2010b. Diversity of freswater fishes in Aceh Province, Indonesia
with emphasis on several biological aspects of the Depik (Rasbora tawarensis)
an endemic Species in Lake Laut Tawar. Disertasi Ph.D Universiti Sains
Malaysia, Penang.
Murphy, B.R., M.L. Brown, T.A. Springer. 1990. The relative weight (Wr) index in
fisheries management: status and needs. Fisheries, 16(2): 30-38.
Nuraini, S. 2007. Jenis ikan kerapu (Serranidae) dan hubungan panjang berat di
Perairan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7(2): 61-70.
Offem, B.O., Y. Akegbejo-Samsons, I.T. Omoniyi. 2007. Biologicalassessment of
Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae: Linne:1958) in a tropical floodplain
river. African Journal of Biotechnology, 6(16): 1966-1971.
Okgerman, H. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition factor of
Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International Journal of
Zoological Research, 1(1): 6-10.
Redjeki, S. 2003. Faktor kondisi dan hubungan panjang berat ikan sebelah
(Psettodes erumel) di Perairan Jepara.
Laporan Penelitian
Universitas
Diponegoro, Semarang.
Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries
Management, 27: 936-939.
8
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation for
the Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28:
1843-1846.
Sani, R., B. K. Gupta, U. K. Sarkar, A. Pandey, V. K. Dubey, W. S. Lakra. 2010.
Lengthweight relationships of 14 Indian freshwater fish species from the
Betwa (Yamuna River tributary) and Gomti (Ganga River tributary) rivers.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 456-459.
Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis of
length-weight
relationship
of
Rasbora
sumatrana
in
relation
to
the
physicochemical characteristic in different geographical areas in peninsular
Malaysia. Malaysian Applied Biology, 37(1): 21-29.
Stevenson R.D., W.A. Woods. 2006. Condition indices for conservation: new uses for
evolving tools. Integrative and Comparative Biology, 46:1169-1190.
Sulistiono, M. Arwani, K.A. Aziz. 2001. Pertumbuhan ikan belanak Mugil dussumieri
diperairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 1(2): 3947.
Umar, C., Lismining. 2006. Analisis hubungan panjang berat beberapa jenis ikan
asli Danau Sentani Papua. Abstrak Seminar Nasional Ikan IV,
8-9 Juni 2010,
Bogor.
Abstract. This study presents an economic analysis of tiger and humpback grouper
at different production scales in Indonesia. The results highlight the nonviability of small scale tiger grouper, with a 5 years projected negative
cumulative cash flow of Rp. 18.102.650 and a negative net present value (NPV)
of Rp. 22.059.576. An increasing production scale of tiger grouper highlight a
marginal viability for medium scale (with a 5 year projected cumulative cash
flow of Rp. 198.320.673 and a positive NPV of Rp. 105.578.440; with a benefit
cost ratio of 1,25; an internal rate of return (IRR) of 88%; and a payback
period of 0,99 year), and an economically viable of large scale cage culture
(with a 5 year projected cumulative cash of Rp. 707.746.923; a NPV of Rp.
406.801.749; a benefit cost ratio of 1,33;an internal rate of return of 157%;
and a payback period of 0,57 year). The economic analysis of humpback grouper at
different production scales highlight positive cumulative cash, a positive NPV,
a benefit cost ratio higher than 2, an internal rate of return over 300% and a
payback period of less than one year. A sensitivity analysis revealed that
increased survival rate up to 80% would increase cumulative cash and NPV of
small scale tiger grouper cage culture. Additionally, improved profitability
performance was associated with decreased major production costs, increased
production and price of the product.
Keywords: Tiger grouper, Humpback grouper, Production scale, profitability
Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi budidaya kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya
kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas
kumulatif negatif
sebesar Rp. 18.102.650 dan NPV negatif Rp. 22.059.576.
Peningkatan skala produksi (skala menengah) meningkatan keuntungan (proyeksi
aliran kas kumulatif selama 5 tahun sebesar Rp. 198.320.673,
NPV sebesar Rp.
105.578.440, B/C 1,25; IRR 88%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,99
tahun), sedangkan untuk skala besar (dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan kas
kumulatif sebesar Rp. 707.746.923; NPV sebesar Rp. 406.801.749, B/C 1,33; IRR
157%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,57 tahun). Analisis ekonomi
kerapu bebek pada skala produksi yang berbeda menunjukkan kas kumulatif positif,
NPV positif, ratio manfaat-biaya (B/C) lebih tinggi dari 2, IRR lebih dari 300%
dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa sintasan kehidupan lebih 80% akan meningkatkan
kas kumulatif dan NPV pada budidaya kerapu macan skala kecil.
Selain itu,
peningkatan
profitabilitas
berkaitan
dengan
penurunan
biaya
produksi,
peningkatan produksi dan harga produk.
Kata kunci: Kerapu macan, Kerapu bebek, skala produksi, profitabilitas.
10
Pendahuluan
Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan
Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000
ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy
et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton
total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu
budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi
makanan ikan laut (FAO, 2003).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari
13.000 pulau, sekitar 75% (5,8 mill km persegi) dari total luas ditutupi oleh
laut. Memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan
area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar
890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu, dimana produksi ikan kerapu
budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton,
meningkat menjadi 6.493 ton pada
tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di
Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua
dan terkonsentrasi di beberapa
provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali,
Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau,
Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005 masing-masing sebesar 4.496 ton,
388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen
penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun
baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu.
Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unit pembenihan memproduksi benih
kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa
3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10 cm dihasilkan oleh balai
benih ikan di Indonesia pada tahun 2002.
Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah
pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan
bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi
usaha budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Harga beli benih kerapu macan dan
bebek masing-masing berkisar Rp. 600-700/cm dan Rp.1000-1200/cm. Biaya benih
adalah biaya terbesar dan mencapai 36,5% dan 36,72% dari total biaya produksi
untuk budidaya kerapu macan dan kerapu bebek
secara berurutan (DKP, 2001).
Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya
produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi.
Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia
adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.),
layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya
terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al.,
2002).
Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja masingmasing menyumbang 18% dan 7% dari total biaya produksi budidaya kerapu macan dan
kerapu bebek. Budidaya kerapu membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk
memotong ikan rucah, penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air
tawar untuk mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang
efisien akan meningkatkan profitabilitas usaha.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan
usaha budidaya kerapu macan dan bebek serta memberikan informasi analisa ekonomi
untuk pelaku usaha tentang skala ekonomis budidaya kerapu. Diharapkan bahwa
hasil penelitian ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen
memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta
kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.
Padat tebar (m )
Kecil
Menengah
Besar
9,00
15,00
19.00
72,70
66,50
71.00
7,90
7,12
9,66
3,19
4,16
4,27
457,00
462,00
516,00
9,05
10,00
10,66
665,50
3.074,25
8.487.00
Kecil
Menengah
Besar
Padat tebar (m )
8,00
9,50
10,00
60,00
62,00
52,50
10,27
10,89
11,00
5,44
6,02
13,52
472,00
468,00
492,00
15,54
15,77
16,75
416,82
1.146,89
4.262,50
biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya
kedua terbesar (Tabel 4).
Kecil
Menengah
Besar
1.Biaya modal
Keramba
29.900.000
56.380.952
96.121.212
Peralatan
2.600.000
7.375.000
20.000.000
Perahu
1.500.000
3.000.000
3.000.000
34.000.000
66.755.952
119.121.212
Depresiasi
6.800.000
13.351.190
23.824.242
Pemeliharaan
1.730.000
3.325.000
5.950.000
Izin
1.370.000
2.550.000
4.350.000
9.900.000
24,7
19.226.190
15,6
34.124.242
Benih
11.380.000
28,4
41.525.000
33,8
154.000.000
42,1
Pakan
5.980.000
14,9
29.925.000
24,3
116.916.600
31,9
Buruh
10.200.000
25,5
24.825.000
20,2
48.783.000
13,3
510.000
1,3
3.200.000
2,6
4.666.713
1,3
1.290.000
3,2
2.600.000
2,1
5.566.000
1,5
790.000
2,0
1.662.500
1,4
1.916.660
0,5
30.150.000
75,3
103.737.500
40.000.000
122.850.000
365.965.573
59.500
57.500
65.000
39.597.250
176.769.375
551.655.000
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
9,3
Biaya variable
Vitamin
Solar
Lain-lain
84,4
331.848.973
90,7
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
Analisis indikator keuangan budidaya kerapu macan dan bebek pada skala
produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan
usaha skala kecil budidaya kerapu macan mengalami kerugian besar baik untuk
proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, dengan arus kas kumulatif Rp.
18.102.650 pada tahun ke 5. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV negatif
- Rp. 22.059.576 untuk jangka waktu 5 tahun (Tabel 5), mengindikasikan bahwa
investasi ditolak. Budidaya skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar
Rp. 198.320.673 dan NPV sebesar Rp. 105.578.440. Rasio manfaat-biaya (B/C)
sebesar 1,25 dan IRR sebesar 88% menunjukkan kalayakan usaha budidaya kerapu
macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923
dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Rasio manfaat-biaya (1,33), IRR (157%) dan
periode pengembalian (0,57 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi
menghasilkan kinerja ekonomi yang positif. Analisis keuangan budidaya kerapu
bebek pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan
proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826)
menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount
rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp.
13
Kecil
Menengah
Besar
1.Biaya modal
Keramba
Peralatan
14.100.000
39.200.000
131.500.000
2.000.000
7.000.000
15.000.000
1.000.000
2.500.000
5.000.000
17.100.000
48.700.000
151.500.000
3.420.000
9.740.000
30.300.000
Pemeliharaan
918.100
2.433.000
7.825.000
Izin
645.400
1.766.000
5.925.000
Perahu
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
Depresiasi
4.983.500
12,6
13.939.000
13,1
44.050.000
9,5
Benih
15.409.091
39,1
44.944.444
42,4
192.625.000
41,3
Pakan
5.672.727
14,4
20.000.000
18,9
129.900.000
27,9
Buruh
8.609.000
21,8
18.766.660
17,7
64.850.000
13,9
Vitamin
1.327.270
3,4
1.655.500
1,6
10.850.000
2,3
Solar
1.563.630
4,0
3.888.800
3,7
13.775.000
3,0
1.863.000
4,7
2.888.000
2,7
10.000.000
2,1
92.143.404
86,9
Biaya variable
Lain-lain
Total biaya variabel
34.444.718
87,4
422.000.000
39.571.218
106.030.404
467.000.000
266.818
300.000
318.500
111.215.078
344.067.000
1.357.606.250
90,5
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
14
Sintasan kehidupan kerapu macan dan bebek pada skala berbeda masing-masing
75% dan 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian
terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy
& Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80%
selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA
di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro
(1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar
7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan
kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki
tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan
(Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti
pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu,
kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan
kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan
kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat
meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan
volume produksi.
-18.102.650 198.320.673
707.746.923
NPV
-22.059.576 105.578.440
406.801.749
B/C
0,84
1,25
1,33
IRR (%)
88%
157%
0,99
0,57
133.344.826 446.749.192
1.692.212.500
85.009.002 286.822.375
1.088.181.353
B/C
2,36
2,69
2,52
IRR (%)
361%
430%
506%
0,23
0,20
0,57
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kedua kerapu sangat tinggi pada
skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum
digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik
(pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan
diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada
ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali
lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al.,
(1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio
konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah,
Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991)
melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu
kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan
berkorelasi
langsung
dengan
FCR.
Peningkatan FCR secara positif
akan
meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR pada
budidaya kerapu macan dan bebek dalam skala besar masing-masing meningkat 1,34
15
dan 2,34 dibandingkan dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan
bahwa meningkatnya skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak
efisien, yang berarti bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak
dari produsen skala kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat
produsen skala besar kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen
pemberian pakan pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan
effesiensi pemberian ikan rucah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan
meningkatnya skala produksi (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat Shang
(1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala
produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan bebek adalah
benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya
produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi
kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua
kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah.
Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk
pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar
membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan
kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala
produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.
(a)
Fixed cost
Fry
Feed
Labor
45
Fixed cost
(b)
Fry
Feed
Labor
45
40
40
35
Production cost (% )
35
30
25
20
15
30
25
20
15
10
10
5
0
0
Small
Gambar 1.
Medium
Scale
Small
Large
Medium
Large
Scale
Biaya produksi kerapu macan (a) dan kerapu bebek (b) pada skala
produksi berbeda
17
Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Net present value (NPV)
Kecil
Menengah
Besar
47.854.657
231.250.002
580.453.076
1,34
1,54
+20%
-29.688.500
77.740.910
303.563.229
0,80
-20%
Biaya Pakan
-14.430.651
133.415.969
510.040.269
+20%
-26.068.448
85.517.318
-20%
-18.050.703
+20%
-20%
IRR (%)
Payback period
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
1,46
70
164
212
0.99
0,57
0,43
1,17
1,22
65
105
1,13
0,67
0,89
1,34
1,44
116
240
0,88
0,50
328.423.198
0,82
1,19
1,25
71
116
1,09
0,64
125.639.561
485.180.299
0,87
1,31
1,41
108
216
0,91
0,51
-28,897,452
88.936,256
374.098.601
0,80
1,20
1,29
74
138
1,07
0,60
-15.221.700
122.220.623
439.504.896
0,89
1,30
1,36
104
179
0,93
0,54
+20%
-1.667.266
194.038.999
681.597.789
0,99
1,46
1,55
143
246
0,65
0,37
-20%
-40.985.752
18.514.080
133.826.441
0,64
0,93
0,99
29
67
2,10
1,20
Rp. 70.000
-3.980.118
201.670.517
513.052.759
0,97
1,47
1,41
148
192
0,63
0,47
Rp. 50.000
-37.020.862
49.040.153
91.690.183
0,74
1,12
1,07
51
52
1,51
1,45
SR
80%
Biaya benih
Biaya Buruh
Produksi
Harga
18
Tabel 8. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu bebek dengan skala produksi berbeda
Net present value (NPV)
Kecil
Menengah
Besar
136.178.120
446.171.022
2.119.419.152
3,17
3,62
+20%
80.899.181
274.648.622
1.041.157.983
2,21
-20%
Biaya Pakan
89.083.257
298.519.515
1.143.464.973
+20%
83.484.770
281.511.175
-20%
86.497.669
+20%
-20%
IRR (%)
Payback period
Kecil
Menengah
Besar
Kecil
Menengah
Besar
3,96
580
668
1028
0,15
0,13
0,09
2,51
2,37
343
409
499
0,24
0,20
0,17
2,52
2,89
2,73
378
445
549
0,22
0,19
0,59
1.053.685.109
2,30
2,60
2,42
354
419
507
0,23
0,20
0,17
291.895.268
1.126.807.722
2,41
2,77
2,67
367
435
541
0,22
0,19
0,16
82.705.013
281.600.394
1.075.089.912
2,27
2,61
2,48
351
420
516
0,23
0,20
0,17
87.277.425
291.567.742
1.109.533.044
2,45
2,76
2,60
370
434
532
0,22
0,19
0,16
SR
80%
Biaya benih
Biaya Buruh
Produksi
+20%
112.239.289
372.970.826
1.435.615.828
2,73
3,13
2,97
477
557
692
0,18
0,16
0.13
-20%
57.743.149
200.197.310
749.007.129
1,96
2,21
2,08
246
299
359
0,31
0,27
0.23
Rp. 350.000
131.046.379
362.726.095
1.270.593.525
3,09
3,13
2,79
557
542
611
0,16
0,16
0,14
Rp. 250.000
75.701.019
210.442.041
704.618.775
2,21
2,24
1,99
321
314
337
0,25
0,26
0,24
Harga
19
Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini telah memberikan informasi penting tentang
kelayakan ekonomi budidaya kerapu macan dan bebek pada skala produksi yang
berbeda. Dalam hal kegiatan budidaya, kualitas benih perlu mendapat perhatian
karena tingkat sintasan kehidupan masih rendah selama periode pemeliharaan.
Produsen perlu memilih benih berkualitas tinggi untuk memastikan tingkat
sintasan kehidupan lebih tinggi. Rasio konversi pakan yang lebih besar pada
berbagai skala produksi terutama dalam skala besar sehingga manajemen pakan yang
lebih baik harus diterapkan untuk mengurangi limbah pakan selama siklus
pemeliharaan. Selanjutnya, penelitian ini juga menyoroti bahwa usaha kerapu
macan skala kecil tidak layak secara ekonomis tetapi peningkatan sintasan
kehidupan menjadi 80% dapat memberikan kontribusi positif pada skala ini. Usaha
menengah dan besar menghasilkan usaha yang ekonomis. Akhirnya, usaha kerapu
bebek menghasilkan pendapatan paling besar dibandingkan kerapu macan karena
perbedaan pada harga pasar.
Daftar Pustaka
Chou, R., F.J. Wong. 1985. Preliminary observation on the growth and dietary
performance of grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in floating net
cages and fed dry pelleted diet from autofeeds. Singapore J. Primary Ind.,
13: 84-91.
DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut
Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia, Jakarta.
DKP. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.
DKP. 2007. Aplikasi Best management practices pada budidaya intensif udang windu
(Penaeus monodon Fabricius). Balai Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.
Dwijanti, R. 2004. Analisa kelayakan proyek budidaya udang windu Tiger prawn
(Penaeus monodon L.) dala rangka pengembangan wilayah pessisir kabupaten
Purworejo. Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
FAO. 2003. FISHSTAT Plus 2.3. www. Fao.org/fi/statis/fispft/fishplus.asp/. Cited
January 2009.
Kawahara, S., S. Ismi. 2003. Grouper seed production statistics in Indonesia
1999-2002. Research Institute for marine aquaculture-Gondol in cooperation
with institute for the Lampung marine aquaculture development and the
Situbondo brackish water aquaculture development, Department of Marine
Affairs and Fisheries, Indonesia.
Leong, T. S. 1997. Management of marine finfish disease in Malaysia. Paper
presented at a Seminar on Sustainable Development of Mariculture Industry
in Malaysia, 30-31 July, 1997, Kuala Lumpur, Malaysia.
Manadiyanto, N. Zahri, A.H. Purnomo, S.A. Pranowo, Azizi, A. Tajerin. 2002.
Pengembangan model budidaya kerapu di Batam Riau. Pusat Riset Sosial
Ekonomi dan Produk Olahan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Marte, C.L. 2003. Larviculture of marine species in Southeast Asia: current
research and industry prospect. Aquaculture, 227: 293-304.
Pomeroy, R.S., R. Agbayani, M. Duray, J. Toledo, G. Quinitio. 2004. The
financial feasibility of small scale grouper aquaculture in the
Philippines. Aquaculture Economics and Management, 8: 61-83.
Pomeroy, R.S., J.E. Parks, C.M. Balboa. 2006. Farming the reef: is aquaculture a
solution for reducing fishing pressure on coral reef? Marine Policy, 30:
111-130.
Sadovy, Y. 2000. Regional survey for fry/fingerling supply and current practices
for grouper mariculture: evaluating current status and long-term prospects
for grouper mariculture in South East Asia. Final report to the
Collaboration APEC grouper research and development network (FWG 01/99).
December, 2000.
Sadovy, Y.J., P.P.F. Lau. 2002. Prospect and problems for marine culture in Hong
Kong. Aquaculture Economic and Management, 6 (3/4): 177-190.
20
Sadovy, Y.J., T.J. Donaldson, T.R Graham, F. McGilvray, G.J. Muldoon, M.J.
Phillipps, M.A. Rimmer, A. Smith, B. Yeeting. 2003. While stock last: the
live reed food fish trade. ADB Pacific Studies Series. Asian Development
Bank. Manila.
Shang, Y.C. 1990. Aquaculture economic analysis: An introduction. World
Aquaculture Society, Baton Rouge, LA.
Sheriff, N. 2004. Fisher livelihoods in southern Thailand: sustainability and
the role of grouper culture. Stirling University, UK.
Sih, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J.
Phillips. 2005. A Practical guide to feeds and feed management for
cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand.
Sih, S.Y. 2006. Grouper aquaculture in three Asian countries: farming and
economic aspect. Deakin University, Australia.
Sugama, K. 2003.
Indonesia focuses on groupers. Asia Aquaculture Magazine
September-October 2003.
Tacon, A.G.J., N. Rausin, , M. Kadari, P. Cornelis. 1991 The food and feeding of
tropical marine fishes in floating net cages: Asian seabasss, Lates
calcarifer (Bloch), and brown-spotted grouper, Epinephelis tauvina
(Forskal). Aquaculture and Fisheries Management, 22: 165-182.
Wu, R.S.S., K.S. Lam, C.W. Mackay, T.S. Lau, V. Yam. 1994 Impact of marine fish
farming on water quality and bottom sediment: a case study in the sub
tropical environment. Marine Environmental Research, 38: 115-145.
Yashiro, R., V. Vatanakul, P. Panichsuke. 1999. Status of grouper culture in
Thailand. pp. 27-35. In: Report of the APEC/NACA Cooperative Grouper
Aquaculture Workshop Hat Yai, Thaiand, 7-9 April 1999. Collaborative APEC
Grouper Research and Development Network (FWG 01/99). Network of
Aquaculture Centres in Asia Pacific, Bangkok, Thailand.
21
Pendahuluan
Permintaan hasil perikanan termasuk ikan bandeng (Chanos chanos) terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat
untuk mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani yang menyehatkan dan
murah. Untuk mengantisipasi permintaan yang semakin meningkat, maka perlu
dilakukan upaya peningkatan produksi, pelestarian dan pengembangan ikan
22
x 100%
Analisa data
Untuk mengetahui pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas
telur ikan bandeng (Chanos-chanos) digunakan analisis statistik one-way ANOVA
dan uji lanjut Duncan menggunakan SPSS software versi 12.0 untuk menentukan
perlakuan terbaik.
Salinit
Ulangan
Rata-rata
as
1
2
3
(ppt)
Mengapung
16
72
80
78
76,7a
23
79
83
74
78,7 a
91,7 b
30
89
95
91
Melayang
16
68
62
66
65,3 a
23
64
68
69
67,0 a
30
79
72
80
77,0 b
Tenggelam
16
51
59
52
54,0 a
23
56
52
58
55,3 a
30
62
66
67
65,0 b
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang nyata pada taraf 1%.
24
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data yang didapatkan selama
penelitian dapat disimpulkan bahwa daya tetas telur yang mengapung lebih
tinggi daripada telur yang tenggelam dan melayang pada semua tingkat
salinitas yang diuji, namun telur yang tenggelam masih memiliki peluang untuk
menetas. Daya tetas juga meningkat seiring dengan peningkatan salinitas.
25
Daftar Pustaka
Bobe,
J., C. Labb. 2010. Egg and sperm quality in fish. General and
Comparative Endocrinology, 165(3):535-548.
Chauduri, H., J.V. Juario, Jurgenne H. Primavera, R. Samson, R. Mateo. 1978.
Observations on artificial fertilization of eggs and the embryonic and
larval development of milkfish, Chanos-chanos (Forskal). Aquaculture,
13(2):95-113.
Kordi, H., M. Gufran. 2009. Sukses memproduksi bandeng super untuk umpan,
ekspor dan indukan. Lily Publisher, Yogyakarta.
Murtidjo, B. Agus. 2002. Budidaya dan pembenihan bandeng. Kasinius,
Yogyakarta.
Suseno. 1983. Suatu perbandingan antara pemijahan alami dengan pemijahan
stipping ikan mas (Cyprinus caprio. L) terhadap derajat fertilitas dan
penetasan telurnya. Tesis magister Fakultas Pasca Sarjana Perikanan.
UGM, Yogyakarta.
26
Pendahuluan
Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah moluska introduksi dari Amerika
Selatan (Musman, 2010), namun kemudian, keong mas menjadi hama utama tanaman
padi (Suripto, 2009) dengan memakan batang padi muda yang lunak (Reubee,
2010).
27
29
Kesimpulan
Pemberian ekstrak biji putat air kepada keong mas dan ikan lele lokal
berpengaruh terhadap mortalitas keong mas dan ikan lele lokal. LC50 ekstrak
biji putat air terhadap keong mas adalah 25,00 ppm dan LC50 ekstrak biji putat
air terhadap ikan lele lokal adalah 87,06 ppm berdasarkan uji TSK.
30
Daftar Pustaka
Clearwater, S.J., C.W. Hickey, M.L. Martin. 2008. Overview of Potential
Piscicides and Molluscicides for Controlling Aquatic Pest Species in New
Zealand. New Zealand. http://www.doc.govt.nz diakses pada tanggal 23
Oktober 2011.
Feng, H.T., T.C. Wang. 1984. Selectivity of insecticides to Plutella
xylostella (L) and Apanteles plutellae. Plan Prot. Bull., 26:275-284.
Francis, G., Z. Keren, H.P.S. Makkar, K. Becker. 2002. The Biological Action
of Saponins in Animal Systems: A Review. British Journal of Nutrition,
88:587-605.
Hamilton, M. A., R.C. Russo, R.V. Thurston. 1997. Trimmed Spearman-Karber
Method for Estimating Median Lethal Concentrations in Toxicity Bioassay.
Environmental Science and Technology, 11(7):714-719.
Musman, M. 2004. Pengaruh Ekstrak Metanol Buah Penteut (Barringtonia asiatica)
Terhadap Mortalitas Keong Mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Natural, 4
(2):99-11.
------. 2006. Laboratory and Field Evaluation of Molluscicide of Golden Snail
(Pomacea canaliculata). Jurnal Bionatural, 8(1):39-46.
------. 2009. The Potency of Penteut Ie (Achehnese Barringtonia racemosa (L.)
Spreng) as Molluscicide of Pomacea Species (Ampullariidae). In Abidin et
al. (eds.). Understanding Disaster and Environmental Issues with Science
and
Engineering
towards
Sustainable
Development.
Proceeding
The
International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009
(ICONES 09). Banda Aceh.
------. 2010. Toxicity of Barringtonia racemosa (L.) Kernel Extract on Pomacea
canaliculata (Ampullariidae). Tropical Life Science Research, 21(2):4150.
Niawati, S.T. 2007. Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai
Solusi
Alternatif
Pengendalian
Hama
Telur
Keong
Mas
(Pomacea
canaliculata
Lamark)
pada
Tanaman
Padi.
http://studentresearch.umm.ac.id/ diakses pada tanggal 12 April 2011.
Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt, R. Jamnadass, A. Simons. 2009. Barringtonia
racemosa (L.) Spreng Lecythidaceae, Agroforestry Database: a tree
reference
and
selection
guide
version
4.0.
http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ diakses pada tanggal 09
April 2011.
Reed, W., J. Burchard, A.J. Hopson, J. Jenness, L. Yaro. 1967. Fish and
Fisheries of Northern Nigeria publication. Ministry of Agriculture press
Northern Nigeria. Pp. 201-202.
Reubee, A.A. 2010. Keong Mas Serang 500 Hektare Sawah. Media Indonesia online.
http://www.mediaindonesia.com diakses pada tanggal 12 April 2011.
Rudiyanti, S., A.D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 g.
Jurnal Saintek Perikanan, 5(1):39-47.
Suripto. 2009. Selektivitas Anti Moluska Dari Tanaman Jayanti (Sesbania sesban
(L.) Merr.). Jurnal Biologi Tropis. 10(1):24-32.
Wada, T. 2004. Strategies for controlling the apple snail Pomacea canaliculata
(Lamarck) (Gastropoda : Ampulliariidae) in Japanese direct-sown paddy
fields. Japan Agricultural Research Quarterly, 38(2): 75-80.
31
Abstract. The objective of the present study was to evaluate the distribution
of sediments in the estuary of Kuala Gigieng. The study was done on Mei to
June 2011 and the sampling was conducted in three areas of estuary i.e. downestuarine, middle-estuarine and river section of Kuala Gigieng. The wet
sieving analysis method was used in this study. The data was then weighed and
the percentage was calculated and classified based on the Wentworth scale. The
results showed that (1) the mean grain size of sediment of each area was 0.50
mm, 0.65 mm and 0.56 mm and the characteristically, the sediment distribution
was consisted of medium sand 63.42%, fine sand 23.40%, coarse sand 5.59%, very
fine sand-mud 4.13% and pebble 0.17%. The currents speed were 0.25 m/s,
0.23 m/s and 0.19 m/s. The current speed has influenced the sediment
distribution where small grains were mostly found at higher current speed.
Key words: Estuary, currents and sediment distribution
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran sedimen yang ada di
daerah Kuala Gigieng, dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2011. Lokasi
sampling terbagi atas kawasan hilir, tengah dan hulu. Teknik yang digunakan
adalah analisis penyaringan dengan metode ayak basah yang menggunakan saringan
sedimen bertingkat dengan diameter
berbeda-beda (4,75 mm, 1,7 mm, 250 m,
850 m, 150 m). Dihitung persentase berat, nilai ukuran butir rata-rata serta
hubungan arus dengan ukuran butir rata-rata berdasarkan skala Wentworth. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai ukuran butir rata-rata di kawasan hilir
sebesar 0,50 mm, di kawasan tengah sebesar 0,65 mm, dan di kawasan hulu
sebesar 0.56 mm. Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir
pasir sedang (medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar
23,40%, pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%,
kerikil halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Nilai kecepatan arus
pada masing-masing kawasan adalah sebesar 0,25 m/detik, 0,23 m/detik dan 0,19
m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi sebaran sedimen, dimana butiran sedimen
yang lebih besar ditemukan pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang lebih
tinggi.
Kata kunci : Estuaria, arus dan sebaran sedimen
Pendahuluan
Muara mempunyai nilai penting sebagai alur penghubung antara laut dan
sungai, sehingga dapat digunakan sebagai alur pelayaran menuju ke daerah
pedalaman untuk mempercepat perkembangan daerah. Secara umum kawasan muara
juga mempunyai peran ekologis penting antara lain sebagai sumber zat hara dan
bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi arus harian dan pasang surut
(tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh
31
32
persen _ berat =
Dimana,
berat _ fraksi _ i
100%
berat _ total _ sampel
d =
dari
masing-masing
33
Stasiun
Kerakal
(>4,75
mm)
Lumpur
(<0,15mm)
(d)
Ukuran
butir
rata
rata
(mm)
0,63
3,49
69,39
23,07
3,43
0,50
0,13
1,47
2,91
69,23
22,59
3,69
0,52
1,47
1,56
67,98
25,83
3,65
0,48
Kawasan tengah
4
0,99
4,66
68,35
20,16
3,62
0,59
0,25
3,22
5,48
72,60
15,21
4,59
0,58
0,13
1,87
2,47
67,29
11,73
1,52
0,78
0,04
6,87
5,88
51,99
35,24
5,15
0,50
1,02
1,71
9,33
46,01
29,28
9,00
0,67
5,38
4,50
64,26
27,50
2,50
0,51
34
1
2
3
rata-rata
Mei I
Mei II
Juni I
Juni II
0,49
0,49
0,44
0,47
Kawasan hilir
0,63
0,59
0,54
0,58
0,54
0,57
0,52
0,55
0,33
0,43
0,42
0,40
0,47
0,60
0,83
0,63
0,83
0,63
0,77
0,74
0,66
0,74
0,58
0,66
0,42
0,61
0,42
0,48
Kawasan tengah
4
5
6
rata-rata
0,47
0,53
0,58
0,53
7
8
9
rata-rata
0,35
0,46
0,50
0,44
0,57
0,56
0,95
0,69
Kawasan hulu
0,56
0,85
0,55
0,65
Mei I
Mei II
Juni I
Juni II
Rata-rata
0,15
0,20
0,28
0,36
0,25
Kawasan
tengah
0,04
0,16
0,31
0,24
0,23
Kawasan hulu
0,07
0,15
0,31
0,23
0,19
35
Kesimpulan
Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir pasir sedang
(medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar 23,40%,
pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%, kerikil
halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Ukuran butir rata-rata pada
kawasan hilir adalah sebesar 0,50 mm sedangkan ukuran butir rata-rata di
bagian tengah dan di kawasan hulu masing-masing adalah sebesar 0,65 mm dan
0,56 mm. Kecepatan arus rata-rata tertinggi terdapat pada kawasan hilir yang
mencapai 0,25 m/s diikuti oleh kawasan tengah sebesar 0,23 m/detik dan kawasan
hulu sebesar 0,19 m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi distribusi sebaran
sedimen, dimana butiran sedimen yang lebih besar ditemukan pada daerah yang
memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi.
Daftar Pustaka
Darlan, Y. 1996. Geomorfologi Wilayah Pesisir. Aplikasi Untuk Penelitian
Wilayah Pantai. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung.
Dean, R.G., R.A. Dalrymple. 2004. Coastal Processes with Engineering
Application. Cambridge University. UK.
Dyer, K.R.1986. Coastal and Estuary Sediment Dynamic. John Willey & Sons. New
York.
Indarto. 1996. Geologi Lembar Blambangan, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung.
Koesoemadinata, R.P. 1980. Prinsip-Prinsip Sedimentasi. Departemen Teknik ITB.
Bandung.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan Ke-5. PT Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia,
Jakarta. Penerjemah: Eidman dkk. 459 Hal.
Poerbandono, E. Djunasjah. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung.
Sheppard, E.P. 1954. Nomenclature based on sand silt clay ratios. Journal of
Sediment and Petrology, 24(4): 151 - 158.
Wentworth, C.K. 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment.
Geology, 30: 337 392.
36
1*
, Nur Fadli2
Abstract. Herbivory reef fish is the most important of fish tropic group in
the coral reef ecosystem.Hence, the objective of this study was to provide
reliable data and information on herbivory reef fish based on management types
in the northern Acehnese reef. Underwater Visual Census Techniques was used to
collect the data at 20 sites around Weh Island and Aceh Besar. This study
found 32 herbivory reef fishes species from five families in northern Acehnese
reef. Densities of herbivory reef fish were varied from 27 to 104
ind./transect,while
species numbers were also varied from 6 to 14
species/site. Family Acanthuriidae was the highest in species number, i.e. 19
species. Densities of herbivory reef fish in sites that were protected under
the management authority of Sabang Weh Island were not significantly higher
compare with sites from open access areas.
Keywords: herbivory reef fish, coral reef, visual census technique, Aceh
Abstrak. Ikan karang herbivora adalah kelompok tropik yang penting di
ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh data dan informasi tentang ikan karang herbivora berdasarkan
bentuk-bentuk pengelolaan di perairan Aceh bagian utara. Teknik Visual Sensus
Bawah air digunakan untuk mengoleksi data di 20 stasiun sekitar Pulau Weh
Sabang dan Aceh Besar. Dari penelitian ini ditemukan 32 spesies dari tujuh
famili ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara.
Famili
Acanthuridae adalah yang paling banyak ditemukan dalam hal jumlah spesies.
Kepadatan ikan karang yang ditemukan berkisar antara 27 hingga 104
individu/transek, sedangkan jumlah spesies berkisar antara 6 hingga 14
spesies/stasiun.
Kelimpahan ikan karang herbivora di stasiun-stasiun
penelitian yang memiliki autoritas pengelolaan (daerah dikelola) terlihat
tidak berbeda nyata dengan stasiun-stasiun yang merupakan daerah terbuka.
Kata kunci : Ikan karang herbivora, terumbu karang, teknik sensus visual, Aceh
Pendahuluan
Terumbu karang di wilayah perairan Aceh bagian utara terkenal memiliki
terumbu karang yang baik dan menjadi objek wisata serta sumber perikanan bagi
nelayan setempat (Baird et al., 2005). Habitat terumbu karang dan fauna dan
flora yang berasosiasi dengannya memberikan fungsi dan pelayanan yang penting
bagi penduduk di sekitarnya. Bencana tsunami tahun 2004 lalu tidak memberikan
dampak kerusakan yang berarti terhadap kondisi terumbu karang di kawasan ini
(Brown, 2005). Secara umum kondisi terumbu karang di perairan Aceh bagian
utara berkisar dari tingkatan buruk hingga baik (Baird et al., 2005; Campbell
et al., 2005; Rudi, 2005; Ardiwijaya et al., 2007). Kerusakan terumbu karang
yang terjadi sebelum tsunami disebabkan penangkapan ikan yang berlebihan dan
dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan (Baird et al., 2005).
Untuk
meningkatkan pengelolaan dan menghindari adanya kerusakan akibat illegal
fishing maka diperlukan strategi pengelolaan melalui penyediaan data,
pendidikan dan pembentukan daerah perlindungan laut. Wantiez et al. (1997) dan
Aswani et al. (2007) menyatakan bahwa kekayaan spesies dan biomassa ikan
37
Taksa (Famili/Spesies)
1
I.
1
2
Acanthurus
auranticavus
5
6
Acanthurus lineatus
Acanthurus maculiceps
Acanthurus mata
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Acanthuridae
Acanthurus nobilis
Acanthurus
grammoptilus
Acanthurus
leucocheilus
Acanthurus
leucosternon
Acanthurus nigroris
10
Acanthurus triostegus
11
Acanthurus tristis
12
Ctenochaetus striatus
13
C.
14
Naso vlamingii
15
Naso sp.
16
Naso annulatus
cyanocheilus
17
Naso caesius
18
Zebrasoma rostratum
19
Zebrasoma scopas
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
II. Ephippidae
20
Platax teira
III. Kyphosidae
21
Kyphosus bigibbus
22
Kyphosus vaigiensis
+
+
III. Scaridae
+
23
Chlorurus bleekeri
24
Chlorurus sordidus
25
Chlorurus troschelli
26
Scarus frenatus
27
Scarus ghobban
28
Scarus niger
29
Scarus schlegeli
30
Scarus altifinnis
31
Scarus tricolor
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
V. Siganidae
32
Siganus sp.
39
Gambar 1. Stasiun penelitian di Pulau Weh (Stasiun No. 1 17) dan Aceh
Besar(1820). 1. Ujung Seurawan (dikelola/taman laut), 2. Rubiah Timur
(dikelola/taman laut dan wisata), 3. Rubiah Channel (dikelola/taman laut dan
wisata), 4. Pulau Klah (open access), 5. Gapang(open access), 6. Batee
Meurunon (dikelola/taman laut), 7. Lhok Weng(open access), 8. Benteng
(dikelola/panglima laot dan wisata), 9. Anoi Itam (dikelola/panglima laot
dan wisata) 10. Jaboi (open access,11. Sumur Tiga (dikelola/panglima laot
dan wisata), 12. Ujung Kareung (dikelola/panglima laot), 13. Reteuk
(dikelola/panglima laot), 14. Lheung Angen 2 (open access), 15. Lheung Angen
1(open access), 16. Seulako Timur (dikelola/taman laut dan wisata), 17.
Seulako Barat (dikelola/taman laut dan wisata), 18. Lhok Me (open
access),19. Aramayang (open access), 20. Ujung Pancu (open access)
Gambar 2. Enam dari 32 spesies ikan herbivora di terumbu karang Aceh bagian
utara: searah jarum jam dari kiri atas: Acanthurus tristis, A. leucosternon,
Zebrasoma scopas, Siganus javus, Naso elegans dan Chlorurus sordidus
40
80
(ind./transek)
100
60
40
20
Ujung Pancu
Lhok Me
Aramayang
Seulako Barat
Seulako Timur
Lheung Angen 1
Reteuk
Lheung Angen 2
Ujung Karenung
Jaboi
Sumur Tiga
Benteng
Anoi Itam
Lhok Weng
Gapang
Batee Meuronon
Pulau Klah
Rubiah Timur
Rubiah Channel
Ujung Seurawan
Stasiun Pengamatan
14
12
10
8
6
4
2
0
Gambar 4.
Aramayang
Ujung Pancu
Lhok Me
Seulako Barat
Seulako Timur
Lheung Angen 1
Lheung Angen 2
Reteuk
Sumur Tiga
Ujung Karenung
Jaboi
Anoi Itam
Benteng
Lhok Weng
Batee Meuronon
Gapang
Pulau Klah
Rubiah Channel
Rubiah Timur
Ujung Seurawan
Stasiun Pengamatan
Percent Cover
60%
50%
40%
30%
20%
10%
Gambar 5.
Lhok Me
Aramayang
Ujung Pancu
Seulako Timur
Seulako Barat
Lheung Angen 1
Jaboi
Sumur Tiga
Ujung Kareung
Reteuk
Lheung Angen 2
Benteng
Anoi Itam
Batee Meuronon
Lhok Weng
P Klah
Gapang
Ujung Serawan
Rubiah Timur
Rubiah Channel
0%
Kesimpulan
Ditemukan 32 spesies dengan lima famili ikan karang herbivora di
perairan Aceh bagian utara, Famili Acanthuridae memiliki jumlah spesies paling
banyak yaitu 19 spesies. Keragaman dan kelimpahan ikan karang herbivora
terlihat tidak berhubungan dengan persentase tutupan karang keras dan bentuk
pengelolaan yang ada, yaitu antara daerah laut yang dikelola (terdiri dari
daerah perlindungan laut daerah/taman laut, daerah kegiatan wisata, wilayah
panglima laot) dengan daerah laut yang dibiarkan terbuka (open access).
42
Daftar Pustaka
Allen, G.R., M.
Adrim.
2003.
Coral reef fish of Indonesia. Zoological
Studies, 42: 172
Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. The coral
reefs of northern Aceh: an ecological survey of Aceh and Weh Islands,
April 2006. Wildlife Conservation Society, Bogor, Indonesia.
Aswani, S., R.J. Hamilton. 2004. Integrating indigenous ecological knowledge
and customary sea tenure with marine and social science for conservation
of bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) in the Roviana Lagoon,
Solomon Islands. Environmental Conservation, 31: 6983.
Aswani, S., S. Albert, A. Sabetian, T. Furusawa. 2007. Customary management as
precautionary and adaptive principles for protecting coral reefs in
Oceania. Coral Reefs, 26:10091021
Baird, A.H., S.J. Campbell, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, T..Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, M.S.
Pratchett, E. Rudi, A.M. Siregar. 2005. Acehnese reefs in the wake of the
Asian Tsunami. Current Biology, 16: 19261930
Bellwood D.R., A.S. Hoey, J.H. Choat. 2003. Limited functional redundancy in
high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs.
Ecological Letter, 6: 281285.
Brown, B.E. 2005. The fate of coral reefs in the Andaman Sea, eastern Indian
Ocean following the Sumatran earthquake and tsunami, 26 December 2004.
The Geographical Journal, 171: 372374
Campbell, S.J., M.S. Pratchett, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, E.
Rudi, A.M. Siregar, A.H. Baird. 2005. Disturbance to coral reef in Aceh,
Northern Sumatera. Atoll Research Bulletin, 544: 5578
English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia.
Ferreira, C.E.L., J.L. Gasparini, A. Carvalho-Filho, S.R. Floeter. 2005. A
recently extinct parrotfish species from Brazil.
Coral Reefs, 24: 128
134.
Floeter S.R., B.S. Halpern, C.E.L. Ferreira.
2006. Effects of fishing and
protection on Brazilian reef fishes. Biological Conservation, 128: 391
402.
Hill, J., C. Wilkinson. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral
Reefs. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia
Jennings, S., S.S. Marshall, N.V.C. Polunin. 1996.
Seychelles marine
protected areas: comparative structure and status of reef fish
communities. Biological Conservation, 75: 201209
Kimura, S., U. Satapoomin, K. Matsuura.
2009. Fishes of Andaman Sea: west
coast of southern Thailand. National Museum of Nature and Science, Tokyo,
Jepang.
Kuiter, R.H., T. Tonozuka. 2001. Indonesian reef fishes. Zoonetics, Sydney,
Australia.
Ledlie, M.H., N.A.J. Graham, J.C. Bythell, S.K. Wilson, S. Jennings, N.V.C.
Polunin, J. Hardcastle. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in
the resilience of coral reefs. Coral Reefs, 26: 641653
McClanahan, T.R.
2008. Response of the coral reef benthos and herbivory to
fishery closure management and the 1998 ENSO disturbance. Oecologia,
155:169177
McCook, L.J. 2001. Competition between coral and algal turfs along a gradient
of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef.
Coral Reef, 19: 419425
Obura, D. 2008. Resilience Assessment of Coral Reef Draft Manual. IUCN
CORDIO, Ghana.
Randall, J.E. 1998. Zoogeography of shore fishes of the Indo-Pacific region.
Zoological Studies, 37: 227-268.
Rudi, E.
2005. Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh
Darussalam setelah tsunami. Ilmu Kelautan, 10: 50-60
43
44
Pendahuluan
Kabupaten Aceh Besar terletak di Propinsi Aceh yang memiliki sumberdaya
alam laut yang melimpah. Berbagai ekosistem laut terdapat di Kabupaten Aceh
Besar diantaranya yaitu ekosistem terumbu karang dengan luas 1.155 Ha,
mangrove dengan luas 980,82 Ha, pantai berbatu dan pantai berpasir dengan
panjang total garis pantai 344 Km, ekosistem estuaria dan berbagai ekosistem
laut lainnya (Adil, 2011).
Kuala Gigieng merupakan salah satu ekosistem estuaria yang ada di Kabupaten
Aceh Besar. Kawasan estuaria adalah sebuah ekosistem yang mempunyai peran
ekologis penting baik sebagai sumber zat hara dan bahan organik, penyedia
habitat bagi sejumlah spesies hewan sebagai tempat berlindung dan tempat
mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan
tempat tumbuh besar (spawning and nursery grounds) sejumlah biota perairan
(Bengen, 2004).Selain memiliki fungsi ekologis, kawasan estuaria juga
merupakan kawasan yang sangat penting secara ekonomis. Manusia memanfaatkan
kawasan tersebut untuk berbagai aktifitas ekonomi diantaranya sebagai tempat
penangkapan ikan, tempat pendaratan ikan, pertambakan dan kawasan pemukiman.
Kegiatan manusia dapat menyebabkan meningkatnya kerusakan ekosistem laut.
45
46
Kepadatan relatif,
Dimana, ni
Frekuensi hehadiran,
(Krebs,1985)
Indeks Diversitas Shannon-Wiener,
H' = -
pi ln pi
(Krebs, 1985)
Dimana, H'= indeks diversitas Shannon Wiener, ln= logaritma nature, pi=
proporsi spesies ke-i, pi=
ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis
dengankeselurahan jenis)
47
Indeks keseragaman,
(Krebs, 1985)
Dimana, H'= Indeks diversitas Shannon-wiener, H max= Keragaman spesies
maksimum, Dengan nilai E berkisar antara 0-1.
Kekayaan spesies,
Dimana, d= Kekayaan spesies, S= Total spesies, N= Total individu.
Indeks keragaman, keseragaman, kekayaan spesies, dan similaritas
dianalisis menggunakan software Plymouth Routines in Multivariate Ecological
Research (Primer E) Versi 6.
Spesies
Surut
KR
FK
KR
FK
KR
FK
ind/h
ind/h
ind/h
10
29
55
10
15
77
20
15
88
60
112
166
70
80
200
110
79
256
Timoclea ovata
Chamelea
striatula
20
38
88
20
35
110
50
37
165
10
39
66
20
17
88
60
46
189
50
80
143
90
119
233
70
55
200
6.
Ostrea edulis
Lithopaga
truncata
20
20
66
10
10
55
7.
8.
Anadara granosa
Placuna sella
33
30
-
24
-
121
-
9.
10.
Natica catena
Uca tetragonon
Heloecius
cordiformis
Myctyris
platycheles
6
10
4
10
22
55
10
10
66
11
269
378
97
409
1.
2.
3.
4.
5.
11.
12.
Nassarus
dorsatus
Cerithidae
djadjariensis
Total
150
99
173
230
97
Indek biologi
Indeks keragaman (H')
Indeks keragaman Shannon-Wiener (H') rerata pada saat pasang surut
berkisar antara 1,26 1,89 dan terlihat tidak ada perbedaan nyata baik saat
pasang,
MSL,
dan
surut
(Gambar
3).
Secara
umum
indeks
keragaman
makrozoobenthos di Kuala Gigieng tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan
karena Kuala Gigieng merupakan kawasan dengan berbagai aktivitas manusia.
Aktivitas manusia dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Hasil penelitian
ini juga sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2006)
dan Takarina dan Adiwibowo (2011). Fitriana (2006) menemukan rendahnya
keanekaragaman makrozoobenthos di Bali disebabkan oleh tekanan ekologi yang
berat dan ekosistem yang tidak stabil di kawasan tersebut. Takarina dan
Adiwibowo (2011) juga menemukan keragaman benthos yang rendah di Perairan
Teluk Jakarta terutama di kawasan yang tingkat pencemarannya tinggi.
49
50
S im ila r it y
60
70
80
MSL
Pasang
100
S u ru t
90
Samples
Kesimpulan
Makrozoobenthos yang ditemukan di Kuala Gigieng terdiri dari 3 kelas
(Bivalvia, Gastropoda, dan Malacostraca) dengan jumlah 12 spesies. Indeks
keragaman Shannon-Wienner (H) pada saat pasang, mean sea level dan surut
berturut-turut adalah 1,26, 1,446, dan 1,892. Indeks keragaman makrozoobenthos
dikategorikan rendah dan indek similaritasnya tergolong sedang. Keragaman
tertinggi dijumpai pada saat surut dan similarsiti tetinggi antara pasang dan
MSL.
Daftar Pustaka
Adil,
52
Pendahuluan
Secara geografis, Jakarta terletak pada 6,12 LS dan 106,65 BT dan
beriklim tropis lembab dan hangat. Hujan deras disertai petir dan angin
kencang sering melanda Jakarta. Hujan deras seperti ini biasanya terjadi pada
masa transisi. Namun karena musim hujan terjadi hampir di sepanjang tahun
sehingga hujan deras yang disertai angin dan petir dapat terjadi kapan saja.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh pembentukan cuaca lokal. Seperti diberitakan
53
Tanggal
Keterangan
Sumber
1.
13 Februari 2010
Hujan
angin
Jakarta
2.
25 Oktober 2011
3.
26 Oktober 2011
petir
di
http://detiknews.com
http://megapolitan.ko
mpas.com
http://news.okezone.c
om
55
Indeks SI
CAPE C km
CAPE < 0
0 < CAPE < 26
26 < CAPE < 66
66 < CAPE < 92
92 < CAPE
Gambar 1. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 13 Februari
2010. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri
adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap
ketinggian di tepi kanan luar diagram.
Kondisi ini juga sesuai dengan indeks prediksi badai (Tabel 6) dan CAPE
pada Tabel 4 yang hampir semuanya menyimpulkan bahwa potensi badai lemah
dengan kemungkinan terjadi hujan berintensitas ringan di wilayah ini.
Tabel 6. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB
pada 13 Februari 2010.
Potensi Thunderstorm
Singkatan
Nama indeks
Nilai (diagram RAOB)
KI
KI
31,1
Sedang:
Thunderstorm
tersebar
SI
Showalter
3,25
Troposfir
stabil,
tidak
ada
Thunderstorm,
hujan
sebentar
Dengan berpedoman pada indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan
(Tabel 5) maka kondisi seperti ini tergolong sedang. Petani tambak tidak
dikhawatirkan oleh pengendalian kualitas air di tambak karena curah hujan yang
masuk ke areal tambak tidak berdampak terhadap penurunan kualitas air secara
drastis. Namun kondisi hujan sedang ini juga harus terus dimonitor
perkembangannya, karena tidak jarang pula hujan sedang dapat meningkat menjadi
hujan lebat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi daerah tropis yang cenderung
berawan yang dapat mendorong bergabungnya udara lembab dan kembali turun
sebagai hujan deras.
Gambar 2 dan Gambar 3 adalah hasil sounding di bandar udara internasional
Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 dan 26 Oktober 2011. Gambar 2 dan 3 menunjukkan
dua sounding identik yang sama-sama menyatakan kondisi atmosfir tidak stabil
bersyarat. Bar berwarna hijau dan biru masing-masing menunjukkan kondisi tidak
stabil dan stabil. Kondisi tidak stabil berada pada lapisan terbawah Troposfir
yang identik dengan laju penurunan adiabatik kering di mana paket udara naik
karena pemanasan permukaan sementara laju adiabatik basah terjadi setelah
57
Gambar 2. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 Oktober 2011.
Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri adalah
profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian
di tepi kanan luar diagram.
Informasi penting yang diperoleh dari sounding pada gambar 3 adalah:
Tekanan permukaan = 1008 hPa.
Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 26,8 0C dan 24,8 0C.
Suhu konvektif = 31,4 0C.
CAPE = 2574 J kg-1.
LCL = 979 hPa = 258 m.
Berdasarkan analisis dari Gambar 2 prediksi indeks pada Tabel 7 dan CAPE
pada Tabel 4, keadaan atmosfir di Jakarta mengindikasikan potensi badai dengan
intensitas sedang hingga tinggi. Pada Troposfir bawah, udara berada dalam
keadaan tidak stabil bersyarat. Keadaan ini diperkuat oleh terbentuknya
lapisan udara kering pada ~500300 hPa sehingga mengakibatkan tidak
terbentuknya awan di lapisan ini. Pada lapisan ini pula terjadi pembelokan
arah angin yang mengindikasikan wind shear yang lebih kuat di lapisan atas
dibanding kecepatan wind shear pada lapisan ~900700 hPa yang bernilai 7 m dt1
-1
. Kecepatan angin di permukaan mencapai 56 km jam .
Tabel 7. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB
pada 25 Oktober 2011.
Nilai (diagram
Potensi Thunderstorm
Singkatan
Nama indeks
RAOB)
KI
KI
35,6
Kuat: Thunderstorm banyak.
SI
Showalter
-1,86
Thunderstorm
meningkat,
troposfir
tidak
stabil
lemah.
58
Gambar 3. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 26 Oktober
2011. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri
adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap
ketinggian di tepi kanan luar diagram.
Keadaan atmosfir di Jakarta pada pagi hari berada pada Gambar 4 menyatakan
ketidak stabilan konvektif di tandai dengan terbentuknya lapisan inversi pada
~600300. ketidakstabilan konvektif ini memicu terjadi hujan petir dengan
intensitas sedang di sore hari. Variasi arah dan kecepatan wind shear 9 m dt-1
pada lapisan ~900600 hPa. Sementara itu, potensi kecepatan microburst adalah
28 km jam-1. Dengan mengacu pada indeks adaptasi kegiatan pertambakan terhadap
terjadinya Thunderstorm maka kondisi seperti ini sangat tidak diinginkan oleh
petani tambak karena mereka harus melakukan adaptasi terhadap volume air hujan
yang masuk ke areal pertambakan. Kondisi seperti ini dapat mengancam
kelangsungan usaha tambak karena dapat mengancam hasil panen (ikan/udang
terancam mati) karena terjadi pengenceran air tambak oleh masuknya curah hujan
dalam jumlah yang tinggi. Dengan kondisi ini pengusaha tambak harus lebih
waspada, usaha yang dapat dilakukan antara lain harus melakukan penambahan air
laut agar salinitas air tambak tetap berada pada kisaran yang baik untuk biota
peliharaan. Namun demikian, karena penelitian ini sifatnya studi dasar yang
tinjauannya lebih ditekankan pada kondisi pra-konvektif di Troposfir untuk
peramalan potensi terjadinya Thunderstorm maka studi ini masih memerlukan
penelitan lebih lanjut dan mendalam mengenai kaitannya dengan adaptasi
kegiatan pertambakan saat berlangsungnya Thunderstorm. Demikian juga dalam
penyusunan indeks adaptasi dasar kegiatan pertambakan yang masih memerlukan
validasi dalam penerapannya.
Kesimpulan
Indeks prediksi badai yang sesuai digunakan untuk wilayah Jakarta adalah:
indeks K, indeks Showalter serta jumlah CAPE. Badai konvektif di Jakarta di
awali oleh naiknya udara dalam lingkungan tidak stabil bersyarat, kehadiran
lapisan inversi pada ~500300 hPa menyiratkan turunnya kelembaban sehingga
mendorong ketidakstabilan konvektif. Penyusunan indeks adaptasi tambak
didasarkan pada indeks potensi badai. Pada 13 Februari 2010, indeks adaptasi
tambak masing-masing dengan rentang indeks K 25-35 dan Showalter -3-3 yang
menyiratkan kondisi sedang dengan intensitas hujan ringan hingga sedang. Pada
25-26 Oktober 2011, indeks adaptasi tambak memiliki rentang K > 35, Showalter
< -3 dengan ketinggian awan > 4000 m yang menyatakan kondisi berbahaya dengan
kategori Thunderstorm sehingga petani tambak harus meningkatkan kewaspadaan
dengan menjaga dan mengontrol kualitas air di areal tambak. Namun, studi ini
59
Daftar Pustaka
Ahrens, C.D., P. Samson. 2011. Extreme Weather and Climate. Pearson Prentice
Hall. Brooks/Cole; Thomson Learning, USA.
Haklander, A.J., A. van Delden. 2003. Thunderstorm predictors and their
forecast skill for the Netherlands. Journal of Atmospheric Research, 6768: 273-299.
Matsumoto, J., W. Peiming, H. Kamimera, J-I. Hamada, S. Mori, M. Yamanaka, N.
Sakurai, F. Syamsudin, R. Sulistyowati, A.A. Arbain, Y.S. Djajadihardja.
2009. Torrential in Indonesia Capital City Jakarta. The seventh
International Conference on Urban Climate. Yokohama, Japan 29 June - 3
July 2009.
Sofyan, A., T. Kitada, G. Kurata. 2005. Characteristics of Local Flow in
Jakarta, Indonesia and its implication in air pollution transport. The 9th
Atmospheric Sciences and Air Quality Conferences. San Francisco, USA 26-29
April 2005.
Vivanews.
2011,
Pemicu
Hujan,
Angin
dan
Petir
di
Jakarta.
http://us.metro.vivanews.com/news/read/190933-jakarta-hujan--angin-danpetir--ini-sebabnya. Tanggal akses 6 November 2011.
60
Abstract. This research examines the influence of ENSO (El Nio and Southern
Oscillation) in the Malacca Strait with the southern oscillation index using the
Pacific Ocean in determining the condition of Normal, El Nio and La Nina as the
analysis of mass transpor of sea water, sea surface elevation and the density of
the sea. The research methods using the Navier-Stokes equations with force
generating tides, winds from the National Centers for Environmental Prediction
(NCEP) Year 1980-2007, salinity(Levitus and Boyer, 1994a) and temperature
(Levitus and Boyer, 1994b). Equations of motion of the sea water were modeled
with the model of Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM). The results show that the
transport in northwestern part of the Malacca Strait is lower, but in the
southeastern part is stronger compared to that of in Normal and La Nina events.
While in Sea Level Elevation at El Nio event is lower compared to that of in
Normal and La Nina events. For sea surface density, the density values are 18.5
s/d 20.5 kg/m3 while for the later 30-50 m, the values are 19-21 kg/m3. Sea
surface density and density for layer 30-50 m in th southeastern part of Malacca
Strait for El Nio events are higher than that of in normal and La Nina event.
Key words: Sea level elevation, sea density and Hamsom model
Abstrak. Penelitian ini mengkaji pengaruh ENSO (El Nio and Southern
Oscillation) di Selat Malaka dengan memakai indek osilasi selatan Samudera
Pasifik dalam menentukan kondisi Normal, El Nio dan La Nina sebagai analisis
transpor massa air laut, elevasi muka laut dan densitas laut. Metode penelitian
menggunakan persamaan Navier-Stokes dengan gaya pembangkit pasang surut, angin
dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Tahun 1980-2007,
Salinitas (Levitus dan Boyer, 1994a) dan Temperatur (Levitus dan Boyer, 1994b).
Persamaan gerak air laut tersebut dimodelkan dengan model Hamburg Shelf Ocean
Model (HAMSOM).
Hasil-hasil menunjukkan bahwa transpor di bagian barat laut
Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian tenggara pergerakannya
menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La Nina. Sedangkan elevasi
muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Nio lebih rendah dibandingkan
pada kondisi Normal dan La Nina. Selanjutnya densitas permukaan laut di Selat
Malaka pada kondisi tahun Normal, El Nio dan La Nina berkisar 18,5 s/d 20,5
kg/m3. Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal,
El Nio dan La Nina berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan
densitas laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El
Nio lebih besar dibandingkan pada tahun Normal maupun tahun La Nina.
Kata kunci : Elevasi muka laut, densitas laut dan model HAMSOM
Pendahuluan
Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Nio, dirasakan di
Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang, dapat mengakibatkan kebakaran
hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi,
berjangkitnya penyakit pernapasan, kegagalan panen dan berbagai dampak buruk
lain (Susilo, 2009).
61
u
u
u
u
1 p
u
u u
u
v
w
fv
AH AH Av
t
x
y
z
x x
x y
y z z
(1)
v
v
v
v
1 p
v
v v
u
v
w fu
AH AH Av
t
x
y
z
y x
x y
y z z
(2)
Dalam arah z
p
g
z
(3)
S , T , p o '
(4)
T
T
T
T
T
u
v
w
K H 2T K V
ST
t
x
y
z
z
z
(5)
S
S
S
S
S
u
v
w
K H 2 S KV
SS
t
x
y
z
z
z
(6)
Persamaan kontinuitas:
u dz
v dz 0,
t x h
y h
(7)
p g1 p' g ' dz g1 I
(8)
Karena berhubungan dengan syarat stabilitas pada langkah waktu yang harus
dipenuhi oleh simulasi numerik, tekanan pada pers. (8) dipisahkan menjadi dua
suku yaitu : komponen Barotropik ( g1 ) dan komponen Baroklinik (I).
Tahapan penelitian ini terdiri atas pengumpulan data Indek Osilasi Selatan
dari situs: (1)http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1977-1984.shtml;
1. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1985-1992.shtml;
2. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1993-2000.shtml;
3.
http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-2000-2007.shtml (Gambar 1), data
sekunder 7 parameter meteorologi tahun 1980-2007 dari National Centers for
Environmental Prediction (NCEP), data temperatur dan salinitas (Levitus dan
Boyer, 1994a,b) serta data amplitudo dan phase komponen harmonik pasang surut.
Data sekunder 7 parameter meteorologi NCEP yaitu:
Kecepatan angin arah U pada 10 meter (m/detik) (U-wind at 10 m).
Kecepatan angin arah V pada 10 meter (m/detik) (V-wind at 10 m).
Suhu udara pada 2 meter (K) (air temperature at 2 meters).
Laju presipitasi (kg/m2/detik) (precipitation rate).
Kelembaban khusus pada 2 meter (kg/kg) (specific humadity at 2 meters).
Tekanan level permukaan laut (Pa) (sea level pressure).
Total tutupan awan (%) (total cloud cover).
g
Gambar 3. Transpor Massa Air Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat
(Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
g
Gambar 4. Elevasi muka air di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat (Nov
1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov 1997),
f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
65
g
Gambar 5. Densitas Permukaan Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat
(Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997),f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
g
Gambar 6. Densitas Laut Lapisan 30-50 m di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio
Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).
66
Kesimpulan
Transpor massa air laut pada kondisi El Nio menunjukkan bahwa transpor di
bagian barat laut Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian
tenggara pergerakannya menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La
Nina. Elevasi muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Nio lebih rendah
dibandingkan pada kondisi Normal dan La Nina. Densitas permukaan laut di Selat
Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov
1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3.
Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal
(Nov 1981, Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov
1998, Nov 2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan densitas
laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El Nio
lebih besar dibandingkan pada tahun normal.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti, Departemen
Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Penelitian
Unggulan Strategis Nasional tahun 2009 dengan nomor kontrak: 096/H11P2T/A.01/2009 Tanggal 27 Februari 2009. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan
kepercayaan atas kelancaran penelitian ini.
Daftar Pustaka
Backhaus, J. O. 1985. A three-dimensional model for the simulation of shelf sea
dynamics. Deutsche Hydrographische Zeitschrift German. Journal of
Hydrography, 38: 165-187.
Kishore, K., A. Setiana, A.R. Subbiah, T. Sribimawati, S. Diharto, S. Alimoeso,
P. Rogers. 2000. Indonesia Country Case Study: Impacts and Responses to
the 1997-98 El Nio Event, supported by the US Office of Foreign Disaster
Assistance and Office of Global Programs, National Oceanic and Atmospheric
Administration as a contribution to the UNEP/NCAR/WMO/UNU/ISDR study for
the UN Foundation.
Levitus, S., T. Boyer. 1994a. World Ocean Atlas 1994, Vol 3: Salinity. NOAA
Atlas NESDIS 3, U. S. Government Printing Office, Washington D.C. 93 pp.
Levitus, S., T. Boyer. 1994b. World Ocean Atlas 1994, Vol 4: Temperature. NOAA
Atlas NESDIS 4, U. S. Government Printing Office. Washinton D.C. 117 pp.
Pohlmann, T. 1996. Calculating the annual cycle of the vertical eddy viscosity
in the North Sea with a three-dimensional baroclinic shelf sea circulation
model. Cont. Shelf Res. Vol., 16(2): 147 161.
Rizal, S., J. Sndermann. 1994. On the M2 tide of the Malacca Strait: a
numerical investigation, Deutsche Hydrographische Zeitschrift German.
Journal of Hydrography, 46(1): 61 - 80.
Rizal, S. 2000. The role of nonlinear terms in the shallow water equations with
the application in the three-dimensional tidal model of Malacca Strait and
Taylor's problem in low geographical latitude. Continental Shelf Research,
20(15): 1965 - 1991.
Rizal, S. 2002. Taylor's problem - influences on the spatial distribution of
real and virtual amphidromes. Continental Shelf Research, 22(15): 21472158.
Susilo, I. 2009. Cuaca: Dari El Nio 1997 ke El Nio 2009, Harian Nasional
Kompas, tanggal 10 Oktober 2009.
67
of
Abstract. The objective of the present survey was to map the potency of
locations for developing of minapolitan area in Aceh province. The survey was
conducted on November-December 2011 and it was focused on the four districts
i.e. Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen and Aceh Timur. The data were categorized
into two types, i.e. secondary data which was compiled from annual reports,
research report and other references. The primary data were collected throught
direct and indirect interviewed the key persons in fisheries sector by using
the questionnaire. Primary data were also obtained by direct observation in
the fields. The results showed that every site has the advantages and
disadvantages. However, generally all of the locations have potency to be
developed as minapolitan region. Minapolitan models that can be developed are
the combination between of capture fisheries, aquaculture, processing and
marine tourism.
Keywords: Capture fihery, aquaculture, fish processing industry and marine
tourism
Abstrak. Survei ini bertujuan untuk memetakan lokasi bagi pengembangan kawasan
minapolitan di Provinsi Aceh. Survey dilakukan pada bulan November-Desember
2011 pada empat Kabupaten, yaitu Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen dan Aceh
Timur. Data utama yang digunakan adalah data sekunder yang dikompilasi dari
laporan tahunan dinas terkait dan laporan-laporan penelitian yang pernah
dilakukan. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara baik langsung
maupun tidak langsung (kuisioner) terhadap petugas yang membidangi bidang
berkenaan. Data primer juga diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan
pada beberapa lokasi yang ditinjau. Dari survey ini dapat disimpulkan bahwa
setiap lokasi yang disurvey memiliki karakteristik dan keunggulan dan
kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum dinilai semua kawasan ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan Minapolitan. Model minapolitan
yang dapat dikembangkan adalah berbasis kombinasi antara perikanan tangkap,
budidaya, pengolahan dan wisata bahari.
Kata kunci: Perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan, dan
wisata bahari
Pendahuluan
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh,
lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara
langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan
sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi
Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara
68
Bireuen
(Jangka)
dan
Aceh
Timur
(Idi
Lokasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lokasi
1.
Aceh Besar
2.
Bireuen
3.
Aceh Timur
4.
Aceh Jaya
71
Lokasi
Jantho, Aceh Besar
2.
Kluster Lampuuk
Leupung -Lhoong, Aceh
Besar
3.
Jangka, Bireuen
4.
5.
6.
Komoditas unggulan
Budidaya ikan air tawar: ikan nila, ikan bawal, ikan
bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame, ikan gabus,
ikan lele dan ikan hias.
Perikanan tangkap: ikan-ikan karang, udang/lobster dan
ikan teri. Perikanan budidaya: ikan nila, kepiting, ikan
bandeng dan ikan lele. Industri pengolahan: ikan asin,
ikan peda dan teri kering. Wisata bahari: terumbu karang
dan penyu (marine protection area).
Perikanan tangkap: ikan tuna, tongkol, kakap, kerapu dan
teri. Perikanan budidaya: udang windu, ikan bandeng,
ikan nila, mujair dan kepiting bakau.
Perikanan tangkap: tuna, tenggiri, sunglir, cakalang,
lisong, tongkol, layang biru, layang deles, kembung,
madidihang dan tembang.
Tongkol, kerapu, kakap, ikan kue, udang windu dan
bandeng.
Perikanan tangkap: Kerapu, lobster, udang windu, udang
sabu, ikan tuna, tongkol, kakap, bilis. Perikanan
budidaya: ikan bandeng, lobster, ikan kerapu, udang,
ikan kereuling dan ikan hias. Industri pengolahan: ikan
asin, ikan peda, ikan teri kering. Wisata bahari:
terumbu karang dan pulau-pulai kecil (marine protection
area).
2.
3.
4.
5.
6.
Lokasi
Jantho, Aceh Besar
Potensi
- Lahan kolam 50 Ha, dan yang telah produktif 5 ha.
- Balai Benih Ikan Air Tawar
- Adanya Balai Penyuluh Pertanian & Perikanan - Lhoknga
- Memiliki sumber air tawar yang berlimpah
- Balai benih ikan air tawar
Kluster
Lampuuk
Perahu tanpa motor= 150 unit, boat dompleng= 120 unit,
Leupung - Lhoong, Aceh boat < 5GT= 60 unit, boat 5-20 GT = 7 Unit, boat >20 GT
Besar
= 3 Unit
Jangka, Bireuen
Armada perikanan= 2.153 unit, PPI= 3 unit, TPI= 15
unit, fasilitas docking= 2 unit, dermaga tambat labuh=
1 Unit, sungai utama = 13 buah.
Hatchery= 51 unit, gedung UPP= 2 unit, pasar ikan= 19
unit, muara/Kuala= 25 buah, saluran Tambak= 554 Km
Idi Rayeuk, Aceh Timur
Tambak 148,2 ha, kolam 0,8 ha, perahu tanpa motor= 20
unit, boat < 5 GT = 76 unit, boat 5-20 GT = 199 unit,
boat > 20 GT = 142 unit.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Idi merupakan salah
satu pelabuhan perikanan terbesar di Aceh, berlokasi di
Idi Rayeuk Aceh Timur, pelabuhan ini merupakan Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh dengan luas lahan 61 Ha. Fasilitas yang
tersedia di PPP ini antara lain: Dermaga (Wharf/Pier) =
250 m2, Jetty = 1.800 m, Pemecah gelombang= 800 m,
Kolam Pelabuhan/Alur Sungai = 6 Ha, Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) = 600 m2, Kantor Administrasi Pelabuhan =
452m2, Gedung Pengepakan = 2 unit, Tangki Air +
Instalasi = 1 unit, Tangki Solar + Instalasi/SPBN = 2
unit, Listrik + Instalasi (sisi barat)= 1 unit,
Dock/Slipway = 30 GT, Tower Central Radio Nelayan = 1
unit, Kendaraan Pelabuhan = 3 unit, Fork Lift = 2 unit,
Selain itu,terdapat juga beberapa fasilitas penunjang
lainnya, seperti: Rumah Staf, MCK umum, kios nelayan
dan Keselamatan Pelayaran (Pos PolAirud).
Peureulak, Aceh Timur
Boat < 5 GT = 79 unit, boat 5-20 GT = 15 unit, boat >
20 GT = 6 unit, hatchery 1 unit.
Calang, Aceh Jaya
Perahu tanpa motor= 61 unit, motor tempel= 71 unit, <5
GT= 25 unit, 5 sampai 10 GT= 12 unit, > 10 GT= 1 unit.
Balai benih ikan air tawar.
72
Lokasi
1.
2.
3.
4.
Telah
tersedia
lab.
Untuk
pengukuran
parameter
perikanan budidaya
(pH meter, DO meter, dll) di
Livelihood Service Centre (LSC)
yang terletak di
beberapa kecamatan di Bireuen, yaitu kecamatan Jangka,
Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga.
Tidak ada data
5.
6.
Lokasi
1.
Jantho, Aceh
Besar
2.
Kluster
LampuukLeupungLhoong, Aceh
Besar
Lokal dan
expor
3.
Jangka,
Bireuen
Idi Rayeuk,
Aceh Timur
Lokal dan
nasional
Lokal dan
nasional
5.
Peureulak,
Aceh Timur
Lokal
6.
Calang, Aceh
Jaya
Lokal dan
ekspor
4.
Orientasi
Pasar
Lokal
Keterangan
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Kota Banda
Aceh (52 Km), Sigli (50 Km) dan restoran lokal
setempat.
Hasil produksi perikanan umumnya dipasarkan ke
Kota Banda Aceh (52 Km), Medan (500 km) dan Ekpor
ke Malaysia.
Jumlah produksi:
Tahun 2008 (27,18 Ton)
Tahun 2009 (32,07 Ton) dan
Tahun 2010 (45,52 Ton).
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Singli (100
km), Banda Aceh 180 km, Medan 300 km.
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Medan, Banda
Aceh, Takengon, Bireun dan Lhokseumawe.
Jumlah produksi per tahun
2008= 12.127 ton
2009= 10.895 ton
2010= 9.764 ton
Hasil produksi ikan olahan berupa ikan Asin, Ikan
Kering dan Terasi di pasarkan ke kota-kota seperti
Banda Aceh, Takengon, Meulaboh, Langsa dan Medan.
Produksi perikanan tangkap pertahun 2010= 6,177,4
Ton
Hasil produksi ikan berupa ikan asin dan udang
sabu untuk pasar lokal, ikan tuna, kerapu, kakap
dan lobster untuk pasar ekspor.
3.
Lokasi
Jantho, Aceh Besar
Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh
Besar
Jangka, Bireuen
4.
5.
6.
Nelayan :
12.489 orang, Petani tambak: 5.299 orang,
Petani KJA air payau: 205 orang
Nelayan: 5.277 orang
Nelayan: 870 orang, Petambak: 631 orang, Pengolah: 10
orang
Nelayan tangkap: 485 orang, Nelayan budidaya: 802 orang
Pengolah: 15 orang
73
Pembahasan
Kabupaten Aceh Besar
Kawasan minapolitan yang akan dikembangkan di Aceh Besar terdapat di dua
lokasi dengan beberapa kawasan pendukung, yaitu Kota Jantho dan kluster
Lampuuk-Leupung-Lhoong. Pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho
diarahkan pada usaha budidaya ikan air tawar baik untuk tujuan konsumsi maupun
ikan hias. Sumber air tawar yang melimpah sepanjang tahun dapat menjadikan
kawasan ini sebagai sentra perikanan air tawar untuk Provinsi Aceh dimasa
depan. Hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan,
Kabupaten Aceh Besar, bahwa, pengembangan minapolitan di Kota Jantho akan
bertumpu pada perikanan budidaya air tawar, dengan komoditas unggulan antara
lain ikan nila, ikan bawal, ikan bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame,
ikan gabus, ikan lele dan ikan keureling (Personal komunikasi dengan Kepala
DKP Aceh Besar).
Rencana pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho ini telah
ditetapkan dengan Perbub, antara lain: SK. No 101 Tahun 2010, tentang
Penetapan Kecamatan Kota Jantho sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya ikan air
tawar Kab. Aceh Besar, dan SK. No 273 Tahun 2010, tentang pembentukan kelompok
kerja (POKJA) pengembangan kawasan minapolitan budidaya ikan air tawar
Kabupaten Aceh Besar.
Pengembangan usaha budidaya perikanan terutama perikanan air tawar di
Kota Jantho perlu didukung oleh ketersediaan benih dan pakan yang mencukupi.
Dalam hal pasokan benih tidak menjadi kendala karena sudah tersedia balai
benih ikan air tawar di kawasan ini, namun demikian penyediaan pakan mungkin
akan menjadi kendala karena belum adanya industri pakan ikan, umumnya petani
ikan masih sangat bergantung pada pakan komersil yang dijual dipasaran dengan
harga relatif tinggi sehingga menyebabkan margin keuntungan menjadi rendah.
Oleh karena itu peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Besar sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasaran
pendukung tersebut.
Sedangkan potensi pengembangan kawasan minapolitan di kluster LampuukLeupung-Lhoong bertumpu pada perikanan laut baik perikanan tangkap maupun
budidaya, industri rumah tangga pengolahan ikan dan wisata bahari. Saat ini
industri pengolahan ikan di Leupung sudah mulai menunjukkan peningkatan, namun
demikian maih diperlukan peningkatan kapasitas dan modal kerja, sehingga
kualitas ikan olahan menjadi lebih baik dan layak untuk diekspor. Kawasan ini
juga berpotensi dijadikan kawasan wisata bahari karena memiliki teluk yang
yang terlindung dan secara geografis sangat strategis. Untuk mendukung hal
tersebut maka diperlukan adanya intervensi berupa rehabilitasi terumbu karang
dan hutan bakau yang rusak pasca tsunami 2004 lalu, sehingga dengan demikian
keragaman dan jumlah ikan karang akan meningkat dan menjadi daya tarik pagi
pengujung.
Lindawati
et
al.(2010)
melaporkan
bahwa
secara
rata-rata
keterkaitan sektor perikanan dan pariwisata bahari dalam perekonomian Sulawesi
Utara misalnya termasuk dalam kategori kuat dan termasuk ke dalam kelompok
sektor andalan/unggulan.
Untuk mendukung pengembangan industri pengolahan ikan diperlukan adanya
pasokan ikan segar dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu usaha rehabilitasi
terumbu karang dan hutan bakau diharapkan akan dapat meningkatkan populasi
atau stok ikan di alam, selain itu juga diperlukan adanya rumpon-rumpon pantai
tempat ikan-ikan berkumpul sehingga memudahkan nelayan menangkap dengan
efektif.
Lampuuk sudah dikenal sebagai kawasan wisata bagi masyarakat lokal,
kawasan ini memiliki pantai yang indah dan terumbu karang yang cukup baik,
selain itu di kawasan ini juga terdapat stasiun penelitian/penangkaran penyu
yang diprakarsai oleh beberapa NGO lokal dan internasional bekerjasama dengan
pemerintah setempat. Sehingga menjadikan kawasan ini sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dan penelitian.
Kabupaten Bireuen
Secara administrasi, Kabupaten Bireuen memiliki 17 Kecamatan dengan 11
Kecamatan diantaranya berada pada kawasan pesisir pantai. Luas wilayah
Kabupaten Bireuen mencapai 1.901 Km2 dengan jumlah penduduk 379.000 jiwa.
Kabupaten Bireuen memilki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang
74
dan diselesaikan agar program ini dapat berjalan dan berlanjut. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suryawati & Purnomo (2011) menunjukkan bahwa
aspek ekologi, ekonomi, teknologi dan infrastruktur kurang berkelanjutan,
aspek sosial budaya cukup berlanjut, aspek politik, hukum dan kelembagaan
sangat berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa sinergi antara para stakeholder
yang terlibat belum maksimal. Walaupun secara umum semua kawasan memiliki
potensi untuk dikembangkan, namun masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi,
komitmen pemerintah daerah adalah salah satu kunci penting dalam menyelesaikan
berbagai kelemahan yang ada. Menurut Virginia et al. (2010)beberapa
permasaalahan yang sering dijumpai pada lokasi minapolitan adalah sarana dan
prasarana kurang memadai, keterbatasan jenis produk olahan, lembaga yang ada
baik lembaga permodalan maupun penyuluhan belum berperan aktif dan informasi
pasar masih kurang.
Kesimpulan
Setiap lokasi yang disurvei memiliki karakteristik, keunggulan dan
kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum semua kawasan ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan minapolitan. Aceh Jaya memiliki
keunggulan dalam bidang perikanan tangkap dan pengolahan, disamping juga
memiliki potensi yang baik untuk perikanan budidaya dan wisata bahari. Aceh
Besar memiliki potensi yang unggul dalam bidang perikanan budidaya air tawar
terutama di wilayah Jantho, selain itu sektor wisata bahari di kluster
Lampuuk-Luepung-Lhoong adalah salah satu potensi lain yang sangat menarik dan
baik untuk dikembangkan di Aceh Besar. Sedangkan di Kabupaten Bireuen,
pengembangan minapolitan dapat bertumpu pada perikanan tambak, pengolahan dan
perikanan tangkap. Sedangkan di Kabupaten Aceh Timur dapat difokuskan pada
perikana tangkap, pengolahan dan perikanan budidaya sebagai penyokong. Namun
demikian diperlukan kajian lanjutan dan mendalam pada setiap lokasi untuk
mendapatkan gambaran yang lebih detil masing-masing lokasi dalam penyusunan
master plan bagi setiap kawasan.
Daftar Pustaka
Bappeda Aceh. 2008. Geografi pemerintah Aceh. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, Provinsi NAD, Banda Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar. 2010. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Kota Jantho, di Kabupaten Aceh Besar, Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Besar, Jantho, Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya. 2011. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Aceh Jaya, di Kabupaten Aceh Jaya, Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Jaya, Calang, Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bireuen. 2010. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Kabupaten Bireuen, Dinas Kelautan dan Periakanan, Bireuen,
Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, 2010. Pelabuhan Perikanan Pantai
Idi, Kabupaten Aceh Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aceh.
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
2011.
Pedoman
Umum
Minapolitan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Lindawati, Sastrawidjaja, Tajerin. 2010. J. Bijak dan Riset Sosek KP. .5(2):
145-158
76
77
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
Abstract. Waters of the east coast of Bangka Regency has higher potency for
development of mariculture livelihood. The Geographic Information Systems
(GIS) can be used to determine the suitable location for these activities.
Spatial analysis on every measured parameters were conducted and then its
overlay to
determine the feasibility of locations. The suitability location
was categorized into four levels i.e very suitable, moderately suitable,
suitable with conditions, and not suitable. The results showed that there are
at least 127,746 ha of areas have potency for mariculture location, of these
122,950 ha (96.25%) are very suitable and suitable, while 4796 ha (3.75%) are
moderately suitable for fish farming. However, based on field verification,
about 8.627 ha of areas are recommended for fish mariculture developement,
this is situated at Pulau Ketawai Island, Pulau Panjang dan Pulau Bujur.
Key Words : Geographic Information Systems, overlay, fish, mariculture, and
cage
Abstrak. Perairan pantai timur Kabupaten Bangka memiliki sumberdaya laut yang
baik dikembangkan sebagai lokasi budidaya perikanan.
Teknologi Sistem
Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk menentukan lokasi tersebut
dengan metode interpolasi parameter oseanografi hasil
pengukuran di stasiun
yang telah ditetapkan secara acak dan sistematis. Analisis spasial terhadap
masing-masing parameter dilakukan tumpang tindih (overlay)untuk memperoleh
lokasi kelayakan dengan kategori sangat layak, cukup layak, layak bersyarat
dan tidak layak terhadap kelayakan kegiatan budidaya laut.
Dari hasil
analisis terdapat potensi lokasi seluas 127.746 ha, dimana 122.950 ha (96,25%)
diantaranya sangat layak sampai layak, dab 4.796 ha (3,75%) cukup layak untuk
peruntukan budidaya ikan. Namun demikian berdasarkan hasil verifikasi lapangan
hanya 8.627 ha saja yang direkomendasikan untuk pengemabangan, lokasi ini
terletak di sekitar Pulau Ketawai, Pulau Panjang dan Pulau Bujur.
Kata Kunci : Sistim Informai Geografis, tumpang tindah, ikan, marikultur dan
keramba
Pendahuluan
Pengembangan budidaya laut merupakan usaha meningkatkan produksi dan
sekaligus merupakan langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang dalam rangka mengimbangi pemanfaatan dengan cara penangkapan. Usaha
budidaya merupakan salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perairan yang berwawasan lingkungan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya laut yang
besar, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal disebabkan
masyarakat masih menggantungkan kehidupan dari hasil penambangan, khususnya di
Kabupaten Bangka Tengah.
Aktivitas masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah
selain menambang timah yang merusak lingkungan juga sebagai nelayan
tradisional. Hampir 70% masyarakat di kabupaten ini perekonomiannya didukung
78
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
dari hasil penambangan. Saat ini dampak kerusakan lingkungan akibat
penambangan timah telah dirasakan oleh masyarakat, pemerintah dalam hal ini
sedang mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas.
Menanggapi permasalahan tersebut diperlukan kegiataan usaha alternatif untuk
beralih profesi seperti budidaya ikan di laut. Perairan pantai timur Bangka
Tengah memiliki sumberdaya laut yang dapat digunakan sebagai lokasi budidaya
laut. Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan usaha budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta
terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor
lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil kesesuaian di
antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap
lingkungan fisik perairan.
Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi
oseanografi dan kualitas perairan serta topografi dasar laut.
Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi
yang tepat berdasarkan data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.
Parameter ini didapatkan dari hasil pengukuran dan pengambilan sampel air di
stasiun penelitian yang telah ditentukan secara acak. Dalam bidang perikanan,
penggunaan teknik SIG untuk pertama kalinya digunakan oleh Kapetsky et al.
(1987), kini metode ini telah berkembang dan banyak digunakan di dunia untuk
menentukan lokasi kesesuaian lahan budidaya laut, di Indonesia teknik ini
telah dimanfaatkan mengeksplorasi lahan budidaya diantaranya Suyarso (2007),
Radiarta et al. (2005), Radiarta et al. (2004), Utojo et al. (2004), Pramono
et al. (2005).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan luasan dan memilih lokasi yang
tepat untuk usaha budidaya kerapu di perairan Bangka Tengah sebagai upaya
menciptakan usaha alternatif bagi masyarakat.
Hasil analisis kesesuaian
lokasi budidaya berupa data tematik spasial pesisir dan laut diharapkan dapat
digunakan sebagai masukan bagi para perencana/stakeholder dalam menentukan
peruntukan suatu wilayah pesisir yang sesuai dengan potensi dan daya
dukungnya.
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
memastikan dan membuktikan hasil penentuan kelayakan
November 2009 dilakukan verifikasi lapangan dengan
kembali terhadap parameter fisika perairan.
lokasi,
pada bulan
melakukan pengukuran
Kedalaman (m)
Kecerahan (m)
Kecepatan arus (cm/dt)
Suhu perairan (C)
Salinitas (ppt)
Derajat keasaman (pH)
Oksigen terlarut (mg/l)
Sangat
Sesuai,
S1
10 20
> 3
5 15
28 32
31 35
> 7
> 7
Cukup
Sesuai,
S2
20 25
2 3
15 25
25 28
28 31
6 7
5 7
Sesuai
bersyarat,
S3
25 30
1 2
25 35
20 25
25 28
4 6
3 5
Tidak
Sesuai, N
< 10 & > 30
< 1
< 5 & >35
<20 & >32
<25 & >35
< 4
<3
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
terlarut dalam air sehingga mengurangi laju fotosintesis. Menurut KepmennegKLH (1988), kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan sebaiknya lebih dari 3
m. Kecerahan perairan dari hasil penelitian berkisar 4,61 5,55 m (40 - 65%)
masih baik untuk budidaya perikanan (kecerahan > 3 m), namun untuk budidaya
rumput laut dan tiram mutiara masih baik hanya untuk lokasi tertentu yang
kecerahan >5 m. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai kecerahan
berada dalam kategori sangat layak dan layak untuk komoditas budidaya laut
dengan luasan 89.884 ha (70,36%) yang sangat layak, sedangkan sisanya berada
dalam kategori layak (Gambar 1b).
Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut
dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. Di
samping itu berhubungan dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme
penempel (fouling) pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus
disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan (lumpur, pasir,
karang).
Mayunar et al.(1995) menyebutkan organisme penempel akan lebih
banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/dt sehingga akan
mengurangi sirkulasi air dan oksigen.
Namun demikian, Ahmad et al. (1991)
mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar
5 15 cm/dt. Berdasarkan hasil pemetaan kecepatan arus, didapatkan luasan
wilayah secara umum sangat layak, layak dan layak bersyarat untuk pengembangan
budidaya ikan dalam keramba dengan luasan yang sangat layak 49.678 ha
(38,89%), 76.177 ha (59,63%) layak dan sangat sedikit yang layak bersyarat
1.891 ha (1,48%) (Gambar 1c).
Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang
selanjutnya di-overlay-kan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan faktor
lingkungan didapatkan bahwa untuk budidaya ikan dalam KJA masih sesuai
dilakukan di perairan timur Bangka Tengah, hal ini ditunjukkan dari hasil
pemetaan berada dalam kategori sangat layak (22,46%), layak (73,79%) dan
kategori cukup layak (layak bersyarat) 3,75% (Gambar 1h).
Kesesuaian berdasarkan faktor kualitas air
Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota laut,
peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi
metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya
konsentrasi karbon dioksida.
Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar
29,26 29,38 oC, kisaran suhu ini berada dalam kategori sangat layak untuk
perairan. Mayunar et al., (1995) menyebutkan suhu optimum untuk budidaya ikan
adalah 27 32 oC, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan suhu pada
kisaran 20 30 oC (Mubarak et al., 1990) dan untuk tiram 20 32 oC (Atjo,
1992). Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter suhu, menunjukkan
bahwa semua lokasi penelitian sangat layak (127.746 ha; 100 %) untuk
dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram
(Gambar 1d).
Salinitas perairan hasil penelitian 32,62 32,74 ppt, kisaran ini masih
baik untuk kegiatan budidaya baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena
salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut berada pada kisaran
30 35 ppt. Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan
sesuai dengan jenis ikan yang akan dibudidaya.
Hal ini disebabkan ikan
tertentu membutuh salinitas tertentu pula.
Ikan memiliki toleransi terhadap
perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 34
ppm (Imanto et al., 1995) beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas
berbeda. Kerapu secara umum memiliki salinitas optimum pada kisaran 27 34
ppm (Ahmad et al., 1991; Mayunar et al., 1995). Seperti halnya dengan suhu,
hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter salinitas, juga
menunjukkan semua lokasi penelitian sangat layak untuk dikembangkan budidaya
laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Gambar 1e).
81
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
(a). Kedalaman
(b). kecerahan
(d). suhu
(e). salinitas
(f). pH
Gambar 1. Kelayakan budidaya ikan dalam KJA berdasarkan masing-masing parameter, faktor dan gabungan kedua
faktor (a) kedalaman (m), (b) kecerahan (m) dan (c) kecepatan arus (cm/dt), (d) suhu (C), (e)
salinitas (ppt), (f) pH dan (g) oksigen terlarut (mg/l), (h) faktor lingkungan, (i)faktor
kualitas perairan dan (j) kelayakan dari kedua faktor.
82
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan. Nilai pH air laut berkisar 7,5 8,4 dan semakin rendah
ke wilayah pantai karena pengaruh air tawar. Boyd & Lichtkoppler (1979) (lihat
Mayunar et al., 1995) menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 9,0, dan
7,5 8,5 untuk budidaya rumput laut (Utojo et al., 2007; Mubarak et al., 1990)
serta 6,75 9 untuk tiram mutiara (Atjo, 1992). Hasil pemetaan derajat keasaman
untuk komoditas ikan dan rumput menunjukkan hasil yang sama seperti halnya suhu
dan salitas yaitu sangat layak semua lokasi. Namun berbeda untuk tiram mutiara
yang membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang lebih rendah 6,75 7,0 (hasil
pengukuran lapangan 7,95 8,20) dibandingkan ikan dan rumput laut, sehingga
kelayakan lokasi hanya 36.688 ha (28,27%) berada dalam kategori layak dan sisanya
71,28 % tidak layak (Gambar 1f).
Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya
ikan. Kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan
udara.
Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen,
begitu juga sebaliknya. Mayunar et al. (1995) menyebutkan untuk bertahan hidup
ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang
minimal 3 mg/l. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal
berkisar 5 8 mg/l (Ahmad et al., 1991). Hasil penelitian menunjukkan kisaran
4,15 4,67 mg/l, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-LH No. 51 tahun 2004 tentang
baku mutu air laut (KMNLH, 2004) menunjukkan kondisi perairan kurang baik karena
oksigen terlarut dibawah 5 mg/l. Hasil pemetaan oksigen menunjukkan bahwa
kelayakan oksigen untuk budidaya ikan semua lokasi berada pada kategori layak
bersyarat (100%) artinya membutuhkan perlakuan khusus jika dilakukan budidaya
dengan memasang aerator untuk meningkatkan oksigen (Gambar 1g).
Secara umum, gabungan parameter faktor kualitas air, didapatkan peta
kelayakan seluruh lokasi penelitian berada dalam kategori sangat sesuai (100%)
untuk budidaya ikan dalam KJA (Gambar 1i dan Lampiran 1). Secara umum,
konsentrasi zat hara diatas sangat sesuai untuk budidaya laut berdasarkan
Kepmenneg-KLH sehingga tidak dilakukan analisis spasial untuk mengetahui
kelayakan lokasi, tetapi sebagai data pendukung untuk analisa dan pengambilan
keputusan.
Kesesuaian berdasarkan komoditas ikan kerapu
Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang bernilai ekonomis tinggi dan
menjadi salah satu komoditas ekspor terutama ke Singapura, Jepang, Hongkong,
Taiwan,Malaysia dan Amerika Serikat. Untuk memenuhi permintaan pasar, nelayan
umumnya masih menangkap ikan kerapu dari alam dan masih sedikit dari hasil
budidaya.
Di Indonesia terdapat tujuh genus ikan kerapu, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola.
Dari tujuh genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan
Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional, seperti
ikan kerapu bebek, kerapu sunuk (termasuk genus Plectropomus), kerapu lumpur dan
ikan kerapu macan (termasuk genus Epninephelus). Dari beberapa jenis ikan kerapu
komersial tersebut, ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus
leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak
dibudidayakan oleh petani, karena jenis ikan ini pertumbuhannya lebih cepat
daripada jenis ikan kerapu lainnya dan benihnya selain diperoleh dari alam
(penangkapan) juga sudah dapat dihasilkan dari balai benih.
Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi untuk pengembangan usaha
budidaya laut didapatkan lokasi sangat layak dan layak berdasarkan gabungan
faktor lingkungan serta semua lokasi sangat layak berdasarkan gabungan faktor
kualitas air Hasil gabungan kedua faktor ini menunjukkan bahwa hampir semua
lokasi lokasi sangat layak untuk kembangkan budidaya ikan dalam keramba jaring
apung (Gambar 1j). Walaupun dari hasil pemetaan bahwa secara umum wilayah
perairan timur Bangka Tengah sangat layak dilakukan usaha pengembangan budidaya
83
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
ikan dalam KJA, namun pemanfaatannya harus memperhatikan keberlanjutan karena
budidaya ikan dapat menimbulkan dampak lingkungan berupa kotoran ikan dan sisa
pakan. Oleh karena itu perlu dipadukan dengan budidaya rumput, karena rumput laut
dapat menyerap zat hara berupa fosfat, nitogen dan zat hara lainnya untuk
kehidupannya. Dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan usaha untuk kegiatan
budidaya seperti yang dikemukan oleh Badan Dunia Group of Expert on Scientific
Aspects of Marine Pollution, GESAMP pada tahun 2002 (lihat Radiarta et al.,
2006), agar tidak terjadi pencemaran lingkungan sekitarnya, maka potensi yang ada
tidak semuanya dimanfaatkan untuk budidaya tetapi harus disisakan untuk daerah
penyangga.
Hasil verifikasi lapangan di sekitar Pulau Ketawai dan Pulau Panjang serta
Pulau Bujur menunjukkan hasil pengukuran parameter oseanografi berada dalam
kategori sesuai untuk budidaya seperti halnya hasil pemetaan. Hasil pemetaan
menunjukkan hampir semua wilayah kajian termasuk dalam kategori sesuai, namun
berdasarkan
pertimbangan
aspek
fisik
lokasi
dan
keterjangkau,
maka
direkomendasikan lokasi budidaya seluas 1.626 ha disekitar pulau Ketawai dan
seluas 7.000 ha disekitar Pulau Panjang dan Pulau Bujur (Gambar 2).
106 10'
10615'
10620'
106 25'
200'
200'
15
c# St 1
cSt 2
c
St 3
12
Kilometer
25'
25'
0
14
LEGENDA
Tg Bunga
c
12
13
11
210'
P. Panjang
10
#
Lokasi Stasiun
Lokasi Verifikasi
Daratan
St 4
cSt 7
210'
P. Bangka
P. Bujur
Tg Udang
Sesuai Bersyarat
Tidak Sesuai
230'
P. Bebuar
300'
220'
220'
P. B an gka
230'
P. Ketawai
200'
St 5
200'
300'
215'
Tg Lempuyang
130'
215'
1 St 6
#
130'
Sumber :
106 10'
10615'
10620'
106 25'
Pemanfaatan untuk budidaya ikan dalam KJA sekitar 10% dari total luasan
yang direkomendasikan berarti 863 ha. Biasanya untuk budidaya ikan dalam KJA, 1
unit usaha keramba terdiri dari 4 keramba dengan ukuran 2 x 2 x 2 m3, maka 1 ha
lokasi pengembangan usaha budidaya dapat dimanfaatkan 60 unit keramba.
Dengan
demikian berdasarkan hasil analisa, khusus untuk perairan timur direkomendasikan
60 unit keramba/ha x 863 ha = 51.780 unit keramba.
Kesimpulan
Pemetaan kelayakaan lokasi
pengembangan
budidaya,
namun
pertimbangan aspek fisik lokasi
pengembangan budidaya laut dapat
disekitar Pulau Panjang dan Pulau
84
Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka
Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S.
Diana, S. Redjeki, A.S. Pranowo, S. Murtiningsih. 1991. Operasional pembesaran kerapu
dalam keramba jaring apung. Dalam Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah
potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8
10.
85