Anda di halaman 1dari 89

Volume 1, Nomor 1

April 2012
ISSN: 2089-7790

DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)

DEPIK

Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan


(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
ISSN: 2089-7790

Penerbit

: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala

Penanggung Jawab

: Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan)

Ketua Dewan Editor

: Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc

(Manajemen SDP dan Budidaya Perairan)

Editor Pelaksana
: Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi)
Sekretaris Editor
: Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika)
Anggota Dewan Editor :
Prof. Dr. Adlim, M.Sc
(Kimia Lingkungan)
Prof. Dr. Syamsul Rizal
(Fisika Perairan)
Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si
(Ekologi Perairan)
Dr. Indra, M.Si
(Manejemen Pesisir & Kelautan)
Dr. Edi Rudi, M.Si
(Biologi Laut)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan)
Farok Afero, Ph.D
(Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan)
Teknisi IT/Web Master
Sirkulasi dan Dokumentasi

: Achmad Muhadjier
: Muhammad Saumi, A.Md

Ikan Depik, Rasbora tawarensis

Alamat Redaksi:
Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : jurnaldepik@yahoo.co.id Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084

DEPIK
JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN
VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2012
ISSN: 2089-7790
DAFTAR ISI
1.

2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.

11.

Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang
tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh
Mulfizar, Zainal A. Muchlisin, Irma Dewiyanti

1-9

Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan


kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung di
Indonesia
Farok Afero

10-21

Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan
bandeng, Chanos-chanos
Sofyatuddin Karina, Rizwan, Khairunnisak

22-25

Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air


(Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan
ikan lele lokal (Clarias batrachus)
Musri Musman, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie

26-30

Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala


Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh
Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan, Marwantim
Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara
Edi Rudi, Nur Fadli
Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh
Besar
Nur Fadli, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah

31-36
37-44

45-52

Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk penyusunan


indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan (Suatu tinjauan meteorologi
di Jakarta)
Yopi Ilhamsyah

53-60

Pengaruh ENSO (El Nio and Southern Oscillation) terhadap transpor


massa air laut di Selat Malaka
Muhammad, Syamsul Rizal, Junaidi M. Affan

61-67

Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di


beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal
Z. A. Muchlisin, Muhammad Nazir, Musri Musman

68-77

Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam keramba jaring apung (KJA)


berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air
di perairan pantai
timur Bangka Tengah
Junaiadi M. Affan

78-85

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan


yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar,
Provinsi Aceh
Length-weight relationship and condition factors of three
fishes found in Gigieng estuary of Aceh Besar, Aceh Province
Mulfizar2, Zainal A. Muchlisin1*, Irma Dewiyanti1
1

Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas


Syiah Kuala, Banda aceh 2311; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311. *Email korespondensi:
muchlisinza@yahoo.com

Abstract. The study of the lenght weight relationships and condition factors of
the brackiswater fishes found in Kuala Gigeng was conducted. The objective of
the present study was to evaluate the growth pattens and condition factor of the
belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) and petek (Leiognathus
fasciatus). The sampling was conducted for eight time on July 2011 by using
gillnet and castnet. The results showed that the belanak (M. cephalus) and
seriding (A. koopsii) have allometric negative growth patten, while the petek
(L. fasciatus) has an allometric positive. In addition, the relative weight
condition factors was higher than 100. And the Fultons condition factor were
not different significantly among fishes. Indicating the condition of the Kuala
Gigeng is relatively in good condition and support fish growth as well.
Keywords: Allometric, Fultons condition factor, fish relative weight,
morphology
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang hubungan panjang-berat dan faktor
kondisi ikan yang ditemukan di muara Kuala Gigeng. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan belanak (Mugil
cephalus), seriding (Ambassis koopsii) dan petek (Leiognathus fasciatus).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak delapan kali pada bulan Juli 2011 dengan
menggunakan jaring insang dan jala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan
belanak (M. cephalus) dan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. sementara petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan
allometrik positif. Selain itu, faktor kondisi berat relatif lebih tinggi dari
100. Dan faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda nyata. Kondisi
muara Kuala Gigeng mengindikasikan secara relatif dalam keadaan baik dan
mendukung pertumbuhan ikan.
Kata kunci : Allometrik, faktor kondisi Fulton, berat relatif ikan, morfologi

Pendahuluan
Perairan Kuala Gigieng terletak di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh,
perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan
sungai. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis hidup di perairan ini dan
sering ditangkap oleh nelayan setempat antara lain ikan belanak (Mugil
cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus). Ikan-ikan ini diperjual-belikan oleh nelayan setempat dan merupakan
ikan-ikan yang dominan tertangkap di Kuala Gigeng. Namun demikian penelitian
tentang aspek biologi ikan-ikan tersebut belum pernah dikaji, termasuk aspek
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi di perairan esuaria yang terdapat di
Aceh. Informasi
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan penting
1

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

diketahui dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan ini. Hal ini
mengingat intensitas aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat
dan ancaman gangguan terhadap kondisi perairan baik yang disebabkan oleh alam
misalnya pemanasan global maupun aktifitas manusia misalnya penangkapan ikan
secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Dalam biologi perikanan, hubungan panjangberat ikan merupakan salah satu
informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya
perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikanikan
yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam
Merta, 1993). Lebih lanjut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa
pengukuran panjangberat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompokkelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjangberat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu
(Everhart & Youngs, 1981).
Kajian hubungan panjang-berat ikan telah banyak dilakukan oleh para
peneliti, diantaranya; ikan layang (Decapterus ruselli) dari perairan sekitar
Teluk Likupang, Sulawesi Utara (Manik, 2009), ikan sebelah (Psettodes erumel) di
perairan Jepara (Redjeki, 2003), beberapa jenis ikan asli Danau Sentani, Papua
(Umar & Lismining, 2006), ikan kerapu (Serranidae) diperairan Berau, Kalimantan
Timur (Nuraini, 2007). Salah satu kajian tentang hubungan panjang-berat ikan
yang hidup di perairan Aceh yang pernah dilaporkan adalah dua jenis ikan air
tawar yang hidup di Danau Laut Tawar Rasbora tawarensis dan Poropuntius
tawarensis (Muchlisin, 2010a). Namun kajian terhadap spesies ikan yang lain
terutama yang hidup di perairan estuaria dan laut Aceh belum pernah dilaporkan,
oleh karena itu penelitian ini penting sebagai upaya penyedia data awal tentang
kondisi ikan di perairan estuaria khususnya di Kuala Gigeng.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan
faktor kondisi ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii)
dan
ikan
petek
(Leiognathus
fasciatus)
sehingga
dapat
diketehui
pola
pertumbuhannya masing-masing.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Kuala Gigeng yang terletak
diantara tiga desa yaitu: Gampong Lambada Lhok, Gampong Lamnga dan Gampong Baro
Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juli 2011 (Gambar 1). Penelitian ini
menggunakan metode survei, penentuan titik sampling dilakukan secara acak.
Pengambilan sampel ikan menggunakan jaring insangdengan ukuran mata jaring 1
inchi, 2 inchi dan 3 inchi dan jala ukuran mata jaring 1 inchi.
Penentuan ikan target
Penentuan ikan target dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil
survey pendahuluan yang telah dilakukan, yaitu dengan mengamati hasil tangkapan
yang dominan oleh nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan belanak
(Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus) adalah jenis-jenis ikan yang dominan dan sering tertangkap di Kuala
Gigeng.
Sampling ikan
Penangkapan ikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan jaring insang yang
berjumlah 6 unit dengan rincian masing-masing; 2 unit dengan ukuran mata jaring
1 inchi, 2 unit dengan ukuran mata jaring 2 inchi dan 2 unit dengan ukuran mata
jaring 3 inchi. Jaring diletakkan tegak lurus dengan arah arus. Selain itu
penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala, penangkapan ikan dengan
menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan
menduga keberadaan ikan. Penangkapan ikan dilakukan selama 8 jam, yaitu dari jam
08:00 s/d 16:00 WIB.
Pengontrolan hasil tangkapan dilakukan setiap 6 jam,
2

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

ikan-ikan yang tertangkap dihitung jumlah untuk masing-masing jenisnya, kemudian


dicuci bersih dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup (styrofoam box) yang berisi
es (4oC). Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di analisis lebih lanjut.
Pengukuran panjang-berat ikan
Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan pada hari yang sama ikan
diperoleh. Pada pengukuran panjang ikan alat yang digunakan adalah jangka sorong
digital (tingkat ketelitian 0.01 mm). Sedangkan pada pengukuran berat total
ikan, alat yang digunakan adalah timbangan digital dalam satuan gram dengan
ketelitian 0.1 gram.

Gambar

1. Peta Lokasi Penelitian (sumber: www.googleearth.com)

Analisis data panjang - berat


Model allometric linear (LAM) di gunakan untuk menghitung parameter a dan
b melalui pengukuran perubahan berat dan panjang. Koreksi bias pada perubahan
berat rata-rata dari unit logaritma digunakan untuk memprediksi berat pada
parameter panjang sesuai dengan persamaan allometric berikut, berdasarkan
DeRobertis & William (2008).
W = a Lb
Dimana W adalah berat ikan (g), L adalah panjang total ikan (mm), a dan b adalah
parameter.
Analisis data faktor kondisi
Berat relatif (Wr) dan koefesien (K) faktor kondisi di gunakan untuk
mengevaluasi faktor kondisi dari setiap individu. Berat relatif (Wr) di tentukan
berdasarkan persamaan Rypel & Richter (2008) sebagai berikut:
Wr = (W/Ws) x 100
Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap ikan, dan Ws adalah berat standar
yang diprediksi dari sampel yang sama karena dihitung dari gabungan regresi
panjang-berat melalui jarak antar spesies :
Ws = a Lb
Koefesien kondisi Fulton (K) ditentukan berdasarkan Okgerman (2005) dengan rumus
sebagai berikut:
K= WL-3 x 100
dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat (g), L adalah panjang (mm) dan -3
adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa nilai K cenderung bernilai 1.

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Hasil dan Pembahasan


Hubungan panjang-berat
Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 295 ekor, terdiri
dari 98 ekor ikan belanak (Mugil cephalus), 100 ekor ikan petek (Leiognathus
fasciatus) dan 97 ekor ikan seriding (Ambasis koopsii). Ikan belanak
(M.cephalus) memiliki panjang total berkisar antara 68.23 mm sampai 150.84 mm
(rata-rata 98.57 12.61 mm) dan berat berkisar antara 4 g sampai 31 g (rata-rata
12.34 4.74 g). Ikan petek (L. fasciatus) memiliki panjang total yang berkisar
antara 54.34 mm sampai 127.34 mm (rata-rata 82.46 17.82 mm) dan berat berkisar
antara 2 g sampai 33 g (rata-rata 10.03 6.63 g). Sedangkan ikan seriding (A.
koopsii) memiliki kisaran panjang total antara 68.85 mm sampai 95.79 mm (ratarata 82.06 4.99 mm) dan kisaran berat antara 3 g sampai 14 g (rata-rata 7.12
1.51 g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi pola pertumbuhan ikan
dan faktor kondisi (Tabel 1). Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding
memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Sedangkan ikan petek
(L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan bersifat allometrik positif. Grafik
hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan yang diteliti disajikan pada (Gambar 2
& Gambar 3). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r)
berkisar 0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352
sampai 0.930 masing-masing ditemukan pada ikan seriding (A. koopsii), ikan petek
(L. fasciatus) secara berurutan.
Kami menemukan bahwa ikan petek memiliki pola pertumbuhan allometrik
positif, hasil yang berbeda diperoleh Djadja & Saadah (2001) pada ikan
Leiognathus splendens diperoleh pola pertumbuhan bersifat isometrik, namun nilai
b keduanya cenderung mendekati 3 (isometrik). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
ikan petek memiliki bentuk tubuh pipih menegak (compressed), diduga penambahan
bobot ikan
tidak hanya disebabkan oleh pertambahan panjang, tetapi juga
disebabkan oleh pertambahan tinggi badan, sehingga tidak memperlihatkan bentuk
tubuh yang montok sebagaimana ikan dengan pola allometrik positif pada umumnya.
Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding (A. koopsii) memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif. Hasil yang sama dijumpai pada ikan Mugil
dussumieri (Sulistiono et al., 2001) dan Rhinomugil corsula famili yang sama
(Mugilidae, Sani et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan
perairan Kuala Gigeng relatif lebih menguntungkan bagi ikan petek
(L.
fasciatus).
Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan
seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jenning et
al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti perkembangan gonad dan ketersediaan
makanan (Froese, 2006). Dalam penelitian ini ditemukan nilai b relatif kecil dan
hasil pengukuran arus menunjukkan kondisi perairan relatif tenang sehingga
bertolak belakang dengan Shukor et al., (2008), yang menyebutkan bahwa ikan yang
hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan
sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang
besar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai dengan
pernyataan Muchlisin (2010b) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya nilai b juga
dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif (ikan pelagis)
menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang
berenang pasif (kebanyakan ikan demersal). Mungkin hal ini terkait dengan
alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan.
Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r) berkisar
0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien korelasi yang tinggi menunjukkan hubungan
yang erat antara pertambahan berat dengan pertambahan panjang dan sebaliknya.
Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352 sampai 0.930. Hal ini bermakna
35% sampai 93% dari total varian pertambahan berat dapat dijelaskan oleh grafik
hubungan panjang-berat tersebut (Gambar 2), masing-masing ditemukan pada ikan
seriding (A. kopsii) dan ikan ciriek (L. fasciatus) secara berurutan.

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Faktor kondisi
Ikan belanak (M. cephalus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K)
berkisar 1.74 sampai 3.07 (rata-rata 2.510.22) dan berat relatif (Wr) berkisar
48.76 g sampai 195.41 g (rata-rata 103.1815.2 g). Ikan petek (L. fasciatus)
memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 0.96 sampai 3.29 (rata-rata
2.360.53) dan berat relatif (Wr) berkisar 55.06 g sampai 158.56 g (rata-rata
104.59 19.34). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki nilai faktor
kondisi Fulton (K) berkisar 1.29 sampai 2.88 (rata-rata 2.260.19) dan berat
relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41g (rata-rata 103.5117.46 g).
Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat yang diamati (observed weight)
lebih rendah berbanding berat yang diprediksi (predicted weight), ini
mengindikasikan kondisi perairan kurang baik untuk mendukung pertumbuhan. Namun
nilai faktor kondisi memberikan nilai rata-rata diatas 100. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator
rendah disini, ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air
tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan
kondisi yang menekan bagi sebagian besar organisme, tetapi bagi organisme yang
dapat menyesuaikan diri akan dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dan
kondisi ini juga dapat menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak
menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. FAO (1983) juga menyatakan
bahwa predator yang pada umumnya ditemukan di wilayah muara adalah spesies
reptilia seperti ular dan biawak, namun di Asia jumlah spesies reptilia yang
ditemukan sedikit.
Variasi pasokan pakan yang terjadi antar musim dapat mengubah faktor
kondisi musiman (Offem et al., 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Anderson & Neumann, 1996) nilai berat relatif (Wr) berada dibawah 100 bagi
suatu individu ataupun populasi menunjukkan adanya masalah seperti rendahnya
ketersediaan mangsa atau tingginya kepadatan suatu predator. Sedangkan apabila
nilai berat relatif (Wr) berada di atas 100 hal ini menunjukkan kelebihan
ketersediaan suatu mangsa atau rendahnya kepadatan suatu predator. Selain
ketersediaan pakan atau pemangsa, faktor biotik, abiotik dan manajemen
perikanan juga dapat mempengaruhi berbagai faktor kondisi (Murphy et al., 1991;
Blackwell et al., 2000).
Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum,
produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter,2007; Blackwell
et al., 2000). Faktor kondisi ini mencerminkan karakteristik morfologi tubuh,
kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan (Bister et al., 2000; Rypel & Richter,
2008; Froese, 2006; Stevenson & Woods, 2006). Secara umum nilai faktor kondisi
ketiga jenis ikan yang diteliti tidak berbeda. Namun, nilai faktor kondisi yang
di peroleh ikan belanak lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lain. Ikan
dengan faktor kondisi yang lebih tinggi diharapkan akan memiliki fekunditas
lebih tinggi daripada ikan dengan faktor kondisi lebih rendah (Baltz & Moyle,
1982). Ini sesuai dengan Sulistiono et al., (2001) yang menyatakan ikan belanak
termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi, hal
ini merupakan daya adaptasi ikan tersebut untuk mempertahankan populasinya di
alam.

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Tabel 1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan belanak, petek dan seriding

Parameters

Ikan belanak
(Mugil cephalus)
(n=98)

Ikan
petek
fasciatus)
(n=100)

Panjang Total (TL) mm


(rata-rataSD)

68.23-150.84
(98.57 12.61)

54.34-127.34
(82.46 17.82)

68.85-95.79
(82.06 4.99)

Berat (W) gr
(rata-rata SD)

4-31
(12.34 4.74)

2-33
(10.03 6.63)

3-14
(7.12 1.51)

Berat
(Ws)

12 4.55

9.666.40

6.880.84

48.76-195.41
(103.1815.20)

55.06-158.56
(104.5919.34)

48.76-195.41
(103.5117.46)

1.74-3.07
(2.510.22)

0.96-3.29
(2.360.53)

1.29-2.88
(2.260.19)

Indek koefesien diterminasi


(R2)

0.860

0.930

0.352

Indek
(r)

0.927

0.964

0.593

2.81

3.18

2.00

yang

diprediksikan

Berat Relatif (Wr)


(rata-rata SD)
Faktor Kondisi Fulton
(rata-rata SD)

Nilai b

koefesien

(K)

korelasi

(Leiognathus

Ikan
seriding
koopsii)
(n=97)

(Ambasis

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

(d)
(d)

(e)

(f)(f)

Gambar 2. Hubunganpanjang berat (a) ikan belanak (Mugil cephalus) n=98, (b) ikan petek (Leioghnathus
fasciatus) n=100 dan (c) ikan seriding (Ambassis koopsii) n=97. Perbandingan hubungan panjang-berat yang
diamati dan prediksi (d) ikan belanak (Mugil cephalus) (e) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) dan (f) ikan
seriding (Ambassis koopsii).

Kesimpulan
Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan bervariasi, ikan petek (Leiognathus
fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan belanak
(Mugil cephalus) dan ikan seriding (Ambasis koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng
merupakan perairan yang lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Faktor
kondisi ketiga jenis ikan berdasarkan nilai berat relatif (Wr) berada diatas 100,
menunjukkan ketersediaan makanan mencukupi atau kepadatan predator rendah. Nilai
faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda, ini mengindikasikan kondisi
perairan relatif baik dan mendukung pertumbuhan ikan belanak (Mugil cephalus),
ikan seriding (Ambasis koopsii) dan ikan petek (L. fasciatus).

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Daftar Pustaka
Anderson, R.O., R.M. Newmann. 1996. Length weight and associated structural
indices. In: Fisheries techniques, 2nd edition. B.R.Murphy and D.W. Willis
(eds). American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. pp 447-481.
Baltz, O.M,
P.B. Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch
(Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Environmental
Biology of Fish, 7: 227-242.
Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status and
current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries
Science, 8: 1-44.
Bister, T.J., D.W. Willis, M.L. Brown, S.M. Jordan, R.M. Neumann, M.C. Quist,
C.S. Guy. 2000. Proposed standard weight (Ws) equations and standard length
categories for 18 warmwater nongame andriverine fish species. North American
Journal of Fisheries Management. 20:570-574.
De Robert, A., K. William. 2008. Weight-legth relationship in fisheries studies:
the standard allometric model should be applied with caution. Transaction of
the American Fisheries Society, 137: 707-719.
Djadja, S.S.,
Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leioghnathus
splendens cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi
Indonesia. 1(1): 13-17.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Everhart, W.H.,
W.D. Youngs. 1981. Principles of fishery Science. 2nd Edition
Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press,
London.
FAO. 1983. Management and Utilization of Mangroves in Asia Pasific. FAO
Environmental Paper 3, FAO, Rome.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship:
history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology,
22: 241-253.
Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell
Sciences, Oxford.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus
ruselli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah
Oseanologi dan Limnologi, 35(1): 65-74.
Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan lemuru,
Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian
Perairan Laut, 73 : 35 - 44.
Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010a. Length-weight relationships
and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and
Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 949-953.
Muchlisin, Z.A. 2010b. Diversity of freswater fishes in Aceh Province, Indonesia
with emphasis on several biological aspects of the Depik (Rasbora tawarensis)
an endemic Species in Lake Laut Tawar. Disertasi Ph.D Universiti Sains
Malaysia, Penang.
Murphy, B.R., M.L. Brown, T.A. Springer. 1990. The relative weight (Wr) index in
fisheries management: status and needs. Fisheries, 16(2): 30-38.
Nuraini, S. 2007. Jenis ikan kerapu (Serranidae) dan hubungan panjang berat di
Perairan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7(2): 61-70.
Offem, B.O., Y. Akegbejo-Samsons, I.T. Omoniyi. 2007. Biologicalassessment of
Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae: Linne:1958) in a tropical floodplain
river. African Journal of Biotechnology, 6(16): 1966-1971.
Okgerman, H. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition factor of
Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International Journal of
Zoological Research, 1(1): 6-10.
Redjeki, S. 2003. Faktor kondisi dan hubungan panjang berat ikan sebelah
(Psettodes erumel) di Perairan Jepara.
Laporan Penelitian
Universitas
Diponegoro, Semarang.
Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries
Management, 27: 936-939.
8

Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790

Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation for
the Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28:
1843-1846.
Sani, R., B. K. Gupta, U. K. Sarkar, A. Pandey, V. K. Dubey, W. S. Lakra. 2010.
Lengthweight relationships of 14 Indian freshwater fish species from the
Betwa (Yamuna River tributary) and Gomti (Ganga River tributary) rivers.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 456-459.
Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis of
length-weight
relationship
of
Rasbora
sumatrana
in
relation
to
the
physicochemical characteristic in different geographical areas in peninsular
Malaysia. Malaysian Applied Biology, 37(1): 21-29.
Stevenson R.D., W.A. Woods. 2006. Condition indices for conservation: new uses for
evolving tools. Integrative and Comparative Biology, 46:1169-1190.
Sulistiono, M. Arwani, K.A. Aziz. 2001. Pertumbuhan ikan belanak Mugil dussumieri
diperairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 1(2): 3947.
Umar, C., Lismining. 2006. Analisis hubungan panjang berat beberapa jenis ikan
asli Danau Sentani Papua. Abstrak Seminar Nasional Ikan IV,
8-9 Juni 2010,
Bogor.

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus


fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam
keramba jaring apung di Indonesia
Economic analysis for tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus
and humpback grouper Cromileptes altivelis in commercial
cage culture system in Indonesia
Farok Afero
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Banda Aceh 23121. Email
korespondensi: farokafero@yahoo.com

Abstract. This study presents an economic analysis of tiger and humpback grouper
at different production scales in Indonesia. The results highlight the nonviability of small scale tiger grouper, with a 5 years projected negative
cumulative cash flow of Rp. 18.102.650 and a negative net present value (NPV)
of Rp. 22.059.576. An increasing production scale of tiger grouper highlight a
marginal viability for medium scale (with a 5 year projected cumulative cash
flow of Rp. 198.320.673 and a positive NPV of Rp. 105.578.440; with a benefit
cost ratio of 1,25; an internal rate of return (IRR) of 88%; and a payback
period of 0,99 year), and an economically viable of large scale cage culture
(with a 5 year projected cumulative cash of Rp. 707.746.923; a NPV of Rp.
406.801.749; a benefit cost ratio of 1,33;an internal rate of return of 157%;
and a payback period of 0,57 year). The economic analysis of humpback grouper at
different production scales highlight positive cumulative cash, a positive NPV,
a benefit cost ratio higher than 2, an internal rate of return over 300% and a
payback period of less than one year. A sensitivity analysis revealed that
increased survival rate up to 80% would increase cumulative cash and NPV of
small scale tiger grouper cage culture. Additionally, improved profitability
performance was associated with decreased major production costs, increased
production and price of the product.
Keywords: Tiger grouper, Humpback grouper, Production scale, profitability
Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi budidaya kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya
kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas
kumulatif negatif
sebesar Rp. 18.102.650 dan NPV negatif Rp. 22.059.576.
Peningkatan skala produksi (skala menengah) meningkatan keuntungan (proyeksi
aliran kas kumulatif selama 5 tahun sebesar Rp. 198.320.673,
NPV sebesar Rp.
105.578.440, B/C 1,25; IRR 88%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,99
tahun), sedangkan untuk skala besar (dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan kas
kumulatif sebesar Rp. 707.746.923; NPV sebesar Rp. 406.801.749, B/C 1,33; IRR
157%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,57 tahun). Analisis ekonomi
kerapu bebek pada skala produksi yang berbeda menunjukkan kas kumulatif positif,
NPV positif, ratio manfaat-biaya (B/C) lebih tinggi dari 2, IRR lebih dari 300%
dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa sintasan kehidupan lebih 80% akan meningkatkan
kas kumulatif dan NPV pada budidaya kerapu macan skala kecil.
Selain itu,
peningkatan
profitabilitas
berkaitan
dengan
penurunan
biaya
produksi,
peningkatan produksi dan harga produk.
Kata kunci: Kerapu macan, Kerapu bebek, skala produksi, profitabilitas.

10

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Pendahuluan
Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan
Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000
ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy
et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton
total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu
budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi
makanan ikan laut (FAO, 2003).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari
13.000 pulau, sekitar 75% (5,8 mill km persegi) dari total luas ditutupi oleh
laut. Memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan
area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar
890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu, dimana produksi ikan kerapu
budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton,
meningkat menjadi 6.493 ton pada
tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di
Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua
dan terkonsentrasi di beberapa
provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali,
Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau,
Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005 masing-masing sebesar 4.496 ton,
388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen
penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun
baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu.
Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unit pembenihan memproduksi benih
kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa
3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10 cm dihasilkan oleh balai
benih ikan di Indonesia pada tahun 2002.
Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah
pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan
bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi
usaha budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Harga beli benih kerapu macan dan
bebek masing-masing berkisar Rp. 600-700/cm dan Rp.1000-1200/cm. Biaya benih
adalah biaya terbesar dan mencapai 36,5% dan 36,72% dari total biaya produksi
untuk budidaya kerapu macan dan kerapu bebek
secara berurutan (DKP, 2001).
Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya
produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi.
Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia
adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.),
layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya
terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al.,
2002).
Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja masingmasing menyumbang 18% dan 7% dari total biaya produksi budidaya kerapu macan dan
kerapu bebek. Budidaya kerapu membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk
memotong ikan rucah, penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air
tawar untuk mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang
efisien akan meningkatkan profitabilitas usaha.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan
usaha budidaya kerapu macan dan bebek serta memberikan informasi analisa ekonomi
untuk pelaku usaha tentang skala ekonomis budidaya kerapu. Diharapkan bahwa
hasil penelitian ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen
memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta
kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.

Bahan dan Metode


Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada November 2009. Semua data
untuk penelitian ini dikumpulkan dari daerah penghasil kerapu di Indonesia
(Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali). Untuk menilai dan membandingkan
dampak dari skala ekonomi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan
berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200
juta dan lebih dari 200 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah dan besar.
11

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari produsen


kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Sebanyak 65 petani ikan
diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan,
48 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut. Sampel terakhir untuk budidaya
kerapu macan berdasarkan skala adalah skala kecil (10 petani ikan), menengah (8
petani ikan) dan besar (6 petani ikan). Sementara sampel untuk usaha kerapu
bebek adalah skala kecil (11 petani ikan) menengah (9 petani ikan) dan besar (4
petani ikan). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
selanjutnya dianalisis secara deskriptif

Hasil dan Pembahasan


Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi budidaya ikan kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi berbeda. Tabel 1 menjelaskan padat tebar budidaya
kerapu macan untuk skala kecil (9 ekor/m3), skala menengah (15 ekor/m3) dan
skala besar (19 ekor/m3). Ukuran tebar benih kerapu berkisar 7,90-9,66 cm. Rasio
konversi pakan adalah 3,19 untuk skala kecil dan 4,27 untuk skala besar. Bobot
panen lebih besar dari 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 9,05 -10,66
bulan. Pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8 ekor/m3)
skala menengah (9,5 ekor/m3) dan skala besar (10 ekor/m3). Tingkat kelangsungan
hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar 10,27-11,00 cm.
Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 5,44, 6,02 dan 13,52.
Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 15,54-16,75
bulan (Table 2).
Tabel 1. Ringkasan produksi kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Variabel
3

Padat tebar (m )

Kecil

Menengah

Besar

9,00

15,00

19.00

72,70

66,50

71.00

Ukuran benih (cm)

7,90

7,12

9,66

Rasio konversi pakan (FCR)

3,19

4,16

4,27

457,00

462,00

516,00

Sintasan kehidupan (%)

Ukuran panen (gram)


Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)

9,05

10,00

10,66

665,50

3.074,25

8.487.00

Tabel 2. Ringkasan produksi kerapu bebek dengan skala produksi berbeda


Variabel

Kecil

Menengah

Besar

Padat tebar (m )

8,00

9,50

10,00

Sintasan kehidupan (%)

60,00

62,00

52,50

Ukuran benih (cm)

10,27

10,89

11,00

Rasio konversi pakan (FCR)


Ukuran panen (gram)
Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)

5,44

6,02

13,52

472,00

468,00

492,00

15,54

15,77

16,75

416,82

1.146,89

4.262,50

Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dan


bebek. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 9% sampai 25%.
Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran
terbesar, berkisar antara 28% dan 42%. Pakan adalah biaya terbesar kedua pada
skala menengah (24%) dan skala besar (32%), sementara itu biaya tenaga kerja
(26%) adalah biaya terbesar kedua usaha skala kecil. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa budidaya skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala
menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar
antara 10% sampai 13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh
12

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya
kedua terbesar (Tabel 4).

Tabel 3. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dengan skala


produksi berbeda
Variable

Kecil

Menengah

Besar

1.Biaya modal
Keramba

29.900.000

56.380.952

96.121.212

Peralatan

2.600.000

7.375.000

20.000.000

Perahu

1.500.000

3.000.000

3.000.000

34.000.000

66.755.952

119.121.212

Depresiasi

6.800.000

13.351.190

23.824.242

Pemeliharaan

1.730.000

3.325.000

5.950.000

Izin

1.370.000

2.550.000

4.350.000

Total biaya tetap

9.900.000

24,7

19.226.190

15,6

34.124.242

Benih

11.380.000

28,4

41.525.000

33,8

154.000.000

42,1

Pakan

5.980.000

14,9

29.925.000

24,3

116.916.600

31,9

Buruh

10.200.000

25,5

24.825.000

20,2

48.783.000

13,3

510.000

1,3

3.200.000

2,6

4.666.713

1,3

1.290.000

3,2

2.600.000

2,1

5.566.000

1,5

790.000

2,0

1.662.500

1,4

1.916.660

0,5

Total biaya variabel

30.150.000

75,3

103.737.500

Total biaya produksi

40.000.000

122.850.000

365.965.573

59.500

57.500

65.000

39.597.250

176.769.375

551.655.000

Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap

9,3

Biaya variable

Vitamin
Solar
Lain-lain

84,4

331.848.973

90,7

3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan

Analisis indikator keuangan budidaya kerapu macan dan bebek pada skala
produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan
usaha skala kecil budidaya kerapu macan mengalami kerugian besar baik untuk
proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, dengan arus kas kumulatif Rp.
18.102.650 pada tahun ke 5. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV negatif
- Rp. 22.059.576 untuk jangka waktu 5 tahun (Tabel 5), mengindikasikan bahwa
investasi ditolak. Budidaya skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar
Rp. 198.320.673 dan NPV sebesar Rp. 105.578.440. Rasio manfaat-biaya (B/C)
sebesar 1,25 dan IRR sebesar 88% menunjukkan kalayakan usaha budidaya kerapu
macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923
dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Rasio manfaat-biaya (1,33), IRR (157%) dan
periode pengembalian (0,57 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi
menghasilkan kinerja ekonomi yang positif. Analisis keuangan budidaya kerapu
bebek pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan
proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826)
menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount
rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp.
13

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun.


Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari
2, IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu
pengembalian modal kurang dari satu tahun.
Tabel 4. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu bebek dengan skala produksi
berbeda
Variable

Kecil

Menengah

Besar

1.Biaya modal
Keramba
Peralatan

14.100.000

39.200.000

131.500.000

2.000.000

7.000.000

15.000.000

1.000.000

2.500.000

5.000.000

17.100.000

48.700.000

151.500.000

3.420.000

9.740.000

30.300.000

Pemeliharaan

918.100

2.433.000

7.825.000

Izin

645.400

1.766.000

5.925.000

Perahu
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
Depresiasi

Total biaya tetap

4.983.500

12,6

13.939.000

13,1

44.050.000

9,5

Benih

15.409.091

39,1

44.944.444

42,4

192.625.000

41,3

Pakan

5.672.727

14,4

20.000.000

18,9

129.900.000

27,9

Buruh

8.609.000

21,8

18.766.660

17,7

64.850.000

13,9

Vitamin

1.327.270

3,4

1.655.500

1,6

10.850.000

2,3

Solar

1.563.630

4,0

3.888.800

3,7

13.775.000

3,0

1.863.000

4,7

2.888.000

2,7

10.000.000

2,1

92.143.404

86,9

Biaya variable

Lain-lain
Total biaya variabel

34.444.718

87,4

422.000.000

Total biaya produksi

39.571.218

106.030.404

467.000.000

266.818

300.000

318.500

111.215.078

344.067.000

1.357.606.250

90,5

3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan

Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi


profitabilitas budidaya kerapu macan dan bebek dirangkum dalam tabel 7 dan 8.
Hasil analisa sensitivitas untuk usaha budidaya kerapu macan skala kecil
menunjukkan bahwa tingkat sintasan hidup meningkat memiliki efek berarti dalam
hal menghasilkan NPV positif. Hasil penelitian menunjukkan penurunan produksi
sebesar 20% mengakibatkan penurunan NPV dan B/C yang signifikan pada skala
produksi menengah dan besar. Selain itu, kedua skala produksi menunjukkan
penurunan NPV yang signifikan ketika harga jual turun menjadi Rp. 50.000 (Tabel
7). Hasil analisa sensitivitas pada budidaya kerapu bebek menunjukkan kelayakan
ekonomi dengan NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan
harga terbukti memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua
skala produksi (Tabel 8).

14

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Sintasan kehidupan kerapu macan dan bebek pada skala berbeda masing-masing
75% dan 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian
terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy
& Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80%
selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA
di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro
(1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar
7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan
kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki
tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan
(Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti
pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu,
kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan
kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan
kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat
meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan
volume produksi.

Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu macan dengan


skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif

-18.102.650 198.320.673

707.746.923

NPV

-22.059.576 105.578.440

406.801.749

B/C

0,84

1,25

1,33

IRR (%)

88%

157%

Payback period (tahun)

0,99

0,57

Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu bebek dengan


skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif
NPV

133.344.826 446.749.192

1.692.212.500

85.009.002 286.822.375

1.088.181.353

B/C

2,36

2,69

2,52

IRR (%)

361%

430%

506%

Payback period (tahun)

0,23

0,20

0,57

Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kedua kerapu sangat tinggi pada
skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum
digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik
(pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan
diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada
ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali
lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al.,
(1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio
konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah,
Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991)
melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu
kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan
berkorelasi
langsung
dengan
FCR.
Peningkatan FCR secara positif
akan
meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR pada
budidaya kerapu macan dan bebek dalam skala besar masing-masing meningkat 1,34
15

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

dan 2,34 dibandingkan dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan
bahwa meningkatnya skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak
efisien, yang berarti bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak
dari produsen skala kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat
produsen skala besar kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen
pemberian pakan pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan
effesiensi pemberian ikan rucah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan
meningkatnya skala produksi (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat Shang
(1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala
produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan bebek adalah
benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya
produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi
kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua
kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah.
Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk
pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar
membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan
kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala
produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.

(a)

Fixed cost

Fry

Feed

Labor

45

Fixed cost

(b)

Fry

Feed

Labor

45

40
40

35
Production cost (% )

Production cost (%)

35
30
25
20
15

30
25
20
15

10

10

5
0

0
Small

Gambar 1.

Medium
Scale

Small

Large

Medium

Large

Scale

Biaya produksi kerapu macan (a) dan kerapu bebek (b) pada skala
produksi berbeda

Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan


budidaya kerapu macan dan bebek. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha
budidaya kerapu macan skala kecil tidak layak secara ekonomi. Dengan proyeksi 5
tahun menghasilkan arus kas negative Rp. 18.102.650 dan NPV negatif-Rp.
22.059.576 (Tabel 5). Proyeksi ini menunjukkan bahwa kerapu macan skala kecil
mengalami kerugian besar dan harus ada perubahan besar agar usaha dalam skala
ini menjadi layak. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala
kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan
keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut
diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR
sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp.
77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004)
memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat
kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000.
Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan kehidupan mungkin dapat
meningkatkan profitabilitas pada usaha skala kecil. Sedangkan analisis keuangan
budidaya kerapu bebek skala kecil menunjukkan arus kas kumulatif positif, NPV
positif serta IRR yang lebih tinggi. Hasil ini setuju dengan Pomeroy et al.,
(2006) bahwa budidaya kerapu bebek skala kecil memperoleh arus kas positif untuk
proyeksi 5 tahun.
16

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Skala ekonomi jelas terlihat sebagai akibat dari meningkatnya skala


produksi kerapu macan dan bebek. Berbeda dengan budidaya kerapu macan skala
kecil, skala menengah menghasilkan aliran kas positif sebesar Rp. 198.320.673
dan NPV positif sebesar Rp. 105.578.440. Selain itu, usaha kerapu bebek skala
menengah menghasilkan arus kas dan NPV, B/C serta IRR yang lebih tinggi.
Estimasi ini menyoroti pentingnya skala ekonomi dan potensi kelayakan ekonomi
pada tingkat output yang lebih tinggi.
Hasil analisis pada skala besar lebih menekankan skala ekonomi yang
penting bagi kelangsungan hidup ekonomi dan potensi keberhasilan pada skala
besar. Hasil dari analisis ekonomi skala besar kerapu macan menunjukkan aliran
kas positif sebesar Rp. 707.746.923 dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Selain itu,
IRR yang lebih tinggi menunjukkan potensi yang besar pada skala besar
dibandingkan kecil dan menengah. Proyeksi usaha kerapu bebek skala besar juga
menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV tertinggi serta IRR lebih dari 300%.
Dibandingkan dengan kinerja keuangan budidaya udang windu yang di estimasi oleh
Dwijanti (2004) memperoleh kas bersih sebesar Rp. 107.992.997/ha/tahun; B/C
1,23; IRR 24%. DKP (2007) dalam studi budidaya dan analisa ekonomi budidaya
udang melaporkan aliran kas bersih sebesar Rp. 226.960.000/ha/ tahun, B/C 1,87
dan periode pengembalian modal 1,2 tahun. Perbedaan besar profitabilitas antara
usaha kerapu dan udang menunjukkan kinerja keuangan yang lebih kuat pada
budidaya kerapu. Budidaya kerapu menawarkan pendapatan tinggi dan skala besar
adalah skala produksi yang paling menguntungkan.
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan,
harga jual, peningkatan produksi dan pengurangan biaya produksi adalah variabel
utama yang berpengaruh pada profitabilitas budidaya kerapu. Peningkatan sintasan
kehidupan sampai 80% memberikan kontribusi positif pada NPV dengan skala
produksi yang berbeda. Peningkatan sintasan kehidupan sampai 80% menyebabkan
budidaya kerapu macan skala kecil menjadi layak secara ekonomi. Temuan ini sama
dengan analisis ekonomi oleh Pomeroy et al., (2006) bahwa tingkat sintasan
kehidupan 80% membuat usaha menjadi layak dan arus kas selama 5 tahun menjadi
positif untuk setiap tahun produksi. Penurunan biaya benih dan pakan
menghasilkan peningkatan NPV dan IRR yang signifikan dalam usaha skala menengah
dan besar. Selain itu, penurunan produksi sebesar 20% menyebabkan penurunan NPV
dan IRR yang signifikan pada skala produksi yang berbeda. Analisis juga
menggarisbawahi
bahwa
kenaikan
harga
menjadi
Rp.
70.000
mengakibatkan
peningkatan NPV yang signifikan pada skala menengah dan besar tetapi gagal untuk
meningkatkan NPV pada skala kecil. Analisis sensitivitas pada usaha kerapu bebek
menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan biaya variabel menghasilkan NPV
positif pada skala produksi yang berbeda. Selain itu, penurunan produksi dan
harga bahkan tidak menghasilkan NPV negatif untuk semua skala produksi.
Kesimpulannya bahwa peningkatkan sintasan kehidupan, benih yang unggul serta
manajemen pakan yang effisien akan menjanjikan keuntungan ekonomi yang besar
bagi produsen.

17

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Tabel 7. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Net present value (NPV)
Kecil

Benefit cost ratio


(B/C)
Kecil Menengah Besar

Menengah

Besar

47.854.657

231.250.002

580.453.076

1,34

1,54

+20%

-29.688.500

77.740.910

303.563.229

0,80

-20%
Biaya Pakan

-14.430.651

133.415.969

510.040.269

+20%

-26.068.448

85.517.318

-20%

-18.050.703

+20%
-20%

IRR (%)

Payback period

Kecil

Menengah

Besar

Kecil

Menengah

Besar

1,46

70

164

212

0.99

0,57

0,43

1,17

1,22

65

105

1,13

0,67

0,89

1,34

1,44

116

240

0,88

0,50

328.423.198

0,82

1,19

1,25

71

116

1,09

0,64

125.639.561

485.180.299

0,87

1,31

1,41

108

216

0,91

0,51

-28,897,452

88.936,256

374.098.601

0,80

1,20

1,29

74

138

1,07

0,60

-15.221.700

122.220.623

439.504.896

0,89

1,30

1,36

104

179

0,93

0,54

+20%

-1.667.266

194.038.999

681.597.789

0,99

1,46

1,55

143

246

0,65

0,37

-20%

-40.985.752

18.514.080

133.826.441

0,64

0,93

0,99

29

67

2,10

1,20

Rp. 70.000

-3.980.118

201.670.517

513.052.759

0,97

1,47

1,41

148

192

0,63

0,47

Rp. 50.000

-37.020.862

49.040.153

91.690.183

0,74

1,12

1,07

51

52

1,51

1,45

SR
80%
Biaya benih

Biaya Buruh

Produksi

Harga

18

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Tabel 8. Ringkasan analisa sensitivitas usaha budidaya kerapu bebek dengan skala produksi berbeda
Net present value (NPV)

Benefit cost ratio


(B/C)
Kecil Menengah Besar

Kecil

Menengah

Besar

136.178.120

446.171.022

2.119.419.152

3,17

3,62

+20%

80.899.181

274.648.622

1.041.157.983

2,21

-20%
Biaya Pakan

89.083.257

298.519.515

1.143.464.973

+20%

83.484.770

281.511.175

-20%

86.497.669

+20%
-20%

IRR (%)

Payback period

Kecil

Menengah

Besar

Kecil

Menengah

Besar

3,96

580

668

1028

0,15

0,13

0,09

2,51

2,37

343

409

499

0,24

0,20

0,17

2,52

2,89

2,73

378

445

549

0,22

0,19

0,59

1.053.685.109

2,30

2,60

2,42

354

419

507

0,23

0,20

0,17

291.895.268

1.126.807.722

2,41

2,77

2,67

367

435

541

0,22

0,19

0,16

82.705.013

281.600.394

1.075.089.912

2,27

2,61

2,48

351

420

516

0,23

0,20

0,17

87.277.425

291.567.742

1.109.533.044

2,45

2,76

2,60

370

434

532

0,22

0,19

0,16

SR
80%
Biaya benih

Biaya Buruh

Produksi
+20%

112.239.289

372.970.826

1.435.615.828

2,73

3,13

2,97

477

557

692

0,18

0,16

0.13

-20%

57.743.149

200.197.310

749.007.129

1,96

2,21

2,08

246

299

359

0,31

0,27

0.23

Rp. 350.000

131.046.379

362.726.095

1.270.593.525

3,09

3,13

2,79

557

542

611

0,16

0,16

0,14

Rp. 250.000

75.701.019

210.442.041

704.618.775

2,21

2,24

1,99

321

314

337

0,25

0,26

0,24

Harga

19

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini telah memberikan informasi penting tentang
kelayakan ekonomi budidaya kerapu macan dan bebek pada skala produksi yang
berbeda. Dalam hal kegiatan budidaya, kualitas benih perlu mendapat perhatian
karena tingkat sintasan kehidupan masih rendah selama periode pemeliharaan.
Produsen perlu memilih benih berkualitas tinggi untuk memastikan tingkat
sintasan kehidupan lebih tinggi. Rasio konversi pakan yang lebih besar pada
berbagai skala produksi terutama dalam skala besar sehingga manajemen pakan yang
lebih baik harus diterapkan untuk mengurangi limbah pakan selama siklus
pemeliharaan. Selanjutnya, penelitian ini juga menyoroti bahwa usaha kerapu
macan skala kecil tidak layak secara ekonomis tetapi peningkatan sintasan
kehidupan menjadi 80% dapat memberikan kontribusi positif pada skala ini. Usaha
menengah dan besar menghasilkan usaha yang ekonomis. Akhirnya, usaha kerapu
bebek menghasilkan pendapatan paling besar dibandingkan kerapu macan karena
perbedaan pada harga pasar.
Daftar Pustaka
Chou, R., F.J. Wong. 1985. Preliminary observation on the growth and dietary
performance of grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in floating net
cages and fed dry pelleted diet from autofeeds. Singapore J. Primary Ind.,
13: 84-91.
DKP. 2001. Pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) dan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut
Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia, Jakarta.
DKP. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.
DKP. 2007. Aplikasi Best management practices pada budidaya intensif udang windu
(Penaeus monodon Fabricius). Balai Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta.
Dwijanti, R. 2004. Analisa kelayakan proyek budidaya udang windu Tiger prawn
(Penaeus monodon L.) dala rangka pengembangan wilayah pessisir kabupaten
Purworejo. Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
FAO. 2003. FISHSTAT Plus 2.3. www. Fao.org/fi/statis/fispft/fishplus.asp/. Cited
January 2009.
Kawahara, S., S. Ismi. 2003. Grouper seed production statistics in Indonesia
1999-2002. Research Institute for marine aquaculture-Gondol in cooperation
with institute for the Lampung marine aquaculture development and the
Situbondo brackish water aquaculture development, Department of Marine
Affairs and Fisheries, Indonesia.
Leong, T. S. 1997. Management of marine finfish disease in Malaysia. Paper
presented at a Seminar on Sustainable Development of Mariculture Industry
in Malaysia, 30-31 July, 1997, Kuala Lumpur, Malaysia.
Manadiyanto, N. Zahri, A.H. Purnomo, S.A. Pranowo, Azizi, A. Tajerin. 2002.
Pengembangan model budidaya kerapu di Batam Riau. Pusat Riset Sosial
Ekonomi dan Produk Olahan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Marte, C.L. 2003. Larviculture of marine species in Southeast Asia: current
research and industry prospect. Aquaculture, 227: 293-304.
Pomeroy, R.S., R. Agbayani, M. Duray, J. Toledo, G. Quinitio. 2004. The
financial feasibility of small scale grouper aquaculture in the
Philippines. Aquaculture Economics and Management, 8: 61-83.
Pomeroy, R.S., J.E. Parks, C.M. Balboa. 2006. Farming the reef: is aquaculture a
solution for reducing fishing pressure on coral reef? Marine Policy, 30:
111-130.
Sadovy, Y. 2000. Regional survey for fry/fingerling supply and current practices
for grouper mariculture: evaluating current status and long-term prospects
for grouper mariculture in South East Asia. Final report to the
Collaboration APEC grouper research and development network (FWG 01/99).
December, 2000.
Sadovy, Y.J., P.P.F. Lau. 2002. Prospect and problems for marine culture in Hong
Kong. Aquaculture Economic and Management, 6 (3/4): 177-190.
20

Depik, 1(1): 10-21


ISSN 2089-7790

Sadovy, Y.J., T.J. Donaldson, T.R Graham, F. McGilvray, G.J. Muldoon, M.J.
Phillipps, M.A. Rimmer, A. Smith, B. Yeeting. 2003. While stock last: the
live reed food fish trade. ADB Pacific Studies Series. Asian Development
Bank. Manila.
Shang, Y.C. 1990. Aquaculture economic analysis: An introduction. World
Aquaculture Society, Baton Rouge, LA.
Sheriff, N. 2004. Fisher livelihoods in southern Thailand: sustainability and
the role of grouper culture. Stirling University, UK.
Sih, S.Y., M.A. Rimmer, J.D. Toledo, K. Sugama, I. Rumengan, K.C. William, M.J.
Phillips. 2005. A Practical guide to feeds and feed management for
cultured grouper. NACA, Bangkok, Thailand.
Sih, S.Y. 2006. Grouper aquaculture in three Asian countries: farming and
economic aspect. Deakin University, Australia.
Sugama, K. 2003.
Indonesia focuses on groupers. Asia Aquaculture Magazine
September-October 2003.
Tacon, A.G.J., N. Rausin, , M. Kadari, P. Cornelis. 1991 The food and feeding of
tropical marine fishes in floating net cages: Asian seabasss, Lates
calcarifer (Bloch), and brown-spotted grouper, Epinephelis tauvina
(Forskal). Aquaculture and Fisheries Management, 22: 165-182.
Wu, R.S.S., K.S. Lam, C.W. Mackay, T.S. Lau, V. Yam. 1994 Impact of marine fish
farming on water quality and bottom sediment: a case study in the sub
tropical environment. Marine Environmental Research, 38: 115-145.
Yashiro, R., V. Vatanakul, P. Panichsuke. 1999. Status of grouper culture in
Thailand. pp. 27-35. In: Report of the APEC/NACA Cooperative Grouper
Aquaculture Workshop Hat Yai, Thaiand, 7-9 April 1999. Collaborative APEC
Grouper Research and Development Network (FWG 01/99). Network of
Aquaculture Centres in Asia Pacific, Bangkok, Thailand.

21

Depik, 1(1): 22-26


ISSN 2089-7790

Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur


ikan bandeng, Chanos-chanos
The influence of salinity and buoyancy on hatchability of
milkfish eggs, Chanos-chanos
Sofyatuddin Karina*, Rizwan, Khairunnisak
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah
Kuala, Banda aceh 2311. *E-mail : sofyakarina@gmail.com

Abstract. The objective of this research was to study the influence of


salinity and buoyancy on hatchability of milkfish eggs (Chanos-chanos). The
completely random design was used this study. Two factors i.e. salinity and
buoyancy were tested where the salinity with three levels concentration; 16,
23 and 30 ppt, while the buoyancy with three egg buoyancy categories i.e.
floating, drifting and sinking with three replicates respectively. The result
showed that the hatchability of floating eggs in tested salinities were 76,7%
; 78,75% ; 91,7%, for 16, 23 and 30 ppt, respectively. Then drifting eggs
were 65,3%; 67,0%; 77,0% and sinking eggs were 54,0% ; 55,3% ; 65,0% for 16,
23 and 30 ppt, respectively. In generally, the hatchability was increased
with increasing of salinity. In addition, the hatchability of the floating
eggs was higher than the sinking eggs.
Keyword: Salinity, buoyancy, hatchability, milkfish.
Abstrak. Salinitas dan daya apung memiliki peran penting terhadap daya tetas
telur ikan bandeng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan bandeng
(Chanos-chanos). Rancangan acak lengkap digunakan sebagai analisis statistik
untuk mempelajari pengaruh kedua parameter tersebut dengan tiga perlakuan dan
tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Daya apung yang diuji adalah
mengapung, melayang dan tenggelam dengan tiga tingkatan salinitas 16, 23 dan
30 ppt. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase daya tetas telur yang
mengapung pada ketiga salinitas tersebut secara berturut-turut adalah 76,7%;
78,7%; 91,7%, kemudian telur yang melayang adalah 65,3%; 67%; 77% dan telur
yang tenggelam adalah 54%; 55,3%; 65%. Dengan kata lain, daya tetas telur
meningkat
seiring
dengna
meningkatnya
salinitas.
Berdasarkan
analisis
statistik one-way ANOVA dan uji lanjut Duncan menggunakan software SPSS versi
12 terdapat perbedaan yang nyata dari daya tetas telur pada salinitas 16 atau
23 ppt dengan 30 ppt. Juga dilaporkan bahwa telur yang mengapung memiliki
daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan telur yang tenggelam.
Kata kunci: Salinitas, daya apung, daya tetas telur, bandeng.

Pendahuluan
Permintaan hasil perikanan termasuk ikan bandeng (Chanos chanos) terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat
untuk mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani yang menyehatkan dan
murah. Untuk mengantisipasi permintaan yang semakin meningkat, maka perlu
dilakukan upaya peningkatan produksi, pelestarian dan pengembangan ikan

22

Depik, 1(1): 22-26


ISSN 2089-7790
bandeng
melalui
teknologi
budidaya
dan
pembenihan
untuk
menjamin
kuntinyunitas dan kualitas pasokan bibit.
Selama ini, bibit atau nener bandeng yang digunakan untuk pembudidayaan
umunya berasal dari alam, kemudian ditebarkan dan dibesarkan dalam tambak.
Bibit yang berasal dari alam umumnya berkualitas rendah, ukuran tidak seragam
dan berpotensi membawa bibit penyakit sehingga produksi ikan bandeng tidak
memuaskan.
Biologi reproduksi ikan bandeng dialam belum banyak diketahui, namun
demikian telur ikan bandeng diketahui bersifat pelagik dan setelah menetas
larva-larva ikan bandeng terbawa arus hanyut ke daerah pantai memasuki muaramuara sungai dan tambak (Murtidjo, 2002). Daya apung merupakan faktor penting
dalam proses penyebaran dan penetasan telur ikan bandeng. Daya apung ini
disebabkan oleh adanya perbedaan berat jenis telur dan air dan salah satu
faktor penting yang mempengaruhinya adalah salinitas. namun, hal ini tidak
menjamin telur ikan bandeng juga memiliki kemampuan adaptasi yang baik
terhadap perubahan salinitas. Sampai saat ini belum diketahui berapa kisaran
salinitas yang optimum untuk penetasan telur ikan bandeng dan apakah telur
yang tenggelam masih memiliki potensi untuk menetas. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai salinitas media penetasan dan daya apung
terhadap daya tetas telur ikan bandeng.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu
Penelitian ini dilakukan di hatchery ikan bandeng Balai Budidaya Air
Payau Ujung Batee, Aceh Besar pada tanggal 10-16 Maret, 2011.
Pemijahan dan koleksi telur
Induk ikan bandeng dipijahkan secara alami dan massal dalam wadah
berupa bak beton berbentuk bulat berdiameter 7 m dengan volume 250 m2. Induk
bandeng berukuran 4-6 kg/ekor dipelihara dalam bak dengan kepadatan 1 ekor/8
m3 air atau sekitar 1 kg induk/2 m3. Induk-induk diberi pakan pelet dengan
kandungan protein 38% dan lemak 8% yang diperkaya dengan vitamin dan minyak
ikan untuk mempercepat pematangan gonat induk.
Induk-induk ikan bandeng yang telah memijah pada malam hari, telurnya
akan
mengapung
di
permukaan
air,
telur-telur
tersebut
selanjutnya
dihanyutkan/dialirkan melalui pipa yang dipasang menembus dinding bak induk
dan dihubungkan dengan bak penampungan telur yang dilengkapi dengan kantong
penampung telur (egg collector).
Selanjutnya telur-telur dipindahkan ke
dalam akuarium kaca untuk memilah telur yang mengapung, melayang dan
tenggelam. Hanya telur yang berdiameter rata-rata 1,21 mm yang digunakan
dalam kajian ini.
Persiapan salinitas air media
Air yang digunakan untuk media penetasan berasal dari air laut yang
telah diendapkan dalam bak penampungan 12 jam sebelum dipakai. Salinitas yang
diuji adalah 16, 23 dan 30 ppt, disiapkan dengan menambahkan aquades ke dalam
air
laut
untuk
memperoleh
salinitas
yang
diinginkan
dengan
formula
pengenceran menurut Kordi (2009).
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2
jenis perlakuan, masing-masing tiga taraf uji dan 3 kali perulangan.
Perlakuan yang diuji adalah daya apung (buoyancy); mengapung, melayang dan
tenggelam serta 3 perlakuan salinitas; 16, 23 dan 30 ppt. Dengan demikian
terdapat 27 satuan percobaan yang akan diamati.
Penanganan dan penetasan Telur
Telur uji yang berasal dari egg collector dimasukkan ke dalam 3 wadah
10 L, masing-masing wadah diisi dengan telur yang berbeda daya apungnya.
Wadah satu berisi telur yang mengapung (telur yang berada di permukaan air),
23

Depik, 1(1): 22-26


ISSN 2089-7790
wadah 2 berisi telur yang melayang (telur yang berada antara dasar dan
permukaan air) dan wadah 3 berisi telur yang tenggelam (telur yang berada di
dasar air. Dari ketiga wadah ini, sebanyak kurang lebih 100 telur masingmasing didistribusikan ke dalam 3 wadah untuk masing-masing jenis daya apung
dengan salinitas yang telah ditentukan (16, 23 dan 30 ppt). Kemudian setelah
24 jam, daya tetas telur dihitung.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan jumlah telur, jumlah larva
dan kualitas air. Pengamatan untuk jumlah telur dihitung secara manual
menggunakan hand counter dengan bantuan beakerglass 50 mL. Pengamatan
terhadap jumlah larva (telur yang menetas) setelah 24 jam juga dilakukan
dengan cara yang sama. Menurut Suseno (1983) dalam (Putra, 2010) daya tetas
telur ikan dapat dihitung dengan cara menghitung larva satu persatu kemudian
dinyatakan dalam persen dengan rumus:
Daya tetas telur =

x 100%

Analisa data
Untuk mengetahui pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas
telur ikan bandeng (Chanos-chanos) digunakan analisis statistik one-way ANOVA
dan uji lanjut Duncan menggunakan SPSS software versi 12.0 untuk menentukan
perlakuan terbaik.

Hasil dan Pembahasan


Salinitas 30 ppt adalah tingkat kadar garam normal pada air laut, pada
salinitas ini induk ikan bandeng dipelihara dan dipijahkan. Salinitas 23 ppt
adalah kisaran salinitasi media air laut - payau, di mana nener (stadium
akhir larva bandeng) dipelihara di bak- bak hatchery bandeng. Sementara
salinitas 16 ppt mewakili air payau, di alam kondisi ini dijumpai pada
tambak-tambak dimana benih bandeng dipelihara atau dibesarkan mencapai ukuran
konsumsi.
Tabel 3. Persentase daya tetas (%) 3 kelompok telur ikan
bandeng (Chanos-chanos) pada salinitas 16, 23 dan 30 ppt.
Daya apung

Salinit
Ulangan
Rata-rata
as
1
2
3
(ppt)
Mengapung
16
72
80
78
76,7a
23
79
83
74
78,7 a
91,7 b
30
89
95
91
Melayang
16
68
62
66
65,3 a
23
64
68
69
67,0 a
30
79
72
80
77,0 b
Tenggelam
16
51
59
52
54,0 a
23
56
52
58
55,3 a
30
62
66
67
65,0 b
Keterangan : Supercript yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang nyata pada taraf 1%.

24

Depik, 1(1): 22-26


ISSN 2089-7790

Gambar 1. Peningkatan daya tetas (%) telur ikan


bandeng (Chanos-chanos) yang mengapung, melayang
dan tenggelam dengan kenaikan salinitas dari 16
ppt ke 30 ppt.
Daya tetas telur ikan akan menentukan kualitas larva yang dihasilkan,
menurut Bobe dan Labb (2010) bahwa kualitas telur dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain status nutrisi induk jantan/betina, penanganan/ manajemen
induk saat pemijahan (tingkat pembuahan), faktor stress dan kondisi
lingkungan seperti suhu, lama pencahayaan dan salinitas.
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa daya tetas telur beragam
untuk ketiga jenis daya apung dan salinitas yang diuji. Daya tetas yang
paling tiggi diperoleh pada jenis telur yang mengapung dengan salinitas 30
ppt. Secara umum terlihat terjadi peningkatan yang signifikan pada daya tetas
telur dengan meningkatnya salinitas dari 23 ppt ke 30 ppt, baik pada telur
mengapung, melayang dan tenggelam, sementara tidak ada perbedaan antara daya
tetas telur pada 16 ppt dengan 23 ppt.
Pada penelitian ini, salinitas 30 ppt merupakan salinitas yang memiliki
suhu lebih tinggi dari salinitas lainnya (16 dan 23 ppt). Data yang
didapatkan adalah bahwa telur ikan bandeng pada ketiga jenis perlakuan masih
dapat menetas pada salinitas yang cukup rendah yaitu 16 ppt, dengan laju
penetasan 75,7% (mengapung), 65,3% (melayang) dan 54,0% (tenggelam), hal ini
membuktikan bahwa telur ikan bandeng memiliki toleransi salinitas yang cukup
luas sama halnya dengan sifat yang dimiliki oleh induknya.
Selain dari pada itu, dapat disimpulkan juga bahwa telur yang mengapung
memiliki kualitas lebih baik dari telur yang tenggelam serta salinitas di
atas 23 ppt (hingga 30 ppt) adalah salinitas yang optimum untuk penetasan
telur ikan bandeng.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data yang didapatkan selama
penelitian dapat disimpulkan bahwa daya tetas telur yang mengapung lebih
tinggi daripada telur yang tenggelam dan melayang pada semua tingkat
salinitas yang diuji, namun telur yang tenggelam masih memiliki peluang untuk
menetas. Daya tetas juga meningkat seiring dengan peningkatan salinitas.

25

Depik, 1(1): 22-26


ISSN 2089-7790

Daftar Pustaka
Bobe,

J., C. Labb. 2010. Egg and sperm quality in fish. General and
Comparative Endocrinology, 165(3):535-548.
Chauduri, H., J.V. Juario, Jurgenne H. Primavera, R. Samson, R. Mateo. 1978.
Observations on artificial fertilization of eggs and the embryonic and
larval development of milkfish, Chanos-chanos (Forskal). Aquaculture,
13(2):95-113.
Kordi, H., M. Gufran. 2009. Sukses memproduksi bandeng super untuk umpan,
ekspor dan indukan. Lily Publisher, Yogyakarta.
Murtidjo, B. Agus. 2002. Budidaya dan pembenihan bandeng. Kasinius,
Yogyakarta.
Suseno. 1983. Suatu perbandingan antara pemijahan alami dengan pemijahan
stipping ikan mas (Cyprinus caprio. L) terhadap derajat fertilitas dan
penetasan telurnya. Tesis magister Fakultas Pasca Sarjana Perikanan.
UGM, Yogyakarta.

26

Depik, 1(1): 27-31


ISSN 2089-7790

Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air


(Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea
canaliculata) dan ikan lele lokal (Clarias batrachus)
The selectivity test of ethyl acetate extract (EtOAc) of putat air
kernels (Barringtonia racemosa) on golden snail (Pomacea
canaliculata) and local catfish (Clarias batrachus)
Musri Musman*, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh 23111; *Email korespondensi: ulonmus@yahoo.com
Abstract. This study examined the selectivity of ethyl acetate extract of
putat air (Barringtonia racemosa) in controlling Pomacea canaliculata compared
to local catfish (Clarias batrachus). Five concentration of putat air
(25,
50, 100, 200, and 400 ppm) with triplicate were tested in this study. The
powder of putat air kernel was extracted through increasing the polarity of
solvent, i.e. dichloromethane, ethyl acetate, and methanol. The mortality data
were analyzed using Trimmed Spearman Karber (TSK) program version 1.5. The
selectivity value was calculated based on LC50 values obtained from TSK. The
results showed that (1) LC50 values of putat airs kernel extract of putat air
to P. canaliculata and C. batrachus were 25.00 and 87.06 ppm, respectively,
(2) the selectivity value of putat airs kernel extract as molluscicide of P.
canaliculata was 3.48.
Key words: Pomacea canaliculata, local catfish (Clarias batrachus), putat air
(Barringtonia racemosa).
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan selektivitas ekstrak etil
asetat (EtOAc) biji putat air (Barringtonia racemosa) dalam pengendalian hama
keong mas (Pomacea canaliculata) yang dibandingkan terhadap ikan lele lokal
(Clarias batrachus). Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Laut Jurusan
Ilmu Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan dan Laboratorium Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala dari
bulan Juni sampai Juli 2011. Serbuk biji putat air diekstraksi berdasarkan
kepolarannya secara berurutan, yaitu diklorometana, etil asetat, dan metanol.
Pada penelitian ini digunakan ekstrak etil asetat dari simplisia. Penelitian
ini dirancang dengan lima perlakuan konsentrasi (25, 50, 100, 200, dan 400
ppm). Masing masing sebanyak 10 individu organisme uji (ikan lele lokal,
keong mas) digunakan pada tiap perlakuan. Tiap perlakuan dilakukan tiga kali
ulangan. Ekstrak biji putat air dipajan ke dalam aquarium pengujian. Data
hasil pengamatan mortalitas organisme uji dianalisis dengan program Trimmed
Spearman Karber (TSK) version 1.5. Nilai selektivitas dihitung berdasarkan
harga LC50 yang diperoleh dari program TSK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(1) LC50 ekstrak biji putat air terhadap keong mas adalah 25,00 ppm dan LC50
ekstrak biji putat air terhadap lele lokal adalah 87,06 ppm. (2) selektivitas
ekstrak biji putat air sebagai antimoluska keong mas terhadap ikan lele lokal
adalah 3,48.
Kata kunci: keong mas (Pomacea canaliculata), ikan lele lokal (Clarias
batrachus), putat air (Barringtonia racemosa).

Pendahuluan
Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah moluska introduksi dari Amerika
Selatan (Musman, 2010), namun kemudian, keong mas menjadi hama utama tanaman
padi (Suripto, 2009) dengan memakan batang padi muda yang lunak (Reubee,
2010).
27

Depik, 1(1): 27-31


ISSN 2089-7790
Pengendalian hama keong mas menggunakan moluskosida sintesis, bahan
kimia ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena mengandung residu
seperti metaldehid, niklosamid atau klorothalonil (Niawati, 2007). Penggunaan
moluskosida sintesis berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme lain di sawah
dan dapat menyebabkan kematian bagi ikan - ikan, bahkan hewan peliharaan
(Wada, 2004). Pencemaran lingkungan sebagai dampak dari pengendalian hama
keong mas pada tanaman padi dapat dihindari dengan mencari alternatif
moluskosida alami dari bahan tumbuhan (Suripto, 2009).
Sejumlah tumbuhan tropis telah diketahui memiliki aktivitas antimoluska
seperti jambu mente, akasia, dan jayanti (Suripto, 2009).
Kelompok senyawa
yang berasal dari tumbuhan yang telah diidentifikasi memiliki moluskosida
aktif adalah golongan saponin, tanin, alkaloid, dan flavonoid (Musman, 2006).
Putat air telah diuji memiliki aktivitas moluskosida dan efektif mengendalikan
keong mas yang diuji di laboratorium (Musman, 2009).
Untuk menilai kualitas suatu pestisida secara ekologis, bukan hanya
ditentukan toksisitas terhadap organisme sasaran di dalam pengendaliannya,
akan tetapi juga toksisitasnya terhadap organisme lain yang bukan sasaran
pengendalian, seperti tanaman inang itu sendiri atau organisme lainnya di
tempat yang sama dan memiliki manfaat bagi manusia (Suripto, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dikaji tentang selektivitas ekstrak etil
asetat biji putat air (B. racemosa) terhadap keong mas (P. canaliculata) dan
ikan lele lokal (Clarias batrachus). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
selektivitas ekstrak etil asetat biji putat air dalam pengendalian hama keong
mas yang dibandingkan terhadap ikan lele lokal.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Laut Jurusan Ilmu
Kelautan Koordinatorat Kelautan dan Perikanan dan Laboratorium Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011.
Pengumpulan buah putat air dan ekstraksi etil asetat
Buah putat air dikumpulkan dari Desa Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya,
Kabupaten Aceh Besar pada Juni 2011. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan
pelarut diklorometana, etil asetat, dan metanol.
Proses ekstraksi biji putat air dalam pelarut diklorometana
Buah putat air dikupas kulitnya untuk diambil bijinya. Ditimbang berat
semua biji yang telah dikupas sebagai berat basah (1,9 kg). Biji tersebut
dirajang-rajang tipis dengan menggunakan pisau dan dikeringkan di bawah sinar
matahari selama 7 hari. Rajangan tipis biji putat air diblender dan disaring
pada ayakan. Ditimbang berat tepung yang diperoleh sebagai berat kering (550
g). Ditimbang 500 g tepung biji putat air dan masukkan ke dalam toples
bervolume
1,5 liter. Dialirkan perlahan-lahan 1 liter pelarut diklorometana
ke dalam toples dimaksud sambil diaduk-aduk hingga semua tepung terendam
homogen, lalu didiamkan selama 24 jam. Campuran disaring dengan kertas Whatman
No. 1. Filtrat yang diperoleh kemudian dievaporasi dengan pengawa putar hingga
diperoleh padatan/pasta ekstrak kasar diklorometana. Ditimbang ekstrak kasar
yang diperoleh dari hasil evaporasi dan disimpan dalam botol untuk uji
selektivitas. Penyimpanan dilakukan dalam ruang pendingin.
Proses ekstraksi biji putat air dalam pelarut etil asetat
Diulangi langkah kerja di atas pada residu yang diperoleh dengan
mengganti pelarut diklorometana dengan pelarut etil asetat. Residu yang
diperoleh direndam dengan pelarut etil asetat. Filtrat yang diperoleh
dievaporasi dengan pengawa putar hingga diperoleh padatan/pasta ekstrak kasar
etil asetat. Ditimbang ekstrak kasar yang diperoleh dari hasil evaporasi dan
disimpan dalam botol untuk uji selektivitas. Penyimpanan juga dilakukan dalam
ruang pendingin.
Pengumpulan organisme uji dan persiapan wadah uji
Organisme uji adalah keong mas dan ikan lele lokal, sebanyak 180
individu keong mas dengan panjang cangkang 3-4 cm dan 180 ekor ikan lele lokal
dengan panjang total 3-5 cm. Organisme uji yang telah dikumpulkan, dimasukkan
ke dalam ember yang telah diisi air tawar. Selanjutnya organisme uji dibawa ke
28

Depik, 1(1): 27-31


ISSN 2089-7790
tempat penelitian. Wadah uji yang digunakan untuk penelitian ini adalah
aquarium berukuran 45x30x35 cm sebanyak 36 unit. Ketinggian air dalam wadah
adalah 10 cm (Musman, 2010).
Proses pencampuran ekstrak biji putat air dalam wadah uji
Ekstrak biji putat air dibuat menjadi beberapa larutan konsentrat yaitu
25, 50, 100, 200, dan 400 ppm. Kelompok aquarium disusun dalam urutan pertama
untuk keong mas dan kedua untuk ikan lele lokal. Enam baris aquarium terdiri
atas baris pertama untuk kontrol (0 ppm), baris kedua untuk pemberian
konsentrat 25 ppm, baris ketiga untuk pemberian konsentrat 50 ppm, baris
keempat untuk pemberian konsentrat 100 ppm, baris kelima untuk pemberian
konsentrat 200 ppm, dan baris keenam untuk pemberian konsentrat 400 ppm, pada
masing-masing kelompok baris dilakukan tiga kali ulangan.
Setiap aquarium diisi air sampai ketinggian 10 cm yang diukur dari dasar
aquarium. Setiap aquarium kemudian diisi sebanyak masing-masing 10 ekor hewan
uji tiap spesiesnya (Rudiyanti dan Ekasari, 2009; Suripto, 2009). Hewan uji
diaklimasi selama 30 menit dalam wadah uji sebelum eksperimen dijalankan
(Musman, 2010). Setekah 30 menit, larutan konsentrat ekstrak biji putat air
dituangkan sebanyak 100 ml ke dalam masing-masing melalui dinding aquarium dan
semua organisme uji telah di dalam air.
Pengamatan kondisi dan mortalitas organisme uji
Pegamatan mortalitas organisme uji dilakukan setelah 48 jam. Mortalitas
keong mas ditandai dengan keluarnya lendir melalui celah operculum atau
kakunya pergerakan operculum bila ditekan ke arah dalam (Musman, 2004).
Rudiyanti dan Ekasari (2009) menyatakan bahwa ikan yang terkena racun dapat
diketahui dengan gerakan hiperaktif, lebih sering berada di permukaan,
menggelepar, lumpuh sehingga kemampuan ikan untuk beradaptasi semakin
berkurang dan akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data mortalitas keong mas dan
ikan lele lokal adalah program TSK (Trimmed Spearman-Karber) versi 1.5 yang
diproses dengan perangkat lunak komputer (Hamilton et al., 1997). Hasil yang
diperoleh dari TSK ini berupa LC50 (rerata konsentrasi yang mematikan) yaitu
konsentrasi kimia yang membunuh 50% hewan uji. Nilai selektivitas ekstrak biji
putat air dapat dihitung berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh tersebut, dengan
menggunakan rumus dari Feng and Wang (1984) yaitu sebagai berikut:
LC50 ikan lele lokal
Selektivitas untuk ikan lele lokal =
___________________
LC50 keong mas
Kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai selektivitas antimoluska secara
fisiologis adalah sebagai berikut:
- Jika S > 1, artinya ekstrak biji putat air memiliki selektivitas tinggi
untuk pengendalian keong mas.
- Jika S 1, artinya ekstrak dari biji putat air tidak selektif sebagai
anti keong mas.

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas meningkat
seiring dengan peningkatan konsentrasi ektrak biji putat. Kematian keong mas
mulai terjadi pada konsentrasi 25 ppm, sedangkan pada ikan lele kematian mulai
terjadi pada konsentrasi 50 ppm (Gambar 1).
Keong mas bergerak mencari makan dengan cara membuka operculum-nya dan
menggerakkan kakinya. Keaktifan keong mas bergerak untuk mencari makanan
berakibat pada seringnya terjadi kontak tubuh dengan bahan moluskosida
(Musman, 2009), akibatnya ekstrak biji putat air terakumulasi pada kaki keong
mas.
Untuk mengurangi
kontak lebih
lanjut permukaan
tubuhnya
dengan
moluskosida, keong mas mengeluarkan lendir. Namun pembentukan lendir dalam
jumlah yang berlebihan ini, dapat menghambat proses pernapasannya dan
mengakibatkan kematian.

29

Depik, 1(1): 27-31


ISSN 2089-7790

Gambar 2. Tingkat mortalitas keong mas dan ikan lele pada


konsentrasi ekstrak biji putat air yang berbeda.
Musman (2010) menyatakan bahwa pada biji putat air terkandung senyawa
saponin dan flavonoid. Diduga adanya senyawa saponin dalam ekstrak biji putat
air menyebabkan kematian pada keong mas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Musman (2009) yang menyatakan bahwa hadirnya saponin dalam badan air
menyebabkan terhambatnya proses pernafasan pada keong mas. Francis et
al.(2002) juga menjelaskan bahwa bahwa terhambatnya proses pernafasan pada
keong mas terjadi karena difusi oksigen melalui insang terhalangi oleh lendir
tersebut.
Untuk ikan lele lokal, pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa
daya tahan ikan lele lokal terhadap daya toksik ekstrak biji putat air lebih
tinggi dibandingkan keong mas. Perubahan tingkah laku pada ikan lele lokal
disebabkan karena adanya pengaruh pemberian ekstrak biji putat air. Perubahan
tingkah laku yang tampak yaitu ikan aktif menghindar ketika diberi ekstrak
putat air dan ikan mencoba mencari air yang belum terkontaminasi racun. Ikan
lele lebih sering muncul ke permukaan air sebagai upaya untuk mendapatkan
udara, hal ini diduga akibat banyaknya racun yang masuk ke tubuh, baik melalui
insang atau saluran cerna.
Rudiyanti dan Ekasari (2009) juga menyatakan bahwa ikan yang terkena
racun dapat diketahui dengan gerakan hiperaktif dan lebih sering berada di
permukaan. Kemudian ikan lele lokal bergerak lambat dan akhirnya menyebabkan
kematian. Senyawa saponin yang terkandung dalam biji putat air bersifat racun
untuk ikan (Orwa et al., 2009). Saponin juga merusak insang organisme akuatik
(Clearwater et al.,, 2008). Reed et al. (1967) menyatakan bahwa racun tumbuhan
mempengaruhi insang sehingga ikan sulit bernafas.
Nilai
selektivitas ekstrak
biji putat
air yang
diperoleh
dari
perbandingan LC50 ikan lele lokal (87,06) terhadap LC50 keong mas (25,00) adalah
3,48. Nilai ini menunjukkan bahwa ekstrak biji putat air memiliki selektivitas
yang tinggi. Artinya sifat racun ekstrak biji putat air sangat selektif
terhadap keong mas, karena pada batasan konsentrasi tertentu ekstrak ini sudah
mampu mematikan organisme sasaran yaitu keong mas, tetapi belum mematikan
organisme non sasaran yaitu ikan lele lokal.

Kesimpulan
Pemberian ekstrak biji putat air kepada keong mas dan ikan lele lokal
berpengaruh terhadap mortalitas keong mas dan ikan lele lokal. LC50 ekstrak
biji putat air terhadap keong mas adalah 25,00 ppm dan LC50 ekstrak biji putat
air terhadap ikan lele lokal adalah 87,06 ppm berdasarkan uji TSK.
30

Depik, 1(1): 27-31


ISSN 2089-7790
Selektivitas ekstrak biji putat air sebagai antimoluska keong mas terhadap
ikan lele lokal adalah 3,48.

Daftar Pustaka
Clearwater, S.J., C.W. Hickey, M.L. Martin. 2008. Overview of Potential
Piscicides and Molluscicides for Controlling Aquatic Pest Species in New
Zealand. New Zealand. http://www.doc.govt.nz diakses pada tanggal 23
Oktober 2011.
Feng, H.T., T.C. Wang. 1984. Selectivity of insecticides to Plutella
xylostella (L) and Apanteles plutellae. Plan Prot. Bull., 26:275-284.
Francis, G., Z. Keren, H.P.S. Makkar, K. Becker. 2002. The Biological Action
of Saponins in Animal Systems: A Review. British Journal of Nutrition,
88:587-605.
Hamilton, M. A., R.C. Russo, R.V. Thurston. 1997. Trimmed Spearman-Karber
Method for Estimating Median Lethal Concentrations in Toxicity Bioassay.
Environmental Science and Technology, 11(7):714-719.
Musman, M. 2004. Pengaruh Ekstrak Metanol Buah Penteut (Barringtonia asiatica)
Terhadap Mortalitas Keong Mas (Pomacea canaliculata). Jurnal Natural, 4
(2):99-11.
------. 2006. Laboratory and Field Evaluation of Molluscicide of Golden Snail
(Pomacea canaliculata). Jurnal Bionatural, 8(1):39-46.
------. 2009. The Potency of Penteut Ie (Achehnese Barringtonia racemosa (L.)
Spreng) as Molluscicide of Pomacea Species (Ampullariidae). In Abidin et
al. (eds.). Understanding Disaster and Environmental Issues with Science
and
Engineering
towards
Sustainable
Development.
Proceeding
The
International Conference on Natural and Environmental Sciences 2009
(ICONES 09). Banda Aceh.
------. 2010. Toxicity of Barringtonia racemosa (L.) Kernel Extract on Pomacea
canaliculata (Ampullariidae). Tropical Life Science Research, 21(2):4150.
Niawati, S.T. 2007. Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai
Solusi
Alternatif
Pengendalian
Hama
Telur
Keong
Mas
(Pomacea
canaliculata
Lamark)
pada
Tanaman
Padi.
http://studentresearch.umm.ac.id/ diakses pada tanggal 12 April 2011.
Orwa, C., A. Mutua, R. Kindt, R. Jamnadass, A. Simons. 2009. Barringtonia
racemosa (L.) Spreng Lecythidaceae, Agroforestry Database: a tree
reference
and
selection
guide
version
4.0.
http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ diakses pada tanggal 09
April 2011.
Reed, W., J. Burchard, A.J. Hopson, J. Jenness, L. Yaro. 1967. Fish and
Fisheries of Northern Nigeria publication. Ministry of Agriculture press
Northern Nigeria. Pp. 201-202.
Reubee, A.A. 2010. Keong Mas Serang 500 Hektare Sawah. Media Indonesia online.
http://www.mediaindonesia.com diakses pada tanggal 12 April 2011.
Rudiyanti, S., A.D. Ekasari. 2009. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 g.
Jurnal Saintek Perikanan, 5(1):39-47.
Suripto. 2009. Selektivitas Anti Moluska Dari Tanaman Jayanti (Sesbania sesban
(L.) Merr.). Jurnal Biologi Tropis. 10(1):24-32.
Wada, T. 2004. Strategies for controlling the apple snail Pomacea canaliculata
(Lamarck) (Gastropoda : Ampulliariidae) in Japanese direct-sown paddy
fields. Japan Agricultural Research Quarterly, 38(2): 75-80.

31

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790

Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan


Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh
Study of sediment distribution based on grains size in Kuala
Gigieng Estuary, Aceh Besar District, Province of Aceh
Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan*, Marwantim
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi: ichsansetiawan@yahoo.com

Abstract. The objective of the present study was to evaluate the distribution
of sediments in the estuary of Kuala Gigieng. The study was done on Mei to
June 2011 and the sampling was conducted in three areas of estuary i.e. downestuarine, middle-estuarine and river section of Kuala Gigieng. The wet
sieving analysis method was used in this study. The data was then weighed and
the percentage was calculated and classified based on the Wentworth scale. The
results showed that (1) the mean grain size of sediment of each area was 0.50
mm, 0.65 mm and 0.56 mm and the characteristically, the sediment distribution
was consisted of medium sand 63.42%, fine sand 23.40%, coarse sand 5.59%, very
fine sand-mud 4.13% and pebble 0.17%. The currents speed were 0.25 m/s,
0.23 m/s and 0.19 m/s. The current speed has influenced the sediment
distribution where small grains were mostly found at higher current speed.
Key words: Estuary, currents and sediment distribution
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran sedimen yang ada di
daerah Kuala Gigieng, dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2011. Lokasi
sampling terbagi atas kawasan hilir, tengah dan hulu. Teknik yang digunakan
adalah analisis penyaringan dengan metode ayak basah yang menggunakan saringan
sedimen bertingkat dengan diameter
berbeda-beda (4,75 mm, 1,7 mm, 250 m,
850 m, 150 m). Dihitung persentase berat, nilai ukuran butir rata-rata serta
hubungan arus dengan ukuran butir rata-rata berdasarkan skala Wentworth. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai ukuran butir rata-rata di kawasan hilir
sebesar 0,50 mm, di kawasan tengah sebesar 0,65 mm, dan di kawasan hulu
sebesar 0.56 mm. Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir
pasir sedang (medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar
23,40%, pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%,
kerikil halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Nilai kecepatan arus
pada masing-masing kawasan adalah sebesar 0,25 m/detik, 0,23 m/detik dan 0,19
m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi sebaran sedimen, dimana butiran sedimen
yang lebih besar ditemukan pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang lebih
tinggi.
Kata kunci : Estuaria, arus dan sebaran sedimen

Pendahuluan
Muara mempunyai nilai penting sebagai alur penghubung antara laut dan
sungai, sehingga dapat digunakan sebagai alur pelayaran menuju ke daerah
pedalaman untuk mempercepat perkembangan daerah. Secara umum kawasan muara
juga mempunyai peran ekologis penting antara lain sebagai sumber zat hara dan
bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi arus harian dan pasang surut
(tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh
31

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790
besar (spawning and nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan
udang (Nontji, 2007).
Kuala Gigieng merupakan salah satu muara yang secara administratif
berada di Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Letak
Kuala Gigieng sangat strategis karena diapit oleh tiga desa yaitu Gampong
Lambada Lhok, Gampong Lamnga, dan Gampong Baro serta berhubungan langsung
dengan Selat Malaka dan Krueng Neuheun. Namun demikian berdasarkan informasi
dari peta satelit menunjukkan bahwa proses penumpukan sedimen yang ada di
daerah ini cenderung berubah dan tidak stabil. Oleh karena itu diperlukan
suatu kajian untuk mengetahui dan mengkaji sebaran sedimen di Kuala Gigieng,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
di
perairan
Kuala
Gigieng,
Kecamatan
Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Pengumpulan
sampel sedimen
dilakukan
sebanyak empat kali pengulangan selama Bulan Mei Juni 2011 pada 9 stasiun
yang terbagi dalam tiga kawasan yaitu pada kawasan hilir (menghadap laut),
tengah dan hulu (menghadap sungai), seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Kuala Gigieng yang menunjukkan lokasi penelitian dan


titik sampling
Analisis distribusi ukuran butir sedimen dan arus
Pengambilan sampel sedimen dilakukan secara coring dengan menggunakan
tube core sampler diameter 3,5 inchi dengan kedalaman sampel 15 cm (Indarto,
1996). Sampel sedimen yang telah diperoleh dikeringkan selama enam hari.
Selanjutnya dari setiap sampel diambil 200 gram untuk dianalisis menggunakan
metode ayak basah pada saringan bertingkat (sieve analysies) berukuran 4,75
mm, 1,70 mm, 850 m, 250 m, 150 m dan ditadah menggunakan media penampung
(Wentworth, 1922). Setelah diayak, sampel sedimen yang tertinggal pada setiap
ukuran saringan dikeringkan kembali untuk ditimbang masing-masing beratnya
sehingga diperoleh distribusi berat sedimen berdasarkan rentang ukuran
kerapatan jaring saringan (Sheppard, 1954; Poerbandono dan Djunasjah, 2005).
Perhitungan persentase berat sedimen dapat diketahui dari masing-masing fraksi
sedimen tersebut dengan menggunakan persamaan :

32

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790

persen _ berat =
Dimana,

berat _ fraksi _ i
100%
berat _ total _ sampel

berat fraksi i = Berat tiap-tiap fraksi ukuran butir (g)

Penentuan ukuran butir rata-rata dapat diketahui


sampel sedimen tersebut dengan menggunakan persamaan :

d =

dari

masing-masing

persen _ berat _ fraksi ukuran _ butir _ fraksi


100

Dimana, d = Nilai ukuran butir rata-rata (mm)


Pengukuran arus dilakukan pada setiap kawasan penelitian, yaitu kawasan
hulu, tengah dan hilir yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecepatan
arus yang ada di ketiga wilayah. Pengukuran arus dilakukan sebanyak empat kali
pengulangan yaitu pada bulan Mei Juni 2011 dengan menggunakan floating
drauge.

Hasil dan Pembahasan


Karakteristik sedimen
Hasil analisa sampel sedimen di Kuala Gigieng menunjukkan tiga fraksi
sedimen yang ada di daerah tersebut yaitu kerikil, pasir dan lumpur yang
memiliki persentase berat yang berbeda di setiap titik dan periode pengambilan
(Tabel 1). Secara umum jenis sedimen yang dominan pada tiga kawasan tersebut
adalah pasir sedang (0,25 - 0,85 mm). Hal ini menunjukkan pengaruh lautan
sangat dominan pada perairan Kuala Gigieng, khususnya pada kawasan hilir yaitu
pada Stasiun 1, 2 dan 3, yang berbatasan langsung dengan kawasan laut.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa perairan yang berarus kuat umumnya tekstur
sedimen berpasir. Transport sedimen pada kawasan hilir dapat disebabkan oleh
arus sejajar pantai atau diistilahkan dengan transport sedimen sepanjang
pantai (longshore sediment transport). Koesoemadinata (1980) menyebutkan bahwa
transport sedimen sepanjang pantai terjadi apabila pasir terangkat oleh
turbulensi
yang
disebabkan
oleh
gelombang
pecah
sehingga
menyebabkan
terjadinya erosi dan akresi di daerah pantai.
Kawasan hulu didominasi oleh jenis sedimen pasir sedang (0,25 - 0,85 mm)
meskipun memiliki kandungan pasir halus (0,15-0,25 mm) dan lumpur (<0,15 mm)
yang lebih tinggi dibandingkan kawasan tengah dan hilir. Hal ini disebabkan
letaknya yang lebih jauh dari pantai dan terlindung dari pengaruh gelombang
laut serta banyaknya bahan organik dan detritus yang dibawa air sungai
menumpuk di perairan ini, terutama pada saat arus melemah. Bahan organik dan
detritus yang terdapat pada kawasan hulu dapat disebabkan oleh input yang
dibawa oleh air sungai yang berasal dari kawasan mangrove yang terdapat di
sekitar Kuala Gigieng. Dean dan Dalrymple (2004) mengatakan Pada umummya
sedimen berpasir bersifat terrigenous yang komposisinya dipengaruhi lokasi
asli dimana ia berada. Lebih lanjut Nybakken (1992) menyatakan bahwa jenis
sedimen dan ukurannya merupakan salah satu faktor ekologi dan mempengaruhi
kandungan bahan organik dimana semakin halus
tekstur subtrat semakin besar
kemampuannya menjebak bahan organik.

33

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790

Tabel 1. Distribusi persentase berat sampel sedimen di perairan Kuala Gigieng

Stasiun

Kerakal
(>4,75
mm)

Persentase berat Sedimen (%)


Pasir
Pasir
Pasir
halus
Kerikil
kasar
sedang
(1,70 (0,15(0,85 (0,25 4,75 mm)
0,25
1,70 mm) 0,85 mm)
mm)

Lumpur
(<0,15mm)

(d)
Ukuran
butir
rata
rata
(mm)

Kawasan hilir (menghadap laut)


1

0,63

3,49

69,39

23,07

3,43

0,50

0,13

1,47

2,91

69,23

22,59

3,69

0,52

1,47

1,56

67,98

25,83

3,65

0,48

Kawasan tengah
4

0,99

4,66

68,35

20,16

3,62

0,59

0,25

3,22

5,48

72,60

15,21

4,59

0,58

0,13

1,87

2,47

67,29

11,73

1,52

0,78

Kawasan hulu (menghadap Sungai)


7

0,04

6,87

5,88

51,99

35,24

5,15

0,50

1,02

1,71

9,33

46,01

29,28

9,00

0,67

5,38

4,50

64,26

27,50

2,50

0,51

Pengaruh arus terhadap distribusi sedimen di muara Kuala Gigieng


Analisa ukuran butir rata-rata sangat dipengaruhi oleh proses-proses
oseanografi di sekitar lokasi sedimen ditemukan. Data sampel sedimen yang
diambil pada kawasan hilir menunjukkan nilai ukuran butir rata-rata sebesar
0,50 mm sedangkan ukuran butir rata-rata di kawasan tengah dan kawasan hulu
masing-masing adalah sebesar 0,65 mm dan 0,56 mm (Tabel 2).
Salah satu faktor oseanografi yang penting dalam distribusi sedimen di
suatu perairan adalah arus, khususnya terhadap sedimen tersuspensi (suspended
sediment). Kecepatan arus yang tercatat di bagian menghadap laut adalah
sebesar 0,25 m/detik sedangkan arus yang tercatat di bagian Tengah dan Hulu
masing-masing memiliki kecepatan sebesar 0,23 m/detik dan 0,19 m/detik.
Gambar 2 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan ukuran butiran
rata-rata yang ditemukan pada daerah yang memiliki arus yang lebih tinggi. Hal
ini dapat disebabkan oleh sifat arus yang menyeleksi ukuran butir yang
dipindahkannya dalam proses sedimentasi. Hal ini senada dengan Darlan (1996)
menyebutkan bahwa distribusi fraksi-fraksi sedimen dipengaruhi oleh arus. Pada
daerah dengan turbulensi tinggi, fraksi yang memiliki kenampakan makroskopis
seperti kerikil dan pasir akan lebih cepat mengendap dibandingkan fraksi yang
berukuran mikroskopis seperti lumpur. Lebih lanjut Dyer (1986) menjelaskan
bahwa sedimen dengan ukuran yang lebih halus lebih mudah berpindah dan
cenderung lebih cepat daripada ukuran kasar. Fraksi halus terangkut dalam
bentuk suspensi sedangkan fraksi kasar terangkut pada dekat dasar laut.
Selanjutnya partikel yang lebih besar akan tenggelam lebih cepat daripada yang
berukuran kecil.

34

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790

Tabel 2. Ukuran Butiran rata-rata pada setiap periode pengambilan


sampel di kawasan hulu, muara dan hilir
Ukuran butir (d) rata-rata (mm)
Stasiun

1
2
3
rata-rata

Mei I

Mei II

Juni I

Juni II

0,49
0,49
0,44
0,47

Kawasan hilir
0,63
0,59
0,54
0,58

0,54
0,57
0,52
0,55

0,33
0,43
0,42
0,40

0,47
0,60
0,83
0,63

0,83
0,63
0,77
0,74

0,66
0,74
0,58
0,66

0,42
0,61
0,42
0,48

Kawasan tengah
4
5
6
rata-rata

0,47
0,53
0,58
0,53

7
8
9
rata-rata

0,35
0,46
0,50
0,44

0,57
0,56
0,95
0,69
Kawasan hulu
0,56
0,85
0,55
0,65

Tabel 3. Kecepatan arus pada setiap periode pengambilan


sampel di kawasan hulu, tengah dan hilir
Waktu

Kecepatan Arus (m/detik)


Kawasan hilir

Mei I
Mei II
Juni I
Juni II
Rata-rata

0,15
0,20
0,28
0,36
0,25

Kawasan
tengah
0,04
0,16
0,31
0,24
0,23

Kawasan hulu
0,07
0,15
0,31
0,23
0,19

Kecepatan arus (m/dtk)


Gambar 2. Hubungan kecepatan Arus terhadap ukuran butir rata-rata

35

Depik, 1(1): 31-36


April 2012
ISSN 2089-7790

Kesimpulan
Karakteristik sedimen di Kuala Gigieng terdiri atas butir pasir sedang
(medium sand) dengan nilai persentase 63,42%, pasir halus sebesar 23,40%,
pasir kasar 5,59%, pasir sangat halus sampai lumpur sebesar 4,13%, kerikil
halus sebesar 2,6% dan kerakal sebesar 0,17%. Ukuran butir rata-rata pada
kawasan hilir adalah sebesar 0,50 mm sedangkan ukuran butir rata-rata di
bagian tengah dan di kawasan hulu masing-masing adalah sebesar 0,65 mm dan
0,56 mm. Kecepatan arus rata-rata tertinggi terdapat pada kawasan hilir yang
mencapai 0,25 m/s diikuti oleh kawasan tengah sebesar 0,23 m/detik dan kawasan
hulu sebesar 0,19 m/detik. Kecepatan arus mempengaruhi distribusi sebaran
sedimen, dimana butiran sedimen yang lebih besar ditemukan pada daerah yang
memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka
Darlan, Y. 1996. Geomorfologi Wilayah Pesisir. Aplikasi Untuk Penelitian
Wilayah Pantai. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung.
Dean, R.G., R.A. Dalrymple. 2004. Coastal Processes with Engineering
Application. Cambridge University. UK.
Dyer, K.R.1986. Coastal and Estuary Sediment Dynamic. John Willey & Sons. New
York.
Indarto. 1996. Geologi Lembar Blambangan, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung.
Koesoemadinata, R.P. 1980. Prinsip-Prinsip Sedimentasi. Departemen Teknik ITB.
Bandung.
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan Ke-5. PT Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia,
Jakarta. Penerjemah: Eidman dkk. 459 Hal.
Poerbandono, E. Djunasjah. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama. Bandung.
Sheppard, E.P. 1954. Nomenclature based on sand silt clay ratios. Journal of
Sediment and Petrology, 24(4): 151 - 158.
Wentworth, C.K. 1922. A scale of grade and class term for clastic sediment.
Geology, 30: 337 392.

36

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790

Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian


utara
Community of herbivory reef fishes in northern Acehnese reef
Edi Rudi

1*

, Nur Fadli2

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas


Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan
dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
edirudi@yahoo.com

Abstract. Herbivory reef fish is the most important of fish tropic group in
the coral reef ecosystem.Hence, the objective of this study was to provide
reliable data and information on herbivory reef fish based on management types
in the northern Acehnese reef. Underwater Visual Census Techniques was used to
collect the data at 20 sites around Weh Island and Aceh Besar. This study
found 32 herbivory reef fishes species from five families in northern Acehnese
reef. Densities of herbivory reef fish were varied from 27 to 104
ind./transect,while
species numbers were also varied from 6 to 14
species/site. Family Acanthuriidae was the highest in species number, i.e. 19
species. Densities of herbivory reef fish in sites that were protected under
the management authority of Sabang Weh Island were not significantly higher
compare with sites from open access areas.
Keywords: herbivory reef fish, coral reef, visual census technique, Aceh
Abstrak. Ikan karang herbivora adalah kelompok tropik yang penting di
ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh data dan informasi tentang ikan karang herbivora berdasarkan
bentuk-bentuk pengelolaan di perairan Aceh bagian utara. Teknik Visual Sensus
Bawah air digunakan untuk mengoleksi data di 20 stasiun sekitar Pulau Weh
Sabang dan Aceh Besar. Dari penelitian ini ditemukan 32 spesies dari tujuh
famili ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara.
Famili
Acanthuridae adalah yang paling banyak ditemukan dalam hal jumlah spesies.
Kepadatan ikan karang yang ditemukan berkisar antara 27 hingga 104
individu/transek, sedangkan jumlah spesies berkisar antara 6 hingga 14
spesies/stasiun.
Kelimpahan ikan karang herbivora di stasiun-stasiun
penelitian yang memiliki autoritas pengelolaan (daerah dikelola) terlihat
tidak berbeda nyata dengan stasiun-stasiun yang merupakan daerah terbuka.
Kata kunci : Ikan karang herbivora, terumbu karang, teknik sensus visual, Aceh

Pendahuluan
Terumbu karang di wilayah perairan Aceh bagian utara terkenal memiliki
terumbu karang yang baik dan menjadi objek wisata serta sumber perikanan bagi
nelayan setempat (Baird et al., 2005). Habitat terumbu karang dan fauna dan
flora yang berasosiasi dengannya memberikan fungsi dan pelayanan yang penting
bagi penduduk di sekitarnya. Bencana tsunami tahun 2004 lalu tidak memberikan
dampak kerusakan yang berarti terhadap kondisi terumbu karang di kawasan ini
(Brown, 2005). Secara umum kondisi terumbu karang di perairan Aceh bagian
utara berkisar dari tingkatan buruk hingga baik (Baird et al., 2005; Campbell
et al., 2005; Rudi, 2005; Ardiwijaya et al., 2007). Kerusakan terumbu karang
yang terjadi sebelum tsunami disebabkan penangkapan ikan yang berlebihan dan
dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan (Baird et al., 2005).
Untuk
meningkatkan pengelolaan dan menghindari adanya kerusakan akibat illegal
fishing maka diperlukan strategi pengelolaan melalui penyediaan data,
pendidikan dan pembentukan daerah perlindungan laut. Wantiez et al. (1997) dan
Aswani et al. (2007) menyatakan bahwa kekayaan spesies dan biomassa ikan
37

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790
karang di area yang dikelola akan jauh lebih tinggi dari pada wilayah terumbu
karang yang dapat diakses terbuka.
Indonesia memiliki jumlah spesies ikan karang terbanyak di dunia, Allen
& Adrim (2003) melaporkan bahwa di perairan Indonesia terdapat 2.057 spesies
ikan karang dari 113 famili. Randall (1998) mengemukakan beberapa faktor kunci
yang menyebabkan tingginya keragaman ikan karang di wilayah timur Samudera
Hindia seperti Pulau Weh, antara lain kondisi terumbu karangnya dan relung
ekologis. Lebih lanjut, Allen & Adrim (2003) memperkirakan setidaknya ada 6
species ikan karang yang endemik di perairan utara dan barat Aceh.
Ikan herbivora merupakan komponen penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem terumbu karang. Menurut Smith et al. (2001) dan McCook (2001),
turunnya kelimpahan herbivora dan meningkatnya konsentrasi nutrien merupakan
faktor yang menyebabkan terjadinya pergantian dari fase yang dominan karang
menjadi dominan alga di sejumlah terumbu karang wilayah tropis. Ikan herbivora
juga merupakan salah satu indikator penting dalam resiliensi terumbu karang
dari beberapa indikator penilaian resiliesi suatu terumbu karang (Obura,
2008).
Namun demikian, kajian mengenai biodiversitas ikan herbivora di
peraian Aceh belum pernah dilaporkan.
Perairan Aceh bagian utara memiliki beberapa bentuk pengelolaan, antara
lain adanya daerah yang dikelola oleh autoritas tertentu, daerah wisata,
daerah panglima laot dan daerah perairan terbuka (open access). Penelitian ini
dilakukan untuk menelaah komunitas ikan herbivora yang ada di wilayah terumbu
karang perairan Aceh bagian utara pada tempat-tempat dengan pengelolaan yang
berbeda.
Dalam hal ini bentuk pengelolaan dikelompokkan menjadi dua yaitu
daerah yang ada pengelolaan dan yang tidak pengelolaan.

Bahan dan Metode


Pengambilan data dilakukan di 20 stasiun pengamatan yang terdiri dari 17
stasiun di Pulau Weh dan 3 stasiun di Aceh Besar (Gambar 1). Stasiun-stasiun
penelitian dipilih dan ditentukan untuk mewakili wilayah dan bentuk-bentuk
pengelolaan yang ada di perairan Pulau Weh dan sekitarnya. Secara umum stasiun
penelitian dikelompokkan menjadi dua yaitu wilayah yang dikelola (terdiri dari
daerah perlindungan laut daerah/taman laut, daerah kegiatan wisata, wilayah
panglima laot) dan daerah yang dibiarkan terbuka (open access).
Pengambilan
data dilakukan dengan menggunakan metode tidak merusak yaitu teknik underwater
visual census (English et al., 1997; Hill and Wilkinson, 2004). Secara lebih
spesifik, data diambil oleh pengamat dengan posisi diam (stasionary) dan
melakukan pencatatan data dalam radius 7 m selama lebih kurang 15-20 menit per
transek.
Untuk mendapatkan keterwakilan data, transek ditempatkan di dua
kedalaman perairan, yaitu 3-4 m dan 6-8 m masing-masing dengan tiga kali
ulangan. Idenfikasi ikan herbivora dilakukan secara langsung di lapangan atau
dilanjutkan di laboratorium dengan menggunakan acuan buku identifikasi ikan
karang (Allen, 2000; Kuiter & Tonozuka, 2001; Kimura et al., 2009).

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian ini memperlihatkan terdapat 32 spesies dengan lima
famili ikan herbivora yang ada di perairan Aceh bagian utara. Beberapa spesies
seperti Acanthurus tristis, A. leucosternon, A. tristis, Zebrasoma scopas,
Chlorurus sordidus dan Naso elegans adalah spesies herbivora yang umum
dijumpai hampir di semua stasiun pengamatan (Tabel 1 dan Gambar 2).
Bila
dilihat kelimpahan dan jumlah jenis ikan herbivora di masing-masing stasiun
(Gambar 3 dan Gambar 4), maka kelimpahan dan jumlah jenis ikan terlihat cukup
bervariasi antar stasiun pengamatan, nilainya berkisar dari 27 104
ind./transek, tertinggi di Gapang dan terendah di Lhok Me untuk kelimpahan,
sedangkan untuk jumlah jenis berkisar antara 6 14 spesies/stasiun, tertinggi
di Gapang dan terendah di Benteng. Penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya
keterkaitan antara daerah pengelolaan dengan kelimpahan ikan secara umum,
dimana pada daerah yang dikelola kelimpahan ikan karang akan tinggi dan
sebaliknya di daerah yang dibiarkan sebagai akses terbuka, kelimpahan ikan
karang akan rendah (Rudi et al., 2009), namun dalam penelitian ini terlihat
bahwa kelimpahan ikan herbivora tidak berkaitan erat dengan tipe pengelolaan
yang ada dan kondisi terumbu karangnya (persen tutupan karang keras) (Gambar
38

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790
5). Walaupun demikian, kelimpahan ikan karang di wilayah yang dikelola
(misalnya oleh panglima laot), seperti Anoi Itam, Sumur Tiga, Ujung Kareung,
Seulako Barat, Seulako Timur, Rubiah timur, Rubiah channel dan Ujung Seurawan
juga tinggi.
Di daerah-daerah yang tidak dikelola (open access), kelimpahan
ikan herbivoranya terlihat sangat bervariasi dari rendah hingga tinggi.
Tabel 1. Spesies ikan herbivora yang diperoleh di tiap stasiun di perairan
Aceh bagian utara
Stasiun
No

Taksa (Famili/Spesies)
1

I.
1
2

Acanthurus
auranticavus

5
6

Acanthurus lineatus

Acanthurus maculiceps

Acanthurus mata

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Acanthuridae

Acanthurus nobilis
Acanthurus
grammoptilus
Acanthurus
leucocheilus
Acanthurus
leucosternon

Acanthurus nigroris

10

Acanthurus triostegus

11

Acanthurus tristis

12

Ctenochaetus striatus

13

C.

14

Naso vlamingii

15

Naso sp.

16

Naso annulatus

cyanocheilus

17

Naso caesius

18

Zebrasoma rostratum

19

Zebrasoma scopas

+
+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+
+

+
+

+
+

+
+

II. Ephippidae
20

Platax teira

III. Kyphosidae
21

Kyphosus bigibbus

22

Kyphosus vaigiensis

+
+

III. Scaridae
+

23

Chlorurus bleekeri

24

Chlorurus sordidus

25

Chlorurus troschelli

26

Scarus frenatus

27

Scarus ghobban

28

Scarus niger

29

Scarus schlegeli

30

Scarus altifinnis

31

Scarus tricolor

+
+

+
+

+
+

+
+

+
+

V. Siganidae
32
Siganus sp.

Keterangan nama stasiun: 1. Ujung Seurawan;


Gapang; 6. Batee Meurunon; 7. Lhok Weng; 8.
Ujung Kareung; 13. Reteuk; 14. Lheung Angen
Barat; 18. Lhok Me; 19. Aramayang; 20. Ujung

2. Rubiah Timur; 3. Rubiah Channel; 4. Pulau Klah; 5.


Benteng; 9. Anoi Itam; 10. Jaboi; 11. Sumur Tiga; 12.
2; 15. Lheung Angen 1; 16. Seulako Timur; 17. Seulako
Pancu

39

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790

Gambar 1. Stasiun penelitian di Pulau Weh (Stasiun No. 1 17) dan Aceh
Besar(1820). 1. Ujung Seurawan (dikelola/taman laut), 2. Rubiah Timur
(dikelola/taman laut dan wisata), 3. Rubiah Channel (dikelola/taman laut dan
wisata), 4. Pulau Klah (open access), 5. Gapang(open access), 6. Batee
Meurunon (dikelola/taman laut), 7. Lhok Weng(open access), 8. Benteng
(dikelola/panglima laot dan wisata), 9. Anoi Itam (dikelola/panglima laot
dan wisata) 10. Jaboi (open access,11. Sumur Tiga (dikelola/panglima laot
dan wisata), 12. Ujung Kareung (dikelola/panglima laot), 13. Reteuk
(dikelola/panglima laot), 14. Lheung Angen 2 (open access), 15. Lheung Angen
1(open access), 16. Seulako Timur (dikelola/taman laut dan wisata), 17.
Seulako Barat (dikelola/taman laut dan wisata), 18. Lhok Me (open
access),19. Aramayang (open access), 20. Ujung Pancu (open access)

Gambar 2. Enam dari 32 spesies ikan herbivora di terumbu karang Aceh bagian
utara: searah jarum jam dari kiri atas: Acanthurus tristis, A. leucosternon,
Zebrasoma scopas, Siganus javus, Naso elegans dan Chlorurus sordidus
40

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790
Tingginya kelimpahan ikan herbivora di wilayah yang dikelola
dalam
penelitian ini sesuai dengan Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007)
yang melaporkan bahwa keragaman jenis, kepadatan dan biomassa ikan karang di
daerah perlindungan laut akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terumbu
karang yang terbuka.
Rendahnya kelimpahan ikan karang di wilayah terbuka
diperkirakan akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan tidak
memperhatikan sifat-sifat biota seperti musim pemijahan dan kualitas ikan yang
ditangkap. Hal lain yang diduga menyebabkan tingginya variasi kelimpahan ikan
di wilayah terbuka adalah akibat faktor non-anthropogenic seperti migrasi,
musim dan pemangsaan. Namun hal ini perlu dibuktikan dengan penelitian lebih
lanjut.
120

80

(ind./transek)

Kelimpahan Ikan Herbivora

100

60

40

20

Ujung Pancu

Lhok Me

Aramayang

Seulako Barat

Seulako Timur

Lheung Angen 1

Reteuk

Lheung Angen 2

Ujung Karenung

Jaboi

Sumur Tiga

Benteng

Anoi Itam

Lhok Weng

Gapang

Batee Meuronon

Pulau Klah

Rubiah Timur

Rubiah Channel

Ujung Seurawan

Stasiun Pengamatan

Gambar 3. Kelimpahan ikan herbivora di tiap stasiun


(tidak diarsir adalah daerah dikelola)
16

Jumlah Spesies Ikan Herbivora

14
12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.

Aramayang

Ujung Pancu

Lhok Me

Seulako Barat

Seulako Timur

Lheung Angen 1

Lheung Angen 2

Reteuk

Sumur Tiga

Ujung Karenung

Jaboi

Anoi Itam

Benteng

Lhok Weng

Batee Meuronon

Gapang

Pulau Klah

Rubiah Channel

Rubiah Timur

Ujung Seurawan

Stasiun Pengamatan

Jumlah spesies ikan herbivora di tiap stasiun


(tidak diarsir adalah daerah dikelola)
41

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790
Hasil penelitian ini memperlihatkan rendahnya keragaman dan kelimpahan
Parrotfish (Scaridae), yaitu hanya sembilan spesies dan hanya Chlorurus
sordidus dan Scarus niger yang ditemukan hampir di semua stasiun pengamatan.
Populasi ikan Scaridae adalah sangat penting sebagai ikan herbivora. Populasi
Scaridae secara umum mengalami penurunan di seluruh dunia dan ini menjadi
rentan (Bellwood et al., 2003; Aswani and Hamilton, 2004; Ferreira et al.,
2005; Floeter et al., 2006; Sabetian and Foale, 2006). Ikan ini adalah
kelompok yang bertanggungjawab untuk membuka daerah baru (kolonisasi) pada
permukaan substrat terumbu karang untuk memungkinkan terjadinya penempelan
atau rekrutmen karang baru, sehingga jumlahnya yang menurun akan menjadi
permasalahan dalam aktivitas grazing di suatu terumbu karang (McClanahan,
2008).
80%
70%

Percent Cover

60%
50%
40%
30%
20%
10%

Gambar 5.

Lhok Me
Aramayang
Ujung Pancu

Seulako Timur
Seulako Barat

Lheung Angen 1

Jaboi

Sumur Tiga
Ujung Kareung
Reteuk
Lheung Angen 2

Benteng

Anoi Itam

Batee Meuronon
Lhok Weng

P Klah

Gapang

Ujung Serawan
Rubiah Timur
Rubiah Channel

0%

Persen tutupan karang keras ( sd) di tiap stasiun


(tidak diarsir adalah daerah dikelola)

Ke depan, wacana untuk membentuk daerah perlindungan laut mesti


dijadikan langkah strategis yang dipakai dalam pengelolaan sumberdaya terumbu
karang sehingga diharapkan populasi ikan herbivora meningkat dan terumbu
karang menjadi sehat yang ditandai dengan persentase tutupan karang keras yang
tinggi (Jennings et al., 1996; Ledli et al., 2007). Hasil penelitian mengenai
ikan herbivora ini diharapkan menjadi pedoman dan masukan bagi pengelola dan
para pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang di
Aceh.
Dengan adanya usaha menjaga dan meningkatkan kelimpahan dan keragaman
ikan herbivora diharapkan resiliensi terumbu karang di perairan Aceh bagian
utara ini akan meningkat.

Kesimpulan
Ditemukan 32 spesies dengan lima famili ikan karang herbivora di
perairan Aceh bagian utara, Famili Acanthuridae memiliki jumlah spesies paling
banyak yaitu 19 spesies. Keragaman dan kelimpahan ikan karang herbivora
terlihat tidak berhubungan dengan persentase tutupan karang keras dan bentuk
pengelolaan yang ada, yaitu antara daerah laut yang dikelola (terdiri dari
daerah perlindungan laut daerah/taman laut, daerah kegiatan wisata, wilayah
panglima laot) dengan daerah laut yang dibiarkan terbuka (open access).

42

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790

Daftar Pustaka
Allen, G.R., M.
Adrim.
2003.
Coral reef fish of Indonesia. Zoological
Studies, 42: 172
Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. The coral
reefs of northern Aceh: an ecological survey of Aceh and Weh Islands,
April 2006. Wildlife Conservation Society, Bogor, Indonesia.
Aswani, S., R.J. Hamilton. 2004. Integrating indigenous ecological knowledge
and customary sea tenure with marine and social science for conservation
of bumphead parrotfish (Bolbometopon muricatum) in the Roviana Lagoon,
Solomon Islands. Environmental Conservation, 31: 6983.
Aswani, S., S. Albert, A. Sabetian, T. Furusawa. 2007. Customary management as
precautionary and adaptive principles for protecting coral reefs in
Oceania. Coral Reefs, 26:10091021
Baird, A.H., S.J. Campbell, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, T..Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, M.S.
Pratchett, E. Rudi, A.M. Siregar. 2005. Acehnese reefs in the wake of the
Asian Tsunami. Current Biology, 16: 19261930
Bellwood D.R., A.S. Hoey, J.H. Choat. 2003. Limited functional redundancy in
high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs.
Ecological Letter, 6: 281285.
Brown, B.E. 2005. The fate of coral reefs in the Andaman Sea, eastern Indian
Ocean following the Sumatran earthquake and tsunami, 26 December 2004.
The Geographical Journal, 171: 372374
Campbell, S.J., M.S. Pratchett, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, A. Mukminin, S.T. Pardede, E.
Rudi, A.M. Siregar, A.H. Baird. 2005. Disturbance to coral reef in Aceh,
Northern Sumatera. Atoll Research Bulletin, 544: 5578
English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia.
Ferreira, C.E.L., J.L. Gasparini, A. Carvalho-Filho, S.R. Floeter. 2005. A
recently extinct parrotfish species from Brazil.
Coral Reefs, 24: 128
134.
Floeter S.R., B.S. Halpern, C.E.L. Ferreira.
2006. Effects of fishing and
protection on Brazilian reef fishes. Biological Conservation, 128: 391
402.
Hill, J., C. Wilkinson. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral
Reefs. Australian Institute of Marine Science, Townsville, Australia
Jennings, S., S.S. Marshall, N.V.C. Polunin. 1996.
Seychelles marine
protected areas: comparative structure and status of reef fish
communities. Biological Conservation, 75: 201209
Kimura, S., U. Satapoomin, K. Matsuura.
2009. Fishes of Andaman Sea: west
coast of southern Thailand. National Museum of Nature and Science, Tokyo,
Jepang.
Kuiter, R.H., T. Tonozuka. 2001. Indonesian reef fishes. Zoonetics, Sydney,
Australia.
Ledlie, M.H., N.A.J. Graham, J.C. Bythell, S.K. Wilson, S. Jennings, N.V.C.
Polunin, J. Hardcastle. 2007. Phase shifts and the role of herbivory in
the resilience of coral reefs. Coral Reefs, 26: 641653
McClanahan, T.R.
2008. Response of the coral reef benthos and herbivory to
fishery closure management and the 1998 ENSO disturbance. Oecologia,
155:169177
McCook, L.J. 2001. Competition between coral and algal turfs along a gradient
of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef.
Coral Reef, 19: 419425
Obura, D. 2008. Resilience Assessment of Coral Reef Draft Manual. IUCN
CORDIO, Ghana.
Randall, J.E. 1998. Zoogeography of shore fishes of the Indo-Pacific region.
Zoological Studies, 37: 227-268.
Rudi, E.
2005. Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh
Darussalam setelah tsunami. Ilmu Kelautan, 10: 50-60
43

Depik, 1(1): 37-44


April 2012
ISSN 2089-7790
Rudi, E., S.A. Elrahimi, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, P. Shinta,
S.J. Campbell, J. Tamelander.
2009.
Reef fish status in northern
Acehnese reef based on management type. Biodiversitas, 10: 8792
Sabetian, A., S. Foale.
2006. Evolution for artisanal fisher: case studies
from Solomon Islands and Papua New Guinea. SPC Traditional Marine
Resources Management Knowledge Information Bulletin, 20: 38
Smith, J.E., C.M. Smith, C.L. Hunter. 2001. An experimental analysis of the
effect of herbivore and nutrient enrichment on benthic community dynamics
on a Hawaiian reef. Coral Reef, 19: 332342
Wantiez, L., P. Thollot, M. Kulbicki. 1997. Effects of marine reserves on
coral reef fish communities from five islands in New Caledonia. Coral
Reefs, 16: 215224

44

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790

Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng


Kabupaten Aceh Besar
Diversity of macrozoobenthos in Kuala Gigieng estuary, Aceh
Besar
Nur Fadli*, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Unversitas Syiah
Kuala, Banda Aceh 23111. Email korespondensi:ivad29@yahoo.com
Abstract.The objective of present study was to study the diversity of
macrozoobenthos in Kuala Gigieng estuary, Aceh Besar. The study was conducted
in June 2011. The random sampling method was used to determine the area and
sampling points based on tidal activities. Samples were taken with the Eckmann
grab, then identified at Marine Biological Laboratory of Marine Science
Department. The results showed that there were three class of macrozoobenhos
(Malacostraca, Gastropoda, and bivalves) within 12 species of makrozoobenthos
occured in Kuala Gigieng. The Shannon-Wienner diversity index (H) at high
tide, mean sea level, and low tide were 1.26, 1.446, and 1.892, respectively,
and it was categorized as low level.
Keywords: Diversity, Makcrozoobenthos, Gigieng estuary
Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman makrozoobenthos
berdasarkan kondisi pasang surut, dan parameter lingkungan fisika dan kimia di
Kuala Gigieng, Aceh Besar. Penelitian dilakukan bulan Juni 2011. Penentuan
area dan titik sampling menggunakan metode random sampling berdasarkan
pengaruh aktivitas pasang surut. Sampel diambil menggunakan Eckmann grab,
kemudian diidentifikasi di Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan
Koordinatorat Kelautan dan Perikanan. Dari hasil penelitian ditemukan 3 kelas
yaitu Malacostraca, Gastropoda, dan Bivalvia yang terdiri dari 12 spesies
makrozoobenthos. Indeks keragaman Shannon-Wienner (H) pada saat pasang, mean
sea level dan surut didaerah Kuala Gigieng berturut-turut adalah 1,26, 1,446,
dan 1,892, sehingga dapat disimpulkan keragaman dikategorikan rendah.
Kata kunci: Keragaman, Makrozoobenthos, Kuala Gigieng

Pendahuluan
Kabupaten Aceh Besar terletak di Propinsi Aceh yang memiliki sumberdaya
alam laut yang melimpah. Berbagai ekosistem laut terdapat di Kabupaten Aceh
Besar diantaranya yaitu ekosistem terumbu karang dengan luas 1.155 Ha,
mangrove dengan luas 980,82 Ha, pantai berbatu dan pantai berpasir dengan
panjang total garis pantai 344 Km, ekosistem estuaria dan berbagai ekosistem
laut lainnya (Adil, 2011).
Kuala Gigieng merupakan salah satu ekosistem estuaria yang ada di Kabupaten
Aceh Besar. Kawasan estuaria adalah sebuah ekosistem yang mempunyai peran
ekologis penting baik sebagai sumber zat hara dan bahan organik, penyedia
habitat bagi sejumlah spesies hewan sebagai tempat berlindung dan tempat
mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan
tempat tumbuh besar (spawning and nursery grounds) sejumlah biota perairan
(Bengen, 2004).Selain memiliki fungsi ekologis, kawasan estuaria juga
merupakan kawasan yang sangat penting secara ekonomis. Manusia memanfaatkan
kawasan tersebut untuk berbagai aktifitas ekonomi diantaranya sebagai tempat
penangkapan ikan, tempat pendaratan ikan, pertambakan dan kawasan pemukiman.
Kegiatan manusia dapat menyebabkan meningkatnya kerusakan ekosistem laut.
45

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790
Burke et al.(2002) menyatakan bahwa 50% ekosistem terumbu karang yang berada
di kawasan Asia tenggara berada pada level resiko tinggi terhadap ancaman
kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Selanjutnya, Baird et al. (2005)
menyatakan ekosistem terumbu karang di Perairan Aceh termasuk didalamnya
wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu ekosistem yang mengalami
degradasi karena adanya perbuatan manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti
penangkapan ikan dengan metode yang merusak, pembuangan limbah ke laut dan
lain-lain.
Salah satu upaya yang ingin dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar
dalam menjaga ekosistem lautnya adalah dengan membuat rencana pengelolaan
sehingga ekosistem laut yang ada di Kabupaten Aceh besar dapat dikelola secara
berkelanjutan. Namun, upaya tersebut terbentur dengan berbagai kendala,
diantaranya minimnya data yang berkaitan dengan sumber daya laut (termasuk
kondisi dan keanekaragaman biota laut) yang dimiliki oleh Kabupaten Aceh
Besar. Sejauh ini, sejumlah kajian yang berkaitan dengan keanekaragaman biota
di ekosistem laut di Aceh masih terfokus di perairan Sabang dan sekitarnya
antara lain oleh Baird et al. (2005), Rudi (2005), Campbell et al. (2007),
Ardiwijaya et al. (2007) dan Rudi et al. (2008).
Salah satu kelompok biota laut yang hidup di kawasan estuaria Kuala Gigieng
adalah golongan makroozoobenthos. Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup
pada dasar perairan, dan merupakan bagian dari rantai makanan yang
keberadaannya bergantung pada populasi organisme yang tingkatnya lebih rendah
(Noortiningsih et al., 2008). Makrozoobenthos juga merupakan sumber makanan
utama bagi organisme lainnya seperti ikan demersal (Zaleha et al., 2009).
Selanjutnya
Pratiwi
et
al.(2004)
menyatakan
makrozoobenthos
merupakan
organisme yang hidup menetap (sesile) dan memiliki daya adaptasi yang
bervariasi terhadap kondisi lingkungan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang
terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.
Mengingat peran penting makrozoobenthos di perairan, dan belum adanya
informasi serta data tentang jenis makrozoobenthos di Kuala Gigieng, Aceh
Besar maka perlu dilakukannya penelitian tentang keragaman makrozoobenthos di
perairan ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman makrozoobenthos
di perairan Kuala Gigieng.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kuala Gigieng Kecamatan Baitussalam Kabupaten
Aceh Besar, pada bulan Juni 2011 (Gambar 1). Penelitian ini menggunakan metode
survey, penentuan area dan titik sampling menggunakan metode purposive random
sampling berdasarkan aktivitas pasang surut.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada tiga waktu berbeda yakni saat pasang,
pertengahan pasang dan surut (MSL), dan surut. Setiap waktu sampling
ditetapkan tiga titik sampling dalam area yang telah ditentukan dengan masingmasing tiga titik ulangan. Pengambilan sampel dengan menggunakan Eckmann grab,
sampel yang diperoleh disortir menggunakan metode hand sorting dengan bantuan
ayakan mesh berukuran 0,5 mm, kemudian dibersihkan dengan air dan dimasukkan
ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4% dan dibawa ke
laboratorium, disimpan selama 1 hari. Setelah 1 hari, sampel kemudian dicuci
dengan aquades dan dikeringkan, selanjutnya dimasukkan kembali ke dalam botol
sampel yang telah diberikan alkohol 70% sebagai pengawet, selanjutnya
diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan identifikasi Dance (1997);
Robert et al. (1982);
Masson dan Schodde (1997). Setelah diidentifikasi
sampel makrozoobenthos dimasukkan kembali dalam botol sampel yang berisikan
70% alkohol untuk disimpan sebagai koleksi laboratorium.

46

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790
Keragaman makrozoobenthos
Parameter yang dihitung dan diukur antara lain kepadatan populasi,
kerapatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener,
indeks equitabilitas, dengan persamaan sebagai berikut:
Kepadatan populasi,
(Krebs, 1985)

Gambar 1. Peta Kuala Gigieng yang menunjukan lokasi penelitian

Kepadatan relatif,

Dimana, ni

= Jumlah individu spesies i,

(Brower et al., 1990)


= Total individu seluruh jenis

Frekuensi hehadiran,

(Krebs,1985)
Indeks Diversitas Shannon-Wiener,

H' = -

pi ln pi

(Krebs, 1985)
Dimana, H'= indeks diversitas Shannon Wiener, ln= logaritma nature, pi=
proporsi spesies ke-i, pi=
ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis
dengankeselurahan jenis)
47

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790

Indeks keseragaman,
(Krebs, 1985)
Dimana, H'= Indeks diversitas Shannon-wiener, H max= Keragaman spesies
maksimum, Dengan nilai E berkisar antara 0-1.

Kekayaan spesies,
Dimana, d= Kekayaan spesies, S= Total spesies, N= Total individu.
Indeks keragaman, keseragaman, kekayaan spesies, dan similaritas
dianalisis menggunakan software Plymouth Routines in Multivariate Ecological
Research (Primer E) Versi 6.

Hasil dan Pembahasan


Keragaman dan kelimpahan makrozoobenthos
Makroozoobenthos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 3 kelas,
dengan komposisi Bivalvia (46%), Gastropoda (31%) dan Crustacea (23%).
Komposisi Bivalvia lebih tinggi dibandingkan kelas Gastropoda dan Crustacea
(Gambar
2).
Hasil
ini
tidak
begitu
jauh
dengan
hasil
pengamatan
makrozoobenthos yang dilakukan oleh Fitriana (2006) di Kawasan mangrove Bali
yang menemukan komposisi makrozoobenthos terdiri atas 4 kelas yaitu Bivalvia,
Gastropoda, Crustacea (Malacostraca) dan Polychaeta. Bivalvia merupakan kelas
makrozoobenthos yang memiliki penyebaran sangat luas di dunia. Bivalvia juga
dapat hidup di berbagai tipe subtrat mulai dari substrat pasir, batu, lumpur
dan lain sebagainya (Gosling, 2003).

Gambar 2. Komposisi jenis makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian


Secara umum kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi
kehadiran (FK) tertinggi pada saat surut. Berdasarkan hasil penelitian ini
pula dapat diketahui bahwa jenis yang memiliki nilai K, KR, dan FK tertinggi
saat pasang dan surut adalah Cerithidae djadjariensis. Sedangkan pada MSL
jenis yang memiliki nilai tertinggi adalah Ostrea edulis (Tabel 1). Menurut
Valero (2006) Cerithidae djadjariensis dan Ostrea edulis
menyukai substrat
lumpur berpasir dan hidup secara mengelompok. Kedua spesies ini merupakan
spesies asli pada habitat estuaria dengan substrat dasar lumpur, lumpur pasir
dan batuan. Selanjutnya, pada saat surut organisme memiliki keterbatasan dalam
pergerakan hal ini disebabkan karena kolom air pada saat surut lebih kecil
48

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790
dibandingkan pada saat pasang. Selain itu, pada saat surut kecepatan arus di
kawasan
Muara
Gigieng
lebih
kecil
dibandingkan
pada
saat
pasang.
Makrozoobenthos umumnya membenamkan diri didasar substrat. Gosling (2003)
menyatakan arus menjadi salah satu faktor pembatas penyebaran makrozoobenthos.
Arus yang kuat dapat mengurangi kepadatan benthos di sebuah kawasan. Masih
menurut Gosling (2003), selain factor fisik, factor biologi juga berperan
dalam pembatasan kepadatan benthos. Predator, penyakit dan kompetisi antar
makhluk hidup dapat membatasi penyebaran organisme di sebuah kawasan. Kepiting
dan burung merupakan predator yang utama di kawasan estuary. Di Kawasan Muara
Gigieng banyak terdapat kepiting bakau (Scylla serrata), kepiting hantu (Uca
spp) dan burung air seperti bangau. Keberadaan organisme tersebut dapat
mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos di kawasan Muara Gigieng.
Tabel 1. Kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK)
makrozoobenthos rata-rata
Pasang
No

Spesies

Mean Sea Level

Surut

KR

FK

KR

FK

KR

FK

ind/h

ind/h

ind/h

10

29

55

10

15

77

20

15

88

60

112

166

70

80

200

110

79

256

Timoclea ovata
Chamelea
striatula

20

38

88

20

35

110

50

37

165

10

39

66

20

17

88

60

46

189

50

80

143

90

119

233

70

55

200

6.

Ostrea edulis
Lithopaga
truncata

20

20

66

10

10

55

7.
8.

Anadara granosa
Placuna sella

33

30
-

24
-

121
-

9.
10.

Natica catena
Uca tetragonon
Heloecius
cordiformis
Myctyris
platycheles

6
10

4
10

22
55

10

10

66

11

269

378

97

409

1.
2.
3.
4.
5.

11.
12.

Nassarus
dorsatus
Cerithidae
djadjariensis

Total

150

99

173

230

97

Indek biologi
Indeks keragaman (H')
Indeks keragaman Shannon-Wiener (H') rerata pada saat pasang surut
berkisar antara 1,26 1,89 dan terlihat tidak ada perbedaan nyata baik saat
pasang,
MSL,
dan
surut
(Gambar
3).
Secara
umum
indeks
keragaman
makrozoobenthos di Kuala Gigieng tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan
karena Kuala Gigieng merupakan kawasan dengan berbagai aktivitas manusia.
Aktivitas manusia dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Hasil penelitian
ini juga sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2006)
dan Takarina dan Adiwibowo (2011). Fitriana (2006) menemukan rendahnya
keanekaragaman makrozoobenthos di Bali disebabkan oleh tekanan ekologi yang
berat dan ekosistem yang tidak stabil di kawasan tersebut. Takarina dan
Adiwibowo (2011) juga menemukan keragaman benthos yang rendah di Perairan
Teluk Jakarta terutama di kawasan yang tingkat pencemarannya tinggi.

49

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790

Gambar 3. Indeks keragaman (H') rata-rata saat pasang surut


Indeks keseragaman dan similaritas
Indeks keseragaman pada saat pasang, MSL, dan surut berkisar
0,764
0,985. Nilai indeks keseragaman tertinggi juga dijumpai pada saat surut, namun
tidak berbeda nyata dengan nilai indeks keseragaman pada pasang dan MSL.
Secara umum indeks keseragaman makrozoobenthos di Kuala Gigieng tergolong
sedang sampai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada organisme yang
mendominasi di Kawasan Muara Gigieng. Hasil ini juga sebanding dengan hasil
pengamatan Fitriana (2006).
Indeks similaritas adalah indeks biologi yang menunjukkan seberapa besar
tingkat kesamaan struktur komunitas satu dengan yang lainnya. Indeks
similaritas di Kuala Gigieng berkisar antara 52,27 74,19% dan tergolong
sedang. Tingkat kesamaan spesies yang ditemukan saat pasang dan MSL sebesar
74,19%. Sedangkan pada saat MSL dan surut similaritasnya 67,30% diikuti saat
surut dan pasang sebesar 52,27%. Indeks kesamaan tertinggi antara pasang dan
MSL (Gambar 4).
Group average
Resemblance: S17 Bray Curtis similarity

50

S im ila r it y

60
70
80

MSL

Pasang

100

S u ru t

90

Samples

Gambar 4. Dendogram indeks similaritas Bray Curtis


Tingkat kesamaan yang tinggi pada saat pasang dan MSL lebih banyak
disebabkan oleh faktor lingkungan yang hampir mirip sehingga tidak adanya
perbedaan yang besar terhadap jenis dan jumlah spesies yang ditemukan. Pada
saat surut jenis spesies yang ditemukan lebih beragam dan jumlahnya pun lebih
banyak, sehingga membuat tingkat similaritasnya berbeda dengan saat pasang dan
MSL.
50

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790

Kesimpulan
Makrozoobenthos yang ditemukan di Kuala Gigieng terdiri dari 3 kelas
(Bivalvia, Gastropoda, dan Malacostraca) dengan jumlah 12 spesies. Indeks
keragaman Shannon-Wienner (H) pada saat pasang, mean sea level dan surut
berturut-turut adalah 1,26, 1,446, dan 1,892. Indeks keragaman makrozoobenthos
dikategorikan rendah dan indek similaritasnya tergolong sedang. Keragaman
tertinggi dijumpai pada saat surut dan similarsiti tetinggi antara pasang dan
MSL.

Daftar Pustaka
Adil,

2011. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan


Daerah di Kabupaten Aceh Besar. Makalah dalam Seminar, Diskusi dan
Lokakarya Inisiatif konservasi dan Investasi hijau menuju Perikanan Aceh
yang Berkelanjutan. 22 23 Agustus 2011. Banda Aceh.
Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan. 2007. The coral
reefs of northern Aceh: an ecological survey of Aceh and Weh Islands.
Wildlife Conservation Society Marine Program Indonesia. Bogor,
Indonesia.
Baird, A.H., S.J. Campbell, A.W. Anggorro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, D. Mahyiddin, S.T. Pardede, M. Pratchett, E. Rudi, A. Siregar.
2005. Acehnese reefs in the wake of the tsunami. Current Biology, 15:
1926-1930.
Bengen, D.G. 2004. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya pesisir dan laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB.
Brower, J.Z., C. Jerrold,
V. Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. McGraw-Hill Science.New York. 288 pp.
Burke, L., E. Selig, M. Spalding. 2002. Reefs at risk in Southeast Asia. World
Resources Institute (WRI), Washington D.C., USA. 76 pp.
Campbell, S.J., M.S. Pratchett, A.W. Anggoro, R.L. Ardiwijaya, N. Fadli, Y.
Herdiana, T. Kartawijaya, D. Mahyiddin, S.T. Pardede, M.S. Pratchett, E.
Rudi, A. Siregar, A.H. Baird. 2007. Disturbance to coral reefs in Aceh:
impacts of the Sumatra-Andaman tsunami and pre-tsunami degradation.
Atoll research Bulletin, Special issue on the Sumatra-Andaman Tsunami,
544: 55-78.
Dance, S.P. 1997. The Encyclopedia Of Shells. Blandford press. London.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove
Hasil Rehabilitasi
Taman Hutan
Raya Ngurah
Rai
Bali.
Biodiversitas, (7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Krebs, C.J. 1985. Ecology The Eksperimental Analysis Of Distribution And
Abudance. Third edition. Haeper and Row Publisher. New york.
Masson, J.S., R, Schodde. 1997. Zoological Catalogue Of Australia Vol.37.
Csiro publishing. Australia.450 pp.
Noortiningsih,
I.S.,
S.
Jalip,
Handayani.
2008.
Keanekaragaman
Makrozoobenthos, Meiofauna Dan Foraminifera Di Pantai Pasir Putih Barat
Dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Vis Vitalis, 1 (1):
34- 42.
Pratiwi, N., Krisanti, Nursiyamah, I. Maryanto, R. Ubaidillah, W.A. Noerdjito.
2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Bogor: Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Robert, D., S. Soemodihardje., W. Kastoro. 1982. Shallow Water Marine Molluscs
Of North-West Java. Lembaga Oseonologi Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta.
Rudi E. 2005. Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Nanggroe Aceh
Darussalam setelah tsunami. Jurnal Ilmu Kelautan,10: 50-60.
51

Depik, 1(1): 45-52


April 2012
ISSN 2089-7790
Rudi, E., Elrahimi, S.A., S. Irawan, R.A. Valentino, Surikawati, Yulizar,
Munandar, T. Kartawijaya, Y. Herdiana, F. Setiawan, S. Rizal, S.T.
Pardede, S.J. Campbell. 2008.
Post tsunami status of coral reef and
fish in northern Aceh, CORDIO Report. Banda Aceh: Unsyiah-Cordio-IUCN.
Takarina, N.D., A. Adiwibowo. 2011. Impact of Heavy Metals Contamination on
the Biodiversity of Marine Benthic Organism in Jakarta Bay. Journal of
Coastal Development, 14(2): 168-171.
Valero, J. 2006. Ostrea edulis Growth and mortality depending on hydrodynamic
parameters and food availability. Thesis. Department of Marine Ecology,
Goteborg University. Sweden.
Zaleha, K., D.M.F.Farah, S.R. Amira, A. Amirudin. 2009. Benthic Community Of
The Sungai Pulai Seagrass Bed, Malaysia. Malaysian Journal of Science,
28(2):143 159.

52

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790

Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk


penyusunan indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan
(Suatu tinjauan meteorologi di Jakarta)
A preliminary study on analysis of thunderstorm forecasting
to the principal indices arrangement of fishpond adaptation
(A meteorological point of view in Jakarta)
Yopi Ilhamsyah
Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi: y.ilhamsyah@gmail.com
Abstract. A meteorological prespective to analyze the Thunderstorm forecasting
in Jakarta has been done. The principal indices to be adapted in a fishpond
were also arranged in the study. Storms in Jakarta, so-called as Ordinary Cell
Thunderstorms, are frequently arose in the afternoon, particularly during
transition period on March-May and September-November in which many of them
are triggered by different in surface heating. The latter emerged to an
atmospheric instability and force the air parcel to rise through the
atmosphere. RAOB was employed to the forecasting of Thunderstorm. A number of
such indices as K and Showalter indices as well as CAPE are produced and
applied to forecast the conditional instability of the troposphere. The result
showed that the extension of inversion layer in ~500300 hPa implied the
shrink of humidity and might strength the convective instability. In addition,
the higher amount of CAPE proved the maximum velocity of updraft which lead to
a strong convection and vertical wind shear during Thunderstorm in Jakarta. On
the other hand, based on the storm indices, three principal indices adapted in
a fishpond were also arranged i.e. normal, moderate and risk condition.
Keywords: Thunderstorm, Storm indices, Fishpond adaption
Abstrak. Telah dilakukan studi pendahuluan mengenai suatu tinjauan meteorologi
untuk menganalis peramalan badai guruh di Jakarta. Penelitian ini juga
menyusun indeks dasar untuk diadaptasikan pada kegiatan pertambakan. Badai di
Jakarta, disebut juga badai guruh sel biasa, sering terjadi pada sore hari
terutama pada masa pancaroba pada bulan Maret-Mei dan September-November.
Badai ini diakibatkan oleh perbedaan panas permukaan yang selanjutnya
menghasilkan ketidakstabilan yang mendorong paket udara naik ke atmosfir. RAOB
digunakan untuk meramalkan badai guruh ini. Beberapa indeks seperti indeks K,
Showalter dan CAPE dihasilkan dan digunakan untuk meramalkan ketidakstabilan
bersyarat di Troposfir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran lapisan
inversi pada ~500300 hPa menyiratkan turunnya kelembaban sehingga mendorong
ketidakstabilan konvektif, nilai CAPE tinggi juga menggambarkan potensi
kecepatan maksimum gerak udara ke atas sehingga menimbulkan konveksi yang kuat
dan gerak vertikal geser angin yang bervariasi baik dalam arah dan kecepatan
terhadap ketinggian. Selain itu, tiga indeks dasar yaitu normal, sedang dan
berbahaya dengan mengacu pada indeks badai untuk diadaptasikan pada tambak
juga disusun. Kata kunci: Badai guruh, indeks badai, adaptasi tambak

Pendahuluan
Secara geografis, Jakarta terletak pada 6,12 LS dan 106,65 BT dan
beriklim tropis lembab dan hangat. Hujan deras disertai petir dan angin
kencang sering melanda Jakarta. Hujan deras seperti ini biasanya terjadi pada
masa transisi. Namun karena musim hujan terjadi hampir di sepanjang tahun
sehingga hujan deras yang disertai angin dan petir dapat terjadi kapan saja.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh pembentukan cuaca lokal. Seperti diberitakan
53

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
oleh sebuah media nasional bahwa hujan petir terjadi pada musim penghujan yang
diakibatkan oleh perubahan pola angin yang seharusnya berhembus dari arah
barat, tetapi justru berhembus dari arah timur. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya tekanan rendah di bagian barat selat Sunda. Tekanan rendah itu yang
menyebabkan angin berhembus dari arah timur. Tekanan rendah itu disebabkan
oleh suhu di barat selat Sunda lebih hangat. Secara normal, tekanan rendah itu
seharusnya sudah berada di sekitar Darwin, di tenggara pulau Jawa. Tekanan
rendah itu mengakibatkan suhu di permukaan laut menghangat. Air laut
menghangat karena adanya penguapan wilayah atau penguapan lokal.
Letak geografis Jakarta yang berada di dekat Khatulistiwa di mana terdapat
kombinasi massa udara hangat dan lembab menjadikan daerah ini sangat kondusif
terhadap pembentukan badai konvektif. Di wilayah Jakarta hujan petir yang
disertai angin kencang dapat terjadi pada satu dari setiap tiga hari
(Vivanews, 2011). Hujan konvektif yang terbentuk di Jakarta sering disebut
dengan badai tersebar (scattered thunderstorms) yang biasanya terbentuk pada
hari hangat lembab atau badai massa udara karena cenderung terbentuk dalam
massa udara hangat dan lembab yang jauh dari signifikansi front cuaca. Badai
seperti ini dapat dianggap sebagai badai sederhana karena jarang menjadi
ekstrim, badai ini biasanya memiliki lebar kurang dari 2,4 kilometer dan
memiliki siklus hidup yang terprediksi dari lahir hingga dewasa serta kemudian
hilang yang biasanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam (Ahrens dan
Samson, 2011).
Selain itu, Sofyan et al. (2005) menemukan bahwa naiknya udara hangat
terjadi di sepanjang zona konvergensi yang diakibatkan oleh pertemuan angin
sinoptik barat - barat daya dengan angin lokal (angin laut). Udara hangat yang
naik ini menjadi pemicu terbentuknya hujan petir pada sore hari di Jakarta.
Badai konvektif di Jakarta cenderung terbentuk di daerah dengan geser
angin terbatas yaitu dengan kecepatan angin dan arah angin yang tidak secara
tiba-tiba mengalami perubahan terhadap ketinggian. Badai ini diawali dengan
naiknya paket udara dari permukaan melalui turbulensi angin. Selain itu, badai
ini sering terbentuk di sepanjang zona dangkal yang mengalami konvergensi
angin (Ahrens dan Samson, 2011).
Kegiatan pertambakan umumnya dilakukan di pesisir utara
Jakarta.
Kegiatan pertambakan sangat tergantung dengan pengaturan kualitas dan
kuantitas air di tambak. Banyak petani tambak yang mengalami gagal panen
disebabkan oleh berkurangnya kadar salinitas air di tambak yang diakibatkan
oleh banyaknya curah hujan yang masuk ke areal pertambakan yang terjadi secara
tiba-tiba. Studi ini mencoba menyusun suatu indeks adaptasi dasar yang disusun
berdasarkan indeks potensi Thunderstorm. Dengan demikian hasil analisis
Thunderstorm ini dapat digunakan untuk pedoman manajemen kualitas air tambak
untuk menjamin kelangsungan kegiatan pertambakan.

Bahan dan Metode


Analisis prediksi Thunderstorm di Jakarta menggunakan data rawinsonde yang
diperoleh
dari
http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html.
Data
ini
diperoleh dua kali sehari pada 0Z dan 12Z melalui balon cuaca yang dilengkapi
paket instrumen radiosonde. Z merupakan singkatan dari Greenwich Mean Time
(GMT). Selisih waktu antara GMT dan Jakarta adalah 7 jam. Jakarta termasuk ke
dalam zona waktu Indonesia Barat (WIB). Maka data pada 0Z mengindikasikan data
pada jam 7,00 WIB di pagi hari sedangkan data 12Z adalah data pada jam 19,00
WIB di malam hari. Data rawinsonde untuk wilayah Jakarta menggunakan data
rawinsonde di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng (6,1 LS dan
106,7 BT) dengan elevasi 8 m di atas permukaan laut. Meskipun lokasi bandar
udara dengan kota Jakarta sedikit berjauhan. Akan tetapi, unsur-unsur cuaca di
bandar udara dapat mewakili keadaan atmosfir di Jakarta. Namun, untuk
memperoleh hasil yang dapat merepresentasikan keadaan atmosfir di Jakarta
sebaiknya juga menggunakan data rawinsonde dari stasiun cuaca di Jakarta.
Beberapa
peneliti
juga
menggunakan
data
rawinsonde
di
bandar
udara
internasional Soekarno-Hatta Cengkareng untuk mengamati struktur vertikal
atmosfir di Jakarta seperti yang dilakukan oleh Matsumoto et al. (2009).
54

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
Selanjutnya data ini ditampilkan menggunakan software RAOB (Rawinsonde
Observation Program). Sehingga diperoleh informasi mengenai keadaan atmosfir
termasuk stabilitas, kecepatan vertikal, ketinggian dasar awan, ketinggian
puncak awan dan informasi lain yang berkaitan dengan kinematika dan
termodinamika Troposfir dan bahkan Stratosfir. Informasi ini nantinya menjadi
masukan (input) pada berbagai indeks prediksi badai yang telah dikembangkan
untuk mengamati potensi terbentuknya badai di sore hari.
Studi ini didahului oleh pengumpulan sejumlah informasi mengenai waktu
terjadinya Thunderstorm di Jakarta, kemudian dilakukan penyesuaian dan
pengumpulan data rawinsonde di waktu itu dan menganalisnya menggunakan
software RAOB. Tabel 1 menyajikan informasi mengenai Thunderstorm yang pernah
terjadi di Jakarta.
Tabel 1. Informasi Thunderstorm di Jakarta.
No.

Tanggal

Keterangan

Sumber

1.

13 Februari 2010

Hujan
angin
Jakarta

2.

25 Oktober 2011

Hujan petir di Depok

3.

26 Oktober 2011

Hujan disertai petir guyur


Jakarta

petir

di

http://detiknews.com
http://megapolitan.ko
mpas.com
http://news.okezone.c
om

Indeks prediksi Thunderstorm


Untuk memprediksi Thunderstorm, sejumlah aturan dan indeks telah
dikembangkan (Haklander dan Van Delden, 2003). Gambaran singkat mengenai
indeks disajikan sebagai berikut:
Indikasi Thunderstorm dari ketinggian puncak awan:
di bawah 4000 m: kecil kemungkinan.
antara 4000 dan 5000 m: besar kemungkinan.
di atas 5000 m: sangat besar kemungkinan.
Berikut beberapa penjelasan indeks yang dapat digunakan untuk memprediksi
potensi Thunderstorm di Jakarta.
Indeks K (K Index)
Didefinisikan oleh persamaan berikut:
KI = T850 T500 + Td.850 (T700
Td.700) Tabel 2 berikut menyajikan potensi Thunderstorm untuk indeks K.
Tabel 2. Potensi Thunderstorm untuk indeks K.
Indeks KI
Potensi badai
< 20
Tidak ada
20 25
Lemah: Thunderstorm terisolasi
26 30
Sedang:
Thunderstorm
tersebar
secara luas
31 35
Sedang: Thunderstorm tersebar
> 35
Kuat: Thunderstorm banyak
Indeks Showalter (Showalter Index)
Indeks yang dikembangkan untuk menentukan kestabilan udara. Selisih T pada
saat P 500 mb dengan T paket udara pada P yang sama.
SI = T 500 T 500
T adalah suhu lingkungan pada 500 hPa dan T adalah suhu paket udara pada
500 hPa. Tabel 3 di bawah ini menyajikan taksiran potensi Thunderstorm untuk
indeks Showalter.

55

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
Tabel 3. Potensi Thunderstorm untuk indeks Showalter.
Potensi badai
Troposfir stabil, tidak ada Thunderstorm,
> 3
hujan sebentar
Kecil peluang terjadi Thunderstorm, konveksi
1 < SI < 3
lemah, ada hambatan lapisan stabil
Thunderstorm
meningkat,
troposfir
tidak
-3 < SI < 1
stabil lemah
Thunderstorm hebat, troposfir tidak stabil
-6 < SI < -3
Thunderstorm dan Tornado, troposfir sangat
SI < -6
tidak stabil

Indeks SI

CAPE dan Intensitas Thunderstorm


Hubungan antara CAPE dan intensitas Thunderstorm potensial diberikan pada
Tabel 4, di mana CAPE(m2 dt-2) = 38
CAPE (C
km). Estimasi intensitas
Thunderstorm vs. CAPE disajikan pada tabel 4 di bawah ini:

CAPE C km
CAPE < 0
0 < CAPE < 26
26 < CAPE < 66
66 < CAPE < 92
92 < CAPE

Tabel 4. Intensitas Thunderstorm untuk CAPE.


CAPE(m2 dt-2)
Intensitas
CAPE < 0
Tidak ada konveksi
0 < CAPE < 1000
Konveksi lemah / Kumulus
1000 < CAPE < 2500
Badai sedang
2500 < CAPE < 3500
Badai kuat
3500 < CAPE
Badai ekstrim

Indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan


Penyusunan indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan dengan mengacu
pada indeks potensi Thunderstorm adalah sebagai berikut:
1. Untuk kondisi normal dengan kategori tidak ada hujan hingga hujan
ringan.
2. Untuk kondisi sedang dengan kategori hujan.
3. Untuk kondisi berbahaya dengan hujan deras disertai petir dan angin
kencang (Thunderstorm).
Indeks adaptasi dasar untuk berbagai kondisi Thunderstorm disajikan pada Tabel
5.
Tabel 5. Indeks dasar adaptasi tambak untuk berbagai kondisi
Thunderstorm.
Kondisi
Ketinggian awan
Indeks K
Indeks Showalter CAPE(m2 dt-2)
Thunderstorm
< 4000 m
< 25
> 3
< 1000
Normal
< 4000 m
25-35
-3-3
1000-2500
Sedang
> 4000 m
> 35
< -3
> 2500
Berbahaya

Hasil dan Pembahasan


Data yang direkam oleh radiosonde diplot dalam diagram Skew-T log P RAOB.
Diagram ini selanjutnya digunakan untuk menganalisis variabel-variabel
meteorologis yang bertujuan untuk memprediksi cuaca jangka pendek. Gambar 2
menyajikan hasil sounding di bandar udara internasional Jakarta.
Informasi penting yang diperoleh dari rawinsonde antara lain:
Tekanan permukaan = 1008 hPa.
Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 25,2 0C dan 23,8 0C.
Suhu konvektif = 33,2 0C.
CAPE = 2 J kg-1.
Nilai CAPE yang rendah ini menandakan bahwa kecepatan gerak udara ke atas
(updraft) untuk membentuk awan konvektif juga rendah. Namun nilai Richardson
(BRN) 0 mengindikasikan aliran udara tidak stabil dan turbulen. Nilai BRN yang
kecil menandakan geser angin yang relatif kuat. Keadaan ini sesuai dengan
informasi yang diberikan oleh Gambar 1, bahwa arah angin berlawanan dengan
kecepatan vertikal geser angin dengan kecepatan 10 m dt-1 pada lapisan
56

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
bertekanan 900700 hPa. Titik jenuh (LCL) yang menandakan dasar awan terbentuk
pada 988 hPa dengan ketinggian 180 m di atas permukaan. Ketinggian awan
mencapai 3 km dan kecepatan vertikal maksimum relatif rendah sebesar 2 m dt-1.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah ini sedang tidak mengalami
badai.

Gambar 1. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 13 Februari
2010. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri
adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap
ketinggian di tepi kanan luar diagram.
Kondisi ini juga sesuai dengan indeks prediksi badai (Tabel 6) dan CAPE
pada Tabel 4 yang hampir semuanya menyimpulkan bahwa potensi badai lemah
dengan kemungkinan terjadi hujan berintensitas ringan di wilayah ini.
Tabel 6. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB
pada 13 Februari 2010.
Potensi Thunderstorm
Singkatan
Nama indeks
Nilai (diagram RAOB)
KI
KI
31,1
Sedang:
Thunderstorm
tersebar
SI
Showalter
3,25
Troposfir
stabil,
tidak
ada
Thunderstorm,
hujan
sebentar
Dengan berpedoman pada indeks adaptasi dasar untuk kegiatan pertambakan
(Tabel 5) maka kondisi seperti ini tergolong sedang. Petani tambak tidak
dikhawatirkan oleh pengendalian kualitas air di tambak karena curah hujan yang
masuk ke areal tambak tidak berdampak terhadap penurunan kualitas air secara
drastis. Namun kondisi hujan sedang ini juga harus terus dimonitor
perkembangannya, karena tidak jarang pula hujan sedang dapat meningkat menjadi
hujan lebat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi daerah tropis yang cenderung
berawan yang dapat mendorong bergabungnya udara lembab dan kembali turun
sebagai hujan deras.
Gambar 2 dan Gambar 3 adalah hasil sounding di bandar udara internasional
Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 dan 26 Oktober 2011. Gambar 2 dan 3 menunjukkan
dua sounding identik yang sama-sama menyatakan kondisi atmosfir tidak stabil
bersyarat. Bar berwarna hijau dan biru masing-masing menunjukkan kondisi tidak
stabil dan stabil. Kondisi tidak stabil berada pada lapisan terbawah Troposfir
yang identik dengan laju penurunan adiabatik kering di mana paket udara naik
karena pemanasan permukaan sementara laju adiabatik basah terjadi setelah
57

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
paket udara mengalami kondisi jenuh pada LCL. Laju adibatik basah juga
menyiratkan kondisi basah dan bila paket udara ini terus naik melalui
Troposfir maka berpeluang terhadap terbentuknya awan kumulonimbus yang
berpotensi terhadap Thunderstorm.

Gambar 2. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7,00 WIB pada 25 Oktober 2011.
Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri adalah
profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian
di tepi kanan luar diagram.
Informasi penting yang diperoleh dari sounding pada gambar 3 adalah:
Tekanan permukaan = 1008 hPa.
Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 26,8 0C dan 24,8 0C.
Suhu konvektif = 31,4 0C.
CAPE = 2574 J kg-1.
LCL = 979 hPa = 258 m.
Berdasarkan analisis dari Gambar 2 prediksi indeks pada Tabel 7 dan CAPE
pada Tabel 4, keadaan atmosfir di Jakarta mengindikasikan potensi badai dengan
intensitas sedang hingga tinggi. Pada Troposfir bawah, udara berada dalam
keadaan tidak stabil bersyarat. Keadaan ini diperkuat oleh terbentuknya
lapisan udara kering pada ~500300 hPa sehingga mengakibatkan tidak
terbentuknya awan di lapisan ini. Pada lapisan ini pula terjadi pembelokan
arah angin yang mengindikasikan wind shear yang lebih kuat di lapisan atas
dibanding kecepatan wind shear pada lapisan ~900700 hPa yang bernilai 7 m dt1
-1
. Kecepatan angin di permukaan mencapai 56 km jam .
Tabel 7. Indeks potensi Thunderstorm di Jakarta jam 7,00 WIB
pada 25 Oktober 2011.
Nilai (diagram
Potensi Thunderstorm
Singkatan
Nama indeks
RAOB)
KI
KI
35,6
Kuat: Thunderstorm banyak.
SI
Showalter
-1,86
Thunderstorm
meningkat,
troposfir
tidak
stabil
lemah.

58

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790

Gambar 3. Diagram Skew-T Log-P RAOB di Jakarta jam 7,00 WIB pada 26 Oktober
2011. Garis tebal di kanan adalah profil suhu dan garis putus-putus di kiri
adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap
ketinggian di tepi kanan luar diagram.
Keadaan atmosfir di Jakarta pada pagi hari berada pada Gambar 4 menyatakan
ketidak stabilan konvektif di tandai dengan terbentuknya lapisan inversi pada
~600300. ketidakstabilan konvektif ini memicu terjadi hujan petir dengan
intensitas sedang di sore hari. Variasi arah dan kecepatan wind shear 9 m dt-1
pada lapisan ~900600 hPa. Sementara itu, potensi kecepatan microburst adalah
28 km jam-1. Dengan mengacu pada indeks adaptasi kegiatan pertambakan terhadap
terjadinya Thunderstorm maka kondisi seperti ini sangat tidak diinginkan oleh
petani tambak karena mereka harus melakukan adaptasi terhadap volume air hujan
yang masuk ke areal pertambakan. Kondisi seperti ini dapat mengancam
kelangsungan usaha tambak karena dapat mengancam hasil panen (ikan/udang
terancam mati) karena terjadi pengenceran air tambak oleh masuknya curah hujan
dalam jumlah yang tinggi. Dengan kondisi ini pengusaha tambak harus lebih
waspada, usaha yang dapat dilakukan antara lain harus melakukan penambahan air
laut agar salinitas air tambak tetap berada pada kisaran yang baik untuk biota
peliharaan. Namun demikian, karena penelitian ini sifatnya studi dasar yang
tinjauannya lebih ditekankan pada kondisi pra-konvektif di Troposfir untuk
peramalan potensi terjadinya Thunderstorm maka studi ini masih memerlukan
penelitan lebih lanjut dan mendalam mengenai kaitannya dengan adaptasi
kegiatan pertambakan saat berlangsungnya Thunderstorm. Demikian juga dalam
penyusunan indeks adaptasi dasar kegiatan pertambakan yang masih memerlukan
validasi dalam penerapannya.

Kesimpulan
Indeks prediksi badai yang sesuai digunakan untuk wilayah Jakarta adalah:
indeks K, indeks Showalter serta jumlah CAPE. Badai konvektif di Jakarta di
awali oleh naiknya udara dalam lingkungan tidak stabil bersyarat, kehadiran
lapisan inversi pada ~500300 hPa menyiratkan turunnya kelembaban sehingga
mendorong ketidakstabilan konvektif. Penyusunan indeks adaptasi tambak
didasarkan pada indeks potensi badai. Pada 13 Februari 2010, indeks adaptasi
tambak masing-masing dengan rentang indeks K 25-35 dan Showalter -3-3 yang
menyiratkan kondisi sedang dengan intensitas hujan ringan hingga sedang. Pada
25-26 Oktober 2011, indeks adaptasi tambak memiliki rentang K > 35, Showalter
< -3 dengan ketinggian awan > 4000 m yang menyatakan kondisi berbahaya dengan
kategori Thunderstorm sehingga petani tambak harus meningkatkan kewaspadaan
dengan menjaga dan mengontrol kualitas air di areal tambak. Namun, studi ini
59

Depik, 1(1): 53-60


April 2012
ISSN 2089-7790
masih memerlukan penelitian lanjutan dalam kaitannya dengan adaptasi kegiatan
pertambakan di lapangan secara menyeluruh.

Ucapan terima kasih


Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Dr. Tania June atas
saran dan koreksi yang bermanfaat dalam studi ini juga kepada reviewer atas
arahannya serta rekan-rekan pascasarjana Klimatologi Terapan IPB Bogor atas
diskusinya dan akhirnya penghargaan penulis berikan kepada DIKTI melalui
beasiswa BPPS untuk kelangsungan studi dan publikasi ini.

Daftar Pustaka
Ahrens, C.D., P. Samson. 2011. Extreme Weather and Climate. Pearson Prentice
Hall. Brooks/Cole; Thomson Learning, USA.
Haklander, A.J., A. van Delden. 2003. Thunderstorm predictors and their
forecast skill for the Netherlands. Journal of Atmospheric Research, 6768: 273-299.
Matsumoto, J., W. Peiming, H. Kamimera, J-I. Hamada, S. Mori, M. Yamanaka, N.
Sakurai, F. Syamsudin, R. Sulistyowati, A.A. Arbain, Y.S. Djajadihardja.
2009. Torrential in Indonesia Capital City Jakarta. The seventh
International Conference on Urban Climate. Yokohama, Japan 29 June - 3
July 2009.
Sofyan, A., T. Kitada, G. Kurata. 2005. Characteristics of Local Flow in
Jakarta, Indonesia and its implication in air pollution transport. The 9th
Atmospheric Sciences and Air Quality Conferences. San Francisco, USA 26-29
April 2005.
Vivanews.
2011,
Pemicu
Hujan,
Angin
dan
Petir
di
Jakarta.
http://us.metro.vivanews.com/news/read/190933-jakarta-hujan--angin-danpetir--ini-sebabnya. Tanggal akses 6 November 2011.

60

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790

Pengaruh ENSO (El Nio and Southern Oscillation) terhadap


transpor massa air laut di Selat Malaka
The influence of ENSO (El nio and southern oscillation) on
water mass Transport in the Malacca Strait
Muhammad1, Syamsul Rizal*1, Junaidi M. Affan2
1

Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah


Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email korespondensi:
syamsul.rizal@unsyiah.net

Abstract. This research examines the influence of ENSO (El Nio and Southern
Oscillation) in the Malacca Strait with the southern oscillation index using the
Pacific Ocean in determining the condition of Normal, El Nio and La Nina as the
analysis of mass transpor of sea water, sea surface elevation and the density of
the sea. The research methods using the Navier-Stokes equations with force
generating tides, winds from the National Centers for Environmental Prediction
(NCEP) Year 1980-2007, salinity(Levitus and Boyer, 1994a) and temperature
(Levitus and Boyer, 1994b). Equations of motion of the sea water were modeled
with the model of Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM). The results show that the
transport in northwestern part of the Malacca Strait is lower, but in the
southeastern part is stronger compared to that of in Normal and La Nina events.
While in Sea Level Elevation at El Nio event is lower compared to that of in
Normal and La Nina events. For sea surface density, the density values are 18.5
s/d 20.5 kg/m3 while for the later 30-50 m, the values are 19-21 kg/m3. Sea
surface density and density for layer 30-50 m in th southeastern part of Malacca
Strait for El Nio events are higher than that of in normal and La Nina event.
Key words: Sea level elevation, sea density and Hamsom model
Abstrak. Penelitian ini mengkaji pengaruh ENSO (El Nio and Southern
Oscillation) di Selat Malaka dengan memakai indek osilasi selatan Samudera
Pasifik dalam menentukan kondisi Normal, El Nio dan La Nina sebagai analisis
transpor massa air laut, elevasi muka laut dan densitas laut. Metode penelitian
menggunakan persamaan Navier-Stokes dengan gaya pembangkit pasang surut, angin
dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Tahun 1980-2007,
Salinitas (Levitus dan Boyer, 1994a) dan Temperatur (Levitus dan Boyer, 1994b).
Persamaan gerak air laut tersebut dimodelkan dengan model Hamburg Shelf Ocean
Model (HAMSOM).
Hasil-hasil menunjukkan bahwa transpor di bagian barat laut
Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian tenggara pergerakannya
menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La Nina. Sedangkan elevasi
muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Nio lebih rendah dibandingkan
pada kondisi Normal dan La Nina. Selanjutnya densitas permukaan laut di Selat
Malaka pada kondisi tahun Normal, El Nio dan La Nina berkisar 18,5 s/d 20,5
kg/m3. Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal,
El Nio dan La Nina berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan
densitas laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El
Nio lebih besar dibandingkan pada tahun Normal maupun tahun La Nina.
Kata kunci : Elevasi muka laut, densitas laut dan model HAMSOM

Pendahuluan
Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Nio, dirasakan di
Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang, dapat mengakibatkan kebakaran
hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi,
berjangkitnya penyakit pernapasan, kegagalan panen dan berbagai dampak buruk
lain (Susilo, 2009).
61

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790
Meskipun kejadian El Nio, prosesnya di Pasifik, dampaknya bisa meluas ke
berbagai belahan dunia. Berdasarkan Studi Kishore et al. (2000) tentang dampak
El Nio 1997-98, dari 1877 sampai dengan 1997, 93% dari tahun-tahun kering
selalu dihubungkan dengan El Nio. Beberapa studi menunjukkan hubungan yang
jelas antara anomali curah hujan yang normal dengan Southern Oscillation Index
(SOI). Pada tahun-tahun terjadi El Nio, datangnya monsoon lebih lambat,
sehingga menyebabkan kelambatan masa tanam dan mereduksi hasil pertanian.
Dampak yang paling terasa di Indonesia dan sangat menarik perhatian
internasional akibat kejadian El Nio 1997-98, adalah pada sektor kehutanan.
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sangat serius dan mempunyai dampak
ekonomi yang sangat signifikan. Asian Development Bank (ADB) dan BAPPENAS
menduga kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan musim kering yang melanda
Indonesia lebih dari 9 milliar US$ (Kishore et al., 2000). Sehingga penelitian
mengenai pengaruh ENSO terhadap transpor massa air laut penting untuk dikaji
dengan tujuan melihat korelasi antara kondisi normal, El Nio dan La Nina yang
terjadi di Pasifik dengan keadaan transpor massa air laut di Selat Malaka.
Transpor massa air akan mempengaruhi pola distribusi ikan dengan demikian akan
bermanfaat bagi nelayan untuk mengetahui tempat-tempat yang banyak terdapat
ikan.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini menggunakan persamaan gerak Navier-Stokes. Adapun persamaan
dasarnya adalah persamaan gerak dinamika oseanografi dalam arah x dan y
(Backhaus, 1985 ; Rizal dan Sndermann, 1994; Pohlmann, 1996; Rizal, 2000, Rizal
2002):

u
u
u
u
1 p
u
u u
u
v
w
fv
AH AH Av
t
x
y
z
x x
x y
y z z

(1)

v
v
v
v
1 p
v
v v
u
v
w fu
AH AH Av
t
x
y
z
y x
x y
y z z

(2)

Dalam arah z

persamaan hidrostatika disederhanakan dalam bentuk:

p
g
z

(3)

Persamaan keadaan air laut:

S , T , p o '

(4)

Persamaan konservasi temperatur:

T
T
T
T

T
u
v
w
K H 2T K V
ST
t
x
y
z
z
z

(5)

Persamaan konservasi salinitas:

S
S
S
S

S
u
v
w
K H 2 S KV
SS
t
x
y
z
z
z

(6)

Persamaan kontinuitas:

u dz
v dz 0,

t x h
y h

(7)

di mana u(x,y,z,t), v(x,y,z,t) and w(x,y,z,t) merupakan kecepatan arus dalam


arah x, y dan z. f = 2 sin adalah parameter Coriolis, adalah kecepatan
sudut rotasi bumi dan merupakan lintang geografi; (x,y,t) merupakan elevasi
permukaan air yang diukur dari permukaan air tenang, h(x,y) merupakan kedalaman
air juga diukur dari permukaan air tenang, g adalah konstanta percepatan
gravitasi, H xk dan H yk secara bersamaan merupakan ketebalan lapisan dalam arah
u dan v pada lapisan ke-k, dan H
adalah operator gradient horizontal. Ah
adalah koefisien pertukaran turbulensi horizontal dan Av adalah koefisien
viskositas eddy vertikal. Pers (1), (2), (3) digunakan untuk pemodelan dinamika
62

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790
oseanografi melalui proses diskrisitasi menggunakan metode finite different
skema semi-implisit. Tekanan hidrostatis p (dengan mengabaikan suku g 0 z dan
pa, dikarenakan tidak memiliki kontribusi terhadap gradient tekanan horizontal)
pada arah z ditulis dalam bentuk :
0

p g1 p' g ' dz g1 I

(8)

Karena berhubungan dengan syarat stabilitas pada langkah waktu yang harus
dipenuhi oleh simulasi numerik, tekanan pada pers. (8) dipisahkan menjadi dua
suku yaitu : komponen Barotropik ( g1 ) dan komponen Baroklinik (I).
Tahapan penelitian ini terdiri atas pengumpulan data Indek Osilasi Selatan
dari situs: (1)http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1977-1984.shtml;
1. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1985-1992.shtml;
2. http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-1993-2000.shtml;
3.
http://www.bom.gov.au/climate/current/soi-2000-2007.shtml (Gambar 1), data
sekunder 7 parameter meteorologi tahun 1980-2007 dari National Centers for
Environmental Prediction (NCEP), data temperatur dan salinitas (Levitus dan
Boyer, 1994a,b) serta data amplitudo dan phase komponen harmonik pasang surut.
Data sekunder 7 parameter meteorologi NCEP yaitu:
Kecepatan angin arah U pada 10 meter (m/detik) (U-wind at 10 m).
Kecepatan angin arah V pada 10 meter (m/detik) (V-wind at 10 m).
Suhu udara pada 2 meter (K) (air temperature at 2 meters).
Laju presipitasi (kg/m2/detik) (precipitation rate).
Kelembaban khusus pada 2 meter (kg/kg) (specific humadity at 2 meters).
Tekanan level permukaan laut (Pa) (sea level pressure).
Total tutupan awan (%) (total cloud cover).

Gambar 1. Indek Osilasi Selatan tahun 1977-2007


Selanjutnya disimulasikan dengan domain 530 LU - 130 LU dan 9530 BT
- 10330 BT (Gambar 2) dengan lebar grid horizontal x = 5, y = 5 dan grid
vertikal kedalaman (z) yang didiskritisasi sebanyak 11 lapis, yaitu 0-10,10-20,
20-30, 30-50, 50-75, 75-100, 100-125, 125-150, 150-200, 200-250, 250-300, 300400, 400-500, 500-600, 600-700, 700-800 dan 800-900 m. Langkah waktu t = 600
detik, koefisien eddy horizontal AH = 500 m2/detik, koefisien eddy vertikal AV =
0,01 m2/detik dan faktor gesekan dasar laut Cf = 0,0025. Syarat batas elevasi
pada bidang terbuka diasimilasi dari komponen harmonik dengan interpolasi 5.
63

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790
Analisis pengaruh el Nio di Selat Malaka berupa perbandingan antara tahun
normal, el Nio dan la nina dari output transpor massa air laut, elevasi muka
laut dan densitas laut.

Gambar 2. Batimetri Selat Malaka (meter)

Hasil dan Pembahasan


Transpor massa air laut
Transpor massa air laut di Selat Malaka secara umum baik pada kondisi
Tahun Normal, El Nio maupun La Nina bergerak ke arah Barat Laut dengan massa
air yang dibawa sebesar 0,1 3 Sv. Namun terjadi transpor yang lebih kuat pada
tahun El Nino (1982 dan 1997) dibandingkan kondisi normal maupun la nina, hal
ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Elevasi Muka Laut
Secara umum elevasi muka laut di Selat Malaka baik pada tahun normal, el
nino da la nina berkisar 0,4 sampai 1 m. Pada kondisi tahun Normal (Nov 1981 dan
Nov 1996) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998 dan Nov 2007) elevasi muka air laut
jauh lebih tinggi berkisar 0,8 m s/d 1 m, sedangkan pada kondisi El Nio (Nov
1982 dan Nov 1997) elevasi muka air laut jauh lebih rendah yaitu berkisar 0,4 m
s/d 0,8 m (Gambar 4).
Densitas Air Laut
Densitas permukaan laut di Selat Malaka pada kondisi
tahun Normal (Nov
1981, Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998,
Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3 (Gambar 5). Sementara densitas pada
lapisan kedalaman 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981,
Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov
2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3 (Gambar 6). Tingginya densitas pada lapisan
dibawah permukaan dikarenakan adanya paksaan atau tekanan dari massa air lapisan
permukaan.
Keterkaitan ENSO dengan Transpor massa air laut dan parameter oseanografi
Kekuatan transpor massa air laut secara langsung sangat dipengaruhi oleh
suhu, densitas dan elevasi muka air, sehingga secara tidak langsung ENSO yang
terdiri atas kondisi normal, El Nio, dan La Nina mempengaruhi suhu, densitas
dan elevasi muka air yang memberikan keterkaitan dengan kekuatan transpor yang
bergerak. Kekuatan transpor tersebut dapat menguat ataupun melemah sesuai dengan
kondisi ENSO. Dari hasil yang diperoleh dari gambar 3 di Selat Malaka
menunjukkan bahwa pada kondisi El Nio menguat dibandingkan kondisi normal dan
La Nina. Sedangkan kejadian sebenarnya di Samudera Pasifik bahwa pada kondisi El
Nio melemah dibandingkan kondisi normal dan La Nina yang memberikan efek
langsung di Indonesia bagian timur. Namun demikian ENSO juga memberikan efek ke
Selat Malaka secara tak langsung melalui aliran telekoneksi dari atmosfir yang
membawa efek sampai permukaan laut Selat Malaka.
64

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790

g
Gambar 3. Transpor Massa Air Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat
(Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).

g
Gambar 4. Elevasi muka air di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat (Nov
1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov 1997),
f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).

65

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790

g
Gambar 5. Densitas Permukaan Laut di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio Kuat
(Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997),f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).

g
Gambar 6. Densitas Laut Lapisan 30-50 m di Selat Malaka a. Normal (Nov 1981), b. El Nio
Kuat (Nov 1982), c. La Nina Kuat (Nov, 1988), d. Normal (Nov 1996), e. El Nio Kuat (Nov
1997), f. La Nina Kuat (Nov, 1998), g. La Nina Sedang (Nov, 2007).

66

Depik, 1(1): 61-67


April 2012
ISSN 2089-7790

Kesimpulan
Transpor massa air laut pada kondisi El Nio menunjukkan bahwa transpor di
bagian barat laut Selat Malaka pergerakannya melemah dan transpor di bagian
tenggara pergerakannya menguat dibandingkan pada kondisi tahun Normal dan La
Nina. Elevasi muka air di Selat Malaka pada kondisi tahun El Nio lebih rendah
dibandingkan pada kondisi Normal dan La Nina. Densitas permukaan laut di Selat
Malaka pada kondisi tahun Normal (Nov 1981, Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov
1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov 1998, Nov 2007) berkisar 18,5 s/d 20,5 kg/m3.
Densitas laut lapisan 30-50 m di Selat Malaka pada kondisi tahun Normal
(Nov 1981, Nov 1996), El Nio (Nov 1982, Nov 1997) dan La Nina (Nov 1988, Nov
1998, Nov 2007) berkisar 19 s/d 21 kg/m3. Densitas permukaan laut dan densitas
laut kedalaman 30-50 m di bagian tenggara Selat Malaka pada kondisi El Nio
lebih besar dibandingkan pada tahun normal.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti, Departemen
Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Penelitian
Unggulan Strategis Nasional tahun 2009 dengan nomor kontrak: 096/H11P2T/A.01/2009 Tanggal 27 Februari 2009. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan
kepercayaan atas kelancaran penelitian ini.

Daftar Pustaka
Backhaus, J. O. 1985. A three-dimensional model for the simulation of shelf sea
dynamics. Deutsche Hydrographische Zeitschrift German. Journal of
Hydrography, 38: 165-187.
Kishore, K., A. Setiana, A.R. Subbiah, T. Sribimawati, S. Diharto, S. Alimoeso,
P. Rogers. 2000. Indonesia Country Case Study: Impacts and Responses to
the 1997-98 El Nio Event, supported by the US Office of Foreign Disaster
Assistance and Office of Global Programs, National Oceanic and Atmospheric
Administration as a contribution to the UNEP/NCAR/WMO/UNU/ISDR study for
the UN Foundation.
Levitus, S., T. Boyer. 1994a. World Ocean Atlas 1994, Vol 3: Salinity. NOAA
Atlas NESDIS 3, U. S. Government Printing Office, Washington D.C. 93 pp.
Levitus, S., T. Boyer. 1994b. World Ocean Atlas 1994, Vol 4: Temperature. NOAA
Atlas NESDIS 4, U. S. Government Printing Office. Washinton D.C. 117 pp.
Pohlmann, T. 1996. Calculating the annual cycle of the vertical eddy viscosity
in the North Sea with a three-dimensional baroclinic shelf sea circulation
model. Cont. Shelf Res. Vol., 16(2): 147 161.
Rizal, S., J. Sndermann. 1994. On the M2 tide of the Malacca Strait: a
numerical investigation, Deutsche Hydrographische Zeitschrift German.
Journal of Hydrography, 46(1): 61 - 80.
Rizal, S. 2000. The role of nonlinear terms in the shallow water equations with
the application in the three-dimensional tidal model of Malacca Strait and
Taylor's problem in low geographical latitude. Continental Shelf Research,
20(15): 1965 - 1991.
Rizal, S. 2002. Taylor's problem - influences on the spatial distribution of
real and virtual amphidromes. Continental Shelf Research, 22(15): 21472158.
Susilo, I. 2009. Cuaca: Dari El Nio 1997 ke El Nio 2009, Harian Nasional
Kompas, tanggal 10 Oktober 2009.

67

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan


minapolitan di beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu
kajian awal
Mapping of the potencial locations for developing
minapolitan region in Aceh Province: a preliminary study

of

Z.A. Muchlisin1*, Muhammad Nazir2, Musri Musman2


1

Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas


Syiah Kuala, Banda Aceh 23111; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan
dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. Email korespodensi:
muchlisinza@yahoo.com

Abstract. The objective of the present survey was to map the potency of
locations for developing of minapolitan area in Aceh province. The survey was
conducted on November-December 2011 and it was focused on the four districts
i.e. Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen and Aceh Timur. The data were categorized
into two types, i.e. secondary data which was compiled from annual reports,
research report and other references. The primary data were collected throught
direct and indirect interviewed the key persons in fisheries sector by using
the questionnaire. Primary data were also obtained by direct observation in
the fields. The results showed that every site has the advantages and
disadvantages. However, generally all of the locations have potency to be
developed as minapolitan region. Minapolitan models that can be developed are
the combination between of capture fisheries, aquaculture, processing and
marine tourism.
Keywords: Capture fihery, aquaculture, fish processing industry and marine
tourism

Abstrak. Survei ini bertujuan untuk memetakan lokasi bagi pengembangan kawasan
minapolitan di Provinsi Aceh. Survey dilakukan pada bulan November-Desember
2011 pada empat Kabupaten, yaitu Aceh Jaya, Aceh Besar, Bireuen dan Aceh
Timur. Data utama yang digunakan adalah data sekunder yang dikompilasi dari
laporan tahunan dinas terkait dan laporan-laporan penelitian yang pernah
dilakukan. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara baik langsung
maupun tidak langsung (kuisioner) terhadap petugas yang membidangi bidang
berkenaan. Data primer juga diperoleh dengan pengamatan langsung dilapangan
pada beberapa lokasi yang ditinjau. Dari survey ini dapat disimpulkan bahwa
setiap lokasi yang disurvey memiliki karakteristik dan keunggulan dan
kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum dinilai semua kawasan ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan Minapolitan. Model minapolitan
yang dapat dikembangkan adalah berbasis kombinasi antara perikanan tangkap,
budidaya, pengolahan dan wisata bahari.
Kata kunci: Perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan, dan
wisata bahari

Pendahuluan
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh,
lebih kurang 55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara
langsung maupun tidak langsung (Yusuf, 2003). Oleh karena itu pengembangan
sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Provinsi
Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara
68

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

umum di kawasan ini. Namun sayangnya kondisi perekonomian sebagai besar


nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya masih sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sektor
kelautan dan perikanan perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian agar dapat
meningkatkan kesejahteraan nelayan khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya.
Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, diperlukan kebijakan strategis yang
inovatif didasarkan pada realitas permasalahan dan kondisi masa depan yang
diharapkan dengan menerapkan langkah-langkah terobosan yang efektif. Untuk itu
diperlukan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke
lautan
(maritime),
yang
disebut
dengan
Revolusi
Biru.
Pada
tataran
implementasinya diperlukan sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan
terpadu berbasis wilayah yang disebut dengan konsep minapolitan (KKP, 2011).
Program pengembangan kawasan minapolitan ini bertujuan untuk: (a)
Meningkatkan produksi, produktifitas, dan kualitas produk kelautan dan
perikanan; (b) Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan
pengolahan ikan yang adil dan merata; dan Mengembangkan kawasan minapolitan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah.
Pembangunan perikanan Indonesia selama ini dinilai belum berhasil
mengangkat perekonomian masyarakat nelayan secara nyata, oleh karena itu
diperlukan suatu terobosan baru untuk mengatasi berbagai permasaalahan yang
ada selama ini, pembangunan yang bersifat sektoral dan tidak terencana dengan
baik mungkin adalah salah satu sebab belum berhasilnya pembangunan perikanan
Indonesia selama ini. Oleh karena itu minapolitan diharapkan menjadi jawaban
terhadap permasalah tersebut. Dalam konsep minapolitan koordinasi dan sinergi
berbagai stakeholder yang terlibat adalah menjadi kunci keberhasil program
minapolitan.
Provinsi Aceh memiliki peluang yang besar untuk pengembangan kawasan
minapolitan di beberapa kabupaten/kota, misalnya Kabupaten Aceh Jaya,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Timur. Menurut
Pedoman Umum Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), bahwa
suatu kawasan dapat ditetapkan dan dikembangkan sebagai kawasan minapolitan
apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan Renstra Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau
Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah
Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan.
b. Memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan
nilai ekonomi tinggi.
c. Letak geografis yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan
untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan
d. Terdapat unit produksi, pengolahan dan atau pemasaran dan jaringan usaha
yang aktif berproduksi, mengolah dan atau memasarkan yang terkonsentrasi
di suatu lokasi dan mempunyai matarantai produksi pengolahan dan atau
pemasaran yang saling terkait.
e. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar,
permodalan,
sarana
dan
prasarana
produksi,
pengolahan
dan atau
pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha dan fasilitas penyuluhan dan
pelatihan.
Kajian awal ini bertujuan untuk melakukan pemetaan potensi pengembangan
kawasan minapolitan dibeberapa lokasi dalam Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Besar,
Bireuen dan Aceh Timur. Hasil kajian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak
terkait sebagai pedoman dasar dalam penetapan dan perencanaan pengembangan
kawasan minapolitan.

Bahan dan Metode


Lokasi dan waktu
Survey ini dilakukan pada bulan November-Desember 2011 di beberapa
kawasan, penetapan kawasan survey berpedoman pada sentra-sentra perikanan yang
telah ada dan tumbuh secara alami, untuk tujuan tersebut tim berkoordinasikan
dengan instansi terkait, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Provinsi Aceh, sehingga dipilih enam lokasi yang berada pada empat kabupaten
untuk disurvey, yaitu Aceh Jaya (Calang dan sekitarnya), Aceh Besar (Kota
69

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Jantho dan Lampuuk-Leupung-Lhoong),


Rayeak dan Peureulak).

Bireuen

(Jangka)

dan

Aceh

Timur

(Idi

Teknik pengumpulan dan analis Data


Data utama yang digunakan adalah data sekunder yang dikompilasi dari
laporan tahunan dinas terkait dan laporan-laporan penelitian yang pernah
dilakukan. Data ini diperoleh secara langsung dari pihak terkait atau melalui
situs-situs online, buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Data primer diperoleh
dengan cara wawancara langsung dan tidak langsung (kuisioner) terhadap petugas
yang membidangi bidang berkenaan. Data primer juga diperoleh dengan pengamatan
langsung di lapangan pada beberapa lokasi yang ditinjau.
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam tabel dan gambar dan
selanjutnya dianalisis secara deskriptif, untuk dilihat sejauh mana kawasan
tersebut
memenuhi
persyaratan
kawasan
minapolitan
yang
sebagaimana
disyaratkan. Adapun kawasan yang disurvey adalah sebagai berikut:
1. Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar
2. Lampuuk-Leupung-Lhoong, Kabupaten Aceh Besar
3. Jangka Mesjid, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen
4. Blang Geulumpang, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur
5. Kuala Bugak, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.
6. Calang, Aceh Jaya
Berdasarkan data potensi ini, maka dapat diketahui karakteristikkarakteristik dari setiap kawasan tersebut dan dengan mengacu kepada
persyaratan kawasan untuk minapolitan.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Sebaran calon lokasi untuk pengembangan kawasan minapolitan Aceh
difokuskan pada 6 lokasi, yaitu Kota Jantho, Cluster Lampuuk-Leupung-Lhoong,
Kabupaten Aceh Besar; Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen; Kecamatan Idi
Rayeuk dan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur; dan dan Calang, Aceh Jaya (Gambar
1).

Gambar 1. Lokasi rencana pengembangan kawasan minapolitan di Aceh


(I:Kota Jantho, Aceh Besar, II:Kluster Lampuuk-Leupung-Lhoong,
Aceh Besar, III: Jangka, Bireuen, IV: Idi Rayeuk, Aceh Timur, V:
Peureulak, Aceh Timur dan VI. Calang, Aceh Jaya)
70

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Menurut pedoman dasar penetapan dan perencanaan pengembangan kawasan


minapolitan, maka pelaksanaan rencana pengembangan kawasan minapolitan perlu
dinilai dari beberapa aspek, diantaranya aspek potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, fasilitas utama dan pendukung yang ada di masing-masing
lokasi minapolitan dan komoditi unggulan. Penelitian yang telah dilakukan di
masing-masing lokasi mengenai pengembangan kawasan minapolitan, hingga
komitmen daerah dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan dengan adanya
surat keputusan (SK), peraturan daerah atau komitmen dalam bentuk anggaran
adalah menjadi acuan dalam penetapan kawasan minapolitan.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, maka aspek yang dinilai antara lain
serapan tenaga kerja di wilayah tersebut, orientasi pasar, model kemitraan
yang telah dikembangkan antara masyarakat dan corporate serta dampak
pengembangan kawasan minapolitan terhadap perekonomian di masing-masing
wilayah. Rangkuman hasil survey disajikan pada Tabel 1 sampai Tabel 7.
Table 1. Potensi sumberdaya manusia yang dimiliki pada masing-masing lokasi.
No.

Lokasi

Potensi sumberdaya manusia yang mendukung

1.
2.

15 orang tenaga penyuluh dari BPP Lhoknga.


11 orang tenaga penyuluh dari DKP dan Badan ketahanan
pangan Kabupaten Aceh Besar.

3.

Jantho, Aceh Besar


Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh
Besar
Jangka, Bireuen

4.

Idi Rayeuk, Aceh Timur

5.

Peureulak, Aceh Timur

6.

Calang, Aceh Jaya

Fasilitator di Livelihood Service Centre yang terletak


di beberapa kecamatan di Bireuen, yaitu kecamatan
Jangka, Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga.
(masing-masing
LSC
tersebut
memiliki
2
orang
fasilitator)
8 orang Bapeluh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh
Timur, 39 orang SATGAS yang menangani pengembangan
kawasan minapolitan.
2 orang Bapeluh yang menangani pengembangan kawasan
minapolitan,
39
orang
SATGAS
yang
menangani
pengembangan kawasan minapolitan.
8 orang tenaga penyuluh ketahanan pangan, 3 orang
penyuluh BPP pada setiap kecamatan, 1 orang penyuluh
perikanan tenaga kontrak (PPTK), 3 orang penyuluh
Pengembangan usaha Manapedesaan (PUMP)

Tabel 2. Keberadaan Peraturan Pemerintah (SK) Kepala Daerah di masing-masing


kabupaten.
No.

Lokasi

Peraturan Pemerintah (SK) Kepala Daerah

1.

Aceh Besar

- SK. No 101 Tahun 2010, tentang Penetapan Kecamatan


Kota Jantho sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya ikan
air tawar Kab. Aceh Besar
- SK. No 273 Tahun 2010, tentang pembentukan kelompok
kerja (POKJA) pengembangan kawasan minapolitan budidaya
ikan air tawar Kab. Aceh Besar.

2.

Bireuen

3.

Aceh Timur

4.

Aceh Jaya

SK Bupati Bireuen Tahun 2010 tentang penetapan kawasan


minapolitan di kabupaten Bireueun dengan pusat kawasan
(Minapolis) Kecamatan Jangka dan didukung oleh 4
Kecamatan sekitarnya sebagai hinterland, yaitu Kecamatan
Gandapura, Peusangan, Kuala dan Kecamatan Jeumpa.
Belum ada Surat Keputusan Bupati atau Perda, namun
komitmen pemerintah setempat dinilai tinggi, ditandai
dengan telah dibentuknya badan penyuluh (Bapeluh) dan
satuan tugas (Satgas) yang menangani pengembangan
kawasan minapolitan.
Belum ada Surat Keputusan Bupati atau Perda tentang
pengembangan kawasan minapolitan di Aceh Jaya, namun
pemerintah setempat memiliki komitmen yang kuat untuk
pengembangan kawasan minapolitan ditandai dengan adanya
alokasi anggaran untuk penyusunan rencana
tata ruang
dan DED kawasan minapolitan pada tahun 2012.

71

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Tabel 3. Komoditas unggulan di masing-masing lokasi


No.
1.

Lokasi
Jantho, Aceh Besar

2.

Kluster Lampuuk
Leupung -Lhoong, Aceh
Besar

3.

Jangka, Bireuen

4.

Idi Rayeuk, Aceh Timur

5.

Peureulak, Aceh Timur

6.

Calang, Aceh Jaya

Komoditas unggulan
Budidaya ikan air tawar: ikan nila, ikan bawal, ikan
bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame, ikan gabus,
ikan lele dan ikan hias.
Perikanan tangkap: ikan-ikan karang, udang/lobster dan
ikan teri. Perikanan budidaya: ikan nila, kepiting, ikan
bandeng dan ikan lele. Industri pengolahan: ikan asin,
ikan peda dan teri kering. Wisata bahari: terumbu karang
dan penyu (marine protection area).
Perikanan tangkap: ikan tuna, tongkol, kakap, kerapu dan
teri. Perikanan budidaya: udang windu, ikan bandeng,
ikan nila, mujair dan kepiting bakau.
Perikanan tangkap: tuna, tenggiri, sunglir, cakalang,
lisong, tongkol, layang biru, layang deles, kembung,
madidihang dan tembang.
Tongkol, kerapu, kakap, ikan kue, udang windu dan
bandeng.
Perikanan tangkap: Kerapu, lobster, udang windu, udang
sabu, ikan tuna, tongkol, kakap, bilis. Perikanan
budidaya: ikan bandeng, lobster, ikan kerapu, udang,
ikan kereuling dan ikan hias. Industri pengolahan: ikan
asin, ikan peda, ikan teri kering. Wisata bahari:
terumbu karang dan pulau-pulai kecil (marine protection
area).

Tabel 4. Potensi wilayah, sarana dan prasarana pendukung di masing-masing


lokasi
No.
1.

2.

3.

4.

5.
6.

Lokasi
Jantho, Aceh Besar

Potensi
- Lahan kolam 50 Ha, dan yang telah produktif 5 ha.
- Balai Benih Ikan Air Tawar
- Adanya Balai Penyuluh Pertanian & Perikanan - Lhoknga
- Memiliki sumber air tawar yang berlimpah
- Balai benih ikan air tawar
Kluster
Lampuuk
Perahu tanpa motor= 150 unit, boat dompleng= 120 unit,
Leupung - Lhoong, Aceh boat < 5GT= 60 unit, boat 5-20 GT = 7 Unit, boat >20 GT
Besar
= 3 Unit
Jangka, Bireuen
Armada perikanan= 2.153 unit, PPI= 3 unit, TPI= 15
unit, fasilitas docking= 2 unit, dermaga tambat labuh=
1 Unit, sungai utama = 13 buah.
Hatchery= 51 unit, gedung UPP= 2 unit, pasar ikan= 19
unit, muara/Kuala= 25 buah, saluran Tambak= 554 Km
Idi Rayeuk, Aceh Timur
Tambak 148,2 ha, kolam 0,8 ha, perahu tanpa motor= 20
unit, boat < 5 GT = 76 unit, boat 5-20 GT = 199 unit,
boat > 20 GT = 142 unit.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Idi merupakan salah
satu pelabuhan perikanan terbesar di Aceh, berlokasi di
Idi Rayeuk Aceh Timur, pelabuhan ini merupakan Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh dengan luas lahan 61 Ha. Fasilitas yang
tersedia di PPP ini antara lain: Dermaga (Wharf/Pier) =
250 m2, Jetty = 1.800 m, Pemecah gelombang= 800 m,
Kolam Pelabuhan/Alur Sungai = 6 Ha, Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) = 600 m2, Kantor Administrasi Pelabuhan =
452m2, Gedung Pengepakan = 2 unit, Tangki Air +
Instalasi = 1 unit, Tangki Solar + Instalasi/SPBN = 2
unit, Listrik + Instalasi (sisi barat)= 1 unit,
Dock/Slipway = 30 GT, Tower Central Radio Nelayan = 1
unit, Kendaraan Pelabuhan = 3 unit, Fork Lift = 2 unit,
Selain itu,terdapat juga beberapa fasilitas penunjang
lainnya, seperti: Rumah Staf, MCK umum, kios nelayan
dan Keselamatan Pelayaran (Pos PolAirud).
Peureulak, Aceh Timur
Boat < 5 GT = 79 unit, boat 5-20 GT = 15 unit, boat >
20 GT = 6 unit, hatchery 1 unit.
Calang, Aceh Jaya
Perahu tanpa motor= 61 unit, motor tempel= 71 unit, <5
GT= 25 unit, 5 sampai 10 GT= 12 unit, > 10 GT= 1 unit.
Balai benih ikan air tawar.

72

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Tabel 5. Fasilitas laboratorium yang tersedia dimasing-masing lokasi


No.

Lokasi

Fasilitas laboratotium yang tersedia

1.
2.

Balai Benih Ikan Air Tawar, Jantho.


Belum tersedia

3.

Jantho, Aceh Besar


Kluster
LampuukLeupung-Lhoong,
Aceh
Besar
Jangka, Bireuen

4.

Idi Rayeuk, Aceh Timur

Telah
tersedia
lab.
Untuk
pengukuran
parameter
perikanan budidaya
(pH meter, DO meter, dll) di
Livelihood Service Centre (LSC)
yang terletak di
beberapa kecamatan di Bireuen, yaitu kecamatan Jangka,
Kecamatan Gandapura dan Kecamatan Samalanga.
Tidak ada data

5.

Peureulak, Aceh Timur

Tidak ada data

6.

Calang, Aceh Jaya

Balai Benih Ikan Air Tawar Krueng Sabee

Tabel 6. Orientasi pasar di masing-masing lokasi


No.

Lokasi

1.

Jantho, Aceh
Besar

2.

Kluster
LampuukLeupungLhoong, Aceh
Besar

Lokal dan
expor

3.

Jangka,
Bireuen
Idi Rayeuk,
Aceh Timur

Lokal dan
nasional
Lokal dan
nasional

5.

Peureulak,
Aceh Timur

Lokal

6.

Calang, Aceh
Jaya

Lokal dan
ekspor

4.

Orientasi
Pasar
Lokal

Keterangan
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Kota Banda
Aceh (52 Km), Sigli (50 Km) dan restoran lokal
setempat.
Hasil produksi perikanan umumnya dipasarkan ke
Kota Banda Aceh (52 Km), Medan (500 km) dan Ekpor
ke Malaysia.
Jumlah produksi:
Tahun 2008 (27,18 Ton)
Tahun 2009 (32,07 Ton) dan
Tahun 2010 (45,52 Ton).
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Singli (100
km), Banda Aceh 180 km, Medan 300 km.
Hasil produksi umumnya dipasarkan ke Medan, Banda
Aceh, Takengon, Bireun dan Lhokseumawe.
Jumlah produksi per tahun
2008= 12.127 ton
2009= 10.895 ton
2010= 9.764 ton
Hasil produksi ikan olahan berupa ikan Asin, Ikan
Kering dan Terasi di pasarkan ke kota-kota seperti
Banda Aceh, Takengon, Meulaboh, Langsa dan Medan.
Produksi perikanan tangkap pertahun 2010= 6,177,4
Ton
Hasil produksi ikan berupa ikan asin dan udang
sabu untuk pasar lokal, ikan tuna, kerapu, kakap
dan lobster untuk pasar ekspor.

Tabel 7. Serapan tenaga kerja di masing-masing lokasi


No.
1.
2.

3.

Lokasi
Jantho, Aceh Besar
Kluster LampuukLeupung-Lhoong, Aceh
Besar
Jangka, Bireuen

4.
5.

Idi Rayeuk, Aceh Timur


Peureulak, Aceh Timur

6.

Calang, Aceh Jaya

Serapan Tenaga Kerja


Lebih kurang 100 orang
Lebih kurang 1.000 orang

Nelayan :
12.489 orang, Petani tambak: 5.299 orang,
Petani KJA air payau: 205 orang
Nelayan: 5.277 orang
Nelayan: 870 orang, Petambak: 631 orang, Pengolah: 10
orang
Nelayan tangkap: 485 orang, Nelayan budidaya: 802 orang
Pengolah: 15 orang

73

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Pembahasan
Kabupaten Aceh Besar
Kawasan minapolitan yang akan dikembangkan di Aceh Besar terdapat di dua
lokasi dengan beberapa kawasan pendukung, yaitu Kota Jantho dan kluster
Lampuuk-Leupung-Lhoong. Pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho
diarahkan pada usaha budidaya ikan air tawar baik untuk tujuan konsumsi maupun
ikan hias. Sumber air tawar yang melimpah sepanjang tahun dapat menjadikan
kawasan ini sebagai sentra perikanan air tawar untuk Provinsi Aceh dimasa
depan. Hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan,
Kabupaten Aceh Besar, bahwa, pengembangan minapolitan di Kota Jantho akan
bertumpu pada perikanan budidaya air tawar, dengan komoditas unggulan antara
lain ikan nila, ikan bawal, ikan bandeng, udang galah, ikan mas, ikan gurame,
ikan gabus, ikan lele dan ikan keureling (Personal komunikasi dengan Kepala
DKP Aceh Besar).
Rencana pengembangan kawasan minapolitan di Kota Jantho ini telah
ditetapkan dengan Perbub, antara lain: SK. No 101 Tahun 2010, tentang
Penetapan Kecamatan Kota Jantho sebagai Kawasan Minapolitan Budidaya ikan air
tawar Kab. Aceh Besar, dan SK. No 273 Tahun 2010, tentang pembentukan kelompok
kerja (POKJA) pengembangan kawasan minapolitan budidaya ikan air tawar
Kabupaten Aceh Besar.
Pengembangan usaha budidaya perikanan terutama perikanan air tawar di
Kota Jantho perlu didukung oleh ketersediaan benih dan pakan yang mencukupi.
Dalam hal pasokan benih tidak menjadi kendala karena sudah tersedia balai
benih ikan air tawar di kawasan ini, namun demikian penyediaan pakan mungkin
akan menjadi kendala karena belum adanya industri pakan ikan, umumnya petani
ikan masih sangat bergantung pada pakan komersil yang dijual dipasaran dengan
harga relatif tinggi sehingga menyebabkan margin keuntungan menjadi rendah.
Oleh karena itu peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Besar sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasaran
pendukung tersebut.
Sedangkan potensi pengembangan kawasan minapolitan di kluster LampuukLeupung-Lhoong bertumpu pada perikanan laut baik perikanan tangkap maupun
budidaya, industri rumah tangga pengolahan ikan dan wisata bahari. Saat ini
industri pengolahan ikan di Leupung sudah mulai menunjukkan peningkatan, namun
demikian maih diperlukan peningkatan kapasitas dan modal kerja, sehingga
kualitas ikan olahan menjadi lebih baik dan layak untuk diekspor. Kawasan ini
juga berpotensi dijadikan kawasan wisata bahari karena memiliki teluk yang
yang terlindung dan secara geografis sangat strategis. Untuk mendukung hal
tersebut maka diperlukan adanya intervensi berupa rehabilitasi terumbu karang
dan hutan bakau yang rusak pasca tsunami 2004 lalu, sehingga dengan demikian
keragaman dan jumlah ikan karang akan meningkat dan menjadi daya tarik pagi
pengujung.
Lindawati
et
al.(2010)
melaporkan
bahwa
secara
rata-rata
keterkaitan sektor perikanan dan pariwisata bahari dalam perekonomian Sulawesi
Utara misalnya termasuk dalam kategori kuat dan termasuk ke dalam kelompok
sektor andalan/unggulan.
Untuk mendukung pengembangan industri pengolahan ikan diperlukan adanya
pasokan ikan segar dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu usaha rehabilitasi
terumbu karang dan hutan bakau diharapkan akan dapat meningkatkan populasi
atau stok ikan di alam, selain itu juga diperlukan adanya rumpon-rumpon pantai
tempat ikan-ikan berkumpul sehingga memudahkan nelayan menangkap dengan
efektif.
Lampuuk sudah dikenal sebagai kawasan wisata bagi masyarakat lokal,
kawasan ini memiliki pantai yang indah dan terumbu karang yang cukup baik,
selain itu di kawasan ini juga terdapat stasiun penelitian/penangkaran penyu
yang diprakarsai oleh beberapa NGO lokal dan internasional bekerjasama dengan
pemerintah setempat. Sehingga menjadikan kawasan ini sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dan penelitian.
Kabupaten Bireuen
Secara administrasi, Kabupaten Bireuen memiliki 17 Kecamatan dengan 11
Kecamatan diantaranya berada pada kawasan pesisir pantai. Luas wilayah
Kabupaten Bireuen mencapai 1.901 Km2 dengan jumlah penduduk 379.000 jiwa.
Kabupaten Bireuen memilki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang
74

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

cukup memadai, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Letak geografis


berdasarkan UU Republik Indonesia No 48 Tahun 1999 berada pada 4 54- 5 18
LU dan 96 20 97 21 BT (Bappeda Aceh, 2008).
Daerah ini telah memiliki Aquaculture Livelihood Service Centre (ALSC)
yang terletak di beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Jangka, Kecamatan
Gandapura dan Kecamatan Samalanga yang berfungsi sebagai wadah penampung
aspirasi masyarakat yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan. Selain
itu, ALSC juga berfungsi sebagai laboratorium sederhana. Selain itu, dukungan
pemerintah juga sangat tinggi ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
(SK) Bupati Bireuen Tahun 2010 tentang penetapan kawasan minapolitan di
Kabupaten Bireueun dengan pusat kawasan (minapolis) di Kecamatan Jangka dan
didukung oleh 4 Kecamatan sekitarnya sebagai hinterland, yaitu Kecamatan
Gandapura, Peusangan, Kuala dan Kecamatan Jeumpa.
Sebagian besar masyarakat Kecamatan Jangka berprofesi sebagai petani
tambak dan nelayan. Komoditi unggulan perikanan tangkap antara lain ikan tuna,
ikan tongkol, ikan kakap, ikan kerapu dan ikan teri. Sedangkan komoditas
perikanan budidaya berupa udang windu, ikan bandeng, ikan nila, ikan mujair
dan kepiting.
Kabupaten Aceh Timur
Kepala Daerah (Bupati) Aceh Timur telah membentuk SATGAS (Satuan Tugas)
yang
menangani
pengembangan
kawasan minapolitan.
Dipandang
dari
sisi
sumberdaya manusia, Kebupaten Aceh Timur dinilai sudah mencukupi, namun
demikian dari segi kualitas baik pendidikan maupun ketrampilan masih perlu
ditingkatan. Hal ini mengingat konsep pengembangan kawasan minapolitan adalah
hal baru, walaupun sebenarnya isu yang tergantung didalamnya bukanlah hal yang
baru. Suatu hal yang penting dalam konsep ini adalah keterpaduan atau
sinergitas antara berbagai faktor dan sumberdaya yang terlibat untuk diarahkan
dan bekerja untuk mencapai tujuan yang sama.
Kabupaten Aceh Timur memiliki potensi yang unggul terutama dari
infrastruktur dan fasilitas pelabuhan, oleh karena itu pengembangan kawasan
minapolitan di daerah ini perlu bertumpu kepada perikanan tangkap disamping
tetap memperhatikan perkembangan perikanan budidaya karena terdapat lebih
kurang 148 ha tambak yang dapat diberdayakan dan dikembangkan menjadi tambak
produktif. Untuk meningkatkan nilai (added value) hasil produksi perikanan,
maka pengembangan industri pengolahan ikan juga perlu mendapatkan perhatian.
Kabupaten Aceh Jaya
Calang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sentra perikanan
tangkap di pantai barat Aceh, oleh karena itu model minapolitan yang mungkin
dikembangkan adalah berbasis perikanan tangkap dengan sentra pengembangan
pengolahan hasil-hasil perikanan dengan dukungan perikanan budidaya khususnya
berbasis ikan lokal ekonomis tinggi, misalnya ikan keureling (Genus Tor). Aceh
Jaya sudah memiliki pelabuhan penyeberangan antar pulau sehingga dapat
digunakan untuk jalur pengangkutan bahan baku dari beberapa daerah penyangga
misalnya Aceh Barat, Nagan Raya dan Simeulue (DKP Aceh Jaya, 2011). Kawasan
minapolitan di daerah ini terletak di beberapa desa yang tergabung dalam dua
kecamatan yaitu Kecamatan Krueng Sabee dan Kecamatan Setia Bakti. Pengembangan
perikanan budidaya dinilai memiliki potensi yang baik karena banyak kawasan
yang dapat dikonversi sebagai lahan budidaya, selain itu juga telah tersedia
balai benih ikan air tawar untuk mendukung usaha budidaya. Namun demikian
fasilitas produksi pakan buatan masih belum tersedia. Selain ketersediaan
benih yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi, pakan juga memegang peran
yang sangat penting, mengingat cost yang dikeluarkan untuk pakan dapat
mencapai 60-70% dari total biaya produksi.
Selain itu komitmen pemerintah setempat dinilai juga tinggi untuk
mengembangkan wilayah ini sebagai sentra perikanan tangkap dan budidaya. Untuk
tujuan tersebut beberapa program yang dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan
minapolitan ini antara lain pengadaan rumpon pantai, subsidi BBM bagi nelayan,
rehabilitasi hutan bakau dan terumbu karang. Sedangkan dalam bidang
pengolahan, peningkatan kualitas ikan olahan baik dari segi teknis pengolahan
maupun pengemasan sangat diperlukan.
Pengembangan kawasan minapolitan memberikan harapan baru bagi masyarakat
pesisir khususnya nelayan, namun demikian masih banyak kendala yang dihadapi
75

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

dan diselesaikan agar program ini dapat berjalan dan berlanjut. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Suryawati & Purnomo (2011) menunjukkan bahwa
aspek ekologi, ekonomi, teknologi dan infrastruktur kurang berkelanjutan,
aspek sosial budaya cukup berlanjut, aspek politik, hukum dan kelembagaan
sangat berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa sinergi antara para stakeholder
yang terlibat belum maksimal. Walaupun secara umum semua kawasan memiliki
potensi untuk dikembangkan, namun masih banyak kelemahan yang perlu dibenahi,
komitmen pemerintah daerah adalah salah satu kunci penting dalam menyelesaikan
berbagai kelemahan yang ada. Menurut Virginia et al. (2010)beberapa
permasaalahan yang sering dijumpai pada lokasi minapolitan adalah sarana dan
prasarana kurang memadai, keterbatasan jenis produk olahan, lembaga yang ada
baik lembaga permodalan maupun penyuluhan belum berperan aktif dan informasi
pasar masih kurang.

Kesimpulan
Setiap lokasi yang disurvei memiliki karakteristik, keunggulan dan
kelemahan masing-masing, namun demikian secara umum semua kawasan ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan minapolitan. Aceh Jaya memiliki
keunggulan dalam bidang perikanan tangkap dan pengolahan, disamping juga
memiliki potensi yang baik untuk perikanan budidaya dan wisata bahari. Aceh
Besar memiliki potensi yang unggul dalam bidang perikanan budidaya air tawar
terutama di wilayah Jantho, selain itu sektor wisata bahari di kluster
Lampuuk-Luepung-Lhoong adalah salah satu potensi lain yang sangat menarik dan
baik untuk dikembangkan di Aceh Besar. Sedangkan di Kabupaten Bireuen,
pengembangan minapolitan dapat bertumpu pada perikanan tambak, pengolahan dan
perikanan tangkap. Sedangkan di Kabupaten Aceh Timur dapat difokuskan pada
perikana tangkap, pengolahan dan perikanan budidaya sebagai penyokong. Namun
demikian diperlukan kajian lanjutan dan mendalam pada setiap lokasi untuk
mendapatkan gambaran yang lebih detil masing-masing lokasi dalam penyusunan
master plan bagi setiap kawasan.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh Ditjen Dikti melalui skim penelitian
Strategis Nasional Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 (Pentranas MP3EI 2011-2025), oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti atas dukungan dana penelitian
ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga kami sampaikan kepada Ketua Lembaga
Penelitian universitas Syiah yang telah menfasilitasi penelitian ini,
penghargaan juga kami sampaikan kepada koordinator koridor Sumatera, Rektor
Universitas Lampung atas kerjasama dan koordinasi yang baik selama persiapan,
pelaksaan dan pelaporan penelitian ini.

Daftar Pustaka
Bappeda Aceh. 2008. Geografi pemerintah Aceh. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah, Provinsi NAD, Banda Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar. 2010. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Kota Jantho, di Kabupaten Aceh Besar, Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Besar, Jantho, Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Jaya. 2011. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Aceh Jaya, di Kabupaten Aceh Jaya, Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh Jaya, Calang, Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bireuen. 2010. Pengembangan Kawasan
Minapolitan Kabupaten Bireuen, Dinas Kelautan dan Periakanan, Bireuen,
Provinsi Aceh.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, 2010. Pelabuhan Perikanan Pantai
Idi, Kabupaten Aceh Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aceh.
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
2011.
Pedoman
Umum
Minapolitan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Lindawati, Sastrawidjaja, Tajerin. 2010. J. Bijak dan Riset Sosek KP. .5(2):
145-158
76

Depik, 1(1): 68-77


April 2012
ISSN 2089-7790

Suryawati S.H., A.H. Purnomo. 2011. Analisis ex-ante keberlanjutan program


minapolitan. J. Sosek KP, 6(1): 61-81.
Virginia E.,
N. Sari, A. Subagio. 2010. Pengembangan kawasan minapolitan
Kecamatan Puger: Studi kasus Desa Puger Kulon dan Puger Wetan. Thesis
Universitas Brawijaya, Malang.
Yusuf, Q. 2003. Empowerment of Panglima Laot in Aceh. International workshop
on Marine Science and Resource. Banda Aceh, 11-13 March, 2003.

77

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790

Identifikasi lokasi untuk pengembangan budidaya keramba


jaring apung (KJA) berdasarkan faktor lingkungan dan
kualitas air di perairan pantai timur Bangka Tengah
Identification of location for the development of floating net
cages based on environmental and water quality factors in
east coast Bangka Tengah District
Junaidi M. Affan*
Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111. *Email
korespondensi: junaidi_jik@yahoo.com

Abstract. Waters of the east coast of Bangka Regency has higher potency for
development of mariculture livelihood. The Geographic Information Systems
(GIS) can be used to determine the suitable location for these activities.
Spatial analysis on every measured parameters were conducted and then its
overlay to
determine the feasibility of locations. The suitability location
was categorized into four levels i.e very suitable, moderately suitable,
suitable with conditions, and not suitable. The results showed that there are
at least 127,746 ha of areas have potency for mariculture location, of these
122,950 ha (96.25%) are very suitable and suitable, while 4796 ha (3.75%) are
moderately suitable for fish farming. However, based on field verification,
about 8.627 ha of areas are recommended for fish mariculture developement,
this is situated at Pulau Ketawai Island, Pulau Panjang dan Pulau Bujur.
Key Words : Geographic Information Systems, overlay, fish, mariculture, and
cage
Abstrak. Perairan pantai timur Kabupaten Bangka memiliki sumberdaya laut yang
baik dikembangkan sebagai lokasi budidaya perikanan.
Teknologi Sistem
Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk menentukan lokasi tersebut
dengan metode interpolasi parameter oseanografi hasil
pengukuran di stasiun
yang telah ditetapkan secara acak dan sistematis. Analisis spasial terhadap
masing-masing parameter dilakukan tumpang tindih (overlay)untuk memperoleh
lokasi kelayakan dengan kategori sangat layak, cukup layak, layak bersyarat
dan tidak layak terhadap kelayakan kegiatan budidaya laut.
Dari hasil
analisis terdapat potensi lokasi seluas 127.746 ha, dimana 122.950 ha (96,25%)
diantaranya sangat layak sampai layak, dab 4.796 ha (3,75%) cukup layak untuk
peruntukan budidaya ikan. Namun demikian berdasarkan hasil verifikasi lapangan
hanya 8.627 ha saja yang direkomendasikan untuk pengemabangan, lokasi ini
terletak di sekitar Pulau Ketawai, Pulau Panjang dan Pulau Bujur.
Kata Kunci : Sistim Informai Geografis, tumpang tindah, ikan, marikultur dan
keramba

Pendahuluan
Pengembangan budidaya laut merupakan usaha meningkatkan produksi dan
sekaligus merupakan langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang dalam rangka mengimbangi pemanfaatan dengan cara penangkapan. Usaha
budidaya merupakan salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perairan yang berwawasan lingkungan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumberdaya laut yang
besar, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal disebabkan
masyarakat masih menggantungkan kehidupan dari hasil penambangan, khususnya di
Kabupaten Bangka Tengah.
Aktivitas masyarakat di Kabupaten Bangka Tengah
selain menambang timah yang merusak lingkungan juga sebagai nelayan
tradisional. Hampir 70% masyarakat di kabupaten ini perekonomiannya didukung
78

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
dari hasil penambangan. Saat ini dampak kerusakan lingkungan akibat
penambangan timah telah dirasakan oleh masyarakat, pemerintah dalam hal ini
sedang mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas.
Menanggapi permasalahan tersebut diperlukan kegiataan usaha alternatif untuk
beralih profesi seperti budidaya ikan di laut. Perairan pantai timur Bangka
Tengah memiliki sumberdaya laut yang dapat digunakan sebagai lokasi budidaya
laut. Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan usaha budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta
terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan faktor
lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil kesesuaian di
antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap
lingkungan fisik perairan.
Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi
oseanografi dan kualitas perairan serta topografi dasar laut.
Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi
yang tepat berdasarkan data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.
Parameter ini didapatkan dari hasil pengukuran dan pengambilan sampel air di
stasiun penelitian yang telah ditentukan secara acak. Dalam bidang perikanan,
penggunaan teknik SIG untuk pertama kalinya digunakan oleh Kapetsky et al.
(1987), kini metode ini telah berkembang dan banyak digunakan di dunia untuk
menentukan lokasi kesesuaian lahan budidaya laut, di Indonesia teknik ini
telah dimanfaatkan mengeksplorasi lahan budidaya diantaranya Suyarso (2007),
Radiarta et al. (2005), Radiarta et al. (2004), Utojo et al. (2004), Pramono
et al. (2005).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan luasan dan memilih lokasi yang
tepat untuk usaha budidaya kerapu di perairan Bangka Tengah sebagai upaya
menciptakan usaha alternatif bagi masyarakat.
Hasil analisis kesesuaian
lokasi budidaya berupa data tematik spasial pesisir dan laut diharapkan dapat
digunakan sebagai masukan bagi para perencana/stakeholder dalam menentukan
peruntukan suatu wilayah pesisir yang sesuai dengan potensi dan daya
dukungnya.

Bahan dan Metode


Data kualitas perairan dikumpulkan berasal dari tujuh titik stasiun yang
mewakili lokasi pengamatan, untuk menganalisa secara spasial, titik-titik
tersebut terlebih dahulu dilakukan interpolosi. Beberapa metode untuk
melakukan interpolasi diantaranya metode trend, spline, krigging dan Inverse
Distance Weight, (IDW). Pramono et al. (2005) dan Jhonson et al., 2001 (lihat
Radiarta et al., 2006) menyebutkan bahwa metode IDW lebih tepat untuk
menginterpolasi data fisik wilayah pesisir karena tidak menghasilkan nilai
melebihi data yang disampel.
Metode ini mengasumsikan tiap titik input
mempunyai pengaruh yang bersifat lokal
sehingga memberikan bobot yang besar
pada sel yang terdekat dengan titik dibandingkan pada sel yang jauh dengan
titik. Sedangkan metode spline hanya cocok digunakan untuk membuat ketinggian
permukaan bumi, ketinggian muka air tanah ataupun konsentrasi polusi udara.
Dari hasil pengukuran dan analisa sampel air pada masing-masing stasiun,
selanjutnya diolah dengan menggunakan software Arc View 3.2 pada menu image
analysis dilakukan interpolasi dengan metode IDW hingga menghasilkan layer
data spasial masing-masing parameter kualitas perairan.
Layer ini digunakan
sebagai masukan untuk overlay, dengan memasukkan formula yang berupa syarat
pembatas untuk hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya maka
didapatkanlah peta lokasi yang layak untuk budidaya, pada lokasi yang layak
ini selanjutnya dihitung luasannya.
Beveridge (1996) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi budidaya
menjadi dua yaitu faktor lingkungan meliputi kedalaman, kecerahan, kecepatan
arus dan faktor kualitas perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut,
fosfat, nitrat, nitrit, amoniak dan silikat). Pengelompokan ini menurut Nath
et al., 2000 (lihat Radiarta et al., 2006) didasarkan atas pengaruh paramete,
parameter dari faktor lingkungan akan mempengaruhi daya tahan hidup ikan laut
sementara faktor kualitas akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan daya
tahan hidup ikan. Berikut syarat pembatas kehidupan dan perkembangan komoditas
budidaya dan nilai parameter kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 1.
Dalam penelitian ini, data parameter fisika dan kimia oseanografi
didapatkan dari hasil pengukuran lapangan tahun 2008 dan 2009. Untuk
79

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
memastikan dan membuktikan hasil penentuan kelayakan
November 2009 dilakukan verifikasi lapangan dengan
kembali terhadap parameter fisika perairan.

lokasi,
pada bulan
melakukan pengukuran

Tabel 1.Kesesuaian parameter perairan untuk budidaya ikan laut dalam


KJA(Radiarta et al., 2006; Beveridge, 1996 Mayunar et al., 1995 dan Ismail et
al.,1998)
Parameter
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kedalaman (m)
Kecerahan (m)
Kecepatan arus (cm/dt)
Suhu perairan (C)
Salinitas (ppt)
Derajat keasaman (pH)
Oksigen terlarut (mg/l)

Sangat
Sesuai,
S1
10 20
> 3
5 15
28 32
31 35
> 7
> 7

Cukup
Sesuai,
S2
20 25
2 3
15 25
25 28
28 31
6 7
5 7

Sesuai
bersyarat,
S3
25 30
1 2
25 35
20 25
25 28
4 6
3 5

Tidak
Sesuai, N
< 10 & > 30
< 1
< 5 & >35
<20 & >32
<25 & >35
< 4
<3

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan kelayakan budidaya ikan


laut mengacu dari hasil penelitian Ahmat at al. (1991), Atjo (1992), Mubarak
et al. (1990), Radiarta et al. (2007) dan Utojo et al. (2007).
Penentuan
tingkat kesesuaian budidaya untuk masing-masing parameter didasarkan dari
pengaruh parameter terhadap komoditas budidaya.
Sistem skor 1 sampai 4
digunakan dalam penelitian ini dengan rincian tingkat kesesuaian sebagai
berikut :
(1) Tidak layak / tidak sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun
membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang cukup besar
(2) Cukup layak / sesuai bersyarat : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, namun
membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang cukup besar
(3) Layak / sesuai : dapat dimanfaatkan untuk budidaya, dengan sedikit
membutuhkan biaya, tenaga dan waktu
(4) Sangat layak / sangat sesuai : sesuai dimanfaatkan untuk budidaya ikan laut
dalam KJA.

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis dan overlay data dengan menggunakan software Arc View
didapatkan peta kesesuaian berdasarkan masing-masing parameter, faktor
lingkungan dan kualitas perairan serta gabungan kedua faktor. Gambar 1
menunjukkan peta kesesuaian dan luasan masing-masing kesesuaian.
Hasil
penelitian dari 7 stasiun pada tahun 2009 menunjukkan nilai kisaran masingmasing parameter yaitu kedalaman laut 7 18 m, kecerahan 4,61 5,54 m,
kecepatan arus 7,3 33,5 cm/dt, suhu 29,26 29,38 oC, salinitas 32,61
32,74 ppt, pH 7,95 8,20 dan konsentrasi oksigen terlarut 3,51 4,67 mg/l.
Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan paramater terhadap budidaya laut
menunjukkan bahwa secara umum hasil pengukuran pada tahun 2009 berada pada
kategori sesuai. Khususnya suhu, salinitas dan pH berada dalam kriteria sangat
sesuai untuk budidaya laut. Sedangkan parameter lainnya berada pada kategori
cukup sesuai dan sesuai bersyarat serta terdapat beberapa lokasi yang tidak
sesuai untuk budidaya ikan berdasarkan parameter kedalaman pada kedalaman
tertentu.
Kesesuaian berdasarkan faktor lingkungan
Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya, Beveridge
(1996) menyebutkan bahwa kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba
dengan dasar perairan adalah 4 5 m,
hasil penelitian menunjukkan nilai
kedalaman perairan berkisar dari 7 18 m, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-KLH
masih layak untuk budidaya laut. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi,
nilai kedalaman berada dalam kategori sangat layak hingga tidak layak untuk
budidaya laut. Untuk budidaya ikan dalam KJA 28.687 ha (22,46%) yang sangat
layak, sedangkan sisanya tidak layak (Gambar 1a).
Kecerahan menunjukkan kemampuan penetrasi cahaya kedalam perairan.
Tingkat penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh partikel yang tersuspensi dan
80

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
terlarut dalam air sehingga mengurangi laju fotosintesis. Menurut KepmennegKLH (1988), kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan sebaiknya lebih dari 3
m. Kecerahan perairan dari hasil penelitian berkisar 4,61 5,55 m (40 - 65%)
masih baik untuk budidaya perikanan (kecerahan > 3 m), namun untuk budidaya
rumput laut dan tiram mutiara masih baik hanya untuk lokasi tertentu yang
kecerahan >5 m. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi, nilai kecerahan
berada dalam kategori sangat layak dan layak untuk komoditas budidaya laut
dengan luasan 89.884 ha (70,36%) yang sangat layak, sedangkan sisanya berada
dalam kategori layak (Gambar 1b).
Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, selain pembawa bahan terlarut
dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. Di
samping itu berhubungan dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme
penempel (fouling) pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus
disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan (lumpur, pasir,
karang).
Mayunar et al.(1995) menyebutkan organisme penempel akan lebih
banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cm/dt sehingga akan
mengurangi sirkulasi air dan oksigen.
Namun demikian, Ahmad et al. (1991)
mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar
5 15 cm/dt. Berdasarkan hasil pemetaan kecepatan arus, didapatkan luasan
wilayah secara umum sangat layak, layak dan layak bersyarat untuk pengembangan
budidaya ikan dalam keramba dengan luasan yang sangat layak 49.678 ha
(38,89%), 76.177 ha (59,63%) layak dan sangat sedikit yang layak bersyarat
1.891 ha (1,48%) (Gambar 1c).
Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang
selanjutnya di-overlay-kan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan faktor
lingkungan didapatkan bahwa untuk budidaya ikan dalam KJA masih sesuai
dilakukan di perairan timur Bangka Tengah, hal ini ditunjukkan dari hasil
pemetaan berada dalam kategori sangat layak (22,46%), layak (73,79%) dan
kategori cukup layak (layak bersyarat) 3,75% (Gambar 1h).
Kesesuaian berdasarkan faktor kualitas air
Suhu berperan penting bagi kehidupan dan perkembangan biota laut,
peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi
metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya
konsentrasi karbon dioksida.
Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar
29,26 29,38 oC, kisaran suhu ini berada dalam kategori sangat layak untuk
perairan. Mayunar et al., (1995) menyebutkan suhu optimum untuk budidaya ikan
adalah 27 32 oC, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan suhu pada
kisaran 20 30 oC (Mubarak et al., 1990) dan untuk tiram 20 32 oC (Atjo,
1992). Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter suhu, menunjukkan
bahwa semua lokasi penelitian sangat layak (127.746 ha; 100 %) untuk
dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram
(Gambar 1d).
Salinitas perairan hasil penelitian 32,62 32,74 ppt, kisaran ini masih
baik untuk kegiatan budidaya baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena
salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut berada pada kisaran
30 35 ppt. Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan
sesuai dengan jenis ikan yang akan dibudidaya.
Hal ini disebabkan ikan
tertentu membutuh salinitas tertentu pula.
Ikan memiliki toleransi terhadap
perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 34
ppm (Imanto et al., 1995) beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas
berbeda. Kerapu secara umum memiliki salinitas optimum pada kisaran 27 34
ppm (Ahmad et al., 1991; Mayunar et al., 1995). Seperti halnya dengan suhu,
hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter salinitas, juga
menunjukkan semua lokasi penelitian sangat layak untuk dikembangkan budidaya
laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram (Gambar 1e).

81

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790

(a). Kedalaman

(b). kecerahan

(c). Kecepatan arus

(d). suhu

(e). salinitas

(f). pH

(g). Oksigen terlarut

(h). faktor lingkungan

(i). faktor kualitas air

(j). gabungan faktor

Gambar 1. Kelayakan budidaya ikan dalam KJA berdasarkan masing-masing parameter, faktor dan gabungan kedua
faktor (a) kedalaman (m), (b) kecerahan (m) dan (c) kecepatan arus (cm/dt), (d) suhu (C), (e)
salinitas (ppt), (f) pH dan (g) oksigen terlarut (mg/l), (h) faktor lingkungan, (i)faktor
kualitas perairan dan (j) kelayakan dari kedua faktor.

82

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan. Nilai pH air laut berkisar 7,5 8,4 dan semakin rendah
ke wilayah pantai karena pengaruh air tawar. Boyd & Lichtkoppler (1979) (lihat
Mayunar et al., 1995) menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 9,0, dan
7,5 8,5 untuk budidaya rumput laut (Utojo et al., 2007; Mubarak et al., 1990)
serta 6,75 9 untuk tiram mutiara (Atjo, 1992). Hasil pemetaan derajat keasaman
untuk komoditas ikan dan rumput menunjukkan hasil yang sama seperti halnya suhu
dan salitas yaitu sangat layak semua lokasi. Namun berbeda untuk tiram mutiara
yang membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang lebih rendah 6,75 7,0 (hasil
pengukuran lapangan 7,95 8,20) dibandingkan ikan dan rumput laut, sehingga
kelayakan lokasi hanya 36.688 ha (28,27%) berada dalam kategori layak dan sisanya
71,28 % tidak layak (Gambar 1f).
Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya
ikan. Kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan
udara.
Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen,
begitu juga sebaliknya. Mayunar et al. (1995) menyebutkan untuk bertahan hidup
ikan memerlukan kadar oksigen 1 mg/l, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang
minimal 3 mg/l. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal
berkisar 5 8 mg/l (Ahmad et al., 1991). Hasil penelitian menunjukkan kisaran
4,15 4,67 mg/l, nilai ini berdasarkan Kepmenneg-LH No. 51 tahun 2004 tentang
baku mutu air laut (KMNLH, 2004) menunjukkan kondisi perairan kurang baik karena
oksigen terlarut dibawah 5 mg/l. Hasil pemetaan oksigen menunjukkan bahwa
kelayakan oksigen untuk budidaya ikan semua lokasi berada pada kategori layak
bersyarat (100%) artinya membutuhkan perlakuan khusus jika dilakukan budidaya
dengan memasang aerator untuk meningkatkan oksigen (Gambar 1g).
Secara umum, gabungan parameter faktor kualitas air, didapatkan peta
kelayakan seluruh lokasi penelitian berada dalam kategori sangat sesuai (100%)
untuk budidaya ikan dalam KJA (Gambar 1i dan Lampiran 1). Secara umum,
konsentrasi zat hara diatas sangat sesuai untuk budidaya laut berdasarkan
Kepmenneg-KLH sehingga tidak dilakukan analisis spasial untuk mengetahui
kelayakan lokasi, tetapi sebagai data pendukung untuk analisa dan pengambilan
keputusan.
Kesesuaian berdasarkan komoditas ikan kerapu
Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang bernilai ekonomis tinggi dan
menjadi salah satu komoditas ekspor terutama ke Singapura, Jepang, Hongkong,
Taiwan,Malaysia dan Amerika Serikat. Untuk memenuhi permintaan pasar, nelayan
umumnya masih menangkap ikan kerapu dari alam dan masih sedikit dari hasil
budidaya.
Di Indonesia terdapat tujuh genus ikan kerapu, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola.
Dari tujuh genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan
Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional, seperti
ikan kerapu bebek, kerapu sunuk (termasuk genus Plectropomus), kerapu lumpur dan
ikan kerapu macan (termasuk genus Epninephelus). Dari beberapa jenis ikan kerapu
komersial tersebut, ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus
leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak
dibudidayakan oleh petani, karena jenis ikan ini pertumbuhannya lebih cepat
daripada jenis ikan kerapu lainnya dan benihnya selain diperoleh dari alam
(penangkapan) juga sudah dapat dihasilkan dari balai benih.
Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan lokasi untuk pengembangan usaha
budidaya laut didapatkan lokasi sangat layak dan layak berdasarkan gabungan
faktor lingkungan serta semua lokasi sangat layak berdasarkan gabungan faktor
kualitas air Hasil gabungan kedua faktor ini menunjukkan bahwa hampir semua
lokasi lokasi sangat layak untuk kembangkan budidaya ikan dalam keramba jaring
apung (Gambar 1j). Walaupun dari hasil pemetaan bahwa secara umum wilayah
perairan timur Bangka Tengah sangat layak dilakukan usaha pengembangan budidaya

83

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790
ikan dalam KJA, namun pemanfaatannya harus memperhatikan keberlanjutan karena
budidaya ikan dapat menimbulkan dampak lingkungan berupa kotoran ikan dan sisa
pakan. Oleh karena itu perlu dipadukan dengan budidaya rumput, karena rumput laut
dapat menyerap zat hara berupa fosfat, nitogen dan zat hara lainnya untuk
kehidupannya. Dengan mempertimbangkan prinsip keberlanjutan usaha untuk kegiatan
budidaya seperti yang dikemukan oleh Badan Dunia Group of Expert on Scientific
Aspects of Marine Pollution, GESAMP pada tahun 2002 (lihat Radiarta et al.,
2006), agar tidak terjadi pencemaran lingkungan sekitarnya, maka potensi yang ada
tidak semuanya dimanfaatkan untuk budidaya tetapi harus disisakan untuk daerah
penyangga.
Hasil verifikasi lapangan di sekitar Pulau Ketawai dan Pulau Panjang serta
Pulau Bujur menunjukkan hasil pengukuran parameter oseanografi berada dalam
kategori sesuai untuk budidaya seperti halnya hasil pemetaan. Hasil pemetaan
menunjukkan hampir semua wilayah kajian termasuk dalam kategori sesuai, namun
berdasarkan
pertimbangan
aspek
fisik
lokasi
dan
keterjangkau,
maka
direkomendasikan lokasi budidaya seluas 1.626 ha disekitar pulau Ketawai dan
seluas 7.000 ha disekitar Pulau Panjang dan Pulau Bujur (Gambar 2).
106 10'

10615'

10620'

106 25'

200'

200'

KESESUAIAN WILAYAH BUDIDAYA LAUT


DI PERAIRAN TIMUR BANGKA TENGAH
U

15

c# St 1

cSt 2

c
St 3

12

Kilometer

25'

25'

0
14

LEGENDA
Tg Bunga

c
12

13

11
210'

P. Panjang

10
#

Lokasi Stasiun
Lokasi Verifikasi
Daratan

St 4

cSt 7

210'

P. Bangka

P. Bujur

Wilayah Kesesuaian Lingkungan


Sangat Sesuai
Cukup Sesuai

Tg Udang

Sesuai Bersyarat
Tidak Sesuai

230'

P. Bebuar

300'

220'

220'

P. B an gka

230'

P. Ketawai

10500' 10530' 10600' 10630' 10700' 10730'

200'

St 5

200'

300'

215'

Tg Lempuyang

130'

215'

1 St 6
#

130'

10500' 10530' 10600' 10630' 10700' 10730'

Sumber :

106 10'

10615'

10620'

106 25'

Gambar 2. Lokasi dan luasan yang direkomendasikan untuk pengembangan budidaya

Pemanfaatan untuk budidaya ikan dalam KJA sekitar 10% dari total luasan
yang direkomendasikan berarti 863 ha. Biasanya untuk budidaya ikan dalam KJA, 1
unit usaha keramba terdiri dari 4 keramba dengan ukuran 2 x 2 x 2 m3, maka 1 ha
lokasi pengembangan usaha budidaya dapat dimanfaatkan 60 unit keramba.
Dengan
demikian berdasarkan hasil analisa, khusus untuk perairan timur direkomendasikan
60 unit keramba/ha x 863 ha = 51.780 unit keramba.

Kesimpulan
Pemetaan kelayakaan lokasi
pengembangan
budidaya,
namun
pertimbangan aspek fisik lokasi
pengembangan budidaya laut dapat
disekitar Pulau Panjang dan Pulau

menunjukkan terdapat luasan yang cukup untuk


berdasarkan
hasil
verifikasi
lapangan
dan
serta keterjangkauan, maka disarankan lokasi
dilakukan disekitar pulau Ketawai 1.626 ha dan
Bujur seluas 7.000 ha.

84

Depik, 1(1):78-85
April 2012
ISSN 2089-7790

Daftar Pustaka
Ahmad, T., P.T. Imanto, Muchari, A. Basyarie, P. Sunyoto, B. Slamet, Mayunar, R. Purba, S.
Diana, S. Redjeki, A.S. Pranowo, S. Murtiningsih. 1991. Operasional pembesaran kerapu
dalam keramba jaring apung. Dalam Mansur, A. (Ed.). Prosiding temu karya ilmiah
potensi sumberdaya kekerangan di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Watampone, (7): 8
10.

Atjo, H. 1992. Potensi sumberdaya kekerangan Kabupaten Barru . Dalam Mansur, A.


(Ed.). 1992. Prosiding temu karya ilmiah potensi sumberdaya kekerangan di
Sulawesi Selatan dan Tenggara, Watampone. Hal 8 10.
Beveridge, M.C.M. 1996. Cage aquaculture (eds 2nd). Fishing News Books LTD. Farnham,
Surrey, England. 352 p.
Ismail, W., A. Wijono. 1995. Lingkungan laut: Pelestarian dan pengelolaannya bagi lahan
budidaya perikanan. Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring
apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 157 171.
Imanto, P.T., N. Lisyanto, B. Priono. 1995. Desain dan konstruksi keramba jaring apung
untuk budidaya ikan laut, halaman 171 - 178 dalam Prosiding temu usaha pemasyarakatan
teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan
Litbang Pertanian.KMNKLH (= Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup).
1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup No. KEP02/MENKLH/1/1988 Tentang pedoman penetapan Baku mutu Lingkungan. Jakarta.
Kapetsky, J.M., L. McGregor, H. Nanne, 1987. A Geographical Information System and
Satellite Remote Sensing to Plan for Aquaculture Development: A FAO-UNEP/ GRID
Cooperation Study in Costa Rica. FAO Fish. Tech Pap. (287).51 pp
Mayunar, R. Purba, P.T. Imanto. 1995. Pemilihan lokasi budidaya ikan laut. Prosiding temu
usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi budidaya laut, Puslitbang
Perikanan. Badan Litbang Pertanian: 179 189.
Pramono, G.H., H. Suryanto, W. Ambarwulan. 2005. Prosedur dan spesifikasi teknis analisis
kesesuaian budidaya kerapu dalam keramba jaring apung. Pusat Survei Sumberdaya Alam
Laut. Bakosurtanal, Jakarta. 41 hal.
Radiarta, I.N., T.H. Prihadi, A. Saputra, J. Haryadi, O. Johan. 2006. Penentuan lokasi
budidaya ikan KJA menggunakan analisis multikriteria dengan SIG di Teluk Kapontori,
Sultenggara. Jurnal Riset Akukultur, 1(3): 303 -318
Radiarta, I.N, A. Saputra, O. Johan. 2005. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan
usaha budidaya laut dengan aplikasi inderaja dan sistem informasi geografi di
perairan Lemito,Provinsi Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 11(1): 114
Radiarta, I.N, A. Saputra, B. Pariono. 2004. Pemetaan kelayakan lahan untuk pengembangan
usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 10(5): 19-32
Rachmansyah, Makamur, Tarunamulia. 2005. Pendugaan daya dukung perairan Teluk Awarange
bagi pengembangan budidaya bandeng dalam keramba jaring apung. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia, 11(1): 81 92.
Utojo, A. Mansyur, Rahmansyah, Hasnawi. 2004. Identifikasi kelayakan lokasi budidaya
rumput laut di kota baru, Kalimantan Selatan. Jurnal Riset Akukultur, 1(3): 303 -318.
Utojo, A. Mansyur, A.M. Pirzan, Tarunamulia, B. Pantjara. 2007. Identifikasi kelayakan
lahan untuk pengembangan usaha budidaya laut di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(5): 1-18.

85

Anda mungkin juga menyukai