Anda di halaman 1dari 73

ISSN 1907-8226

BAWAL
WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP

Volume 4 Nomor 3 Desember 2012


Nomor Akreditasi : 419/AU/P2MI-LIPI/04/2012
(Periode: April 2012-April 2015)

BAWAL, Widya Riset Perikanan Tangkap adalah wadah informasi perikanan,


baik laut maupun perairan umum. Publikasi ini memuat hasil-hasil penelitian bidang natural history
ikan (pemijahan, pertumbuhan, serta kebiasaan makan dan makanan)
serta lingkungan sumber daya ikan.

Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi penerbitan


tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan:
APRIL, AGUSTUS, DESEMBER.

Ketua Redaksi:
Prof. Dr. Ir. Wudianto, M.Sc. (Teknologi Penangkapan Ikan-P4KSI)

Anggota:
Prof. Dr. Ali Suman (Biologi Perikanan-BPPL)
Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. (Oseanografi Perikanan-LIPI)
Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Toksikologi Perairan-BPPPU)
Drs. Bambang Sumiono, M.Si. (Biologi Perikanan-P4KSI)
Ir. Sulastri (Limnologi-LIPI)

Mitra Bestari untuk Nomor ini:


Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc (Hidro Akustik Perikanan-IPB)
Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Pencemaran Perairan-LIPI)
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal (Ikhtiologi-IPB)
Dr. Estu Nugroho (Genetika Populasi Ikan-BPPAT)
Dr. Achmad Sarnita (Pengelolaan Sumberdaya Perikanan)
Lilis Sadiyah, Ph.D. (Permodelan Perikanan-P4KSI)

Redaksi Pelaksana:
Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si.
Kharisma Citra, S.Sn.

Desain Grafis:
Arief Gunawan, S.Kom.

Alamat Redaksi/Penerbit:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430
Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640
Email: drprpt2009@gmail.com

BAWAL-WIDYA RISET PERIKANAN TANGKAP diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan


Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ISBN 1907-8226

BAWAL
Widya Riset Perikanan Tangkap
Volume 4 Nomor 3 Desember 2012

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................ i

DAFTARISI.............. iii

Aspek Biologi dan Fluktuasi Hasil Tangkapan Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia
Oleh : Dharmadi, Fahmi, dan Setiya Triharyuni 131-139

Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis indroyonoi ) di Samudera Hindia
Oleh : Ria Faizah, Umi Chodrijah, dan Dharmadi................................................................................................................. 141-147

Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe dan Talaud Sulawesi
Utara
Oleh : Fayakun Satria, Bram Setyadji, dan Andria Utama........................... 149-159

Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur Disekitar Rumpon
Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok
Oleh : Noor Muhammad, dan Abram Barata......................................................................................................................... 161-167

Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini
Oleh : Siti Mardlijah, dan Enjah Rahmat 169-176

Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali
Oleh : Arief Wujdi, Suwarso, dan Wudianto 177-184

Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara


185-193
Oleh : Eddy Yusron

Fenomena Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau
195-204
Oleh : Arif Wibowo, dan Marson

iii
KATAPENGANTAR

Widya Riset Perikanan Perikanan Tangkap BAWAL memiliki fungsi sebagai wadah untuk menyampaikan informasi
hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari dalam maupun luar lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan
dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Informasi-informasi tersebut sangat berguna bagi para pemangku kepentingan
(stakeholders) terutama para pengambil kebijakan sebagai dasar dalam pengelolaan perikanan dan konservasi sumber
daya ikan di perairan laut maupun perairan umum daratan.

Seiring dengan terbitnya Widya Riset Perikanan Tangkap Bawal Volume 4 Nomor 3 Desember 2012 ini, kami ucapkan
terima kasih kepada para Mitra Bestari atas kesediannya dalam menelaah beberapa naskah.

Pada Volume 4 Nomor 3 Desember 2012, Bawal menampilkan delapan artikel hasil penelitian di perairan laut dan
perairan umum daratan. Delapan artikel tersebut mengulas tentang, Aspek Biologi dan Fluktuasi dan Hasil Tangkapan
Cucut Tikusan, (Alopias pelagicus) di Samudera Hindia, Aspek Biologi Reproduksi Ikan Cucut Kacangan (Hemitriakis
indroyonoi ) di Samudera Hindia, Komposisi Jenis dan Penyebaran Ikan Laut Dalam di Perairan Kepulauan Sangihe
dan Talaud Sulawesi Utara, Stuktur Ukuran Ikan Madidihang (Thunnus albacares) yang Tertangkap Pancing Ulur
disekitar Rumpon Samudera Hindia Selatan Bali dan Lombok, Penangkapan Juvenil Ikan Madidihang (Thunnus
albacares Bonnatere 1788) di Perairan Teluk Tomini, Beberapa Parameter Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru
Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali, Keanekaragaman Ekhinodermata di Perairan Talise, Minahasa Utara, Fenomena
Plastisitas Fenotipik Ikan Belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau.

Semua artikel pada edisi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bidang perikanan tangkap di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para penulis
dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam edisi ini.

Redaksi

i
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

ASPEK BIOLOGI DAN FLUKTUASI HASILTANGKAPAN CUCUT


TIKUSAN, (Alopias pelagicus) DI SAMUDERA HINDIA
BIOLOGICAL ASPECTS AND CATCH FLUCTUATION OF PELAGIC THRESHER
SHARK (Alopias pelagicus) IN THE INDIAN OCEAN
1)
Dharmadi, 2)Fahmi, dan 1)Setiya Triharyuni
1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2)
Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI
Teregistrasi I tanggal: 3 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 5 Desember 2012

ABSTRAK

Cucut tikusan (Alopias pelagicus) merupakan salah satu spesies cucut yang habitatnya di perairan oseanik dan
umumnya sering tertangkap dengan jaring insang tuna yang beroperasi di perairan Samudera Hindia. Penelitian ini
dilakukan pada April 2002 sampai Desember 2007 di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Samudera
Cilacap. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung di lapangan dan pengumpulan data
melalui enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dengan panjang klasper
bersifat logaritmik (R2 = 0,8694) dan berbeda nyata (P < 0,05). Hubungan antara panjang total dan panjang standar
baik jantan dan betina bersifat linier masing-masing dengan nilai ( R2= 0,9803, dan R2= 0,9423). Frekwensi panjang
terendah pada cucut tikusan jantan antara 150-170 cm (kelompok muda) dan antara 291-310 cm (kelompok dewasa).
Frekuensi tertinggi terdapat pada ukuran antara 231-270 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi panjang terendah
adalah 200-220 cm (kelompok muda) dan antara 321-340 cm (kelompok dewasa), dan tertinggi antara 261-280 cm.
Sedangkan rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan mendekati 1:1 (51% : 49%). Hasil tangkapan cucut tikusan
selama enam tahun mengalami penurunan sebesar 34,9 %. Terdapat indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut
tikusan di perairan Samudera Hindia.

KATAKUNCI : Aspek biologi, fluktuasi hasil tangkapan, cucut tikusan, Samudera Hindia

ABSTRACT :

Pelagic thresher tuna drift (Alopias pelagicus) is one of shark species that inhabitats the oceanic waters and are
generally caught with gill nets that operates in the Indian Ocean. This research was conducted in April 2002 until
December 2007 at Cilacap fish landing place. Data were obtained through direct observation and data collection by
enumerators. The results showed that the relationship between the total length and the clasper length was logaritmic
(R2 = 0,8694) and significant different (P<0,05). Relationship between the total length and the precaudal length of
both male and female were linier (R2= 0,9803, dan R2= 0, 9423) respectively. Length frequency of male Alopias
pelagicus was lowest between 150-170 cm total length (young group) and between 291-310 cm total length (adult
group). The highest frequency contained in the size between 231-270 cm. The lowest frequency of female Alopias
pelagicus was 200-220 cm total length (young group) and between 321-340 cm total length (adult group), and the
highest between 261-280 cm total length. The sex ratio of male and female Alopias pelagicus ps aproximately 1: 1
(51%: 49%). The catches of this species decreased by 34.9% within the study period (2002-2007), this indicated that
the abundance of Alopias pelagicus declined in the Indian Ocean.

KEYWORDS: Biological aspects, catch fluctuation, pelagic thresher shark, Indian Ocean.

PENDAHULUAN Indonesia misalnya di Bali disebut hiu monyet atau hiu


lancur, di Lombok disebut hiu tikus, di Cilacap dinamakan
Cucut tikusan termasuk dalam familiAlopiidae dari ordo cucut tikusan untuk Alopias pelagicus dan cucut paitan
Lamniformes terdiri dari tiga spesies yaitu Alopias untuk Alopias superciliosus dan di Jakarta dikenal dengan
vulpinus, A. superciliosus dan A. pelagicus. Namun di nama cucut pedang, karena ekornya yang panjang
perairan Indonesia diketahui hanya ada dua spesies yang berbentuk seperti pedang. Bobot ekornya dapat mencapai
baru teridentifikasi yaitu A. pelagicus dan A. superciliosus. 33 % dari bobot total tubuhnya. FamiliAlopidae merupakan
Meskipun di Indonesia status konservasinya belum cucut predator aktif dan bentuk ekor yang panjang
dievaluasi tetapi dalam daftar merah yang dikeluarkan oleh digunakan untuk mengumpulkan mangsa. Meskipun
IUCN ketiga spesies tersebut termasuk dalam kategori ketiga spesies tersebut secara umum mempunyai
rawan mengalami kepunahan (vulnerable). Genus Alopias hubungan erat dan memiliki karakteristik yang sama, namun
memiliki nama lokal berbeda-beda di beberapa daerah di pada dasarnya mereka sangat berbeda (Hanan et al., 1993).
Korespondensi penulis:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara 131
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

Secara visual perbedaan tersebut terletak pada bentuk 224 ekor betina. Data yang dianalisa merupakan hasil
kepala dan ukuran matanya. pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan dan
berdasarkan pencatatan data harian oleh enumerator dari
Alopiidae bereproduksi secara ovovivipar, di mana 66 unit kapal yang menggunakan alat tangkap jaring insang
setelah cadangan makanan dalam kantong telur (yolk sac) permukaan yang beroperasi di perairan Samudera Hindia.
terserap, maka perkembangan janin akan memperoleh Cucut yang tertangkap merupakan hasil tangkapan
makanan dari telur yang masih berkembang di dalamnya sampingan dari kapal jaring insang permukaan tuna-
(Bigelow & Schroeder, 1948; Otake & Mizue, 1981). Di cakalang. Analisis data untuk mengetahui korelasi antara
perairan Pasifik Alopias vulpinus jenis betina matang dua parameter yang diukur (panjang total panjang
kelamin pada ukuran panjang total 315 cm (Strasburg, klasper, bobot panjang total, dan panjang total panjang
1958) dan jenis jantan mencapai kematangan kelamin pada standar) adalah dengan menggunakan statistik regresi
ukuran panjang sekitar 333 cm (Cailliet & Bedford, 1983). berdasarkan Software Minitab Release 13. Sedangkan
Alopias superciliosus termasuk epipelagik dengan untuk mengetahui tingkat perkembangan kelamin klasper
mendiami perairan pada kedalaman tidak kurang dari 500 secara mikroskopis mengacu pada Martin & Coillet;
m (Compagno, 1984). Ukuran panjang total maksimum Snelson et al. dalam White et al. (2001) seperti pada Tabel 1.
tertangkap adalah 461 cm untuk cucut betina dan 378 cm
untuk cucut jantan, sedangkan ukuran pada saat lahir HASIL DAN BAHASAN
antara 64-106 cm. Jenis jantan matang kelamin dijumpai
pada ukuran panjang total sekitar 300 cm terdapat pada HASIL
umur antara 3-4 tahun, sedangkan jenis betina matang
kelamin berumur 5-6 tahun pada ukuran panjang total Morfologi
sekitar 350 cm (Gruber & Compagno, 1981). Alopias
pelagicus bersama dengan A. superciliosus pada Menurut Last & Stevens (2009) secara morfologis
umumnya tertangkap dengan jaring insang permukaan tubuh ikan cucut Alopias berbentuk silindris agak gemuk,
yang biasa digunakan nelayan sebagai umpan untuk moncong agak panjang, kerucut dan lancip. Mulut bagian
menangkap tuna-cakalang di perairan Samudera Hindia ventral bergerigi kecil atau sedang berbentuk pipih seperti
tetapi kadang-kadang tertangkap juga dengan pancing bilah pisau, jumlahnya kurang dari 60 baris pada masing-
tuna. Pillai & Honma (1978) melaporkan bahwa hasil masing rahang. Cucut ini mempunyai 5 celah insang,
tangkapan rata-rata cucut pelagis termasuk Alopias di dimana 2 terakhir terdapat di atas sirip dada. Sirip
perairan Samudera Hindia berkisar 0,1-5,0 ekor per 1.000 punggung pertama kurang lebih terletak di tengah badan
mata pancing. atau sedikit ke belakang, tinggi dan berdiri tegak. Sirip
punggung ke dua kecil dan sirip dubur yang bentuknya
Informasi tentang aspek biologi Alopias pelagicus kecil terdapat di balik sirip punggung ke dua. Sirip dada
yang tertangkap di perairan Samudera Hindia sampai saat panjang dan sempit. Sirip ekor bagian cuping atas sama
ini masih kurang (Castro et al., 1999) dan di Indonesia panjangnya dengan panjang badan serta warnanya tidak
dapat dikatakan belum tersedia. Tulisan ini bertujuan begitu terang.
untuk memberikan informasi tentang aspek biologi cucut
tikusan yang diharapkan hasilnya akan dapat digunakan Ciri-ciri morfologi yang secara spesifik dapat
sebagai bahan dalam melaksanakan penelitian kebijakan dibedakan antara spesies satu dengan spesies lainnya
pengelolaan perikanan cucut. yaitu sebagai berikut : terdapat alur horisontal yang lemah
pada masing-masing sisi tengkuknya, mata dan gigi
BAHANDANMETODE berukuran kecil, jumlah gigi lebih dari 29 buah pada
masing-masing rahangnya. Sirip punggung pertama
Penelitian ini dilakukan pada pada tahun 2002 sampai terletak di tengah pangkal sirip dada dan sirip perut. Sirip
2007 di tempat pendaratan ikan utama yaitu di Pelabuhan dadanya panjang, sempit dan berujung bulat. Terdapat
Perikanan Samudera Cilacap. Pengamatan aspek biologi warna putih dibagian perut dan tidak meluas sampai
meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang pangkal sirip dada (Gambar 1). Ketiga spesies dari genus
klasper, dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan Alopias dapat dibedakan terutama dari warna pada
langsung secara visual di lapangan. Pengukuran klasper permukaan bagian punggung tubuh. Alopias vulpinus
dalam satuan sentimeter yang diukur dari lekukan bagian memiliki warna hijau gelap pada bagian punggung, Alopias
dalam dari sirip perut sampai ke bagian ujung klasper. superciliosus abu-abu dan Alopias pelagicus umumnya
Sedangkan bobot cucut ditimbang menggunakan nampak biru. Alopias superciliosus dapat mencapai
timbangan duduk dalam satuan kilogram. Jumlah sampel panjang 4.9 m dan Alopias pelagicus hanya dapat
cucut yang diamati untuk memperoleh data biologi mencapai ukuran panjang 3 m (http://en.wikipedia. org/
sebanyak 426 ekor yang terdiri dari 202 ekor jantan dan wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12 Maret 2009).

132
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

Tabel 1. Tingkat kematangan pada ikan bertulang rawan


Table 1. Maturity stage of Elasmobranchii

Tingkat kematangan/ Perkembangan secara mikroskopis/ Microcopies developing


No.
Maturity stage
Betina
1. Belum matang Ovari dan testis kecil, ke-2 uteri berukuran sama, tipis, dan lunak.
2. Berkembang, anak dara Ovari bagian kiri berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian
kiri mulai membesar tetapi tipis dan lunak.
3. Matang, belum bunting Ovari bagian kiri berisi telur berdiameter >2 mm, lunak, dan tipis.
Uterus bagian kiri banyak mengandung trophonemata.
4. Matang, bunting Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Terjadi pembuahan telur atau
embrio pada uterus bagian kiri. Trophonemata membesar dan
berwarna gelap.
5. Matang, pulih salin Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Uterus bagian kiri membesar
tetapi lunak, terlihat baru melahirkan anak. Trophonemata berwarna
gelap.
Jantan
Testis belum berkembang, klasper berukuran kecil, dan belum terjadi
1. Belum matang
pengapuran.

2. Sedang berkembang Testis membesar tapi tanpa lubang-lubang di permukaan, vas


deferens (saluran sperma) membulat. Klasper membesar, mulai
terjadi pengapuran dan kaku.
3. Matang, belum bereproduksi Lubang-lubang pada testis membengkak disebabkan memproduksi
sperma. Saluran sperma membulat kencang. Klasper sangat
berkembang dan kaku disebabkan oleh zat kapur.
4. Matang Seminal vesikel penuh spermatozoa yang sudah matang. Lubang-
lubang permukaan testis dan klasper membesar dan kaku.

frekuensi terendah. Kelompok ukuran tersebut termasuk


berumur muda. Pada ukuran antara 271-360 cm dengan
modus 320 cm merupakan kelompok dewasa. Frekuensi
panjang tertinggi terdapat pada dua kelompok ukuran,
yaitu kelompok pertama antara 231-250 cm dengan modus
240 cm dan kelompok kedua antara 251-270 cm dengan
modus 260 cm. Pada cucut tikusan betina, frekuensi
panjang terendah adalah 291-310 cm dengan modus 300
cm untuk kelompok ukuran dewasa/matang muda.
Frekuensi panjang tertinggi antara 231-250 cm dengan
Gambar 1. Morfologi cucut tikusan, Alopias pelagicus modus 240 cm (Gambar 2).
(Last & Stevens,2009)
Figure 1. Morphology of Pelagic thresher shark Hubungan Panjang Total dan Panjang Standar

Distribusi Frekuensi Panjang Hubungan antara panjang total dan panjang standar
pada cucut tikusan betina dan jantan disajikan pada
Untuk mengetahui parameter pertumbuhan dari suatu Gambar 3. Hubungan dua parameter dari kedua jenis
spesies ikan salah satu cara dapat dilakukan dengan kelamin cucut tersebut adalah linier dimana nilai R2=0,9423
melihat perkembangan distribusi frekuensi panjang tubuh untuk betina dan R2=0,9803. Berdasarkan nilai R2 dari dua
(Sparre & Venema, 1992). Hasil pengukuran panjang total jenis kelamin tersebut, maka dapat dikatakan bahwa baik
cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan yang berukuran cucut tikusan jantan dan betina terjadi perkembangan
antara 150-170 cm dengan modus 160 cm merupakan panjang tubuh yang hampir sama.

133
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang cucut tikusan (Alopias pelagicus) jantan dan betina
Figure 2. Length distribution frequency of male and female of Pelagic Thresher (Alopias pelagicus)
350

300 Female, n = 224

250
Total Length (cm)

)
m
c( 200 TL = 20.345 + 1.9726x PCL
th
g R = 0.9423
n
eL 150
la
t
To 100

50

0
0 50 100 150 200
Pre Caudal Length(cm)
400

350
Male, n = 202
Total Length (cm)

300
)
m
c( 250
h
tg
n 200 y = 10.141 + 2.0469PCL
eL
la R = 0.9803
t 150
o
T
100

50

0
0 50 100 150 200
Pre Caudal length (cm)

Gambar 3. Hubungan antara panjang total dan panjang standar A.pelagicus jantan dan betina
Figure 3. Relationship between total length and precaudal length of Thresher shark of male and female

Hubungan Panjang Total dan Panjang Klasper pelagicus dapat dilihat pada Gambar 4. Hubungan
tersebut bersifat logaritmik dengan nilai R2=0,8694, dan
Hubungan antara panjang klasper dan ukuran tubuh berbeda nyata (p<0,05). Hubungan kedua parameter
biasanya digunakan untuk menentukan ukuran di mana tersebut menunjukkan bahwa dengan bertambah panjang
ikan jantan elasmobranchs mencapai kematangan kelamin total tubuh cucut tidak selalu akan terjadi pertambahan
(Stevens & McLoughlin, 1991). Meskipun kedua bagian panjang pada klasper, akan tetapi klasper tetap mengalami
klasper kiri dan kanan berfungsi dalam proses reproduksi, perkembangan yang ditunjukkan dengan semakin
tetapi hanya satu yang dimasukkan ke dalam kloaka betina membesar klasper karena terjadi proses pengapuran
selama kopulasi atau proses perkawinan. Hubungan antara (calcification). Clark & Von Schidt dalam Carrier et al.
panjang total tubuh dan panjang klasper Alopias (2004) menyatakan bahwa proses terjadinya pengapuran

134
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

dan perkembangan (mengeras dan kaku) pada klasper kedua parameter tersebut adalah eksponensial (R2=0,9389),
merupakan standar untuk menentukan tingkat kematangan berdasarkan uji t diperoleh nilai b=3, sehingga hubungan
kelamin pada ikan-ikan bertulang rawan. tersebut bersifat isometrik yang menunjukkan dengan
bertambah panjang tubuh, maka bobot cucut tikusan juga
Sedangkan hubungan antara panjang total dan bobot bertambah.
cucut tikusan disajikan pada Gambar 5. Terlihat hubungan

30

25 CL = 0.152e0.0162TL
R = 0.8694
20
Male, n= 110
Clasper Length (cm)

15

10

0
0 50 100 150 200 250 300 350

Total Length (cm)

Gambar 4. Hubungan antara panjang total dan panjang klasper A. pelagicus


Figure 4. The relationship between total length and clasper length of A. pelagicus

2.6762TL

2 0.9389

Gambar 5. Hubungan antara panjang total dan bobot cucut tikusan (Alopias pelagicus)
Figure 5. The relationship between total length and weight of pelagic thresher shark

Rasio Kelamin Gambar 6. Rasio kelamin jantan dan betina bulanan pada
periode April 2001 hingga Oktober 2005 berfluktuatif dan
Informasi perbandingan jenis kelamin atau nisbah tidak seimbang, kecuali hanya pada Oktober 2004. Hal ini
kelamin pada spesies ikan dalam ilmu biologi reproduksi menunjukkan bahwa rasio kelamin pada cucut tikusan
diperlukan untuk mengetahui peluang perkembangan selalu mengalami perubahan pada periode tertentu.
populasinya. Perbandingan kelamin atau rasio kelamin Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, yaitu
merupakan aspek yang sangat penting bagi kemampuan perbandingan rasio kelamin jantan dan betina pada saat
individu dalam proses rekruitmen populasi spesies dilahirkan. Proporsi jantan dan betina pada saat lahir dapat
(Anonim, 2009), dan proses rekruitmen suatu spesies ikan menjadi indikator penting pada proses reproduksi suatu
akan berhasil apabila perbandingan jumlah jantan dan populasi ikan (Anonim, 2005). Lebih lanjut Brykov et al.
betina dalam satu populasi seimbang. (2008) menyatakan bahwa rasio kelamin berkaitan dengan
jumlah ikan yang dihasilkan pada generasi berikutnya dan
Rasio kelamin antara jantan dan betina cucut tikusan sebagai kontrol ukuran populasinya. Sedangkan faktor
secara bulanan selama tahun 2001-2005 disajikan pada ekstrinsik seperti adanya tekanan penangkapan, sehingga

135
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

penyebaran populasi jantan dan betina tidak merata. yang terdapat pada tingkat kematangan kelamin jantan
Perbedaan teknik penangkapan dan selektivitas alat (Gambar 7), nampak bahwa sebagian besar kelompok cucut
tangkap dapat juga mempengaruhi perbedaan rasio muda yang berada pada tingkat kematangan gonad I.
kelamin pada spesies ikan yang tertangkap.
Male Female
35

Tingkat Kematangan Gonad dan Kelamin Jantan 30

Berdasarkan Bulan 25

Percentage (%)
20

Tingkat kematangan gonad pada cucut tikusan 15

(Gambar 7), berdasarkan pengamatan secara visual dapat 10

5
dikelompokan menjadi empat tingkatan (Tabel 1). Pada
0
Gambar tersebut tampak bahwa selama kurun waktu lima Apr Jul Jun Aug Oct Apr Jul Sep Oct Jan Mar May Jul Aug Sep Oct

tahun (2001-2005) tingkat kematangan gonad yang 2001 2002 2004 2005

ditemukan pada setiap bulan bervariasi mulai dari tingkat


I sampai tingkat IV. Pada bulan Juli 2004 ditemukan delapan
Gambar 6. Rasio kelamin bulanan cucut tikusan (Alopias
ekor cucut tikusan dalam kondisi matang gonad, tetapi
pelagicus)
secara keseluruhan cucut tikusan yang tertangkap
Figure 6. Monthly sex ratio of Thresher shark (Alopias
sebagian besar memiliki kematangan gonad pada tingkat I
pelagicus)
atau termasuk dalam kelompok cucut muda. Demikian pula
Number (Ind) (A)
3 Jul, 2001
2
1
0

3 I II III IV
Jun, 2002
2
1
0

2 I II III IV
Oct, 2002

0
3 I II III IV2004
Apr,
2 Number (Ind)
1
(B)
3 Apr, 2004
0
15 2
I II III Jul,IV2004
1
10
0
5
I II III IV
9 Jul, 2004
0
6
4 I II III Oct,IV
2004
3
2 0
I II III IV
0 4 Oct, 2004
3 I II III Mar,IV
2005 2
2
1 0
0 I II III IV 2005
3 Mar,
2 I II III May, IV
2005 2
1 1
0
0
I II III IV2005
Aug,
5
4 I II III Aug, IV
2005 4
3
2 2
1
0
0
I II III IV
4 I II III IV2005
Sep, 3 Sep, 2005
2
2
1
0 0
2 I II III Oct,
IV2005 I II III IV
3 Oct, 2005
1 2
1
0 0
I II III IV I II III IV
Female Male

Gambar 7. Tingkat kematangan gonad betina (A) dan kelamin jantan (B)
Figure 7. Gonade maturity stage femile (A) and sex maturity stage of male (B)

136
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

Fluktuasi Hasil Tangkapan yang sama ditemukan 2 embrio dengan ukuran panjang
total induk betina yang berbeda yaitu antara 270-330 cm
Fluktuasi hasil tangkapan cucut tikusan (Alopias (Nakamura,1935). Menurut Cailliet et al. dalam Camhi et
pelagicus) selama tahun 2002-2007 dapat dilihat pada al. (2008) di perairan Pasifik pada umumnya kematangan
Gambar 8 berikut. kelamin Alopiidae betina dicapai pada ukuran panjang total
260-315 cm dengan umur 3-4 tahun, dan pada jantan dicapai
140000 pada ukuran panjang total 333 cm dengan umur 7 tahun.
Famili Alopiidae dapat hidup sampai 20 tahun atau lebih.
120000

100000
2007
Frekuensi panjang tertinggi pada Alopias pelagicus
Production (kg)

80000
2006 jantan dan betina terdapat pada modus yang hampir sama.
2005
2004 Dari sampel yang diperoleh nampak bahwa paling tidak
60000
2003
2002
terdapat 3 kelompok umur dari Alopias pelagicus jantan
40000 dan betina dengan kisaran sebaran panjang relatif sama
20000
yaitu masing-masing antara 150-210 cm , 211-270 cm, dan
271-360 cm (Gambar 2). Dengan melihat kelompok umur
0
J F M A M J J A S O N D kedua jenis kelamin cucut tersebut,terlihat bahwa individu
A. pelagicus betina yang tertangkap hampir selalu lebih
besar dibanding jantan. Liu et al. dalam Camhi et al.
Gambar 8. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan cucut (2008) menyatakan pertumbuhan cucut famili Alopiidae
Alopias pelagicus yang tertangkap jaring betina lebih cepat dari pada jantan. Alopias pelagicus
insang tuna permukaan tahun 2002-2007 yang tersebar di perairan Samudera Hindia dapat mencapai
Figure 8. Monthly catch fluctuation of Alopias ukuran panjang 365 cm, jantan mencapai dewasa pada
pelagicus caught by tuna drift gillnet in 2002- ukuran 240 cm dan betina 260 cm (White et al., 2006).
2007 Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian ini dapat
dikatakan bahwa sebagian besar ukuran cucut Alopias
Pada Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan cucut pelagicus yang tertangkap di perairan Samudera Hindia
tikusan selama kurun waktu enam tahun (2002-2007) dalam tahun 2002-2007 termasuk kelompok cucut muda-
berfluktuatif dari bulan ke bulan. Bulan Oktober sampai dewasa. Di perairan Indonesia cucut genus Alopias lebih
Juni hasil tangkapan cucut tikusan relatif rendah. Hal ini sering tertangkap dengan jaring insang hanyut (Dharmadi
terjadi diduga berhubungan dengan kondisi alam dimana et al., 2002) karena memiliki ekor yang panjang dan
pada periode tersebut biasanya keadaan di perairan tertangkap dengan cara terpuntal. Pada umumnya jaring
Samudera Hindia terjadi angin kencang disertai gelombang yang digunakan memiliki ukuran mata jaring 5 inci dengan
besar yang menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan sasaran tangkap utamanya ikan tuna-cakalang yang
aktivitas penangkapan di laut. Kegiatan penangkapan beroperasi di perairan Samudera Hindia. Ikan cucut Alopias
mulai meningkat terjadi pada bulan Mei, namun demikian pelagicus termasuk salah satu jenis cucut yang tertangkap
fluktuasi hasil tangkapan selama enam tahun memiliki pola sebagai hasil tangkapan sampingan jaring insang hanyut.
yang hampir sama, yaitu mulai terjadi peningkatan pada Meskipun hanya sebagai hasil tangkapan sampingan dari
bulan Juli sampai September kemudian menurun pada nelayan yang mengoperasikan jaring insang tuna, namun
bulan-bulan berikutnya. Secara umum hasil tangkapan di perairan Indonesia populasinya dikuatirkan terus
total cucut tikusan cenderung mengalami penurunan dari mengalami penurunan. Dalam upaya mendukung resolusi
tahun ke tahun. Pada tahun 2002 hasil tangkapan cucut IOTC 10/12 tentang the conservation of Thresher shark
tikusan dari jaring insang sebesar 128,443 ton dan tahun (Family Alopiidae) caught in association with fisheries
2007, yaitu sebesar 83,556 ton. in the IOTC Area of competence, maka sejak tahun 2011
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah mengeluarkan
BAHASAN larangan untuk tidak melakukan penangkapan terhadap
ketiga jenis cucut dari famili Alopiidae yaitu Alopias
Cucut genus Alopias memiliki kematangan kelamin pelagicus, A. vulpinus, dan A. superciliosus di perairan
lambat, jenis jantan dapat mencapai kematangan kelamin Indonesia. Meskipun demikian, pelarangan tersebut harus
antara 7-13 tahun dan betina antara 8-14 tahun pada disertai dengan program dan pelaksanaan sosialisasi
Alopias superciliosus. Kematangan kelamin pada Alopias terhadap masyarakat nelayan cucut tentang perlindungan
pelagicus jantan pada umur antara 7-8 tahun dan betina beberapa spesies cucut yang termasuk kategori rawan
antara 8-9 tahun. Ukuran kematangan kelamin A. pelagicus mengalami kepunahan.
diperkirakan berkisar antara 264-282 cm panjang total
dengan ditemukan 2 embrio di dalam kandungannya Tertangkapnya sebagian besar kelompok cucut muda-
(Otake & Mizue, 1981; Compagno, 1984). Pada spesies dewasa akan berpengaruh terhadap proses rekruitmen.

137
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

Pitcher & Hart (1982) menyatakan bahwa suatu tingkat program proyek percontohan (pilot project). Lokasi pilot
penangkapan pada kelompok ikan-ikan muda yang banyak project untuk program aksi pengelolaan cucut dapat
tertangkap sebelum mencapai pertumbuhan optimum dilakukan di tiga wilayah yaitu di Jawa Barat (Pelabuhan
dinamakan growth over fishing, yaitu aktivitas Perikanan Samudera Pelabuhanratu), Jawa Tengah (di
penangkapan yang berlebih pada sekelompok ikan yang Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap) dan wilayah
masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini akan mengurangi bagian Timur dapat dilakukan di Pangkalan Pendaratan
kesempatan bagi ikan-ikan dewasa betina dan jantan Ikan Tanjung Luar Lombok Timur. Ketiga daerah tersebut
mencapai kematangan gonad dan kelamin, sehingga akan merupakan tempat pendaratan ikan utama yang memiliki
mengakibatkan terjadi recruitment over fishing karena kontribusi produksi cucut secara signifikan dalam statistik
jumlah individu baru yang dihasilkan tidak cukup untuk perikanan nasional dibanding daerah lainnya.
mempertahankan populasi. Keberhasilan proses rekruitmen
suatu spesies kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa KESIMPULAN
faktor yaitu daerah penangkapan, alat tangkap yang
digunakan dan ukuran ikan yang tertangkap (Sparre & Terdapat kelompok ukuran pada cucut tikusan jantan
Venema, 1992). Proses rekruitmen suatu spesies dapat juga dan betina yang relatif sama. Kelompok muda cucut
dipengaruhi oleh faktor kualitas lingkungan perairan, tikusan terdapat pada ukuran antara 150-210 cm, sedang
densitas induk yang tersedia dan ada tidaknya pemangsa/ kelompok dewasa terdapat dua ukuran yaitu antara 211-
predator. 360 cm. Rasio kelamin jantan dan betina cucut tikusan
dari mendekati 1 : 1 (51 % : 49 %). Hasil tangkapan cucut
Selama kurun waktu enam tahun hasil tangkapan cucut tikusan dari jaring insang selama enam tahun mengalami
tikusan yang tertangkap di perairan Samudera Hindia penurunan sebesar 34,9 %. Hal ini menunjukkan bahwa
menurun sebesar 34,9 %. Menurunnya sumberdaya ada indikasi terjadi penurunan kelimpahan cucut tikusan
spesies ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat di perairan Samudera Hindia.
sifat biologinya yang rentan mengalami kepunahan,
sehingga diperlukan langkah-langkah pengelolaan yang PERSANTUNAN
bijak dalam memanfaatkan sumberdayanya. Menurut King
(1995) sumber daya ikan merupakan sumber daya yang Kegiatan dari sebagian hasil riset perikanan artisanal
dapat pulih kembali (renewable), meskipun demikian dalam ikan cucut (Requiem shark sp.) dan pari (Plesiobatis sp.)
pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas di perairan Indonesia bagian Selatan-Timur: Sosial
kemampuan sumberdaya tersebut. Pengelolaan perikanan ekonomi dan karakteristik perikanan hubungannya dengan
bertujuan untuk memastikan sumberdaya perikanan dapat sumberdaya perikanan di perairan Australia, T.A. 2001-
dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan 2006, ACIAR-CSIRO Australia dan dari dana pribadi.
dan menjaga kelestarian sumber daya lingkungannya.
Menurut Purwanto (2003) langkah pengelolaan perikanan DAFTAR PUSTAKA
dapat dikategorikan menjadi dua yaitu 1). pengendalian
penangkapan ikan (control of fishing) dan 2). Anonim. 2005. Prelude to intersex in fish. Identifying
pengendalian upaya penangkapan ikan (control of fishing sensitive period for feminization. Environmental
effort). Pada prinsipnya pengelolaan perikanan bertujuan Health Perspective. Vol.113,No.10, October 2005.
untuk mengatur intensitas penangkapan agar diperoleh e h p . n i e h s . n i h . g o v / d o c s / 2 0 0 5 / 11 3 - 1 0 /
hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek EHP113pa686PDF.PDF. A686.
(Widodo, 2000).
Anonim. 2009. Male-biased sex ratio of fish embryos near
Berkaitan dengan pengelolaan perikanan cucut di a pulp mill : temporary recovery after a shout-term
Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sejak shutdown (Research Article). www.enclycopedia.com,
tahun 2004 telah membuat draft buku pedoman tentang 25 April 2009. p. 739-42.
aksi pengelolaan perikanan cucut secara nasional
(National Plan Of Action shark) dan sejak tahun 2010 Bigelow, H.B. & W.C. Schroeder. 1948. Sharks. In Fishes
buku pedoman NPOA hiu dan pari telah dipublikasikan, of the western North Atlantic, part 1. Mem. Sears
namun hingga tahun 2012 belum diimplementasikan karena Found. Marine. Res., 59-576, figs. p. 6-105.
menghadapi berbagai kendala antara lain adalah masalah
pendataan hasil tangkapan hiu yang belum berdasarkan Brykov, A., D. Kukhlevsky, E. A. Shevlyakov, N.M. kinas
jenis. Oleh karena itu masih diperlukan evaluasi untuk & L.O. Zavarnia. 2008. Sex ratio control in pink Salmon
pelaksanaan implimentasi dari buku pedoman NPOA (Oncorhynchus gorbuscha and Chum Salmon (O. keta)
tersebut. Aksi pengelolaan cucut secara nasional harus populations the possible causes and mechanisms of
dilakukan secara bertahap pada 11 wilayah pengelolaan changes in the sex ratio. Russian Journal of Genetics.
perikanan yang telah ditetapkan atau paling tidak melalui Vol.44,No.7. High Beam.com/journal_Research.

138
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 131-139

www.springerlink.com/index/y71t62764q10661k.pdf. Namamura, H. 1935. On the two species of the Thresher


p. 786-792. shark from Formusa waters. Mem. Fac. Sci. Agriculture
Taikoku Imp. Univ. 14:1-6.
Camhi, M.D, EllenK.P& ElizabethA.B. 2008. Sharks of
the Open Ocean. Biology, Fisheries and Conservation. Otake, T. & K. Mizue, 1981. Direct Evidence for Oophagy
Fish and Aquatic Resources Series 13. Blackwell in Thresher Shark, Alopias pelagicus. Japanese
Publishing. USA. p. 60-65. Journal of Ichthyology 28 (2): 171172.
en.wikipedia.org/wiki/Pelagic_thresher Download
Castro, J.I. C.M Woodley & R.L. Brudek, 1999. A 9 Mei 2011.
preliminary evolution of the status of shark species.
Nati onal Oceanographi c and Atmospheri c Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology.
Administration. National Marine Fisheries Service American Edition. TheAVI Publishing Company, INC.
Southeast Fisheries Science Centre Miami, Florida, Westport, Connecticut. 408 p.
USA. FAO. Fisheries Technical Paper No. 380.
Purwanto, 2003. Status and Management of the Java Sea
Cailliet, G.M. & D.W. Bedford., 1983. The biology of three Fisheries. p. 793-832. In G. Silvestre, L. Garces, I.
pelagic sharks from California waters, and their Stobutzki., M.Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna,
emerging fisheries: a review. CalCOFI Rep. 26:57-69. L. Lachica-Alino, P. Munro, V. Cristensen, & D. Pauly
(eds). Assessment, Management, and Future Direction
Compagno,L.J.V., 1984. FAO Species catalogue. Vol.4, for Coastal Fisheries in Asian Countries. World Fish
Sharks of the world. An annotated and illustrated Center Conference Proceeding 67. 1120 p.
catalogue of shark species known to date. Part 1-
Hexanchiformes to Lamniformes : viii, 1-250. Part 2- Pillai,P.P. & M. Honma. 1978. Seasonal and areal
Carcharhiniformes : x, 251-655. FAO Fisheries Synopsis distribution of the pelagic sharks taken by the tuna
125 : 1-655. longline in the Indian Ocean. Bulletin of the National
Research Institute of Far Seas Fisheries, 16: 33-49,
Castro, J.I., C.M. Woodley, & R.L. Brudek. 1999. A figs 1-2. www.shark.reference.com.(download 9 Mei
Preliminary evolution of the status of shark. National 2011).
Oceanographic and Atmospheric Administration.
National Marine Fisheries Service Southeast Fisheries Strasburg, D.W., 1958. Distribution, abundance, and
Science Center Miami. Florida. USA. FAO. Fisheries habits of pelagic sharks in the central Pacific Ocean.
Technical Paper No. 380. Fish. Bull., 58: 335-361.

Dharmadi & Fahmi. 2007. Distribusi panjang, hubungan Sparre & Venema, 1992. Introduction to tropical fish stock
panjang total dan panjang klasper dan nisbah kelamin assessment. Part 2. Exercises. FAO Fisheries Technical
cucut lanjaman (C. falciformis). JPPI . 13 (3): 243-249. Paper. No. 306.2, Rev. 2.

Gruber, S.H., & L.J.V. Compagno. 1981. Taxonomic Status White, W.T., P.R. Last, J.D. Stevens, G.K. Yearsley, Fahmi
and Biology of the Bigeye Thresher, Alopias & Dharmadi. 2006. Economically Important Sharks and
superciliosus. Fish. Bull., 79(4): 617-640. Rays of Indonesia. National Library of Australia
www.elasmo-research.org/education/.../biblio- Cataloging-in-Publication entry . Australia. 329 p.
thresher_bigeye. Download 9 Mei 2011.
Widodo, J. 2000. The Indonesian Shark Fisheries: present
Hanan, D.A; David B.H & L.CAtilio, Jr. 1993. The California status and the need of research for stock assessment
Drift Gill Net Fishery for Sharks and Swordfish, 1981- and management. Paper presented at Indonesian
82 Through 1990-91. State of California The Resources Australian workshop on shark and tuna, Denpasar,
Agency Department of Fish and Game. Fish Bulletin. March 2000, 23 p.
175 p.
http://en.wikipedia.org/wiki/Alopiidae diunduh tanggal 12
King, 1995. Fisheries Biology, Assessment and Maret 2009. Download, 12 Maret 2009.
Management. Fishing News Book. London. 341 p.
Stevens, J.D. & K.J. McLoughlin.1991. Distribution, size
Last, P.R, & J.D. Steven. 2009. Sharks and rays of and sex composition, reproductive biology and diet of
Australia. Second edition. CSIRO Publishing. sharks from northern Australia. Australian Journal of
Australia. 644 p. Marine and Freshwater Research 42: 151199.

139
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN CUCUT KACANGAN (Hemitriakis


indroyonoi ) DI SAMUDERA HINDIA
REPRODUCTIVE BIOLOGY OF INDONESIAN HOUNDSHARK (Hemitriakis
indroyonoi) IN THE INDIAN OCEAN

Ria Faizah1), Umi Chodrijah2), dan Dharmadi1)


1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2)
Balai Penelitian Perikanan Laut
Teregistrasi I tanggal: 13 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 11 Desember 2012

ABSTRAK

Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) merupakan spesies endemik di Indonesia yang tertangkap di perairan
selatan Bali dan Lombok. Penelitian tentang ukuran dan biologi reproduksi cucut kacangan dilakukan di dua lokasi
pendaratan ikan, yaitu Kedonganan, Bali dan di Tanjung Luar, Lombok Timur pada bulan Maret 2010-Januari 2011.
Pengamatan meliputi panjang tubuh, nisbah kelamin serta panjang klasper yang dilakukan dengan pengukuran dan
pengamatan langsung secara visual di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan kisaran panjang total untuk cucut
kacangan terdistribusi pada ukuran antara 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,07 cm TL. Cucut kacangan
memiliki dua kelompok umur dengan modus, yaitu 75 cm dan 100 cm kisaran panjang masing-masing adalah 60-85
cm dan 90-110 cm. Hubungan panjang berat cucut kacangan mengikuti persamaan W=0,001x FL3,209 ( r = 0,965;
n=39) untuk jenis betina dan W=0,012x FL2,664 ( r = 0,90; n=47) untuk jenis jantan. Terdapat dua kondisi klasper
yaitu kondisi belum mengandung zat kapur dengan ukuran panjang antara 54-87 cm (n= 33 ekor) dan kondisi penuh
dengan zat kapur dengan ukuran antara 82-105 cm (n=27 ekor). Perbandingan kelamin cucut kacangan antara betina
dan jantan adalah 1:1,11 (52,6: 47,4%).

KATA KUNCI : Biologi reproduksi, cucut kacangan, Samudera Hindia

ABSTRACT

Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) is an endemic species of Indonesia caught in the southern
Bali and Lombok waters (Indian Ocean). The research that aimed to obtain information on the size distribution and
reproductive biology of Indonesian houndshark and was conducted in landing site of Kedonganan, Bali and
Tanjung Luar, Lombok Timur from March 2010 to January 2011. Body length, sex ratio and clasper length were
visually observed and directly measured in the field. Results showed that length distribution of Indonesian houndshark
ranged between 54-111 cm with an average total length (TL) 83.1 cm. The Indonesian houndshark at least have two
cohorts with the modus of 75 cm TL and 100 cm TL, length class between 60-85 cm and 90-110 cm TL . There are
two clasper conditions i.e. non calcification with TL of 54-87 cm TL (n = 33) and full calcification with TL of 82-
105 cm (n & 27). Length weight relationships for female and male are W = 0.001 x FL 3, 209 (R2 = 0.965, N = 39)
and W = 0.012 x FL2, 664 (R2 = 0.90, N = 47), respectively. Sex ratio between female and male was 1:1,11 (47.4:52.6%).

KEYWORDS : Reproductive biology, Indonesian houndshark, Indian Ocean

PENDAHULUAN ini dikenal dengan nama cucut kacang dan nelayan


Lombok menyebutnya hiu meong. Spesies ini umumnya
Cucut kacangan atau Indonesian houndshark tertangkap dengan alat tangkap gillnet yang didaratkan
(Hemitriakis indroyonoi) merupakan salah satu anggota di pusat pendaratan ikan di Kedonganan, Bali dan Tanjung
dari famili Triakidae dan kemungkinan merupakan spesies Luar, Lombok. Ketersediaan data biologi cucut dan
endemik di perairan Indonesia. Penamaan Hemitriakis kelompok ikan bertulang rawan di Indonesia masih kurang
indroyonoi merupakan penamaan baru untuk spesies memadai dibandingkan dengan data biologi dari jenis ikan
Hemitriakis yang ada di Indonesia (White et al., 2009). bertulang keras (teleostei). Karakteristik biologi cucut
adalah memiliki laju pertumbuhan dan kematangan kelamin
Secara umum, morfologi cucut kacangan dicirikan oleh yang lambat; siklus perkembangbiakan lama; fekunditas
mata yang terletak di kepala dengan gurat menonjol di rendah; dan rentang hidupnya yang panjang (FAO, 2000;
bawahnya. Sirip punggung pertama terletak di belakang Castro et al., 1999; Compagno, 1998; dan Last & Stevens,
dasar sirip dada, ujung kedua sirip punggung berwarna 1994). Selain itu banyak spesies cucut bernilai ekonomi
putih, jarak antara lubang hidung sekitar 2.5 kali lebar penting mempunyai daerah asuhan (nursery area) di
cuping hidungnya dan gigi di kedua rahang sangat pipih perairan pantai yang dangkal. Faktor tersebut
dan seperti pisau (White et al., 2006). Di Bali, jenis cucut mengakibatkan sumber daya ikan cucut sangat rentan
Korespondensi penulis:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara 141
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

terhadap tekanan penangkapan yang berlebihan. Data panjang dan distribusi frekuensinya, hubungan panjang
statistik hasil tangkapan cucut baru tercatat pada beberapa berat, rasio kelamin dan tingkat kematangan kelamin.
spesies, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan
pengenalan jenis cucut, padahal data ini sangat diperlukan BAHANDANMETODE
untuk mengetahui kecenderungan jumlah dan komposisi
spesies hasil tangkapan yang didaratkan dan sebagai Waktu dan Lokasi Penelitian
informasi dasar untuk mengetahui status konservasinya.
Oleh karena itu untuk dapat memahami dan mengkaji Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret
status perikanan cucut khususnya cucut kacangan di 2010 hingga Januari 2011 di dua pendaratan ikan, yaitu
Indonesia, diperlukan data dan informasi dasar mengenai Kedonganan, pantai selatan Bali dan di Tanjung Luar,
parameter biologi perikanan cucut yang meliputi ukuran pantai selatan Lombok (Gambar 1).

1).

Gambar 1. Peta lokasi sampling


Figure 1. Map of sampling site

Pengamatan Biologi sampai dengan ke bagian ujung klasper. Data yang


dianalisis merupakan data gabungan dari kedua lokasi
Pengamatan biologi ikan cucut meliputi panjang tubuh, pengamatan yaitu, di Kedonganan-Bali, dan Tanjung Luar
rasio kelamin serta panjang klasper, dilakukan dengan Lombok Timur dengan daerah penangkapan sama yaitu,
pengukuran dan pengamatan langsung secara visual di di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa
lapangan. Jumlah contoh cucut yang diamati sebanyak Tenggara dan dianggap sebagai satu unit stok. Gambar
114 ekor terdiri dari jenis jantan dan betina. Pengukuran ikan cucut yang menjadi obyek penelitian disertakan pada
klasper diukur dari lekukan bagian dalam dari sirip perut Gambar 2.

Gambar 2. Cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi)


Figure 2. Indonesian Houndshark (Hemitriakis indroyonoi)

142
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

Hubungan panjang - berat dianalisa dengan model keterangan: X2 = Chi Square


persamaan Hile (1936) dalam Effendie (1997) sebagai fo = Frekuensi yang diobservasi
berikut : fn = Frekuensi yang diharapkan
W=aLb
HASIL DAN BAHASAN
dimana : W = berat ikan (gram)
L = panjang ikan (cm) HASIL
a dan b = konstanta.
1. Distribusi Frekuensi Panjang
Dari persamaan di atas dapat diketahui pola
pertumbuhan panjang dan berat ikan tersebut. Nilai b Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada
yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola bulan Maret 2010 hingga Januari 2011 di dua lokasi
pertumbuhan apakah polanya isometrik atau allometrik. pendaratan ikan (Kedonganan dan Tanjung Luar), cucut
Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh ditentukan dengan kacangan yang tertangkap terdistribusi pada ukuran antara
menggunakan uji-t pada selang kepercayaan 95% ( = 54-111 cm TL dengan panjang rata-rata 83,1 cm TL. Untuk
0,05). cucut jantan, ukuran panjang total yang banyak tertangkap
berkisar antara 54-105 cm dengan rata-rata 83,3 cm,
Pengamatan tingkat kematangan kelamin jantan sedangkan cucut kacangan betina yang tertangkap
dilakukan secara visual dengan melihat kondisi berkisar antara 69-111 cm dengan panjang total rata-rata
klaspernya. Menurut Grogan & Lund (2004) dalam Carrier 82,8 cm. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang
et al. (2004) & Yano et al. (2005) klasper adalah alat kelamin sedikitnya cucut kacangan jantan dan betina memiliki dua
jantan pada ikan bertulang rawan yang merupakan kelompok umur dengan modus yaitu 75 cm TL dan 100 cm
perpanjangan tulang bagian dalam dari sirip perut atau TL dengan kisaran panjang masing-masing adalah 60-85
modifikasi sirip perut yang membentuk saluran sperma cm TL dan 90-110 cm TL (Gambar 3).
yang berfungsi menyalurkan sperma ke kloaka (organ
reproduksi) betina atau organ kopulasi untuk 2. Hubungan Panjang Berat
memudahkan proses pembuahan secara internal. Kondisi
klasper dikategorikan menjadi 3 tingkatan yaitu klasper Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi
dalam kondisi belum berisi zat kapur atau sedikit zat kapur ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya untuk
dan lembek, klasper sebagian berisi zat kapur dan agak memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang
keras dan klasper berisi penuh zat kapur dan dalam keadaan berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan
mengeras (Clark & von Schmidt, 1965; Teshima et al., 1978; tersebut. Analisis hubungan panjang berat terhadap 114
Teshima, 1981; Parsons, 1983). ekor ikan cucut dipisahkan antara jantan dan betina
(Gambar 4a &b). Hasil analisis digambarkan oleh
Pengujian perbandingan jenis kelamin dilakukan persamaan sebagai berikut:
dengan uji Chi Square (Sugiyono, 2004) :
Betina = W=0,001x FL3,209 ( r=0,965 ; n=54)
k
( fo fn) 2 Jantan= W=0,012x FL2,664 ( r2 = 0,90; n=60)
X2
i 1 fn

(a) (b)

Gambar 3 Distribusi panjang cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) jantan (a) dan betina (b) yang tertangkap di
perairan Samudera Hindia pada bulan Maret 2010-Januari 2011
Figure 3. Length distribution of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of male (a) and female (b) in
Indian Ocean caught in Indian Ocean,March 2010- January 2011

143
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

4500
5000 Jantan, n =60
Betina, n=54 4000
4500 3500 W = 0.012FL 2.664
4000 W= 0.001FL 3.209 r=0,90
3000
3500 r= 0.965

Berat(g)
2500
3000
Berat(g)

2000
2500
1500
2000
1000
1500
1000 500
500 0
0 40 50 60 70 80 90 100 110
40 50 60 70 80 90 100 110 120 Panjang total (cm)
Panjang total (cm)

(a) (b)

Gambar 4. Hubungan panjang berat cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi) betina (a) dan jantan (b) yang tertangkap
di Samudera Hindia , Maret 2010Januari 2011
Figure 4. Length weight relationship of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi) of female (a) and male
(b )caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011

3. Rasio Kelamin 4. Hubungan Panjang Klasper dengan Panjang Total

Rasio kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan Selama penelitian, cucut kacangan betina yang
perbandingan jumlah individu jantan dengan betina dalam teridentifikasi hanya ditemukan dua tingkat kematangan
suatu populasi. Secara alamiah, di suatu perairan yang gonad yaitu I dan II. Ukuran panjang ikan cucut dengan
normal diperkirakan perbandingan betina: jantan adalah tingkat kematangan gonad I berkisar antara 69-99 cmTL
1:1 ( Bal & Rao,1984). Pada penelitian ini, jumlah contoh dimana ovari kecil, tipis dan masih lunak, sedangkan
cucut kacangan yang diamati sebanyak 114 ekor, dengan tingkat kematangan gonad II terdapat pada ukuran 101-
perbandingan jumlah betina 54 ekor dan jantan 60 ekor 111cm dimana ovari berisi kantong telur berukuran kecil.
atau 1:1,11.

Gambar 5. Hubungan antara panjang klasper dengan panjang total tubuh cucut kacangan (Hemitriakis indroyonoi)
yang tertangkap di Samudera Hindia, Maret 2010-Januari 2011
Figure 5. Relationship between clasper length and total length of Indonesian houndshark (Hemitriakis indroyonoi)
caught in Indian Ocean, March 2010-January 2011

144
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

BAHASAN maka nilai b yang diperoleh juga mungkin akan berubah


Nikolsky, (1963).
1. Distribusi Fekuensi Panjang
3. Rasio Kelamin
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan
bahwa distribusi frekuensi cucut kacangan jantan dan Berdasarkan pada uji Chi-Square secara keseluruhan
betina memiliki pola yang sama yang didominasi oleh diperoleh hasil X2=1,19; X2 tabel (0,05)=3,84; X2 tabel
kelompok umur pada ukuran antara 65-85 cm TL. Kisaran (0,01)
=6,64 yang berarti bahwa perbandingan jenis kelamin
ukuran cucut kacangan yang diperoleh dalam penelitian jantan dan betina tidak berbeda nyata atau dalam keadaan
ini hampir sama dengan yang ditemukan oleh White et al. seimbang. Menurut Effendi (2000) dengan seimbangnya
(2006) &White, (2007), yaitu 50,6cmTLhingga120cmTL. perbandingan antara individu jantan dan betina, maka
kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh
Secara keseluruhan sebagian besar cucut kacangan spermatozoa semakin besar. Berdasarkan hal tersebut
yang tertangkap selama penelitian relatif masih muda dapat dikatakan bahwa rasio kelamin pada penelitian ini
sebanyak 58,3%. Menurut Pitcher & Hart, (1982) kondisi masih ideal untuk keberlangsungan proses reproduksi
demikian dapat mengganggu keseimbangan populasi suatu spesies di suatu perairan. Untuk mengetahui rasio
karena akan terjadi growth over fishing, yaitu suatu tingkat kelamin yang lebih akurat diperlukan jumlah sampel yang
penangkapan dimana ikan-ikan muda banyak tertangkap lebih banyak dan daerah penangkapan yang lebih luas,
sebelum mencapai pertumbuhan optimum, dan seperti yang diungkapkan Bal & Rao (1984) bahwa adanya
menyebabkan kemungkinan terjadi pengurangan populasi variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi karena
ikan-ikan dewasa. Akibatnya ada kemungkinan terjadi 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi
recruitment over fishing atau suatu tingkat penangkapan lingkungandan penangkapan.
dimana ketersediaan ikan-ikan matang menurun karena
penambahan individu yang dihasilkan tidak cukup untuk 4. Hubungan Panjang Klasper Dengan Panjang Total
mempertahankan populasinya.
Pada penelitian ini cucut kacangan betina yang
2. Hubungan Panjang Berat tertangkap memiliki ukuran matang kelamin yang berbeda
dengan ukuran yang ditemukan oleh White et al. (2006;
Menurut Effendi, (2002) nilai b berada pada kisaran 2007) dimana pada ukuran kurang dari 100 cm TL ikan
2,4-3,5, bila berada di luar kisaran tersebut maka bentuk cucut sudah matang gonad.
tubuh ikan tersebut di luar batas kebiasaan bentuk ikan
secara umum. Selanjutnya berdasarkan hasil uji-t terhadap Perbedaan ukuran kematangan gonad tersebut diduga
parameter b baik jantan ataupun betinadiperoleh thit>ttab, karena kondisi lingkungan perairan yang berbeda.
.
Untuk cucut jantan diperoleh nilai b signifikan dan lebih Sementara itu untuk cucut kacangan jantan terdapat dua
kecil daripada 3 (b<3), sedangkan untuk cucut kacangan tingkatan kelamin berdasarkan atas pengamatan
betina nilai b signifikan lebih besar dari 3 (b>3). Hal ini perkembangan kondisi klasper, yaitu klasper belum
berarti pola pertumbuhan cucut kacangan jantan mengandung atau sedikit zat kapur (non calcification)
cenderung bersifat allometrik negatif yang artinya dan klasper dalam kondisi penuh zat kapur (full
pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan calcification). Klasper pada kondisi belum mengandung
beratnya sedangkan cucut kacangan betina cenderung zat kapur terdapat pada ukuran panjang antara 54-87 cm
bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih sebanyak 33 ekor, sedangkan klasper yang penuh dengan
cepat daripada pertambahan panjangnya. Perbedaan nilai zat kapur ditemukan pada ukuran antara 82-105 cm
b pada jantan dan betina dapat berdampak pada rasio sebanyak 27 ekor (Gambar 5). Gambar ini menunjukkan
kelamin di alam. Rasio kelamin ini kaitannya dengan adanya korelasi positif antara panjang klasper dengan
selektivitas alat tangkap. Jika jantan lebih kurus daripada panjang total tubuh yang berarti dengan bertambahnya
betina, maka yang akan terjadi ikan betina akan lebih panjang total tubuh cucut akan diiringi panjang
mudah tertangkap daripada ikan jantan, karena peluang klaspernya.
ikan jantan tertangkap akan lebih kecil terkait dengan
ukuran tubuhnya, sehingga ketersediaan ikan betina di Kisaran ukuran jantan yang matang pada penelitian
alam akan berkurang. ini mirip dengan hasil penelitian White (2007) yang
mencatat Hemitriakis indroyonoi jantan yang belum
Hubungan antara panjang dengan berat tubuh ikan berisi zat kapur (non calcification) berukuran kurang dari
bersifat relatif, dapat berubah dengan perubahan waktu. 81 cm, sedangkan untuk cucut jantan yang telah penuh
Jika faktor-faktor disekitar organisme seperti kondisi dengan zat kapur (full calcification) berukuran lebih dari
lingkungan periran dan ketersediaan makanan berubah 94 cm dan mencapai 120 cm, ukuran ini juga mirip dengan

145
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

Hemitriakis japanica jantan yaitu berkisar antara 85 -110 Castro, J.L., C.M. Woodley & L.L. Brudek. 1999. A
cm (Chen & Mizue, 1973), namun ukuran ini masih lebih preliminary evaluation of the status of shark species.
besar daripada ukuran Hemitriakis complicofasciata yaitu FAO Fisheries. Tech. Pap. (380). 72 p.
76-80,5 cm (Takahashi & Nakaya, 2004). Perbedaan dalam
ukuran matang kelamin ini diduga disebabkan oleh adanya Chen, C.T & K. Mizue .1973. Studies on sharks-VI.
perbedaan spesies dan kondisi lingkungan perairan. reproduction of Galeorhinus japonicas. Bulletin of
the Faculty Fisheries, Nagasaki University. 36: 37-51.
KESIMPULAN
Clark, E. & K. von Schmidt. 1965. Shark of the Central Gulf
Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap data yang coats of Florida. Bulletin Marine Science. 15: 13-83.
dikumpulkan dari kedua pusat pendaratan ikan, yaitu
Kedonganan, dan Tanjung Luar, maka dapat dikemukakan Compagno, L. J. V. 1984. FAO species catalogue. Vol.4.
beberapa kesimpulan sebagai berikut. Sharks of the world. An annotated and illustrated
catalogue of shark species known to date. Part 2-
1. Sebagian besar cucut kacangan (Hemitriakis Carcharhiniformes. FAO Fish. Synopsis. (125) Vol.4. p.
indroyonoi) yang tertangkap relatif masih muda 250-655.
dengan ukuran panjang ikan antara 65-85 cm TL.
2. Pola pertumbuhan cucut kacangan jantan dan betina Compagno, L.J.V. 1998. Shark In Carpenter, K.E. & V.H.
memiliki pola yang berbeda. Cucut jantan memiliki pola Niem (Eds.): The living marine resources of the
pertumbuhan cenderung allometrik negatif, sedangkan Western Central Pacific.Vol. 2. Cephalopods,
cucut betina pola pertumbuhannya cenderung Crustaceans, Holothurians and Sharks. FAO. Rome:
allometrik positif. p. 687-1396.
3. Berdasarkan pada kondisi klasper, hubungan antara
panjang total dan panjang klasper menunjukkan Dharmadi, Fahmi & M. Adrim. 2007. Distribusi Frekuensi
korelasi positif dimana bertambahnya panjang klasper Panjang, Hubungan Panjang Tubuh,Panjang Klasper,
akan diiringi dengan pertambahan panjang total tubuh Dan Nisbah Kelamin Cucut Lanjaman (Carcharhinus
cucut. falciformis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
4. Perbandingan jenis kelamin cucut kacangan 3 (3).
(Hemitriakis indroyonoi) antara jantan dan betina
relatif seimbang. Efendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara.
PERSANTUNAN
Efendie I.M. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi FAO. 2000. Fisheries Management: 1. Conservation and
Sumberdaya Ikan dan Dr. William White dari ACIAR- Management of Sharks. FAO Tech. Guidelines for
CSIRO Australia atas kerja sama yang baik selama Responsible Fisheries. Suppl. 1. FAO. Rome: 37 p.
pelaksanaan penelitian berlangsung. Tulisan ini
merupakan hasil riset Developing new assessment and Garrick, J. A. F. 1982. Sharks of the genus Carcharhinus
policy frameworks for Indonesias marine fisheries, NOAA Tech. Rep. N. M. F. S. Circular. (445): 1-194.
including The control and management of Illegal,
Unregulated and Unreported (IUU) Fishing., T.A. 2010- Kohler, N.E., JG Casey & PATurner. 1994. Length-weight
2011. relationship for 13 species of sharks from the western
North Atlantic. Fishery Bulletin. 93(2).
DAFTAR PUSTAKA
Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of
Bal, D. V. & K. V Rao. 1984. Marine fisheries. Tata Mc. Australia. CSIRO. Australia. 513 p.
Graw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi.:
5-24. Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic
Press., London : 352 p.
Carrier, J. C., J.A. Musick, & M. R. Herthaus. 2004. Biology
of Sharks and their relatives. Texbook. CRC Press. Oshitani, S. H. Nakano, & S. Tanaka. 2003.Age and growth
Washington D. C: 596 p. of the silky shark Carcharhinus falciformis from the
Pacific Ocean. Fisheries Science. 2003. 69: 456-464.

146
R. Faizah., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 141-147

Parsons G.R. 1983. The reproductive biology of the Atlantic The Journal of Shimonoseki University of Fisheries.
sharpnose shark Rhizoprionodon terraenovae 29: 113-199.
(Richardson). Fishery Bulletin US .88 : 61-73.
White, W.T, Compagno, L.J.V & Dharmadi. 2009.
Pitcher, T.J & P.J.B, Hart. 1982. Fisheries Ecology. Hemitriakis indroyonoi sp.nov., new species of
American Edition. The AVI Publishing Company, INC. houndshark from Indonesia (Carcharhiniformes
Westport, Connecticut : 408 p. :Triakidae). Zootaxa. 2110: 41-57.

Stell R.G.H & J.H Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur White, W.T.. 2007. Aspect of the biology of
Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan carcharhiniform sharks in Indonesia waters. Journal
dari Principle and procedure of statistic : a biometri Marine Biology. Assessment. U.K. 87:1269-1276.
approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua.
PT.Gramedia. Jakarta : 748 p. White, W. T., P. R. Last, J. D. Stevens, G. K. Yearsley,
Fahmi, & Dharmadi. 2006. Economically important
Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametris Untuk sharks and rays of Indonesia. National Library of
Penelitian. Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. 158 p. Australia Cataloging-in-Publication entry. Australia.
329 p.
Takahashi, M & K. Nakaya. 2004. Hemitriakis
complicofasciata, a new whitefin topeshark White W. T., M. E. Platell, & I. C. Potter. 2001. Relationship
(Carchahiniformes : Triakidae) from Japan. between reproductive biology and age composition
Ichthyiological Research, 51: 248-255. and growth in Urolophus lobatus (Batoidea:
Urolophidae). Marine Biology. 138: 135-147.
Teshima, K., M. Ahmad, & K. Mizue. 1978. Studies on
sharks-14. Reproduction in the Telok Anson shark Yano, K., A. Ali, A. C. Gambang, I. A. Hamid, S. A. Razak,
collected from Perak River. Malaysia. Jap. Journal. & A. Zainal. 2005. Sharks and rays of Malaysia and
Ichthyology. 25: 181-189. Brunei Darussalam. Marine Fishery Research
Development and Management Departement
Teshima, K. 1981. Studies on the reproduction of Japanese Southeast Asian Fisheries Development Center.
smooth dogfishes, Mustelus manazo and M. griseus. Terengganu, Malaysia: 213 p.

147
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

KOMPOSISI JENIS DAN PENYEBARAN IKAN LAUTDALAM DI PERAIRAN


KEPULAUAN SANGIHE DAN TALAUD SULAWESI UTARA
SPECIES COMPOSITION AND DISTRIBUTION OF DEEP-SEA FISHES OF SANGIHE
AND TALAUD, NORTH SULAWESI WATERS

Fayakun Satria1), Bram Setyadji2), danAndria Utama3)


1)
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur
2)
Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Bali
3)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 9 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 November 2012;
Disetujui terbit tanggal: 30 November 2012

ABSTRAK

Ketersediaan data dan informasi tentang ikan laut-dalam di perairan tropis khususnya di Indonesia bagian utara
masih sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis ikan dan daerah penyebaran ikan
laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Penelitian dilakukan pada bulan Juli Agustus 2010 dengan
menggunakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) merupakan kerjasama antara IndonesiaAmerika Serikat
melalui Explorasi Sangihe Talaud (Index SATAL). Sebanyak 53 dari 32 famili ikan telah diidentifikasi. Terdapat
ikan demersal laut-dalam ekonomis penting seperti:Beryx splendens, Hoplosthethus crassispinus, Setarches guentheri,
Lamprogrammus niger dan Grammicolepis sp. Perairan sebelah Utara Bunaken dan sebelah Timur Pulau Kawio
dengan gunung bawah lautnya diindikasikan merupakan lokasi dan habitat yang penting bagi jenis ikan tersebut.
Hasil penelitian ini juga memberikan informasi awal tentang daerah penyebaran sumberdaya ikan laut-dalam yang
dapat dimanfaatkan pada masa depan di wilayah perairan utara Sulawesi khususnya di sekitar kepulauan Sangihe
dan Talaud.

KATA KUNCI: Komposisi dan penyebaran, ikan laut-dalam, kepulauan Sangihe dan Talaud

ABSTRACT :

The availability of data and information on deep-sea fishes in tropical waters especially in the northern part of
Indonesia still very limited and rare. This paper attempted to provide information at the first time of species
composition of deep-sea fishes found around Sangihe and Talaud Islands. The exploration was conducted from July
to August 2010. A joint cruise between Indonesia and USA in the frame of The Indonesia and USA Exploration
Sangihe Talaud (Index SATAL)using RV Baruna Jaya IV (1,200 GT). There were 53 species whithin 32 families
have been discovered including economically important deep-sea demersal fishes i.e.Beryx splendens, Hoplosthethus
crassispinus, Setarches guentheri, Lamprogrammus niger and Grammicolepis sp. North of Bunaken and East of
Kawio waters with deep-sea seamounts were indicated important habitat for those economic valuable species. This
paper is intended to provide preliminary information for species distribution of deep-sea fishes inhabited in North
Sulawesi Waters, mainly in Sangihe and Talaud Islands.

KEYWORDS: Composition and distribution, deep-sea fishes, Sangihe and Talaud islands

PENDAHULUAN Wilayah perairan laut-dalam di perairan New Zealand


dengan sumberdaya ikannya seperti Orange roughy
Wilayah perairan laut dangkal mencakup 10 persen (Hoplostethus atlanticus) dan Alfonsino (Beryx splendens)
dari total wilayah lautan di dunia, sisanya berupa perairan atau jenis Ophididae serta ikan laut-dalam dari famili
laut dalam (Nybakken, 1986). Wilayah laut secara umum Macrouridae di perairan Rusia telah lama dimanfaatkan dan
dibagi menjadi 3 zona utama berdasarkan intensitas dieksploitasi secara komersial. Saat ini sumberdaya ikan laut-
keberadaan cahaya, yakni: zona euphotic, dispothic, dan dalam di kedua wilayah tersebut telah mengalami lebih
apothic (Sverdrup et al., 1942). Zona euphotic kaya akan tangkap (Tyler,2008). Ikanlaut-dalamdikenalmemiliki karakter
cahaya untuk kepentingan fotosintesis, berkisar di pertumbuhan lambat, umur yang panjang, matang gonad
kedalaman antara 0 100 meter, zona disphotic adalah yang lama dan fekunditas rendah. Dengan demikian stok
wilayah dimana penetrasi cahaya mulai berkurang (<200 ikan laut-dalam apabila dieksploitasi akan lebih cepat punah
m), sedangkan zona aphotic adalah wilayah dimana tidak dan lebih lama pulihnya bila dibandingkan dengan stok ikan
ada cahaya sama sekali. Laut-dalam merupakan wilayah di laut dangkal yang lebih produktif (Lack et al., 2003). Oleh
dimana penetrasi cahaya sudah tidak ada lagi dan karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam perlu
umumnya berada pada kisaran kedalaman lebih dari 200 m dilakukan dengan sangat hati-hati untuk memastikan
(FAO, 2008). keberlangsungan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur
Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152 149
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Perairan Sangihe Talaud terletak diantara laut Sulawesi sampai kedalamn 900 m telah dilakukan menggunakan
dan Samudera Pasifik. Dasar perairannya merupakan kapal riset Baruna Jaya IV (1.200 GT) milik Badan
pertemuan antara lempeng Filipina dan lempeng Eurasia Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) di
yang membentuk ridge memanjang dari utara pulau Kawio perairan kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara
ke arah selatan sampai kepulauan Halmahera. Beberapa pada bulan Juli Agustus 2010. Kegiatan penelitian ini
gunung bawah laut dan hydrothermal vents ditemukan di merupakan kerjasama penelitian yang bernama INDEX-
sekitar pulau Kawio, dan Mangehetang (Manini et al., SATAL 2010 (Indonesia-USA Deep-sea Exploration of
2007; Utami et al., 2005). Sekitar 90 % dari perairan di the Sangihe Talaud Region). Percobaan penangkapan
wilayah ini merupakan laut-dalam yang memiliki kedalaman dilakukan di tujuh lokasi terpilih (Gambar 1). Lokasi trawl
lebih dari 200 meter dengan kedalaman maksimal mencapai mencakup bagian utara Pulau Talaud (stasiun 1 & 2),
6.000 meter. Ketersediaan data dan informasi ikan laut- bagian barat Pulau Kawio (stasiun 3), bagian utara Pulau
dalam di wilayah perairan Indonesia bagian utara masih Sangihe (stasiun 4), bagian barat Pulau Siau (stasiun 5 &
sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan 6), dan bagian barat Pulau Bunaken (stasiun 7). Penentuan
informasi komposisi jenis dan daerah penyebaran ikan lokasi trawl dilakukan dengan mempertimbangkan
laut-dalam di sekitar kepulauan Sangihe dan Talaud. Hasil berbagai faktor antara lain: 1) topografi dasar yang
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai memungkinkan untuk kegiatan trawl; 2) kedalaman lebih
informasi dasar untuk melakukan penelitian lanjutan dari 200 m dan maksimum 1000 m; 3) topografi dasar
tentang pemanfaatan sumberdaya ikan laut-dalam. merepresentasikan karakter yang unik, seperti: habitat
gunung bawah laut dan; 4) terdapat gerombolan ikan di
BAHANDANMETODE lokasi sampling. Untuk mendapatkan deskripsi topografi
dasar laut dipergunakan perangkat ELAC scientific
Ekplorasi sumberdaya ikan laut-dalam dengan echosounder 3 dimensi, sedangkan untuk mengetahui
menggunakan trawl laut-dalam yang mampu dioperasikan keberadaangerombolan ikan di pergunakanfish finderKODEN.

Gambar 1. Lokasi stasiun trawl di perairan Sangihe dan Talaud


Figure 1. Trawl survey stations around Sangihe and Talaud islands.

150
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Hasil tangkapan dari setiap stasiun penangkapan salah satu jenis ikan dasar yang populer di pasar ikan
disortir sampai spesies atau kelompok spesies, kemudian Jepang dan Eropa. Harga di pasar Tsukiji Jepang pada
ditimbang, dihitung dan dicatat pada fishing log sheet. tahun 2010 mencapai Rp. 90.000- 100.000 / kg. Dilaporkan
Identifikasi jenis ikan dilakukan berdasarkan referensi dari tangkapan ikan tersebut sebesar 14.200 ton namun pada
Nakabo (2002a), Nakabo (2002b), FAO (1998), Gloerfelt- tahun 2007 tercatat hanya mencapai 6.900 ton (Norse et
Tarp &Kailola (1984) dan OFCF-BRKP (2006). al., 2011). Secara umum Beryx splendens hidup secara
bergerombol dalam jumlah besar. Ditemukannya jenis ikan
HASIL DAN BAHASAN ini di perairan utara Pulau Talaud mengindikasikan bahwa
di wilayah perairan utara Talaud terdapat sumberdaya
HASIL Beryx splendens yang masih baru dan belum pernah
dimanfaatkan sebelumnya.
Komposisi Hasil Tangkapan
Disamping Beryx splendens ditemukan pula jenis ikan
Hasil tangkapan yang diperoleh dari 6 stasiun trawl yang memiliki nilai ekonomis tinggi namun tidak
sebanyak 235 individu terdiri dari ikan 155 individu bergerombol yaitu Chimaera phanthasma. Chimaera atau
(65,96%), krustasea 63 individu (26,81%) dan cephalopoda juga dikenal juga sebagai ghost shark juga ditemukan di
17 individu (7,23%). Dari 155 ikan laut-dalam yang Samudera Hindia seperti Chimaera hydrolagus.
diperoleh terdiri dari 53 spesies yang termasuk 32 Chimaera phantasma dikenal tersebar luas di barat laut
famili.(Gambar 2 dan Tabel 1). Beberapa jenis ikan demersal Pasifik yang termasuk kepulauan Jepang, Filipina, Korea,
laut-dalam disajikan pada Lampiran 1. China (Dagit, 2006); Taiwan (Shao & Hwang, 1997);
sebelah selatan Samudera Pasifik, New Caledonia,Australia
dan Selandia Baru (Didier & Sret, 2002). Jenis ikan lainnya
yang ditemukan pada habitat ini adalah jenis Setarches
guentheri dari family Scorpaenidae. Ikan ini memiliki nilai
ekonomis dengan harga mencapai Rp. 25.000-30.000/Kg
dipasar internasional Thailand (Satria, 2009). Di daerah ini
juga ditemukan ikan ikan karang lainnya dari famili
Triacanthodidae jenis Atrophocanthus japonicus. Jenis
ikan ini diketahui hidup bergerombol namun sampai saat
ini diketahui tidak diperdagangkan untuk keperluan
Gambar2. Proporsi hasil tangkapan ikan, crustacea dan konsumsi manusia.
cephalopoda di area survei
Figure 2. Catch proportion of fishes, crustaceans, and Perairan Sebelah Barat Pulau Kawio (Stasiun 3)
cephalopods in survey area
Perairan sebelah barat Pulau Kawio berkarakteristik
Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh grup ikan unik dengan adanya aktivitas hydrothermal vents dan
demersal (22 famili), kemudian grup ikan mesopelagis dan gunung berapi bawah laut yang menjulang 3.800 meter
krustasea (masing masing 9 famili), dan Cephalopoda (6 dari dasar laut. Umumnya daerah dengan hydrothermal
famili) (Tabel 1). Dari 7 stasiun yang direncanakan hanya vents memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
6 stasiun yang dapat dilakukan karena pada stasiun 5 Hasil tangkapan trawl di wilayah ini banyak diperoleh jenis
terdapat kerusakan pada trawl yang digunakan. Bentuk ikan mesopelagis dari famili Sternoptychidae (Polyipnus
topografi dasar laut disajikan pada Lampiran 2. stereope dan Argyropelecus affinis), Chauliodontidae
(Chauliodus sloani), Myctophidae (Cerastoscopelus
BAHASAN warmingii, Taaningichthys minimus dan Myctopidae sp.).
Ikan mesopelagis memiliki peran penting sebagai sumber
Perairan Sebelah Utara Pulau Talaud (Stasiun 1 dan 2) makanan bagi kelompok ikan dengan tropik level yang
lebih tinggi (Wang & Chen, 2001). Jenis ikan layur laut
Topografi perairan sebelah utara Pulau Talaud berbukit dalam juga ditemukan di wilayah ini yaitu Benthodesmus
bukit dengan substrat dasar keras dan berkarang. Pada tenuis. Jenis ini tidak begitu populer dibandingkan dengan
lokasi ini ditemukan jenis ikan demersal laut-dalam yang jenis ikan layur lainnya seperti Trichiurus lepturus dan
memiliki nilai ekonomis penting Beryx spendens Trichiurus savala yang banyak ditemukan di perairan
(Alfonsino) dari family Berycidae. Jenis ikan ini merupakan dangkal.

151
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Tabel 1. Hasil tangkapan ikan laut-dalam menurut famili di perairan Sangihe dan Talaud, Juli Agustus 2010.
Table 1. Deep sea fishes cacth grouped by family from 6 statiun of the Sangihe and Talaud waters, July August 2010.

Hasil Tangkapan (Ekor)


Famili Species STA-1 STA-2 STA-3 STA-4 STA-6 STA-7 TOTAL
Acropomatidae Synagrops japonicus 14 - - - - - 14
Synagrops philipinensis 1 - - - - - 1
Alepocephalidae Rouleina guentheri - - - 3 - - 3
Berycidae Beryx splendens 2 - - - - 3 5
Caesionidae Pterocaesio sp 1. - 2 - - - - 2
Pterocaesio sp 2. - 2 - - - - 2
Cepolidae Owstonia sp. - 1 - - - - 1
Chaulidontidae Chauliodus sloani 6 - 1 1 3 1 12
Chaunacidae Chaunax sp. 8 - - - - - 8
Chiasmodontidae Chiasmodontidae sp - - - - 1 - 1
Chimaeridae Chimaera phantasma 1 - - - - - 1
Chloropthalmus acutifrons 1 - - - - - 1
Chloropthalmidae Chloropthalmus nigromarginatus 9 - - - - - 9
Congridae Ariosoma shiroanago 3 - - - - - 3
Giganthiidae Symphysanodon sp 1. - 1 - - - - 1
Symphysanodon sp 2. - 1 - - - - 1
Gonostomatidae Gonostomatidae sp - - - 1 - - 1
Grammicolepididae Xenolepidichtys dalgleishi - - - - - 4 4
Lophiidae Lophiodes mutilus 1 - - - - - 1
Macrouridae Abyssicola macrochir - - - 1 - - 1
Glyptophidium sp - - - 1 - - 1
Hymnocephalus papiraceus - - - 2 - - 2
Macrouridae sp - - - 1 - - 1
Malacocephalus sp 10 - - 1 - - 11
Nezumia propingua - - - 1 - - 1
Pseudonezumia cetonuropsis - - - 1 - - 1
Squalogadus inflaticeps - - - - 1 - 1
Trachonurus villosus - - - 1 - - 1
Muraenosocidae Muraenosox cinereus 1 - - - - - 1
Myctophidae Cerastoscopelus warmingii - - 2 - - - 2
Taaningichthys minimus - - 7 - - - 7
Myctophidae sp 1 - 2 - - - 3
Nemipteridae Scolopsis s p. - 1 - - - - 1
Parascolopsis sp. - 2 - - - - 2
Neoscopelidae Neoscopelus macrolepidatus - - - - - 2 2
Neoscopelus porosus - - - - - 2 2
Ogcocephalidae Halimectus reticulates 1 - - - - - 1
Ophidiidae Glyptophidium japonicum 2 - - - - 7 9
Lamprogrammus niger - - - 1 1 - 2
Lamprogrammus sp, - - - 1 - - 1
Monopitopus kumae 3 - - - - - 3
Paralepididae Stemonosudis sp. 2 - - - - - 2
Plesiobatidae Plesiobatis daviesi 1 - - - - - 1
Pleuronectidae Poecilopsetta praelonga 1 - - - - - 1
Poecilopsetta sp. 1 - - - - - 1
Rhinochimaeridae Rhinochimaera Africana - - - 1 - - 1
Scorpaenidae Setarches guentheri - 1 - - - - 1
Setarches longimanus - - - - - 1 1
Serrivomeridae Serrivomer sector - - - - 1 - 1
Sternoptychidae Argyropelecus affinis - - 1 - - - 1
Polyipnus stereope - - 4 - - - 4
Sternoptyx obscura - - - - 3 - 3
Sternoptyx pseudobsura - - - 2 - - 2
Trachichthyidae Atrophacanthus japonicas - 5 - - - - 5
Hoplostethus crassispinus - - - - - 1 1
Trichiuridae Benthodesmus tenuis 1 - 2 - - - 3
JUMLAH 70 16 19 19 10 21 155

152
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Perairan Sebelah Utara Pulau Sangihe (Stasiun 4) jenis ikan dari famili Trachichthyidae yaitu jenis
Hoplostethus crassispinus (red roughy). Ikan dari famili
Topografi dasar perairan sebelah utara pulau Sangihe Trachichthyidae dengan jenis yang sudah dikenal yaitu
sangat unik dengan beberapa puncak bukit yang luas dan Hoplostethus atlanticus (orange roughy) banyak terdapat
datar pada kedalaman antara 400 - 600 m. Pada wilayah ini di perairan selatan Australia dan sekitar New Zealand.
diperoleh jenis ikan Lamprogrammus niger dari famili Perikanan komersial orange roughy telah berlangsung
Ophiididae dan beberapa jenis ikan macrouridae. Kedua sejak tahun 1970 dan pada tahun 1980 mencapai lebih dari
famili tersebut biasanya hidup bergerombol dalam jumlah 100.000 ton/tahun. Pada saat ini hasil tangkapan
yang sangat besar. Survei trawl laut-dalam dengan KR. menunjukkan tren yang menurun dan telah overfished
Baruna Jaya IV di perairan selatan Cilacap diperoleh (Norse et al., 2011) . Satria (2009) menginformasikan
Lamprogrammus niger sebesar 1,5 ton dalam satu kali Hoplostethus rubellopterus ditemukan di perairan barat
hauling (OFCF-BRKP, 2006). Ikan dari famili Ophidiidae Simeulue (Barat Sumatera) pada kedalaman 500 800 m
dan Macrouridae merupakan jenis ikan yang penting dan dalam densitas (CPUA) yang cukup besar yaitu sekitar 3-
dapat digunakan sebagai bahan baku surimi di Rusia dan 17 ton/km2. Hoplostethus rubellopterus yang berasal dari
Jepang. Di Indonesia jenis ikan ini belum pernah terlihat Indonesia pertama kali yang dipasarkan di Phuket Thailand
diperjual belikan dan merupakan sumberdaya ikan yang pada tahun 2009 dengan harga Rp. 23.000-25.000/kg.
baru. Selain jenis ikan yang berkarakter bergerombol dalam Hoplostethus crassispinus (red roughy) merupakan
jumlah besar, di lokasi ini juga tertangkap Jenis ikan laut- sumberdaya ikan yang baru ditemukan di perairan ini dan
dalam yang langka serta termasuk ikan purba yaitu berkarakter bergerombol dalam jumlah besar.
Rhinochimaera africana.
KESIMPULAN
Perairan Sebelah Barat Pulau Siau (Stasiun 6)
1) Kontur topografi dasar laut Kepulauan Sangihe dan
Topografi dasar perairan di sebelah barat pulau Siau Talaud berupa perbukitan dengan dengan kedalaman
berbukit-bukit sehingga sulit untuk mengoperasikan trawl antara 300 3.000 m. Ditemukan juga beberapa aktivitas
dengan kisaran kedalaman antara 300 3.000 m. Percobaan hydrothermal vents dan gunung berapi bawah laut
penangkapan dengan trawl diperoleh gambaran adanya yang masih aktif di sekitar kepulauan tersebut
komunitas ikan demersal laut-dalam yaitu jenis 2) Jenis ikan laut-dalam di perairan Sangihe Talaud terdiri
Lamprogrammus niger yang merupakan ikan dari famili dari 53 spesies yang termasuk ke dalam 32 famili.
Ophidiidae dengan ukuran yang lebih besar (56 cmTL). Beberapa jenis ikan demersal laut-dalam yang memiliki
Selain itu ditemukan pula spesies langka Squalogadus nilai ekonomis antara lain Beryx splendens,
inflaticeps (48 cmTL). Genus Squalogadus terdiri dari dua Hoplostethus crassispinus, Lamprogrammus niger,
spesies yaitu Squalogadus modificatus dan Squalogadus Setarches guentheri dan Xenolepidyhtis dalgleishi.
inflaticeps. Daerah penyebaran kedua jenis ikan ini Jenis ikan tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan dan
diketahui sampai kedalaman 5.300 m (Cohen et al., 1990). diketahui memiliki sifat bergerombol dalamjumlah besar.
Kelompok ikan mesopelagis dari famili Sternoptycidae, 3) Ikan mesopelagis ditemukan berukuran kecil dari famili
Chaulidontidae dan Chiasmodontidae khususnya jenis Sternoptycidae (Polyipnus stereope dan
Sternoptyx obscura, Caulidus sloani dan Argyropelecus affinis), Chaulidontidae (Chauliodus
Chiasmodontidae sp merupakan jenis yang ikan sloani), Chiasmodontidae, dan Myctophidae
mesopelagis yang tertangkap dan dapat diketahui (Cerastoscopelus warmingii, Taaningichthys
terdistribusi di perairan barat Pulau Siau. minimus, dan Myctopidae sp.) Keberadaan ikan
mesopelagis kecil di perairan utara Sulawesi
Perairan Sebelah Utara Pulau Bunaken (Stasiun 7) mengindikasikan perairan yang produktif dan berperan
sebagai sumber makanan bagi tropik level yang lebih
Perairan di sebelah utara pulau Bunaken terdapat tinggi.
gunung bawah laut yang cukup besar, dimana di sekitar 4) Di perairan sekitar gunung bawah laut sebelah utara
sisi punggungnya merupakan habitat ikan demersal Bunaken terdapat habitat dari ikan famili Trachichthyidae
dengan membentuk schooling ikan yang cukup besar. yaitu jenis Hoplostethus crassispinus (red roughy) dan
Hasil penelitian lainnya mengemukakan di sekitar gunung Berycidae yakni Beryx splendens (Alfonsino).
bawah laut di barat Banda Aceh ditemukan ikan jenis
Hoplostethus rubellopterus dalam jumlah yang sangat PERSANTUNAN
besar (Satria, 2009). Selain itu pada gunung bawah laut
juga ditemukan jenis-jenis ikan yang endemis (Allain, Tulisan ini adalah bagian dari kontribusi penulis dalam
2006). Perairan di sebelah utara Bunaken juga merupakan kegiatan INDEX-SATAL 2010 (Indonesia-USA Deep-sea
habitat Beryx splendens. Pada lokasi ini juga tertangkap Exploration of the Sangihe Talaud Region) pada bulan
Juli Agustus 2010.

153
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

DAFTAR PUSTAKA Didier, D.A & B. Sret. 2002. Chimaeroid fishes of New
Caledonia with description of a new species of
Allain, V. 2006.Seamounts and pelagic fisheries Hydrolagus (Chondrichthyes, Holocephali).Cybium.
interactions under study. SPC Fisheries Newsletter 2002. 26(3): 225 233.
#116 January/March 2006.
FAO. 1998. Species Identitification Guide for Fishery
Badrudin., Wudianto., Wiadnyana, N.N & S. Nurhakim. Purposes Volume 1 to 6.Food and Agricultural
2006. Deep-sea fish resources diversity and potential Organisation of the United Nation, Rome.
in the waters of Western Sumatera of the Eastern
Indian Ocean. Ind.Fish.Res.J.Vol.13(1): 113-127. FAO, 2008.Report of the FAO workshop on vulnerable
ecosystems and destructive fishing in deep-sea
Badrudin., Suman,A & Awwaludin. 2007. Size distribution fisheries. Rome. 26-29 June 2007. FAO Fisheries
and maturity of the slimeheads Report. No.829: 18 p.
(Hoplostethuscrassispinus) in the deep-sea around
Simelue Island, Western Sumatra, Eastern Indian Gloerfelt-Tarp, T. & P.J. Kailola. 1984. Trawled Fishes of
Ocean. Ind.Fish.Res.J. Vol.12 (2): 9-13. Southern Indonesia and Northern Australia.The
Directorate General of Fisheries. Indonesia. 406 p.
Badrudin., Nugroho, D & A. Suman. 2007. The most
abundance and very rare species in the deep-sea fish Lack, M., Short, K. & A. Willock. 2003. Managing risk and
community in the Western Sumatera, Eastern Indian uncertainty in deep-sea fisheries: lessons from Orange
Ocean. Ind.Fish.Res.J. Vol.12 (2): 17-30. Roughy. TRAFFIC Oceania and WWF Endangered
Seas Programme.
Carpenter, K. E. & V. H. Niem (eds). 1998. FAO species
identification guide for fishery purposes. The living Manini, E., Luna, G.M., Corinaldesi, C. Zeppilli, D.,
marine resources of the Western Central Pacific. Bortoluzzi, G., Caramanna, G., Raffa, F. & R. Danovaro.
Volume 1 6. Rome, FAO. 4218 p. 2007. Prokaryote diversity and virus abundance in
shallow hydrothermal vents of the Mediterranean Sea
Clark, M. 2008. Resource management, Seamount fisheries: (Panarea Island) and the Pasific Ocean (North
understanding the impacts of trawling. Water & Sulawesi-Indonesia). MicrobEcol (2008) 55: 626-639.
Atmosphere 16(2): 16-17.
Nakabo, T. 2002. Fishes of Japan, with pictoralkeys to
Clark, M. 2009. Deep-sea seamount fisheries: a review of the species.English edition I and II. Tokay Univ. Press.
global status and future prospects. Lat. Am. J.Aquat. Tokyo: 1749 p.
Res. 37(3): 501-502.
Norse, E.A., William, S.B., Cheung, W.L., Clark, M.R.,
Cohen, D.M., Inada, T., Iwamoto, T & N. Scialabba. 1990. Ekeland, I., Froese, R., Gjerde, K.M., Haedrich, R.L.,
FAO species catalogue, Vol. 10. Gadiform fishes of the Heppell, S.S., Morato, T., Morgan, L.E., Pauly, D.,
world (Order Gadiformes).An annotated and illustrated Sumaila, R. & R. Watson. 2012. Sustainability of deep-
catalogue of cods, hakes, grenadiers and other sea fisheries. Marine Policy 36: 307320.
gadiform fishes known to date. FAO Fisheries
Synopsis. Vol. 10 (125). Rome. FAO.442 p. OFCF-BRKP. 2006. The Japan Indonesia deep-sea fishery
resources joint exploration project (report of 2004 field
Dalyan, C & L. Eryilmaz. 2008. A new deepwater fish, survey). Overseas Fisheries Cooperation Foundation
Chauliodussloani Bloch & Schneider, 1801 Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
(Osteichthyes: Stomiidae), from the Turkish waters of
Levant Sea (Eastern Mediterranean). J. Black Sea/ Satria, F. 2009. Karakteristik sumberdaya, peluang dan pola
Mediterranean Environment Vol.14: 33-37. pemanfaatan ikan demersal laut-dalam. Disertasi
Doktor Fakultas Pasca Sarjana Teknologi IPB, Bogor.
Dagit, D.D. 2006. Chimaera phantasma. In: IUCN 164 p.
2010.IUCN Red List of Threatened Species. Version
2010.2.<www,iucnredlist,org>. Diunduh pada Shao, K.T. & D. F. Hwang. 1997. Rhinochimaerapacifica
tanggal18 August 2010. (Chimaeriformes, Rhinochimaeridae): the first
Rhinochimaerid recorded from Taiwan.
ActaZoologicaTaiwanica 8(2): 97-102.

154
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Sumiono, B. 2006. Penyebaran dan aspek biologi ikan laut- Utami, P., Browne, P.R.L., Simmons, S.F. & Suroto. 2005.
dalam Lamprogrammus niger (famili Ophidiidae) di Hydrothermal alteration mineralogy of the Lahendong
perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa. geothermal system. North Sulawesi: A progress report.
Prosiding Seminar Nasional IV Jatiluhur, 29-30 Proceedings 27th Geothermal Workshop 2005.
Agustus 2006.
Wang, J.T.M. & C.T. Chen. 2001. Areview of lanternfishes
Suprapto, 2008. Komposisi jenis, distribusi, dan kepadatan (families: Myctophidae and Neoscopelidae) and their
stok ikan ekor tikus (Macrouridae) di perairan laut- distributions around Taiwan and the Tungsha Islands
dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia Samudera with notes on seventeen new records. Zoological
Hindia. J.Lit.Perikan.Ind. Vol.14 (4):403-404. Studies 40(2): 103-126

155
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Lampiran 1. Beberapa jenis ikan laut dalam di wilayah perairan Sangihe Talaud
Appendix 1. Some of deep-sea fishes recorded around Sangihe Talaud Waters.

Nama : Beryx splendens


Deskripsi : Duri keras sirip dorsal berjumlah 4; Duri lunak sirip dorsal berjumlah: 13-16; Duri keras pada sirip
anus: 4; duri lunak sirip anus: 26 - 30. Pada tulang infraorbital pertama terdapat duri yang tumbuh menyamping ke ujung
anterior. Gurat sisi badan memanjang sampai ke sirip caudal. Pada bagian wajah dalam terdapat bagian pipih berdaging
yang bersisik dengan cakram yang agak tebal. Pada ikan muda, duri kedua dari sirip dorsal tumbuh memanjang, dengan
1 duri keras dan 17 duri lunak sedangkan sirip pectoral mempunyai satu duri keras dan 17 duri lunak.

Nama : Hoplostethus crassispinus


Deskripsi : Terdapat 6 Duri keras Punggung dan 13 duri lunak; pada bagian anus terdapat 3 duri keras dan 9
sampai 10 duri lunak; pada bagian pectoral terdapt 16 sampai 17 duri lunak; dan gurat sisi mempunyai 27 sampai 29 sisik
(D VI,13; AIII,9 sampai 10; P 16 to 17; LL 27 sampai 29) (Nakabo, 2002). Bentuk tubuh cukup lebar, cukup pipih. Ukuran
kepala besar dihiasi dengan tulang tipis membentuk canal disekitar operculum.

Nama : Lamprogrammus niger


Deskripsi : Duri sirip dorsal (total): 0; Duri lunak sirip dorsal (total): 105-115; Duri sirip anal: 0; Duri lunak sirip
anus: 84 91.

156
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Nama : Chimaera Phantasma


Deskripsi : Moncong pendek dan gilig. Sirip dorsal pertama tegak dengan sebuah duri yang menonjol; sirip
dorsal kedua panjang dan melambai ke bawah. Kolom vertebral memanjang lurus sampai ke ujung, sirip caudal terbagi
secara simetris. Sirip anal menjadi satu dengan sirip caudal pada jenis Hydrolagus.

Nama : Squalogadus inflaticeps


Deskripsi : Lingkaran di sekitar mata (Orbit) kecil, hanya 10% dari panjang kepala, terdapat di depan mulut yang
berukuran kecil dan inferior. Chin barbel tidak ditemukan. Insang pertama bercelah dan tidak dibatasi oleh lipatan
membran kulit, bagian luar gill rakers panjang dan ramping. Duri lunak pada branchiostegal berjumlah 7. Anus terletak
sebelum sirip anal. Ekor berbentuk seperti sabuk. Sirip Anal panjang, dan tidak berkembang. Sirip pelvic tidak ditemukan.
tidak terdapat organ cahaya.

157
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

Lampiran 2. Topografi dasar wilayah perairan Sangihe Talaud.


Appendix 2. Bottom topography around Sangihe Talaud Waters.

1. Bagian utara Pulau Talaud

2. Bagian utara Pulau Sangihe

158
F. Satria., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 149-159

3. Bagian barat Pulau Siau

4. Bagian utara Pulau Nain

159
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

STUKTUR UKURAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares)


YANG TERTANGKAP PANCING ULUR DI SEKITAR RUMPON
SAMUDERA HINDIA SELATAN BALI DAN LOMBOK
SIZE STRUCTURE OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares)
CAUGHT BY HANDLINE IN AROUND OF FISH AGGREGATION DEVICES
IN THE INDIAN OCEAN OF SOUTH BALI AND LOMBOK

Noor Muhammad danAbramBarata


Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali
Teregistrasi I tanggal: 19 Oktober 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 3 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 4 Desember 2012

ABSTRAK

Ikan madidihang (Thunnus albacares) merupakan hasil tangkapan utama yang banyak tertangkap di perairan
sekitar rumpon laut dalam. Ikan madidihang termasuk kelompok ikan yang senang berasosiasi dengan rumpon.
Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan
yang lebih besar untuk tujuan makan. Adanya variasi penyebaran ikan tuna berdasarkan jenis dan ukuran sangat
menentukan penggunaan spesifikasi alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang dilakukan di Pangkalan Pendaratan
Ikan Kedonganan-Bali mulai bulan April sampai Nopember 2009, bertujuan untuk mengetahui distribusi ukuran
panjang, hubungan panjang dan bobot dan ukuran pertama kali tertangkap tuna madidihang di perairan sekitar
rumpon Samudera Hindia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan madidihang yang tertangkap di perairan sekitar
rumpon memiliki kisaran ukuran panjang antara 81-170 cmFL, dengan pola pertumbuhannya bersifat allometrik
positif dan ukuran panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap dengan pancing ulur adalah 126,7 cmFL. Ikan
madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia didominasi oleh ikan yang pernah mengalami
matang gonad atau diduga pernah melakukan pemijahan.

KATA KUNCI: Struktur ukuran, madidihang, rumpon, Samudera Hindia

ABSTRACT:

Yellowfin tuna (Thunnus albacares) are the main catches of hand line which fished around rumpon (FAD).
Yellowfin tuna is one of fish species that associated with rumpon. Rumpon is a device to aggrate plankton and other
small fish, to attract the higher tropic level as part of its prey. The variation of distribution of tuna could determine
the use of which fishing gear will be operated. A research conducted at the fish landing place at Kedonganan-Bali
from April to November 2009, to obtain data and information about the size stucsture, length and weight relationships,
size of first capture of yellowfin tuna that caught around fish aggregation devices. The results showed that yellowfin
tuna caught around rumpon ranged between 81-170 cmFL, the pattern of growth is positive allometric and length
at first capture of yellowfin tuna caught by handline was 126,7 cmFL. Yellowfin tuna were caught around rumpon
waters in the Indian Ocean are dominated by mature fish or fish that had spawned.

KEY WORDS: Size structure, yellowfin tuna, fish aggregation device, Indian Ocean

PENDAHULUAN kapal-kapal berskala industri menggunakan alat tangkap


rawai tuna (tuna longline) sedangkan pada perikanan skala
Ikan madidihang atau ikan tuna sirip kuning (yellowfin kecil menggunakan pancing ulur (hand line) yang
tuna) termasuk ke dalam famili Scombridae dan merupakan beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Pesatnya
kelompok ikan tuna yang hidup tersebar di perairan tropis. perkembangan nelayan pancing ulur yang beroperasi di
Ikan madidihang hidup di dekat pantai maupun di laut sekitar rumpon laut dalam, berkaitan erat dengan tingginya
lepas dan dapat ditangkap dengan berbagai alat tangkap permintaan ikan tuna berukuran besar (>10 kg) di pasar
seperti tuna longline, purse seine, handline dan gill net. lokal maupun internasional. Industri pengolah ikan tuna
Pada umumnya, pelaku usaha penangkapan tuna yang mempunyai peran penting dalam pemasaran ikan tuna
berkembang di kawasan Samudera Hindia selatan Jawa, karena semua ikan tuna hasil tangkapan nelayan pancing
Bali dan Nusa Tenggara adalah kapal-kapal komersial ulur dapat ditampung. Jenis ikan madidihang merupakan
berskala industri dan perikanan skala kecil (Mertha et al., hasil tangkapan utama dari nelayan pancing ulur yang
2003). Untuk menangkap ikan tuna yang berukuran besar, beroperasi di perairan sekitar rumpon laut dalam.

Korespondensi penulis:
Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali
Jl. Raya Pelabuhan Benoa-Denpasar Selatan-80223 161
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

Rumpon laut dalam juga disebut Fish Aggregation Analisis Data


Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang
berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu Hubungan panjang dan bobot ikan dianalisis dengan
catchable area (Sudirman &Mallawa, 2004). Dengan model persamaan Hile, (1936) dalam Effendie, (2002)
memasang rumpon maka nelayan lebih pasti dan efisien sebagai berikut :
dalam menentukan daerah penangkapannya. Mereka
dapat langsung menuju ke lokasi rumpon terpasang dan W = a FLb ................ (1)
tidak perlu mencari daerah penangkapan ikan lainnya.
Dengan diketahuinya daerah penangkapan secara pasti Keterangan :
maka nelayan akan lebih menghemat pemakaian bahan W = bobot ikan (kg)
bakar. Pemasangan rumpon laut-dalam dengan tujuan FL = panjang cagak ikan (cm)
membantu pengembangan usaha perikanan tuna skala kecil a dan b = konstanta
sudah banyak dilakukan di perairan Samudera Hindia
selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola
pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang
Informasi terkait dengan struktur ukuran dan hubungan diperoleh digunakan untuk menentukan pola
panjang bobot ikan sangat diperlukan untuk pengkajian pertumbuhan dengan kriteria :
stok sumber daya ikan tuna. Hubungan panjang bobot
digunakan untuk mendeterminasi bobot dan biomassa 1. Jika b = 3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu
apabila hanya ukuran panjang yang diperoleh dan dapat pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan
digunakan sebagai indikasi perbandingan parameter bobot.
pertumbuhan dari daerah yang berbeda. Menurut Mertha 2. Jika b > 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik
(1993) analisis hubungan panjang-bobot dimaksudkan positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat dari
untuk mengukur variasi bobot harapan untuk panjang pertambahan panjang.
tertentu dari ikan secara individual atau kelompok- 3. Jika b < 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik
kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari
kegemukan, kesehatan, perkembangan gonad dan pertambahan bobot.
sebagainya. Informasi tentang ukuran ikan pertama kali
tertangkap (length at first capture) juga merupakan hal Pendugaan ukuran ikan pertama kali tertangkap
penting sebagai bahan kajian pengelolaan sumber daya menggunakan persamaan Kerstan (1985), seperti berikut :
ikan agar tetap lestari dan berkesinambungan.
Y(%) = [100/(1+a*e^-b*x)] .....................(2)
Tulisan ini menyajikan informasi tentang distribusi
ukuran panjang, hubungan panjang bobot dan ukuran Dimana :
pertama kali tertangkap ikan madidihang. Penelitian Y(%) = proporsi tertahan pada setiap titik kelas panjang
didasarkan data yang dikumpulkan dari armada pancing (Lc)
ulur yang menangkap ikan tuna di perairan sekitar rumpon a = koefisien intersep
yang dipasang di Samudera Hindia selatan Bali sampai b = kemiringan (slope)
Lombok dan mendaratkan hasil tangkapannya di e = eksponensial
Kedonganan, Bali. x = nilai tengah kelas panjang

BAHANDANMETODE HASIL DAN BAHASAN

Pengumpulan Data HASIL

Pengumpulan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Sebaran Frekuensi Panjang


Ikan Kedonganan, Kabupaten Badung - Bali, mulai bulan
April sampai Nopember 2009 dengan menggunakan Hasil pengukuran panjang cagak (FL) ikan madidihang
metode sampling acak. Data yang dikumpulkan meliputi yang tertangkap pada bulan April sampai Oktober 2009
ukuran panjang dan bobot ikan madidihang hasil memperlihatkan kisaran 81-170 cmFL (Gambar 1). Bobot
tangkapan armada pancing ulur yang beroperasi di ikan madidihang mempunyai kisaran 6-73 kg. Ikan
perairan sekitar rumpon yang dipasang di Samudera madidihang banyak tertangkap pada kisaran panjang 136
Hindia selatan Bali sampai Lombok. Pengukuran panjang 150 cmFL pada bulan April sampai Juni, sedangkan pada
cagak (fork length) setiap individu ikan menggunakan bulan Juli sampai Oktober banyak tertangkap pada kisaran
kaliper dengan ketelitian 0,5 cm sedang bobot diukur dalam panjang antara 126 -130 cmFL.
kg dengan menggunakan timbangan manual.

162
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

Gambar 1. Distribusi panjang cagak ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan sekitar rumpon dan
didaratkandi Kedonganan, April-Oktober 2009.
Figure 1. Fork length frequency distributions of yellowfin tuna caught by handline in the around of FAD and
landedat Kedonganan, April-October 2009.

Ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur dan kecil atau keragaman sebaran data tersebut semakin
didaratkan di Kedonganan, Bali pada bulan April sampai homogen. Ukuran panjang ikan madidihang yang
Juni menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap berukuran tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia
besar (Tabel 1). Analisis simpangan baku terhadap nilai selatan Bali sampai Lombok menunjukkan perbedaan tidak
panjang rata-rata ikan madidihang setiap bulan, diperoleh signifikan setiap bulannya. Secara keseluruhan panjang
nilai (s) = 10,14. Hal ini menunjukkan pergeseran bulanan rata-rata ikan madidihang yang tertangkap dengan
ukuran ikan yang tertangkap dengan nilai simpangan relatif pancing ulur di perairan sekitar rumpon adalah 129,28 cmFL.

Tabel 1. Rata-rata panjang cagak ikan madidihang yang didaratkan di Kedonganan, April-Oktober 2009.
Table 1. Average of fork length of yellowfin tuna landed at Kedonganan, April-October 2009.

Bulan Jumlah contoh/ Panjang Minimum/ Panjang Maksimum/ Panjang Rata-rata/


Month Total sample Minimum length Maximum length Average length
(ekor) (cm) (cm) (cm)
April 148 109 161 139.73
Mei 431 85 170 139.25
Juni 330 77 170 140.64
Juli 45 84 167 128.82
Agustus 95 85 162 118.80
September 56 90 158 125.26
Oktober 19 81 142 116.78

163
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

Hubungan Panjang dan Bobot pertumbuhan ikan madidihang bersifat allometrik positif
yaitu pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan
Analisis hubungan panjang dan bobot terhadap 1.124 panjangnya.
ekor ikan madidihang diperoleh persamaan W = 6x10-6
FL3,1881 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9551. Nilai Ukuran Ikan Pertama Kali Tertangkap
ini menunjukkan bahwa korelasi antara panjang dan bobot
ikan sangat signifikan (Gambar 2). Berdasarkan hasil uji- Hasil perhitungan diperoleh ukuran pertama kali
t terhadap parameter b pada selang kepercayaan 95 % tertangkap (Lc) ikan madidihang yang tertangkap pancing
(a=0,05), diperoleh t hit<t tabel (b>3) yang artinya pola ulur adalah126,7 cmFL (Gambar 3).

Gambar 2. Hubungan panjang bobot ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur di perairan sekitar rumpon,
April-Oktober 2009.
Figure 2. Length and weigth relationship of yellowfin tuna caught by handline in the around of FADs, April-
October 2009.

Gambar 3. Ukuran pertama kali ikan madidihang tertangkap (Lc) dengan pancing ulur di perairan sekitar rumpon, April-
Oktober 2009
Figure 3. Length at first capture (Lc) of yellowfin tuna caught by handline in the around of FADs, April-October
2009.

164
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

BAHASAN pertumbuhan bobot lebih cepat dari panjangnya. Rumpon


merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan
Menurut Sivasubramanium, (1965) dalam kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih
Sumadhiharga, (2009), menyatakan bahwa pada kisaran besar untuk tujuan feeding (Sudirman & Mallawa, 2004).
panjang 125-137 cmFL, umur ikan madidihang diperkirakan Menurut Hunter & Mitchel, (1968) ikan bergerombol di
mencapai 3 tahun. Pada saat ikan berumur sekitar 4 tahun perairan sekitar rumpon terutama berfungsi sebagai tempat
ikan madidihang mencapai ukuran panjang 137-145 cmFL. berlindung dari predator, namun beberapa kasus justru
Berdasarkan kriteria tersebut maka ikan madidihang yang sarana ketertarikan ikan tuna bergerombol di sekitar
tertangkap di perairan sekitar rumpon Samudera Hindia rumpon untuk mencari mangsa jenis ikan kecil. Hasil
selatan Jawa sampai Lombok diperkirakan berumur 3-5 penelitian terhadap jenis makanan ikan madidihang yang
tahun. Hasil penelitian Babaran, (2006), menunjukkan tertangkap di perairan sekitar rumpon menunjukkan bahwa
ukuran panjang ikan madidihang yang tertangkap dengan sebagian besar jenis makanannya adalah ikan berukuran kecil
pancing ulur di sekitar rumpon perairan Teluk Moro seperti ikan layang, cumi-cumi dan ikan teri (Mardlijah, 2008).
(Filipina) berkisar antara 108 113 cmFL, sedangkan di
perairan Indonesia selatan Jawa, didominasi pada kelas Panjang pertama kali matang gonad ikan madidihang
123-128 cmFL. Selanjutnya Mertha et al. (2006), yang tertangkap di Samudera Hindia berada pada kisaran
menyatakan bahwa ikan madidihang yang tertangkap oleh panjang 100 - 110 cm atau ikan berumur antara 2,5-3,0 tahun
armada pancing ulur di perairan selatan Palabuhanratu (FAO, 2010). Menurut Sivasubramanium, (1965) dalam
berkisar antara 25-119 cm dengan modus 45-48 cm. Sumadhiharga, (2009), pada umumnya di Samudera Hindia,
Banyaknya madidihang berukuran besar yang tertangkap ikan madidihang mulai memijah pada panjang cagak 90 cm
sepanjang April sampai Juni pada penelitian ini atau berumur sekitar 2 tahun. Ikan madidihang di perairan
menunjukkan terjadinya rekruitmen dengan tujuan untuk pantai dapat mencapai matang gonad pada panjang rata-
memijah atau mencari makan. Weda, (1950) dalam Itano, rata yang lebih kecil dari pada ditempat lain
(2000) memperkirakan musim pemijahan tuna madidihang (Anonymous,1992). Hasil penelitian Mardlijah & Patria
di perairan selatan Filipina terjadi pada bulan Mei sampai (2012) bahwa panjang pertama kali matang gonad ikan
Agustus. Pada bulan Juli sampai Oktober menunjukkan madidihang betina yang tertangkap di perairan Teluk
ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Hal ini Tomini adalah 94,8 cmFL. Selanjutnya Zhu et al. (2008),
menjelaskan bahwa dominasi ikan madidihang yang memperkirakan ukuran pertama kali matang gonad pada
berukuran kecil (yuwana tuna) lebih banyak berkumpul di ikan madidihang di Samudera Hindia pada panjang cagak
perairan sekitar rumpon. Selanjutnya Nurhakim & sekitar 100 cm. Dengan demikian, ikan madidihang yang
Suprapto, (2009), menyajikan data produksi yuwana tuna tertangkap di sekitar perairan rumpon Samudera Hindia
madidihang dan mata besar hasil tangkapan pancing ulur selatan Bali sampai Lombok didominasi oleh ikan yang
pada bulan Agustus sampai Oktober yang didaratkan di pernah mengalami pemijahan. Saat ini terdapat beberapa
Kedonganan lebih dominan (82,97 %) bila dibandingkan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
ikan madidihang (17,02 %) yang berukuran besar sebagai tuna di perairan sekitar rumpon laut dalam antara lain purse
hasil tangkapan utama armada pancing ulur. seine, gill net, huhate, pancing tonda dan pancing ulur.
Terkait dengan pengeloaan perikanan tuna di perairan
Besaran nilai b (slope) dalam hubungan panjang bobot sekitar rumpon maka pancing ulur adalah alat tangkap yang
madidihang yang diperoleh adalah 3,1881. Menurut Effedie selektif untuk mengeksploitasi sumber daya ikan tuna
(2002), jika nilai b berada diluar kisaran antara 2,4-3,5 maka dibandingkan dengan alat tangkap seperti gillnet dan
bentuk tubuh ikan diluar batas kebiasaan bentuk ikan purse seine. Penurunan populasi ikan selain disebabkan
secara umum. Hasil penelitian Rohit & Rammohan, (2009), oleh tekanan penangkapan yang berlebih, juga diduga
pola pertumbuhan ikan madidihang yang tertangkap hand karena kerusakan lingkungan tempat tinggalnya,
line di perairan Andhra Coast (India) adalah allometrik penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan cara
positif. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor luar dan penangkapan yang tidak benar (Nuraini & Sumiono, 2008).
faktor dalam. Faktor dalam sulit dikontrol yang meliputi Selanjutnya Balai Riset Perikanan Laut (2011),
keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar menyebutkan bahwa hasil tangkapan yang diperoleh alat
utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan tangkap jaring dan dioperasikan di perairan sekitar rumpon
dan suhu perairan (Effendie, 2002). Pola pertumbuhan ikan umumnya didominasi ikan yang berukuran kecil.
madidihang yang tertangkap di perairan sekitar rumpon Pengembangan usaha penangkapan ikan tuna dengan
Samudera Hindia menggambarkan ikan dalam kondisi pancing ulur di perairan sekitar rumpon adalah tepat karena
gemuk. Faktor makanan yang melimpah di perairan sekitar alat tangkap ini diduga tidak mengganggu kelestarian
rumpon diduga sebagai hal utama yang mempengaruhi sumber daya ikan.

165
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

KESIMPULAN western tropical Pacific ocean: Project Summary


SOEST 00-01, JIMAR Contribution : 328 p.
1. Ikan madidihang yang tertangkap pada bulan April-
Oktober 2009 di perairan sekitar rumpon di Samudera Kerstan, M. 1985. Age, growth, maturity and mortality
Hindia sebelah selatan Bali dan Lombok memiliki estimates of horse mackerel (Trachurus trachurus)
kisaran ukuran panjang cagak (Fc) antara 81-170 cm. from the waters west of Great Britain and Ireland in
2. Pola pertumbuhan ikan madidihang yang tertangkap 1984. Arch. FischWiss. 36 (1/2) : 115-154.
di perairan sekitar rumpon di Samudera Hindia bersifat
allometrik positif. Mardlijah, S. 2008. Analisis isi lambung ikan cakalang
3. Panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap (Lc) (Katsuwonus pelamis) dan madidihang (Thunnus
dengan pancing ulur adalah 126,7 cm FL dan albacares) yang didaratkan di Bitung, Sulawesi Utara,
diperkirakan sebagaian besar ikan pernah mengalami Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi Sumber
pemijahan. Daya dan Penangkapan. 14 (2): 227-235.

PERSANTUNAN Mardlijah, S & M. P. Patria. 2012. Biologi reproduksi ikan


madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Teluk Tomini. Bawal. Pusat Penelitian Pengelolaan
penelitian kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan. Badan
sampingan perikanan tuna di Samudera Hindia ,T.A. 2009 Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Penulis 4 (1): 27-34.
mengucapkan terima kasih kepada para enumerator di Loka
Penelitian Perikanan Tuna Benoa, yang telah membantu Mertha, I. G. S. 1993. Hubungan panjang dan bobot dan
dalam pengumpulan data di Pangkalan Pendaratan Ikan faktor kondisi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker,
Kedonganan, Bali. 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. 73: 35-44.
DAFTAR PUSTAKA
Mertha, I. G. S., K.Susanto & B. I. Prisantoso. 2003.
Anonymous.1992. Report of the second meeting of the Pengkajian stok ikan di Samudera Hindia (WPP 4).
western Pacific yellow fin tuna research Forum Pengkajian Stok Ikan Laut Indonesia. Jakarta,
group.Honolulu. Hawai. 79 p. 23-24 Juli: 13-30.

Babaran, R.P. 2006. Payao fishing and its impacts to tuna Mertha, I.G.S., Nurhuda, M & A. Nasrullah. 2006.
stocks: A preliminary analysis. Paper : Scientific Perkembangan perikanan tuna di Pelabuhanratu.
Committee Second Regular Session. Western and J.Lit.Perikan.Ind. 12 (2 ): 117-127.
Central Pacific Fisheries Commission. FT WP-7. 13 p.
Nurhakim, S. & Suprapto. 2009. Laporan teknis riset;
Balai Riset Perikanan Laut. 2011. Laporan akhir tahun kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan
riset perikanan tangkap di Samudera Hindia. Balai perikanan tuna di Samudera Hindia. Balai Riset
Riset Perikanan Laut. Jakarta. 263 p. Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap.
Jakarta: 29 p.
Effendie, M.I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara.Yogyakarta. Nuraini, S. & B. Sumiono. 2008. Parameter biologi udang
barong di pantai Selatan Pangandaran, Jawa Barat.
FAO. 2010. Biological characteristics of tuna. Text by Prosiding Seminar Nasional Tahunan V. Hasil
Michel Goujon and Jacek Majkowski. In: FAO Penelitian Perikanan dan Kelautan V, Juli 2008. Fakultas
Fisheries and Aquaculture Department. Available Pertanian UGM, BBRP2B-BRKP-DKP, FPIK Unibraw
from: http://www.fao.org/fishery/topic/16082/en . dan FPIK Undip. Yogyakarta : 14 p.
Accessed Feb 24, 2010.
Rohit. P & K. Rammohan. 2009. Fishery and biological
Hunter, J. R. & C. T. Mitchell. 1968. Field experiment on aspect of yellowfin tuna thunnus albacares. Asian
the attraction of pelagic fish to floating object. Jour. Fisheries Science 22: 235-244.
Du Conseil, 31: 427-434.
Sudirman H. &A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan
Itano.D.G. 2000. The Reproductive biology of yellowfin Ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
tuna (Thunnus albacares ) in Hawaiian waters and the

166
N. Muhammad, A. Barata / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 161-167

Sumadhiharga, O.K. 2009. Ikan tuna. Pusat Penelitian Zhu G, Xu L, Zhou Y & Song L. 2008. Reproductive
Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. biology of yellowfin tuna T. albacares in the West-
Jakarta. Central Indian Ocean. Journal of Ocean University of
China (English Edition) 7: 327-332.
Sulistyaningsih, R.K., A. Barata & K. Siregar. 2011.
Perikanan pancing ulur tuna di Kedonganan. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Penelitian
Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya
Ikan. 17 (3) : 185-191.

167
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

PENANGKAPAN JUVENIL IKAN MADIDIHANG


(Thunnus albacares Bonnatere 1788) DI PERAIRAN TELUK TOMINI
FISHING ON JUVENILES OF YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacares BONNATERE
1788) IN TOMINI BAY

Siti Mardlijahdan Enjah Rahmat


Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru - Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 15 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 13 Desember 2012

ABSTRAK

Intensitas penangkapan juvenil ikan madidihang (Thunnus albacares) di Teluk Tomini terutama terjadi sejak
banyaknya beroperasi pukat cincin di perairan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
eksploitasi ikan madidihang juvenil dengan pancing ulur dan pukat cincin di perairan Teluk Tomini. Penelitian
dilakukan pada tahun 2007 dan 2010. Sampel ikan madidihang merupakan hasil tangkapan pancing ulur dan pukat
cincin yang yang beroperasi di rumpon di perairan Teluk Tomini. Hasil tangkapan madidihang juvenil dari pancing
ulur sebesar 88,11%, sedangkan hasil tangkapan ikan madidihang juvenil dengan pukat cincin sebesar 100% (seluruh
hasil tangkapan adalah juvenil ). Panjang pertama kali ikan madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur 31,6 cm
FL dan dengan pukat cincin 30 cm FL. Penangkapan ikan juvenil madidihang terjadi setiap bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sudah terjadi tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap juvenil ikan madidihang.

KATA KUNCI: Juvenil, madidihang, pancing ulur, pukat cincin, Teluk Tomini

ABSTRACT:

The high intensity of yellowfin tuna (Thunuus albacares) juvenils in the Tomini bay has occurred after purse
seine operated in this area. The aim of the research on Exploitation of juvenile yellowfin tuna in Tomini Bay was
to give a clear feature on yellowfin tuna juvenile exploitation by hand line and purse seine in the Tomini Bay. The
research was conducted in 2007 and 2010. All samples of yellow fin tuna were caught by hand line and purse seine
which were operated in the Tomini Bay. The result showed that juvenile yellowfin tuna were caught by hand line was
about 88.11% from the total catch of hand line, while the yellowfin tuna juvenils caught by purse seine was 100%.
Length at first capture of yellowfin tuna by handline and purse seine were 31.6 cm FL and 30 cm. Fishing juvenile
yellowfin tuna occurs every month. Moreover, that condition was showing and giving the indication that the
exploitation of juvenile yellowfin tuna was very high that may endanger their sustainability.

KEYWORDS: Juvenile, yellowfin tuna, hand line, purse seine, Tomini Bay

PENDAHULUAN (2003); dan Morgan, (2011) rumpon mempunyai kontribusi


yang sangat besar terhadap overfishing stok tuna.
Ikan tuna merupakan salah satu sumber daya ikan Meskipun banyak ikan-ikan dewasa yang tertangkap di
ekonomi yang bernilai tinggi. Permintaan pasar terhadap rumpon, seperti ikan cakalang (Katsuwonus pelamis,
ikan tuna yang terus meningkat telah mendorong upaya Scombridae) tetapi dalam waktu bersamaan banyak
penangkapan yang semakin intensif, baik oleh perikanan tertangkap ikan madidihang (Thunnus albacares,
skala kecil maupun skala besar. Di lain pihak, kegiatan Scombridae) dan mata besar (Thunnus obesus,
penangkapan secara ilegal lebih banyak dilakukan oleh Scombridae) berukuran kecil yang belum dewasa atau
kapal-kapal asing terutama yang beroperasi di wilayah belum matang gonad. Ikan cakalang matang gonad dengan
perbatasan. ukuran lebih kecil dibandingkan ikan madidihang dan mata
besar. Ikan cakalang dan tuna bergerombol bersama
Demikian halnya yang terjadi di perairan Teluk Tomini, dengan ukuran yang sama.
penangkapan ikan madidihang (yellowfin tuna) yang
masih kecil (stadia juvenil) maupun yang dewasa Penangkapan ikan yang masih berumur muda (juvenil)
berlangsung sangat intensif sejak tahun 1991 (Ariz et al., secara terus menerus tanpa diimbangi dengan upaya
1993) Penangkapan dilakukan menggunakan alat tangkap pengelolaan akan membahayakan keberlanjutan dari
pancing ulur dan pukat cincin yang dioperasikan di sekitar sumber daya ikan tersebut. Kondisi tersebut tidak memberi
rumpon. kesempatan ikan untuk tumbuh dan berkembang biak dan
berdampak akhir over fishing recruitment (lebih tangkap
Menurut Fonteneau et al. (2000); Bromhead et al. ikan berukuran juvenil). Beberapa tindakan alternatif
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Laut
Jl. Muara Baru Ujung, Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Jakarta Utara 169
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

pengelolaan yang sesuai pada perairan ini sangat logistik, yaitu dengan memplotkan prosentase
dibutuhkan. frekuensi kumulatif dengan panjang ikan.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi ikan madidihang
Paradigma baru pada penangkapan sumber daya juvenil yang tertangkap, dibuat tabel frekuensi
perikanan di suatu perairan ditekankan kepada bagaimana kumulatif (%).
aktivitas tersebut dapat berjalan terus menerus atau
berkelanjutan, berkualitas tinggi dan diproduksi dengan HASIL DAN BAHASAN
teknologi ramah lingkungan. Tulisan ini membahas secara
ringkas tentang penangkapan juvenil ikan madidihang HASIL
juvenil di perairan Teluk Tomini.
Komposisi Ukuran
BAHANDANMETODE
Ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur
Pengumpulan Data dan pukat cincin yang tertangkap pada tahun 2007
disajikan pada Gambar 1 dan hasil tangkapan tahun 2010
Contoh ikan madidihang dikumpulkan dari hasil disajikan pada Gambar 2. Ukuran ikan madidihang hasil
tangkapan pancing ulur dan pukat cincin yang yang tangkapan pancing ulur berkisar antara 11 172 cm FL
beroperasi di sekitar rumpon di perairan Teluk Tomini yang dan hasil tangkapan pukat cincin berkisar antara 1575
didaratkan di Marisa dan Gorontalo tahun 2007 dan 2010, cm FL. Sementara pada tahun 2010, ukuran ikan
dengan pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak. madidihang yang tertangkap dengan pancing ulur berkisar
antara 10190 cm FL dan tertangkap dengan pukat cincin
Analisis Data berkisar antara 1080 cm FL. Modus ukuran ikan yang
tertangkap untuk tahun 2007 dan 2010 rata-rata pada
1. Pendugaan ukuran rata-rata ikan pertama kali ukuran 3040 cm FL. Ikan madidihang pada ukuran
tertangkap. Metode penentuan ukuran ikan rata-rata tersebut masih dikategorikan juvenil atau ikan yang belum
tertangkap dilakukan menggunakan metode kurva matang gonad.

170
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

Hand line Purse seine

Gambar 1. Komposisi ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini, 2007.
Figure 1. Size composistion of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2007.

171
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

Hand line Purse seine

Gambar 2. Komposisi ukuran ikan madidihang hasil tangkapan pancing ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini, 2010
Figure 2. Size composistion of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2010

Dari Gambar 1 dan Gambar 2 tampak penangkapan Ukuran Panjang Ikan Pertama Kali Tertangkap (Lc)
juvenil terjadi setiap bulan pada tahun 2007 dan 2010.
Banyaknya ikan juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur Panjang ikan pertama kali tertangkap adalah panjang
dan pukat cincin dapat dilihat pada Tabel 1. Kontribusi dimana 50% dari ikan yang masuk jaring tertahan diperoleh
juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur sebanyak 88,11 dari seleksi alat tangkap (Sparre & Venema, 1999) kurva
% dan tertangkap pukat cincin sebanyak 100 % dari total dengan cara memplotkan prosentase frekuensi kumulatif
masing-masing alat tangkap tersebut. dengan panjang ikan. Dari kurva tersebut diperoleh nilai
Lc untuk pancing ulur adalah 31,6 cm FL dan untuk pukat
cincin adalah 30 cm (Gambar 3).

172
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

Tabel 1. Distribusi frekuensi panjang ikan madidihang yang tertangkap pancing ulur dan pukat cincin di perairan
Teluk Tomini, Tahun 2007.
Table 1. Length frequency distribution of yellowfin tuna caught by hand line and purse seine in Tomini Bay, 2007

Pancing ulur Pukat cincin


Frekuensi Frekuensi
Frekuensi kumulatif Frekuensi kumulatif
FL (cm) (%) Kumulatif (%) (%) Kumulatif (%)
10-19,9 15,26 15,26 15,26 3,47 3,47 3,47
20-29,9 14,23 29,49 29,49 29,53 33,00 33,00
30-39,9 40,12 69,61 69,61 33,50 66,50 66,50
40-49,9 12,85 82,46 82,46 8,68 75,19 75,19
50-59,9 3,84 86,31 86,31 12,16 87,34 87,34
60-69,9 0,96 87,27 87,27 12,41 99,75 99,75
70-79,9 0,24 87,51 87,51 0,25 100 100
80-89,9 0,60 88,11 88,11 100
90-99,9* 2,34 90,45 90,45
100-109,9 2,64 93,09 93,09
110-119,9 1,20 94,29 94,29
120-129.9 0,78 95,08 95,08
130-139,9 1,44 96,52 96,52
140-149,9 1,02 97,54 97,54
150-159,9 1,56 99,10 99,1
160-169,9 0,84 99,94 99,94
170-179,9 0,06 100 100
Total 100
*= kelas interval Lm (Length at first maturity) (Mardlijah & Mufti, 2012)

Lc=31,6cm FL
Lc=30 cm FL

Gambar 3. Kurva seleksi alat tangkap yang menunjukan panjang pertama kali ikan madidihang tertangkap oleh pancing
ulur dan pukat cincin di Teluk Tomini
Figure 3. Selection curve showing length at first capture (Lc) of yellowfin tuna caught by hand line and purse
seine in Tomini Bay

173
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

BAHASAN menciptakan kerugian terhadap perikanan tuna tahun 2009


di Negara tersebut sebesar $ 17.600.000. Ditambahkan
Komposisi Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Madidihang oleh Siebert et al. (2006) apabila terus terjadi peningkatan
tangkapan juvenil dalam kurun waktu 50 tahun terakhir
Komposisi ukuran ikan madidihang yang tertangkap akan menyebabkan penurunan trofik level tangkapan.
oleh pancing ulur dan pukat cincin selalu didominasi oleh
ikan berukuran kecil (panjang 10 80 cm FL) atau belum Selanjutnya Yusuf, (2012) menampilkan hasil
matang gonad atau disebut juvenil. Juvenil adalah ikan tangkapan juvenil madidihang di Wakatobi tahun 2008
dengan ukuran lebih kecil dari ukuran pertama kali matang 2011 (Tabel 2). Rata-rata juvenil madidihang yang
gonad (Ingles & Lida, 2010; Dagorn & Victor, 2011; WWF, tertangkap di Wakatobi adalah 30% dari total tangkapan.
2012). Menurut mardlijah & Mufti, (2012) Ikan) madidihang Apabila selama 4 tahun terakhir, di Wakatobi diperkirakan
pertama kali matang gonad di perairan Teluk Tomini adalah miliaran telur madidihang gagal untuk regenerasi.
94,8 cm FL, sehingga ukuran ikan yang lebih kecil dari Kegagalan ini harus menjadi perhatian dari nelayan,
94,8 cm FL dapat dikategorikan sebagai ikan belum kolektor, dan pemerintah daerah untuk berpikir dan
memijah. menyadari bahwa penangkapan juvenil tuna akan
mengganggu proses rekruitmen. Informasi tersebut dapat
Dari Gambar 1 dan 2 terlihat bahwa penangkapan juvenil menjadi salah satu pertimbangan kebijakan untuk tidak
madidihang terjadi pada setiap bulan setiap tahun. Kapal menangkap ikan juvenile tuna.
pancing ulur yang seharusnya menangkap ikan tuna Tabel 2. Juvenil madidihang yang tertangkap dengan
dewasa ternyata banyak menangkap ikan berukuran hand line di Wakatobi, 2008 2012.
juvenil. Ketika tidak memperoleh ikan tuna tuna besar, Table 2. Juvenile yellowfin tuna caught by hand line in
nelayan mengganti mata pancing yang lebih kecil untuk Wakatobi, 2008 - 2012.
menangkap juvenil yang ukuranya lebih kecil.

Banyaknya juvenil yang tertangkap dapat dilihat pada Tahun Total of Juvenile
Year % juvenile
tuna tuna
Tabel 1. Ikan juvenil madidihang yang tertangkap dengan
pancing ulur sebanyak 88,11% dan seluruh ikan 2008 2682 430 16
madidihang hasil tangkapan pukat cincin berukuran kecil 2009 3451 902 26
(juvenil). Seperti yang dikemukakan oleh Widodo & 2010 766 406 53
Suwarso, (2005), bahwa di perairan Teluk Tomini sudah
terlihat adanya tekanan penangkapan terhadap ikan-ikan 2011 1134 288 25
muda (juvenil) yang sangat intensif. Berdasarkan data Total 8033 2026
frekuensi panjang yang dikumpulkan, ikan muda yang Sumber : Yusuf, (2012)
tertangkap 54% dari seluruh hasil tangkapan ikan tuna.
Apabila hal tersebut dibiarkan tanpa adanya upaya Pada Gambar 4 disajikan pola distribusi vertikal (Grubb
konservasi dan pengelolaan, maka akan menekan & Holland, 2001). Kelompok renang ikan madidihang yang
pertumbuhan populasi dan akhirnya akan mengurangi stok berukuran kecil (juvenil), sebagian besar berada pada
sumber daya ikan madidihang di perairan Teluk Tomini. lapisan permukaan sampai pada garis termoklin. Kapal
pancing ulur dapat menangkap ikan madidihang yang
Menurut Ingles & Lida, (2010), penangkapan ikan berenang pada lapisan permukaan sampai pada lapisan
juvenil yellowfin tuna di Philipina sebesar 87.7%. Philipina yang lebih dalam, dengan mengganti pancing ukuran kecil
memberikan contoh yang sama dengan Indonesia dan (nomor 12, 17, dan 18) dengan pancing ukuran lebih besar
Malaysia, sedangkan juvenil tuna pada perikan tuna di (nomor 4 dan 5). Dengan demikian ikan-ikan madidihang
Kepulauan Solomon dan Papua sudah berkembang sampai yang tertangkap oleh pancing ulur mempunyai kisaran
mencapai lebih dari 10 kg yang sering ditangkap dengan ukuran yang sangat lebar. Kapal pukat cincin menangkap
pukat cincin yang beroperasi di Kepulauan Pasifik. ikan-ikan madidihang di permukaan yang berukuran lebih
Penangkapan juvenil tuna di Philipina berpotensi kecil.

174
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

Gambar 4. Pola distribusi vertikal ikan tuna (Grubb & Holland 2001)
Figure 4. Vertical distribution of tunas (Grubb & Holland 2001)
Keterangan: yf: yellowfin/madidihang
be: bigeye/tuna mata besar

Sebagian besar tuna berkelompok menurut ukuran. dengan kisaran antara 89,2 - 100,9 cm FL (Mardlijah &
Tuna yang berukuran kecil (juvenil) akan berkelompok di Mufti, 2012). Kondisi tersebut akan membahayakan
permukaan biasanya bercampur dengan ikan cakalang, keberadaan sumber daya ikan madidihang. Penangkapan
untuk ukuran yang lebih besar akan berada pada lapisan ikan madidihang harus dilakukan pada ukuran yang lebih
yang lebih dalam, dan untuk ukuran yang besar dan besar dari ukuran pertama kali matang gonad. Hal tersebut
dewasa ditemukan pada perairan yang dalam (Suzuki et untuk memberi kesempatan pada ikan-ikan madidihang
al.,1977). Ditambahkan oleh Nikolsky, (1963), bahwa ikan- juvenil untuk menjadi dewasa dan memijah sehingga
ikan yang berukuran kecil biasanya lebih banyak berada proses rekruitmen tetap berlangsung dengan baik.
pada lapisan permukaan perairan dengan kelompok
(schooling) yang besar. Ikan-ikan yang berukuran lebih Menurut Block & Stevens, (2001), konservasi tuna
besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam mengacu pada tindakan untuk mencegah penurunan stok
dengan yang kelompok lebih kecil. Selanjutnya Uktolseja dalam jangka panjang, mengembalikan jumlah populasi
et al. (1998) menyatakan bahwa ikan tuna berukuran kecil yang terus menurun, atau mengontrol aktivitas manusia
(juvenil) hidup berkelompok atau bergerombol pada dalam rangka mencapai pemanfaatan dan keberadaan
lapisan permukaan air, kemudian semakin besar ukuran populasi yang yang berkelanjutan. Konservasi tuna
ikan tuna akan bergerak pada lapisan air yang lebih dalam mengikuti konsep ekosistem secara menyeluruh, kebijakan
(sub surface) dan hidup soliter. dengan mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya
atau pemulihan, dan tindakan nyata, misalnya tidak
Panjang Pertama Kali Tertangkap (Lc) mengoperasikan pukat cincin di sekitar rumpon untuk
menangkap ikan madidihang juvenil pada waktu-waktu
Pendugaan ukuran pertama kali ikan tertangkap tertentu.
digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam
pengelolaan sumber daya perikanan. Diasumsikan bahwa KESIMPULANDANREKOMENDASI
apabila ikan tertangkap pada ukuran belum sempat matang
gonad atau dengan kata lain belum sempat melakukan KESIMPULAN
pemijahan, maka sumber daya ikan itu akan mengalami
kepunahan. Hal tersebut dimungkinkan karena ikan belum (1). Tekanan penangkapan terhadap juvenil ikan
sempat memijah tetapi sudah tertangkap. madidihang di perairan Teluk Tomini sudah sangat
tinggi. Juvenil yang tertangkap oleh pancing ulur
Dari hasil perhitungan Lc terlihat bahwa penangkapan sebanyak 88,11% dan seluruh hasil tangkapan pukat
ikan di Teluk Tomini banyak diperoleh pada ukuran cincin (100%) terdiri dari ikan madidihang juvenil.
sebelum ikan madidihang matang gonad (Lc < Lm). (2) Panjang pertama kali ikan madidihang yang tertangkap
Panjang pertama kali matang gonad (Length at first dengan pancing ulur 31,6 cm FL dan dengan pukat
maturity/Lm) ikan madidihang yang tertangkap dengan cincin 30 cm FL.
pancing ulur di perairan Teluk Tomini adalah 94,8 cm FL

175
S. Mardlijah, E. Rahmat / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 169-176

REKOMENDASI Grubbs, D & K. Holland. 2001. Comparative trophic


ecology of yellowfin and bigeye tuna associated with
1. Penggunaan mata pancing pada pancing ulur perlu natural and man-made aggregation sites in Hawaiian
diperbesar (nomor 4 dan 5) dari yang digunakan saat Waters. Hawaii Institute of Marine Biology Pelagic
ini, sehingga lebih selektif terhadap hasil tangkapan. Fisheries Research Program University of Hawaii,
Dengan memperbesar mata pancing diharapkan ikan Hawaii: p. 1-53.
madidihang yang tertangkap sudah berukuran besar
(dewasa) atau sudah matang kelamin sehingga proses Ingles, J.& P.S. Lida. 2010. Solving the juvenile tuna
rekruitmen dapat tetap terjaga. Secara ekonomi juga dilemma. WCPFC-SC6-2010/SA-WP-04.
lebih baik harga ikan yang berukuran lebih besar lebih
mahal. Mardlijah, S. & P.P. Mufti 2012. Biologi reproduksi ikan
2 Penggunaan pukat cincin perlu dibatasi mengingat Madidihang (Thunnus albacares Bonnatere 1788) di
seluruh hasil tangkapan (100%) berupa ikan Teluk Tomini. BAWAL. Pusat Penelitian Perikanan
madidihang berukuran kecil (juvenil). Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,
3 Perlu adanya pelarangan penangkapan ikan di rumpon Jakarta. 4 (1): 27-34.
terutama pada musim pemijahan karena di rumpon
tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil (ikan-ikan muda). Morgan, A.C. 2011. Fish Aggregating Devices and Tuna:
Impacts and Management Options. Ocean science divi-
PERSANTUNAN sion, Pew Environment Group, Washington, DC:18 p.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Nikolsky, G.V. 1963. The ecology of fishes.Academic Press,
Gede Sedana Merta, M.S. yang telah memberikan saran New York : xv + 352 p.
dan masukan dalam penulisan paper ini.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian
DAFTAR PUSTAKA stol ikan Tropis. Biku 1: Manual (terjemahan). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. p.
Ariz, J.,A. Delgado, A. Fonteneau, G. Costas & P. Pallares. 164-165.
1993. Logs and tunas in the eastern tropical Atlantic.
A review of present knowledge and uncertainties. Suzuki, Z., Y. Warashina, & M. Kishida. 1977. The
ICCAT Collective Volume of Scientific Papers. 40: 421- comparison of catches by regular and deep tuna
446. longline gears in the western and central equatorial
Pacific. Bull. Far. Seas Fish. Res. Lab. 15: 51-89.
Block, B.A. & E.D. Stevens. 2001. Tuna: physiology,
ecology, and evolution. Academic Press, New York: Uktolseja, J., R. Purwasasmita, K. Susanto & A.B.
xiii + 468 p. Sulistiadji. 1998. Sumber daya ikan pelagis besar.
Dalam: Widodo, J. 1998. Potensi dan penyebaran
Bromhead, D., J. Foster, R. Attard, J. Findlay, & J. Kalish. sumber daya ikan laut di perairan Indonesia. Komisi
2003. Review of the impact of fish aggregating devices Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut-LIPI,
(FADs) on tuna fisheries. Final report to Fisheries Jakarta: ix + 251 p.
Resources Research Fund, Australia: Bureau of Rural
Sciences: 121 p. Widodo, J.W. & Suwarso. 2005. Teluk Tomini: ekologi,
potensi sumber daya, profil perikanan dan biologi
Dagorn L. & R. R. Victor 2011. Questions and Answers beberapa jenis ikan ekonomis penting. Balai Riset
About FADs and Bycatch. ISSF Technical Report. Perikanan Laut, Badan Riset Perikanan dan Kelautan,
DKP: xvi + 114 p.
Fonteneau, A., P. Pallares, & R. Pianet. 2000. A worldwide
review of purse seine fisheries on FADs. In: J.Y. Le WWF. 2012. The common wild capture fishery
Gal, P.Cayre & M. Taquet Peche thoniere et methodology. Wild Capture Fishery: 15 p.
dispositifs de concentration de poissons proceedings
of the 1st Symposium on Tuna fisheries and FADs, Yusuf, M. 2012. The capture of a single juvenile tuna
Martinique, October 1999. (eds). Actes Colloques- destroys millions of others. WWF Indonesia
IFREMER . 28: 1535. (Unpublished).

176
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

BEBERAPA PARAMETER POPULASI IKAN LEMURU (Sardinella lemuru


Bleeker, 1853) DI PERAIRAN SELAT BALI
SOME POPULATION PARAMETERS OF BALI SARDINELLA (Sardinella lemuru
Bleeker, 1853) IN BALI STRAIT WATERS

Arief Wujdi1), Suwarso2), dan Wudianto1)


1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jakarta
2)
Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 11 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 17 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 18 Desember 2012

ABSTRAK

Sumberdaya ikan lemuru paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan di perairan Selat Bali sejak diperkenalkannya
pukat cincin di perairan tersebut pada tahun 1972. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter populasi ikan
lemuru (Sardinella lemuru) yang merupakan hasil tangkapan pukat cincin yang didaratkan di Muncar, Banyuwangi.
Pendugaan parameter populasi dilakukan berdasarkan data panjang ikan lemuru yang dikumpulan pada bulan
Agustus 2010 sampai dengan Desember 2011. Hasil analisis diperoleh dugaan parameter pertumbuhan adalah
L = 20,75 cmFL, K=1,20 per tahun, dan t0=-0,1456 tahun. Laju kematian total (Z) adalah 6,39 per tahun, kematian
alami (M) adalah 2,23 per tahun, dan kematian akibat penangkapan (F) adalah 4,16 per tahun. Tingkat laju eksploitasi
(E) sebesar 0,65. Laju eksploitasi (E) lebih besar dibandingkan dengan laju eksploitasi optimal (Eopt) maka diduga
perikanan lemuru telah mengalami lebih tangkap (overfishing). Ikan lemuru memiliki 2 puncak pola rekruitmen
dalam setahun, diperkirakan terjadi pada bulan Februari dan Juli, dimana rekruitmen bulan Juli lebih besar dibanding
bulan Februari.

KATA KUNCI: Parameter populasi, ikan lemuru (Sardinella lemuru), perairan Selat Bali

ABSTRACT:

Bali sardinella (Sardinella lemuru) was mostly exploited by fishers in the Bali Strait waters since the purse seine
introduced in this area in 1972. The purpose of this study was to estimate population parameters of Bali sardinella
that caught by purse seine in the Bali strait. Estimation of population parameters of Bali Sardinella was based on
length frequency data were collected from Muncar fishing port, Bayuwangi from August 2010 until December 2011.
The results showed that growth parameters as follows L = 20,75 cmFL; K=1,20 year -1 and t0=0,1456 year..
Estimation of total mortality (Z)=6,39 year -1; natural mortality (M)=2,23 year -1; fishing mortality (F)=4,16 year -
1
and exploitation rate (E)=0,65. The exploitation rate was greater than optimum exploitation (Eopt), it can be
presumed that overfishing is occuring in this fisheries. The recruitment pattern of Bali sardinella has two peaks in
a year, predicted on February and July, where the recruitment on July was greater than February.

KEYWORDS: Population parameters, Bali sardinella (Sardinella lemuru), Bali strait waters.

PENDAHULUAN adalah perairan pantai, namun terkadang beruaya ke


perairan oseanik dengan salinitas yang tinggi. Kelimpahan
Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) ikan lemuru yang paling besar di Indonesia ditemukan di
merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang sangat perairan Selat Bali sampai ke Nusa Tenggara Timur. Ikan
penting di Indonesia, terutama bagi nelayan di wilayah lemuru selain terkonsentrasi di perairan Selat Bali juga
Selat Bali. Perairan Selat Bali berbentuk corong dengan tertangkap dalam jumlah kecil di perairan selatan Jawa
luas berkisar 2500 km2. Bagian utara merupakan bagian Timur, seperti Grajagan, Puger (Burhanuddin et al., 1984)
yang sempit dengan lebar sekitar 2,5 km sedangkan lebar dan juga di perairan Selat Madura (Setyohadi, 2010).
di bagian selatan sekitar 55 km. Kedalaman di bagian
tengah selat sekitar 300 meter dan semakin dalam di bagian Perikanan lemuru berkembang sangat pesat sejak
selatan selat, yaitu sekitar 1300 meter. Di bagian tengah diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin oleh peneliti
terdapat gosong (wilayah yang dangkal) yang disebut Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) yang sekarang
Gosong Ratu (Merta & Badrudin, 1992). Dengan topografi menjadi Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) pada tahun
yang demikian ini membuat perairan Selat Bali menjadi 1972 (Merta & Badrudin, 1992). Pesatnya perkembangan
subur sehingga mampu menyediakan makanan bagi ikan perikanan lemuru ini didukung pula oleh adanya pabrik-
dan biota lainnya. Ikan lemuru merupakan ikan pelagis pabrik pemindangan, pengalengan ikan dan pembuatan
yang mendiami perairan laut dangkal, hidup bergerombol tepung ikan di dekat pusat pendaratan ikan seperti Muncar
serta merupakan spesies permukaan. Habitat yang cocok (Jawa Timur) dan Pengambengan (Bali). Disamping itu,
Korespondensi penulis:
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur - Jakarta Utara 177
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

ikan lemuru juga dimanfaatkan untuk umpan dalam Progression Analysis metode Bhattacharya (1967) dalam
mendukung kegiatan perikanan pancing tuna yang Budihardjo et al.(1990) Parameter pertumbuhan panjang
beroperasi di Samudera Hindia. asimptotik (L) dan parameter kurvatur (K) diketahui
dengan metode ELEFAN I dengan meliterasi rentang
Ikan lemuru merupakan hasil tangkapan utama alat perkiraan nilai L dan K hingga diperoleh nilai yang paling
tangkap pukat cincin di perairan Selat Bali. Hasil tangkapan rasional, sedangkan t0 diestimasi berdasarkan rumus
ikan lemuru pada tahun 2007-2010 sangat mendominasi empiris menurut Pauly (1983) dalam Lasso & Luis, (1999)
hingga mencapai 90% dari total hasil tangkapan pukat seperti berikut:
cincin, namun jumlah produksi yang didaratkan di Muncar
sangatlah berfluktuasi. Menurut Purwanto, (2011), hasil Log -(t0) = -0,3922 0,2752 Log L- 1,038 Log K .........(1)
tangkapan ikan lemuru dipengaruhi oleh episode El Nio
dan La Nia, yaitu hasil tangkapan meningkat pada Starting sample yang digunakan adalah bulan
episode El Nio dan menurun pada saat La Nia. Pada Agustus 2010 dengan panjang permulaan (Starting
awal dekade tahun 2000 produksi ikan lemuru length) adalah 13,25 cmFL. Program ELEFAN merupakan
menunjukkan pola meningkat hingga mengalami piranti dalam program perangkat lunak FiSAT II yang
puncaknya pada tahun 2007 mencapai 53.000 ton (Sumber berbasis data frekuensi panjang. Persamaan pertumbuhan
data produksi KUD Mina Blambangan). Hasil tangkapan diperoleh menurut Von Bertalanffy (Sparre & Venema,
lemuru kembali mengalami penurunan drastis hingga 1999) seperti berikut:
mengalami titik terendah yaitu hanya 2.700 ton pada tahun
2011. Hasil produksi tahun 2011 bahkan lebih kecil ......................................................(2)
dibandingkan pada tahun 1986 dimana produksi ikan
lemuru tercatat 3.200 ton dan dikatakan menghilang (Merta, Dimana:
1992a). Lt = panjang ikan (cm) pada saat umur t (tahun)
L = panjang asimptotik (cm)
Hasil tangkapan ikan lemuru yang berfluktuasi tersebut e = bilangan natural (2,72)
perlu untuk diteliti lebih lanjut dengan mengkaji lebih K = konstanta kecepatan pertumbuhan ikan per tahun
dalam tentang aspek biologi dan pertumbuhan t = umur ikan dalam tahun
populasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui t 0 = umur ikan hipotesis pada saat panjangnya 0 cm
beberapa parameter populasi ikan lemuru yang tertangkap
di perairan Selat Bali. Informasi tentang kondisi terkini Mortalitas total (Z) dianalisa dengan pendekatan kurva
parameter populasi ikan lemuru sangat diperlukan sebagai hasil penangkapan yang dikonversikan ke panjang
bahan dasar pengelolaan lemuru sehingga dapat (Length Converted Catch Curve Analysis) pada perangkat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. lunak FISAT II. Pendekatan dilakukan dengan
menggunakan input data parameter pertumbuhan (L, dan
BAHANDANMETODE K) mengikuti persamaan Beverton dan Holt (1986) dalam
Sparre & Venema (1999) seperti berikut:
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi
langsung di lapangan berturut-turut pada bulan Agustus .................................................(3)
2010 hingga Desember 2011. Pengumpulan data dilakukan
oleh peneliti dibantu tenaga enumerator. Ikan diperoleh Dimana:
dari hasil tangkapan alat tangkap pukat cincin yang di K = koefisien kecepatan pertumbuhan per tahun
daratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, L = panjang asimptotik (cm)
Banyuwangi. Pengambilan contoh ikan dilakukan secara 8 = rata-rata panjang ikan yang tertangkap (cm)
acak melalui pengukuran sistematis dengan metode L = panjang ikan pada penangkapan penuh (cm)
proporsional berdasarkan prosedur standar operasional
menurut Suwarso (2010). Data yang dikumpulkan adalah Untuk koefisien mortalitas alami (M) menggunakan
panjang cagak (fork length) dalam satuan centimeter. persamaan empiris Pauly, (1980) berikut ini:

Analisis Data Log (M)= -0,0066-0,279 Log (L) + 0,654 Log (K) +
0,4634 Log (T) ...........................................(4)
Analisis data dilakukan untuk mengetahui parameter Dimana:
populasi ikan lemuru dilakukan dengan menggunakan M = mortalitas alami
perangkat lunak FiSAT II (FAO-ICLARM Fish Stock L = panjang asimtotik ikan (cm)
Assessment Tools) (Gayanillo, et.al., 2005). Modus panajng K = koefisien percepatan pertumbuhan
cagak ikan setiap bulannya dianalisis dengan Modal T = suhu rata-rata perairan, menurut Setyohadi
(2010) =28 oC

178
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

Dalam menentukan nilai mortalitas alami (M) perlu 11-15 cm); (3) lemuru (lemuru berukuran panjang 15-18
dikoreksi dengan cara mengalikannya dengan konstanta cm); dan (4) lemuru kucing (lemuru berukuran panjang
sebesar 0,8 karena ikan lemuru tergolong famili clupeidae >18 cm). Ikan lemuru sempenit yang tertangkap selama
yang mempunyai sifat hidup membentuk gerombolan yang penelitian sebanyak 5,1%; protolan tertangkap sebanyak
besar (Merta, 1992). Mortalitas penangkapan (F) 53,7%; lemuru tertangkap sebanyak 40,7%; dan lemuru
didapatkan dari pengurangan total mortalitas terhadap kucing tertangkap sebanyak 0,5%.
mortalitas alami (F=Z-M).
Ikan lemuru yang didaratkan Muncar pada umumnya
Laju eksploitasi (E) didapatkan dari pembagian terdiri atas dua kelompok umur (kohort) yang berbeda.
mortalitas penangkapan dengan total mortaliltas (E=F/Z) Panjang ikan lemuru pada kohort yang sama mengalami
(Gayanillo et al., 2005). Laju eksploitasi berada pada tingkat pergeseran menuju ukuran yang lebih besar dari bulan ke
optimum apabila besarnya mortalitas akibat penangkapan bulan. Pada bulan-bulan tertentu frekuensi panjang ikan
sama dengan mortalitas alami (F=M), dimana nilai F=0,5 lemuru terdiri dari 1 dan 3 kohort, namun intensitasnya
(Merta, 1992). sangat rendah. Ikan lemuru kucing (>18 cm) tertangkap
pada bulan Oktober hingga Desember 2010, serta bulan
HASIL DAN PEMBAHASAN Januari, April, September hingga November tahun 2011.
Sedangkan ikan lemuru sempenit (< 11 cm) tertangkap
HASIL pada bulan Agustus dan September 2010 serta pada bulan
Februari, Juli dan November 2011 (Lampiran 1).
Parameter Pertumbuhan
Parameter pertumbuhan ikan lemuru yang meliputi
Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan panjang asimptotik (L ) dan koefisien percepatan
bahwa ikan lemuru yang tertangkap memiliki ukuran pertumbuhan (K) berturut-turut adalah L =20,75 cmFL
panjang cagak dengan nilai tengah berkisar 6,75-19,75 cm dan K=1,2 per tahun, sehingga model pertumbuhan ikan
seperti disajikan pada Gambar 1. Ikan lemuru di Selat Bali lemuru dapat digambarkan seperti pada Gambar 3 dengan
dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan berdasarkan nilai t0 sebesar -0,1456 tahun, maka kurva pertumbuhan
ukurannya, yaitu: (1) sempenit (lemuru berukuran panjang menurut Von Bertalanfy ikan lemuru mengikuti persamaan
<11 cm); (2) protolan (lemuru berukuran panjang antara Lt=20,75 [1-e -1,2(t+0.1456)] (Gambar 3).

1200
Jumlah/number

1000
800
600
400
200
0
6,75
7,25
7,75
8,25
8,75
9,25
9,75
10,25
10,75
11,25
11,75
12,25
12,75
13,25
13,75
14,25
14,75
15,25
15,75
16,25
16,75
17,25
17,75
18,25
18,75
19,25
19,75

Nilai tengah kelas panjang/Midlength (cmFL)

Gambar 1. Sebaran ukuran panjang ikan lemuru di perairan Selat Bali pada tahun 2010-2011
Figure 1. Length distribution of Bali Sardinella (S.lemuru) caught in Bali Strait waters in 2010-2011

Gambar 2. Model pertumbuhan ikan lemuru (Sardinella lemuru) menggunakan ELEFAN I


Figure 2. Growth model of Bali sardinella (S.lemuru) using ELEFAN I

179
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

Gambar 3. Kurva pertumbuhan ikan lemuru berdasarkan formula Von Bertalanfy


Figure 3. Growth curve of Bali sardinella according to Von Bertalanfy formula

Kematian (Mortalitas) BAHASAN

Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan dengan Panjang asimptotik (L ) ikan lemuru (Sardinella
menggunakan data masukan parameter pertumbuhan lemuru) cenderung semakin pendek dari tahun ke tahun.
(L dan K) kedalam persamaan Beverton & Holt, (1986) Menurut Wudianto et al. (2002), panjang asimptotik (L )
dalam Sparre & Venema, (1999). Dari analisis diperoleh yang dapat dicapai ikan lemuru adalah 20,99 cmFL,
nilai laju mortalitas total (Z) sebesar 6,39/tahun; laju koefisien pertumbuhan (K)=1,23 per tahun dan t0 = -0,1403.
kematian alami (M) sebesar 1,78/tahun. Laju kematian Dengan semakin pendeknya panjang asimptot (L )
penangkapan (F) adalah 4,16/tahun. Sedangkan laju menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan penangkapan
eksploitasi (E) ikan lemuru sebesar 0,65. yang tinggi terhadap perikanan lemuru sehingga ukuran
populasi ikan yang tertangkap semakin kecil dari tahun ke
Rekruitmen tahun. Menurut Sparre dan Venema, (1999), nilai K
merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa
Pola rekruitmen ikan lemuru di Selat Bali terjadi cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya (L ). Ikan
sebanyak dua kali dalam setahun. Pola rekruitmen pertama yang memiliki koefisien pertumbuhan yang tinggi pada
terjadi pada bulan Januari hingga April dimana puncaknya umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Pauly, 1980).
terjadi pada bulan Februari (6,86%). Pola rekruitmen kedua Gambar 3 menunjukkan bahwa titik optimal pertumbuhan
terjadi pada bulan Mei hingga November dimana ikan lemuru adalah pada umur 2 tahun pada panjang 19,17
puncaknya terjadi pada bulan Juli (19,16%) (Gambar 4). cm. Setelah umur 2 tahun percepatan pertumbuhan tidak
secepat seperti sebelumnya hingga cenderung tetap
dengan semakin bertambahnya umur ikan.
Rekrutmen/Recruitment (%)

Penelitian tentang parameter pertumbuhan ikan lemuru


telah banyak dilakukan (Tabel 1). Nilai parameter
pertumbuhan ikan lemuru cenderung mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Turunnya nilai parameter
pertumbuhan disebabkan oleh kondisi biologis ikan dalam
kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan yang
membentuk habitatnya. Selain itu, perbedaan nilai L , K,
dan t0 juga disebabkan oleh penggunaan metode yang
digunakan dalam menganalisis data.

Laju kematian total (Z) ikan lemuru cenderung


meningkat dari tahun ke tahun. Laju kematian total
dipengaruhi oleh laju kematian alami (M) dan laju kematian
Gambar 4. Pola rekrutmen ikan lemuru (Sardinella
akibat penangkapan (F). Dalam penelitian ini pengaruh
lemuru)
laju kematian ikan lemuru akibat kegiatan penangkapan
Figure 4. Recruitment pattern of Bali sardinella
(F) lebih besar daripada laju kematian alami (M). Laju
(S.lemuru)
kematian total (Z) dalam penelitian ini 2% lebih tinggi

180
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

daripada hasil penelitian Setyohadi (2010). Hasil stok sumberdaya ikan lemuru sangat tinggi. Dalam
penelitiannya terdahulu menunjukkan bahwa laju kematian penelititan ini diperoleh nilai laju eksploitasi (E) sebesar
total (Z) adalah 6,33 per tahun. Sebagai pembanding hasil 0,65. Laju eksploitasi ini 23% lebih besar daripada laju
penelitian tentang kematian ikan lemuru disajikan pada eksploitasi optimal (E>Eopt). Dari hasil ini menunjukkan
Tabel 2. Tingginya laju kematian akibat kegiatan bahwa kegiatan penangkapan ikan lemuru terindikasi telah
penangkapan (F) menunjukkan bahwa tekanan terhadap terjadi lebih tangkap (overfishing).

Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan lemuru (Sardinella lemuru)


Table 1. Growth parameters of Bali Sardinella (S. lemuru)

-1 -1 Metode/ Lokasi/ Sumber/


L K (th ) t0 (th )
Method Location Author
23,8 cm 0,50 - 0,0012 MCPA Selat Bali Dwiponggo, 1972 *
21,5 cm 0,95 - 0,0153 MCPA Selat Bali Ritterbush, 1975 *
21,2 cm 1,0056 - 0,3817 MCPA Selat Bali Sujastani & Nurhakim, 1982 *
21,1 cm 0,80 - ELEFAN I Selat Bali
22,3 cm 0,85 - ELEFAN I Selat Bali
Dwiponggo et al, 1986*
22,5 cm 1,00 - ELEFAN I Selat Bali
23,2 cm 1,28 - ELEFAN I Selat Bali
21,4 cm 1,37 - ELEFAN I Selat Bali Budiharjo, et.al 1990
22,7 cm 0,961 -0,1789 ELEFAN I Selat Bali Merta, 1992
21,1 cm 1,127 - 0,179 ELEFAN I Selat Bali Merta & Badrudin, 1992
20,6 cm 1,0 - 0,2 ELEFAN I Selat Madura Sutjipto, et al 1992
24,0 cm 0,9 - 0,15 ELEFAN I Selat Bali Setyohadi, et al 1998
20,99 cm 1,23 -0,1403 ELEFAN I Selat Bali Wudianto, et. al 2002
22,1 cm 1,29 - 0,08 ELEFAN I Selat Bali Setyohadi, 2010
20,75 cm 1,20 -0,1456 ELEFAN I Selat Bali Penelitian ini
Keterangan:
* Setyohadi (2010)
MCPA (Model Class Progression Analysis)
ELEFAN I (Electric Length Frequency Analysis)

Tabel 2. Pendugaan laju kematian total (Z), alami (M), dan penangkapan (F) ikan lemuru (Sardinella lemuru)
Table 2. Rate of total mortality (Z), natural mortality (M) and fishing mortality (F) of Bali sardinella (Sardinella
lemuru)

* dalam Setyohadi (2010)

181
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

Puncak pola rekruitmen ikan lemuru di Selat Bali terjadi (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Jurnal Penelitian
sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Perikanan Laut (56): 79-90.
Februari dan Juli. Kejadian hampir sama dengan hasil
penelitian Merta dan Badrudin, (1992) dimana pola Burhanuddin, M. Hutomo, S. Martosubroto & R.
rekruitmen ikan lemuru memiliki 2 puncak dalam setahun Moeljanto. 1984. Sumberdaya ikan lemuru. LON-LIPI,
dengan waktu yang berbeda, yaitu bulan Desember dan Jakarta. 70 p.
Maret. Penelitian Setyohadi, (2010), menyatakan bahwa
pola rekruitmen ikan lemuru terjadi 2 kali dan mencapai Dwiponggo, A. & W. Subani. 1971. Masalah perikanan
puncaknya pada bulan Maret (16,4%) dan Agustus lemuru dan bagan di Selat Bali. LPPL. 019: 92-122.
(16,1%). Dwiponggo & Subani, (1971), juga berpendapat
bahwa pada akhir bulan Juli banyak ikan lemuru kecil yang Gayanillo, F. C., P. Sparre, & D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM
tertangkap. Rekruitmen ikan lemuru dipengaruhi oleh Stock assessment Tools II Revised Version: Users
proses terjadinya upwelling di perairan Selat Bali. Menurut Guide. Food and Agriculture Organization of the
Salijo, (1973), proses upwelling di Selat Bali terjadi pada United Nations. http://www.fao.org/docrep/009/
musim timur atau bulan April-Oktober yang ditandai y5997e/y5997e00.htm. diunduh tanggal 26 Maret 2010.
dengan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat dalam zona
eufotik sehingga mendukung perkembangan fitoplankton Lasso, J & Z. Luis. 1999. Fisheries and biology of
di perairan tersebut. Sedangkan menurut Burhanuddin dan Coryphaena hippurus (Pisces: Coryphaenidae) in The
Praseno (1982) dalam Merta et al. (2000) upwelling terjadi Pasific Coast of Colombia and Panama. Scientia
pada permulaan musim timur (bulan Juli) yang bersamaan Marina 63 (3-4): 387-399 p.
dengan puncak rekrutmen kedua pada penelitian ini.
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika populasi ikan lemuru,
KESIMPULAN Sardinella lemuru Bleeker 1853. (Pisces: Clupeidae)
di perairan selat bali dan alternatif pengelolaannya.
1. Estimasi parameter pertumbuhan ikan lemuru diperoleh Disertasi (Tidak diterbitkan). Program Pasca Sarjana-
nilai L =20,75 cm; K=1,2 per tahun dan t0=-0,1456 IPB. Bogor. 201 p.
tahun. Ukuran panjang asimtotik (L ) semakin
menurun dari tahun ke tahun mengindikasikan __________. 1992a. Beberapa parameter biologi ikan
tingginya tekanan penangkapan. lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) dari perairan
2. Diperoleh laju mortalitas total (Z)=6,39 per tahun, Selat Bali. Jurnal Peneletian Perikanan Laut (67): 1-10.
mortalitas alami (M)= 1,78 per tahun, mortalitas
penangkapan (F)=4,16 per tahun. Merta, I.G.S & Badrudin. 1992. Dinamika populasi dan
3. Laju eksploitasi (E) lebih besar daripada Eopt, yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di perairan
adalah 0,65 sehingga dapat diartikan bahwa perikanan Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (65): 1-9.
lemuru di Selat Bali telah terjadi lebih tangkap, namun
demikian penelitian pengaruh perubahan iklim terhadap Merta, I.G.S., K. Widana, Yunizal, & R. Basuki. 2000. Status
sumberdaya lemuru harus dipertimbangkan. of the lemuru fishery in Bali Strait; its development
4. Teridentifikasi 2 puncak pola rekruitmen pada ikan and prospect. Fish Code Management; Papers
lemuru di perairan Selat Bali dalam setahun, yaitu terjadi Presented at The Workshop on The Fishery and
pada bulan Februari dan Juli. Management of Bali Sardinella (Sardinella lemuru) in
Bali Strait. FAO. 1-41 p.
PERSANTUNAN
Pauly, D. 1980. On the interrelationships between natural
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan mortality, growth parameters, and mean environmental
penelitian Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Lemuru di temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM. 39 (2):
Selat Bali merupakan kerjasama penelitian antara 175-192.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
dengan Kerajaan Norwegia pada tahun 2010-2011 dengan Purwanto. 2011. Bio-economic optimal levels of the Bali
judul Capacity Buliding in Fisheries and Aquaculture. Strait sardine fishery operating in a fluctuating
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah environment. Indonesian Fisheries Research Journal
Norwegia atas bantuan dana untuk penelitian ini. 17 (1):1-12.

DAFTAR PUSTAKA Salijo, B. 1973. Keadaan oseanografi daerah-daerah


penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. LPPL 042: 1-17.
Budihardjo, S., E. M. Amin, & Rusmadji. 1990. Estimasi
pertumbuhan dan tingkat kematian ikan lemuru

182
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Suwarso. 2010. Recording of catch landings and fishery
Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan modeling. Sampling Procedure. Pusat Penelitian
Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 p. Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya
Ikan. Balitbang Kelautan dan Perikanan. 3 p.
Setyohadi, D., D. Sutipto, & D.G.R.Wiadnya, 1998. Dinamika
populasi ikan lemuru (Sardinella lemuru) serta Sutjipto, D., D. Setyohadi, & A. Tumuljadi, 1992. Oil
alternatif pengelolaannya. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu sardine fisheries and some biological parameters on
Hayati. Lembaga Penelitian Unibraw. 10 (1): 91-104. two major oil sardines lemuru (Sardinella longiceps)
and tembang (Sardinella fimbriata). Preliminary Report.
Setyohadi, D. 2010. Kajian pemanfaatan sumberdaya ikan LUW-UNIBRAW-FISH-PROJECT. Malang. Indonesia.
lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali: Analisis
simulasi kebijakan pengelolaan 2008-2020. Disertasi Wudianto, I.G.S. Merta, & D.R. Monintja. 2002. Ukuran
(tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Fakultas ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di perairan
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Selat Bali berdasarkan waktu dan daerah penangkapan.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Edisi
Sumberdaya dan Penangkapan 8 (1): 103-111.

183
A. Wujdi., et al. / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 177-184

Lampiran 1. Sebaran frekuensi kelas panjang ikan lemuru (Sardinella lemuru) yang tertangkap pada bulan Agustus
2010 sampai December 2011
Appendix 1. Length frequency distribution of Bali sardinella (S.lemuru) caught from August 2010 to December
2011

Apr 2011
Aug 2010
n = 52
n = 427

Sep 2010
n = 968 Jul 2011
n = 349

Okt 2010
n = 1453 Aug 2011
n = 408

Sep 2011
Nov 2010 n = 555
n = 549

Des 2010 Okt 2011


n = 300 n = 695

Nov 2011
Jan 2011
n = 1074
n = 512

Feb 2011 Des 2011


n = 217 n = 411

Mar 2011
n = 123

184
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

KEANEKARAGAMAN EKHINODERMATA DI PERAIRAN TALISE,


MINAHASA UTARA
BIODIVERSITY OF ECHINODERMS IN TALISE WATER, NORTH MINAHASA

EddyYusron
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Teregistrasi I tanggal: 5 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 11 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 12 Desember 2012

ABSTRAK

Kajian tentang keanekaragaman jenis Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dilakukan
pada bulan Juli dan Agustus 2009 di sembilan lokasi dengan tujuan untuk melihat komposisi jenis, struktur komunitas,
zonasi dan sebaran lokal. Pengambilan contoh biota dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat ukuran 1m x
1m. Pada bulan Juli terkoleksi 20 jenis fauna Ekhinodermata dari 5 lokasi yang mewakili 7 jenis Holothuroidea, 8
jenis Echinoidea dan 5 jenis Asteroidea. Pada bulan Agustus terkoleksi 13 jenis yang mewakili 3 jenis Holothuroidea,
7 jenis Echinoidea dan 3 jenis Asteroidea. Dari 4 lokasi yang diamati, teripang (Holothuroidea) merupakan kelompok
yang paling menonjol untuk daerah lamun. Hasil transek seluruh lokasi menunjukkan bahwa kelompok bulu babi
(Echinoidea) menempati tingkat kekayaan jenis relatif tinggi. Hasil analisis di seluruh lokasi pengamatan diperoleh
indek diversitas tertinggi (H = 1,06) dan kekayaan jenis tertinggi (D = 12,91) terdapat di pantai Bulu, nilai indek
kemerataan tertinggi terdapat pada lokasi pantai Kebun 2 (J = 0,95). Fauna Ekhinodermata di perairan Talise,
Minahasa Utara, memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang rendah dibandingkan dengan di Perairan Tanjung
Pai, Padaido Biak. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap fauna Ekhinodermata
bernilai ekonomis, seperti berbagai jenis teripang.

KATA KUNCI : Ekhinodermata, Keanekaragaman jenis,Talise, Minahasa Utara.

ABSTRACT:

Reslard on biodiversity of Echinoderms in Talise water, North Minahasa, North Sulawesi was conducted at nine
locations in July and August 2009. The purpose of the study was to know the species composition, community
structure, zonation and spatial distribution of Echinoderm. Sampling was done by using a 1 m x 1 m transect frame.
Twenty species of Echinoderms, consisted of 7 species of Holothuroidea, 8 species of Echinoidea and 5 species of
Asteroidea were collected in July at 5 stasions, while in August there were thirteen species of Echinoderms, consisted
of 3 species Holothuroidea, 7 species of Echinoidea, and 3 species of Asteroidea collected at 4 observation sites.
Generally, Holothuroidea (sea cucumber) is the main group that often found on the seagrass beds. Based on the
population density, Echinoidea (sea urchin) was the dominant group and the highest in individual density. The
quantitative analysis on the ecological indices revealed that Echinoidea has the highest species richness (D =
12.91). At Bulu diversity index of faunal assemblage was H = 1.06. The highest evenness index exhibited at pantai
Kebun 2 (J = 0.95). In general, the number of species of Echinoderm fauna in the Talise were lower than those in
Tanjung Pai, Padaido islands, Biak. This indicates that over-exploitation was occuring in the study sites, especially
for sea cucumber which has economically values.

KEYWORDS : Echinoderm, Diversity, Talise, North Minahasa.

PENDAHULUAN dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi, sehingga


kerusakan dan kepunahan pada salah satu unsur, akan
Pulau Talise dan perairannya termasuk dalam wilayah berdampak terganggunya keseimbangan ekosistem
Kabupaten Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara. sumberdaya alam pesisir dan laut secara keseluruhan.
Perairan ini memiliki padang lamun yang cukup luas dengan
berbagai biota yang berasosiasi di dalamnya. Padang lamun (seagrass meadows) merupakan salah
satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan
Sumberdaya alam hayati dan ekosistem pesisir laut penting (Fortes 1990; Thangaradjon et al., 2007). Sebagai
serta pulau-pulau kecil merupakan sumberdaya potensial fungsi ekosistem, padang lamun merupakan habitat bagi
yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara berbagai jenis fauna invertebrata, salah satunya kelompok
berkelanjutan oleh masyarakat lokal dengan Ekhinodermata yang merupakan kelompok biota penghuni
memperhatikan karakteristik dan daya dukung lingkungan. lamun yang cukup menonjol, terutama dari kelas
Semua unsur sumberdaya alam hayati pesisir dan laut pada Echinoidea (bulu babi). Kelompok Ekhinodermata ini dapat
dasarnya memiliki saling ketergantungan antara satu hidup menempati berbagai macam habitat seperti zona
Korespondensi penulis:
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
Jl. Pasir Putih No. 1 Ancol Timur - Jakarta Utara 185
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

rataan terumbu, daerah pertumbuhan algae, padang lamun, yang unik tersebut. Salah satu faktor penting yang menjadi
koloni karang hidup dan karang mati dan beting karang kunci keberhasilannya adalah peran dan keterlibatan
(rubbles dan boulders). Penelitian mengenai aspek masyarakat, mengingat upaya menjaga dan mengelola
ekologi fauna Ekhinodermata di perairan Indonesia telah sumberdaya alam tersebut hanya dapat dicapai jika
dilaporkan olehAziz & Sugiarto, (1994), Robert & Darsono, masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders)
(1984),Aziz &Al Hakim, (2007), dan Supono &Arbi, (2010). lainnya memiliki informasi, pemahaman dan visi yang sama
dalam mengelola sumberdaya. Pembinaan dan
Sehubungan dengan meningkatnya aktifitas nelayan pengembangan masyarakat pesisir bisa berhasil dengan
lokal dalam pengumpulan berbagai jenis teripang dan bulu baik jika mereka berpartisipasi secara aktif.
babi, terutama di daerah rataan terumbu dan padang lamun
telah menyebabkan menurunnya populasi Ekhinodermata, Informasi mengenai kehadiran fauna Ekhinodermata
terutama kelompok teripang dan bulu babi, sehingga dari perairan Talise, Sulawesi Utara belum pernah
dikhawatirkan akan mengganggu kelestariannya di dilaporkan. Beberapa hasil penelitian tentang
perairan Talise. Fauna Ekhinodermata mempunyai peranan Ekhinodermata di beberapa perairan telah dilaporkan
pada ekosistem lamun sebagai jaringan makanan dan juga antara lain : perairan Lombok Barat bagian utara (Aziz,
sebagai herbivora, karnivora, omnivora ataupun sebagai 1995), Lombok Barat bagian selatan (Aziz & Sugiarto,
pemakan detritus telah dilaporkan oleh Clark & Rowe, 1994), penelitian di perairan Maluku telah diungkapkan
(1971). oleh Jangoux & Sukarno, (1974), Meyer, (1976),
Soemodihardjo et al. (1980) dan Yusron & Pitra, (2004).
Sebagaimana diketahui, potensi sumberdaya alam dan
jasa lingkungan yang ada di wilayah yang terkenal paling METODE PENELITIAN
produktif di dunia ini mempunyai makna yang sangat
penting. Fakta menunjukkan bahwa sekitar 60% (140 juta) Penelitian dilakukan di sekitar perairan Pulau Talise,
rakyat Indonesia hidup dan menggantungkan hidupnya Kecamatan Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi
di wilayah pesisir. Selain itu, wilayah pesisir mendukung Utara. Penelitian pada bulan Juli 2009, dilakukan pada 5
hampir semua kegiatan perikanan Indonesia. lokasi di Pulau Talise bagian Barat yaitu: Stasiun 1 (Pantai
Bulu), Stasiun 2 (Pantai Labuan), Stasiun 3 (Pantai Bulu
Oleh karenanya, apabila kelestarian dan keberlanjutan Kecil), Stasiun 4 (Pantai Tanah Hutan) dan Stasiun 5 (Pantai
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang Bulu). Pada bulan Agustus 2009, lokasi kajian meliputi 4
ada ingin tetap dipertahankan, maka diperlukan komitmen lokasi Pulau Talise bagian Timur Stasiun 1 (Pantai Kebun
dari semua pihak (stakeholders) untuk menjaga dan 1), Stasiun 2 ( Pantai Kebun 2), Stasiun 3 ( Pantai Tambun
mengelola kualitas dan daya dukung lingkungan wilayah 1) dan Stasiun 4 (Pantai Tambun 2) (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian Ekhinodermata di perairan Talise, Minahasa Utara,2009.


Figure 1. Study sites of Echinoderm in Talise water, North Minahasa, 2009.

186
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

Pengambilan contoh pada setiap lokasi pengamatan yang ditumbuhi lamun 300 meter kearah pantai. Pada kelima
dilakukan sebanyak dua kali menggunakan metode lokasi tersebut dapat dikatakan bahwa ekosistem lamun
transek kuadrat. Tali transek ditarik tegak lurus dari posisi berada dalam kondisi baik dan dengan berbagai jenis
titik surut terendah ke arah tubir karang sepanjang 100 lamun, diantaranya jenis Cymodocea rotundata,
meter. Transek berbentuk persegi yang dibuat dari pralon Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule
berukuran 1 x 1 m. Titik pengamatan dibuat setiap jarak 10 pinifolia, Halodule uninervis, Syringgodium isoetifolium
meter sepanjang garis transek, jarak antara transek 50 dan Thalassia hemprichii. Pengamatan di lokasi pulau
meter. Pengamatan dilakukan pada saat air menjelang Talise bagian Timur juga mempunyai ekosistem lamun yang
surut. Fauna Ekhinodermata yang terdapat dalam kerangka lebih sempit berkisar antara 100 150 meter dengan jenis
pralon dicatat jumlah jenis dan jumlah individunya. Selain lamun lebih sedikit dibandingkan dengan pulau Talise
itu juga dicatat jenis substrat untuk memberikan zonasi bagian Barat, terdiri dari jenis C. rotundata, C. serrulata,
dari sebaran fauna tersebut. E. acoroides, S. isoetifolium dan T. Hemprichi.

Identifikasi jenis Ekhinodermata dilakukan dengan Komposisi dan Penyebaran Fauna Ekhinodermata
acuan Clark & Rowe (1971), Colin & Arneson (1995),
Gosliner et al. (1996), Alen & Steene (1999), dan Ashley Hasil pengamatan fauna Ekhinodermata pada bulan
(2002). Beberapa parameter ekologi berupa indeks, yaitu Juli 2009 lima lokasi di perairan Talise bagian Barat dan
indeks kekayaan jenis Margalef (D), indeks keragaman pada bulan Agustus 2009 empat lokasi di Talise bagian
Pielou (J) dan indeks diversitas Shannon (H) sebagai Timur diperoleh 3 kelompok yaitu Holothuroidea,
berikut (Maguran, 1988): Echinoidea dan Asteroidea, sedangkan Kelas Ophiuroidea
dan Crinoidea tidak ditemukan di seluruh stasiun
Indeks Margalef (D) = S - 1 penelitian. Hal ini disebabkan habitat biota tersebut berada
log N di sekitar tubir dan di bawah batu sehingga sulit untuk
dikoleksi. Jenis fauna Ekhinodermata yang tertangkap di
Indeks Shannon-Wiener H) = -S (ni/N) ln (ni/N) perairan Talise pada bulan Juli 2009 dikemukakan pada
Tabel 1.
Indeks Pielou (J) = _H
log S Penyebaran fauna Ekhinodermata berdasarkan
Keterangan : mikrohabitat pasir, lamun, rumput laut dan karang mati
S = Jumlah total jenis menunjukkan padang lamun merupakan habitat yang
N =Jumlah total individu yang diamati paling disukai dengan persentasi kejadian 70 % (14 jenis),
ni = Jumlah individu jenis ke - i disusul karang mati 60 % (12 jenis), pasir 50 % (10 jenis)
dan terendah adalah pada habitat rumput laut 25 % ( 5
HASIL DAN BAHASAN jenis) (Tabel 2).

HASIL Komposisi fauna Ekhinodermata di perairan Talise


bagian Timur diperoleh 13 jenis yang termasuk dalam 3
Diskripsi Lokasi Penelitian Kelas. Kelas Holothuroidea (teripang) diwakili oleh 3 jenis,
kelas Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 7 jenis dan
Pada lokasi Pulau Talise bagian Barat kondisi sebaran kelas Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 3 jenis.
lamun dapat diketahui dengan melakukan pengukuran Kelompok yang paling tinggi kehadiran dalam pengamatan
mulai dari garis pantai sampai batas tubir berkisar antar ini adalah bulu babi (Echinoidea), jenis Tripneustes
250 500 meter. Pada stasiun 1 mempunyai substrat pasir gratilla yang ditemukan melimpah pada lokasi yang
halus dan ditumbuhi lamun sejauh 300 meter, stasiun 2 banyak padang lamun, terutama pada stasiun 3 (Tabel 3).
juga bersubtrat pasir yang ditumbuhi lamun sejauh 500
meter ke arah laut, stasiun 3 berupa subtrat pasir dan Penyebaran Ekhinodermata pada bulan Agustus 2009
karang mati yang ditumbuhi lamun sejauh 250 meter berdasarkan mikrohabitat, pasir, lamun, rumput laut dan
kearah laut, Stasiun 4 terdiri dari subtrat pasir dan karang karang mati. Menunjukkan bahwa habitat karang mati
mati yang ditumbuhi lamun sejauh 250 meter ke arah laut paling disukai oleh Ekhinodermata dengan persentasi
dan Stasiun 5 mempunyai substrat pasir dan karang mati kejadian 76,9 % (10 jenis), disusul lamun 61,5 % (10 jenis),
pasir 53,8 % (7 jenis) dan terendah adalah pada habitat
rumput laut 15,3 % (2 jenis) (Tabel 4).

187
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

Tabel 1. Jenis fauna Ekhinodermata hasil transek di perairan barat Talise, Sulawesi Utara, Juli 2009.
Table 1. List of species of Echinoderms from transect line at western part of Talise water, North Sulawesi, July 2009

Kelas/jenis Lokasi / Location Rata rata


No Individu/
Class / Species I 2 3 4 5
transek
I. HOLOTHUROIDEA 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

1 Holothuria atra 1 0 0 0 0 0 3 1 0 2 0,7


2 Holothuria hilla 3 3 5 2 2 0 2 5 2 7 3,1
3 Holothuria leucospilota 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0,2
4 Bohadschia similis 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1
5 Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 3 1 0 0,4
6 Actinopyga milliaris 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0,3
7 Holothuria scabra 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0,2

II ECHINOIDEA
8 Diadema setosum 2 3 0 1 2 0 0 7 13 0 2,8
9 Diadema savignyi 2 4 0 0 0 0 0 0 3 2 1,1
10 Tripneutes gratilla 4 1 0 0 0 0 2 6 2 1 1,6
11 Echinothrix diadema 2 2 0 0 1 3 1 4 2 6 2,1
12 Echinothrix calamaris 0 4 0 0 0 0 0 0 1 2 0,7
13 Brissus latecarinatus 3 1 2 1 0 0 0 0 8 10 2,5
14 Echinometra mathaei 0 0 0 0 34 12 25 32 16 53 17,2
15 Clypeaster oshimensis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0,2

III. ASTEROIDEA
16 Linckia laevigata 2 1 0 0 0 0 3 1 2 7 1,6
17 Archaster typicus 1 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0,4
18 Protoreaster nodosus 6 6 2 5 2 1 0 0 0 0 2,2
19 Protoreaster lincki 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0,2
20 Culcita novaeguineae 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0,1
Jumlah Jenis 12 12 4 5 7 4 7 9 10 10
Jumlah Individu 28 28 11 10 43 17 38 60 50 92
Indek Diversitas (H) 1,06 0,98 0,56 0,59 0,38 0,38 0,54 0,68 0,80 0,66
Indek Kemerataan (J) 0,93 0,91 0,92 0,84 0,45 0,64 0,63 0,71 0,80 0,65
Indek Kekayaan Jenis (D) 12,9 11,1 4,23 4,09 1,60 1,97 2,27 3,21 5,3 2,82
Keterangan / Remarks : Lokasi 1 (Pantai Bulu), Lokasi 2 ( Pantai Labuan ), Lokasi 3 (Pantai Bulu Kecil), Lokasi 4 (Pantai
Tanah Hutan), Lokasi 5 (Pantai Bulu).

188
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

Tabel 2. Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat di perairan Talise Sulawesi Utara, Juli 2009.
Table 2. Distribution of Echinoderms based on microhabitats at Talise water, North Sulawesi, July 2009.

Kelas / Jenis Pasir Lamun Rumput Laut Karang Mati


No
Class / Species (Sand) (Seagrass) (Algae) (Dead Coral)
I HOLOTHUROIDEA
1 Holothuria atra + + - +
2 Holothuria hilla - + + +
3 Holothuria leucospilota + + - +
4 Bohadschia similes + + - -
5 Bohadschia sp. - + - -
6 Actinopyga milliaris + + - -
7 Holothuria scabra + + - -
II ECHINOIDEA
8 Diadema setosum + + - +
9 Diadema savignyi + + - +
10 Tripneutes gratilla - + + -
11 Echinothrix diadema + - - +
12 Echinothrix calamaris + + - -
13 Brissus latecarinatus - - - +
14 Echinometra mathaei - - - +
15 Clypeaster oshimensis - - - +
III. ASTEROIDEA
16 Linckia laevigata - - - +
17 Archaster typicus + - - +
18 Protoreaster nodosus - + + -
19 Protoreaster lincki - + + +
20 Culcita novaeguineae - + + -
Persentasi kejadian 10 kejadian 14 kejadian 5 kejadian 12
(50%) (70%) (25%) Kejadian (60%)

Tabel 3. Daftar jenis fauna ekhinodermata dari lokasi transek di perairan Talise Timur Sulawesi Utara, Agustus 2009.
Table 3. List of species of Echinoderms from transect line at Talise water, North Sulawesi, Auguts 2009

Kelas/jenis Lokasi / Location Rata-rata individu/


No transek
Class / Species 1 2 3 4
I. HOLOTHUROIDEA 1 2 1 2 1 2 1 2
1 Holothuria atra 0 0 0 2 0 0 0 0 0,25
2 Holothuria hilla 1 0 0 0 1 0 0 0 0,25
3 Bohadschia marmorata 0 2 0 0 0 0 0 0 0,25
II ECHINOIDEA
4 Diadema setosum 0 0 2 0 0 0 3 0 0,63
5 Diadema savignyi 8 0 4 0 0 0 0 0 1,50
6 Tripneutes gratilla 3 5 0 2 5 20 6 1 5,25
7 Mespilia globules 2 2 0 0 0 0 0 0 0,5
8 Echinothrix calamaris 0 0 2 1 4 0 0 0 0,88
9 Brissus latecarinatus 0 0 1 3 0 2 3 2 1,38
10 Echinometra mathaei 0 0 0 0 0 0 0 6 0,75
III. ASTEROIDEA
11 Linckia laevigata 0 0 0 0 1 2 0 1 0,50
12 Archaster typicus 1 0 2 0 0 0 0 0 0,38
13 Protoreaster nodosus 0 1 0 0 2 2 0 1 0,75
Jumlah Jenis 5 4 5 4 5 4 3 5
Jumlah Individu 15 10 11 8 13 26 12 12
Indek Diversitas (H) 0,56 0,53 0,66 0,57 0,61 0,34 0,45 0,59
Indek Kemerataan (J) 0,80 0,88 0,94 0,95 0,88 0,57 0,95 0,84
Indek Kekayaan Jenis (D) 0,31 0,27 0,16 0,18 0,22 0,59 0,32 0,26
Keterangan / Remarks : Lokasi 1 (Pantai Kebun 1), Lokasi 2 ( Pantai Kebun 2), Lokasi 3 (Pantai Tambun 1), Lokasi 4 (Pantai
Tambun 2).

189
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

Tabel 4. Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat di perairan Talise bagian Timur, Sulawesi Utara, Agustus
2009.
Table 4. Distribution of Echinoderms based on microhabitats at Talise waters, North Sulawesi, August 2009

No Kelas / Jenis Pasir Lamun Rumput Laut Karang Mati


Class / Species (Sand) (Seagrass) (Algae) (Dead Coral)
I HOLOTHUROIDEA
1 Holothuria atra + + - +
2 Holothuria hilla - + - +
3 Bohadschia marmorata + + - +
II ECHINOIDEA
4 Diadema setosum + + - +
5 Diadema savignyi + + - +
6 Tripneutes gratilla - + + -
7 Echinothrix diadema + - - +
8 Echinothrix calamaris + + - -
9 Brissus latecarinatus - - - +
10 Echinometra mathaei - - - +
III. ASTEROIDEA
11 Linckia laevigata - - - +
12 Archaster typicus + - - +
13 Protoreaster nodosus - + + -
Persentasi kejadian 7 kejadian 8 kejadian 2 kejadian 10
(53,8%) (61,5%) (15,3) Kejadian (76,9%)

BAHASAN lamun (50%) dan pasir (50%) dan terendah di habitat


rumput laut (12,5%). Kelompok bintang laut menyebar
Selama pengamatan di lima stasiun pada perairan Talise sama rata pada habitat lamun (60%), karang mati (60%),
bagian Barat pada bulan Juli 2009 ditemukan 20 jenis fauna rumput laut (50%) dan terendah di habitat pasir (20%).
Ekhinodermata yang termasuk dalam 3 Kelas, yaitu
Holothuroidea (teripang) yang diwakili oleh 7 jenis, kelas Ditinjau dari jumlah rata-rata individu per transek pada
Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 8 jenis dan kelas bulan Agustus 2009 (Tabel 3), kelas Echinoidea (bulu babi)
Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 5 jenis (Tabel 1). memiliki nilai rata-rata tertinggi, disusul kelas Asteroidea
Kelompok yang paling tinggi kehadiran dalam pengamatan (bintang laut) dan terendah adalah kelas Holothuroidea
ini adalah bulu babi (Echinoidea) dari jenis Echinometra (teripang). Teripang merupakan biota yang memiliki nilai
mathaei yang ditemukan melimpah pada lokasi dimana ekonomis tinggi yang terus-menerus dieksploitasi,
banyak karang mati, terutama pada stasiun 5. sehingga ada kecenderungan lebih tangkap yang
menyebabkan kelas ini memiliki jumlah rata-rata individu
Ditinjau dari jumlah rata-rata individu per transek (Tabel yang rendah. Hasil rata-rata per transek individu jenis
1), kelas Echinoidea (bulu babi) memiliki nilai rata-rata Ekhinodermata mempunyai nilai antara 0,5 5,25.
tinggi, disusul kelas Asteroidea (bintang laut) dan
terendah adalah kelas Holothuroidea (teripang). Teripang Penyebaran teripang sebagaimana diuraikan pada
merupakan biota yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang Tabel 4 menunjukkan bahwa teripang dapat ditemukan di
terus-menerus dieksploitasi, sehingga ada kecenderungan padang lamun (100%) disusul pada habitat karang mati
lebih tangkap yang menyebabkan kelompok ini memiliki (100%) dan sedikit pada habitat pasir (66,6%). Kelompok
jumlah rata-rata individu yang rendah. Bila dilihat dari hasil bulu babi lebih banyak menyebar di habitat karang mati
rata-rata per transek individu jenis Ekhinodermata (71,4%) disusul sama banyaknya pada habitat lamun
mempunyai nilai antara 0,1 17,2. (57,1%) dan pasir (57,1%) dan terendah di habitat rumput
laut (14,2%). Kelompok bintang laut menyebar sama rata
Penyebaran teripang sebagaimana ditunjukkan pada pada habitat karang mati (66,6%), lamun (33,3%), rumput
Tabel 2 tampak bahwa seluruh jenis teripang dapat laut (33,3%), dan di pasir (33,3%).
ditemukan di padang lamun (100%) disusul pada habitat
pasir (71,2%) dan sedikit pada habitat karang mati (42,9%). Melihat hasil pengamatan sebagaimana tertera pada
Kelompok bulu babi lebih banyak menyebar di habitat Tabel 1 - 4 dapat dikatakan bahwa kondisi fauna
karang mati (75%) disusul sama banyaknya pada habitat Ekhinodermata di perairan Talise relatif miskin, terutama

190
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

dalam jumlah jenis dan individu. Aziz, (1995) menemukan berlindung dan sumber pakan bagi fauna ekhinodermata.
32 jenis fauna Ekhinodermata di perairan Lombok Barat Secara ekologi fauna ekhinodermata berperan sangat
bagian Utara. Kemudian Darsono & Aziz, (2001) penting dalam ekosistem terumbu karang, terutama
memperoleh sekitar 52 jenis fauna Ekhinodermata di peranannya dalam rantai makanan (food web), karena biota
perairan terumbu karang Pulau-pulau Derawan, Kalimatan tersebut umumnya berperan sebagai pemakan detritus dan
Timur.Aziz &Al-Hakim, (2007) mendapatkan 34 jenis fauna predator (Birkeland, 1989). Salah satu contoh jenis
Ekhinodermata di perairan sekitar Bakauheni, sedangkan Asteroid sebagai fauna predator yaitu jenis Acanthaster
Supono & Arbi, (2010) menemukan 31 jenis fauna planci yang merupakan sebagai pemangsa polip karang.
Ekhinodermata di perairan Kema, Sulawesi Utara. Kelas Ophiuroidea dan Holothuroidea umumnya sebagai
Miskinnya fauna Ekhinodermata di perairan Talise, pemakan detritus dan beberapa jenis dari kelas Echinoidea
kemungkinan disebabkan teripang sudah banyak diambil bersifat sebagai herbivora.Aziz, (1981) membedakan empat
oleh masyarakat setempat karena mempunyai harga jual macam habitat dilihat dari bentuk topografi daerah terumbu
tinggi. Hasil perhitungan pada setiap stasiun penelitian karang, yaitu daerah zona pasir, zona pertumbuhan lamun
mempunyai jumlah jenis antara 3 - 12 jenis dan jumlah dan rumput laut, zona terumbu karang dan zona tubir dan
individu antara 8 60. (Tabel 1 dan 3). lereng terumbu.

Analisis keanekaragaman secara kuantitatif diperoleh Penyebaran Ekhinodermata berdasarkan mikrohabitat


suatu gambaran bahwa nilai indek diversitas dari Shannon di perairan Talise bagian Barat tampak bahwa 14 jenis
tertinggi terdapat di perairan Talise bagian Barat ditemukan menyukai mikrohabitat lamun, 12 jenis mikrohabitat karang
pada Stasiun 1 dan transek 1 (H = 1,06), nilai indek mati, 10 jenis menempati mikrohabitat pasir dan 5 jenis
kemerataan (indek Pielou) tertinggi terdapat pada Stasiun menempati mikrohabitat rumput laut (Tabel 2). Dari
1 pada transek 1 (J = 0,93), nilai indek kekayaan jenis dari kelompok teripang banyak menempati mikrohabitat lamun
Margalef tertinggi didapatkan pada Stasiun 1 pada transek (7 jenis) dan pasir (5 jenis). Di perairan Talise bagian Timur
1 (D = 12,19). Di perairan Talise bagian Timur ditemukan diperoleh hasil pengamatan biota menyukai mikrohabitat
pada Stasiun 2 pada transek 1 (H = 0,66), nilai indek karang mati (10 jenis), 7 jenis menempati mikrohabitat pasir,
kemerataan tertinggi dari Pielou terdapat pada Stasiun 4 8 jenis menempati mikrohabitat lamun dan 2 jenis
pada transek 1 (J = 0,95), sedangkan nilai indek kekayaan menempati rumput laut (Tabel 4). Hasil penelitian Yusron
jenis (indek Margalef) tertinggi didapatkan pada Stasiun (2003b) di perairan Teluk Sekotong, Lombok Barat - Nusa
3 pada transek 2 (D =0,59). Tenggara Barat mendapatkan biota ekhinodermata
sebanyak 21 jenis menyukai mikrohabitat rumput laut, 18
Menurut Daget, (1976), jika nilai H berkisar antara 1,0 jenis menempati mikrohabitat lamun, 15 jenis menempati
2,0 maka nilai keaneka-ragaman jenisnya rendah. Dengan mikrohabitat karang dan 7 jenis menempati mikrohabitat
demikian keanekaragaman jenis Ekhinodermata di perairan pasir. Heryanto (1984) mengemukakan di perairan Pulau
Talise, Minahasa Utara termasuk dalam kategori rendah Seribu tahun 1984 bahwa di daerah karang dan lamun
sampai sedang (H = 0,3 1,0). Hasil penelitian cukup banyak ditemukan teripang. Banyaknya teripang
Ekhinodermata oleh Yusron (2003a) di perairan daerah di mikrohabitat tersebut oleh karena kebutuhan akan
terumbu karang di Pulau-pulau Muna, Sulawesi Tenggara perlindungan dari sinar matahari. Masing-masing habitat
diperoleh indek diversitas H = 1,19, indek kemerataan J = tersebut didominasi oleh jenis-jenis ekhinodermata
0,91 dan indek kekayaan jenis D = 2,67. Hasil penelitian tertentu, seperti lili laut (Crinoidea) biasanya merupakan
Darsono & Aziz, (2002) di perairan Teluk Lampung, anggota kelompok ekhinodermata yang kehadiran cukup
Sumatera pada 5 lokasi mempunyai nilai indek diversitas banyak di zona tubir karang dan lereng terumbu. Sebaran
H antara 1,359 2,450, indeks kemerataan J antara 0,838 fauna ekhinodermata pada keempat habitat tersebut
0,973) dan indek kekayaan jenis D antara 1,707 3,219. terutama dipengaruhi oleh faktor makanan dan cara makan
Selanjutnya penelitian oleh Aziz & Al-Hakim, (2007) di tiap jenisnya.
perairan Bakauheni pada 8 lokasi mempunyai nilai indek
diversitas (H) antara 1,04 2,26 dan indek kemerataan (J) KESIMPULAN
jenis relatif tinggi berkisar antara 0,71 0,91, ini
disebabkan kehadiran fauna ekhinodermata cukup 1. Hasil pengamatan di lima lokasi di perairan Talise
beragam dan merata. Tidak ada jenis biota yang bagian Barat ditemukan 20 jenis Ekhinodermata yang
kehadirannya terlalu menyolok. termasuk dalam 3 Kelas yaitu Holothuroidea (teripang)
diwakili 7 jenis, Echinoidea (bulu babi) diwakili oleh 8
Ekhinodermata adalah merupakan salah satu jenis dan Asteroidea (bintang laut) diwakili oleh 5
komponen penting dalam hal keaneka-ragaman fauna di jenis.
daerah terumbu karang (Bakus, 1973; Clark, 1976). Hal ini
karena terumbu karang berperan sebagai tempat

191
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

2. Di perairan Talise bagian Timur pada pengamatan di Birkeland, C. 1989. The influence of echinoderm on coral
empat lokasi ditemukan 13 jenis Ekhinodermata yang reef communities. In : M. Jangoux & J.M. Lawrence
termasuk dalam 3 Kelas yaitu Holothuroidea (teripang) (Eds): Echinoderms Studies A.A. Balkema, Rotterdam,
diwakili oleh 3 jenis, Echinoidea (bulu babi) diwakili Netherland. vol 3: 79 p.
oleh 7 jenis dan Asteroidea (bintang laut) diwakili
oleh 3 jenis. Colin, P.L. & C.Arneson. 1995. Tropical pacific
3. Perairan Talise bagian Timur memiliki keanekaragaman invertebrates. The Coral Reef Research Foundation.
biota lebih rendah dari Talise bagian Barat, dan secara CA,USA: 296 p.
keseluruhan lebih rendah di bandingkan dengan lokasi
lain di perairan Indonesia. Clark, A. M & F. W. E, Rowe. 1971. Monograph of shallow-
water Indo West Pasific Echinoderms. Trustees of the
PERSANTUNAN British Museum (Natural History). London: 238 p.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Clark, A. M. 1976. Echinoderm of coral reefs, In : Jones, O.
Peneliti dan Perekayasa Dikti tahun 2009 yang telah A. & Endean (Eds): Geology and Ecology of Coral
mendanai penelitian ini. Ucapkan terima kasih juga penulis Reefs. 3. Acad. Press, New York: p. 95 123.
ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu pada
saat pengambilan data di lapangan. Daget, J. 1976. Les Modeles Mathematiques en Ecologie.
Masson, Coll.Ecol. No.8, Paris: 172 p.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, P & A. Aziz. 2001. Fauna Ekhinodermata dari
Aziz, A. 1981. Fauna Ekhinodermata dari terumbu karang rataan terumbu karang Pulau-pulau Derawan,
Pulau Pari. Pulau-pulau Seribu. Oseanologi di Kalimatan Timur. Dalam Pesisir dan Pantai Indonesia
Indonesia 14: p. 41 50. VI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi
LIPI. Jakarta: p. 213 225.
Aziz, A& H. Sugiarto. 1994. Fauna ekhinodermata padang
lamun di pantai Lombok selatan. dalam : Kiswara, W; Darsono, P & A. Aziz. 2002. Fauna Ekhinodermata dari
M.K. Moosa & M. Hutomo (Eds): Struktur Komunitas beberapa pulau di Teluk Lampung.A.Aziz, M. Muchtar.
Biologi Padang lamun di Pantai Selatan Lombok (Eds): dalam Perairan Indonesia: Oseanografi,
dan kondisi Lingkungannya. Puslitbang Oseanologi Biologi dan Lingkungan Pusat Penelitian dan
LIPI, Jakarta: p. 52 63. Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta: p. 103
120.
Aziz, A. 1995. Beberapa catatan mengenai fauna
Ekhinodermata dari Lombok. Dalam Praseno , D.P; Fortes, M.D. 1990. Seagrass: A Resources unknown in
W.S. Atmadja; I. Supangat; Ruyitno & B.S. Sudibjo the Asian region. United State Coastal Resources
(Eds): Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Management Project. Education Series: 646 p.
kelautan : Potensi Biota, Teknik Budidaya dan Kualitas
Perairan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gosliner, T.M; D.W. Behrens & G.C. Williams. 1996. Coral
Oseanologi LIPI, Jakarta: p. 43 50. reefAnimanls of the Indo-Pacific. Sea Challengers, CA,
California: 314 p.
Aziz,A& I.Al-Hakim. 2007. Fauna Ekhinodermata perairan
terumbu karang sekitar Bakauheni. Oseanologi dan Heryanto, 1984. Suatu studi tentang kepadatan dan
Limnologi di Indonesia 33: p. 187 198. penyebaran berbagai jenis teripang (Echinodermata =
Holothuroidea) di pesisir gugus Pulau Pari Teluk
Alen G.R & R. Steene. 1999. Indo-Pacific coral reef field Jakarta. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan IPB. Bogor:
guide. Tropical Reef Research. CSI, Australia: 378 p. 70 p.

Ashley. M. 2002. Sea urchin of Australia and The Indo- Jangoux, M & Sukarno 1074. The echinoderms collected
Pacific. Capricornica Publications, Sydney, Australia: during the Rumphius Expedition I. Oseanologi di
179 p. Indonesia 1: p. 3638.

Bakus, G. J. 1973. The Biology and Ecology of tropical Meyer, D. I. 1976. The Crinoidea of the Rumphius
holothurian, In O.A. Jones & R. Endean. (Eds) : Biology Expedition II. Oseanologi di Indoensia 6 : p. 3944.
and Geology of Coral Reef Vol 2. Academic Press,
NewYork: p. 325 -357.

192
E. Yusron / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 185-193

Maguran, A.E. 1988. Ecological diversity and its Thangaradjon, T., R. Sridhar,S. Senthilkumar & S. Kananau.
measurement. Croom Helm, London: 146 p. 2007. Seagrass resources assessment in the Mandapam
Coast of the Gulf of Mannar Biosphere reserve, India.
Roberts, D. & P. Darsono. 1984. Zonation of reef flat Applied ecology and environmental research. 6 (1).:
echinoderm at Pari island, Seribu Island. Indonesia. http://www.ecology.uni-corvinus.hu.
Oseanologi di Indonesia 17: p. 33 41.
Yusron, E. 2003a. Fauna ekhinodermata di daerah
Soemodihardjo. S, Burhannuddin, A. Djamali, V. Toro, A. terumbu karang di Pulau-pulau Muna, Sulawesi
Aziz, Sulistijo, O.K. Sumadiharga, G.A. Horridge, P. Tenggara. Pesisir dan Pantai Indonesia VIII. Pusat
Cals, D. F. Dunn & J. Schochet. 1980. Laporan Ekpedisi Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta : p. 135 140.
Rumphius III. Oseanologi di Indonesia 13: p. 1 60.
Yusron, E. 2003b. Beberapa catatan fauna Ekhinodermata
Supono & U.Y. Arbi. 2010. Struktur Komunitas dari perairan Sekotong, Lombok Barat Nusa Tenggara
ekhinodermata di padang lamun perairan Kema, Barat. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional,
Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Jakarta 30 -31 Juli 2003 : p. 42 -47.
Indonesia 36: p. 329 342.
Yusron, E & P. Widianwari 2004. Struktur Komunitas
Teripang (Holothuroidea) di Beberapa Perairan Pantai
Kai Besar, Maluku Tenggara dalam Jurnal Makara
Sains, Universitas Indonesia. 8 (1): 15 20.

193
BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

FENOMENA PLASTISITAS FENOTIPIK IKAN BELIDA (Chitala lopis)


DI SUNGAI KAMPAR, RIAU
PHENOTYPIC PLASTICITY PHENOMENON OF GIANT FEATHERBACK
(Chitala lopis) IN KAMPAR RIVER, RIAU

Arif Wibowo dan Marson


Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum
Teregistrasi I tanggal: 26 Januari 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 Desember 2012;
Disetujui terbit tanggal: 7 Desember 2012

ABSTRAK:

Karakter morfologi seperti ukuran tubuh dan penghitungan meristik telah lama digunakan untuk menggambarkan
stok ikan dan masih digunakan sampai saat ini. Pada awalnya variasi karakter morfologi diasumsikan sebagai
substansi genetik belaka, namun demikian seringkali terdapat perbedaan yang nyata dalam hal identifikasi stok ikan
menggunakan pendekatan morfologi dan genetik, hal ini disebabkan oleh karakter morfologi yang mengalami plastisitas
fenotipik. Untuk melihat fenomena plastisitas fenotipik pada ikan belida (Chitala lopis) dilakukan analisa morfologi
dan genetik. Analisa morfologi dilakukan pada 22 karakter ikan belida yang diperoleh dari lima stasiun sampling di
Sungai Kampar Provinsi Riau. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel ikan belida di Sungai Musi
(Sumatera Selatan) dan Sungai Barito (Kalimantan Selatan). Analisa genetik menggunakan data base runutan rangkaian
D_Loop mtDNA yang ada di GenBank. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan identifikasi stok
menggunakan morfologi dan genetik. Karakter morfologi ikan belida di Sungai Kampar memperlihatkan pola
heterogenitas berdasarkan lokasi geografis, adanya fenomena plastisitas fenotipik. Analisa menggunakan runutan
rangkaian D_Loop mtDNA mengungkap keberadaan ikan belida di Sungai Kampar Provinsi Riau, yang terdiri dari
dua unit populasi, yaitu populasi bagian hilir dan populasi bagian hulu.

KATAKUNCI: Plastisitas fenotipik, morfologi, ikan belida (Chitala lopis), Sungai Kampar

ABSTRACT:

Phenotypic variation in morphological characters such as body shape and meristic count has long been used to
delineate stocks of fish and continue to be used today. Variation in such characters was assumed to be purely genetic
in early studies, however, spectacular differences can occur in the extent of genetic and morphological differentiation
between groups of fish. This is due to morphological characters undergo a phenotypic plasticity. In order to reveal
phenotypic plasticity phenomenon on giant featherback (Chitala lopis), the morphology and genetic analysis were
conducted. Morphology analysis was observed on 22 characters on giant featherback from five stations sampling
in Kampar River and as a comparison, samples from Musi River (South Sumatra) and Barito River (South
Kalimantan) are also subject to analyze. Genetic analysis by using D-Loop mtDNA sequences from GenBank data
base. The research shows that there is a different between stocks using morphological and genetic analysis. The
morphological characters exhibit pattern of heterogeneity base on geography location, phenotypic plasticity. Genetic
analysis reveals the existence two stock of giant featherback in Kampar River, the upper and down stream stock.

KEYWORDS: Phenotific plasticity, morphology, giant featherback (Chitala lopis), Kampar River

PENDAHULUAN informasi biologi dan ekologi spesifik masing-masing stok


digunakan untuk mengimplementasikan strategi
Stok ikan didefinisikan sebagai satu populasi ikan lokal pemanenan yang bertujuan mencapai pemanfaatan lestari.
yang mampu beradaptasi pada lingkungan tertentu serta Identifikasi struktur stok sangat relevan untuk pengkajian
memiliki perbedaan genetik dari stok yang lain sebagai stok dan manajemen pemanenan (Emmett et al., 2005).
konsekuensi dari adaptasi ini (Mac Lean & Evans, 1981).
Identifikasi stok ikan adalah bagian terpenting dan tidak Identifikasi stok ikan dalam rangka pengelolaan ikan
terpisahkan dalam upaya melakukan pengelolaan belida di Sungai Kampar menjadi sesuatu hal yang tidak
perikanan, terutama untuk pengelolaan spesies tunggal saja menarik namun mendesak dilakukan. Hal ini
seperti ikan belida. Hal ini diperlukan untuk memberikan dikarenakan Sungai Kampar menyediakan semua tipe
batasan pengelolaan ikan belida dengan karakteristik habitat ikan belida, produksi tahunan ikan belida yang
biologi yang relatif sama dalam suatu wilayah perikanan, tinggi dan telah terjadi penurunan produksi yang drastis,
sehingga dapat memberikan arah strategi pengelolaan baik sampai 80 % dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (Diskanlut
in-situ atau ex-situ. Menurut Garzia-Rodriguez (2011), Riau, 2008). Wibowo et al. (2010) mengidentifikasi unit
identifikasi stok ikan menjadi sangat relevan karena stok ikan belida di Sungai Kampar dengan menggunakan
Korespondensi penulis:
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang
Jl. Beringin No. 308, Mariana Palembang, Sumatera Selatan 195
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

analisis genetik dengan sekuense D_loop mtDNA. Namun sementara meristik adalah bagian yang dapat dihitung dari
demikian, penggunaan karakter morfologi untuk ikan yang merupakan jumlah bagian-bagian tubuh ikan.
mengidentikasi stok ikan belida di Sungai Kampar sampai
saat ini belum pernah dilaporkan. Karakter morfologi BAHANMETODE
seperti ukuran tubuh atau penghitungan meristik telah
lama digunakan untuk mengidentifikasi stok (Heincke, 1898 Waktu dan Lokasi Penelitian
dalam McQuinn, 1997) dan masih terus digunakan sampai
saat ini (Hurlbut & Clay, 1998). Penelitian dilakukan pada tahun 2010. dengan
menggunakan data morfologi (morfometrik dan meristik)
Begg & Waldman, (1999) menyatakan bahwa dan analisis genetik ikan belida pada data GenBank
penggunaan beberapa metode untuk mengidentifikasi stok (NCBI).
ikan lebih baik bila dibandingkan hanya menggunakan
satu metode. Selain itu, karakter morfologi, memiliki Jumlah dan Metode Pengambilan Sampel
keunggulan dalam identifikasi stok ikan, khususnya ketika
durasi waktu yang diperlukan untuk terbentuknya Sampel ikan belida diperoleh dari Sungai Kampar, Riau
perbedaan genetik yang nyata diantara populasi yang dan lokasi pembanding Sungai Barito, Kalimantan Selatan.
diamati tidak cukup (Turan, 1999). Keunggulan lain Sebagai pembanding spesies, di koleksi ikan putak
menggunakan karakter morfologis dalam mengidentifikasi (Notopterus notopterus) dari Sungai Musi, Sumatera
stok ikan adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya Selatan (Tabel 1). Perbandingan antar spesies dilakukan
besar dan tidak memerlukan waktu lama (Gustiano, 2003). dengan tujuan memperlihatkan kekuatan kemampuan
teknik analisis dalam membedakan karakter morfologi.
Seringkali terdapat perbedaan yang nyata dalam hal Jumlah sampel untuk setiap stasiun sampling dan data
identifikasi stok ikan menggunakan pendekatan morfologi runtutan nukleotida yang diperoleh dari data Genebank
dan genetik, hal ini disebabkan oleh karakter morfologi dijelaskan pada Tabel 2.
yang mengalami plastisitas fenotipik. Plastisitas fenotipik
didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu genotipe Pengambilan sampel dilakukan menggunakan alat
untuk memproduksi lebih dari satu bentuk alternatif pancing, bubu, serok dan fish trap. Ikan sampel diambil
morfologi, kondisi fisiologi dan atau perilaku sebagai secara acak dengan jumlah sampel untuk pengamatan
tanggapan terhadap kondisi lingkungan (West-Ebenhard, morfologi berkisar antara 10-50 spesimen pada setiap
1989) atau secara sederhana faktor lingkungan lokasi.
menyebabkan variasi fenotipik (Stearn, 1989). Selanjutnya,
Robinson & Parsons (2002), menyatakan telah banyak Penanganan dan Pengukuran Ikan Sampel
kajian tentang fenomena plastisitas fenotipik pada ikan.
Sampel ikan belida secara utuh disebut carcass, diberi
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengungkapkan tanda (tagging) serta diberi kode dan lokasi asal spesimen
fenomena plastisitas fenotipik pada ikan belida di Sungai dengan menggunakan dymo machine; contohnya KT 001.
Kampar dan kesesuaian antara identifikasi stok Sampel yang sudah diberi tanda tersebut selanjutnya di
berdasarkan genetik versus variasi fenotipik. Pembahasan diawetkan dengan cara direndam secara bertahap pada
difokuskan pada dua tipe karakter morfologi yang paling larutan alkohol 5% (10 menit), 10% (10 menit), 20% (10
sering digunakan untuk mengidentifikasi stok ikan, yaitu menit), 40% (10 menit) dan penyimpanan akhir dalam
karakter morfometrik dan meristik. Morfometrik adalah larutan alkohol 75%.
perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan,

196
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Tabel 1. Lokasi dan Karakteristik stasiun pengambilan contoh ikan belida dan ikan putak
Table 1. Location and characteristic of sampling stations of Chitala lopis and Notopterus notopterus)

No Stasiun / posisi geografi Keterangan


1 Waduk Kutopanjang Stasiun ini merupakan bagian waduk yang banyak
(000195,39 LU, 1000443,79 BT) dijumpai ikan belida, terletak di Sungai Kampar Kanan
(bagian hulu) atau di Batu Bersurat.

2 Teso Merupakan anak Sungai Kampar Kiri atau bagian hulu


(000032,34 LU, 1010232,71 BT) Sungai Kampar.

3 Langgam Langgam terletak di segmen bagian tengah Sungai


( 000154,69 LU, 1010424,55 BT) Kampar, merupakan pertemuan antara Sungai Kampar
Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Bagian ini memiliki
sungai utama, anak sungai dan danau rawa.

4 Rantau Baru Stasiun ini terletak di bagian hilir dari Sungai Kampar
(000171,06 LU, 1010481,22 BT). dan sudah dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

5 Kuala Tolam Merupakan stasiun penelitian yang terletak di daerah


(000193,10 LU, 1020112,60 BT). hilir Sungai Kampar, memiliki banyak vegetasi tepian
dengan perairan yang bersifat asam.

6 Sungai Barito Kalimantan Selatan, pH perairan relatif basa

7 Sungai Musi Sumatera Selatan, daerah sekitar Kelekar, perairan relatif


asam.

Tabel 2. Daftar contoh ikan yang digunakan dalam penelitian


Table 2. List of fish samples used in this study

Jenis Lokasi Jumlah


Ikan belida (Chitala lopis) 1. Waduk Kutopanjang (WD) 16 individu
2. Teso (ST) 13 individu
3. Langgam (LG) 12 individu
4. Rantau Baru (RB) 37 individu
5. Kuala Tolam (KT) 17 individu
6. Sungai Barito (Kalimantan Selatan) (RK) 10 individu
Ikan putak
(Notopterus notopterus) 7. Sungai Musi (Sumatera Selatan) (PU) 9 individu
Jumlah total sampel 114 individu

Data sekuense mtDNA ikan belida tersimpan di Genbank dengan kode akses JQ665739- 48 individu
JQ665837
Sekuense ikan belida (Chitala lopis) kode akses AP008921 1 individu
pembanding dari Genbank database

Pengukuran karakter morfologis secara morfometrik adalah metode yang sampai saat ini paling banyak
dilakukan dengan meletakkan ikan uji pada posisi kepala digunakan dalam studi morfologi, paling tidak terdapat 31
menghadap ke kiri dan sirip dibiarkan alami. Pengukuran dari 42 studi tentang subjek ini yang telah dipublikasikan
karakter morfometrik spesimen dilakukan dengan (Schaeffer, 1991). Jumlah karakter morfologi yang diamati
menggunakan digital caliper yang memiliki ketelitian dalam analisis morfometrik tidak dibatasi, hanya saja
sampai 0,10 mm. Karakter meristik diamati dengan cara karakter morfologi yang diamati harus cukup banyak
penghitungan manual dibantu kaca pembesar. Metode sehingga representatif (Gustiano, 2003).
pengukuran dengan menggunakan manual digital calliper

197
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Karakter morfometrik yang diamati meliputi 18 titik 17. Panjang sirip dorsal, ditulis DFL (Dorsal fin Length),
pengamatan pada tubuh ikan belida (Gustiano, 2003, diukur dari ujung sirip dorsal sampai dengan dasar
Sudarto, komunikasi pribadi), yaitu: sirip dorsal; dinyatakan dalam %SL.
1. Panjang standar, ditulis SL (Standard Length), diukur 18. Tinggi kepala, ditulis HD (Head Depth), diukur dari
dari anterior mulut atau bibir atas (premaxilla) sampai garis tegak antara pangkal kepala bagian atas sampai
ke bagian tengah atau pelipatan sirip caudal; dengan pangkal kepala bagian bawah; dinyatakan
dinyatakan dalam mm. dalam %SL.
2. Panjang operkulum ke dua, ditulis DSO (Distance to
Second Operculum), diukur dari ujung bagian kepala Penghitungan karakter meristik (Gustiano, 2003,
sampai dengan operculum ke dua; dinyatakan dalam %SL. Sudarto, komunikasi pribadi), yaitu:
3. Panjang hidung, ditulis SNL (Snout Length), diukur 1. Jumlah duri-duri pada bagian ventral di dekat kepala,
dari ujung bagian kepala terdepan sampai dengan ditulis NVS (Number of Ventral Spines).
lubang hidung; dinyatakan dalam %SL. 2. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah
4. Lebar kepala, ditulis HW (Head Width ), merupakan pada sirip anal, ditulis NAF (Number of Anal Fin
jarak lurus terbesar antara kedua keping tutup insang Length).
pada kedua sisi kepala; dinyatakan dalam %SL. 3. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah
5. Lebar interorbital, ditulis IOW (Interorbital Width), pada sirip pectoral, ditulis NPF (Number of Pectoral
merupakan jarak lurus antara kedua mata; dinyatakan Fin).
dalam %SL. 4. Jumlah jari-jari keras, lemah mengeras, maupun lemah
6. Panjang rahang atas, ditulis UJM (Upper Jaw Mouth), pada sirip dorsal, ditulis NDF (Number of Dorsal Fin).
diukur dari ujung terdepan mulut bagian atas sampai
dengan ujung terbelakang tulang rahang atas; Pengukuran karakter morfometrik dan meristik ikan
dinyatakan dalam %SL. belida pada 22 karakter morfologis pada bagian sisi sebelah
7. Panjang rahang bawah, ditulis LJM (Lower Jaw kiri tubuh ikan, terlihat pada Gambar 1.
Mouth), diukur dari ujung terdepan mulut bagian
bawah sampai dengan ujung terbelakang tulang rahang Analisa Data
bawah; dinyatakan dalam %SL.
8. Panjang operkulum pertama, ditulis DFO (Distance to Sebelum melakukan analisis, data dari hasil pengukuran
First Operculum), merupakan panjang pectoral; morfometrik setiap karakter dibagi dengan panjang standar
dinyatakan dalam %SL. (SL) dan dinormalisasi dengan trasformasi log (x + 1).
9. Diametermata,ditulisED(EyeDiameter),merupakanpanjang Selanjutnya data morfometrik dan meristik dianalisis
garis tengah rongga mata; dinyatakan dalam %SL. dengan pendekatan analisis multivariabel yang didasarkan
10. Panjang pre-pectoral, ditulis PPEL (Prepectoral Fin pada Analisis diskriminan (Discriminant Analysis)
Length), diukur dari ujung terdepan mulut bagian berdasarkan Fisher (1936). Analisa diskriminan dilakukan
bawah dengan ujung terdepan dari sirip pectoral; dengan menggunakan paket program Statistica versi 6.0.
dinyatakan dalam %SL.
11. Panjang pre-pelvic, ditulis PPVC (Prepelfiv Length),
diukur dari ujung terdepan mulut sampai dengan Metode analisa diskriminan digunakan untuk
pangkal sirip ventral; dinyatakan dalam %SL. mendapatkan peta sebaran populasi ikan sampel dengan
12. Panjang pre-sirip anal, ditulis PPAL (Pre-Anal Length), nilai kesamaan (index of similarity) di dalam dan di luar
diukur dari ujung terdepan mulut sampai dengan kelompok. Analisa diskriminan juga digunakan untuk
pangkal sirip anal; dinyatakan dalam %SL. menentukan variabel yang dapat membedakan terhadap
13. Panjang diagonal, ditulis DL (Diagonal Length), diukur pembentukan kelompok populasi menggunakan suatu
dari pangkal sirip anal sampai dengan pangkal sirip fungsi diskriminan.
dorsal; dinyatakan dalam %SL.
14. Lebarbadan,ditulisBW(BodyWidth),merupakanjarakpaling Nukleotida data base Genbank kode akses JQ665739-
lebar sisi kanan dan kiri ikan; dinyatakan dalam%SL. JQ665837 kemudian disejajarkan menggunakan CLUSTAL
15. Panjang sirip pektoral, ditulis PFL (Pectoral Fin W dalam MEGA1.81 4.0 (Tamura et al., 2007). Jarak genetik
Length), diukur dari ujung sirip pektoral dengan dianalisa berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Nei,
pangkal sirip pectoral; dinyatakan dalam %SL. (1987), dilakukan menggunakan MEGA 4.0 (Tamura et al.,
16. Panjang anus, ditulis AL (Anus Length), diukur dari 2007). Hasilnya di kelompokkan dengan cluster analysis
ujung sirip ventral sampai dengan pangkal sirip dalam STATISTICA6.0.
ventral; dinyatakan dalam %SL.

198
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Gambar 1. Karakter morfologis ikan belida yang diukur (Sumber: Sudarto komunikasi pribadi)
Figure 1. Measured morphology characters of giant featherback (Source, Sudarto personal communication)

HASIL DAN BAHASAN kluster jarak euclidance. Pengelompokkan dan pemisahan


populasi ikan belida, terlihat memiliki pola mengelompok
HASIL pada ikan belida jantan, khususnya pada karakter
morfometrik (Gambar 2).
Identifikasi Unit Populasi
Individual ikan belida yang berasal dari lokasi sampling
Identifikasi unit populasi berdasarkan karakter sekitar hulu Sungai Kampar (Kutopanjang dan Teso)
morfologi diindikasikan oleh scaterplot dua akar pertama terplotkan kearah paling kanan scaterplot, sedikit lebih
kanonical variate (Gambar 2). Unit populasi digambarkan jauh dibandingkan dengan plot ikan belida yang berasal
sebagai kesatuan individual yang mengelompok dan dari lokasi sampling sekitar hilir Sungai (Kuala Tolam,
berbeda dari kelompok individual yang lain. Individual Rantau Baru dan Langgam). Tampaknya pembeda yang
yang mengelompok divalidasi dengan tingkat klasifikasi paling jelas dan nyata adalah fungsi diskriminan pertama.
benar yang diestimasi dari prosedur validasi silang dan Fungsi ini ditandai oleh karakter lebar badan (BW ), sirip
perbedaan kelompok individual berdasarkan analisis (PPEL) dan karakter kepala (DSO) (Gambar 3)

199
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Gambar 2. Plot individual ikan belida dan kelompok centroid kanonical variabel 1 dan 2 berdasarkan karakter
morfometrik (A dan B) dan meristik (C dan D)
Figure 2. Individual plot of giant fetaherback and group of centroid canonical variable 1 and 2 based on
morphometric character (A and B) and meristic (C and D)

Jantan Betina

Jantan
betina

Gambar 3. Scater plot dan whiskerplot karakter morfometrik utama ikan belida jantan dan betina
Figure 3. Scater plot and whiskerplot of the profound morphometric character of male and female giant
featherback

200
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Analisis Cluster dan Klasifikasi Populasi belida yang berasal dari lokasi hulu Sungai Kampar
(Kutopanjang dan Teso).
Tingkat klasifikasi benar yang diestimasi dari prosedur
validasi silang untuk 18 karakter morfometrik fungsi Analisis jarak genetik menggunakan data sekuense
diskriminan, untuk ikan belida jantan berkisar antara 50 COI mtDNA dari Genbank, memperlihatkan adanya dua
sampai 100%, dengan rata-rata 87,34% (Tabel 3). kelompok individual (cluster). Cluster pertama adalah
Pengelompokkan individual dengan dendogram (Gambar kelompok individual yang terdiri dari ikan belida yang
4) yang dibentuk dari analisis cluster berdasarkan karakter berasal dari stasiun Langgam, Rantau Baru dan Teso dan
morfologi, terlihat pola heterogenitas atau perbedaan cluster kedua adalah ikan belida Kuala Tolam (Gambar 5).
kelompok ikan belida jantan berdasarkan lokasi geografis.
Ikan belida yang berasal dari Stasiun Kuala Tolam
Individu ikan belida yang berasal dari lokasi-lokasi memperlihatkan kesamaan morfologi dengan ikan belida
sampling di sekitar daerah hilir (Rantau Baru, Langgam dari lokasi yang lain (Gambar 4), namun secara genetik
dan Kuala Tolam) menjadi satu kelompok yang memiliki sudah berbeda nyata (Gambar 5).
kesamaan morfologi. Pola yang sama terlihat pada ikan

Tabel 3. Klasifikasi analisis diskriminan karakter morfometrik ikan belida jantan.


Table 3. Classification discriminan analysis of morphometric character of male giant fetaherback

Kelompok n Persen Jumlah ikan yang dalam kelompok


WD ST LG RB KT PU RK
Kutopanjang 10 90 9 0 0 1 0 0 0
Teso 7 85,71 0 6 0 1 0 0 0
Langgam 2 50 1 1 0 0 0 0 0
Rantau Baru 12 100 0 0 0 12 0 0 0
Kuala Tolam 7 85,71 1 0 0 0 6 0 0
Putak 9 100 0 0 0 0 0 9 0
Barito 10 100 0 0 0 0 0 0 10
Total Jumlah Sampel 57 87,34
Keterangan: WD : Kutopanjang, ST : Teso, LG : Langgam, RB : Rantau Baru,
KT : Kuala Tolam, Pu : Putak dan RK : Barito

Dendrogram Dendrogram

Barito Putak

Putak Langgam

Kuala Tolam Sungai Teso

Rantau Baru Barito

Langgam Kuala Tolam

Sungai Teso Rantau Baru

Kutopanjang Kutopanjang

0 5 10 15 20 0 10 20 30 40 50 60
index index

A (jantan) B (betina)

201
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Dendrogram Dendrogram

Putak
Putak
Langgam
Rantau Baru
Kuala Tolam
Sungai teso
Barito
Langgam
Sungai teso
Barito
Rantau Baru
Kuala Tolam
Kutopanjang
Kutopanjang

0 100 200 300 400 500 600 700


index 0 10 20 30 40 50
index

C (jantan) D (betina)

Gambar 4. Dendogram jarak kemiripan antar individual kelompok stasiun ikan belida berdasarkan karakter
morfometrik (A dan B) dan meristik (C dan D)
Figure 4. Dendogram similarity distance among individual in station group of giant featherback based on
morphometric character (A and B) and meristic character (C and D)

Dendrogram

Langgam

Rantau Baru

Teso

Kutopanjang

Kuala Tolam

Chitala lopis

AP008922

0 0.000005 0.00001 0.000015 0.00002 0.000025 0.00003 0.000035 0.00004


index

Gambar 5. Jarak genetik antar populasi stasiun pengambilan sampel


Figure 5. Genetic distance among sampling population

BAHASAN aktivitas menangkap dan memproses mangsa. Kepala


yang lebih besar tampaknya cocok untuk mencerna
Pengelompokkan populasi ikan terlihat lebih jelas mangsa yang masif seperti udang dan beberapa jenis ikan
menggunakan karakter morfometrik di bandingkan (Gosline, 1996). Makanan ikan belida berupa udang,
meristik. Variasi bentuk dalam analisis morfometrik, lebih banyak ditemukan dalam isi perut ikan belida di Sungai
terkait dengan faktor genetik sementara karakter meristik Teso. Terkait dengan sirip dan pelfic, Gosline, (1996) telah
lebih banyak tergantung pada fluktuasi faktor lingkungan mendokumentasikan sirip memiliki keuntungan proyeksi
(Barlow, 1961) dan sifat alami data meristik yang terpisah individu dalam kolom air dan mempertahankan elevasi
juga mengurangi ketepatan dalam analisis ketika mereka tidak bergerak, sehingga ikan belida yang
pengelompokkan (Ihssen et al., 1981). berada dilingkungan berarus deras akan memiliki sirip yang
lebih panjang.
Ikan belida yang berasal dari lokasi sampling hulu
Sungai Kampar memiliki lebar badan lebih kecil (ramping), Perbedaan hasil analisis unit populasi atau stok
kepala lebih besar dan sirip lebih panjang. Karakter badan menggunakan pendekatan morfologi dan genetik
ramping terkait dengan kemampuan berenang. Pada bagian seringkali terjadi (King 1985). Sebagai contoh, Pepin and
hulu Sungai kampar (Teso) memiliki karakteristik tipe Car, (1993), melaporkan adanya perbedaan jumlah tulang
habitat yang berarus, sehingga aktivitas renang diduga belakang yang nyata tidak merefleksikan perbedaan pada
membentuk tubuh yang memanjang dibandingkan melebar. variasi sekuense mtDNA. Analisis genetik
Variasi ukuran kepala tampaknya berhubungan dengan mengindikasikan bahwa hanya sedikit atau tidak ada

202
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

perbedaan genetik diantara individual yang secara Emmett, R.L., R.D. Brodeur, T.D. Miller, S.S. Pool, G.K.
morfologi berbeda (Swaina & Foote, 1999). Krutzikowsky, P.J. Bentley & J. Mccrae. 2005. Pacific
Ketidaksesuaian hasil analisis morfologi dan genetik dalam sardine (Sardinops sagax) abundance, distribution,
mengidentifikasi unit populasi disebabkan faktor and ecological relationships in the Pacific northwest.
lingkungan yang menyebabkan perbedaan morfologi. Calcofi Rep. 46: 122143.
Conover, (1998) menginformasikan adaptasi lokal yang
mengarah pada terbentuknya plastisitas fenotipik adalah Fisher, R. A. 1936. The use of multiple measurements in
hal yang biasa terjadi pada ikan, meskipun secara genetik taxonomic problems. TheAnnalsofEugenics. 7:179-188.
memiliki karakteristik yang homogen.
Garca-Rodrguez, F. J., S. A. Garca-Gasca, J. D.L. Cruz-
Plastisitas fenotipik biasanya adaptif, sehingga ikan- Agero & V.M. Cota-Gomez. 2011. A study of the
ikan yang secara genetik sama memiliki penampilan yang population structure of the Pacific sardine Sardinops
berbeda yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya sagax (Jenyns, 1842) in Mexico based on morphometric
(Swaina & Foote, 1999). Fenomena ini dijumpai pada ikan and genetic analyses. Fisheries Research. 107:169176.
belida yang berasal dari stasiun Teso, secara morfologi
berbeda dengan Stasiun Langgam dan Rantau Baru karena Gosline, W.A. 1996. Structures associated with feeding in
karakter morfologinya menyesuaikan lingkungan lokal three broad-mouthed, benthic fish groups. Environ.
namun secara genetik memiliki kesamaan dengan ikan Biol. Fishes. 47: 399-405.
belida dari Stasiun Langgam dan Rantau Baru yang
karakteristik lingkungan lokalnya berbeda dan secara Gustiano, R. 2003. Taxonomy and phylogeny of
geografis berdekatan. Pangasiidae catfishes from Asia (Ostariophysi,
Siluriformes). Thesis for The Doctors Degree (Ph.D.)
Perbedaan fenotipik yang tampak sebagai hasil Katholieke Universiteit Leuven, Belgium. 296 p.
adaptasi terhadap kondisi lingkungan tidak menjamin
adanya perbedaan genetik. Kesamaan bentuk morfologi McQuinn, I.H. 1997. Metapopulations and the Atlantic
ikan di alam mungkin saja menyembunyikan perbedaan herring. Rev. Fish Biol. Fish. 7: 297-329.
genetik yang nyata diantara kelompok ikan yang diamati,
sehingga pendekatan secara langsung melihat variasi Hurlbut, T. & D. Clay. 1998. Morphometric and meristic
genetik, merupakan pendekatan yang biasa dilakukan differences between shallow- and deep-water
untuk mengidentifikasi struktur populasi atau identifikasi populations of white hake (Urophycis tenuis) in the
unit populasi (Smith et al., 1990). southern Gulf of St. Lawrence. Can. J. Fish. Aquat.
Sci. 55: 2274-2282.
KESIMPULAN
Ihssen, P.E., H.E. Brooke, J.M. Casselman, J.M. McGlade,
Terdapat perbedaan identifikasi stok berdasarkan N.R. Payne & F.M. Utter. 1981. Stock
analisis secara morfologi dan genetik. Karakter morfologi identification:materials and methods, Can. J.Fish. Aq.
ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar, Riau Sci. 38:1838-1855.
memperlihatkan pola heterogenitas berdasarkan lokasi
geografis karena adanya fenomena plastisitas fenotipik. King, M. 1985. Fisheries Biology. Assesment and
Analisa menggunakan runutan sekuense D_Loop mtDNA Management. FishingNews Books,Blackwell ScienceLtd.
mendeteksi ikan belida di Sungai Kampar, terdiri dari dua
unit populasi, yaitu populasi bagian hilir dan populasi MacLean, J.A. & D.O. Evans. 1981. The stock concept,
bagian hulu. discreteness of fish stocks, and fisheries management.
Can. J. Fish. Aquat. Sci. 38, 1889-1898.
DAFTAR PUSTAKA
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Colombia
Barlow, G.W. 1961. Causes and significance of University Press. 457 p.
morphological variation in fishes. Syst. Zool. 10: 105-
117. Pepin, P & S.M. Carr. 1993. Morphological, meristic and
genetic analysis of stock structure in juvenile Atlantic
Begg, G.A & J.R. Waldman. 1999. An holistic approach to cod (Gadus morhua) from the Newfoundland shelf.
fish stock identification. Fish. Res. 43: 35-44. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 50: 1924-1933.

Conover, D.O. 1998. Local adaptation in marine fishes: Dinas Perikanan dan Kelautan. 2008. Statistik Perikanan
evidence and implications for stock enhancement. Tangkap Provinsi Riau. Pekan Baru. Diskanlut.
Bull. Mar. Sci. 62: 477-493. Provinsi Riau. 78 p.

203
A. Wibowo, Marson / BAWAL Vol. 4 (3) Desember 2012 : 195-204

Robinson, B.W & K.J. Parsons. 2002. Changing times, Tamura K., J. Dudley, M. Nei & S. Kumar. 2007. MEGA4:
spaces, and faces: tests and implications of adaptive Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA)
morphological plasticity in the fishes of northern software version 4.0. Molecular Biology and
postglacial lakes. Can.J. Fish.Aquat.Sci.,59:18191833. Evolution 10.1093/molbev/msm092.

Schaeffer, K. M. 1991. Geografic variation in morphometric Turan, C. 1999. A Note on The Examination of
characters and gill- raker counts in yellow fin tuna morphometric differentiation among fish populations:
(Tunnus albacares) from pacific ocean. Fish Buletin. The Truss System. Tr. J. of Zoology. 23: 259-263.
89 : 289-297.
West-Eberhard, M.J. 1989. Phenotypic plasticity and the
Smith, P.J.,A. Jamieson &A.J. Birley. 1990. Electrophoretic origins of diversity. Annu. Rev. Ecol. Syst. 20: 249-278.
studies and the stock concept in marine teleosts. J.
Cons. Int. Explor. Mer. 47: 231-245. Wibowo, A., R. Affandi, K. Soewardi & Sudarto. 2010.
genetic differentiation of the kampar rivers giant
Stearns, S.C. 1989. The evolutionary significance of featherback (Chitala lopis Bleeker 1851) base on
phenotypic plasticity. BioScience. 39: 436-445. mitochondrial dna analysis. Indonesian Fisheries
Research Journal.16 (2). 49-58.
Swaina, D.P & C.J. Foote. 1999. Stocks and chameleons:
the use of phenotypic variation in stock identification.
Fisheries Research. 43: 113-128.

204
BAWAL
WIDYARISETPERIKANANTANGKAP
Pedoman bagi Penulis

UMUM

1. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap memuat hasil-hasil penelitian bidang natural history ikan (pemijahan, pertumbuhan
serta kebiasaan makan dan makanan) serta lingkungan sumberdaya ikan.
2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah
dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja.
3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak
umum
4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan),
kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya.
Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, Pusat Riset Perikanan
Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail:
drprpt2009@gmail.com.
5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan.

PENYIAPAN NASKAH

1. Judul : Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama
penulis. Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama.
2. Abstrak : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas
serta mewakili isi naskah.
3. Kata Kunci : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak
dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs.
4. Pendahuluan : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan
menggunakan sub bab.
5. Bahan dan Metode : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga
memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait.
6. Hasil dan Bahasan : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau
permasalahan yang terkait dengan judul.
7. Kesimpulan : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil
penelitian.
8. Persantunan : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah.
9. Daftar Pustaka : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut.
Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku
atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.

Contoh : Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di
Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind.
13 (3). 1-14.
Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company.
New York. 318 p.
Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with
emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries
Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24.
Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum
di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja,
D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia
Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192.
Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut:
Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes:
Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.

10. Tabel : Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan.
11. Gambar : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan
gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan
Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital.
13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari
seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai