Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan merupakan kebutuhan primer di dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya
makanan dan minuman manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Begitu banyak jenis
makanan yang beredar di masyarakat. Mulai dari jenis makanan yang diolah maupun yang
belum diolah, sehingga dapat memudahkan manusia untuk mengkonsumsi makanan yang
digemarinya. Akan tetapi tidak semua makanan yang dikonsumsi dapat menyehatkan bagi
tubuh manusia.
Penggunaan pengawet non pangan pada bahan makanan saat ini sedang banyak
dibicarakan. Berbagai tayangan televisi selalu menayangkan berbagai macam bentuk
kecurangan yang dilakukan oleh pedagang makanan. Menurut Dr. Sri Durjati Boedihardjo
bahan pengawet non pangan yang sering dipakai dan dijadikan bahan perbincangan saat ini
adalah formalin. Biasanya formalin marak digunakan sebagai pengawet bahan makanan
seperti: mie basah, tahu, ikan kering dan juga bakso (Faradila dkk., 2014).
Salah satu makanan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah tahu. Tahu adalah
makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dan diambil sarinya (Rahmawati,
2013 dalam Putri, 2015). Tahu merupakan makanan tradisional Indonesia yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena harganya relatif murah dan memiliki
kandungan gizi terutama protein yang tinggi. Namun, masih ditemukan tahu yang
mengandung bahan berbahaya formalin.
Sebagai produk bahan pangan hasil olahan kedelai, tahu memiliki sifat yang tidak tahan
lama dan mudah rusak atau basi, sehingga beberapa produsen ada yang menggunakan bahan
tambahan untuk mengawetkan atau untuk menambah daya tarik konsumen. Hal tersebut
sebenarnya diperbolehkan penggunannya apabila bahan tambahan tersebut dilegalkan dan
tidak berbahaya bagi konsumen. Namun permasalahan yang muncul kemudian banyak
produsen tidak memperdulikan hal tersebut, sehingga mereka menambahkan bahan-bahan
yang berbahaya seperti boraks, formalin, rodhamin B, methanil yellow atau orange RN.1 dan
lain sebagainya. Formalin digunakan agar tahu dapat bertahan lama dan tidak cepat bau, tidak
mudah hancur dan kenyal sehingga lebih menarik konsumen (Aprilianti dkk, 2007).
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, hasil sampling dan laboratorium yang
dilakukan di Kotamadya Kediri, terdapat beberapa kota besar di Indonesia masih ditemukan
kasus tahu yang menggunakan bahan pengawet formalin, yakni sebesar 1,91% tahu

mengandung formalin dengan persentase terbesar di Kotamadya Kediri yaitu 10,42%


(Sampurno dalam Putri, 2015). Menurut Balai POM di Serang pada tahun 2014, sekitar 60%
tahu yang berformalin ditambahkan saat diproses di pabriknya. Lebih lanjut lagi, pabrik yang
memproduksi tahu menambahkan formalin berkapasitas tidak lebih dari 1000 kg/hari
(BPOM, 2014). Melihat data tersebut, walaupun kapasitas produksi tahu yang dilakukan tidak
terlalu banyak, tetapi masih saja produsen tahu tetap menambahkan formalin ke dalam
tahunya agar lebih awet.
Formalin adalah larutan formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol sebagai
pengawet. Fungsi formalin adalah untuk mengawetkan mayat, digunakan sebagai
desinfektan, antiseptik dan penghilang bau (Kusumadina, 2006 dalam Putri, 2015). Formalin
sangat berbahaya bagi tubuh manusia, maka tidak dianjurkan untuk digunakan di dalam
bahan tambahan makanan. Formalin jika termakan, dalam jangka pendek tidak menyebabkan
keracunan, tetapi jika tertimbun di atas ambang batas dapat mengganggu kesehatan. Ambang
batas yang aman adalah 1 miligram per liter (Kompas, 2005). International Proggrame on
Chemical Safety menetapkan bahwa batas toleransi yang dapat diterima dalam tubuh
maksimum 0,1 mg perliter (Harmoni, 2006 dalam Aprilianti, 2007). Bahaya formalin dalam
jangka pendek (akut) adalah apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa
terbakar, sakit jika menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit
perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga
koma. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati, limpa, pankreas, susunan
syaraf pusat dan ginjal. Bahaya jangka panjang adalah iritasi saluran pernafasan, muntahmuntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa
gatal di dada (Republika, 2005 dalam Aprilianti, 2007). Konsumsi formalin dalam dosis
tinggi dapat menyebabkan kejang, haematuri (kencing darah), haemtomesis (muntah darah)
dan berakhir dengan kematian (Winarno dan Rahayu dalam Aprilianti, 2007). Berdasarkan
data International Agency for Research on Cancer (IARC) formalin yang terhirup dapat
menyebabkan kanker. Data IARC juga menyebutkan kemungkinan timbulnya leukimia dan
kanker simonasal akibat paparan formaldehid (Nisma dkk., 2011 dalam Putri, 2015).
Pengujian kadar formalin di dalam berbagai jenis tahu atau bahan pangan lainnya sudah
cukup banyak dilakukan, akan tetapi hasil pengujian tersebut kepada masyarakat luas masih
belum ada tindak lanjutnya. Masyarakat masih belum mampu membedakan apakah tahu yang
dikonsumsinya mengandung formalin atau tidak. Jikapun mengandung formalin, masyarakat
masih belum mampu mengantisipasi hal tersebut. Hal ini dapat segera ditindak lanjuti dengan
membuat suatu metode untuk merubah kadar formalin pada tahu secara sederhana.

Berdasarkan sifat fisikokimia, formalin memiliki titik didih 96C (Cahyadi, 2009 dalam
Putri, 2015), dan pada temperatur ruangan formalin didefinisikan sebagai zat dengan tingkat
kereaktifan tinggi dan mudah menguap (Pramono, 2012 dalam Putri, 2015). Salah satu cara
pengolahan tahu di masyarakat adalah dengan cara merebus dan diperkirakan dari proses
perebusan ini akan merubah kadar formalin pada tahu karena suhu perebusan mencapai
100C. Berdasarkan alasan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian
pengaruh waktu perebusan terhadap tahu berformalin, sehingga diharapkan hasil penelitian
ini akan dapat diaplikasikan di masyarakat untuk membantu masyarakat dalam melindungi
diri dari bahaya formalin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapa persentase perubahan kadar formalin pada tahu setelah perlakuan perebusan selama 5,
15, dan 30 menit?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase perubahan kadar formalin pada
tahu setelah perlakuan perebusan selama 5, 15, dan 30 menit.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dapat mengetahui hasil pengujian tahu berformalin setelah diberi perlakuan perebusan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dapat mengaplikasikan cara mengatasi tahu berformalin di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai