Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PROYEK MANAJEMEN PEMBENIHAN IKAN

OPERASI DAN KELAYAKAN PEMBENIHAN IKAN PATIN


Oleh:
Kelompok 2
NAMA
NIA VITALOKA
ROHMAT SUPRIYANTO
BAHTERA SANJAYA SITEPU
SEPRI ARIANSYAH
ADI PRABOWO
DWI MUHAMMAD LUTFI
INDAH ISMAYANTI
RABIL YUSUF
AHMAD SABRI
SRI FAULINA NAINGGOLAN

NIM
1404120509
1404120197
1404110468
1404119014
1404118802
1404118753
1404117874
1404112659
1404112490
1404110477

BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
U NIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2016
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan patin (Pangasius spp.) merupakan salah satu komoditi perikanan
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Permintaan lokal dan ekspor ikan patin
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena daging ikan
patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya
khas, enak, lezat, dan gurih. Ikan ini dinilai lebih aman untuk kesehatan karena
kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging ternak. Keunggulan ini
menjadikan patin sebagai salah satu primadona perikanan tawar.
Patin merupakan ikan penting dalam budidaya perairan atau akuakultur.
Departemen Perikanan dan Akuakultur FAO (Food and Agriculture Organization)
menempatkan patin diurutan keempat setelah ikan mas (Cyprinus carpio), nila
(Oreochromis niloticus), lele (Clarias sp.) dan gurami (Osphronemus gouramy).
Ikan patin salah satu komoditas penting yang perlu dipacu pengembangannya.
Ikan ini memiliki karakteristik unik yang menjadikannya sebagai prioritas, yaitu :
fekunditas telur yang tinggi, ukuran yang besar, pertumbuhan relatif cepat,
kepadatan tinggi dan survival rate 80-90%, teknologi sederhana, modal tidak
terlalu tinggi dan usaha yang menguntungkan, lahan budidaya cukup luas dan
penyerapan tenaga kerja. Saat ini species patin yang paling banyak dibudidayakan
di Indonesia adalah patin siam (Pangasius hypophthalmus) atau lele bangkok
yang merupakan ikan introduksi dari Thailand, serta patin jambal (Pangasius
djambal). Usaha pembesaran ikan patin dapat dilakukan pada berbagai wadah
pemeliharaan seperti kolam tanah, kolam terpal dan daerah rawa-rawa (Asyari et
al., 1997).

Wilayah produsen ikan patin di Indonesia meliputi Sumatera (terutama


Provinsi Riau, Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan), seluruh wilayah provinsi
di Kalimantan, dan Jawa (terutama Provinsi Jawa Bara 6t, Banten, dan DKI
Jakarta).
Beberapa wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Riau sudah ditetapkan
sebagai Kawasan Minapolitan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI dengan
Surat Keputusan Nomor Kep.32/MEN/2010, tertanggal 14 Mei 2010. Wilayah
minapolitan Provinsi Riau meliputi Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis,
Kota Dumai, Kuantan Sengingi, dan Indragiri Hilir. Hal ini disebabkan karena
pada umumnya wilayah kabupaten dan kota tersebut merupakan wilayah kegiatan
budidaya ikan air tawar, kecuali Kabupaten Bengkalis yang merupakan wilayah
kegiatan budidaya air tawar dan payau. Disamping itu kegiatan budidaya air tawar
juga terdapat di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Palalawan.
Dengan perkembangan perikanan budidaya tawar yang pesat di Kabupaten
Kampar sejak akhir tahun 1990an, maka Kabupaten Kampar (terutama wilayah
Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kecamatan Kampar) ditetapkan sebagai
Kawasan Sentra Produksi (KSP) Budidaya Ikan di Provinsi Riau berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Provinsi Riau No. KPTS 99/II/2000, tertanggal 28
Februari 2000. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Dirjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) No. Kep.69/DJ-P2HP/2007 tertanggal 5 Juni
2007, Kabupaten Kampar merupakan Lokasi Pengembangan Sentra Pengolahan
Hasil Perikanan, dengan komoditinya adalah nugget, kerupuk, dan selai ikan
patin.

Usaha pembenihan dan pembesaran ikan patin adalah salah satu andalan
kegiatan budidaya air tawar di Provinsi Riau pada umumnya dan Kabupaten
Kampar pada khususnya. Kegiatan pembenihan ikan patin di Kabupaten Kampar
pada awalnya dilakukan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam
pembesaran ikan patin. Dengan bertambahnya jumlah pembudidaya untuk
pembesaran ikan patin, maka pasokan benih terasa mulai berkurang dan harganya
menjadi mahal. Untuk itu, pada tahun 2000 dan dengan dukungan pemerintah
daerah, para pembudidaya ikan patin menjadikan kegiatan pembenihan sebagai
suatu usaha guna menghasilkan benih ikan patin yang langsung dipasarkan kepada
pembudidaya pembesaran ikan patin secara lokal (di dalam dan luar wilayah
kabupaten) dan interinsular (di luar wilayah Provinsi Riau).

II. PEMBAHASAN

2.1. Karakteristik Ikan Patin


Menurut Kordik (2005), sistematika ikan patin diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Sub-kelas

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Sub-ordo

: Siluroidae

Famili

: Pangasidae

Genus

: Pangasius

Spisies

: Pangasius hypophtalmus

Gambar 1. Ikan Patin ( Pangasius djambal )


Djariah (2001) mengemukakan, Ikan patin memiliki warna tubuh putih
keperak-perakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala
relatif kecil. Ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut
pendek. Susanto dan Amri (2002) menambahkan, pada sirip punggung memiliki
sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di
sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan
patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas
lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki

enam jari-jari lunak. Sirip dada mempunyaii 12-13 jari-jari lunak dan sebuah
jarijari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil. Di bagian
permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil Di
Indonesia, ada dua macam ikan patin yang dikenal yaitu patin lokal
(Pangasius pangasius) atau sering pula disebut jambal (Pangasius djambal) dan
patin Bangkok atau patin Siam (Pangasius hypophtalamus sinonim P. sutchi).
Menurut Warintek (2002), kerabat patin di Indonesia terdapat cukup
banyak diantaranya Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema
(ikan Rios, Riu, Lancang), Pangasius micronemus (ikan Wakal, Riuscaring),
Pangasius nasutus (ikan Padado), Pangasius nieuwenhuisii (ikan Lawang).
Saanin (1984) mengatakan, patin jambal memiliki sungut rahang atas jauh
lebih panjang dari setengah panjang kepala dan hidung sedikit menonjol kemuka
serta mata agak ke bawah. Sedangkan Hernowo (2005) menjelaskan, Patin siam
merupakan ikan introduksi yang masuk ke Indonesia pada tahun 1972 dari
Thailand. Menurut Agribisnis & Aquacultures (2009), jenis ikan patin yang
benarbenar baru dan asli dari Indonesia adalah Patin pasupati. Patin jenis ini
dihasilkan dari persilangan antara patin siam betina dan patin jambal jantan untuk
pertama kalinya. Keunggulan dari patin ini adalah memiliki daging yang berwarna
putih, kadar lemak yang relatif rendah, laju pertumbuhan badan yang relatif cepat
dan jumlah telur yang relatif banyak. Daging yang berwarna putih dan bobot
tubuh yang besar diturunkan dari patin jambal, sementara jumlah telur yang relatif
banyak diturunkan dari patin siam.
Susanto dan Amri (2002) mengatakan, ikan patin bersifat nocturnal atau
melakukan aktivitas dimalam hari sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya.

Patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya dan
termasuk ikan dasar , hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke
bawah. Ikan ini mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya sangat
jelek dan akan tumbuh normal di perairan yang memenuhi persyaratan ideal
sebagaimana habitat aslinya. Kandungan oksigen (O2) yang cukup baik untuk
kehidupan ikan patin berkisar 2-5 ppm dengan kandungan karbondioksida (CO2)
tidak lebih 12,0 ppm. Nilai pH atau derajat keasaman adalah 7,2-7,5, konsentrasi
sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang masih dapat ditoleransi oleh ikan patin
yaitu 1 ppm. Keadaan suhu air yang optimal untuk kehidupan ikan patin antara
28 0C-29 0C. Ikan patin lebih menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu
rendah. Kehidupan ikan patin mulai terganggu apabila suhu perairan menurun
sampai 14 0C-15 0C ataupun meningkat diatas 35 0C. Aktivitas patin terhenti pada
perairan yang suhunya dibawah 6 0C atau diatas 42 0C (Djariah, 2001).
Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke
arah karnivora. Susanto dan Amri (2002) menjelaskan, di alam makanan utama
ikan patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara
makanan pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang
ada di perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin ternyata tidak
menolak diberi pakan, sesuai dengan penelitian Arifin (1993) dalam Cholik et al
(2005) yang menyatakan bahwa ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan.

2.2. Fasilitas Pembenihan

Fasilitas Produksi dan Peralatan yang dibutuhkan dalam pembenihan ikan


patin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Fasilitas Produksi dan Peralatan dalam Pembenihan Patin

No.
Jenis
A. Fasilitas Produksi
1.
Kolam

Keterangan
Kolam air tenang yang berfungsi untuk perawatan

induk/wadah

calon induk dan induk dasar; Konstruksi tanah atau

pemeliharaan

pematang beton; ukuran 100 - 250 m2; kedalaman air

induk

0,8-1,0 m; padat tebar 2-4 ekor/m2 untuk patin siam.


Kemiringan kolam ke arah pembuangan air sekitar
3%. Untuk kolam induk dapat pula menggunakan:
a. Fence
Konstruksi dari bambu atau kayu; ukuran 100-200
m2; kedalaman air 0,8-1,0 m, padat tebar 2 ekor/m2
untuk patin siam.
b. Karamba Jaring Apung (KJA)
Konstruksi terbuat dari kerangka bambu, kayu atau
besi. Ukuran minimal 4m x 4m x 4m, jaring terbuat
dari polyethyline, PE 210 D9 sampai D18, ukuran
mata jaring minimal 1 inchi. Padat tebar 3 ekor/m3

2.

Wadah treatment

untuk patin siam.


Digunakan untuk treatment air sumber kegiatan

air bersih

pembenihan; umumnya digunakan oleh pengusaha


pembenihan ikan patin di Kab. Kampar, karena air
sumber berasal dari air sumur yang mempunyai pH
relatif rendah atau air sungai dengan pH rendah dan

kekeruhan relatif tinggi; Konstruksi wadah dari beton


atau kolam tanah; ukuran disesuaikan dengan
kebutuhan; terdiri dari kolam penambahan kapur
tohor (CaO) dan kolam sedimentasi atau fitrasi serta
3.

Wadah

kolam penampungan air bersih.


isolasi/ Wadah isolasi ini berfungsi untuk pemberokan induk

pemberokan

yang telah diseleksi serta pemeliharan induk betina

induk

yang sudah dilakukan penyuntikan; Wadah ini dapat


terbuat dari kontruksi kayu yang dilapisi plastik atau
bagian dari kolam induk yang di sekat dengan hapa
(ukuran 3m x 2 m x 1 m atau disesuaikan), namun
mendapatkan kualitas air yang baik yakni oksigen
yang cukup (> 3 ppm) serta suhu air normal (28-30
C); Selama pemeliharaan induk dihindari jangan
sampai stres, misalnya akibat penanganan yang
tidak

hati-hati

atau

gangguan

dari

pengaruh

lingkungan. Induk yang stres dapat mengakibatkan


4.

Bangunan/panti

kegagalan dalam ovulasi dan pemijahan.


Untuk penempatan bak penetasan

pembenihan

pemeliharaan larva, wadah penetasan artemia sebagai

(Hatchery)

pakan alami serta peralatan lainnya; Bangunan ini

dan

atau

berupa bangunan permanen atau semi permanen. Jika


panti benih berupa bangunan tradisional, perlu
dipasang terpal untuk menutpi dinding dalam
menjaga flktuasisuhu media pemeliharaan antara

siang dan malam hari. Bangun panti benih sebaiknya


juga beratapkan seng atau asbes dan pada beberapa
bagian di pasang seng plastik untuk membantu
cahaya

matahari

masuk

ke

dalam

bangsal

pembenihan; ukuran 120-300 m2; Tinggi dinding


bangunan 22,5 m dan tinggi total bangunan 3,0
5.

Bak

3,5 m.
penetasan Untuk menetaskan telur ikan patin dan atau

dan

pembesaran benih sampai ukuran 1 inchi. Konstruksi

pemeliharaan

bak dari kayu balok dan papan (misalnya kayu


meranti) berukuran 4m x 1m x 0,4 m (panjang x lebar
x tinggi) dengan dilapisi plastik tebal. Tinggi bak
secara keseluruhan 0,8 m dan digunakan untuk
menampung air dengan kedalaman 0,4 m. Bak ini
mempunyai 2 outlet guna sirkulasi air dan pengurasan
total. Ukuran bak ini dapat bervariasi, misalnya 8 x
1,4 x 0,4 m dan bak ini dapat pula menggunakan
fiber.
Catatan: Pembenih patin siam di Kab. Kampar
sebagian menggunakan bak ini sebagai wadah
pendederan (pendederan I dan atau II A). Jika
menggunakan bak ini sebagai wadah pendederan I,
maka penetasan telur dilakukan dengan sistem

6.

corong.
Wadah penetasan Untuk menetaskan cyste artemia, ukuran 15-20 L

7.

artemia

(dapat menggunakan galon air mineral), jumlah 4-10

Kolam

unit (dapat disesuaikan).


Untuk adaptasi dan pembesaran benih mencapai

pendederan

ukuran > 1 inchi (2-3 inchi). Konstruksi tanah; ukuran


100-200 m2; kedalaman air 0,5 - 0,8 m; jumlah 2-4
unit

atau

disesuaikan

dengan

kebutuhan.

Catatan: Kolam ini tidak selalu diperlukan oleh


sebagian pembenih patin siam di Kab. Kampar.
Tabel 2. Peralatan
No.
1.

Jenis
Hapa jaring 1

Keterangan
Untuk menghalau induk ke arah wadah pemeliharaan
yang lebih sempit dalam proses seleksi induk; bahan
waring dengan ukuran 20m x 1m (dapat disesuaikan);

2.

Hapa jaring 2

jumlah 1-2 unit (disesuaikan)


Untuk menangkap induk dalam proses seleksi; bahan
waring dengan ukuran 10m x 2m (disesuaikan);
jumlah 1-2 unit (disesuaikan) dan hapa jaring ini

3.

tidak selalu harus ada atau digunakan.


Scop net / Seser Untuk menangkap induk dari kolam induk atau
besar dan kasar

wadah isolasi; ukuran disesuaikan; seser dapat dibuat


dari waring ataupun jaring nilon; jumlah 5 unit.

4.

Alat suntik

Untuk menyuntikan hormon (ovaprim) pada induk


patin;

5.

Pompa air

ukuran

2,53

mL;

jumlah

2-5

unit

(disesuaikan).
Untuk memompakan air ke sistem aliran atau bak
treatment, bak penetasan dan pemeliharaan benih,

dan lain sebagainya. Jenis dan jumlah disesuaikan


dengan kebutuhan.
Catatan: Pembenih di Kab. Kampar membutuhkan
beberapa jenis dan kapasitas pompa air dengan
jumlah 4-6 unit, diantaranya: pompa jet pump untuk
air sumber dari sumur bor ke bak/kolam treatment,
pompa air

dari

penampungan,

bak treatment ke bak/kolam


pompa

air

dari

bak/kolam

penampungan air ke bak penetasan dan pemeliharaan


6.

Sistem

larva, pompa sirkulasi air panas.


aliran Untuk menyalurkan air bersih, air sistem resirkulasi

air

atau
air

panas

dan

pipa

pembuangan

air

media

pemeliharan larva/benih melalui satu set sistem


perpipaan (pipaPVC dan slang plastik); ukuran dan
7.

Hi-blow

jumlah disesuaikan dengan kebutuhan.


Untuk menjaga kandungan oksigen dalam bak
penetasan dan pmeliharan larva/benih serta penetasan
artemia dengan komponen terdiri dari pipa PVC,
selang dan batu aerasi serta kran pengatur aerasi;

8.

Baskom/

jumlah 3-5 unit dan ukuran pipa dapat disesuaikan.


Untuk wadah pemijahan buatan, jumlah 3-5 unit

9.

piring besar
Bulu ayam

(dapat disesuaikan)
Alat bantu pemijahan buatan; jumlah secukupnya

10.

(dapat disesuaikan).
Hapa jaring/Trai Wadah untuk penempatan telur hasil pemijahan
(planktonnet)

buatan dalam proses penetasan; Ukuran 0,7m x 0,7m;

dengan

rangka jumlah

kayu reng.

30-60

unit

(dapat

disesuaikan).

Catatan: Trai ini tidak digunakan jika penetasan telur

11.

dengan sistem corong.


Scop net/ Seser Untuk menangkap benih patin, ukuran dan jumlah

12.

kecil dan halus


Saringan

13.
14.

halus
jumlah 20-50 unit (dapat disesuaikan).
Termometer
Untuk mengukur suhu air
pH
meter/ Untuk mengukur pH air

15.

Lakmus
Dandang

Untuk pemanas air dengan sistem resirkulasi dalam

alumunium

meningkatkan suhu media pemeliharaan; kapasitas

Dandang

60-80 L; jumlah 2-3 unit.


Untuk pemanas air dengan sistem resirkulasi dalam

alumunium

meningkatkan suhu media pemeliharaan; kapasitas

17.

Genset

60-80 L; jumlah 2-3 unit.


Untuk sumber cadangan energi listrik; jumlah 1 unit,

18.

kapasitas 3 KWH.
DO meter/ Test Bersifat opsional: untuk mengukur DO media

19.

kit air
Kateter/

pemeliharaan induk, larva atau benih.


Bersifat opsional: untuk pengecekan kondisi telur

20.
21.

Kanulator
Timbangan
Mikroskop

dalam gonad ikan betina; jumlah 3 unit


Bersifat opsional: untuk penimbangan induk
Bersifat opsional: Untuk pengamatan benih yang

16.

disesuaikan dengan kebutuhan.


Penyaring air yang ditempat di pipa pembuangan,

terserang penyakit.
2.3. Operasi Pembenihan
2.3.1. Pengelolaan Induk
Pengelolaan induk merupakan tahap awal untuk menghasilkan benih yang
berkualitas baik sehingga menentukan keberhasilan kegiatan pembenihan ikan.

Mutu induk yang baik ditunjang dengan pengelolaan yang tepat diharapkan dapat
menghasilkan benih dengan kualitas yang baik dan jumlah yang mencukupi.
Kriteria induk yang akan digunakan, antara lain berdasarkan bentuk fiik,
ukuran berat, umur, dan kesehatan. Induk betina yang layak dipijahkan telah
berumur 3 tahun dan beratnya telah mencapai >3 kg/ekor. Sedangkan induk
jantan yang siap dipijahkan telah berumur 2 tahun dan beratnya mencapai >2
kg/ekor. Induk yang akan dipijahkan harus sehat secara fiik, yaitu tidak terinfeksi
oleh penyakit, parasit, dan luka akibat benturan, pukulan, goresan, sayatan, dan
lain-lain. Induk jantan dan betina dapat dipelihara bersama-sama pada satu kolam
atau bisa terpisah dengan kepadatan 2-4 ekor/m2.
Induk sebaiknya dibuat dalam beberapa kelompok dan dipelihara secara
terpisah untuk dapat digunakan pada proses pemijahan secara bergantian. Kolam
pemeliharaan induk dapat berupa kolam tanah atau tembok dan memiliki saluran
pemasukan dan pengeluaran air.
Manajemen induk adalah salah satu mata rantai lain yang amat penting
dalam proses produksi benih ikan patin, selain menajemen air dan pemeliharaan
larva serta benih. Jumlah indukan yang dipelihara disesuaikan dengan skala usaha,
karena harus memperhitungkan kebutuhan jumlah dan luasan kolam indukan dan
biaya untuk pakan. Disamping itu, perlu dihindari terjadi lonjakan jumlah induk
yangmatang gonad dan siap dipijahkan harus dalam periode tertentu atau
sebaliknya, sehingga menjadi kendala dalam kontinuitas produksi atau sarana
yang tersedia tidak memadai baik jumlah dan kapasitasnya dalam produksi.
Pembenih patin di Kabupaten Kampar mempunyai indukan jantan dan betina,
masing berkisar antara 100-150 ekor jantan dan sekitar 200-250 ekor betina.

Namun demikian, untuk skala ekonomis, diperkirakan jumlah total indukan


berkisar antara 100-120 ekor, dengan proporsi jantan dan betina 1: 1,5 2 ekor.
Disamping itu, pengaturan ukuran indukan juga perlu menjadi pertimbangan,
yaitu dengan ukuran berat yang relatif mengikuti sebaran normal miring ke kiri,
baik untuk induk jantan maupun induk betina. Modus sebaran normal bobot
indukan adalah sekitar 3 kg untuk induk jantan dan 4 kg untuk induk betina.
Pakan yang diberikan berupa pakan buatan dengan kualitas yang baik dan
kuantitas yang mencukupi. Pakan harus memiliki kandungan protein 30 - 35%.
Pemberian pakan dilakukan setiap hari sebanyak 3% bobot biomas/hari dengan
frekuensi pemberian pakan 2 - 3 kali/hari. Komposisi pakan buatan untuk indukan
patin berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2009 dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Pakan Buatan untuk Indukan Patin

2.3.2. Seleksi Induk

Pada umumnya, ciri induk jantan yang matang gonad adalah alat kelamin
(urogenital) membengkak dan berwarna merah tua (gambar 2 A). Apabila bagian
perut dekat lubang kelamin diurut akan mengeluarkan cairan putih kental (cairan
sperma). Sedangkan induk ikan betina yang telah matang gonad (gambar 2 B),
memiliki ciri-ciri yang ditunjukkan dengan papila membengkak dan berwarna
merah tua, selain itu perut membengkak ke arah belakang (ke arah genital).

A = Induk Jantan; B = Induk Betina (Sumber: LRPTBPAT, 2007)


Gambar 2. Ciri-Ciri Induk Patin yang Matang Gonad
2.3.3. Pemijahan
Induk yang akan dipijahkan diberok dahulu 1-2 malam di dalam wadah
isolasi induk untuk mengurangi kadar lemak pada saluran pengeluaran telur dan
membuang kotoran/feces. Pemijahan dilakukan secara buatan melalui pemberian
rangsangan hormon untuk proses pematangan akhir gonad, pengurutan untuk
proses pengeluaran telur dan pembuahan dengan mencampur sperma dan telur.
Hormon yang digunakan adalah ovaprim atau sejenisnya. Standar dosis
ovaprim
yang diberikan untuk induk betina adalah 0,5 mL/kg sedangkan untuk jantan
adalah 0,2 mL/kg (bila diperlukan). Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali
pada

bagian intramuskular dengan interval waktu penyuntikan pertama dan kedua


sekitar 6-12 jam. Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 bagian dari dosis total dan
sisanya 2/3 bagian lagi diberikan pada penyuntikan kedua.
Setelah penyuntikan kedua, 6-8 jam kemudian dilakukan pengecekan
ovulasi induk. Pengecekan ini akan menentukan saat pengeluaran telur untuk
proses pembuahan. Bila pengeluaran telur dilakukan sebelum ovulasi (terlalu
cepat
waktu), pengeluaran telur tidak akan lancar dan biasanya persentase keberhasilan
pembuahan akan kecil. Sedangkan bila terlalu lambat, pembuahan biasanya juga
gagal karena air sudah masuk ke dalam kantung telur yang menyebabkan lubang
mikrofi pada telur sudah tertutup. Pengecekan ovulasi dilakukan dengan cara
melakukan pengurutan pada bagian dekat urogenital secara pelan dan hati-hati.
Ovulasi sudah tercapai bila sudah ada sedikit telur yang keluar sehingga
pengurutan secara keseluruhan dapat dilanjutkan untuk proses pembuahan.
Proses pembuahan didahului dengan penyiapan sperma yang dikeluarkan
dari induk jantan. Sperma ditampung dalam wadah dan diencerkan dengan
larutan NaCl 0,9% (larutan infus) dengan perbandingan sekitar 1 : 100. Sperma
yang tercampur urine (air kencing ikan) sebaiknya tidak digunakan.
Selanjutnya telur dikeluarkan dengan melakukan pengurutan induk betina
secara hati-hati dan ditampung dalam wadah. Tetesan air dalam wadah atau
pada telur harus dihindari. Bila dikehendaki, pengurutan dapat dilakukan secara
berulang tapi dalam tenggang waktu yang relatif singkat.
Telur yang sudahditampung ditambahkan dengan sperma dan diaduk
secara merata. Untuk memudahkan pencampuran telur dan sperma dapat diberi

tambahan larutan fisiologis secukupnya. Proses pemijahan ikan patin disajikan


pada gambar 3.

Gambar 3. Proses Pemijahan Ikan Patin (sumber: LRPTBPAT, 2007)


2.3.4. Penetasan Larva
Telur yang sudah dibuahi diletakkan di atas trai hapa jaring dalam bak
pembenihan yang sudah disiapkan terlebih dahulu (Foto 4.11). Jumlah trai hapa
jaring (0,7m x 0,7m) dalam bak penetasan 4m x 1m x 0,4m sekitar 2-4 unit. Hapa
jaring dilubangi di beberapa bagian yang berfungsi sebagai tempat keluar benih
patin yang menetas ke bak pembenihan. Aerasi yang cukup untuk menjamin
kandungan oksigen terlarut serta suhu perlu diperhatikan agar proses penetasan
telur berjalan secara optimal. Pada suhu 2930 C biasanya telur mulai menetas
setelah inkubasi 18-24 jam. Setelah proses penetasan selesai, hapa jaring diangkat
karena pada saat penetasan terdapat sisa cangkang telur yang dapat membusuk
dan menyebabkan bahan beracun bagi larva. Alternatif lain dalam penetasan telur
dapat menggunakan corong (gambar 4)

Gambar 4. Alat Bantu dan Proses Penetasan Telur

Gambar 5. Corong penetasan telur


2.3.5. Pemeliharaan Benih
a. Pemberian Pakan dan Pengaturan Kualitas Air
Benih ikan patin mempunyai sifat kanibal yang tinggi sehingga untuk
menghindarinya perlu diperhatikan waktu untuk pemberian pakan. Jenis pakan
untuk benih patin diberikan berdasarkan umur dari benih (Tabel 4). Pakan pertama
dapat diberikan sekitar 24 jam setelah menetas pada kisaran suhu pemeliharaan
2930 C. Pakan yang diberikan berupa Artemia. Penyiapan Artemia dilakukan
pada saat telur patin menetas, sehingga pakan Artemia diberikan pada saat benih
sudah berumur 1 hari.
Tabel 4. Jenis Pakan Berdasarkan Umur Dalam Pemeliharaan Benih Patin Siam

Pemberian pakan Artemia selanjutnya dapat dilakukan pada kisaran 45


jam
sekali. Pakan diberikan secara ad libitum atau secukupnya dengan memperhatikan
nafsu makan ikan. Penggantian pakan dari Artemia ke cacing rambut dapat
dilakukan mulai hari ketujuh dengan memperhatikan bukaan mulut larva. Bila
suplai cacing rambut tidak ada, pemberian pakan buatan masih mungkin
dilakukan
dengan memberikan adaptasi secukupnya. Pada hari ke-16, larva patin sudah
dapat diberi pakan buatan.
Untuk menjaga kondisi kualitas air tetap baik dilakukan penyiponan setiap
hari terhadap kotoran atau sisa pakan yang mengendap di dasar wadah
pemeliharaan.Disamping itu dilakukan pergantian air media pemeliharaan
sebanyak 30-50% yang dimulai pada hari ketiga dengan air yang sesuai dengan
kebutuhan hidup larva. Tujuan dilakukannya penyiponan ini adalah untuk
menghindari penumpukan bahan organik yang berasal dari kotoran, larva yang
mati atau sisa pakan yang dapat mengakibatkan meningkatnya kandungan
amoniak dalam air. Penyiponan harus dilakukan setiap hari secara hati-hati. Pada
saat dilakukan penyiponan, batu aerasi diangkat agar sisa kotoran tidak teraduk
yang dapat berakibat mengotori badan air. Hal tersebut sering menyebabkan stres
pada larva dan bahkan berakibat fatal menyebabkan kematian larva. Pemeliharaan
larva/benih di bak pembenihan dapat dilakukan sampai umur minimal 16-18 hari

sebelum dipindah ke dalam kolam pendederan. Pertimbangan pemindahan


pemeliharaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
b. Pengendalian Hama dan Penyakit
Secara prinsip lebih baik mencegah (preventif) dari pada mengobati
(kuratif).
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit :
(1) Menjaga kebersihan wadah pemeliharaan,
(2) Menjaga stabilitas suhu agar tetap panas antara 28-31C,
(3) Pakan terbebas dari parasit dan jamur,
(4) Menjaga kondisi air agar tetap baik yang selalu bersih dari sisa pakan.
Di Kabupaten Kampar benih patin umumnya terkena penyakit white spot
berupa bintik pada tubuh ikan yang disebabkan oleh jamur. Benih yang terkena
penyakit

oleh

pembenih

diberikan

garam

dapur

untuk

pengobatan.

Pada benih patin penyakit yang umum adalah bakteri, parasit dan jamur.
Obat dan cara pengobatan terhadap penyakit tersebut berbeda-beda. Alternatif
obat dan cara pengobatan untuk penyakit pada benih patin antara lain:
(1) Penyakit Bakteri
Bakteri yang umum menyerang benih ikan patin adalah bakteri
Aeromonas
hydrophylla. Tanda-tanda penyakit bakteri antara lain:
Permukaan tubuh ikan ada bagian-bagian yang berwarna merah darah
terutama pada bahagian dada, pangkal sirip dan perut,
Selaput lendir berkurang, tidak licin,
Di beberapa bagian tubu ikan kulitnya melepuh,

Sirip rusak dan pecah-pecah,


Insang rusak dan berwarna keputih-putihan sampai kebiru-biruan,
Ikan lemah, hilang keseimbangan serta mudah ditangkap.
Cara pengobatan untuk penyakit bakteri yaitu:

(a) Pengobatan dengan PK


Bagi ikan yang keadaan infeksinya belum parah dapat diobati dengan
Kalium Permanganat (PK) dengan dosis 2 gram/m3. Cara pengobatannya
dengan Kalium Permanganat (PK) adalah sebagai berikut:
Larutkan 2 gram PK ke dalam 1 liter air aduk sampai terlarut dengan
sempurna dan tebarkan pada wadah pemeliharan,

Biarkan

selama

30-60

menit

dengan

cara

pengawasan

terus

menerus,
Apabila ikan memperlihatkan gejala keracunan, segera tambahkan air
segar ke dalam wadah pemeliharaan.

(b) Pengobatan dengan Oxytetracyclin (OTC)


Pengobatan dengan menggunakan Oxytetracyclin (OTC) sebanyak 5 gram/
m3. Cara pengobatannya dengan OTC adalah sebagai berikut:
(1) Larutkan 5 gram OTC kedalam 1 liter air sampai semua terlarut
sempurna,
(2) Tebarkan larutan tersebut ke dalam air pemeliharaan.
(3) Biarkan selama 3 jam, setelah itu tambahkan air segar,

(4) Apabila ikan belum sembuh bisa dilakukan pengobatan berulang


keesokan harinya dengan cara di atas sampai 3 kali pengobatan.
2). Penyakit Parasiter
Penyakit parasiter yang umum menyerang benih ikan patin adalah
Ichthyopthirius multifilis atau disebut penyakit Ich atau disebut penyakit White
spot. Jenis penyakit ini sering muncul pada awal, akhir, dan selama musim hujan.
Tanda-tandanya adalah bahwa pada tubuh benih ikan patin terdapat bintik-bintik
putih, akan terlihat jelas di bawah mikroskop.
Cara Pengobatannya untuk penyakit parasiter yaitu:
(a) Pengobatan dengan garam dapur (NaCl)
Pengobatan terhadap benih patin yang terserang penyakit parasiter dengan
cara pemberian garam dapur (NaCl) pada media pemeliharaan larva/benih
serta menaikan suhu media. Cara pengobatannya dengan garam dapur
adalah sebagai berikut:
Dosis pengobatan 1 ppt ( 1 kg/m3 air pemeliharaan benih). Larutkan 1 kg garam
dapur
ke dalam 2 liter air, kemudian aduk sampai sempurna,
Tebarkan larutan tadi ke dalam wadah pemeliharaan,
Biarkan selama 1 jam dan lakukan pengawasan secara terus menerus. Apabila
benih ikan terlihat gelisah atau keracunan, segera tambahkan air segar ke dalam
media pemeliharaan,
Apabila ikan belum sembuh, bisa dilakukan pengulangan pengobatan dengan
cara di atas.
(b) Pengobatan dengan Formalin.

Pengobatan dengan formalin menggunakan dosis 10 ml formalin teknis


per 1 m3 air wadah pemeliharaan benih patin. Formalin teknis merupakan
formalin dengan kadar 40%. Cara pengobatan dengan menggunakan formalin
sebagai berikut:
Taburkan 10 ml formalin ke dalam 1 m3 air pemeliharaan, aduk sampai
merata,
Biarkan selama 3 jam dalam pengawasan terus menerus, apabila ikan tidak kuat
segera tambahkan air segar ke dalam media pemeliharaan,
Apabila ikan belum sembuh, bisa dilakukan pengulangan pengobatan
dengan cara di atas.
(c) Pengobatan dengan Methylene blue
Buat larutan baku 1% (stock solution) yang terdiri dari 1 gram serbuk
Methylene blue dicampur dengan 100 cc air bersih. Selanjutnya campurkan
1-2 cc larutan tersebut untuk 1 liter air pemeliharaan kemudian diaduk
secara merata dan biarkan selama 24 jam. Apabila masih belum sembuh
bisa dilakukan pengobatan dengan cara diatas sampai 3 kali pengobatan.
2.4. Kelayakan Usaha Pembenihan
Kelayakan usaha dapat dilihat dari berbagai aspek, pola usaha yang dipilih
dalam pembenihan ikan patin siam ini adalah :
1. Produksi benih kategori P II A (ukuran 1-2 inchi) minimal adalah 110.000
ekor per-siklus dengan 8 siklus per-tahun atau produksi dan penjualan
benih >880.000 ekor per-tahun. Benih tersebut adalah benih patin
siam kelas sebar hasil pemeliharaan di dalam bak larva dan atau kolam
pendederan. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi benih ukuran

1-2 inchi tersebut sekitar 25-35 hari per-siklus, sedangkan produksi 8


siklus per-tahun disebabkan karena induk ikan patin betina mempunyai
frekuensi tingkat kematangan gonad yang rendah pada musim kemarau,
sehingga menurun jumlah siklus produksi.
2. Induk yang diperlukan untuk memproduksi benih yang demikian adalah
sekitar 1-2 ekor induk betina dengan berat 3-5 kg per-ekor dan 2-5 ekor
induk jantan dengan berat 2-4 kg per-ekor. Dengan menggunakan pakan
buatan berprotein tinggi (28-35%), maka satu induk betina ukuran tersebut
dapat menghasilkan telur (fekunditas) sekitar 150500 ribu butir setiap
pemijahan dan dapat dipijahkan sekitar 2-3 kali dalam setahun dengan
umur produktif 2-3 tahun.
3. Dalam menjaga kontinuitas produksi dan sesuai dengan kapasitas sarana
dan fasilitas serta perlatan, maka jumlah indukan secara keseluruhan
berkisar antara 100-120 ekor dengan proporsi jumlah jantan dan betina
adalah 1 : 1,5-2. Disamping itu, minimal tersedia 6-10 pasang induk dalam
kondisi usia produktif untuk memulai usaha.
4. Penetasan telur hasil pemijahan dapat menggunakan trai atau corong,
dengan rata-rata tingkat keberhasilan penetasan (hatching rate) dan
sintasan/kelangsungan hidup (survival rate) masing-masing adalah 70%.
5. Fasilitas pembenihan dan luas lahan yang diperlukan dapat disesuaikan
serta status lahan adalah dibeli atau lahan milik sendiri, namun tetap
diberlakukan penilaian terhadap lahan.
Untuk analisis kelayakan usaha berdasarkan pola usaha yang dipilih sebagai
criteria usaha yang ekonomis diperlukan adanya beberapa asumsi mengenai
parameter teknologi proses maupun biaya, sebagaimana terangkum dalam Tabel 5.
Dan lampiran 1.

Tabel 5. Asumsi untuk Analisis Keuangan

Tabel 6. Kelayakan Usaha Pembenihan Ikan Patin

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 7548: 2009 tentang Pakan buatan
untuk ikan patin (Pangasius sp.).
[BSN] Badan Standarisasi Nasional, 2000a. SNI 01-6483.2-2000 tentang Benih
ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) kelas benih sebar
[Disper-Kampar] Dinas Perikanan Kabupaten Kampar. 2009. Laporan Tahunan
2009.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Statistik Perikanan Budidaya
Indonesia 2006. Ditjen Perikanan Budidaya-DKP, Jakarta. 131 hal.
Djarijah.A.A.2001. Budidaya Ikan Patin. Kanasius. Yogyakarta 87 hal.
Gubernur Provinsi Riau No. KPTS 99/II/2000, tertanggal 28 Februari 2000.
Hernowo. 2001. Pembenihan Patin Skala Kecil dan Besar Serta Solusi
Permasalahan. Penebar Swadaya. Jakarta. 66 hal.
Keputusan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) No.
Kep.69/DJ-P2HP/2007 tertanggal 5 Juni 2007,
[LRPTBPAT] Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air
Tawar.2007. Panduan teknik pembenihan ikan patin pasupati(Pangasius
sp.). 19 hlm.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI dengan Surat Keputusan
Kep.32/MEN/2010, tertanggal 14 Mei 2010

Nomor

Saanin 1984, Subagja Y. 2009. Fortifikasi ikan patin (Pangasius sp) [skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Susanto. Dan K, Amri. 2001. Budidaya Ikan Patin, Penebar Swadaya, Jakarta. 90
hal.

Benih ikan patin

Survei dengan para staf

Wawancara dengan salah satu

staf bbi
Salah satu kegiatan pemijahan dengan para staf bbi
Kegiatan Penebaran telur ke akuarium

Anda mungkin juga menyukai