REFERAT 1
FAKULTAS KEDOKTERAN
DESEMBER 2016
UNIVERSITAS PATTIMURA
TRAUMA LEHER
Disusun oleh:
Ida Amsiyati
NIM. 2010-83-031
Pembimbing:
dr. Jacky Tuamely, Sp.B (K) Trauma, FICS, FINACS
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU BEDAH RSUD Dr. M. HAULUSSY AMBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin
tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima
oleh pasien dan keluarga. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat
irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat
yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan
pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi
memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera
saraf tulang belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang
memadai, standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life
support), diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan
aligment serta stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari
manajemen.1
Sekitar 5-10% pasien tidak sadar yang datang ke ruang gawat darurat
disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh, disertai dengan trauma
tulang belakang servikal. Fraktur tulang belakang servikal 1/3nya terjadi pada
level C2 dan 1/2nya terjadi pada level C6 atau C7. Fraktur servikal yang fatal,
sering terjadi pada level servikal yang lebih tinggi, pada craniocervical junction
C1 atau C2.2
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Vertebra Servikalis
Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama dari tulang
belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis.
bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak. Vertebra servikal terdiri dari C1
sampai C7, sedangkan nervus servikalis terdiri dari C1 sampai C8. Tulang
servikal berbentuk C terbalik (lordotic view) dan lebih mobile dari tulang
belakang di daerah torakal dan lumbal. Vertebra servikalis selain berfungsi
melindungi medula spinalis dari kerusakan, juga menyangga kepala, dan
menggerakan kepala rotasi, ke depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang
belakang yang lain, dalam tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang
mensuplai darah ke otak, yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6.2,3,4
Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis (C2),
berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus anterior yang
tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses dan tidak memiliki
korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki perbedaan secara anatomis,
tetapi secara umum tulang vertebra terdiri atas bagian anterior yang disebut
korpus dan bagian posterior yang disebut arkus vertebra. Keduanya membentuk
foramen vertebrae yang dilalui medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas
sepasang pedicle yang membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang
melengkapi arkus dibagian belakang.2,3,4
Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar,
annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini
berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara
korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut
ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus
vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra,
di depan medula spinalis.5
3
B. Patofisiologi
Tatalaksana Awal
Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma,
sehingga
perlu
dilakukan
stabilisasi
segera
di
tempat
kejadian.
servikalnya. Halo vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi
untuk cedera spinal servikal. Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik
foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi
membebaskan rotasi. Miami-j collar bersifat lebih kaku dan lebih nyaman
untuk sandaran. Brace yang adekuat melakukan imobilisasi adalah
Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik
dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo
vest, sedangkan halo vest lebih baik membatasi rotasi. Pasien cedera servikal
diberikan imobilisasi untuk mencegah penekanan medula spinalis lebih
lanjut.1
3. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan
kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan
diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat
menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear
(PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang
diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit
berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam.1,10
4. Bedah
Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas
tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi.
Tujuan terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan
memperbaiki diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya
dislokasi baik parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi
yang disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan
stabilisasi. Indikasi operasi cedera servikal adalah:1
a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal
b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dengan
fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis,
meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat
c. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
diskus intervertebralis. Perlu dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT
Scan untuk membuktikannya
d. Fragmen yang menekan lengkung saraf
e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
f. Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya dengan cara
konservatif maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai adanya
hematoma
10
11
5. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke
masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah
saraf, ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli
terapi kerja.1
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase
akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan
oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah
latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan
defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan
mengembalikan penderita kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan
keadaan mental penderita agar tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi
pada penderita dan keluarga tentang perawatan di rumah, latihan cara makan,
berpakaian, miksi dan defekasi, latihan menggunakan alat bantu, alih
pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.1
a.
12
c.
Autonomic dysreflexia
Merupakan keadaan akut akibat stimulasi masif simpatis. Terjadi
setelah syok spinal, biasanya dalam 6 bulan pertama sampai 1 tahun.
Gejala yang timbul berupa hipertensi, sakit kepala, muka merah,
berkeringat, hidung buntu, piloereksi, dan bradikardi. Penyebabnya
adalah distensi bladder dan bowel, atau tindakan kateterisasi, mengorek
skibala, penekanan ulkus dekubitus, infeksi saluran kencing, penggunaan
brace atau pakaian terlalu ketat. Tindakan yang dilakukan adalah
tinggikan posisi kepala, monitor tekanan darah, kurangi stimulus noksius
dan evaluasi faktor penyebab. Jika tidak ada perbaikan, terapi untuk
b.
level
injury.
Penanganannya
dengan
mengevaluasi
dan
Spastisitas
Awalnya pasien akan mengalami penurunan tonus saat periode
spinal syok, tetapi kemudian akan mengalami spastisitas. Program
13
peregangan dan posisi tidur yang benar dapat mengurangi spastisitas dan
mencegah kontraktur. Pemberian terapi antispasme diberikan bila spasme
otot menimbulkan perasaan tidak nyaman.1
d.
Pressure ulcer
Menurunnya fungsi sensoris mengakibatkan timbulnya pressure
ulcer karena penekanan pada kulit. Pencegahan yang dilakukan adalah
meminimalisasi penekanan pada kulit (mengunakan kasur khusus,
melapisi penonjolan tulang dengan bantal), merubah posisi secara teratur.
Jika ulkus semakin parah, bila perlu dikonsulkan ke bagian bedah
plastik.1,10
e.
Neurogenic bladder
Pasien dengan cedera medula spinalis sering mengalami retensi urin
sehingga memerlukan pemasangan kateter. Jika penderita sudah stabil,
kateter dapat dilepas dan dilakukan latihan pengendalian kandung kemih.
Dapat dipasang kateter intermiten, bila diperlukan. Fungsi kandung kemih
biasanya kembali setelah 6 bulan, tetapi jika tidak kembali pasien
diajarkan untuk memasang kateter sendiri saat rangsangan berkemih
f.
datang.1,9
Neurogenic bowel
Pasien cedera akut beresiko mengalami gastric atoni dan ileus yang
dapat menyebabkan muntah dan aspirasi. Ileus dapat terjadi pada 1-2 hari
pertama dan berakhir pada hari ke-7. Pada fase kronis dapat terjadi
distensi colon, distensi abdomen, konstipasi, mual, muntah dan gangguan
elektrolit. Berikan latihan pengontrolan defekasi secara teratur karena
terjadi penurunan kemampuan kontrol terhadap defekasi, juga pemberian
serat dan cairan yang cukup untuk menghindari konstipasi atau
inkontinensia. Lakukan evakuasi feses dengan stimulasi colok dubur atau
metode lain.1,9
7. Follow Up
14
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang
bersifat irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan
saraf pusat yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini
evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf
tepi memerlukan pendekatan yang terintegrasi.
Kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal berdasarkan
pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%. Karena
keterbatasan
(advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey
ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation and
stop
bleeding,
disability
and
environment).
Perhatian
utama
selama
Sasaran
jangka
panjang
adalah
penanganan
komplikasi
17
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Crosby, T.E. 2006. Airway management in adults after cervical spine trauma.
Anesthesiology 104:1293-318
8.
9.
10. Cohen, A. 1997. The acute management of spinal injury. [cited 3 December 2016].
Available from: http://www.medicalonline.com.au/medical/first_aid/spineman.htm
11. Foster, M. 2009. C1 fractures. [cited 2 December 2016]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1263453-treatment
12. Anonim. 2001(b). Pre-hospital cervical spinal immobilization following trauma.
[cited 30 November 2016] Available from: http://www.neann.com/Prehospital
%20Spine%20Immobilisation%20Review%20Of%20Studies.pdf
13. Gondim, F. 2009. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. [cited 30 November
2016). Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1149070-treatment
14. Iskandar, J. 2002. Cervical injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas
Sumatera Utara.
19