Anda di halaman 1dari 39

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. FL

Umur

: 35 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Kristen Protestan

Alamat

: Lateri

Tgl MRS

: 09 September 2016

Pukul

:22.11 WIT

Pengantar

: Puskesmas Perawatan Wahai

No. RM

: 10 14 36

B. ANAMNESIS : Autoanamnesa
Keluhan Utama : Kedua kaki tidak dapat digerakkan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien merupakan pasien rujukan puskesmas perawatan wahai dengan
keluhan mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien sempat terguling kemudian terbentur
jembatan. Jarak antara tempat kecelakaan dan jembatan 3 meter. Pasien
juga mengeluh nyeri pada kedua bahu. Pasien juga tidak merasa ingin BAK
setelah kecelakaan. Pingsan(+), muntah (-). Pasien mengingat dengan baik
kejadian kecelakaan. Pasien sempat di rawat di Puskesmas Perawatan
Wahai sebelum di rujuk.
Riwayat penyakit Dahulu : DM dan hipertesnsi (-)
Riwayat keluarga : (-)
Riwayat pengobatan : IFVD NaCL 0,9%, inj. Citicolin, inj. Ketorolac
Riwayat Sosial : (-)

A (allergy) : Tidak ada


M (medication) : Tidak ada

P (past ilness) : Tidak ada


L (last meal) : 5 jam sebelum kejadian
E (event/environment) : di jalan raya
C. PEMERIKSAAN FISIK
D. PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan Darah

: 80/60 mmHg, Nadi : 72 x/m, Pernapasan : 32 x/m, Suhu :


36,4 0C.

Kepala

: Normosefali, rambut terdistribusi normal, tidak mudah


tercabut.

Mata

: Ca -/-, Si -/-. Edema palpebra -/-. Visus OD/OS >2/60


posisi
berbaring

Hidung

: Rhinorhea -/-. Darah -/-

Telinga

: Otorhea -/-. Darah -/-

Mulut

: Sianosis (-), Candidiasis Oral (-).

Tenggorokan

: Tidak diperiksa

Leher

: Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).

Dada

: Inspeksi normochest, simetris kanan=kiri, scar (-), ictus


cordis (-).
Palpasi nyeri tekan (-), krepitasi (-).
Perkusi sonor kanan = kiri, batas jantung paru dalam
batas
normal.

Auskultasi pulmo vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.


cor BJ I,II murni regular, gallop (-),
murmur (-).
Abdomen

: Inspeksi datar.
Auskultasi peristaltik (+) 10 x/menit.
Palpasi nyeri tekan (-).
Perkusi timpani.
2

Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan.

Rectal touch

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

: Akral hangat, terdapat kelemahan pada kedua tungkai.

Status Lokalis :
Look (inspeksi)

: Edema (-)

Feel (palpasi)

: Nyeri tekan (+)

Move (gerakan)

: Tidak dapat dievaluasi

Neurovaskuler

: anestesia dari papila mammae sampai tungkai

STATUS NEUROLOGIS
Motorik:
kekuatan: 3333
0000

3333
0000

Tonus
normotonus pada kedua ekstremitas atas dan atonus pada kedua ekstremitas
bawah
Trofi
Eutrofi pada kedua ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Reflex fisiologis:
Biceps: +/+
Triceps: +/+
KPR: -/ APR: -/Reflex patologis:
Hoffmann-tromner: -/ Babinski: +/+
Chaddock: -/ Gordon: -/ Schaefer: -/ Oppenheim: -/-

Sensibilitas
Nyeri : Tidak dapat merasakan nyeri setinggi papila mammae-ekstremitas
inferior
Suhu : akral hangat pada kedua ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
Fungsi Otonom
Miksi
Inkotinensia : (+)
Retensi : Tidak ada
Anuria : Tidak ada

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Rontgen thoraco-lumbal AP/Lat;

Foto rontgen sacrum;

B. DIAGNOSIS KERJA
-

Burst Fracture of 3rd thoracal vertebrae Frankle A

C. PLANNING

IVFD RL 20 tpm

Ketorolac amp 30mg/8 jam/IV

Ranitidine amp 25 mg/8 jam/IV

Tramadol drips 2x1 amp

Pasang kateter

Konsul dokter ahli ortopedi

HASIL PEMERIKSAAN
Laboratorium

Radiologi
4

1. Foto thoracolumbal AP/Lat

Ekspertise:

FOLLOW UP
Waktu
13/7/2016

SOA
S : nyeri pada kedua bahu, kedua kaki tidak
dapat digerakkan.
O :
GCS E4M6V5
Suhu 40oC
Status lokalis
- Look: edema (-)
- Feel: nyeri tekan (+)
- Move: sulit dievaluasi
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal
vertebrae Frankle A

P
- O2 sungkup 7lpm
- IVFD RL 20 tpm
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Ranitidine 2x25mg/IV
- Tramadol drips 2x1 amp
- Paracetamol 1gr/8 jam

14/7/2016

S : Penurunan kesadaran
O :
GCS E1V2Mx
Suhu : 38,7
Status lokalis
- Look: edema (-)

- O2 sungkup 7lpm
- IVFD RL 20 tpm
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Omeprazole 40mg/24 jam
- Tramadol drips 2x1 amp
- Omeprazole 40mg/24 jam

Feel: sulit dievaluasi


- Methylprednisolon 125mg/8jam
Move: sulit dievaluasi
- Ceftriaxone 1gr/12 jam
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal - Paracetamol 1gr/8jam/IV
vertebrae Frankle A
- Pasang NGT
15/7/2016

16/7/2016

19/7/2016

S : Penurunan kesadaran
- O2 sungkup 7lpm
O :
- IVFD RL 20 tpm
GCS E3V2Mx
- Ranitidine 2x25mg/IV
Suhu : 38,5
- Ketorolac 2x1 gr/IV
Status lokalis
- Tramadol drips 2x1 amp
- Look: edema (-)
- Paracetamol 1gr/8jam/IV
- Feel: sulit dievaluasi
- Ceftriaxone 2x1gr/IV
- Move: sulit dievaluasi
- Konsul Sp.S
Laboratorium :
- Cek DR, Kimia Darah
RBC : 4,61 106/mm3
PLT : 88.000/mm3
WBC : 15,9 103/mm3
GDP : 100mg/dl
Ureum: 105mg/dl
Albumin : 2,9 mg/dl
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal
vertebrae Frankle A
S : Kesadaran membaik
- O2 nasal kanul 3lpm
O :
- IVFD RL 20 tpm
GCS E4V4Mx
- Ranitidine 2x25mg/IV
Suhu : 37,6
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Look: edema (-)
- Tramadol drips 2x1 amp
- Move: sulit dievaluasi
- Paracetamol 1gr/8jam/IV
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal - Ceftriaxone 2x1gr/IV
vertebrae Frankle A
- Methylprednisolon 3x125mg/IV
- Citicolin 3x250mg/IV
- Metycobalt 2x500mg/IV
- Transfusi PRC 250cc

S : Kesadaran membaik
O :
GCS E4V4Mx
Suhu : 37,6
A
: Burst Fracture of 3rd
vertebrae Frankle A

22/7/2016

S : penurunan kesadaran
O :
GCS E2V2Mx
TD : 74/47 mmHg
Lab :
WBC 11,9
RBC : 4,32

- O2 nasal kanul 3lpm


- IVFD RL 28 tpm
- Ranitidine 2x25mg/IV
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Tramadol drips 2x1 amp
thoracal - Paracetamol 1gr/8jam/IV
- Ceftriaxone 2x1gr/IV
- Methylprednisolon 3x125mg/IV
- Citicolin 3x250mg/IV
- Metycobalt 2x500mg/IV
- O2 nasal kanul 3lpm
- IVFD RL 28 tpm
- Ranitidine 2x25mg/IV
- Ceftriaxone 2x1gr/IV
- Methylcobal 1amp/hr
- dopamin
- transamin 2x500mg/IV
- citicolin 3x250mg/IV

PLT : 66.000

- transfusi PRC 500cc

A :
23/7/2016

Burst Fracture of 3rd thoracal


vertebrae Frankle A
Trombositopenia

S : penurunan kesadaran
O :
GCS E2V2Mx
TD : 74/48 mmHg
A
: Burst Fracture of 3rd
vertebrae Frankle A
- Trombositopenia

- O2 nasal kanul 3lpm


- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidine 2x25mg/IV
- Ceftriaxone 2x1gr/IV
- Methylcobal 1amp/hr
- transamin 2x500mg/IV
thoracal - citicolin 3x250mg/IV
- transfusi PRC 500cc

Pada Pukul 18.00 WIT, Pasien meninggal


dunia.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap
tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%),
terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya
akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Spine (kolumna vertebralis) merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi
menyangga kranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding toraks serta
melalui gelang panggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior. Di dalam
rongganya, terletak medula spinalis, radix nervi spinales, dan meninges yang
dilindungi oleh kolumna vertebralis.1

Struktur kolumna ini fleksibel, karena bersegmen-segmen dan tersusun atas


vertebra, sendi (articulatio), dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus
intervertebralis. Kurva normal dari tulang belakang yaitu lordosis servikal, kifosis
torakalis, lordosis lumbalis, dan kifosis sakralis.1
1. Osteologi (Tulang)
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yaitu 7
vertebra servikalis, 12 vertebra torakalis (merupakan regio
yang paling rigid dari rangka aksial), 5 vertebra lumbalis, 5
vertebra sakralis (yang bersatu membentuk os sakrum), dan
4 vertebra koksigeus (tiga yang di bawah umumnya
bersatu). Penanda topografik dari vertebra tertera pada tabel
berikut.1,2
Penanda topografik
Mandibula

Level vertebra
C2-C3

Kartilago hyoid

C3

Kartilago tiroid

C4-C5

Kartilago krikoid

C6

Prominensia vertebra

C7

Spina skapula

Gambar. Kurva normal tulang


belakang3 T3

Ujung distal skapula


Krista iliaka

T7
L4-L5

Vertebra secara umum memiliki pola yang sana walaupun memperlihatkan


perbedaan regional. Vertebra tipikal terdiri atas korpus yang bulat di anterior dan
arkus vertebra di posterior. Keduanya melingkupi sebuah ruangan yang disebut
foramen vertebralis, yang dilalui medula spinalis dan pembungkusnya (meninges).
Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedikulus yang berbentuk silinder, yang
membentuk sisi-sisi arkus, dan sepasang lamina gepeng yang melengkapi arkus
dari posterior. Arkus vertebra memiliki 7 prosesus yaitu 1 prosesus spinosus, 2
prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus (spina)

menonjol ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Prosesus transversus menonjol


ke lateral dari pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus spinosus dan prosesus
transversus berfungsi sebagai pengungkit dan menjadi tempat melekatnya otot dan
ligamentum. Prosesus artikularis terdiri atas 2 prosesus artikularis superior dan 2
prosesus artikularis inferior. Prosesus ini menonjol dari pertemuan antara lamina
dan pedikulus, dan facies artikularisnya diliputi oleh kartilago hialin. Kedua
prosesus artikularis superior dari sebuah arkus vertebra bersendi dengan kedua
prosesus artikularis inferior dari arkus yang ada di atasnya, membentuk sendi
sinovial.1

Gambar. Anatomi vertebra secara umum.3

Pedikulus memiliki lekuk pada pinggir atas dan bawahnya, membentuk


insisura vertebralis superior dan inferior. Pada masing-masing sisi, insisura
vertebralis superior sebuah vertebra dan insisura vertebralis inferior dari vertebra di
atasnya membentuk foramen intervertebrale. Foramina ini pada kerangka yang
berartikulasi berfungsi sebagai tempat lewatnya nervi spinales dan pembuluh
darah. Radiks anterior dan posterior nervus spinalis bergabung di dalam foramina
ini, bersama dengan pembungkusnya membentuk saraf spinalis segmentalis.1
Vertebra servikalis yang tipikal memiliki ciri sebagai berikut:1

Prosesus transversus memiliki foramen transversarium untuk tempat


lewatnya a. vertebralis dan v. vertebralis.

Gambar. (1) Vertebra C2-C7 dilihat dari sentral;


(2) Vertebra C5 dilihat dari superior4

Spina kecil dan bifida (membelah dua)

Korpus kecil dan lebar dari sisi ke sisi

Foramen vertebrale besar dan berbentuk segitiga

Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke belakang


dan atas; prosesus artikularis inferior memiliki facies yang menghadap ke
bawah dan depan.

Vertebra servikalis yang atipikal memiliki ciri sebagai berikut:1


Untuk vertebra servikalis I atau atlas:

Tidak memiliki korpus dan prosesus spinosus

Memiliki arkus anterior dan arkus posterior

Memiliki massa lateralis pada masing-masing sisi dengan facies artikularis


pada permukaan atasnya untuk bersendi dengan kondilus oksipitalis
(articulatio atlanto-occipitalis) dan facies artikularis pada permukaan
bawahnya untuk bersendi dengan aksis (articulatio atlanto-axialis).
Persentase fleksi dan ekstensi leher terbesar terjadi pada pusat oksiput-

10

atlas. Persentase rotasi leher terbesar jadi pada articulatio atlantoaxialis.1,2

Gambar. Vertebra C1 (atlas) dilihat dari superior dan inferior.4

Vertebra servikalis II atau aksis memiliki dens yang mirip pasak, yang
menonjol ke atas dari permukaan superior korpus (mewakili korpus atlas yang telah
bersatu dengan korpus aksis). Vertebra servikalis VII atau vertebra prominens,
diberi nama demikian karena memiliki prosesus spinosus paling panjang dan tidak
bifida; prosesus transversus besar tetapi foramen transversal kecil dan dilalui oleh
v. vertebralis.1

Gambar. (1) Vertebra C2 (axis) dilihat dari ventral; (2) Vertebra C7 dilihat dari superior.4

Sebuah vertebra torakal tipikal memiliki ciri sebagai berikut:1

Korpus berukuran sedang dan berbentuk jantung

Foramen vertebrale kecil dan bulat

Prosesus spinosus panjang dan miring ke bawah

11

Fovea kostalis terdapat pada sisi-sisi korpus untuk bersendi dengan


kapitulum kosta

Fovea kostalis terdapat pada prosesus transversus untuk bersendi dengan


tuberkulum kosta (T11 dan T12 tidak memiliki fovea kostalis pada
prosesus transversus)

Prosesus artikularis superior memiliki facies yang menghadap ke belakang


dan lateral, sedangkan facies pada prosesus artikularis inferior menghadap
ke depan dan medial. Prosesus artikularis inferior T12 menghadap ke
lateral, seperti pada vertebra lumbalis.

Gambar. Vertebra T10 dilihat dari superior4

Ciri-ciri vertebra lumbalis tipikal sebagai berikut:1

Korpus besar dan berbentuk ginjal

Pedikulus kuat dan mengarah ke belakang

Lamina tebal

Foramen vertebra berbentuk segitiga

Prosesus transversus panjang dan langsing

Prosesus spinosus pendek, rata dan berbentuk segiempat dan mengarah ke


belakang

Facies artikularis prosesus artikularis superior menghadap ke medial dan


facies artikularis prosesus artikularis inferior menghadap ke lateral.

12

Jadi vertebra lumbalis tidak memiliki facies artikularis untuk bersendi dengan
kosta dan tidak ada foramen pada prosesus transversus.1

Gambar. Vertebra L4 dilihat dari superior4

Os sakrum terdiri dari 5 vertebra rudimenter yang bergabung menjadi satu


membentuk sebuah tulang berbentuk baji yang cekung di anterior. Pinggir atas atau
basis tulang bersendi dengan vertebra L5. Pinggir bawah yang sempit bersendi
dengan os koksigis. Di lateral, os sakrum bersendi dengan 2 os coxae untuk
membentuk articulatio sacroiliaca. Pinggir anterior dan atas vertebra S1 menonjol
ke depan sebagai margo posterior apertura pelvis superior dan dikenal sebagai
promontorium sakralis. Promontorium sakralis pada perempuan penting untuk
obstetri, dan digunakan waktu menentukan ukuran pelvis. Terdapat foramina
vertebralis dan membentuk kanalis sakralis, yang berisi radiks anterior dan
posterior nervi spinales sacrales dan coccygeales, filum terminale, dan zat-zat
fibroadiposa; juga berisi bagian bawah spatium subaraknoid ke bawah sampai
setinggi pinggir bawah vertebra S2. Permukaan anterior dan posterior sakrum
memiliki 4 foramen pada setiap sisi, untuk tempat lewatnya ramus anterior dan
posterior n. spinalis S1-S4. Os koksigis terdiri atas 4 vertebra yang berfusi
membentuk sebuah tulang segitiga kecil, yang basisnya bersendi dengan ujung
bawah sakrum.1

13

Gambar. (1) Os sacrum dilihat dari ventroinferior; (2) Os sacrum potongan median.4

2. Articulatio (Sendi)
Sendi-sendi pada kolumna vertebralis:1

Articulatio atlanto-occipitalis, merupakan sendi sinovial antara kondilus


oksipitalis yang terdapat di kanan dan kiri foramen magnum di atas
dengan facies artikularis superior massa lateralis atlantis di bawah.
Pergerakan berupa fleksi, ekstensi, lateral fleksi; tidak rotasi.

Articulatio

atlanto-axialis,

terdiri

dari

buah

sendi

sinovial;

pergerakannya berupa rotasi.

Sendi-sendi kolumna vertebralis di bawah aksis, yaitu dengan perantaraan


articulatio cartilaginea antar-korpus vertebra dan articulatio synovial
antar-prosesus artikularis, disebut pula sendi faset (facet [apophyseal]
joint).

Permukaan atas dan bawah korpus vertebra yang berdekatan dilapisi oleh
lempeng tulang rawan hialin; di antaranya terdapat diskus intervertebralis yang
tersusun atas jaringan fibrokartilago. Diskus ini paling tebal di daerah servikal dan
lumbal dimana tempat terjadinya gerakan kolumna vertebralis. Ciri fisiknya
memungkinkannya berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada kolumna
vertebralis mendadak bertambah, seperti apabila seseorang melompat dari tempat

14

yang tinggi. Diskus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan C2,
atau di dalam os sakrum dan os koksigis.1
Ligamentum-ligamentum pada sendi-sendi kolumna vertebralis di bawah aksis
yaitu:1,5,6

Ligamentum longitudinale anterior (ALL) dan posterior (PLL) yang


berjalan turun sebagai sebuah pita pada permukaan anterior dan posterior
kolumna vertebralis dari kranium sampai sakrum. ALL lebar dan melekat
dengan kuat pada pinggir depan, samping korpus vertebra, dan pada
diskus intervertebralis. PLL lemah dan sempit dan melekat pada pinggir
posterior diskus. Ligamentum-ligamentum ini mengikat dengan kuat
seluruh vertebra tetapi tetap memungkinkan sedikit pergerakan di
antaranya.

Ligamentum supraspinale, berjalan di antara ujung-ujung prosesus


spinosus yang berdekatan. Di daerah sevikalis, ligamentum supraspinale
dan interspinalia sangat tebal, membentuk ligamentum nuchae yang sangat
kuat. Ligamentum nuchae terbentang dari prosesus spinosus vertebra C7
sampai protuberansia oksipitalis eksterna, dengan pinggir anteriornya
melekat kuat pada prosesus spinosus di antaranya.

Gambar. Ligamentum pada tulang belakang dilihat dari lateral.2

15

Ligamentum interspinalia, menghubungkan prosesus spinosus yang


berdekatan.

Ligamentum intertransversaria, berjalan di antara prosesus transversus


yang berdekatan.

Ligamentum flavum, menghubungkan lamina dari vertebra yang


berdekatan.

3. Otot
Otot-otot di daerah punggung dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu otot-otot
superfisial, intermedia dan profunda. Otot-otot superfisial merupakan bagian
ekstremitas superior yaitu m. trapezius, m. lattisimus dorsi, m. levator scapulae,
dan m. rhomboideus major dan minor. Otot-otot intermedia berhubungan dengan
respirasi dan terdiri atas m. serratus posterior superior, m. serratus posterior
inferior, dan m. levator costarum. Otot-otot profunda punggung (postvertebralis)
tonus

posturalnya

mempertahankan

lengkung-lengkung

normal

kolumna

vertebralis; terdiri atas m. erector spinae (m. iliocostalis, m. longissimus, m.


spinalis), m. transversospinalis (m. semispinalis, m. multifidus, mm. rotatores),
mm. interspinales dan m. intertransversarii.1,5,6
Khusus di bagian leher, struktur otot yang dapat dijelaskan pula yaitu struktur
otot anterior, suprahioid dan infrahioid, skalenus dan prevertebra, serta posterior.
Struktur otot anterior yakni m. sternokleidomastoideus, m. skalenus anterior, m.
skalenus media, m. skalenus posterior, dan m. platisma. Otot-otot suprahioid yakni
m. miohioid, m. geniohioid, m. stilohioid, m. digastrik. Otot-otot infrahioid yakni
m. sternohioid, m. omohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid. Otot-otot skalenus dan
prevertebra yaitu m. longus kapitis, m. longus kolli, m. rektus kapitis anterior, m.
rektus kapitis lateralis. Otot-otot posterior yakni m. trapezius bagian atas, m.
levator skapula, m. semispinalis kapitis dan servicis, m. splenius kapitis dan
servicis, m. longissimus kapitis dan servicis, m. spinalis servicis, m. rektus kapitis
posterior mayor dan minor, m. oblikus kapitis superior dan inferior.5

16

Gambar. Otot-otot punggung, Mm. dorsi4

17

Gambar. Otot-otot punggung, Mm. dorsi dan otot-otot suboksipital, Mm. suboccipitales 4

Gambar. Otot-otot leher, Mm. colli4

4. Vaskularisasi dan inervasi


18

Struktur di punggung mendapat vaskularisasi dari arteri-arteri berikut: di


daerah servikal, cabang-cabang yang berasal dari a. occipitalis (cabang a. carotis
eksterna), a. vertebralis (cabang a. subclavia), a. cervicalis profunda (cabang
truncus costocervicalis), dan a. cervicalis ascendens (cabang a. thyroidea inferior);
di daerah torakal cabang-cabang berasal dari aa. intercostales posteriores; di daerah
lumbal cabang-cabang dari a. iliolumbalis dan a. sacralis lateralis, cabang-cabang
dari a. iliaca interna. Vena-vena yang mengalirkan darah dari struktur-struktur di
punggung dapat dibagi menjadi 2 yaitu pleksus venosus vertebralis eksternus
(terletak di luar kolumna vertebralis) dan pleksus venosus vertebralis internus
(terletak di dalam kanalis vertebralis). Pembuluh-pembuluh limfe profunda
mengikuti vena dan bermuara ke dalam nodi lymphoidei cervicales profundi,
mediastinales posteriores, aortica laterales, dan sacrales. Pembuluh limfe kulit leher
bermuara ke modus servikalis; dari batang tubuh di atas krista iliaka bermuara ke
nodus aksilaris; dan yang dari daerah di bawah krista iliaka bermuara ke nodus
inguinalis superfisialis.1
Kulit dan otot-otot punggung dipersarafi secara segmental oleh rami
posteriores 31 pasang saraf spinalis. Rami posterior C1, C6-C8, serta L4-L5
mempersarafi otot punggung profunda, tetapi tidak mempersarafi kulitnya. Ramus
posterior C2 (n. occipitalis mayor) berjalan ke aras melalui tengkuk dan
mempersarafi kulit kepala.1

19

Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk
dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.1
Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah
terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah
mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali menyebabkan daerah
yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel
progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan desending banyak yang terganggu
dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat
menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson
bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi muncul
spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra
yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada
medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari
vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain
atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit
medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum
flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit
diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma
medula sentral.2

Patofisiologi terjadinya cedera medula spinalis meliputi mekanisme cedera


primer dan sekunder.1 Terdapat empat mekanisme cedera primer pada medula spinalis,
pertama adalah dampak cedera disertai kompresi persisten, pada umumnya terjadi akibat
fragmen tulang yang menyebabkan kompresi pada spinal, fraktur dislokasi, dan ruptur
diskus akut. Kedua, Dampak cedera disertai kompresi sementara, dapat terjadi misalnya

20

pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera
hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan
pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau
adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan
atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis
dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang
rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada
orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau
transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau

distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai
transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia
grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi
perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula
spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini
menyebabkan substansia grisea rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan
ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di
sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin
terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami
kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid
vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian
sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan
peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka
suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. 1,2 Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,

21

eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,
trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 1

D. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis
yang timbul :6

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:


Grade A

Hilangnya seluruh fungsi


sensorik dibawah tingkat lesi

morotik

dan

Grade B

Hilangnya seluruh fungsi motorik dan


sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat
lesi.

Grade C

Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan


di bawah 3.

Grade D

Fungsi motorik intak dengan kekuatan


motorik di atas atau sama dengan 3.

Grade E

Fungsi motorik dan sensorik normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel Score:


Frankel Score A

kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap


(complete loss).

Frankel Score B

Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik berkurang.

Frankel Score C

Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak


berguna(dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak
dapat berjalan).

Frankel Score D

Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak


dengan normal gait).

Frankel Score E

Tidak terdapat gangguan neurologik.

E. Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
22

hilangnya reflek pada segment dibawah lesi, termasuk bulbokavernosus,


kremasterika, kontraksi perianal (tonus spinchter ani) dan reflek tendon dalam.
Fenomena ini terjadi sementara karena perubahan aliran darah dan kadar ion
pada lesi. Pada trauma medula spinalis inkomplit, masih terdapat beberapa
fungsi di bawah lesi, sehingga prognosisnya lebih baik. Fungsi medula spinalis
dapat kembali seperti semula segera setelah syok spinal teratasi, atau fungsi
kembali membaik secara bertahap dalam beberapa bulan atau tahun setelah
trauma.2
Cedera medula spinalis akibat luka tembus, penekanan maupun iskemik dapat
menyebabkan berbagai bentuk karakteristik cedera berdasarkan anatomi dari terjadinya
cedera. Defisit neurologis
digambarkan

yang timbul (fungsi yang hilang atau tersisa) dapat

dari pola kerusakan medula dan radiks dorsalis demikian juga

sebaliknya, antara lain:2,6,7


1. Lesi Komplit yaitu terjadinya cedera medula yang luas akibat anatomi dan fungsi
transeksi medula disertai kehilangan fungsi motorik dan sensorik dibawah lesi.
Mekanisme khasnya adalah trauma vertebra subluksasi yang parah mereduksi
diameter kanalis spinalis dan menghancurkan medula.

Konsekuensinya bisa

terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi
otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.

2. Lesi Inkomplit
a. ss

Gambar 5. Pola Cedera medula spinalis.6

23

F. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma.
Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa
(sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar
servikal (collar brace) dan papan (backboards).2

A.

B.

Gambar 6. A. Collar servikal, B. backboards.

Di tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit/ puskesmas) dilakukan


penanganan terhadap hipoventilasi, hipoksia, dan hiperkanea (yang biasanya
ditemukan pada cedera medula servikal tinggi). Selain itu juga dapat terjadi
hipotensi yang disertai bradikardi, akibat hilangnya inervasi simpatik pada
jantung saat terjadi cedera medula servikal yang disebut syok neurogenik.
Hilangnya inervasi simpatik juga dapat menyebabkan ileus paralitik disertai
sekuestrasi cairan abdomen, distensi kandung kemih, dan hipotermi.2
Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adannya fraktur vertebra yang
tidak stabil hingga dibuktikan sebaliknya dengan x-rays (foto rontgen).
Resusitasi terhadap hipotensi dan hipoventilasi harus segera dilakukan. Jika
pasien sadar, riwayat kejadian harus ditanyakan, termasuk mekanisme
terjadinya cedera, dan adanya nyeri dan gejala neurologik lain yang timbul.

24

Adanya keluhan berupa parestesi harus di perhatikan. Sakit kepala hebat,


terutaama sakit kepala daerah oksipital, biasanya disertai fraktur odontoid atau
hangman's fracture (fraktur bilateral dari pedikel C2). Palpasi pada pasien
dengan menggerakan vertebra minimal didapatkan nyeri tekan atau deformitas.
Untuk mengetahui adanya paralisis, pasien diminta untuk menggerakkan
tangannya sendiri dan diberikan tahanan. Refleks tendon dalam harus
dievaluasi pada lengan dan kaki, berkurang atau hilangnya reflek tersebut dapat
membantu pemeriksa mengetahui letak lesi.

Gambar 7. Tingkat sensorik dan motorik dari medula spinalis. 2

Hilangnya reflex abdomen (kontraksi akibat stimulasi kulit abdomen


bagian bawah), menunjukkan adanya lesi di region T9-11. Hilangnya reflek
kremasterika (kontraksi otot skrotal sebagai respon dari rangsangan yang
diberikan di paha medial) menunjukkan adany lesi di medula T12-L1. Adanya

25

reflek bulbokavernosus (kontraksi sphincter ani dengan melakukan kompresi


pada penis atau klitoris atau dengan menurunkan tekanan trigonum bladder
dengan balon kateter foley ketika kateter secara gentle ditarik keluar)
menunjukkan bahwa jalur sensorik dan motorik sacral masih berfungsi.
Hilangnya reflek bulbokavernosus terjadi pada syok spinal atau cedera radiks
dorsalis. Pemeriksaan sensoris pada ekstrimitas, dada, leher, dan wajah harus
dilakukan untuk mengetahui tingkat sensasi sensorik yang berkurang atau
hilang. Sensasi pada sebagian region sakral hampir selalu disebabkan cedera
inkomplit.2
Pemeriksaan penunjang
Foto rontgen merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada
trauma vertebra.2 Foto anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk
penilaian cepat tentang kondisi tulang spinal.6 Foto lateral paling dapat
memberikan informasi dan harus dilakukan pemeriksaan terhadap
alignment (kelurusan) dari aspek anterior dan posterior yang berbatasan
dengan vertebra torakalis serta pemeriksaan angulasi spinal di setiap level.
Jaringan lunak paravertebra atau prevertebral yang bengkak biasanya
merupakan indikasi perdarahan pada daerah yang fraktur atau ligamen yang
rusak. Foto anterioposterior regio thoraks dan level lainnya dapat
menunjukkan vertebra torakalis yang bergeser ke lateral atau menunjukkan
luasnya pedikel yang rusak.2 Visualisasi adekuat dari spinal servikal bawah
dan torak atas seringkali tidak mungkin karena adanya korset bahu. Foto
polos komplit pada spinal servikal meliputi gambaran mulut terbuka yang
menunjukkan adanya proses odontoid dan masa lateral C1 pada pasien yang
diduga mengalami trauma servikal.2,6 Gambaran oblik dari servikal atau
lumbal akan menunjukkan adanya fraktur atau dislokasi.
Computed tomography (CT scan) potongan sagital dan koronal
dapat menggambarkan anatomi tulang dan fraktur terutama C7-T1 yang
tidak tampak pada foto polos,2,6 MRI memberikan gambaran yang sempurna
dari vertebra, diskus, dan medula spinalis serta merupakan prosedur
diagnostik pilihan pada pasien dengan cedera medula spinalis. 2,6 Kanalis
26

yang mengalami subluksasi, herdiasi diskus akut atau rusaknya ligamen


jelas tampak pada MRI. Selain itu, MRI juga dapat mendeteksi EDH atau
kerusakan medula spinalis itu sendiri, termasuk kontusio atau daerah yang
mengalami iskemi.6

G. Tatalaksana
Terapi pada cidera medulla spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensorik dan mototrik. Pasien dengan cidera medulla
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medulla spinalis inkomplet
cenderung memiliki prognosis yg lebih baik. Apabila fungsi sensorik di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cidera
medulla spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health
di

Amerika

Serikat.

Sesegera

mungkin

(sebelum

jam)

diberikan

methylprednisolone 30 mg/kgbb bolus intravena sebagai loading dose, diikuti 5,4


mg/kgbb/jam. dosis diturunkan (tapper) setelah 72 jam. Kajian oleh Braken dalam
Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan
satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik, sehingga
dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Mecobalamin merupakan salah satu homolog vitamin B12, dan secara biokimia
terdapat dalam darah. Mecobalamin dapat memperbaiki gangguan metabolisme
asam nukleat dan protein di dalam jaringan saraf, dengan cara mempermudah
sintesis asam nukleat dan protein di dalam sel-sel saraf, serta memperbaiki
gangguan saraf sensoris dan motoris.
Steroid Dosis Spinal
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis

27

dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera


medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan
secara intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah
cedera, dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap
jam

setelah

pemberian

pertama.

Jika

pasien

mendapatkan

bolus

metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien


tersebut menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika
pemberian metilprednisolon dalam tiga jam setelah cedera, maka pemberian
infus prednisolon diberikan selama 24 jam.2,6 Penelitian menunjukkan akan
terjadi pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun
pada pasien yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan
kortikosteroid belum jelas kesepakatannya, hal ini karena timbulnya efek
samping berupa pneumonia. Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk
pasien dengan luka tembak atau scedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau
hamil, kurang dari 14 tahun, atau dalam pengobatan steroid jangka panjang,
serta hipotermi (salah satu gejala yang timbul pada cedera medula spinalis).6
Non Medika Mentosa
Terapi pada fraktur vertebra toraks diawali dengan mengatasi nyeri dan
stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih para lagi. Semuanya tergantung
dengan tipe fraktur
Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score

28

Parameter

Points

Morphology

Compression

Burst

Translational/rotational

Distraction

Neurologic status

Intact

Nerve root injury

Spinal cord/conus medullaris injury

Complete

Incomplete

Cauda equina

Posterior ligamentous complex

Intact

Indeterminate

29

Disrupted

TREATMENT RECOMMENDATIONS

Total Score

Treatment

Nonoperative

Indeterminate (nonoperative vs. operative)

Operative

1. Menurut braces dan orthotics ada tiga hal yang dilakukan, yakni
mempertahankan kesegarisan vertebra, imbolisasi vertebra dalam masa
penyembuhan mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi
pergerakan. Fraktur yang sifarnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai
contoh cervical thoracic brace (minerva) untuk fraktur pada punggung atas,
thoracolumbar sacral orthosic (TLSO) untuk fraktur punggu bagian bawah,
dalam waktu 8-12 minggu brace kaa terputus. Umunya fraktur pada leher
yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dilokasi memerlukan traksi,
halo ring dan vest brace untuk mengembalikan kesegarisan.

30

2. Pemasangan plat dan proses penyatuan (fusi). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil, fusi adalah proses
pengabungan dua vertebra dengan adanya bone graf dibantu dengan alatalat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graf adalah
penyatuan veterbra di bagian atas dan bawah dari bagian yang disambung.
Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
megahasilkan penyatuan yang solid

Gambar. Pedicle crew rod fiksasi

3. Vertebroplasty dan kyphoplastis. Tindakan ini adalah prosedur invasi yang


minimal pada prinsipnya, teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yang
disebabkakan osteoporisis dan tumor vertebra. Pada veterbroplasti bone
cement diinjeksikan melalui lubang jarum menuju korpus vertebra,
sedangkan pada kypohoplastu, sebuah balon dimasukan da dikembungkan
untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi
dengan bone cement.

31

Gambar. Balon kyphoplasti

Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama
adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien
dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi

cedera yang

terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi
terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi
stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. 6 Indikasi
lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai
dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak
stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws
dikombinasi dengan bone fusion.2

H. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara
potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai
infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang

32

menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit
motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena
dalam.

Pasien

sebaiknya

mendapatkan

low-molecular-weight

heparin,

pneumatic compression stockings atau keduanya sebagai profilaksis.


I. Prognosis
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya tidak
mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit dapat mulai
berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda lebih mudah
mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior prognosisnya tidak sebaik
sindroma medula inkomplit, sindroma medula sentral, dan Brown Squards
sindrome. Penyebab utama kematian sindroma medula spinalis meliputi
penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi jugsa termasuk dukungan
emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan latihan bekerja.2

PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berinisial FL, berumur 35 tahun masuk RS akibat
mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluhkan nyeri pada kedua pundak
sehingga sulit digerakkan pasien juga mengeluh kedua tungkai tidak dapat
digerakkan. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas. Pasien sempat terguling kemudian terbentur jembatan. Jarak antara tempat
kecelakaan dan jembatan 3 meter. Pasien juga tidak merasa ingin BAK setelah
kecelakaan. Pingsan(+), muntah (-). Pasien mengingat dengan baik kejadian
kecelakaan. Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat trauma yang dialami
pasien yaitu kecelakaan motor.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 80/60 mmHg; Nadi: 72x/m;
Pernapasan: 32x/m; Suhu: 36,4 0C. Pada pemeriksaan status lokalis punggung

33

pasien didapatkan nyeri (+), edema (-), warna sama dengan kulit. Pada
pemeriksaan sensorik didapatkan anesthesia setinggi papila mammae hingga ke
ekstremitas bawah.Berdasarkan pemeriksaan fisik yang bermakna yaitu pada status
lokalis punggung pasien dan dada hingga ke ekstremitas bawah. Ini menunjukkan
kemungkinan terjadinya fraktur pada medula spinalis yaitu setinggi thoracal III.
Pemeriksaan penunjang yaitu foto thoracolumbal AP/Lat menunjukkan
tampak adanya fraktur pada thoraacal III. Kesan Burst Fracture setinggi thoracal
III.
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.dan trauma pada
medulla spinalis
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang
paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika
Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula
spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet
(27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.

34

Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American


Spinal Cord Injury Association(2)yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior
Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan
(5) Conus Medullaris syndrome. Lee(6)menambahkan lagi sebuah sindrom
inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord Syndrome
Pada pemeriksaan fisik dari pasien, ditemukan adanya traumatik medulla
spinalis dengan adanya gangguan sensorik dan mororik. Anestesi dari papila
mammae hingga ke ekstremitas inferior.
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Ada 8 saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral.
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke
otak.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena kesakitan terbatas dermatom adalah
gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di daerah dermatom mengindikasikan
kekurangan oksigen ke saraf seperti yang terjadi dalam peradangan di suatu tempat
di sepanjang jalur saraf.
Dalam pemeriksaan dermatom yang temukan pada pasien, pada papila
mammae sejajar dengan lumbal 3 maka kerusakan berada di thoracal 3.

35

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan


laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI
sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang
paling baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tersebut sudah
dilakukan foto polos lumbosacral Ap/Lateral dan didapatkan adanya adanya fraktur
pada thoracaal 3.
Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet
cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawah
lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of
Health di Amerika Serikat(11). Namun demikian penggunaannya sebagai terapi
utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Brakendalam Cochrane Library
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi
farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training .
Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/
activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien.
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program
rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi, penatalaksanaan

36

gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. De. Jong dan sjamsunhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah . edisi 3. EGC: Jakarta :
2007
2. Liwang frans, Tanto,C. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Media aesculapius;
Jakarta. 2014
3. Robbin and Contra. Buku Ajar Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. EGC:
Jakarta. 2006.
4. Jhon F, and Wayne J. Anvanced Trauma Life Support For Doktors (ATLS)
student Course Manual. Edisi 8. Americans College Surgeons. 2008
5. Clara Valley. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. University of
Alabama at Birmingham. 2013 (internet). Cited 2015 Agus 20. Available from
https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts
%202013.pdfss
6. Nils Hjeltnes. Spinal cord injury. Spinal Cord Injury Rehabilitation
Department, Sunnaas Hospital, Nesoddtangen, Norway. 2010. Cited 2015 Agus
20. Available from: http://fyss.se/wp-content/uploads/2011/06/45.-Spinal-cordinjury.pdf
7. Maureen Coggrave. Bowel Management Following Spinal Cord Injury. NSIC
2007. Cited 2015 Agus 20.Available from:
http://www.buckshealthcare.nhs.uk/Downloads/Patient-leaflets

NSIC/Bowel

%20management%20following%20spinal%20cord%20injury.pdf
8. Margaret C. Spinal cord injury . World Health Organization. 2013 . Cited
2015 Agus 20. Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94190/1/9789241564663_eng.pdf.
9. Kaur, Bhavkiran, Narkeesh. Autonomic Nervous System in Spinal Cord Injury
Patient. Department of Physiotherapy, Punjabi University, Punjab : India . Cited
2015 Agus 20. Available from:
http://medind.nic.in/jau/t14/i1/jaut14i1p46.pdf
10. Andrei V. Krassioukov . Assessment Of Autonomic Dysfunction Following
Spinal Cord Injury: Rationale for additions to International Standards for

38

Neurological Assessment . Volume 44, Number 1, 2007. Cited 2015 Agus 20.
Available from:
http://download14.documents.tips/uploads/check_up14/342015/55cf855355034
6484b8cc5dd.pdf

39

Anda mungkin juga menyukai