A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. FL
Umur
: 35 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Kristen Protestan
Alamat
: Lateri
Tgl MRS
: 09 September 2016
Pukul
:22.11 WIT
Pengantar
No. RM
: 10 14 36
B. ANAMNESIS : Autoanamnesa
Keluhan Utama : Kedua kaki tidak dapat digerakkan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien merupakan pasien rujukan puskesmas perawatan wahai dengan
keluhan mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien sempat terguling kemudian terbentur
jembatan. Jarak antara tempat kecelakaan dan jembatan 3 meter. Pasien
juga mengeluh nyeri pada kedua bahu. Pasien juga tidak merasa ingin BAK
setelah kecelakaan. Pingsan(+), muntah (-). Pasien mengingat dengan baik
kejadian kecelakaan. Pasien sempat di rawat di Puskesmas Perawatan
Wahai sebelum di rujuk.
Riwayat penyakit Dahulu : DM dan hipertesnsi (-)
Riwayat keluarga : (-)
Riwayat pengobatan : IFVD NaCL 0,9%, inj. Citicolin, inj. Ketorolac
Riwayat Sosial : (-)
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
: Tidak diperiksa
Leher
Dada
: Inspeksi datar.
Auskultasi peristaltik (+) 10 x/menit.
Palpasi nyeri tekan (-).
Perkusi timpani.
2
Genitalia
Rectal touch
Ekstremitas
Status Lokalis :
Look (inspeksi)
: Edema (-)
Feel (palpasi)
Move (gerakan)
Neurovaskuler
STATUS NEUROLOGIS
Motorik:
kekuatan: 3333
0000
3333
0000
Tonus
normotonus pada kedua ekstremitas atas dan atonus pada kedua ekstremitas
bawah
Trofi
Eutrofi pada kedua ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Reflex fisiologis:
Biceps: +/+
Triceps: +/+
KPR: -/ APR: -/Reflex patologis:
Hoffmann-tromner: -/ Babinski: +/+
Chaddock: -/ Gordon: -/ Schaefer: -/ Oppenheim: -/-
Sensibilitas
Nyeri : Tidak dapat merasakan nyeri setinggi papila mammae-ekstremitas
inferior
Suhu : akral hangat pada kedua ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
Fungsi Otonom
Miksi
Inkotinensia : (+)
Retensi : Tidak ada
Anuria : Tidak ada
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
B. DIAGNOSIS KERJA
-
C. PLANNING
IVFD RL 20 tpm
Pasang kateter
HASIL PEMERIKSAAN
Laboratorium
Radiologi
4
Ekspertise:
FOLLOW UP
Waktu
13/7/2016
SOA
S : nyeri pada kedua bahu, kedua kaki tidak
dapat digerakkan.
O :
GCS E4M6V5
Suhu 40oC
Status lokalis
- Look: edema (-)
- Feel: nyeri tekan (+)
- Move: sulit dievaluasi
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal
vertebrae Frankle A
P
- O2 sungkup 7lpm
- IVFD RL 20 tpm
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Ranitidine 2x25mg/IV
- Tramadol drips 2x1 amp
- Paracetamol 1gr/8 jam
14/7/2016
S : Penurunan kesadaran
O :
GCS E1V2Mx
Suhu : 38,7
Status lokalis
- Look: edema (-)
- O2 sungkup 7lpm
- IVFD RL 20 tpm
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Omeprazole 40mg/24 jam
- Tramadol drips 2x1 amp
- Omeprazole 40mg/24 jam
16/7/2016
19/7/2016
S : Penurunan kesadaran
- O2 sungkup 7lpm
O :
- IVFD RL 20 tpm
GCS E3V2Mx
- Ranitidine 2x25mg/IV
Suhu : 38,5
- Ketorolac 2x1 gr/IV
Status lokalis
- Tramadol drips 2x1 amp
- Look: edema (-)
- Paracetamol 1gr/8jam/IV
- Feel: sulit dievaluasi
- Ceftriaxone 2x1gr/IV
- Move: sulit dievaluasi
- Konsul Sp.S
Laboratorium :
- Cek DR, Kimia Darah
RBC : 4,61 106/mm3
PLT : 88.000/mm3
WBC : 15,9 103/mm3
GDP : 100mg/dl
Ureum: 105mg/dl
Albumin : 2,9 mg/dl
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal
vertebrae Frankle A
S : Kesadaran membaik
- O2 nasal kanul 3lpm
O :
- IVFD RL 20 tpm
GCS E4V4Mx
- Ranitidine 2x25mg/IV
Suhu : 37,6
- Ketorolac 2x1 gr/IV
- Look: edema (-)
- Tramadol drips 2x1 amp
- Move: sulit dievaluasi
- Paracetamol 1gr/8jam/IV
A
: Burst Fracture of 3rd thoracal - Ceftriaxone 2x1gr/IV
vertebrae Frankle A
- Methylprednisolon 3x125mg/IV
- Citicolin 3x250mg/IV
- Metycobalt 2x500mg/IV
- Transfusi PRC 250cc
S : Kesadaran membaik
O :
GCS E4V4Mx
Suhu : 37,6
A
: Burst Fracture of 3rd
vertebrae Frankle A
22/7/2016
S : penurunan kesadaran
O :
GCS E2V2Mx
TD : 74/47 mmHg
Lab :
WBC 11,9
RBC : 4,32
PLT : 66.000
A :
23/7/2016
S : penurunan kesadaran
O :
GCS E2V2Mx
TD : 74/48 mmHg
A
: Burst Fracture of 3rd
vertebrae Frankle A
- Trombositopenia
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Cedera medula spinalis dapat didefinisikan sebagai semua bentuk cedera
yang mengenai medula spinalis baik yang menimbulkan kelainan fungsi
utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap atau sebagian.1
B. Epidemiologi
Menurut NSCISC, di USA terjadi 11.000 kasus cedera medula spinalis tiap
tahun.1 Penyebab utama cedera medula spinalis antara lain kecelakaan (50,4%),
terjatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya
akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,3
C. Anatomi
Spine (kolumna vertebralis) merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi
menyangga kranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding toraks serta
melalui gelang panggul meneruskan berat badan ke ekstremitas inferior. Di dalam
rongganya, terletak medula spinalis, radix nervi spinales, dan meninges yang
dilindungi oleh kolumna vertebralis.1
Level vertebra
C2-C3
Kartilago hyoid
C3
Kartilago tiroid
C4-C5
Kartilago krikoid
C6
Prominensia vertebra
C7
Spina skapula
T7
L4-L5
10
Vertebra servikalis II atau aksis memiliki dens yang mirip pasak, yang
menonjol ke atas dari permukaan superior korpus (mewakili korpus atlas yang telah
bersatu dengan korpus aksis). Vertebra servikalis VII atau vertebra prominens,
diberi nama demikian karena memiliki prosesus spinosus paling panjang dan tidak
bifida; prosesus transversus besar tetapi foramen transversal kecil dan dilalui oleh
v. vertebralis.1
Gambar. (1) Vertebra C2 (axis) dilihat dari ventral; (2) Vertebra C7 dilihat dari superior.4
11
Lamina tebal
12
Jadi vertebra lumbalis tidak memiliki facies artikularis untuk bersendi dengan
kosta dan tidak ada foramen pada prosesus transversus.1
13
Gambar. (1) Os sacrum dilihat dari ventroinferior; (2) Os sacrum potongan median.4
2. Articulatio (Sendi)
Sendi-sendi pada kolumna vertebralis:1
Articulatio
atlanto-axialis,
terdiri
dari
buah
sendi
sinovial;
Permukaan atas dan bawah korpus vertebra yang berdekatan dilapisi oleh
lempeng tulang rawan hialin; di antaranya terdapat diskus intervertebralis yang
tersusun atas jaringan fibrokartilago. Diskus ini paling tebal di daerah servikal dan
lumbal dimana tempat terjadinya gerakan kolumna vertebralis. Ciri fisiknya
memungkinkannya berfungsi sebagai peredam benturan bila beban pada kolumna
vertebralis mendadak bertambah, seperti apabila seseorang melompat dari tempat
14
yang tinggi. Diskus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan C2,
atau di dalam os sakrum dan os koksigis.1
Ligamentum-ligamentum pada sendi-sendi kolumna vertebralis di bawah aksis
yaitu:1,5,6
15
3. Otot
Otot-otot di daerah punggung dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu otot-otot
superfisial, intermedia dan profunda. Otot-otot superfisial merupakan bagian
ekstremitas superior yaitu m. trapezius, m. lattisimus dorsi, m. levator scapulae,
dan m. rhomboideus major dan minor. Otot-otot intermedia berhubungan dengan
respirasi dan terdiri atas m. serratus posterior superior, m. serratus posterior
inferior, dan m. levator costarum. Otot-otot profunda punggung (postvertebralis)
tonus
posturalnya
mempertahankan
lengkung-lengkung
normal
kolumna
16
17
Gambar. Otot-otot punggung, Mm. dorsi dan otot-otot suboksipital, Mm. suboccipitales 4
19
Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari cedera medula spinalis penting untuk
dipahami, sehingga dapat segera dilakukan intervensi farmakologi yang tepat
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah efek dari cedera sekunder.1
Banyak sel di medula spinalis mati seketika secara progresif setelah
terjadinya cedera. Kista biasanya terbentuk setelah cedera memar. Setelah
mengalami luka tusuk, sel dari sistem saraf perifer seringkali menyebabkan daerah
yang terkena tusuk membentuk jaringan parut yang bergabung bersama astrosit, sel
progenitor, dan mikroglia. Akson asending dan desending banyak yang terganggu
dan gagal memperbaiki diri. Beberapa akson membentuk sirkuit baru, akson dapat
menembus kedalam trabekula dan dibentuk oleh sel ependim. Segmen akson
bermielin yang terputus difagosit oleh makrofag. Sebagian remielinasi muncul
spontan, yang terbanyak dari sel schwan.5
Pada umumnya, cedera medula spinalis disertai kompresi dan angulasi vertebra
yang parah, misalnya terjadinya hipotensi yang parah akibat infark dari medula atau
distraksi aksial dari unsur kolumna vertebralis akan mengakibatkan tarikan (stretch) pada
medula. Biasanya cedera medula spinalis disertai subluksasi dengan atau tanpa rotasi dari
vertebra yang menekan medula diantara tulang yang dislokasi. Kompresi aksial tulang
belakang jarang menyebabkan kerusakan atau pendesakan pada vertebra, dan tulang lain
atau fragmen diskus intervertebralis dapat menekan ke dalam kanalis spinalis dan menjepit
medula dan arteri spinalis. Cedera seringkali terjadi pada orang tua dengan artritis
degeneratif dan stenosis vertebra servikalis, termasuk hiperekstensi leher disertai ligantum
flavum yang terletak di kanalis vertebra posterior dari medula. Medula spinalis terjepit
diantara spurs (osteofit) anterior dari tulang yang mengalami artritis dan posterior dari
ligamentum flavum, sehingga menyebabkan cedera yang dikenal dengan sebutan sindroma
medula sentral.2
20
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang cervikal yang mengalami cedera
hiperekstensi. Ketiga adalah distraksi, terjadi jika kolumna spinalis teregang berlebihan
pada bidang aksial akibat distraksi yang dihasilkan dari gerakan fleksi, ekstensi, rotasi atau
adanya dislokasi yang menyebabkan pergeseran atau peregangan dari medula spinalis dan
atau asupan darahnya. Biasanya mekanisme seperti ini tanpa disertai kelainan radiologis
dan pada umumnya terjadi pada anak-anak dimana vertebranya masih terdiri dari tulang
rawan, ototnya masih belum berkembang sempurna, dan ligamennya masih lemah. Pada
orang dewasa, cedera medula spinalis tanpa disertai kelainan radiologis umumnya terjadi
pada seseorang dengan penyakit degeneratif tulang belakang. Keempat yaitu laserasi atau
transeksi, dapat terjadi akibat luka tembak, dislokasi fragmen tulang tajam, atau
distraksi yang parah. Laserasi dapat terjadi mulai dari cedera yang ringan sampai
transeksi lengkap.1
Cedera primer yang terjadi cenderung merusak pusat substansia grisea dan
sebagian mengenai substansia alba. Hal tersebut terjadi karena, konsistensi substansia
grisea lebih lunak dan banyak vaskularisasi. Pada cedera primer, tahap awal akan terjadi
perdarahan pada medula spinalis dilanjutkan dengan terganggunya aliran darah medula
spinalis menyebabkan hipoksi dan iskemia sehingga terjadi infark lokal. Hal ini
menyebabkan substansia grisea rusak.1
Kerusakan terutama pada gray matter (substansia grisea) karena kebutuhan
metaboliknya yang tinggi. Saraf yang mengalami trauma secara fisik terganggu dan
ketebalan myelinnya berkurang. Perdarahan mikro (mikrohemorrages) atau edema di
sekitar saraf yang mengalami cedera, dapat menyebabkan saraf tersebut semakin
terganggu. Hal tersebut yang mendasari pemikiran bahwa substansia grisea mengalami
kerusakan yang ireversibel selama satu jam pertama, sedangkan substansia alba mengalami
kerusakan selama 72 jam setelah cedera.1
Segera setelah terjadi cedera medula spinalis, fungsi disertai perubahan patologis
akan hilang secara sementara. Pada permulaan terjadinya cedera memicu timbulnya
kaskade yang terdiri dari akumulasi produksi asam amino, neurotransmiter, eikosanoid
vasoaktif, radikal bebas oksigen, dan produk dari peroksidasi lipid. Program jalur kematian
sel juga teraktivasi. Terjadi kehilangan darah dari barier medula akibat edema dan
peningkatan tekanan jaringan.2 Selama berlangsungnya perdarahan pada medula, maka
suplai darah menjadi terbatas, sehingga menyebabkan iskemia yang mengakibatkan
kerusakan medula lebih lanjut sehingga timbul cedera sekunder. 1,2 Cedera sekunder
meliputi syok neurogenik, gangguan vaskular seperti perdarahan dan reperfusi-iskemia,
21
eksitotoksisitas, cedera primer yang dimediasi kalsium dan gangguan cairan elektrolit,
trauma imunologik, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 1
D. Klasifikasi
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
berdasarkan hubungan antara kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis
yang timbul :6
morotik
dan
Grade B
Grade C
Grade D
Grade E
Frankel Score B
Frankel Score C
Frankel Score D
Frankel Score E
E. Gejala Klinis
Tanda dan Gejala
Pada trauma medula spinalis komplit, daerah di bawah lesi akan
kehilangan fungsi saraf sadarnya. Terdapat fase awal dari syok spinalis yaitu,
22
Konsekuensinya bisa
terjadi paraplegia atau quadriplegia (tergantung dari level lesinya), rusaknya fungsi
otonomik termasuk fungsi bowel, bladder dan sensorik.
2. Lesi Inkomplit
a. ss
23
F. Diagnosis
Tanda penting untuk diagnosis antara lain:2
1. Nyeri leher atau punggung pasca trauma
2. Mati rasa atau kesemutan (parestesi) anggota badan atau ekstrimitas
3. Kelemahan atau paralisis
4. Kehilangan fungsi pencernaan dan kandung kencing
5. Gambaran radiologis
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi dan terapi awal harus segera dilakukan saat terjadi truma.
Deteksi awal cedera medula spinalis akan mencegah timbulnya gejala sisa
(sequele) pada fungsi neurologik. Pasien yang diduga mengalami cedera
medula spinalis harus dilakukan imobilisasi dengan menggunakan collar
servikal (collar brace) dan papan (backboards).2
A.
B.
24
25
G. Tatalaksana
Terapi pada cidera medulla spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan
dan mempertahankan fungsi sensorik dan mototrik. Pasien dengan cidera medulla
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla
spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama,
cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medulla spinalis inkomplet
cenderung memiliki prognosis yg lebih baik. Apabila fungsi sensorik di bawah lesi
masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cidera
medulla spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health
di
Amerika
Serikat.
Sesegera
mungkin
(sebelum
jam)
diberikan
27
setelah
pemberian
pertama.
Jika
pasien
mendapatkan
bolus
28
Parameter
Points
Morphology
Compression
Burst
Translational/rotational
Distraction
Neurologic status
Intact
Complete
Incomplete
Cauda equina
Intact
Indeterminate
29
Disrupted
TREATMENT RECOMMENDATIONS
Total Score
Treatment
Nonoperative
Operative
1. Menurut braces dan orthotics ada tiga hal yang dilakukan, yakni
mempertahankan kesegarisan vertebra, imbolisasi vertebra dalam masa
penyembuhan mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi
pergerakan. Fraktur yang sifarnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai
contoh cervical thoracic brace (minerva) untuk fraktur pada punggung atas,
thoracolumbar sacral orthosic (TLSO) untuk fraktur punggu bagian bawah,
dalam waktu 8-12 minggu brace kaa terputus. Umunya fraktur pada leher
yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dilokasi memerlukan traksi,
halo ring dan vest brace untuk mengembalikan kesegarisan.
30
2. Pemasangan plat dan proses penyatuan (fusi). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil, fusi adalah proses
pengabungan dua vertebra dengan adanya bone graf dibantu dengan alatalat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graf adalah
penyatuan veterbra di bagian atas dan bawah dari bagian yang disambung.
Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
megahasilkan penyatuan yang solid
31
Operasi
Intervensi operasi dalam hal ini memiliki dua tujuan, yang pertama
adalah untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien
dengan defisit neurologis inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi
cedera yang
terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi
terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal dengan defisit
neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang
mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi
stabilisasi dapat disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. 6 Indikasi
lain operasi yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis disertai
dengan defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan terjadinya
epidural spinal atau subdural hematoma. Penatalaksanaan vertebra yang tidak
stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rods, dan screws
dikombinasi dengan bone fusion.2
H. Komplikasi
Penyebab utama kematian setelah cedera medula spinalis secara
potensial dapat dicegah. Cara terbaik mencegah terjadinya gagal ginjal disertai
infeksi saluran kencing berulang adalah dengan melakukan kateterisasi bladder
intermiten secara hati-hati. Ulkus dekubitus mudah terbentuk pada tulang yang
32
menonjol pada area yang teranestesi, hal tersebut dapat dicegah dengan dengan
cara turning of patients dan memutar tempat tidur. Pasien dengan defisit
motorik disertai cedera medula spinalis memiliki resiko tinggi thrombosis vena
dalam.
Pasien
sebaiknya
mendapatkan
low-molecular-weight
heparin,
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berinisial FL, berumur 35 tahun masuk RS akibat
mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengeluhkan nyeri pada kedua pundak
sehingga sulit digerakkan pasien juga mengeluh kedua tungkai tidak dapat
digerakkan. Keluhan dialami pasien setelah pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas. Pasien sempat terguling kemudian terbentur jembatan. Jarak antara tempat
kecelakaan dan jembatan 3 meter. Pasien juga tidak merasa ingin BAK setelah
kecelakaan. Pingsan(+), muntah (-). Pasien mengingat dengan baik kejadian
kecelakaan. Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat trauma yang dialami
pasien yaitu kecelakaan motor.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 80/60 mmHg; Nadi: 72x/m;
Pernapasan: 32x/m; Suhu: 36,4 0C. Pada pemeriksaan status lokalis punggung
33
pasien didapatkan nyeri (+), edema (-), warna sama dengan kulit. Pada
pemeriksaan sensorik didapatkan anesthesia setinggi papila mammae hingga ke
ekstremitas bawah.Berdasarkan pemeriksaan fisik yang bermakna yaitu pada status
lokalis punggung pasien dan dada hingga ke ekstremitas bawah. Ini menunjukkan
kemungkinan terjadinya fraktur pada medula spinalis yaitu setinggi thoracal III.
Pemeriksaan penunjang yaitu foto thoracolumbal AP/Lat menunjukkan
tampak adanya fraktur pada thoraacal III. Kesan Burst Fracture setinggi thoracal
III.
Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas
neurologis akibat trauma. Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000
kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka
insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000
penduduk, dengan angka tetraplegia 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.dan trauma pada
medulla spinalis
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya. Teknik yang
paling sering digunakan adalah pemeriksaan sacral sparing. Data di Amerika
Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula
spinalis traumatika sbb : (1) tetraplegi inkomplet (29,5%), (2) paraplegi komplet
(27,3%), (3) paraplegi inkomplet (21,3%), dan (4) tetraplegi komplet (18,5%).
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
34
35
36
gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai
status fungsional pada penderita cedera medula spinalis.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. De. Jong dan sjamsunhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah . edisi 3. EGC: Jakarta :
2007
2. Liwang frans, Tanto,C. Kapita Selekta Kedokteran. edisi 4. Media aesculapius;
Jakarta. 2014
3. Robbin and Contra. Buku Ajar Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. EGC:
Jakarta. 2006.
4. Jhon F, and Wayne J. Anvanced Trauma Life Support For Doktors (ATLS)
student Course Manual. Edisi 8. Americans College Surgeons. 2008
5. Clara Valley. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. University of
Alabama at Birmingham. 2013 (internet). Cited 2015 Agus 20. Available from
https://www.nscisc.uab.edu/PublicDocuments/fact_figures_docs/Facts
%202013.pdfss
6. Nils Hjeltnes. Spinal cord injury. Spinal Cord Injury Rehabilitation
Department, Sunnaas Hospital, Nesoddtangen, Norway. 2010. Cited 2015 Agus
20. Available from: http://fyss.se/wp-content/uploads/2011/06/45.-Spinal-cordinjury.pdf
7. Maureen Coggrave. Bowel Management Following Spinal Cord Injury. NSIC
2007. Cited 2015 Agus 20.Available from:
http://www.buckshealthcare.nhs.uk/Downloads/Patient-leaflets
NSIC/Bowel
%20management%20following%20spinal%20cord%20injury.pdf
8. Margaret C. Spinal cord injury . World Health Organization. 2013 . Cited
2015 Agus 20. Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94190/1/9789241564663_eng.pdf.
9. Kaur, Bhavkiran, Narkeesh. Autonomic Nervous System in Spinal Cord Injury
Patient. Department of Physiotherapy, Punjabi University, Punjab : India . Cited
2015 Agus 20. Available from:
http://medind.nic.in/jau/t14/i1/jaut14i1p46.pdf
10. Andrei V. Krassioukov . Assessment Of Autonomic Dysfunction Following
Spinal Cord Injury: Rationale for additions to International Standards for
38
Neurological Assessment . Volume 44, Number 1, 2007. Cited 2015 Agus 20.
Available from:
http://download14.documents.tips/uploads/check_up14/342015/55cf855355034
6484b8cc5dd.pdf
39