PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nenek Moyangku Seorang Pelaut.. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di
telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang
dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya
sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di
daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia, sebuah negara
maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah
Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi
surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya
seperti itu.
Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya,
nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia
justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang
paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah
kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk
miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan
kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan
hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
D. Manfaat
1. Bahan informasi untuk pengembangan ilmu khususnya di bidang agrobisnis
perikanan.
2. Bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait
dalam penyusunan kebijakan pambangunan bisa lebih tepat pada sasaran.
3. Sebagai bahan bacaan mengenai karakteristik kehidupan masyarakat
nelayan miskin, faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan serta
bentuk-bentuk kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Nelayan Indonesia
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total
penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan
tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000, per hari.
Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia,
mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia hanya sebesar 34,96 juta orang
(15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan
ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka
tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah
banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi
untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan
identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di
Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa
upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya
sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah
nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara
kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran
setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan
pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari
kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik
perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka
dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh
lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.
tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat
nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan setiap tahunnya.
ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa
persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini, kita
dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi
miskin.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait
dengan tiga dimensi, yaitu :
Dimensi Ekonomi
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social
politik.
Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa
orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi
miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada
dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan
diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga
masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya
suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang.
Keempat,
keterpaduan
lokasi,
memudahkan
dalam
melakukan
masyarakat,
peningkatan
kapasitas
kelembagaan
dan
SDM,
dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Kaum perempuan biasanya terlibat penuh
dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan,
kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan
sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.
Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan
dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan
sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks
lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah
diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi
adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan
berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor
telah membatasi akses mereka. Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat
nelayan mengembangkan sistem jaringan social yang merupakan pilihan strategi
adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang
semakin langka.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa
pacaklik ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat
nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan
dan dana paceklik. Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur
sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan
sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini
dikarenakan,
pranata-pranata
sosial
budaya
yang
ada
merupakan
potensi
10
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk
mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi
kemiskinan kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan
akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau,
pemetaan wilayah terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan
lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan
dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas
kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga termasuk
perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri),
penegasan dan penegakan hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan
berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara
maritim terbesar dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan
adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari
kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara
atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang
berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan
tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau
tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak
bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami
oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan.
Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya
12
B. Saran
Kepada teman-teman dan kaum pemikir agar kiranya dapat meniliti dan membahas
lebih lanjut mengenai Permasalahan yang menyebabkan tingkat kemiskinan Nelayan
cukup memprihatinkan dan tentunya solusi yang kira-kira bisa bermanfaat, guna
menambah wawasan kita dan memperkaya materi-materi sejenis serta sebagai
sumbangsih kita terhadap bangsa Indonesia.
13
DAFTAR PUSTAKA
Arumbiang, Kasihono. 2008. Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa
Menggunakan Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima
Rimbun.
Dr. Tellisa Aulia. F. 2009. Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan
Kemiskinan Aspek Sosial Budaya. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI.
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
14