Anda di halaman 1dari 11

Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 44, pp.

649 sampai 661


Pergamon Press Ltd 1980. Dicetak di Inggris Raya

0016-7037/80/0501-0649802.00/0

KOMPOSISI HIDROGEN DAN KARBON ISOTOPIK METHANE PADA GAS ALAM DARI
BERBAGAI ASAL
MARTIN SCHOELL
Bundesanstalt fur Geowissenschaften und Rohstoffe, Stilleweg 2, 3000 Hannover 51, Jerman Barat
(Diterima 1 Agustus 1979; diterima dalam bentuk yang direvisi 19 Desember 1979)

Abstrak --- Konsentrasi deuterium (D vs SMOW) pada gas metana biogenik dari seluruh dunia berkisar dari -180 sampai
-280 dan ditemukan pengurangan pada deuterium sebesar kurang lebih 160 dibandingkan konsentrasi deuterium dari air
yang berasosiasi dengannya. Pertimbangan secara teoritis mendukung hubungan ini bahwa itu merupakan hasil perubahan
bakterial dari CO2 menjadi metana dan karena itu menunjukkan asal biogenik metananya.
Gas termogenik dengan konsentrasi C2+ tinggi (gas basah yang berasosiasi dengan minyak mentah) mempunyai rasio
D/H dari -260 sampai -150 dengan kandungan deuteriumnya cenderung meningkat dengan kebasahan yang menurun. Gas
kering yang tidak berasosiasi dengan minyak lebih kaya akan deuterium (-180 sampai -130) dan menunjukkan suatu
peningkatan pada deuteriumnya dengan meningkatnya rank dari batuan induk yang mirip dengan yang diketahui pada
karbon-13.
Banyak gas kering di dalam cekungan sedimen muda ditemukan mengandung sejumlah hidrokarbon C2+ yang
signifikan. Gas ini tidak dapat dikelompokkan baik ke dalam gas biogenik maupun termogenik dan metananya disimpulkan
merupakan campuran yang asalnya biogenik dan termogenik.
Menggunakan tampilan sebuah diagram 13C/D dari data isotop metana, variasi dari kelompok genetik gas alam
dapat ditentukan lebih jelas.

PENGENALAN
Gas alam merupakan bahan bakar fosil yang
tidak dapat diperbaharui, seperti minyak dan
batubara, yang terbentuk dari tumbuhan, binatang,
dan mikroorganisme yang hidup jutaan tahun
silam, yang terendapkan di jauh di bawah
permukaan bumi. Dengan adanya tekanan dan
temperatur yang sangat tinggi di dalam bumi
dalam waktu yang lama, menyebabkan ikatan
karbon pada sediementasi organik tersebut
terlepas. Semakin dalam sedimentasi di perut bumi,
maka semakin tinggi temperaturnya. Pada
temperatur yang tidak terlalu tinggi, biasanya
terdapat minyak bumi yang lebih banyak
dibandingkan gas alam. Begitu juga sebaliknya,
semakin tinggi temperatur, maka gas alam yang
dihasilkan akan lebih banyak dibandingkan
minyak bumi. Proses pembentukan gas alam tidak
lepas dari peranan bakteri atau mikroorganisme
sebagai pengurai senyawa yang terdapat pada
lapisan tersebut, sebagai contoh, pada tahap awal
bakteri atau mikroorganisme dapat menghasilkan
metana akibat adanya proses metanogenesis.
Berdasarkan
sumber
refrensi
yang
digunakkan oleh penulis, dimana isotop karbon
sangat melimpah di metana yang berasal dari gas

alam, dan sedikit yang dapat diketahui pada variasi


konsentrai deuterium ( spesies atom stabil yang
ditemukan dalam senyawa hidrogen alami dalam
tingkat 0,014-0,015 % ).
Pada saat pembentukan CH4 dari proses
mikroba maka akan muncul isotop hydrogen
fraksinasi (Cloud,dkk), dimana variasa dari gas
metana mencapai 60% ( Schiegl dan Vogel dan
Lyon ). Sedangkan untuk mendeteksi hubungan
antara konsentrasi deuterium dari metana biogenik
dapat menggunakkan ikatan antar molekul air
(H2O) (NAKAI). Rasio dari gas metana terdapat di
cekungan subalpine dan mengindikasikan suhu
serta metana yang biogenik yang dapat
berpengaruh di dalam cekungan disubalpine
(Schoell), data dimana fraksinasi dalam metana
terbawa selama pirolisis ( dekomposisi kimia
bahan organik melalui proses pemanasan tanpa
atau sedikit oksigen atau reagen lainnya, di mana
material mentah akan mengalami pemecahan
struktur kimia menjadi fase gas. ) di dalam proses
organik.
Adapun maksud dan tujuan penulis
membuat karya ilmiah ini yaitu untuk
menginvestigasi sitematika isotop hydrogen yang

Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 44, pp. 649 sampai 661


Pergamon Press Ltd 1980. Dicetak di Inggris Raya

terdapat
dalam
gas
metana
dan
membandingkannya dengan komposisi karbon
isotop. Poin utamanya adalah memeriksa macam
macam kelompok genetik dari metana yang
mempunyai karakteristik konsentrasi deuterium
seperti kemiripan komposisi karbon isotop. Fungsi
gabungan dari kedua parameter isotop tersebut
seharusnya dapat memiliki nilai diagnosa yang
sangat baik dalam mengidentifikasi asal usul
terbentuknya gas alam.
Berdasarkan Gambar 1, yaitu klasifikasi gas
alam menurut M.Schoell membagi beberapa jenis
gas yang terdapat dibawah permukaan bumi,
dimulai dari gas biogenik yang terletak didekat
permukaan bumi dimana gas ini berasal dari
fermentasi bakteri anaerobik pada sampah dan
feses dari binatang ternak, kemudian terdapat
mixed gas yang merupakan batas dari wet gas
dengan biogenic gas, kemudian terdapat wet gas di
dekat terakumulasinya minyak pada suatu lapisan,
dan di paling bawah terdapat dry gas pada lapisan
permeable seperti batu pasir. Lingkungan
pengendapan
yang
diklasifikasikan
oleh
M.Schoell dimana gas dapat ditemukan dalam
sedimentasi laut maupun darat. Tipe genetik dari
metana yang di investigasi terlihat pada gambar 1
dimana menurut beberapa peneliti dapat diterima
sebagai model untuk asal usul dari gas alam
(sokolov 1972 ; karstsv 1971 ; tissot 1974 ; dow
1977 ; tissot dan welte 1978).
Gas yang terindikasi dalam gambar 1 dapat
disebut gas primer yaitu kebalikan dari gas yang
melewati proses sekunder seperti perpindahan,
pencampuran, biodegradasi, penyerapan, dll.
PROSEDUR EKSPERIMEN
Oksidasi Metana
Spektometri massa (alat yang digunakan
untuk menentukan massa atom atau molekul)
digunakan di sebuah kondisi hampa udara mirip
seperti yang telah dideskripsikan oleh (Gunter dan
Musgrave 1971). Pada saat metana mengalami
proses gas kromatografi (Proses pemisahan
campuran menjadi komponen-komponennya
dengan menggunakan gas sebagai fase bergerak
yang melewati suatu lapisan serapan yang diam)

0016-7037/80/0501-0649802.00/0

dan dipindahkan oleh gas pembawa (helium) ke


proses oksidasi dimana metana teroksidasi oleh
tembaga oksida pada suhu 880 derajat celcius,
Hasilnya ialah metana tersebut terjebak bersamaan
dengan CO2 pada temperatur tertentu hingga
menjadi nitrogen cair. Kemudian CO2 terpisah
dari H20 pada temperatur dimana methanol
menjadi cair, dan sisa dari cairan tersebut tereduksi
menjadi H2 yang nantinya terubah menjadi
uranium panas (Bigeleisen 1952). Hidrogen juga
dapat terjebak dalam penyimpanan sampel. arang
yang aktif pada saat temperatur nitrogen menjadi
cair.
METANA BIOGENIK
Produksi bakteri dari metana merupakan
fenomena yang tersebar luas di alam, dimana
bakteri dianggap sebagai penentu lingkungan yang
bermacam- macam. Seperti sedimentasi laut
(Claypool dan Kaplan 1974), sedimantasi di danau
(Cappenberg 1974; Winfrey 1977), rawa rawa
asin (King dan Wiebe 1977) dan endapan glasial
(Coleman 1976). Metana dalam endapan dangkal
berupa gas kering juga dapat menggambarkan
sebagai asal usul terjadinya biogenik ( Nakai 1960;
Colombo 1969; Rice, 1975; Belyayev 1977; Fuex
1977).
Pertimbangan teoritis
Wolin (1976) dan Cappenberg (1976) telah
meringkas berbagai tipe reaksi anzimatis dalam
metana yang dapat memproduksi rantai makanan
bakteri yang dapat dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu:
1. Reduksi CO2: reaksi ini meliputi 2 langkah
yaitu pertama, untuk produksi CO2 dan H2
oleh non metanogen dan kedua, reduksi CO2
dengan H2 oleh metanogen.
2. Hidrogenasi oleh CH3 radikal, yakni
pemindahan sepenuhnya oleh CH3 radikal
menjadi CH4
Dari salah satu reaksi tersebut, hidrogen
dalam molekul CH4 berasal dari 2 sumber yaitu
bahan organik dan air hidrogen.

Komposisi isotop dari bahan organik dalam

deuterium dari air yang artifisial bertambah

lingkungan sedimentasi yang alami tidak


bervariasi secara sistematis, namun konsentrasi
deuterium dalam air alami sangat bervariasi.
Pengendapan dalam lingkungan continental dapat
habis dalam deuterium sedangkan perairan laut
dan air interstitial nya relatif melimpah.

menggunakan D2O. Hasil dari eksperimen


diilustrasikan dalam gambar 2.
Hubungan ini merupakan bukti percobaan
bahwa hidrogen dari air yang tergabung dalam
reaksi enzimatik dapat menghasilkan metana.
Lereng 0,4 menunjukan bahwa kurang lebih 40%
hidrogen dalam metana berasal dari air.

Produksi Eksperimental Metana


Pertimbangan teoritis telah membuktikan
bahwa harus ada korelasi positif antara konsentrasi
air dan metana jika hidrogen dalam air digunakan
dalam sintesis enzimatik dari metana. Ini telah di
investigasi secara mudah dalam eksperimen
laboratorium dimana CH4 terproduksi dari limbah
kotoran yang terdapat pada perkotaan. Konsentrasi

Gas alam metana berasalkan biogenik


Pertimbangan teoritis telah membuktikan bahwa
harus ada korelasi positif antara konsentrasi air
dan metana jika hidrogen dalam air digunakan
dalam sintesis enzimatik dari metana. Ini telah di

Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 44, pp. 649 sampai 661


Pergamon Press Ltd 1980. Dicetak di Inggris Raya

investigasi secara mudah dalam eksperimen


laboratorium dimana CH4 terproduksi dari limbah
kotoran yang terdapat pada perkotaan. Konsentrasi
deuterium dari air yang artifisial bertambah
menggunakan D2O. Hasil dari eksperimen
diilustrasikan dalam gambar 2.
Hubungan ini merupakan bukti percobaan
bahwa hidrogen dari air yang tergabung dalam
reaksi enzimatik dapat menghasilkan metana.
Lereng 0,4 menunjukan bahwa kurang lebih 40%
hidrogen dalam metana berasal dari air.
Metana yang teranalisa disini untuk
dikonsentrasikan deuterium nya terdapat dari area
yang sudah tergambarkan untuk memproduksi gas
biogenik. Untuk beberapa gas juga terdapat
kemungkinan untuk mengumpulkan ikatan air.
(1) gas gas glasial bergerak, itu telah
digambarkan oleh Coleman pada tahun 1976. Gas
gas tersebut berasal dari lapisan yang
menyimpan glasial dan terlarut dalam air tanah.
Masing - masing air merupakan sampel dari sumur
yang sama.
(2) gas - gas rawa dari berbagai tempa, terdapat
satu sampel dari gas rawa dari N.W. Jerman yang

0016-7037/80/0501-0649802.00/0

telah telah dideskripsikan oleh Stahl (1968) dan


merupakan material pasir yang berumur holosen.
Sebagai contoh, gas - gas rawa dari filipina
merupakan sampel dari gas yg muncul di rawa rawa.
(3) Metana dari gas alam pada cekungan
subalpine di bagian selatan Jerman (Schoell 1977),
dan lembah Po di utara Italia (Schoell dan Neglia
dalam persiapannya). Kedua pasang gas tersebut
merupakan sampel khas dari endapan dangkal
berupa dry gas. Gas dengan kandungan C2+
dibawah 0,5% telah dipilih. Di bagian selatan
jerman, air dari sumur merupakan sampel. air dari
gas italia yang didapatkan dari separator pada
sumur.
Hasil dari analisis ini terdaftar pada table 1 dan
ditampilkan pada gambar 3. Variasi SD pada
metana biogenic sangat besar, mencapai 175
hingga 250%. Gas metana rawa dan gas metana
dari gas glasial, dimana keduanya dari lingkungan
darat yang habis pada deuterium dibandingkan
dengan gas biogenik lainnya dimana yang berasal
dari lingkungan laut.
Gambar 4 menunjukan bahwa kontrol
lingkungan dari perbandingan D/H metana untuk
korelasi dari masing2 perbandingan D/H air.
Korelasinya hampir sama dengan yang ditemukan
gas alam di jepang (Nakai 1974)
Sehingga Koleksi data dari kejadian seluruh dunia
menyarankan bahwa hubungan ini adalah
karakteristik untuk seluruh gas biogenic secara
alami. Lereng dari salah satu hubungan ini
menyarankan bahwa 100% dari hidrogen pada
metana berasal dari ikatan air. Penjelasan lain yang
mungkin terjadi, yaitu selama reaksi enzimatik
dari kelompok sintesis sangat interaktif, maka
metana ada di dalam keseimbangan isotop dalam
air.
Kemudian jika CH4 terproduksi akibat
reduksi CO2, hidrogen yang telah terbentuk pada
substansi intermediate seperti piruvat, formate,
hipoxantine, dan piridine nukletoida. Dalam
semua kasus kelompok interaksi, terbentuk
dimana hidrogen yang terikat hanya yang bersifat
lemah. dapat dikenal juga bahwa tipe hidrogen ini
mudah bertukar secara isotop dengan lingkungan

Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 44, pp. 649 sampai 661


Pergamon Press Ltd 1980. Dicetak di Inggris Raya

air (Epstein 1976). Karena itu, diharapkan


hidrogen yang terbentuk dalam rantai bakteri
makanan telah bertukar secara isotop dengan
hidrogen lingkungan air. Ini berarti bahwa selama
reduksi CO2 dari metana hanya menyeimbangkan
hidrogen yang masuk kedalam molekul CH4.
Dalam CH3 yang bereaksi radikal hidrogenasi
hanya satu hidrogen yang bertukar dengan air
lingkungan dan 3 atom yang berasal dari bahan
organik.
Pertimbangan di atas menunjukkan bahwa
hubungan Dmethane - Dwater di dalam gas biogenik
alami ini mengisyaratkan bahwa gas tersebut
paling menonjol terbentuk oleh reduksi CO2 oleh
bakteri.
CO2 + 4H2 CH4 +2H2O
Hidrogenasi CH3 oleh methanogen, yang
dianggap penting pada sedimen di Danau Vechten
(Cappenberg, 1976) jelas ada sedikit kepentingan
dalam pembentukan gas biogenik alami. Sackett
(melalui komunikasi pribadi) melaporkan bahwa
nilai D untuk gas danau Missisippi adalah 310. Nilai ini tidak cocok dengan hubungan
DCH4/DH2O pada metana alami di atas. Tidak
sepertinya bahwa nilai DH2O -150 perlu
disesuaikan dengan hubungan ini. Sebuah proses
fermentasi yang mirip dengan apa yang
diinvestigasi dengan lumpur kotoran dibanding
reduksi CO2 dapat menjelaskan komposisi isotopik
khusus dari gas rawa ini.
Gambar 5 menunjukkan hubungan antara
hidrogen dan komposisi karbon isotopik dari
metana yang berasal dari gas kering dangkal. Batas
13C/D yang ditunjukkan pada gambar dengan
garis titik-titik merupakan batas yang ternyata
membatasi gas biogenik murni seperti gas apung
glasial (Schoell dan Coleman, di persiapan),
sebagai contoh berurutan nilai D dan 13C lebih
negatif dibanding -150 dan -64.
Batas -64 diusulkan jika semua sampel
metana biogenik yang terbukti, dipertimbangkan
ketika efek sekunder seperi oksidasi bakteri tidak
dimungkinkan. Hampir semua data terpublish dari
metana biogenik yang tidak cukup hidrokarbon

0016-7037/80/0501-0649802.00/0

C2+ jenuh terplotkan di bidang ini (Nakai dkk,


1974; Coleman, 1976; Lyon, 1974).
Keragaman pada D di dalam metana
biogenik secara menonjol terjadi karena
perubahan lingkungan. Turunan dari gas biogenik
darat B(t)( D < -190) dan gas biogenik marin
((m)(D > -190) ditunjukkan Tabel 1, Gb.1
dan Gb.11). Gas-gas dari berbagai cekungan ini
dapat dikenali dengan baik dengan pola isotopik
(Gb.5).

Metana dengan asal campuran (Kelompok M)


dan turunannya dari metana biogenik
Beberapa gas dari cekungan subalpine
muda tidak cocok dengan gas biogenik maupun
gas termogenik. Gas-gas ini sering ditemukan di
batuan reservoar basinal di masing-masing
cekungan. Gas-gas ini dimasukkan di dalam
Tabel 1, Nos 31 dan 36-43 dan di ringkas sebagai
kelompok M (Gb. 5 dan 11). Semua gas-gas ini
mempunyai kesamaan jumlah hidrokarbon C2+
yang signifikan (sampai dengan 4,9%).
Hidrokarbon C2+ sebesar itu umumnya bukan
berasal dari biogenik (Janezic, 1979); proses
abiogenik dianggap yang berperan. Schoell (1979)
menunjukkan bahwa kandungan hidrokarbon C2+
berhubungan erat dengan peningkatan 13C di
metana (nilai 13C -65 sampai -53). Ini
memperlihatkan bahwa metana dengan asal non
biogenik dihasilkan bersamaan dengan etana dan
tercampur dengan gas-gas ini. Nilai D pada
kelompok ini berkisar -200, yaitu metana
campuran dari asal nonbiogenik harusnya di
sekitaran -200.
GAS TERMOGENIK
Alterasi thermal materi organik merupakan
proses yang secara berangsur menghasilkan
senyawa cairan dan gas dengan komposisi yang
berubah secara menerus. Sehingga mustahil untuk
menentukan pecahan kelompok gas alam secara
jelas.

Paper ini mengikuti turunan gas termogenik


yang diusulkan oleh Fuex (1977) dan Stahl (1977):
(i) gas yang berasosiasi dengan pembentukan
minyak (T), dan (ii) gas kering (TT) baik
terigen (humik) ataupun materi sapropelik marin
[TT(h) dan TT(m) lihat Gb.1].

Gas metana dari gas tinggi C2+ yang berasosiasi


dengan minyak mentah (kelompok T)
Gas-gas dari berbagai wilayah produksi
minyak dipilih (lihat Tabel 1).
(1) Laut Utara. Data lapangan tidak dirilis untuk
gas ini. Gas semuanya dibawa ke
laboratorium berbarengan dengan minyak
dan berasosiasi dengan minyak secara in
situ. Satu sampel dikeluarkan gasnya dari
minyak mentah di laboratorium. Semua gas
mempunyai kandungan C2+ yang tinggi.
(2) Jerman Barat Laut. 3 sampel didapatkan
dari batuan induk trias dan yura dari
cekungan Saxonian bawah dan mewakili
asosiasi gas khusus pada batuan induk
mesozoik di Jerman bagian Barat Daya
(Stahl, 1979).
(3) Jerman Selatan. Gas-gas ini berasal dari
bagian barat dari cekungan Molasse dan
sudah dideskripsi oleh Schoell (1977). Gasgas ini berasal dari batuan reservoar berumur
mesozoik dan tersier. Batuan induknya tidak
teridentifikasi.

(4) Italia Utara. 3 sampel dikumpulkan dari


endapan minyak/gas kalsik dari Italia Utara
yang sudah terdeskripsi. (Minucci, 1959;
Lucchetti dkk, 1969).
(5) Mesir. 2 sampel yang dianalisa berasal dari
pengeboran minyak dimana gas nya masih
berasosiasi dengan minyak mentah. Data
lebih lanjut tidak dirilis.
Gb.6 melalui 6.3 memberikan hasil yang
didapatkan metana dari gas yang berasosiasi.
Keragaman dari rasio D/H sangat bagus dan
berkisar sampai 100. Nilai D menyebar
walaupun di dalam sampel yang secara geografis
masih terhubung hampir sebanyak gas dari
kelompok ini. Sebagai contoh, gas-gas dari Jerman
Selatan berasal dari reservoar yang kelompoknya
dekat dan memperlihatkan kisaran kurang lebih
70 dalam nilai D. Hal sama diamati juga pada
gas Laut Utara. Dalam deuterium umum di dalam
metana menurun dengan meningkatnya nilai C2+
atau kebasahan gas. Satu dari sebagian besar
metana ber D turun ditemukan pada sampel yang
dikeluarkan gasnya dari minyak. Seperti yang
terlihat di Gb.6.3 terdapat juga korelasi kasar
karbon-13 dan konsentrasi deuterium di dalam
metana kelompok T. Perbandingan D
berbanding 13C kurang lebih 1:10.
Perlu dicatat, bahwa keragaman D/H pada
metana ini secara kualitatif dapat dibandingkan
terhadap keragaman yang diamati pada
eksperimen pirolisis di laboratorium (Sackett,

diinvestigasi
secara
mendetail
dengan
memperhatikan pada fraksinasi karbon isotop dari
metananya
dalam
hubungannya
dengan

1978). Pada Gb.7 kecenderungan fraksinasi


eksperimen sudah ditentukan ditentukan dengan
menganggap
bahwa
hidrokarbon
dengan
komposisi isotopik rata-rata pada minyak mentah
(Schoell dan Redding, 1978) dan juga pada
kerogen (Redding, 1978) merupakan bahan induk
semua gas-gas tersebut. Kemiripan komposisi 13C
dan D dari kelompok metana T dan metana
pirolisis menunjukkan bahwa pirolisis sistem
tertutup mengandung kemiripan yang dekat
dengan proses pembentukan gas di alam.
Mekanisme radikal bebas yang dikutip
Sackett (1978) sebagai mekanisme yang mungkin
untuk fraksinasi D/H di dalam metana yang
dihasilkan secara eksperimental harusnya juga
dipertimbangkan sebagai pembentukan gas alami.
Metana dari gas C2+ rendah [kelompok TT(h)
dan TT(m)]
Dua kelompok dari gas kering atau rendah
C2+
sudah dipilih untuk diinvestigasi pola
fraksinasi D/H pada metananya, yaitu gas batubara
Jerman Barat Laut dan gas dari cekungan
Delaware-Val Verde (Tabel 1). Gas-gas ini sudah

kematangan batuan induknya (Stahl, 1975; Stahl


dan Carey, 1975). Cekungan Jerman Barat Laut
yang
mengandung
batubara
karbonatan
merupakan batuan induk dari gas batubara Jerman
Barat Laut ini yang mewakili gas-gas humik atau
materi organik (kerogen tipe III). Gas-gas ini
dinotasikan sebagai kelompok TT(h). Informasi
latar belakang dari asal gas-gas ini dipaparkan oleh
Boigk dkk (1976), Bartenstein dkk (1971) dan
Stahl dan Kock (1974). Batuan induk dari
cekungan Delaware Val Verde berumur silur
menerus sampai karboniferus dan dideksripsikan
berasal dari laut; makanya batuan ini mewakili
kerogen tipe II dari klasifikasi Tissot. Gas-gas ini
dinotasikan sebagai kelompok TT(m). Kedua

kumpulan gas berasal dari sumber materi


organik yang beragam kematangannya (reflektan
vitrinit R0). Konsentrasi 13C pada metana
ditemukan meningkat dengan meningkatnya
kematangan (Stahl, 1975; Stahl dan Carey, 1975).
Analisa isotop D/H pada metana ini
menjelaskan bahwa komposisi isotopik hidrogen
juga bergantung pada kematangan batuan
induknya (Gb.8). Konsentrasi deuteriumnya
secara jelas hanya berhubungan dengan
kematangan material induk dimana konsentrasi
13
C bergantung pada kematangan dan jenis materi
organik sumber.
Perhitungan hubungan D/R0 menjadikan
persamaan berikut ini
D = 35,5 log R0 - 152

dimana hubungan 13C/R0 digambarkan


oleh 2 persamaan berikut ini
TT(h): 13C = 8,6 log R0 - 28
TT(m): 13C = 14,8 log R0 - 41
Dalam usaha untuk memahami peningkatan
deuterium di dalam metana dengan kematangan
beragam proses dapat berpengaruh pada fraksinasi
isotop hidrogen.
(1) Pertukaran isotop diantara metana dengan
air yang berasosiasi: dengan memperhatikan
pada hidrogen bermassa seimbang yang
berkaitan dengan air yang berasosiasi,
kebanyakan kelebihan hidrogen di dalam
metananya.
Kesetimbangan
isotopik
diantara CH4 dan H2O, sebagai contoh pada
temperatur di sekitar 200oC, metana

(2)

(3) harusnya menurun 65 deuteriumnya


seperti yang dibandingkan dengan air
kogenetik (Bottinga, 1969). Kebanyakan
brines minyak dan air yang berasosiasi
dengan endapan gas alam berada di kisaran
(-25 15) . Metana di dialam
kesetimbangan dengan air ini berkisar di
dalam nilai D dari -75 sampai -105.
Bagaimanapun, gas karboniferus berkisar
diantara -133 sampai -177. Temperatur yang
lebih rendah menghasilkan nilai D yang
lebih positif. Data tertampil menunjukkan
bahwa kesetimbangan isotopik hidrogen
belum mencapai metana dari gas kering.
Lebih dari itu, hasil eksperimen pertukaran
di laboratorium (Kopp, di persiapan) tidak
mendukung reaksi pertukaran hidrogen
H2O-CH4 yang bertanggung jawab pada
keragaman D/H pada metana gas alam.
(4) Fraksinasi terjadi karena ada ikatan energi di
materi organik pelopor: Sackett dkk (1970)
sudah menunjuk bahwa kekuatan ikatan
terminal karbon-karbon pada materi organik
asal merupakan faktor primer yang
menentukan komposisi isotopik dari semua
pembentukan metana. Ikatan karbonkarbon kelompok terminal CH2D harusnya
lebih kuat dibanding dengan kelompok

terminal CH3. Oleh karenanya diharapkan


peningkatan belahan pada ikatan C-CH2D
dengan meningkatnya tekanan suhu yaitu
konsentrasi deuterium pada CH4 harusnya
meningkat dengan kematangan. Model ini
dapat menjelaskan secara memuaskan
peningkatan yang berhubungan baik isotop
berat pada metana; tidak menjelaskan
mengapa fraksinasi isotopik hidrogen sama
untuk kedua humik (yaitu aromatik yang
menonjol) dan liptinitik (yaitu aliphatic yang
menonjol) material pelopor. Untuk isotop C,
Chung dan Sckett (1978) sudah menjelaskan
bahwa efek ini ada karena adanya struktur
aromatik yang berlebih dari materi organik
humik.
Metana dari materi aromatik selalu lebih
rendah penurunan isotop beratnya dibandingkan
dengan material induknya terhadap CH4 dari
material aliphatic. Efek struktural ini dapat
menjadi aktif bagi hidrogen, namun dapat tidak
terhitung dengan akurasi saat ini untuk
perhitungan rasio D/H.
Mengingat spesies kedua isotopik dari
molekul metana terfraksinasi menggantikan isotop
berat selama metamorfisme materi organik,
kombinasi dari keduanya di plot 13C/D
membeberkan bahwa jalur pematangan bagi

Geochimica et Cosmochimica Acta Vol. 44, pp. 649 sampai 661


Pergamon Press Ltd 1980. Dicetak di Inggris Raya

metana dari gas kering yang diindikasikan di Gb.9.


Perhitungan kecenderungan kematangan untuk
batuan induk marin dan darat ditulis dalam
persamaan berikut ini:
TT(m): D = 3,213C -25
TT(h): D = 3,813C - 40
Gas kering alami dari batuan induk
campuran harusnya terplotkan di dalam gambar
pada bidang diantara garis evolusi dari batuan
induk marin murni atau darat murni.
Metan dari gas rendah C2+ ditampilkan
menyebar dalam rasio D/H (~ 25) dibanding
dengan metana dari gas tinggi
C2+ yang
kebanyakan berasosiasi dengan minyak yang bisa
diturunkan dari gas metana kering (non asosiasi).
(Gb.11).
Ciri isotopik dari tipe genetik maetana alami dan
pekerjaan di masa mendatang
Gb.10 dan 11 merangkum rasio D/H pada
metana alami. Gambar itu mengilustrasikan

0016-7037/80/0501-0649802.00/0

beragam jenis genetika dari metana alami dan


mendemontrasikan bahwa metana yang berbeda
dapat dengan mudahnya dibedakan pada plot D13
C, dibanding dengan hanya menggunakan rasio
karbon isotop.
Keragaman di dalam kelompok genetik T
dan TT yang terpampang di Gb.11 disebabkan
oleh proses kinetik selama pembentukan gas.
Komposisi isotopik gasnya terubah oleh proses
sekunder. Sebagai contoh keragaman kelompok
M sangat mungkin disebabkan oleh karena
proses pencampuran. Investigasi di masa
mendatang harus berfokus pada proses sekunder
seperti pencampuran, migrasi, dan biodegradasi
yang juga mengungkap pola isotopik yang khas.
Analisa karbon-13 dan isotop deuterium akan
sangat berguna di bidang ini mengingat proses
sekunder yang berpengaruh baik pada spesies
isotopik, dan metana, molekul dengan mobilitas
tinggi.

Anda mungkin juga menyukai