Gagal Nafas
Gagal Nafas
PADA NEONATUS
Desember 2010
Halaman
PENDAHULUAN.......................................................................................1
DEFINISI ...........2
ETIOLOGI................................................................................................2
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS ...........3
PENATALAKSANAAN ............6
RINGKASAN ..........13
DAFTAR PUSTAKA .....................15
penting untuk menekan mortalitas dan biaya perawatan yang akan dikeluarkan. Dalam sari
pustaka ini akan dibahas mengenai definisi, etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan gagal
nafas pada neonatus.
DEFINISI
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan diagnosis
yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk melakukan
pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory distress digunakan
untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan
keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam mempertahankan
pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen.6-10
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi gangguan
dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas
nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan
nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan
oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan
gangguan sistem saraf pusat.8,9,11,12
Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO 2 tidak dapat dikeluarkan dengan
respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO 2 arterial (PaCO2) dan turunnya
pH. Hiperkapnik dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot
pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia
terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan
keseimbangan ventilasi dan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).12,13
ETIOLOGI
Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1) ukuran jalan nafas
yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance paru yang lebih
besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah lelah , serta (4)
predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar.6
Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh hipoplasia paru (disertai hernia
diafragma
kongenital),
infeksi,
aspirasi
mekoneum,
dan
persistent
pulmonary
hypertension.14,15 Secara umum, etiologi gagal nafas pada neonatus ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus
Paru-paru
Jalan nafas
Otot-otot respirasi
Lain-lain
Sumber: Carlo13
Peningkatan respirasi
Periodic breathing
Apnea
Turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti
bradikardi
beratnya
distress
nafas
dapat
dinilai
dengan
menggunakan
skor
Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada
semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah
jam untuk menilai progresivitasnya.16
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Pemeriksaan
Frekuensi napas
Retraksi
Sianosis
Air entry
Merintih
Skor
0
1
< 60 /menit
60-80 /menit
Tidak ada retraksi
Retraksi ringan
Tidak ada sianosis
Sianosis hilang
dengan 02
Udara masuk
Penurunan
ringan
udara masuk
Tidak merintih
Dapat didengar
dengan stetoskop
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
2
> 80/menit
Retraksi berat
Sianosis menetap
walaupun diberi O2
Tidak ada udara
masuk
Dapat didengar tanpa
alat bantu
Sumber: Mathai16
Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai
gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada memerlukan tindakan intubasi segera
dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk
menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan
pulse oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60%
atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan
PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.10-12,16
Tabel 3. Nilai Analisis gas Darah
Nilai
0
PaO2(mmHg)
> 60
50-60
< 50
< 50
pH
> 7,3
7,2-7,29
7,1-7,19
< 7,1
PaCO2(mmHg)
< 50
50-60
61-70
> 70
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal pada pasien
yang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks (dapat dilakukan setelah
4
pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining sepsis, termasuk pemeriksaan darah
rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan
elektrolit.16-18
Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress
Pernafasan
Pemeriksaan
Kegunaan
Kultur darah
Glukosa darah
Rontgen toraks
hipoglikemia dapat
Sumber: Hermansen18
Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian untuk
memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pada
bayi yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan
peripartum penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu
memperkirakan penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum
atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini,
adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain.16
Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga dapat
membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan berat badan lahir <
1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita HMD, bayi aterm yang lahir
dengan mekoneum dalam caian ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang
membesar beresiko mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk
kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa
faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami transient
tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu
memperikirakan etiologi distress nafas.16
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada penyakit yang
mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus ditujukan untuk mencegah
komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus,
seperti hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi
baru lahir yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk
neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas NICU.5 Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat
sejak awal sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang
mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari.16,18-20
Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,537,5oC.10
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang
berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia. 19
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya
dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10%
atau dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat
ditambahkan pada infus cairan yang diberikan.16 Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai
sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari
3 g/kgBB/hari.10
Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah minimal
handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor sekaligus untuk menilai keadaan
kardiorespiratorik, temperatur, dan saturasi oksigen pada bayi.19
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas
sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.7,18,19
Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan
dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta
memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan
memulai intubasi dan ventilasi.16,20 Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau
tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya
oksigen lembab dan telah dihangatkan.16
Bayi aterm
88-94%
85-92%
Sumber: Mathai
< 28 minggu
16
ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan dan berakibat pada
berkurangnya penggunaan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek
samping.5,17
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal nafas pada neonatus (misalnya
dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane oxygenation), 25-30% penderita
yang berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-13% mengalami cerebral
palsy, 6-30% mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah banyak yang
mengalami gangguan perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.14
Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada
sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien
dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen)
yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. 10,21 Derajat distress
pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat
instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan
dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi
mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan
karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan.22,23
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2)
PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung
bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi
yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi
mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda
kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.21,23
Surfaktan
Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan kedalam rongga udara
pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen utama surfaktan adalah fosfolipid,
sebagian besar terdiri dari dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Surfaktan disekresi oleh
eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan
mielin tubuler tergantung pada ion kalsium dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan
lapisan tunggal berasal dari mielin tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya
adalah untuk mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran nafas kecil selama
ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan volume paru. Surfaktan juga
berperan dalam mekanisme pertahanan paru dengan meningkatkan mucociliary
clearance.24-26
Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan permukaan
alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan transpulmonal yang rendah.
Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan
yang lebih rendah untuk mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan
dari paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang akibat surfaktan
mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk membuka jalan nafas dan kerja
pernafasan.10,25,26
Terapi surfaktan diberikan pada kedaan defisiensi surfaktan pada bayi prematur seperti
pada hyaline membrane disease (HMD), neonatal lung injury yang tidak berhubungan
dengan prematuritas, seperti hernia diafragma kongenital, dan meconeum aspiration
syndrome (MAS). Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan
sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paruparu
domba atau babi.24, 26 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan dapat
menurunkan penggunaan extracorporeal membrane oxygenation pada neonatus yang
mengalami kegagalan nafas.27
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi
mengalami respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2
jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan
tambahan oksigen 30% atau lebih.24
Dosis Awal
3 ml/KgBB
Beractant
4 ml/KgBB
Colfosceril
Porcine
Dosis Tambahan
Dapat diulang sampai 3 kali pemberian
dengan interval tiap 12 jam
Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total
4 dosis dalam 48 jam
Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam
Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap
12 jam
Sumber: Kosim24
10
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang
lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping
yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan
postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan
cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih
sedikit.10,24,25
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi,
hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada
endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan
perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang
mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan
ventilasi.24,25
ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma
aspirasi mekonium, pneumonia dengan atelektasis.17,28
(Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat
beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator. Selama ECMO berlangsung paru-paru
bayi dapat terus bekerja namun dalam volume yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya
atelektasis.32,33
ECMO paling sering digunakan pada keadaan-keadaan seperti: sindroma aspirasi
mekonium, dengan rata-rata 94% dapat bertahan hidup setelah terapi, persistent pulmonary
hypertension, sepsis, respiratory dystress syndrome, hernia diafragmatika.32-34
Prosedur ECMO sangat invasif dan resiko tinggi. Penggunaan ECMO pada bayi
preterm dengan usia gestasi 34 minggu ternyata memperlihatkan angka kematian yang tinggi
disebabkan perdarahan intrakranial. Sehingga kriteria inklusi untuk ECMO adalah usia
gestasional 34 minggu atau berat lahir 2000 gram, tidak ada gangguan perdarahan, telah
diberikan ventilasi mekanik selama 10-14 hari, penyakit paru bersifat reversibel.33-35
Pasien neonatus biasanya memerlukan terapi ECMO selama 7-8 hari. Selama periode
ini bayi dengan gagal napas dapat secara perlahan diberikan seting ventilator yang minimal
dan apabila perbaikan dapat di ekstubasi dalam 24-48 jam. Setelah dilakukan ekstubasi bayi
memerlukan oksigen selama 5-7 hari dan perlu pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit,
dan elektrolit dalam 6-18 jam setelah ECMO. Komplikasi dari ECMO antara lain perdarahan
intrakranial, infark sistem saraf pusat, kejang, perdarahan paru, hipertensi, dan tamponde
jantung. Penderita yang telah menjalani ECMO dapat bertahan hidup walaupun
morbiditasnya tinggi.33,35
RINGKASAN
Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang berhubungan
dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan. Faktor resiko utama gagal
nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi berat badan lahir rendah, dan golongan
sosioekonomi rendah. Diagnosis gagal nafas merupakan diagnosis klinis. Gambaran klinis
yang meningkatkan kewaspadaan klinisi akan terjadinya gagal nafas antara lain: peningkatan
atau penurunan laju respirasi, peningkatan atau penurunan usaha nafas, periodic breathing,
apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah
disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi, dan penggunaan otototot
pernafasan tambahan.
Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai
gagal nafas akut. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60%
13
atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan
PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25.
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus saat ini meliputi penggunaan ventilator
mekanik, penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), dan
extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek samping.
Penggunaan ventilator mekanik biasa mempunyai resiko terjadinya baro trauma dan
volume trauma. Inhaled nitric oxide bekerja sebagai vasodilator dari paru-paru, sehingga
dapat digunakan sebagai alternatif terapi terutama pada komplikasi penyakit paru bayi
(PPHN. Surfaktan dapat digunakan pada RDS dan sindroma aspirasi mekonium dan
memperlihatkan perbaikan yang nyata. High frequency ventilation adalah bentuk ventilasi
mekanik yang baik dengan risiko barotraumas dan volumetrauma yang lebih kecil. ECMO
merupakan alternatif penatalaksanaan gagal napas yang lain apabila terapi diatas sudah tidak
dapat digunakan.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology of neonatal
respiratory failure in the united states. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1154-60.
2. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, dkk. Neonatal respiratory failure: a 12month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in China. Pediatrics.
2008;121:1115-24.
3. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November
2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan kesehatan: Peran
penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2010); Tersedia dari:
http://www.depkes.go.id.
5. Hagedorn M, Gardner S, Abman S. Common systemic diseases of the neonate:
Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S, penyunting. Handbook of
neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis: Mosby; 2002. h. 485-575.
6. Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. Disorders of the lung parenchyma.
Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 683-93.
7. Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, dkk. Clinical characteristics,
diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates. Chin
Med J. 2010;123(19):2640-44.
8. Levy M. Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest.
2005;128:547-53.
9. Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr 2005.
2005;72(5):425-38.
10. Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, dkk. European
consensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in
preterm infants: 2010 Update. Neonatology. 2010;97:402-17.
11. Frankel L. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H,
Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Sunders
Elsevier; 2007. h. 421-4.
12. Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. Indian J Pediatr 2001.
2001;68(3):249-55.
13. Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the
high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300.
14. Allen M. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F,
Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems,
diseases and drugs. Edisi 6. USA; 2009. h. 179.
15. AAP Committe on fetus and newborn. Use of Inhaled Nitric Oxide. Pediatrics.
2000;106(2).
16. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn.
MJAFI. 2007;63(269-72).
17. Field D. Alternative strategies for the management of respiratory failure in the newborn
clinical realities. Semin Neonatol 2002. 2002;7:429-36.
18. Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician.
2007;76:987-94.
19. Metropolitan health and aged division victorian government. Neonatal Handbook.
(Diunduh 18 November 2010); Tersedia dari: www.neonatalservices.health.vic.gov.au.
15
16