Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Acute Kidney Injury


1.1. Definisi

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan / tanpa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit.
Pasien Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan

para nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat

mengganti istilah ARF menjadi AKI.


Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih
tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri
dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada

Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE


Kategori RIFLE
Risk

Injury

Failure

Kriteria Kreatini Serum


Kenaikan Kreatinin serum .

Kriteria Urine Output


0,5 mL/ kg/ jam for .

15 x nilai dasar atau

6/jam

penurunan GFR . 25 %
Kenaikan Kreatini serum .

0,5 mL/kg/jam atau >

2,0 x 5x nilai dasar atau

12 / jam

penurunan GFR > 50 %


Kenaikan Kreatin or an Nilai

< 0,3 mL/kg/jam atau

absolute kreatinin serum .

>24 jam

3,0x 5x nilai dasar atau


penurunan GFR > 75 %
Nilai absolute kreatinin

Anuria > 12 jam

serum > 4 mg dengan


peningkatan mendadak
Loss of kidney

minimal 0,5 mg
Persisten AKI > 4 minggu

Function
End Stage disease

Penurunan fungsi ginjal


menetap selama lebih dari 3
Bulan

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan


kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan
penyakit dan prediksi mortalitas. Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network
(AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi
atas kriteria RIFLE. AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan:

Tabel 2. Klasifikasi AKI


8

Tahap
1

Kriteria kreatini serum


kenaikan kadar Cr serum sebesar > 0,3 mg/dL

Kriteria produksi urin


Kurang dari 0,5 ml/kg

atau kenaikan >150 to 200 % ( 1,5 2 x lipat)

/jam lebih dari 6 jam

dari nilai dasar


2

kenaikan kadar Cr serum sebesar > 200 % -

Kurang dari 0,5 ml/kg

300 % ( >2-3x lipat) dari kenaikan nilai dasar

/jam lebih dari 12 jam

Kenaikan cr serum > 300% ( >3x lipat) dari

Kurang dari 0,3 ml/kg

nilai dasar

/jam lebih dari 24 jam


atau anuria 12 jam

1.2. Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,
yakni: (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan
pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit
yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian
penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.4,9 Salah satu cara
klasifikasi etiologi AKI:

AKI Prarenal
I. Hipovolemia

Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskularKerusakan jaringan

(pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus.


Kehilangan darah.
Kehilangan cairan ke luar tubuh, Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase),
melalui salurankemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit
(luka bakar).

II. Penurunan curah jantung

Penyebab miokard: infark, kardiomiopati


Penyebab perikard: tamponade
Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
Aritmia
Penyebab katup jantung
9

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik

Penurunan resistensi vaskular perifer, sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam


dosis berlebihan (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, anti hipertensi).

Vasokonstriksi ginjal

Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, amphotericin B

Hipoperfusi ginjal local

Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen

V. Sindrom hiperviskositas

Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemi

AKI Renal / instrinsik


I. Obstruksi renovaskular

Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi aneurisma,


vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal

Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)

Iskemia (serupa AKI prarenal)

Toksin

Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut organik,


asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma).

IV. Nefritis interstitial

10

Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bakteri, viral, jamur),


infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik.

V. Obstruksi dan deposisi intratubular

Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,sulfonamide.

VI. Rejeksi alograf ginjal


AKI Pascarenal
I. Obstruksi ureter

Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi eksternal.

II. Obstruksi leher kandung kemih

Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, keganasan, darah.

III. Obstruksi uretra

Striktur, katup kongenital, fimosis.


Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan

tahun 2005-2006, didapatkanpenyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah


sepsis(42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI padapenyakit ginjal kronik (PGK)
(8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing-masing 3%).
1.3. Patofisiologi
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glomerulus. Kondisi klinis yang umum adalah status penipisan
volume(hemoragi atau kehilangan cairan melalui saluran gastrointestinal), vasodilatasi
(sepsis atau anafilaksis) dan gangguan fungsi jantung (infark miokardium, gagal jantung
kongestif atau syok kardiogenik).
Penyebab intrarenal gagal ginjal akut adalah akibat dari kerusakan struktur
glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan dan
infeksi serta agens nefrotoksik dapat menyebabkan nekrosis tubulus akut (ATN) dan
berhentinya fungsi renal. Cedera akibat terbakar dan benturan menyebabkan
pembahasan hemoglobin dan mioglobin (protein yang dilepaskan dari otot ketika terjadi
cedera), sehingga terjadi toksik renal, iskemia atau keduanya. Reaksi tranfusi yang parah
juga menyebabkan gagal intrarenal, hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme
11

hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal menjadi


faktor pencetus terbentuknya hemoglobin. Faktor penyebab lain adalah pemakaian obatobat anti inflamasi nonsteroid (NSADID), terutama pada pasien lansia. Medikasi ini
mengganggu prostaglandin yang secara normal melindungi aliran darah renal,
menyebabkan iskemia ginjal. Pascarenal yang menyebabkan gagal ginjal akut dan
oliguria belum diketahui, namun terdapat masalah mendasar yang menjadi penyebab.
Beberapa faktor mungkin reversibel jika diidentifikasi dan ditangani dengan tepat,
sebelum fungsi ginjal terganggu. Beberapa kondisi berikut menyebabkan pengurangan
aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal :
a) Hipovolemia
b) Hipotensi
c) Penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif
d) Obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor,
bekuan darah atau gangguan ginjal
e) Obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal
Jika kondisi ini tidak ditangani dan diperbaiki sebelum rusak secara permanen,
peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang berhubungan dengan ginjal akut
dapat dikurangi. Terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut, periode awal,
periode oliguria, periode diuresis dan periode perbaikan. Pada tahap awal dengan awitan
awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. Periode oliguria (volume urin kurang dari
400 ml / 24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dari substansi yang
biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat dan kation intraselulerkalium dan magnesium). Jumlah urin minimal yang diperlukan untuk membersihkan
produk sampah normal tubuh adalah 400ml.
Pada tahap ini gejala uremik untuk pertama kalinya muncul, dan kondisi yang
mengencam jiwa seperti hiperkalemia terjadi. Pada banyak pasien hal ini dapat
merupakan penurunan fungsi ginjal disertai kenaikan retensi nitrogen, namun pasien
masih mengekskresikan urin sebanyak 2 liter atau lebih setiap hari. Hal ini merupakan
bentuk nonoligurik dari gagal ginjal dan terjadi terutama setelah antibiotik nefrotoksik
diberikan diberikan pada pasien, dapat juga terjadi pada kondisi terbakar, cedera
traumatik dan penggunaan anestesi halogen. Pada tahap ketiga, periode diuresis, pasien
menunjukan peningkatan jumlah urin secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Nilai laboratorium berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Meskipun
haluran urin mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap
12

normal. Tanda uremik mungkin masih ada, sehingga penatalaksanaan medis dan
keperawatan masih diperlukan. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya
dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama
3 sampai 12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal. Meskipun terdapat reduksi
laju filtrasi glomerulus permanen sekitar 1 3 %, tatapi hal ini sacara klinin tidak
signifikan. (Smeltzer, 2002).

13

1.4. Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat
etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
14

penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya
dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula
berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal
polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi,
tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
1.5. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan
berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS,
penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi
ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor
kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal
jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan
dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya
mioglobin, hemoglobin, asam urat)
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI
pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut costovertebra atau suprapubik akibat
distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik
yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut.
Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran
prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran
prostat.Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan
temuan disfungsi saraf otonom.

1.6. Pemeriksaan Penunjang


Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan.
15

Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah
mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada
beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radio kontras dan mioglobinuria,
terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah
pemeriksaan urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc,
didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi
pelviokalises, kecil kemungkinan penyebabAKI adalah pascarenal.
Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan
angiografi ginjaldapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan
pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan
pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada
dugaan AKI renal nonATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis,
vaskulitis, dan lain lain.
Penanda Biologis Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis
AKI (Cr serum, LFG dan UO) dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum
antara lain (1) sangat tergantungdari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang
berat; (2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia,
nefrotoksik, kerusakan glomeru-lus atau tubulus); (3) tidak sensitif karena peningkatan
kadarterjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak baik dipakai sebagai
parameter pemulihan. Penghitungan LFG menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr
serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan PGK dengan asumsi kadar Cr serum
yang stabil.
1.7. Penatalaksanaan
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada
tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria
RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal penyakit dasar
untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi
bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat
nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik.
16

Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin. Selama
tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat
mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus
diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum.
Terapi Farmakologi
Furosemid, Manitol, dan Dopamin. Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai
macam obatyang sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan
penggunaannya bersifat kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol,
dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisiluminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian
dari tata laksana AKI adalah:
a

Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikanpasien tidak dalam keadaan
dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan
pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15-30 menit. Bila jumlah urin

bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.


Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak

terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6
jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan
translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya
pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan
toksisitas. Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tatalaksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun
kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih
17

jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan


kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari
250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan
produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin dosis renal seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama
6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan
lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji
klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI.
1.8. Tata Laksana Komplikasi
Pengelolaan komplikasi dapat dilakukan dengan terapi pengganti ginjal yang
diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis berat
(pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum, perikarditis
uremikum, neuropatiatau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau<115
mEq/l), hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis. Tidak ada panduan pasti
kapan waktu yang tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi
dihentikan jika kondisi yang menjadi indikasi sudah teratasi.

18

Tabel 3. Tata Laksana dengan AKI


-

Cari dan perbaiki pre dan pasca renal


Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
Perbaiki atau tingkatkan aliran urin
Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan
Cari dan obati komplikasi akut ( Hiperkalemi, hipernatremi, asidosis,

hiperfosfatemia dan edema paru)


Asupan nutrisi adekuat
Perawan menyeluruh yang baik ( kateter , kulit , psikologis)
Segera terapi dialysis sebelum timbul komplikasi
Berikan obat dengan dosis tepat, sesuai kapasitas bersihan ginjal

1.9. Pencegahan
Terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan, maka pencegahan sangat
penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada pencegahan
umum yang dapat diberikan pada seorang dengan penyakit dasar yang dapat
menyebabkan AKI, seperti usia lanjut dan seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI
terbaik

adalah

dengan

memperhatikan

status

hemodinamik

seorang

pasien,

mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik


maupun obat yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan
gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinya AKI.
2. Hipertensi
2.1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal
tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma,
gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Penyakit Hipertensi atau yang lebih
dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang
adalah140 mm Hg (tekanan sistolik) dan atau
90 mmHg (tekanan diastolik) menurut Joint National Committe on Prevention
Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003 (Novian, 2013).
19

The seventh Report of the Joint National Commite on Detection, Evaluation,


and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 telah memperbaharui
klasifikasi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan prognosis jangka panjang.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003
Klasifikasi tekanan
darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi stage 1
Hipertensi stage 2

Tekanan darah
sistolik, mm Hg
<120
120-139
140-159
160

dan
atau
atau
atau

Tekanan darah
diastolik, mm Hg
<80
80-89
90-99
100

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (>18


tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua
atau lebih kunjungan klinis-klinis (Tabel 2.1). Klasifikasi tekanan darah
mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS)
<120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mm Hg. Prehipertensi tidak
dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang

20

tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan


datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi dan semua pasien pada kategori ini
harus diberi terapi obat (Depkes, R.I., 2006).
2.2

Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau


hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di
kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara
potensial (Depkes, R.I., 2006).
2.2.1 Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya

21

mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric


oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen (Depkes, R.I.,
2006).
2.2.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu,
baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes, R.I.,
2006).
2.3

Faktor Resiko Hipertensi


Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama

karena interaksi faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mendorong


timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah faktor risiko seperti diet dan
asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis, sistem saraf simpatis (tonus
simpatis dan variasi diurnal), keseimbangan modulator vasodilatasi dan
vasokontriksi, serta pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem
renin, angiotensin dan aldosteron. Pasien prehipertensi beresiko mengalami
peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, mereka yang tekanan darahnya
berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki

22

dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular


daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari
50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan faktor risiko yang
lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah
diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75
mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit
kardiovaskular ini bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko
lainnya, serta individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami
hipertensi (Yogiantoro, 2009).
2.4

Patofisiologi Hipertensi

2.4.1 Tekanan darah arteri


Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama
kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung
diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi, faktor-faktor tersebut adalah:
a.

Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan atau variasi
diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial

b.

Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor

c.

Asupan natrium (garam) berlebihan

d.

Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium

23

e.

Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi


angiotensin II dan aldosteron

f.

Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide


natriuretik

g. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus


vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
h. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh
darah kecil di ginjal
i.

Diabetes mellitus

j.

Resistensi insulin

k. Obesitas
l.

Meningkatnya aktivitas vascular growth factors

m. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,


karakteristik inotropik dari jantung dan tonus vaskular (Depkes, R.I., 2006).
2.5

Gejala Klinis dan Diagnosis Hipertensi

2.5.1 Gejala Klinis Hipertensi


Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada
kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita
hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar
penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang
menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada,
palpitasi dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi
bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).

24

2.5.2 Diagnosis Hipertensi


Pemeriksaan pasien hipertensi memiliki tujuan, yaitu untuk menilai gaya
hidup dan faktor risiko kardiovaskular lainnya atau bersamaan gangguan yang
mungkin mempengaruhi prognosis dan pedoman pengobatan, untuk mengetahui
penyebab tekanan darah tinggi, untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan target
organ dan penyakit kardiovaskular.
Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia), terdiri atas:
1. Riwayat penyakit
a. Lama dan klasifikasi hipertensi
b. Pola hidup
c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular
d. Riwayat penyakit kardiovaskular
e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi
f. Target organ yang rusak
g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan
2. Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit
b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral
c. Tinggi badan dan berat badan
d. Pemeriksaan funduskopi
e. Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas
f. Refleks saraf

25

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisa
b. Darah : platelet, fibrinogen
c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat
4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto rontgen dada
b. EKG 12 lead
c. Mikroalbuminuria
d. Ekokardiografi
Tekanan darah setiap orang sangat bervariasi. Pengukuran tunggal yang
akurat adalah awal yang baik tetapi tidak cukup: ukur tekanan darah dua kali dan
ambil rata-ratanya. Hipertensi didiagnosis jika rata-rata sekurang-kurangnya 2
pembacaan per kunjungan diperoleh dari masing-masing 3 kali pertemuan selama
2 sampai 4 minggu diperoleh tekanan darah sistolik140 mmHg atau 90 mmHg
untuk diastolik. Menurut JNC 7, tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg atau
kurang. Prehipertensi bila tekanan darah 120/80 samapi 139/89 mmHg. Hipertensi
stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140 sampai 159 mmHg atau tekanan darah
diastolik 90 sampai 99 mmHg. Serta hipertensi stadium 2 bila tekanan darah
sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 100 mmHg (Cohen, 2008).
2.6

Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel

arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk


rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular

26

(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,


angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi
memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut
Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang
bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung
(Depkes, R.I., 2006).
2.7

Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan


organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target
tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan
<130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian,
2004).
Terapi hipertensi meliputi :
a. Terapi non farmakologis
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya
hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat badan dengan
menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9; mengadopsi pola
makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang kaya dengan
buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi konsumsi garam yaitu
tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik dengan teratur seperti jalan
kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari
pada pria dan 1 kali/hari pada wanita (Chobanian, 2004). Selain itu, pasien juga

27

disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Modifikasi pola hidup dapat


menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi dan mengurangi
resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian, 2004).
b. Terapi farmakologis
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan
antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik
sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien
dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini.
Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium)
mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam
mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa
2 sentral, penghambat adrenergik dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar,
jelas dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek
evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data
yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau
kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar
menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam
seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat
yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin

28

(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis


kalsium (CCB) (Depkes, R.I., 2006).
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum
dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan
hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik
masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi
belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistoli1k40 mmHg dan
tekanan darah diastolik90 mmHg. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah
diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang
diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan
dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan
darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan
penyakit pada hipertensi.
Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan
prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk
pasien-pasien dengan target tekanan darah130/80 mmHg (DM dan penyakit
ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya
indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati
pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan tekanan
darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan
salah satunya diuretik tipe tiazid. Algoritma untuk pengobatan hipertensi dapat
dilihat pada gambar 2.1 (Depkes, R.I., 2006).

29

Perubahan gaya hidup


Tekanan darah diatas target ( 140/90 mmHg), (<130/80 mmHg
dengan Diabetes Melitus atau Gagal Ginjal Kronik)
Mulai dengan obat antihipertensi

Hipertensi tanpa komplikasi

Hipertensi Stage 1

Hipertensi Stage 2

TDS >140-159 mmHg


TDD >90-99 mmHg

TDS >160 mmHg


TDD >100 mmHg

Diuretik Jenis Tiazide


untuk semua pasien.
Bisa dipertimbangkan
dari kelas lain ACE
Inhibitor, ARB, Beta
Bloker dan Calsium
Chanel Bloker.

Dua obat kombinasi


untuk semua pasien
(biasanya Diuretik
jenis Tiazid dan ACE
Inhibitor atau ARB
atau Beta Bloker atau
Calsium Chanel
Bloker.

Indikasi Mutlak

Diabetes Melitus:
ACE Inhibitor, Beta
Bloker, Calsium
Chanel Bloker.
Gagal Jantung:
ACE Inhibitor, Beta
Bloker, Calsium
Chanel Bloker.
Stroke: Diuretik,
ACE Inhibitor.

Target tekanan darah tidak tercapai


Optimalisasi dosis atau tambahkan obat lain sampai target tekanan darah
tercapai. Pertimbangkan untuk konsultasi pada spesialis hipertensi.
Gambar 2.1 Algoritma Pengobatan Hipertensi
2.7.1 Mencapai Tekanan Darah pada masing-masing pasien
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan

30

obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal
dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah
melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi
dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi
ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik dan
lansia (Depkes, R.I., 2006).
2.7.2 Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien
Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila
memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri
atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta,
CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada
kebanyakan trial. Pada trial ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive
and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik
tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat hipertensi.
Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana
dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki
kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen
obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah dan harganya lebih dapat
dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan
ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused) (Depkes, R.I., 2006).
2.8

Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan

dalam dan perilaku yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah menuruti
suatu perintah atau suatu aturan. Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam

31

melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat,


dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau adherence)
mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Smet, 1994).
Kurang kepatuhan merupakan penyebab paling sering untuk kegagalan
terapi antihipertensi. Pasien hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala dan
baru terdiagnosis setelah menjalani skrining rutin sebelum adanya tanda-tanda
kerusakan organ yang parah. Jadi, terapi ditujukan untuk menghindari akibat sisa dari
penyakit (yang biasa terjadi kemudian), bukan mengobati kelainan pada pasien
waktu itu. Efek samping obat yang ada hubungan dengan terapi antihipertensi dapat
mempengaruhi pasien terhadap keuntungan di belakang hari. Misalnya, penyekat beta
menurunkan libido dan impoten pada pria terutama pada umur menengah dan lansia.
Gangguan fungsi seksual akibat obat ini dapat menimbulkan penghentian terapi dari
pasien. Jadi, perlu peningkatan kepatuhan dengan meneliti obat-obat atau regimen,
baik pengurangan efek samping atau dosis hariannya (Mycek, 2001).

32

BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
Nama

: Tn. A

Umur

: 55 tahun

Jenis kelamin

: Laki Laki

Alamat

: Solok

KELUHAN UTAMA : nyeri perut sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu SMRS
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
-

Nyeri perut sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri perut yang dirasakan seperti ditusuk tusuk. Nyeri dirasakan terus menerus.
Pasien mengeluhkan nyeri pinggang. Nyeri pinggang dirasakan sejak 1 minggu yang
lalu. Nyeri pinggang dirasakan pada bagian pinggang sebelah kiri dan kanan. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk tusuk dan timbulnya mendadak. Nyeri pinggang ini
dirasakan bertambah sakit jika pasien beraktivitas dan berkurang jika pasien tidur
terlentang.
Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri ulu hati ini
dirasakan menetap dan disertai dengan rasa mual.
Pasien mengeluhkan bengkak pada keempat anggota gerak. Bengkak pada keempat
anggota gerak ini dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien merasakan
sakit pada persendian anggota gerak.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan dirasakan
sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengeluhkan mual sejak 1 minggu yang lalu. Mual yang dirasakan tidak
disertai dengan muntah.
Keluhan pasien ini tidak disertai dengan demam, sesak nafas, nyeri dada, BAB hitam
dan muntah darah.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


-

Pasien pernah dirawat di RST pada bulan Agustus 2016 dengan keluhan yang sama
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat Diabetes Melitus
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: di sangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


33

Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama dengan pasien

: disangkal

Riwayat keluarga dengan penyakit DM

: disangkal

Riwayat keluarga dengan hipertensi

: disangkal

Riwayat keluarga dengan penyakit jantung

: disangkal

Riwayat keluarga dengan batu ginjal

: disangkal

Riwayat keluarga dengan asam urat

: disangkal

Riwayat keluarga dengan sakit kuning

: disangkal

RIWAYAT PSIKOSOSIAL :
Pasien seorang laki laki berumur 55 tahun yang bekerja sebagai petani
mempunyai 4 orang anak. Pasien tinggal bersama keluarga. Pasien tidak mempunyai
kebiasaan merokok dan minum kopi.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Tinggi Badan
Berat badan
BMI

: Sakit Sedang
: Compos Mentis Cooperative
: 140/100 mmHg
: 90 x/i
: 20 x/i
: 370 C
: 160 cm
: 58 kg
: 22,65 (normoweight)

Status Generalisata
Kepala

: Normochepal, rambut hitam dengan sedikit beruban dan rambut tidak

mudah dicabut
Mata
: Konjungtiva anemis (-)
Sklera ikterik (-)
Pupil isokor, diameter 3mm/3mm
Refleks Cahaya (+/+)
Telinga
: Dalam batas normal
Hidung
: Dalam batas normal
Mulut
: Dalam batas normal
Leher
: JVP 5-2 cmH2O
34

Tidak ada pembesaran KGB


Thorak
:
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas kiri
: RIC VI linea midaxilaris sinistra
Batas kanan
: RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas
: RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi
: Irama murni, BJ 1 = BJ 2 murni regular, S1> S2, M1<M2,
murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan keadaan statis dan dinamis, tidak ada
gerakan dinding dada yang tertinggal.
Palpasi
: Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi
: Suara sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Perut tampak membuncit, venektasi (-), sikatrik (-).


: Dinding perut supel, nyeri tekan (+) pada epigastrium, nyeri lepas
(-), hepar dan lien tidak teraba
: Timpani
: Bising usus (+) normal

Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas
Superior
Inspeksi
Palpasi
Tes sensibilitas

: Edema(+/+), sianosis (-/-)


: Perabaan hangat, pulsasi arteri kuat angkat
: Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)

Refleks Fisiologis
Refleks Biceps
Refleks Triceps
Refleks

Kanan
+
+
+

Kiri
+
+
+

Kanan

Kiri

Brachioradialis

Refleks Patologis
Refleks

Hoffman- -

Tromer
Inferior
Inspeksi : Edema (+/+), sianosis (-/-)
35

Palpasi

: perabaan hangat, pulsasi A. Femoralis, A. Dorsalis pedis, A. Tibialis

posterior dan A. Poplitea kuat angkat


Tes sensibilitas
: sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Refleks Fisiologis
Refleks Patella
Refleks Achilles

Kanan
+
+

Kiri
+
+

Refleks Patologis
Refleks Babinski

Kanan
-

Kiri
-

Refleks Gordon

Refleks

Oppenheim

Refleks Chaddoks

I.

II.

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Hb
: 8,0 gr/dl
(L)
Ht
: 25,4 %
(L)
Leukosit
: 19.450 /ul (N)
Trombosit
: 162.000/ul (N)
Faal Ginjal
Ureum
: 77,4 mg/dl (H)
Creatinin
: 3,43 mg/dl (H)
GDR
: 101 mg%
(N)
DIAGNOSA KERJA
Acute Kidney Injury
DIAGNOSA BANDING
a. Oliguria
b. Acute on chronic renal failure
c. Retensi urine

36

I.

PENATALAKSANAAN

IVFD RL 8 jam/kolf
Furosemid 40 mg 1x1 tab
Ranitidine 2x1 amp IV
Domperidone

II.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
III.

PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)
Pemeriksaan faal ginjal (ureum, creatinin)
Pemeriksaan elektrolit (natrium, kalium, klorida)
Pemeriksaan gula darah, gula darah rutin
Pemeriksaan urinalisa
USG ginjal dan abdomen
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

Follow up
37

Hari /

Subject

Object

Assesment

Plan danAnjuran

Tanggal
Selasa
27/12/2016

- Perut

terasa

sakit
- Badan

mudah

lelah

KU : sakitsedang
TTV :
Kesadaran: CMC

- mual (+)

- acute
kidney injury
- hipertensi
stage 2

Tek.darah : 160/90 mmHg

- muntah (-)
- kaki terasa kaku
- BAB (-)

Terapi
-IVFD NaCL 0,9% 8
jam/kolf
- ceftriaxone 2x2 gr

Nadi : 92 x/menit reguler

-lasix 2x1 amp iv

Nafas : 19 x/menit

- candesartan 1x 16 mg

Suhu : 37.8 C

-asam folat 3x1 mg


- furosemid 1x1 mg
- domperidone 3x1 mg

Anjuran : USG Ginjal


Rabu
28/12/2016

- Sakit kepala
- Badan

terasa

kaku
- Badan lemah

KU : sakit sedang
TTV :
Kesadaran: CMC
Tek.darah : 160/100

acute kidney
injury
- hipertensi
stage 2

Terapi
- IVFD NaCL 0,9% 8
jam/kolf
- ceftriaxone 2x2 gr

mmHg

-lasix 2x1 amp iv

Nadi : 83 x/menitreguler

- candesartan 1x 16 mg

Nafas : 20 x/menit

-asam folat 3x1 mg

Suhu : 36.5 C

- furosemid 1x1 mg
- domperidone 3x1 mg

38

Kamis
29/12/2016

- Perut

terasa

sakit
- Badan

mudah

lelah
- mual (+)
- muntah (-)
- kaki terasa kaku
- BAB (-)

KU : sakitsedang
TTV :
Kesadaran: CMC
Tek.darah:150/100 mmHg
Nadi : 80 x/menitreguler
Nafas : 168x/menit
Suhu : 36.5 C

acute kidney
injury
- hipertensi
stage 2

Terapi:
-istirahat
- IVFD NaCL 0,9% 8
jam/kolf
- ceftriaxone 2x2 gr
-lasix 2x1 amp iv
- candesartan 1x 16 mg
-asam folat 3x1 mg
- furosemid 1x1 mg
- domperidone 3x1 mg

39

Jumat

- Sesak nafas

30/12/2016 - Sakit menelan


- Perut
sakit

terasa

KU : sakitsedang
TTV :
Kesadaran: CMC
Tek.darah:160/100 mmHg
Nadi : 86x/menitreguler
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36.8 C

acute kidney
injury
- hipertensi
stage 2

Terapi :
istirahat
- IVFD NaCL 0,9% 8
jam/kolf
- ceftriaxone 2x2 gr
-lasix 2x1 amp iv
- vit k 3x1 mg
-asam folat 3x1 mg
- furosemid 1x1 mg
- domperidone 3x1 mg

40

BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki 50 tahun diarawat di RSUD solok
masuk bangsal penyakit dalam pria pada tanggal 26 desember 2016 dengan diagnosa akhir
Akut Kidney injury. Dari anamnesa ditemukan Nyeri perut sebelah kanan sejak 1 minggu
yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut yang dirasakan seperti ditusuk tusuk.
Nyeri dirasakan terus menerus. Pasien mengeluhkan nyeri pinggang. Nyeri pinggang
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri pinggang dirasakan pada bagian pinggang
sebelah kiri dan kanan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk tusuk dan timbulnya mendadak.
Nyeri pinggang ini dirasakan bertambah sakit jika pasien beraktivitas dan berkurang jika
pasien tidur terlentang. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 1 minggu yang lalu.
Nyeri ulu hati ini dirasakan menetap dan disertai dengan rasa mual. Pasien mengeluhkan
bengkak pada keempat anggota gerak. Bengkak pada keempat anggota gerak ini dirasakan
sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien merasakan sakit pada persendian anggota
gerak. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan dirasakan
sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan mual sejak 1
minggu yang lalu. Mual yang dirasakan tidak disertai dengan muntah. Keluhan pasien ini
tidak disertai dengan demam, sesak nafas, nyeri dada, BAB hitam dan muntah darah. Dan
pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan Darah 140/100 mmHg, Nadi 90 x/i, Pernafasan
20 x/i, Suhu 370 C, Tinggi Badan 160 cm, Berat badan 58 kg, BMI 22,65 (normoweight)
Acute kidney injury merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan
klasifikasi RIFLE/AKIN, yang selain menggambarkan berat penyakit juga dapat
menggambarkan prognosis kematian dan prognosis kebutuhan terapi pengganti ginjal.
Diagnosis dini yang meliputi diagnosis etiologi, tahap penyakit, dan komplikasi AKI
mutlak diperlukan. Tata laksana AKI
mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan penurunan fungsi ginjal lebih jauh,
terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana komplikasi.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases


2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sistim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell 1997
4. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta 1987
5.

Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm

6. Guyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

7. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV. Hal: 455-459. Pusat
Penererbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Juni 2006.
8. Desen, Wan. Onkologi Klinik: Edisi 2 . Hal 408-423. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 2008
9. Gani, Abdulah. Gastroentero Hepatologi: Edisi I. Hal 370-381. Info Medika
Airlangga. Jakarta: 1990
10. Axelrod, David, MD,MBA. Hepatocellular Carcinoma diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview last up date: 22 Juli 2016

42

43

44

45

Anda mungkin juga menyukai