Anda di halaman 1dari 9

Memahami Pengertian Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik

Dalam dunia pendidikan, khususnya pada konsep pembelajaran dan evaluasi


pendidikan, kita sering mendengar istilah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Istilahistilah tersebut bahkan menjadi mainstream atau arus utama yang melandasi
pelaksanaan pendidikan. Karena dalam pengertian kognitif afektif psikomotorik
tersebut terkandung totalitas potensi subyek didik yang perlu dikembangkan.
Pendidikan sebagai sebuah proses belajar memang tidak cukup dengan sekedar
mengejar masalah kecerdasannya saja. Berbagai potensi anak didik atau subyek
belajar lainnya juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar
berkembang secara optimal. Karena itulah aspek atau faktor rasa atau emosi
maupun ketrampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk
berkembang.
Sejalan dengan pengertian kognitif afektif psikomotorik tersebut, kita juga mengenal
istilah cipta, rasa, dan karsa yang dicetuskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Konsep ini juga mengakomodasi berbagai potensi anak didik. Baik menyangkut
aspek cipta yang berhubungan dengan otak dan kecerdasan, aspek rasa yang
berkaitan dengan emosi dan perasaan, serta karsa atau keinginan maupun
ketrampilan yang lebih bersifat fisik.
Konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik dicetuskan oleh Benyamin Bloom pada
tahun 1956. Karena itulah konsep tersebut juga dikenal dengan istilah Taksonomi
Bloom.
Pengertian kognitif afektif psikomotorik dalam Taksonomi Bloom ini membagi
adanya 3 domain, ranah atau kawasan potensi manusia belajar. Dalam setiap ranah
ini juga terbagi lagi ke dalam beberapa tingkatan yang lebih detail. Ketiga ranah itu
meliputi :
Ranah Kognitif
Ranah atau kawasan ini merujuk potensi subyek belajar menyangkut kecerdasan
atau intelektualitasnya, seperti pengetahuan yang dikuasai maupun cara berpikir.
Dalam domain atau ranah ini, Bloom membaginya ke dalam dua bagian besar.
Masing-masing adalah pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
Bagian pengetahuan mencakup kemampuan atau penguasaan terhadap pengertian
atau definisi sesuatu, prinsip dasar, pola urutan, dan sebagainya. Sedangkan bagian
ketrampilan intelektual diperinci lagi menjadi beberapa tingkatan, dari pemahaman,
aplikasi, analisa, sintesa, dan evaluasi. Semakin meningkat kemampuan seseorang
memperlihatkan kecerdasannya yang semakin tinggi.
Ranah Afektif
Domain ini mencakup kemampuan menyangkut aspek perasaan dan emosi. Pada
ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang meliputi aspek penerimaan
terhadap lingkungannya, tanggapan atau respon terhadap lingkungan, penghargaan
dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan berbagai nilai

untuk menemukan pemecahan, serta karakteristik dari nilai-nilai yang


menginternalisasi dalam diri.
Ranah Psikomotorik
Ranah atau kawasan ini mencakup kemampuan yang menyangkut ketrampilan fisik
dalam mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, seperti ketrampilan dalam bidang
olah raga, penguasaan dalam menjalankan mesin, dan sebagainya.
Pada ranah ini juga terbagi dalam sejumlah aspek, meliputi persepsi terhadap panca
indra, kesiapan untuk melakukan suatu gerakan fisik, respon terpimpin atau gerakan
yang dilakukan berdasarkan trial and error ataupun berdasarkan pengetahuan yang
telah dimilikinya, mekanisme atau kecakapan melakukan sesuatu, respon motorik
yang tampak atau terlihat, penyesuaian atau adaptasi, serta aspek penciptaan
gerakan baru sebagai hasil dari ketrampilannya.

Aspek Kecerdasan Kognitif, Afektif, dan


Psikomotorik
1. Kognitif
Aspek kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, menegtahui dan
memecahkan masalah.
Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian :
a. Pengetahuan (knowledge)
mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana
sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan
dengan benar.
b. Pemahaman (comprehension)
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas
pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang rendah.
c. Penerapan (application)
Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari
pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan
merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.

d. Analisis (analysis)
Mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktorfaktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan
yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan
tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
e. Sintesis (synthesis)
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga
membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerluakn tingkah laku yang
kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada
kemampuan sebelumnya.
f.

Evaluasi (evaluation)

Mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan


tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berfikir yang tinggi.
Urutan-urutan seperti yang dikemukakan di atas, seperti ini sebenarnya masih mempunyai
bagian-bagian lebih spesifik lagi. Di mana di antara bagian tersebut akan lebih memahami
akan ranah-ranah psikologi sampai di mana kemampuan pengajaran mencapai Introduktion
Instruksional. Seperti evaluasi terdiri dari dua kategori yaitu Penilaian dengan menggunakan
kriteria internal dan Penilaian dengan menggunakan kriteria eksternal. Keterangan yang
sederhana dari aspek kognitif seperti dari urutan-urutan di atas, bahwa sistematika tersebut
adalah berurutan yakni satu bagian harus lebih dikuasai baru melangkah pada bagian lain.
Aspek kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan
menjadi standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses
pengajaran.
2. Afektif
Domain afektif atau intelektual adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan
operasiasi siswa.
Menurut Krathwol (1964) klasifikasi tujuan domain afektif terbagi lima kategori :
a. Penerimaan (recerving)
Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi
yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
b. Pemberian respon atau partisipasi (responding)
Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi
peserta dan tertarik.

c. Penilaian atau penentuan sikap (valung)


Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian
tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuantujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap dan opresiasi.
d. Organisasi (organization)
Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten
dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal,
mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup.
e. Karakterisasi / pembentukan pola hidup (characterization by a value or value
complex)
Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai
teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan
dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa.
Variable-variabel di atas juga telah memberikan kejelasan bagi proses pemahaman
taksonomi afektif ini, berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih
dahulu seperti pernah diungkapkan bahwa:
Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengatahuan yang kita
miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok atau orang hubungan kita dengan
mereka pasti di dasarkan pada informasi yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.
Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat menyimpan
menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan kemampuan organisasi
afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia psikologi pengajaran adalah sangat
urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik tentunya.
3. Psikomotorik
Domain psikomotorik adalah kemampuan yang menyangkut kegiatan otot dan fisik.
Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori yaitu :
a. Peniruan
terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang
diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya
dalam bentuk global dan tidak sempurna.

b. Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakangerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa
menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.
c. Ketetapan
memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan.
Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat
minimum.
d. Artikulasi
Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan
mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.
e. Pengalamiahan
Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik
maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat
kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa domain psikomotorik dalam taksonomi
instruksional pengajaran adalah lebih mengorientasikan pada proses tingkah laku atau
pelaksanaan, di mana sebagai fungsinya adalah untuk meneruskan nilai yang terdapat lewat
kognitif dan diinternalisasikan lewat afektif sehingga mengorganisasi dan diaplikasikan
dalam bentuk nyata oleh domain psikomotorik ini.

Model Pembelajaran Afektif dan Psikomotor


Model Pembelajaran Afektif (Sikap) dan Psikomotor
Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan
perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat
ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung
menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan
melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara,
pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih
kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek
pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum, yang disisipkan dalam kegiatan
pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang
sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan
secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan
dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah
model pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari Ginanjar.

Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung
jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain,
dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan
pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi
afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang
harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil
belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Sedangkan psikomotor
hanya mengarah pada memahami, mengetahui dan merefleksikan pada tidakan seperti
menjawab pertanyaan, protes dan melangkah kedepan untuk mengkritik seseorang.
Psikomotor hanyalah sebuah sikap dan segala refleksinya. Siswa yang kemampuan
psikomotornya rendah walaupun mempunya banyak gagasan dan ide namun tidak mampu
mengutarakan ide tersebut dikarenakan dia terbiasa menuangkannya pada secarik kertas,
buikan pada sikap.
Ada beberapa model pemebelajaran afektif. Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih
Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer
dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan
sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration
model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka
dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi:
menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi
meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi
berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain
siswa menuliskan responsnya masing-masing
siswa menganalisis respons siswa lain
mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya
meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala
aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara
eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model
pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan
pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional:
menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan
menghimpun informasi tambahan
menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atau ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam masyarakat
mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya,
mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam
masyarakat

3. Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak.
Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan
menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa
menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model
ini bertujuan, agar para siswa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan
merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai:
pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah
alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya
mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas
pilihannya
berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya
pada hal lainnya
4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi
kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan
pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan
mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif
menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan
nilai
siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan
pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya
menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam
pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa
mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif:
(1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
(2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang
dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi,
(3) pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberikan
dorongan,
(4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan,
guru memberikan klarifikasi,
(5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatankegiatan positif.
Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan
pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah
afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai.

(September 15 04 2009 Wahidin)


Pembelajaran yang efektif mempunyai karakteristik bagi siswa untuk melihat, mendengarkan,
mendemonstrasikan, bekerja sama, menemukan sendiri, dan membangun konsep sendiri.
Karena hasil penelitian menyebutkan bahwa pengalaman belajar 10% diambil dari apa yang
kita dengar, 20% dari yang kita baca, 30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan
dengar, 70% dari yang kita katakan, dan 90% dari yang kita katakan dan lakukan. Suasana
pembelajaran yang efektif menurut PP 19 tahun 2005 SNP menyebutkan bahwa suasana
belajar di kelas itu harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, inovatif dan
discover (menemukan sendiri). Untuk itu memenuhi tuntutan pembelajaran yang efektif,
maka munculah model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning).
Model pembelajaran CTL memungkinkan untuk lebih membentuk pemikiran anak usia 15
tahun ke bawah. Tujuh pilar CTL antara lain
1. Constructivism
2. Questioning
3. Inquiry
4. Learning community
5. Authentic assessment
6. Reflection
7. Modeling
Konstruktivisme (Constructivism), yaitu siswa belajar sedikit demi sedikit dari konteks
terbatas kemudian siswa mengkonstuk (membangun) pemahamannya. Pemahaman yang
mendalam diperoleh melalui pengalaman belajar yang bermakna. Sifat pembelajaran ini
siswa lebih sering mencoba, berani salah, dan selaras.
Questioning atau bertanya, yaitu mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu,
mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, digunakan untuk menilai dan melatih
kemampuan siswa dalam berfikir kritis.
Penemuan (Inquiry), yaitu siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, mengananalisis dan
merumuskan teori, baik perorangan maupun kelompok. Diawali dengan pengamatan, lalu
berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Model ini memungkin siswa untuk
mengembangkan dan menggunakan ketrampilan berfikir kritis.
Learning community atau masyarakat belajar, yaitu memungkin siswa berbicara dan
berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan
pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri.
Pemodelan (modeling), yaitu membahaskan gagaasan yang kita pikirkan, mendemostrasikan
bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, dan melakukan apa yang kita
inginkan agar siswa melakukannya.
Authentic assessment atau penilaian yang sebenarnya, menilai dengan berbagai cara dan
dari berbagai sumber, mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa, mempersyaratkan
penerapan pengetahuan atau pengalaman, tugas-tugas yang konstektual dan relevan, dan
proses dan produk kedua-duanya dapat diukur.
Refleksi (reflection), merupakan cara-cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari,
menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktifitas dan pengalaman, serta mencatat apa yang
kita pelajari, bagaimana kita merasakan ide-ide baru.

Dengan adanya pembelajaran dengan model CTL diharapkan siswa dapat belajar secara
efektif dan menyenangkan sehingga dapat memenuhi standar kelulusan yang telah ditentukan
oleh BSNP.

Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil
afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi
cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah
kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan
dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap,
emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar
dalam bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang
yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar
secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan
mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu
membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah
ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat
kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk
itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan
ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh
kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif
terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat
mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini,
namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk
meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang
optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta
didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.
Sedangkan pembelajaran aktif menurut Hisyam Zaini, Bermawy Munthe & Sekar Ayu
Aryani (2007:xvi) adalah suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar
secara aktif. Ketika peserta didik belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi
aktifitas pembelajaran.
Dalam proses belajar mengajar agar didapatkan suatu hasil yang maksimal maka diperlukan
suatu teknik pembelajaran yang efisien dan afektif sehingga tidak mengahabiskan waktu yang
lama dan bertele-tele yang kadang hasilnya kurang memuaskan, apalagi untuk siswa didik
yang mengikuti program akselerasi yang waktu belajarnya relatif lebih cepat dibanding
dengan siswa didik yang duduk di kelas regular

Anda mungkin juga menyukai