Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intrauterine fetal death (IUFD) masih menjadi salah satu permasalahan
obstetri yang perlu perhatian khusus. Menurut WHO, IUFD didefinisikan
sebagai kematian janin sebelum ekspulsi atau ekstraksi komplit dari produk
konsepsi setelah usia viabilitas (Olyai dan Chalwal, 2012). Menurut American
College of Obstetricians and Gynecologist, ACOG, usia viabilitas adalah 22
minggu (ACOG, 1993). Banyak faktor yang dapat menyebabkan IUFD baik
dari faktor ibu maupun faktor janin. Adanya penyulit-penyulit selama
kehamilan memperbesar resiko IUFD.
Preeklamsia dan persalinan postdate menjadi salah satu faktor resiko
yang dapat menyebabkan IUFD. Prevalensi preeklamsia saat ini semakin
menunjukan tren kenaikan. Di Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia
merupakan penyebab kematian ibu berkisar1,5 persen sampai 25 persen,
sedangkan kematian bayi antara 45 persen sampai 50 persen. Djannah dan
Arianti (2010) melaporkan sebanyak 118 kasus dari 3039 persalinan normal
di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah preeklamsia berat ataupun
ringan.
Menurut Angsar (2010), peningkatan terjadinya kematian janin
intrauterin pada preeklampsia dan eklampsia secara tidak langsung merupakan
akibat daripertumbuhan janin terhambat. pertumbuhan janin terhambat
ditentukan bila berat janinkurang dari 10% dari berat yang harus dicapai pada
usia kehamilantertentu. Penurunan aliran darah uteroplasenta menyebabkan
janinkekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga timbul

pertumbuhan janin terhambat, ditandai dengan lingkar perut yang jauh lebih
kecil daripada lingkar kepala (Wiknjosastro, 2010). Salah satu penyebab
sering terjadinya pertumbuhan janin terhambat adalah kehamilan yang
melampui usia gestasi normal, yakni lebih dari 41 minggu atau disebut
kehamilan postdate / postterm (Galal et al, 2012). Pada titik ini, preeklamsia,
IUFD dan kehamilan postdate menjadi sebuah lingkaran yang saling terkait.
Oleh karena itu, masalah-masalah tersebut harus bisa ditangani untuk
tercapainya kesejahteraan ibu dan janin sekaligus menurunkan angka kematian
ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mendefinisikan dan menjelaskan mengenai preeklamsia, IUFD dan
kehamilan postdate
2. Mendiskusikan penatalaksanaan yang tepat pada kasus preeklamsia,
IUFD dan kehamilan postdate

BAB II
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 24 Juli 2016 terhadap pasien.
1

Identitas Pasien
Nama

: Ny. SW

Umur

: 30 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Kuli Pasar

Agama

: Islam

Alamat

: Selokaton RT/RW 1/2 Gondangrejo, Jawa Tengah

Status Perkawinan

: Menikah 1 kali selama 1 tahun

Paritas

: P1A0

HPMT

: 10 Oktober 2015

HPL

: 17 Juli 2016

UK

: 41 minggu

Tanggal Masuk

: 24 Juli 2016

No.CM

: 01-34-xx-xx

Berat badan

: 70 Kg

Tinggi Badan

: 157 cm

IMT/LILA

: 28,45 / 31 cm

Keluhan Utama
Gerakan janin tidak dirasakan

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang pasien G1P0A0, 30 tahun, UK 41 minggu datang sendiri ke
RSDM dengan keluhan gerakan janin tidak dirasakan 6 jam SMRS. Satu
hari SMRS pasien merasa gerakan janin masih dirasakan. Pagi hari saat
pasien bangun tidur pasien merasa keluar lendir darah dari jalan lahir.
Pasien selanjutnya memeriksakan ke RSU Ngipang. Oleh dokter IGD,
dinyatakan DJJ (-). Untuk mengkonfirmasi, pasien memeriksakan ke
RSDM. Riwayat pendarahan selama kehamilan (-), riwayat trauma (-),
riwayat mengonsumsi jamu/obat-obatan diluar pemberian tenaga medis
disangkal, riwayat memelihara kucing (-). Pasien pernah menjalani
laparotomi di Malaysia 3 tahun lalu a.i peritonitis.

Riwayat Penyakit Dahulu


a

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat alergi obat/makanan

: disangkal

Selama hamil, pasien pernah demam saat UK 3 bulan, mendapatkan


pengobatan dari bidan dan sembuh.
5

Riwayat Penyakit Keluarga


a

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit Jantung

: disangkal

Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat alergi obat/makanan

: disangkal

Riwayat kelainan genetik

: disangkal

Riwayat Fertilitas
Baik

Riwayat Obstetri
I

: Hamil sekarang

Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Pasien rutin melakukan ANC di bidan 1 bulan sekali. Dan USG di
dokter spesialis kandungan. Hasil USG pernah dinyatakan air ketuban
sedikit ( 156 ml saat UK 33 + 3 minggu dan 124 ml saat UK 38 + 5,
normalnya > 500 ml)

Riwayat Menstruasi
a

Menarche

: 12 tahun

Lama menstruasi

: 5-7 hari

Siklus menstruasi

: 28 hari

10 Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, selama 1 tahun
11 Riwayat Keluarga Berencana (KB)
Pasien tidak KB.

B.

Pemeriksaan Fisik
1

Status Generalis
a
b

Keadaan Umum
Tanda Vital

: Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup


:

Tensi

: 170/100 mmHg

Nadi

: 90 x/menit

Frekuensi nafas : 20 x/menit


: 360C

Suhu
c
d
e
f
g

Kepala
Mata
THT
Leher
Thorax

: Mesocephal
: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
: Discharge (-/-)
: Kelenjar getah bening tidak membesar
: Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae

hiperpigmentasi (+)
1 Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
2 Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
h Abdomen
- Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak


: ictus cordis tidak kuat angkat
: batas jantung kesan tidak melebar
: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
: pengembangan dada kanan = kiri
: fremitus raba dada kanan = kiri
: sonor// sonor
: suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
:
: Dinding perut lebih tinggi dinding dada,
striae gravidarum (+)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal,

intrauterin, memanjang, preskep, puka, kepala masuk panggul


>1/3 bagian, His (+), DJJ (-), TFU 33 cm, TBJ 3300 gr
- Perkusi
: timpani

Genitalia:
Inspeksi
VT

: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,


portio livide, OUE tertutup darah (-), discharge (-)
: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal,

portio lunak, mecucu, bukaan 3 cm, eff 50%, kepala di Hodge II,
kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), sarung
tangan lendir darah (+)

C. Pemeriksaan Penunjang
1

Laboratorium Darah tanggal 24 Juli 2016 pukul 16:54 WIB


Hematologi rutin
a
b
c
d
e
f
g
h

Hemoglobin
: 12,0 g /dL
Hematokrit
: 36 %
Eritrosit
: 4.45 x 106/L
Leukosit
: 14,8 x 103/L
Trombosit
: 294 x 103/L
Golongan darah : A
PT
: 11,9
APTT
: 23,3

Kimia Klinik

a GDS
: 89 mg/dL
b SGOT
: 13
c SGPT
: 10
d Albumin
: 4,3
e Kreatinin
: 0,5
f Ureum
: 13
g LDH
: 339
Ultrasonografi (USG) tanggal 24 Juli 2016
Tampak janin tunggal, intrauterin, puka, preskep, DJJ (-). BPD : 9,22 ,
AC : 34,15, FL : 7,36, EFBW 3364. Plasenta insersi di corpus grade III.
Air kawah kesan sedikit. Kesan janin saat ini IUFD

D. Diagnosis Awal

PEB, IUFD pada primigravida hamil postdate dalam persalinan kala 1 fase
laten
E. Prognosis
Fetus

: malam

Ibu

: Dubia ad Bonam

F. Terapi dan Planning


1. O2 3 lpm
2. Infus Ringer Laktat 12 tpm
3. Injeksi MgSO4 20 % 4 gram intravena bolus pelan dilanjutkan 1 gram /
4.
5.
6.
7.

jam selama 24 jam


Nifedipin 10 mg / 8 jam jika TD 160 / 100
Evaluasi tiap 4 jam
Kala II diperingan dengan ekstraksi vakum
Monitoring keadaan umum vital sign, tanda-tanda impending eklampsia

G. Outcome
1. Lahir bayi perempuan, BB 3400 gram, maserasi grade I
2. Plasenta lahir lengkap , bentuk cakram, ukuran 2,5 X 20 X 20
H. FOLLOW UP
1.

Evaluasi tanggal 25 Juli 2016 pukul 06.00 WIB

P1A0, 30 tahun
Keluhan

: flek (-)

Keadaan umum : baik, composmentis


Vital sign

: Tekanan darah : 150/80 mmHg; RR : 20x/mnt


Nadi : 84x/mnt; Suhu : 36,50C

Mata
Thorax
Abdomen

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


: Cor/ Pulmo dalam batas normal
: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari dibawah pusar,

Genital

kontraksi +
: darah (-), discharge (-), lochia +

Diagnosis
Terapi

: Post VE , IUFD, PEB pada primipara h postdate


:
- Oksigen 3 lpm
- Infus RL 12 tpm
- MgSO4 1 gram / jam
- Nifedipin 10 mg / 8 jam jika tensi > 160/100
- Cefadroxil 500 mg / 12 jam
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
- Vit C 50 mg / 12 jam

2.

Evaluasi tanggal 26 Juli 2016 pukul 06.00 WIB


P1A0, 30 tahun
Keluhan

:-

Keadaan umum : baik, compos mentis


Vital sign

: Tekanan darah : 140/80 mmHg; RR : 20x/mnt


Nadi : 84x/mnt; Suhu : 36,50C

Mata
Thorax
Abdomen

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


: Cor/ Pulmo dalam batas normal
: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusar,

Genital
Diagnosis

kontraksi +
: darah (-), discharge (-), lochia (+)
: Post VE, IUFD, PEB pada primipara hamil postdate

Terapi

(perawatan hari ke 2)
:
- Infus RL 12 tpm
- Cefadroxil 500 mg / 12 jam
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
- Vit C 50 mg / 12 jam
- Nifedipin jika TD > 160 / 100
- Cripsa 1 tab / 12 jam
- Monitoring KUVS, tanda tanda

impending

eklamsia, tanda tanda pendarahan/ syok


3.

Evaluasi tanggal 27 Juli 2016 pukul 06.00 WIB

P1A0, 30 tahun
Keluhan

:-

Keadaan umum : baik, compos mentis


Vital sign

: Tekanan darah : 140/80 mmHg; RR : 20x/mnt


Nadi : 84x/mnt; Suhu : 36,50C

Mata
Thorax
Abdomen

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


: Cor/ Pulmo dalam batas normal
: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusar,

Genital
Diagnosis

kontraksi +
: darah (-), discharge (-), lochia (+)
: Post VE, IUFD, PEB pada primipara hamil postdate

Terapi

(perawatan hari ke 3)
:
- Infus RL 12 tpm
- Cefadroxil 500 mg / 12 jam
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam
- Vit C 50 mg / 12 jam
- Nifedipin jika TD > 160 / 100
- Cripsa 1 tab / 12 jam
- Monitoring KUVS, tanda tanda
eklamsia, tanda tanda pendarahan/ syok

10

impending

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria
pada usia kehamilan diatas 20 minggu (Prawirohardjo, 2010). Dulu,
preeklampsia

didefinisikan

sebagai

penyakit

dengan

tanda-tanda

hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan namun


edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal (Wagner, 2004).
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada
wanita yang sebelumnya normotensi. Proteinuria didefinisikan sebagai
ekskresi protein dalam urin 300 mg/24 jam atau +1 dipstik dalam 2
kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam, atau rasio protein/kreatinin 30
mg/mmol. Jika ditemukan keadaan hipertensi berat atau hipertensi urgensi
(TD160/110) dengan proteinuria berat ( 5 g/hr atau tes urin dipstik
positif 2), atau disertai dengan keterlibatan organ lain, ditegakkan sebagai
preeklampsia berat (Uzan et al., 2011).

11

2. Diagnosis
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan.
Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain : hipertensi
kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi kronis dan
hipertensi gestasional. Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah
yang timbul sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20
minggu, atau menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya,
Preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan
proteinuria yang muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia,
komplikasi berat preeklampsia adalah munculnya kejang pada wanita
dengan preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1%
wanita dengan eklampsia.
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik ditandai dengan
proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika
sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi
(dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndrome.
Hipertensi gestasional didiagnosis jika terjadi kenaikan tekanan
darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan
darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita
dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan
berkembang menjadi preeklampsia (Bari, 2000).

12

Wanita hamil dengan tekanan darah


>140/90 mmHg
Sebelum usia kehamilan 20 minggu
Proteinuria (-) /
stabil

Proteinuria
(+) /
meningkat, TD
meningkat,
HELLP
Syndrome

Hipertensi
kronik

Preeklampsia
superimposed
pada Hipertensi
kronik

Setelah usia kehamilan 20 minggu


Proteinuria (-)
Proteinuria
(+) /

Preeklampsia

Hipertensi
Gestasional

Gambar 1. Alur Diagnosis Hipertensi pada Kehamilan


3. Etiologi dan Patofisiologi
Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam
kehamilan antara lain:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Tidak terjadinya invasi trofoblas pada arteri spiralis dan
jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah
uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal
bebas atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut

13

toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi
peroksida

lemak

yang

akan

merusak

endotel

pembuluh

darah.Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan disfungsi


endotel dan berakibat sebagai berikut:
1) Gangguan metabolisme prostaglandin sehingga protasiklin sebagai
vasodilator kuat menurun
2) Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi
tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat
3) Perubahan endotel glomerolus ginjal
4) Peningkatan permeabilitas kapiler
5) Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit
oksida (NO)
6) Peningkatan faktor koagulasi
c. Teori intoleransi imunologis antara ibu dan janin
Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi
penolakan karena adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi
trofoblas dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu
invasi trofoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G,
invasi trofoblas terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.
d. Teori adaptasi kardiovaskuler genetik
Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi
untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya
perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka
kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi
vasokonstriksi.

14

e.

Teori Genetik
Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal.
Ibu dengan preeklampsi memungkinkan 26% anak perempuannya
juga mengalami preeklampsi.

f.

Teori defisiensi gizi


Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya
preeklampsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan
menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan
vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian
juga menurunkan insidensi preeklampsi.

g.

Teori inflamasi
Lepasnya debris trofoblas sebagai sisa proses apoptosis dan
nekrotik akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan
mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal
jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan
plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga
semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.
(Sarwono, 2010)

4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya Preeklampsia dapat dijelaskan sebagai
berikut (Hariadi, 2004):

15

a. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler


Pada preeklamspia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahanbahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam
jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar
angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklampsia terjadi penurunan
kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya tromboksan yang
mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka
terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.
b. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga
mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan
volume plasma hingga mencapai 30-40%

kehamilan normal.

Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan


peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau
organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi
gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi
jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi
pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation
/IUGR), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.
c. Vasokonstriksi pembuluh darah

16

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun


cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan
perifer. Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya
bahan-bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem
pembuluh darah artiole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan
suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila
tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada
dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif
bahwa preeklampsia disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam
darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus,
selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ.
Pada preeklampsia berat dan eklamsi dijumpai perburukan
patologis fungsi sejumlah organ dan sistem mungkin akibat vasospasme
dan iskemia. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada preeklamsia
terjadi gangguan perfusi dari uteroplacenta. Bila hal ini terjadi maka akan
mengaktivasi sistem renin-angiotensin. Aktivasi dari sistem ini akan
melepaskan angiotensin II yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi
secara general sehingga terjadi hipertensi. Selain itu, terjadi hipovolemia
dan hipoksia jaringan. Ternyata, hipovolemia dan hipoksia jaringan dapat
pula disebabkan oleh DIC yang dapat terjadi akibat pelepasan

17

tromboplastin karena terdapat injury pada sel endotel pembuluh darah


uterus.
Bila hipoksia dan hipovolemi terjadi pada kapiler-kapiler yang
membentuk glomerulus, maka dapat terjadi glomerular endotheliosis yang
menyebabkan peningkatan perfusi glomerular dan filtrasinya sehingga dari
gambaran klinis dapat ditemukan proteinuria. Vasokonstriksi kapilerkapiler dapat pula menyebabkan oedem. Selain itu, dari jalur adrenal akan
memproduksi aldosteron yang juga dapat menyebabkan retensi dari Na
dan air sehingga pada pasien preeklamsia terjadi oedem.
Kelainan trombositopenia kadang sangat parah sehingga dapat
mengancam nyawa. Kadar sebagian faktor pembekuan dalam plasma
mungkin menurun dan eritrosit dapat mengalami trauma hebat sehingga
bentuknya aneh dan mengalami hemolisis dengan cepat (Sarwono, 2010).
5. Faktor Risiko
a.
Primigravida, primipaternitas
Pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking
antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan risiko terjadinya
preeklampsia. Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan
suami yang kedua. Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara
ibu dan janin yaitu ibu multipara yang menikah lagi mempunyai risiko
lebih besar untuk terjadinya preeklampsia jika dibandingkan dengan
suami yang sebelumnya.
b.

Umur

18

Perkembangan

preeklampsia

semakin

meningkat

pada

umur

kehamilan pertama dan kehamilan dengan umur yang ekstrim, seperti


terlalu muda (kurang dari 20 tahun) atau terlalu tua (lebih dari 35
tahun). Menurut Potter (2005), tekanan darah meningkat seiring
dengan pertambahan usia sehingga pada usia 35 tahun atau lebih
terjadi peningkatkan risiko preeklamsia.
c.

Hiperplasentosis
Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa, kehamilan
multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.

d.

Riwayat pernah preeklampsia atau eklampsia


Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya
memiliki risiko 5-8 kali untuk mengalami preeklampsia lagi pada
kehamilan keduanya.

e.
f.

Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil


Obesitas
Seseorang dikatakan obesitas bila memiliki indeks massa tubuh 25
kg/m2. Sebuah penelitian di Kanada menyatakan risiko terjadinya
preeklampsia meningkat dua kali setiap peningkatan indeks massa
tubuh ibu 5-7 kg/m2, terkait dengan obesitas dalam kehamilan.

6. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan

19

saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2010). Pada
preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran
trofoblas. Dalam penanganan preeklampsia perlu

ditentukan

jenis

manajemen atau tindakannya, meliputi :


a. Manajemen aktif
Kehamilan dengan preeklampsia berat sering dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta
mortalitas ibu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang
terbaik untuk ibu untuk mencegah progresivitas preeklampsia berat
dan dilakukan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu. Indikasi
untuk penatalaksanaan aktif dilihat baik indikasi pada ibu maupun
janin antara lain:
1) Ibu :
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
i.

Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

ii.

terjadi kenaikan darah yang persisten.


Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,

iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.

terjadi kenaikan desakan darah yang persisten


Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
Gangguan fungsi hepar
Gangguan fungsi ginjal
Dicurigai terjadi solutio plasenta
Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP

syndrome
2) Janin :
i.
Umur kehamilan lebih dari 37 minggu

20

ii.

Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST

iii.

nonreaktif dan profil biofisik abnormal)


Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat

iv.

(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG


Timbulnya oligohidramnion

21

22

Selain terminasi kehamilan, diberikan terapi medikamentosa meliputi:


1). Pemberian oksigen 3 lpm dengan kanul nasal.
2). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
3). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
4). Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110
5). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
6). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
b. Manajemen ekspektatif atau konservatif
Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang
belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang
usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya
pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu.
Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan untuk mempertahankan
kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat
janin dapat dilahirkan serta meningkatkan kesejahteraan bayi baru
lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu. Indikasinya pada
kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklamsia dengan keadaan janin baik.

23

Terapi medikamentosa sama dengan pengelolaan secara aktif hanya


dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8
gr i.m). Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang
dapat diberikan:
1) Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat
diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas
magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella
positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit.
2) klorpromazin 50 mg IM
3) diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat diperlukan
karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan
apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oligouria,
sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena. Obat
diuretika tidak diberikan secara rutin.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan
pervaginam dengan beberapa hal yang harus diperhatikan. Bila
penderita belum inpartu dapat dilakukan induksi persalinan bila skor
Bishop 8. Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat
dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi
persalinan dianggap gagal dan harus disusul dengan pembedahan

24

sesar. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk
persalinan pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi
maternal distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan kurang
dari 33 minggu. Sementara bila sudah inpartu, kala II hendaknya
diperpendek dan diperingan karena pada penderita dengan hipertensi,
bahaya perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila syaratsyarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam
atau vakum. Selain itu dilakukan pembedahan cesar bila terdapat
maternal distress dan fetal distress.
7. Komplikasi dan Prognosis
Preeklampsia yang terlambat penanganannya dapat berdampak pada ibu
dan

janinnya.

Pada

ibu

dapat

terjadi

eklampsia,

perdarahan

serebrovaskular, dekompensasi kordis dengan edema paru, gagal ginjal,


aspirasi isi lambung ke dalam pernafasan saat kejang, dan masalah liver
dan koagulasi yaitu HELLP Syndrome (hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Low Platelets Count), hingga kematian. Pada janin dapat terjadi kematian
karena hipoksia intrauterin, kelahiran prematur, dan IUGR (Intrauterine
Growth Restriction).

25

Gambar 2. Bagan Prognosis Preeklampsia


8. Pencegahan
Terminologi umum pencegahan dibagi menjadi tiga yaitu: primer,
sekunder, dan tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya
penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti
memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum
timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan
tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses
penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tatalaksana.
Pencegahan

preeklampsia

sangat

berhubungan

dengan

kunjungan

antenatal. Diharapkan seorang ibu hamil melakukan kunjungan antenatal


teratur yaitu minimal empat kali (masing-masing satu kali pada trimester I
dan II dan dua kali pada trimester III). Dengan kunjungan antenatal yang
teratur diharapkan dapat diidentifikasi faktor risiko preeklampsia yang ada
pada ibu hamil baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun
pemeriksaan penunjang. Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat
membantu dalam melakukan penilaian risiko kehamilan pada kunjungan

26

awal antenatal. Faktor risiko tersebut meliputi risiko tinggi/mayor dan


risiko tambahan/minor.
Tabel 1. Daftar Faktor Risiko Tinggi dan Tambahan terjadinya
Preeklampsia

Berikut rekomendasi pencegahan preeklampsia pada ibu hamil menurut


Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2015):
a.

Istirahat di rumah direkomendasikan untuk


pencegahan

primer

preeklampsia.

Tirah

baring

tidak

direkomendasikan untuk memperbaiki luaran pada wanita hamil


b.

dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria).


Pembatasan garam untuk
preeklampsia

dan

komplikasinya

selama

mencegah

kehamilan

tidak

direkomendasikan.
c.

Aspirin dosis < 75 mg cukup aman diberikan


pada kelompok risiko tinggi untuk menurunkan risiko preeklampsia
baik sebagai pencegahan primer atau sekunder.

27

d.

Pemberian kalsium dapat diberikan pada


wanita yang memiliki risiko tinggi preeklampsia dan rendah asupan

kalsium untuk mencegah terjadinya preeklampsia.


e.
Pemberian vitamin C

dan

tidak

direkomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan preeklampsia.


B. OLIGOHIDRAMNION
Oligohidramnion adalah suatu kelainan cairan ketuban dimana jumlah
cairan ketuban/amnion yang terlalu sedikit. Jumlah cairan amnion pada
kehamilan cukup bulan sekitar 300-500 mL. Saat didiagnosis pada
pertengahan kehamilan, kelainan ini sering berkaitan dengan agenesis renal
(tidak adanya ginjal) atau sindrom Potter, yaitu bayi yang menderita
hypoplasia pulmoner. Jika terdiagnosis sebelum kehamilan 37 minggu, hal ini
kemungkinan berkaitan dengan abnormalitas janin atau ketuban pecah dini
yang menyebabkan cairan amnion gagal berakumulasi kembali.
Jumlah cairan aminon yang terlalu sedikit dapat berakibat pada
kurangnya ruang intauterin, dan jika terjadi pada waktu yang lama akan
menyebabkan deformitas kompresi. Wajah bayi akan tampak seperti terjepit,
hidung rata, mikrognatia (deformitas rahang), dan kulit bayi akan terlihat
kering dan kasar. Kejadian oligohidramnion kadang dijumpai pada kehamilan
lebih bulan, dan diyakini berkaitan dengan insufisiensi placenta. Jika fungsi
placenta berkurang, perfusi ke sistem organ janin juga akan berkurang,
termasuk ke ginjal. Penurunan pembentukan urin janin menyebabkan
oligohidramnion karena komponen utama cairan amnion adalah urin janin.

28

Keadaan lain yang berkaitan dengan oligohidramnion; a) pada janin:


kelainan kromosom, hambatan pertumbuhan, kematian, kehamilan posterm; b) pada
placenta: solusio placenta, transfuse antar-kembar; c) pada ibu: hipertensi,
preeklamsi, diabetes dalam kehamilan; d) pengaruh obat: inhibitor prostaglandin
sintase, inhibitor enzim pengubah angiotensin.

Tanda dan gejala oligohidramnion adalah, pada saat inspeksi uterus


terlihat lebih kecil dan tidak sesuai dengan usia kehamilan yang seharusnya.
Ibu yang sebelumnya pernah hamil dan normal, akan mengeluhkan adanya
penurunan gerakan janin. Saat dilakukan palpasi abdomen, uterus akan teraba
lebih kecil dari ukuran normal dan bagian-bagian janin mudah diraba.
Presentasi bokong dapat terjadi. Pemeriksaan auskultasi normal.
Wanita hamil yang dicurigai mengalami oligohidramnion, dilakukan
pemeriksaan USG untuk memperkirakan jumlah cairan amnion, dan
memastikan diagnosis oligohidramnion. Jika anomali janin tidak dianggap
mematikan atau penyebab oligohidramnion tidak diketahui, amnio-infusi
profilaktik dengan salin normal, Ringer laktat, atau glukosa 5% dapat
dilakukan untuk mencegah deformitas kompresi dan penyakit paru
hipoplastik, dan juga untuk memperpanjang usia kehamilan.

C. INTRA UTERINE FETAL DEATH (IUFD)


1. Pengertian IUFD

29

Kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin ketika


masing-masing berada dalam rahim yang beratnya 500 gram dan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih (Achadiat, 2004).Menurut WHO dan The
American College of Obstetricians and Gynecologists yang disebut
kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan
500 gram atau lebih atau kematian janin dalam 17 rahim pada kehamilan
20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari
gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi. Menurut
Wiknjosastro (2005) dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin dapat
dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh.
Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu.
Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late
fetal death)
Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga
golongan di atas.
2. Etiologi IUFD
Menurut Norwitz (2008), penyebab kematian janin dalam rahim yaitu :
1) 50 % kematian janin bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
2) Kondisi medis ibu (hipertensi, pre-eklamsi, diabetes mellitus)
berhubungan dengan peningkatan insidensi kematian janin. Deteksi
dini dan tata laksana yang yang sesuai akan mengurangai risiko IUFD.
3) Komplikasi plasenta (plasenta previa, abruption plasenta) dapat
menyebabkan kematian janin. Peristiwa yang tidak diinginkan akibat

30

tali pusat sulit diramalkan, tetapi sebagian besar sering ditemukan pada
kehamilan kembar monokorionik/monoamniotik sebelum usia gestasi
32 minggu.
4) Penentuan kariotipe janin harus dipertimbangkan dalam semua kasus
kematian janin untuk mengidentifikasi abnormalitas kromosom,
khususnya dalam kasus ditemukannya abnormalitas struktural janin.
Keberhasilan analisis sitogenetik menurun pada saat periode laten
meningkat.

Kadang-kadang,

amniosentesis

dilakukan

untuk

mengambil amniosit hidup untuk keperluan analisis sitogenetik.


5) Perdarahan janin-ibu (aliran sel darah merah transplasental dari janin
menuju ibu) dapat menyebabkan kematian janin. Kondisi ini terjadi
pada semua kehamilan, tetapi biasanya dengan jumlah minimal (<0,1
mL). Pada kondisi yang jarang, perdarahan janin-ibu mungkin bersifat
masif. Uji Kleuhauer-Betke (elusi asam) memungkinkan perhitungan
estimasi volume darah janin dalam sirkulasi ibu.
6) Sindrom antibodi antifosfolipid. Diagnosis ini memerlukan pengaturan
klinis yang benar (>3 kehilangan pada trimester pertama >1)
kehilangan kehamilan trimester kedua dengan penyebab yang tidak
dapat dijelaskan, peristiwa tromboembolik vena yang tidak dapat
dijelaskan.
7) Infeksi intra-amnion yang mengakibatkan kematian janin biasanya
jelas terlihat pada pemeriksaan klinis. Kultur pemeriksaan histology
terhadap janin, plasenta/selaput janin, dan tali pusat akan membantu.

31

3. Faktor-faktor

yang

Mempengaruhi

Kematian

Janin

Dalam

Kandungan
a. Faktor Ibu
1. Umur
Bertambahnya

usia

ibu,

maka

terjadi

juga

perubahan

perkembangan dari organ-organ tubuh terutama organ reproduksi dan


perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat
mempengaruhi

kehamilan

yang

tidak

secara

langsung

dapat

mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang


baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro,
2005). Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan
emosi belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran
organ reproduksi secara umum (Wiknjosastro, 2005).
2. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang
aman terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu
maupun pada janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5 kali
atau grande multipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan
seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat
mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002).
3. Pemeriksaan Antenatal

32

Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang


mengancam jiwa, oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan
sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 13 bulan)
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6
bulan)
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9
bulan)
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada
seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan
yang mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani
dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali
selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam
kandungan

berguna

untuk

mengetahui

pertumbuhan

dan

perkembangan dalam rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi


fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut jantung janin
(Saifuddin, 2002).
4. Penyulit / Penyakit
a. Anemia
Hasil

konsepsi

seperti

janin,

plasenta

dan

darah

membutuhkan zat besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butirbutir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi. Jumlah
ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya
anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi

33

dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Selama masih mempunyai


cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan
ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan
keenam kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat
besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah
satunya adalah kematian janin dalam kandungan (Mochtar, 2004).
Menurut Manuaba (2003), pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sahli, dapat digolongkan
sebagai berikut :
Normal : 11 gr%
Anemia ringan : 9-10 gr%
Anemia sedang : 7-8 gr%
Anemia berat : <7 gr%.
b. Preeklampsia dan eklampsia
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai
dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha
untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan
dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen terjadi gawat janin (Mochtar, 2004).
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang
letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir.
Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara tiba-tiba

34

oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka


terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini
terjadi nekrotis, spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam
intervilli, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh,
mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan
plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta
tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
d. Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan
dengan ciri-ciri kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat
kadar

gula

dalam

darah

metabolisme

tubuh

secara

yang

tinggi

dan

mempengaruhi

menyeluruh

dan

mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita


diabetes melarikan bayi yang besar (makrosomia). Makrosomia
dapat terjadi karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang
menghasilkan lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula
yang tinggi. Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi
besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan masalah sewaktu
melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir (Stridje, 2000).
e. Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus
positif, maka antigen rhesus akan membuat penerima darah
membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif

35

yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada


sel darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia
ini disebut rhesus iso-imunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di
awal kehamilan, tetapi perlahan-lahan sesuai perkembangan
kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi anti rhesus bertemu dengan
sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga
pecah melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam
darah, dan sebagian dikeluarkan ke kantong ketuban bersama urine
bayi. Jika banyak sel darah merah yang hancur maka bayi menjadi
anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
f. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu
terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan
dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung
dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena
mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung
pada kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan
menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in
utero (Llewellyn, 2001).
g. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan
prematur dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini
adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan

36

ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian


ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur
kehamilan kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%.
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia
luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau
menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga
mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin
besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas
dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu
dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
h. Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang
di dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan
bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang dengan ukuran
panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan
spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan
menyebabkan kematian janin. Bahu masuk ke dalam panggul
sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian
tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam
rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen
bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua
bagian ini makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi

37

patologik

sehingga

dapat

mengakibatkan

kematian

janin

(Wiknjosastro, 2005).
b. Faktor Janin
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya
kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengankelainan
kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah
bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk
suatu deformitas atau bentuk malformitas. Suatu kelainan kongenital
yang berbentuk deformitas secara anatomik mungkin susunannya
masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal. Kejadian ini
umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau
pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital
malformitas, susunan anatomik maupun bentuknya akan berubah.
Kelainan

kongenital

dapat

dikenali

melalui

pemeriksaan

ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri, 2005).


2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang
lain. Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion
setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai peranan

38

penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula


terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan
seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena
menginhalasi likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia
kongenital atau karena kuman-kuman yang memasuki peredaran
darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi intranatal dapat juga
terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat
dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja, 2006).
c. Kelainan tali pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak
dalam cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya
berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang
sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan
pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan
asfiksia sampai kematian janin dalam kandungan.
1. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam
keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi
velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu
pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban
pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian
janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila

39

pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas


dengan waktu (Wiknjosastro, 2005).
2. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi
peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena selei Whartonnya sangat
tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut menghentikan aliran darah ke
janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan janin yang
begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai
(Manuaba, 2002).
3. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang
panjang besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali
pusat pada leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa
kali. Tali pusat yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali
pusat menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan
bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan
tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin
sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan
(Wiknjosastro, 2005).
4. Manifestasi Klinis IUFD
Menurut Achadiat (2004), criteria diagnostic kematian janin dalam
rahim meliputi :

40

1) Rahim yang hamil tersebut tidak bertambah besar lagi, bahkan


semakin mengecil.
2) Tidak lagi dirasakan gerakan janin.
3) Tidak ditemukan bunyi jantung janin pada pemeriksaan.
4) Bentuk uterus menjadi tidak tegas sebagaimana suatu kehamilan
normal.
5) Bila kematian itu telah berlangsung lama, dapat dirasakan krepitasi,
yakni akibat penimbunan gas dalam tubuh.

5. Diagnosis IUFD
1. Anamnesis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau
gerakan janin sangat berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah
kecil atau kehamilan tidak seperti biasa.
c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan
merasa sakit-sakit seperti mau melahirkan.
2. Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat
terlihat terutama pada ibu yang kurus.
3. Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak
teraba gerakan-gerakan janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada
tulang kepala janin.
4. Auskultasi

41

Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone


tidak terdengar denyut jantung janin (DJJ)
5. Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin
mati dalam kandungan.

6. Patofisiologi IUFD
Menurut Sastrowinata (2005), kematian janin dalam pada
kehamilan yang telah lanjut, maka akan mengalami perubahanperubahan sebagai berikut :
1. Rigor mortis (tegang mati) berlangsung 2,5 jam setelah mati
kemudian lemas kembali.
2. Stadium maserasi I : timbulnya lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini
mula-mula terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah coklat.
3. Stadium maserasi II : timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air
ketuban menjadi merah coklat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.
4. Stadium maserasi III : terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati.
Badan janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat
longgar edema di bawah kulit.

7. Komplikasi IUFD
Menurut Norwitz (2008), sekitar 20-25% dari ibu yang
mempertahankan janin yang telah mati selama lebih dari 3 minggu maka

42

akan mengalami koagulopati intravaskuler diseminata (Disseminated


Intravascular Coagulopathy atau DIC) akibat adanya konsumsi faktorfaktor pembekuan darah secara berlebihan.

8. Pengelolaan IUFD
Menurut Nugroho (2012), Janin yang mati dalam rahim
sebaiknyasegera dikeluarkan secara:
1) Lahir spontan: 75% akan lahir spontan dalam 2 minggu.
2) Persalinan anjuran :
a. Dilatasi serviks dengan batang laminaria
Setelah dipasang 12-24 jam kemudian dilepas dan dilanjutkan
dengan infus oksitosin sampai terjadi pengeluaran janin dan
plasenta.
b. Dilatasi serviks dengan kateter folley.
1. Untuk umur kehamilan > 24 minggu.
2. Kateter folley no. 18, dimasukan dalam kanalis sevikalis diluar
kantong amnion.
3. Diisi 50 ml aquades steril.
4. Ujung kateter diikat dengan tali, kemudian lewat katrol, ujung
tali diberi beban sebesar 500 gram.
5. Dilanjutkan infus oksitosin 10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml,
mulai 8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his
adekuat.

43

c. Infus oksitosin
1. Keberhasilan sangat tergantung dengan kematangan serviks,
dinilai dengan skor Bishop, bila nilai = 5 akan lebih berhasil.
2. Dipakai oksitosin 5-10 u dalam dekstrose 5 % 500 ml mulai 8
tetes / menit dinaikan 4 tetes tiap 15 sampai his adekuat.
d. Induksi prostaglandin
1. Dosis :
-

Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suppositoria 20 mg, diulang


4-5 jam.

Pg-E 2 diberikan dalam bentuk suntikan im 400 mg.

Pg-E 2,5 mg/ml dalam larutan NaCL 0.9 %, dimulai 0,625


mg/ml dalaminfus.

2. Kontra Indikasi: asma, alergi dan penyakit kardiovaskuler.

9. Pencegahan IUFD
Menurut Winkjosastro (2009), Upaya mencegah kematian janin,
khususnya yang sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa
gerakan janin menurun, tidak bergerak atau gerakan janin terlalu keras,
perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio
plasenta.Pada gemeli dengan TT (twin to twin transfusion) pencegahan
dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.

D. KEHAMILAN POSTTERM

44

1. Pengertian
Kehamilan

post

matur

menurut

Prof.

Dr.

dr.

Sarwono

Prawirohardjo adalah kehamilan yang melewati 294 hari atau lebih dari
42 minggu lengkap di hitung dari HPHT. Sedangkan menurut Ida Bagus
Gede Manuaba kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang melebihi
waktu 42 minggu belum terjadi persalinan.Kehamilan Post Date atau
Postterm disebut juga kehamilan serotinusyaitu kehamilan yang
berlangsung sampai 42 minggu atau lebih dihitung darihari pertama haid
terakhir menurut rumus neagle dengan siklus rata-rata 28hari (WHO
1977, FIGO 1986).
2. Etiologi
Penyebab pasti kehamilan lewat waktu sampai saat ini belum
kitaketahui. Diduga penyebabnya adalah siklus haid yang tidak diketahui
pasti,kelainan pada janin sehingga tidak ada kontraksi. Ada beberapa teori
yangdiajukan sebagai penyebab kehamilan postdate, antara lain sebagai
berikut:

Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan

dipercayamerupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam


memecu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan
sensitivitas pada uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa sumber
menduga bahwa terjadinya kehamilan post term adalah karena
masih berlangsungnya pengaruh progesterone
Teori Oksitosin

45

Pemakaian oksitosin pada induksi persalinan pada kehamilan


posttermmemberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara
fisiologismemegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan
dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang
padausia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu factor
penyebabhekamilan post date.

Teori Kostisol/ACTH janin


Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai pemberi tanda

untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan


tiba-tiba

kadar

kortisol

plasma

janin.

Kortisol

janin

akan

mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron akan berkurang


danmemperbesar

sekresi

estrogen,

selanjutnya

berpengaruh

padameningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin


sepertianensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya
kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak
diproduksidengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat
bulan.

Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser

akanmembangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak


adatekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat
pendek,dan bagian bawah janin masih tinggi, kesemuanya diduga
sebagai penyebab dari kehamilan post date ini.
46

Herediter
Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang

mengalamikehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk


melahirkanlewat bulan pada kehamilan berikutnya. Morgen (1999)
seperti dikutip chunningham, mengatakan bahwa bilamana seorang
ibumengalamikehamilan

postterm

pada

saat

melahirkan

anak

perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan


mengalami kehamilan posterm juga.

3. Patofisiologi
Fungsi plasenta mencapai puncaknya ada kehamilan 38 minggu
dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Hal ini dapat
dibuktikan dengan penurunan estriol dan plasental laktogen. Rendahnya
fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan
resiko 3 kali.
Permasalahan kehamilan lewat waktu adalah plasenta tidak
sanggup memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 akibat tidak timbul
his sehingga pemasakan nutrisi dan O2 menurun menuju janin di samping
adanya spasme arteri spiralis menyebabkan janin resiko asfiksia sampai
kematian dalam rahim.
Makin menurun sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat
mengakibatkan pertumbuhan janin makin lambat dan penurunan berat
disebut dismatur, sebagian janin bertambah besar sehingga memerlukan
tindakan operasi persalinan, terjadi perubahan metabolisme janin, jumlah

47

air ketuban berkurang dan makin kental menyebabkan perubahan


abnormal jantung janin (Wiknjosastro, H. 2009, Manuaba, G.B.I, 2011 &
Mochtar R, 2009).

4. Permasalahan Kehamilan Postterm


Kehamilan postterm mempunyai risiko lebih tingi daripada
kehamilan aterm, terutama terhadap kematian prenatal (antepartum,
intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium dan
asifiksia. Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai berikut.
a. Perubahan pada Plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya
komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada
janin. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan
kadar estriol dan plasental laktogen. Perubahan pada plasenta sebagai
berikut.

Penimbunan

kalsium.

Pada

kehamilan

postterm

terjadi

peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat


menyebabkan gawat janin dan bahkan kematian janin intrauterin
yang dapat meningkat 2-4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta
meningkat sesuai progresivitas degenerasi plasenta. Namun
beberapa vili mungkin mengalami degenerasi tanpa kalsifikasi.

48

Selaput vaskulosinisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya


berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor
plasenta.

Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema,


timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili.

Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan


protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan
konsentrasi RNA meningkat. Transpor kalsium tidak terganggu,
aliran natrium, kalium, dan glukosa menurun. Pengangkutan bahan
dengan berat molekul tinggi seperti asam amino, lemak, dan gama
globulin

biasanya

mengalami

gangguan

sehingga

dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.


b. Pengaruh pada Janin
Fungsi plasenta mencapai puncaknya ada kehamilan 38 minggu
dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penurunan estriol dan plasental laktogen.
Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian
gawat janin dengan resiko 3 kali. Akibat dari proses penuaan plasenta,
pemasokan makanan janin dan oksigen akan menurun di samping
adanya spasme arteri spiralis. Sirkulasi uterplasenter akan berkurang
dengan 50% menjadi hanya 250 ml/menit. Beberapa pengaruh
kehamilan postterm terhadap janin antara lain sebagai berikut.

49

Berat badan. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada


plasenta, maka terjadi penurunan berat janin. Dari penelitian
Vorherr tampak bahwa sesudah umur kehamilan 36 minggu grafik
rata-rata pertumbuhan janin mendatar dan tampak adanya
penurunan sesudah 42 minggu. Namun, seringkali pula plasenta
masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertambah
terus sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Risiko
persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan

postterm meningkat 2-4 kali lebih besar dari kehamilan aterm.


Sindroma postmaturitas. Dapat dikenali pada neonatus dengan
ditemukannya beberapa tanda seperti gangguan pertumbuhan,
dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak
subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak lebih
keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit
terutama daerah lipat paha dan genital luar, warna cokelat
kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, muka tampak
menderita, dan rambut kepala banyak atau tebal. Berdasarkan
derajat insufisiensi plasenta yang terjadi, tanda postmaturitas ini
dapat dibagi dalam3 stadium, yaitu:
Stadium I

: yaitu kulit menunjukkan kehilangan verniks

kaseosa dan terjadi maserasi seperti kulit kering, rapuh, dan mudah
mengelupas.
Stadium II

: seperti stadium I dan disertai pewarnaan

mekonium (kehijauan) di kulit.


50

Stadium III

: seperti stadium I dan disertai dengan pewarnaan

kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka


meningkat setelah kehamilan 42 minggu atau lebih, sebagian besar

terjadi intrapartum. Umumnya disebabkan oleh:


Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada
persalinan, fraktur klavikula, palsi Erb-Duchene, sampai kematian

bayi.
Insufisiensi plasenta yang berakibat:
Pertumbuhan janin terhambat
Oligohidramnion: terjadi kompresi tali pusat, keluar mekonium

yang kental, perubahan abnormal jantung janin


Hipoksia janin
Keluarnya mekonium yang berakibat dapat terjadi aspirasi

mekonium pada janin


Cacat bawaan: terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefal.
Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30%

sebelum persalinan, 55% dalam persalinan, dan 15% pascanatal.


Komplikasi yang dapat alami oleh bayi baru lahir ialah suhu yang
tidak stabil, hipoglikemia, polisitemia, dan kelainan neurologi.
c. Pengaruh pada Ibu

Morbiditas/mortalitas ibu: dapat meningkat sebagai akibat dari


makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine
action, partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan
persalinan traumatis/perdarahan postpartum akibat bayi besar.

51

Aspek emosi: ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana


kehamilan terus berlangsung melewati taksiran persalinan.
Komentar tetangga atau teman seperti belum lahir juga? akan
menambah frustasi ibu.

5. Aspek Pengelolaan Medikolegal


Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan
kehamilan postterm antara lain sebagai berikut:

Pada beberapa penderita,umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan


dengan tepat, sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang

diperkirakan.
Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung terus, atau

mengalami morbiditas serius bila tetap dalam rahim.


Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan tumbuh terus sesuai

dengan bertambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar.


Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita
didapatkan sekitar 70% serviks belum matang dengan nilai bishop

score rendah sehingga induksi tidak selalu berhasil.


Persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi porstmatur
Pada postterm sering terjadi disporposi kepala panggul dan distosia

bahu (8% pada kehamilan genap bulan, 14% pada postterm).


Janin postterm lebih peka terhadap obat penenang dan narkose,
sehingga perlu penetapan jenis narkose yang sesuai bila dilakukan
bedah sesar (risiko bedah sesar 0,7% pada genap bulan dan 1,3% pada
postterm).

52

Pemecahan selaput ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada


oligohidramnion, pemecahan selaput ketuban akan meningkatkan
risiko kompresi tali pusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan selaput
ketuban akan dapat diketahui adanya mekonium dalam cairan amnion.
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai

pengelolaan kehamilan postterm antara lain:

Apakah sebaiknya dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan


induksi setelah ditegakkan diagnosis postterm ataukah sebaiknya

dilakukan pengelolaan secara ekspektatif.


Bila dilakukan pengelolaan secara aktif, apakah kehamilan sebaiknya
diakhiri ada usia kehamilan 41 atau 42 minggu.
Pengelolaan aktif: yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada

usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap


janin.Pengelolaan pasif atau menunggu atau ekspektatif: berdasarkan
pandangan bahwa persalinan anjuran yang dilakukan semata-mata atas
dasar postterm mempuyai risiko atau komplikasi cukup besar terutama
risiko

persalinan

operatif

sehingga

dianjurkan

untuk

dilakukan

pengawasan terus menerus terhadap kesejahteraan janin, secara biofisik


ataupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau
timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.
Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kehamilan postterm adalah sebagai berikut

53

Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan


(postterm) atau bukan. Dengan demikian, penatalaksanaan ditujukan

kepada dua variasi dari postterm ini.


Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin.
- Pemeriksaan kardiotokografi seperti nonstress test (NST) dan
contraction stress test dapat mengetahui kesejahteraan janin
sebagai reaksi terhadap gerak janin atau kontraksi uterus. Bila
didapat hasil reaktif, maka spesifisitas 98,8% menunjukkan
kemungkinan besar janin baik. Pemeriksaan ultrasonografi untuk
menentukan besar janin, denyut jantung janin, gangguan
pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta,
-

jumlah (indeks cairan amnion), dan kualitas air ketuban.


Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan seperti

pemeriksaan kadar estriol.


Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal rata-rata 7
kali/20 menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal 10

kali/20 menit).
Amnioskop. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih
mungkin keadaan janin masih baik. Sebaliknya, air ketuban sedikit

dan mengandung mekonium akan mengalami risiko 33% asfiksia.


Periksa kematangan serviks dengan skor bishop. Kematangan serviks
ini memegang peranan penting dalam pengelolaan hamil postterm.
Sebagian besar kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat
segera dilaksanakan baik pada usia 41 maupun 42 minggu bilamana
serviks telah matang.

54

Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur


kehamilan mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan serviks,
mengingat dengan bertambahnya umur kehamilan, maka dapat terjadi
keadaan yang kurang menguntungkan, seperti janin tumbuh besar atau
sebaliknya, terjadi kemunduran fungsi plasenta dan oligohidramnion.
Kematian neonatus meningkat 5-7% pada persalinan 42 minggu atau lebih.

Bila serviks telah matang (skor bishop > 5) dilakukan induksi


persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya
persalinan dan keadaan janin. Induksi pada serviks yang telah matang

akan menurunkan risiko kegagalan ataupun persalinan tindakan.


Bila serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut
apabila kehamilan tidak diakhiri:
- NST dan penilaian kantong amnion. Bila keduanya normal,
kehamilan dapat dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan
-

seminggu dua kali.


Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang
vertikal atau indeks cairan amnion < 5) atau dijumpai deselerasi

variabel pada NST, maka dilakukan induksi persalinan.


Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada
kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila CST positif, terjadi deselerasi
lambat berulang, variabilitas abnormal (<5/20 menit) menunjukkan
penurunan fungsi plasenta janin, mendorong agar janin segera
dilahirkan dengan mempertimbangkan bedah sesar. Sementara itu,
bila CST negatif, kehamilan dapat dibiarkan berlangsung dan
penilaian janin dilakukan 3 hari kemudian.

55

Keadaan serviks harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien dan

kehamilan dapat diakhiri bila serviks matang.


Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri.

6. Pengelolaan selama persalinan

Pemantauan

yang

baik

terhadap

ibu

(aktivitas

uterus)

dan

kesejahteraan janin. Pemakaian continous electronic fetal monitoring

sangat bermanfaat.
Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
Awasi jalannya persalinan.
Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi

kegawatan janin.
Cegah aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus
dan dilanjutkan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan

cairan ketuban bercampur mekonium.


Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan

hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi.


Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas.
Hati-hati kemungkinan terjadi distosia bahu.
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya

bagi janin postterm sehingga setiap persalinan kehamilan postterm harus


dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit
dengan pelayanan operatif dan perawatan neonatal yang memadai.

56

BAB IV
ANALISIS KASUS
A. Analisis Kasus
Saat masuk, pasien terdiagnosis sebagai IUFD PEB pada
primigravida hamil postdate. Dari riwayat ANC pasien, dimulai dari usia
kehamilan 9 minggu, tekanan darah pasien relatif stabil (Tabel 2). Di usia
kehamilan 22 minggu, pasien pernah menjalani pemeriksaan analisis urin.
Hasilnya menunjukan ewitz (-).
Tabel 2. Tabel riwayat ANC pasien
Tanggal
17/12/15
17/1/16
18/2/16
17/3/16

UK (minggu)
9+ 3
13 + 5
18 + 3
22 + 5

TD (mmHg)
120 / 80
120/80
120/70
130/80

17/4/16
18/5/16
1/6/16
11/7/16
19/7/16

27 + 3
31 + 6
33 + 6
39 + 1
40 + 2

110/70
120/80
134/84
138/95
142/95

Hasil Lab

GDS : 188
Proteinuri : AFV : 156 ml
AFV : 124 ml

Dari pemeriksaan ANC tersebut, diketahui peningkatan tekanan


darah mulai terjadi pada usia kehamilan 33 minggu. Namun peningkatan
ini masih belum signifikan sehingga belum mengarah kecurigaan kepada
preeklampsia dan dalam batas wajar. Saat usia kehamilan 40 minggu,
tekanan darah semakin naik mencapai 142/95 namun pasien masih belum
terdiagnosis sebagai PEB. Diagnosis PEB ditegakkan saat pasien diperiksa
di RSDM pada tanggal 24 juli 2016 dan telah terjadi IUFD. Penegakan
diagnosis ini berdasarkan:
57

Anamnesis : riwayat tekanan darah tinggi sejak usia kehamilan 33


minggu dengan faktor risiko yang dimiliki pasien antara lain primigravida
dan obesitas. Selain itu ibu sudah tidak merasakan gerakan janin.
Pemeriksaan fisik : tekanan darah 170/100 mmHg, denyut jantung janin (-)
Pemeriksaan laboratorium : ewitz +1. Pemeriksaan USG : Denyut jantung
janin (-), gerakan janin (-).
Dari riwayat ANC juga diketahui terjadi oligohidramnion pada
kehamilan pasien yang mulai terdeteksi saat umur kehamilan 33 minggu.
Ada banyak faktor yang dapat memicu terjadinya oligohidramnion baik
dari faktor ibu maupun faktor fetus. Menurut Peipert dan Donnenfeld
(2001) penyebab dari faktor ibu misalnya dehidrasi, insufisiensi
uteroplasental, preeklamsia, diabetes, ketuban pecah dini dan hipoksia
kronis. Sedangkan dari faktor fetus misalnya ada kelainan kromosom,
kelainan kongenital, hambatan pertumbuhan janin. Penyebab yang paling
sering terjadi adalah agenesis ginjal ataupun obstruksi traktus urinarius
fetus.
Penyebab yang mendasari oligohidramnion dan dampak terhadap
fetus merupakan hal yang saling terkait. Pada fetus oligohidramnion
berdampak

buruk

menyebabkan

terutama

kematian

terhadap

fetus.

jaringan

Kekurangan

paru

cairan

serta

dapat

amnion

dapat

menyebabkan kompresi abdomen fetus, hipoplasia pulmo, abnormalitas


konduksi denyut jantung, kompresi tali pusat, dan fetal asidosis (Carter,
2015). Angka kematian janin pada ibu dengan hidramnion sangat tinggi.

58

Dari 80 % kehamilan dengan oligohidramnion, hanya setengah saja bayi


yang selamat. Namun masih belum diketahui penyebab oligohidramnion
pada pasien tersebut apakah berasal dari faktor maternal atau fetal. Untuk
mengetahui kemungkinan penyebabnya berasal dari fetal, maka harus
dilakukan otopsi pada bayi pasien tersebut. Namun hal ini tidak dilakukan
karena berbagai pertimbangan. Untuk mengetahui faktor mnaternal, maka
harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada ibu terutama terkait kualitas
uteroplasenta terlebih karena pasien pernah memiliki riwayat laparotomi et
causa peritonitis.

B. Analisis Terapi
Terapi PEB yang dipilih untuk pasien ini merupakan penanganan aktif
berupa terminasi kehamilan mengingat telah terjadi IUFD, antara lain:
1.

O2 3 lpm

2.

Cairan intravena berupa infus Ringer Laktat 12 tpm.


Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid maupun
koloid dengan jumlah input cairan berpedoman pada diuresis,
insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans
cairan ini harus selalu diawasi.

3.

Injeksi MgSO4 20 % 4 gram intravena bolus pelan


dilanjutkan 1 gram/jam selama 24 jam. Pemberian MgSO4 ini sudah
sesuai syarat terhadap pasien ini antara lain: 1) refleks patella normal;
2) respiratory rate >16x per menit; 3) tersedia kalsium glukonas 10%

59

dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan


tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga
menit.
4.

Nifedipin 10 mg / 8 jam jika TD 160 / 100.


Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg.
Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg.
Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan
nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga
jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh
terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg
atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan
karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur
dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

5.

Evaluasi tiap 4 jam.

6.

Persalinan

pervaginam

menggunakan

vakum

ekstraksi untuk memperingan kala II karena pasien datang dalam


keadaan belum pembukaan lengkap. Hal ini sesuai dengan indikasi
terhadap ibu karena menderita preeklampsia berat sehingga meneran
merupakan kontra indikasi karena dapat menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan intrakranial dan sebagainya.
7.

Monitoring keadaan umum vital sign, tanda-tanda


impending eklampsia. Monitoring intensif dilakukan selama 3 hari
pasca terminasi kehamilan dan hendaknya dilakukan hingga 6 minggu

60

untuk PEB dan 12 minggu pada hipertensi gestasional. Karena


tekanan darah tinggi dan proteinuria dapat menetap hingga 2 minggu
pasca terminasi. Bila menetap maka perlu dipikirkan terjadinya
penyakit vaskuler kronis.

61

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C.M. (2004), Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi, EGC, Jakarta.
ACOG technical bulletin. International Journal of Gyn and Obs 1993;42(3).
Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku
Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.
Cunningham, et.al. 2006. Obstetric Williams, edisi 21, volume 2. EGC, Jakarta.
Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-Hill
Companies, USA.
Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi
14. EGC, Jakarta.
Galal et al. 2012. Postterm pregnancy. FVV in ObGyn 4 (3): 175-187.
Jannah dan Arianti. 2010. Gambaran epidemiologi kejadian preeklamsia/eklamsia
di RSU PKU muhammadiyah yogyakarta tahun 2007 2009. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 378385.
Kadri, N. (2005), Kelainan Kongenital, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Llewellyn, J. (2001), Setiap Wanita, Delapratasa, Jakarta.
Manuaba, I.B.G. (2001), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.

62

Mochtar, R. (2004), Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi, Edisi III, EGC, Jakarta.
Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.
Monintja, H.E. (2005), Penyakit-Penyakit Dalam Masa Neonatal, dalam Ilmu
Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Norwitz, E.R., Schorge, J.O., (2008). At a GlanceObstetri dan Ginekologi edisi 2.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nugroho (2012). Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Olyai R, Mittal C. Fetal death. In.Dutta D K, editor. Recent advances in high risk
pregnancy. India: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2010. P15564
Prawirohardjo, S (2004), Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Prawirohardjo, S (2010). Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, A.B. (2002), Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, YBP-SP, Jakarta.
Stridje, D. (2000), Kehamilan dan Diabetes, EGC, Jakarta.

63

Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi J (2011). Pre-eclampsia:


pathophysiology, diagnosis, and management. Vascular Health and Risk
Management, 7: 467474.
Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1.
EGC, Jakarta
Wagner LK (2004). Diagnosis and management of preeclampsia. American
Family Physician, 70(12): 23172324.
Wiknjosastro, H. (2005), Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Cetakan Ketujuh,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

64

Anda mungkin juga menyukai