Jalur pensinyalan pada perkembangan kelenjar payudara
Tidak seperti organ pada umumnya, perkembangan kelenjar payudara terjadi
dominan saat setelah kelahiran, dibawah pengaruh hormone steroid dan peptide. Ketika kelenjar terbentuk, siklus proliferasi, diferensiasi fungsional, dan kematian epitel alveolar terjadi berulang seiring tiap-tiap kehamilan. Jalur pensinyalan meskipun demikian berbagi hal yang sama dengan tipe sel lainnya. Disini kami membahas jalur tersebut dan fungsi masing-masingnya. Perspektif Sejarah Selama 100 tahun terakhir, usaha ekstensif telah dibuat guna menginvestigasi regulasi mammopoiesis dan memahami sinyal dan jalur endokrin yang mengontrol proliferasi sel epitel mammae dan diferensiasinya. Kemajuan pada awal abad 20 didasarkan pada perkembangan teknik endokrinektomi dan isolasi hormon. Bukti keterkaitan ovarium terhadap mammae pertama kali ditemukan Halban 100 tahun lalu dengan ooforektomi yang menyebabkan regresi mammae dan ovarium yang ditransplantasi mencegah proses ini. Komponen hormone yang sangat berpengaruh adalah progesterone dan esterogen. Saat hipofisektomi dilakukan rutin pada 1920, menjadi jelas bahwa hormone non ovarian juga turut berperan. Era hormone peptide pada 1928 dipopulerkan Stricker dan Gueter yang menginduksi sekresi air susu artificial pada kelinci yang dikebiri dengan ekstrak hipofisis dari hewan laktasi. Riddle dkk memurnikan hormone tersebut dan dinamakan prolaktin. Tahun 1906 plasenta ditemukan juga mensekresi zat mamotrofik terdiri dari laktogen plasenta, estrogen, progesterone, dan gonadotropin. Pada kultur organ in vitro ditemukan aksi sinergis insulin, hidrokortison, dan prolatin mengontrol diferensiasi epitel sekretorik mammae. Cloning reseptor steroid dan peptide pada 1980, identifikasi jalur sinyal tahun 1990, dan isolasi gen target memunculkan pemahaman dasar transduksi sinyal. Eksperimen genetic tikus dan dikombinasi dengan jaringan rekombinan menampilkan komunikasi antar sel epitel dan stromal. Perkembangan dan Struktur Perkembangan kelenjar mammae berhubungan dengan berkembangnya seks dan reproduksi. Fase embrional, prepubertas, pubertas, kehamilan, laktasi, dan involusi. Epitel dan stroma yang mengelilingi berasal dari ekto dan mesoderm memberi kontribusi penting. Epitel terdiri dari system cabang duktal yang berkembang pada pubertas dan kompartemen lobuloalveolar yang berkembang selama kehamilan. Pensinyalan Epitel-Mesenkimal selama Perkembangan Embrionik Tahapan inisial bebas dari pengaruh sistemik namun bergantung pada pensinyalan resiprokal antara epitel dan mesenkim. Pada embrio tikus 5 pasang plak ektodermal muncul di hari ke 10 dan 11. Terbentuk sebagai titik tertentu yang terjalin pada ventral dari leher ke area genital. Plak membentuk kuncup yang tumbuh sampai hari ke 15. Selama periode ini, kuncup epitel dikelilingi sel mesenkim primer. Proliferasi sel dominan di ujungnya dan membentuk kecambah primer, yang menembus mesenkim. Muncul bantalan lemak yang membentuk stroma pada kelenjar mammae dewasa. Kemudian terbentuk percabangan duktus kecil pada kelahiran. Mesenkim dari regio mammae prospektif mampu menginduksi diferensiasi epitel mamae saat dikombinasi dengan epitel dorsal mamae, menunjukkan bahwa sinyal mesenkim pertama kali menentukan perkembangan epitel. Saat kuncup pertama muncul, terbentuk pula sel mesenkim mammae primer. Sel ini mengekspresikan reseptor estrogen dan androgen, factor transkripsi Lef1, Msx1, dan 2, factor pertumbuhan BMP4 dan FGF7, dan matriks ekstrasel Tenasin C dan seindecan1. Eksperimen rekombinan membuktikan efek ini hanya transien dan hilang di tingkat lanjut. Ekspresi Lef1, Msx1 dan 2 juga dapat ditemukan pada gigi, rambut, dan kumis. Sehingga inaktivasi gen yang mengkode nya menghambat perkembangan jaringan ektodermal ini, termasuk kelenjar mammae. Pada kelenjar mammae, RNA lef1 pertama ditemukanpada situs dimana plak terbentuk, diikuti pergeseran ke mesenkim. Gen yang mengkode Msx1 dan 2 awalnya dikoekspresikan pada plak yang berkembang. Pada tingkat sedikit lanjut, ekspresi gen MSx1 dikurangi, dimana Msx2 juga terjadi pada mesenkim. Perkembangan kelenjar mammae tidak dipengaruhi oleh absennya Msx1 saja. Meskipun demikian, mencit dengan kedua factor tersebut memiliki kuncup mammae yang inaktif. Secara kontras, Msx1 sendiri dibutuhkan untuk perkembangan gigi saat akhir fase pertunasan. Hal ini menunjukkan perbedaan spesifik sel dan organ pada tingkat ekspresi dan pola factor transkripsi diperoleh dari mesenkim resipien. Rekombinan jaringan tunas gigi dan kumis menunjukkan kebutuhan factor ini dibatasi dan aksinya bersifat otonom- non-sel. Ekspresi transien di jaringan dibutuhkan untuk memicu perkembangan organ. Perkembangan tunas gigi tanpa Msx1 tertahan pada akhir fase namun dapat dicegah dengan pemberian BMP4, menunjukkan bahwa ini merupakan sinyal epitel yang menimbulkan diferensiasi mesenkim papilla dental. Tidak ada sinyal downstream yang diaktivasi Msx1 dan 2 ditemukan pada kelenjar mammae. Menarik untuk diketahui apakah respons bersifat identik ataupun berbeda antara kelenjar mammae, gigi, dan rambut mencerminkan perbedaan morfologi dan diferensiasi organ. Pensinyalan epitel-mesenkim melalui PTHrP (peptide terkait hormone paratiroid) dan reseptornya menyediakna tanda penting untuk elongasi kecambah primer. PTHrP diekspresi pad aepitel mammae dan sinyalnya diterima mesenkim sekeliling, yang mengekspresi reseptor. Interupsi sinyal PTHrP menyebabkan tertahannya pertumbuhan kelenjar mammae promordium sebelum elongasi tunas menjadi kecambah primer dimulai. Fenotip identik ditemukan pada mencit dengan ligan dan reseptor yang sedikit. Hambatan terjadi selama 4 hari setelah ekspresi PTHrP dimulai pada tunas epitel. Dengan hilangnya sinyal, penanda mesenkim mammae primer tidak diekspresikan, yang paling penting adalah absennya ekspresi reseptor androgen dan tenacin C. Secara mirip, ekspresi ektopik PTHrP pada epidermis menyebabkan sel dermal didekatnya berasumsi sebagai mesenkim mammae primer dan berdiferensiasi sebagai sel puting. Sehingga, PTHrP adalah molekul pensinyalan pertama yang diketahui dihasilkan oleh sel epitel embrional. Hal ini pada gilirannya memicu proliferasi dan diferensiasi respons epitel. Kurangnya sinyal PTHrP juga memengaruhi pertumbuhan tulang dengan regulasi proliferasi kondrosit dan diferensiasi dan mencit tanpa PTHrP atau reseptor PPr1 menunjukkan percepatan diferensiasi kondrosit. PTHrP juga berfungsi pada epidermis dewasa, dan mencit tanpanya menunjukkan diferensiasi keratinosit premature, glandula sebase hipoplastik dan dermis fibrotic. Hormon steroid mengontrol perkembangan duktus dan alveolar Setelah fase embrional dan prepubertas, perkembangan selanjutnya dipengaruhi hormone dan berlangsung pada onset pubertas. Hormone steroid sistemik yang meregulasi proses ini diketahui dengan cara deplesi hormone, melalui abrasi endokrin. Pendekatan target gen telah menunjukkan peran spesifik dan overlappinh dari reseptor progesterone dan estrogen, plus factor koaktivator dan transkripsi yang memediasi proses pensinyalan pada perkembangan kelenjar mammae. Mekanisme primer fungsi hormone steroid adalah melalui pengikatan dengan reseptor inti spesifik, yang mengaktivasi gen tertentu dalam hubungan ligan. ER dan PR ditemukan pada kadar tinggi di ovarium, uterus, mammae, dan hipofisis. Mencit tanpa ERa infertile dan perkembangan duktus selama pubertas dibatasi. Perkembangan duktus yang terganggu tidak hanya menghasilkan kurangnya ER pada epitel mammae dan stroma, tetapi juga disebabkan kegagalan sinyal estrogen melalui aksis hipotalamus/hipofisis. Mencit tanpa ERa mereduksi kadar prolaktin, yang menyebabkan korpus luteum tidak berfungsi dan insufisiensi progesterone dalam mempertahankan kehamilan dan perkembangan duktus. Isograph hipofisis wild-type dapat memperbaiki defek pada mencit ini, menekankan bahwa perkembanagn mammae dikontrol secara sistemik. Efek fisiologis progesterone dimediasi dengan interaksi 2 reseptor (PR-A dan PR-B) yang dikode oleh gen tunggal yang mengandung 2 promotor khas. Isoform PR-B identik dengan PR-A namun mengandung 165 asam amino terminal. Mencit tanpa kedua isoform menampilkan abnormalitas reproduksi pleiotropik, termasuk ketidakmampuan untuk ovulasi dan perkembangan kelenjar mammae yang sangat terbatas. Karena disfungsi ovarum dan kegagalan sinyal aksis secara signifikan memengaruhi perkembangan mammae, transplantasi epitel mammae digunakan untuk mempertahankan fungsi langsung PR pada sel epitel. Dengan absennya PR, perkembangan alveolar selama kehamilan juga hilang. Tidak diketahui apakah jalur PR dan PrIR tidak saling terkait ataupun malah tumpang tindih. Karena isoform PR-A dan PR-B memilki aktivitas transkripsional in vitro, fungsi in vivo unik diprediksi. Mutasi spesifik mengawali pemakaian ATG pada bentuk PR-A menggunakan rekombinas Cre/loxP spesifik situs yang dihasilkan mencit yang mengekspresikan isofor PR-B saja. Seperti mencit tanpa PR, mencit PR-A infertile, sebagian karena implantasi uterus abnormal. Pada mencit-mencit ini, percabangan duktus dan pertunasan alveolar diobservasi pada stimulasi estrogen progesterone. Berdasarkan ini, isoform PR-B dinilai cukup dalam tumbuh kembang duktus, cabang dan lobules alveolar. Peran isoform hanya dapat dibuktikan denagn transplantasi kelenjar mammae atau delesi isoform individual. Meskipun jalur yang diaktivasi progesterone sulit dipahami, jelas bahwa proliferasi sel dikontrol denganaktivasi jalur parakrin. Reseptor inti membutuhkan koaktivator untuk memediasi aktivasi transkripsi gen targetnya. Koaktivator reseptor steroid (SRC) seperti SRC1, GRIP1 dan p/CIP mengaktivasinya melalui banyak mekansime. Hal in termasuk interaksi dengan ligan yang terikat reseptor dan factor transkripsi genetic, interaksi dengan koaktivator transkripsi umum (CBP, p300) dan partisipasi remodelling kromatin melalui aktivitas asetiltransferase. SRC3 digandakan pada 10% kanker payudara primer. Pertumbuhan berlebihan duktus mammae saat pubertas dihambat oleh mencit tanpa SRC-3 (efek sekunder). Mencit ini memiliki kadar estrogen sistemik yang rendah, menyebabkan hambatan maturasi seksual sehingga terjadi defek pertumbuhan duktus yang berlebihan. Terjadi penurunan ovulasi, frekuensi kehamilan lebih rendah, dan menunjukkan peran SRC3 pada reproduksi. Admnistrasi dosis farmakologi estrogen dan progesterone dapat memicu percabangan samping duktus mencit control, namun sebaliknya pada epitel tanpa SRC3 tidak terjadi percabangan pada tingkat yang sama, menunjukkan beberapa efek intrinsic epitel mammae. Penting diketahui perkembangan duktus dan alveolar selama kehamilan pada jaringan cangkok. Delesi SRC1 menimbulkan fenotipe yang lebih ringan. Fertile namum menunjukkan resistensi parsial terhadap estrogen dan progesterone. Seperti pada mencit tanpa SRC3 perkembangan mammae direduksi sedikit dengan absennya SRC1 dan kebnyakan efek ini ditambahkan dengan sinyal steroid insufisien via ovarium. Sehingga koaktivator reseptor steroid individu dapat memodulasi secara signifikan aktivitas transkripsional steroid secara in vitro, secara in vivo justru sebaliknya. Kehadiran beberapa koaktivator pada tingkat tertentu dan redundansi fungsional dapat mengaburkan potensi penuh masing-masing molekul pada in vivo. Pentingnya reseptor hormone dalam proliferasi sel dibuktikan. Inaktivasi factor transkripsi C/EBPb menghasilkan pertumbuhan duktus tereduksi dan morfogenesis serta diferensiasi alveolar otonom. Pada kelenjar mammae tanpa C/EBPb, jumlah yang lebih besar dan distribusi sel positif PR ditemukan. Data ini menunjukkan C/EBPb terlibatdalam ekspresi PR yang memengaruhi proliferasi sel melalui mekanisme parakrin.