Anda di halaman 1dari 34

BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : An. AH
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Alamat : Pekanbaru
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk RS : 25 November 2016
Tanggal Pemeriksaan : 28 November 2016

ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang


1 bulan SMRS pasien sering mengeluhkan muntah, muntah 4 kali/hari,
muntah hampir dialami setiap kali sehabis makan, muntah berwarna kuning
berisi sisa makanan, muntah tidak menyemprot. Nafsu makan pasien menurun,
perut terasa penuh dan mual. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri pada
perut kanan atas, kadang-kadang menjalar sampai ke pinggang, nyeri dirasakan
sekali-sekali dan ringan. Pasien berobat ke puskesmas rumbai diberi obat nyeri
dan muntah lalu keluhan berkurang.
Sejak 7 hari SMRS, pasien merasakan demam, demam tidak begitu tinggi,
demam hilang timbul, menggigil (-) berkeringat (-). Perut pasien terasa penuh
dan keras, tiap makan terasa menyesak dan muntah. Berat badan menurun 2
kg. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke puskesmas rumbai lalu
dirujuk ke RS Petala Bumi.

1
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat sakit kuning disangkal
- Riwayat gastriris disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada keluarga mengalami keluhan yang sama
- Riwayat keluarga menderita sakit kuning disangkal

Riwayat Kebiasaan :
- Riwayat minum alkohol pernah saat usia 11 tahun 1 gelas
- Riwayat suka mengkonsumsi kacang-kacangan
- Riwayat transfusi darah disangkal
- Riwayat penggunaan obat-obatan serta jarum suntik narkotika disangkal
- Riwayat merokok disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Keadaan gizi : Berat badan kurang
BB : 42 kg
TB : 155 cm
IMT : 42 (1.55)2 = 17.48 kg /m2 (underweight)

Vital Sign
TD : 110/70 mmHHg
Nadi : 76 x/menit reguler, isi cukup, teraba kuat
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,3 C

Kepala
Mata : Cekung (-)
Konjungtiva : Anemis (-/-),
Sklera : Ikterik (-/-)

2
Pupil : Bulat, isokor 3mm/3mm
Bibir : Kering (-)
Lidah : Kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP kesan meningkat

Thorak
Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vocal Fremitus dada kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler kedua lapangan paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis teraba 1 jari medial linea midclavcularis sinistra
SIK 5
Perkusi : Batas jantung kiri dan kanan dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak sedikit cembung, venektasi (-), spider naevi (-),
distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit
Palpasi : Hepar teraba 6 jari di bawah arcus costae dextra dan 4 jari dari
procesus xypoideus, konsistensi padat, permukaan tidak rata,
tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di Schuffner 2. Nyeri
tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+).
Perkusi : Timpani pada semua regio kecuali pada hipokondrium dekstra,
epigastrium dan hipokondrium sinistra perkusi pekak, shifting
dullnes (-).

3
Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik, edema (-), jaundice (-), palmar
eritema (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 25 November 2016


Darah rutin Kimia darah
Hb : 13,0 g/dl GDP : 78 mg%
Leukosit : 8500/mm Kol Total : 626 mg/dl
Trombosit : 412.000/mm HDL : 22 mg/dl
Ht : 45,9% LDL : 530 mg/dl
Trigliserida : 372 mg/dl
Ureum : 16 mg/dl
Creatinin : 0,9 mg/dl
Protein total : 57 g/dl
Albumin : 30 g/dl
Globulin : 27 g/dl
SGOT : 145 U/L
SGPT : 73 U/L
Bilirubin total : 1,3 mg/dl
Bil direk : 0,6 mg/dl
Bil Indirek : 0,7 mg/dl

RESUME

An. AH, 16 tahun, datang ke RSUD Petala Bumi Pekanbaru dengan keluhan
demam sejak 7 hari SMRS, demam tidak begitu tinggi dan hilang timbul. Selain
itu pasien sering mengeluhkan muntah, muntah 4 kali/hari, muntah hampir
dialami setiap kali sehabis makan, muntah berwarna kuning berisi sisa makanan.
Perut pasien terasa penuh dan keras, Pasien mengeluhkan nyeri pada perut kanan
atas, kadang-kadang menjalar sampai ke pinggang, nyeri dirasakan sekali-sekali
dan ringan. Nafsu makan pasien menurun, berat badan berkurang 2 kg dalam 1
bulan terakhir.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan JVP kesan meningkat, perut tampak sedikit
cembung, hepar teraba 6 jari di bawah arcus costae dextra dan 4 jari dari procesus

4
xypoideus, konsistensi padat, permukaan tidak rata, tepi tumpul, tidak mobile, lien
teraba di Schuffner 2, nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+).
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan kadar kolesterol total: 626 mg/dl,
HDL: 22 mg/dl, LDL: 530 mg/dl, trigliserida: 372 mg/dl, SGOT: 145 U/L, SGPT:
73 U/L.

DIAGNOSIS KERJA:
- Obs Febris hari ke 7 e.c susp Hepatitis
- Dislipidemia

USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG:


- Pemeriksan urin rutin
- Pemeriksaan imunologi HbsAg
- Pemeriksaan biomarker AFP
- Pemeriksaan USG abdomen

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi:
1. Tirah baring
2. Diet makanan lunak, dilakukan berangsur-angsur namun sering.

Farmakologi:
1. IVFD Dextrose 5% : NaCl = 2:1, 20 tpm
2. Inj Ranitidine 50mg/8jam
3. Drip neurobat 1 amp/24 jam
4. Inj novalgin ampul 2ml (250mg/ml) k/p
5. Magalat syr 3x1C
6. Paracetamol tab 500mg 3x1
7. Biocurliv kapl 3x1
8. Hepa Q caps 3x1
9. Rosufer tab 10 mg 1x1
10. Fenofibrat caps 100 mg 1x1

5
FOLLOW UP
26 November 2016
S : Nyeri perut kanan atas, muntah masih ada sekali-sekali, demam sudah
turun.
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
TD : 100/70 mmHg, HR : 84 x/menit, RR : 20 x/mnt, T : 36,4C
JVP kesan meningkat, perut tampak sedikit cembung, hepar teraba 6 jari di
bawah arcus costae dextra dan 4 jari dari procesus xypoideus, konsistensi
padat, permukaan tidak rata, tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di
Schuffner 2, nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+).
Lab (26 nov 2016):
HbSAg positif (+)
AFP : 370,76 IU/ml
A : Hepatosplenomegali e.c susp karsinoma hepatoselular + Hepatitis B +
dislipidemia
P : R/ USG
IVFD Dextrose 5% : NaCl = 2:1, 20 tpm
Inj Ranitidine 50mg/8jam
Drip neurobat 1 amp/24 jam
Inj novalgin ampul 2ml (250mg/ml) k/p
Magalat syr 3x1C
Paracetamol tab 500mg 3x1
Biocurliv kapl 3x1
Hepa Q caps 3x1
Rosufer tab 10 mg 1x1
Fenofibrat caps 100 mg 1x1

27 November 2016
S : Nyeri perut kanan atas dan ulu hati

6
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
TD : 110/70 mmHg, HR : 80 x/menit, RR : 20 x/mnt, T : 36C
JVP kesan meningkat, perut tampak sedikit cembung, hepar teraba 6 jari di
bawah arcus costae dextra dan 4 jari dari procesus xypoideus, konsistensi
padat, permukaan tidak rata, tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di
Schuffner 2, nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+).
Lab urin rutin (27 Nov 2016):
Warna : kuning Nitrit : negatif
Sedimen
pekat
Eritrosit : 1-2/lpb
Berat jenis : 1.020
Leukosit : 3-5/lpb
pH : 6.0
Epitel : positif
Protein : negatif
Bakteri : negatif
Reduksi : negatif
Sel ragi : negatif
Bilirubin : negatif
Silinder : negatif
Urobilinogen : negatif
Kristal : negatif

7
A : Hepatosplenomegali e.c susp karsinoma hepatoselular + Hepatitis B +
dislipidemia
P : IVFD Dextrose 5% : NaCl = 2:1, 20 tpm
Inj Ranitidine 50mg/8jam
Drip neurobat 1 amp/24 jam
Inj novalgin ampul 2ml (250mg/ml) k/p
Magalat syr 3x1C
Paracetamol tab 500mg 3x1
Biocurliv kapl 3x1
Hepa Q caps 3x1
Rosufer tab 10 mg 1x1
Fenofibrat caps 100 mg 1x1
Tramadol caps 50 mg 3x1
Codipront caps 3x1
Norsec caps 20 mg 3x1
Bio ATP tab 2x1

28 November 2016
S : -
O : Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
TD : 130/70 mmHg, HR : 84 x/menit, RR : 20 x/mnt, T : 36,8C
JVP kesan meningkat, perut tampak sedikit cembung, hepar teraba 6 jari di
bawah arcus costae dextra dan 4 jari dari procesus xypoideus, konsistensi
padat, permukaan tidak rata, tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di
Schuffner 2, nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+).

Hasil USG (28 nov 2016):


Kesimpulan: kesan karsinoma hepatoselular

A : Hepatosplenomegali e.c susp karsinoma hepatoselular + Hepatitis B +


dislipidemia
P : Rujuk ke RSUD Arifin Achmad Subspesialis Gastroenterohepatologi
BAB II
KARSINOMA HEPATOSELULAR

2.1 Definisi

Karsinoma hepatoselular (HCC) adalah hepatoma primer yang berasal dari


sel hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma.
Tumor ganas hepar lainnya seperti kolangiokarsinoma dan sistoadenokarsinoma
berasal dari sel epitel bilier, sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal
dari sel mesenkim. Dari seluruh tumor ganas hepar yang pernah didiagnosis, 85%
merupakan karsinoma hepatoselular, 10% kolangiokarsinoma, dan 5% adalah
jenis lainnya.1,2

2.2 Epidemiologi

Karsinoma hepatoselular adalah keganasan hepar primer yang paling sering


ditemukan dan merupakan penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh
dunia. Di Amerika Serikat, karsinoma hepatoselular merupakan penyebab utama
kesembilan kematian akibat kanker. Pada tahun 2013 diperkirakan terjadi 30.640
kasus baru kanker hepar dan saluran empedu intrahepatik dan angka kematian
mencapai 21.670 kasus. Karsinoma hepatoselular terjadi lebih sering pada laki-
laki daripada perempuan (2,4: 1), dengan insiden yang lebih tinggi di Asia Timur
dan Tenggara, Afrika Tengah dan Barat, Melanesia, dan Mikronesia / Polinesia.1,3
Di negara-negara dimana frekuensinya rendah seperti di Eropa dan
Amerika, umur rata-rata terdapat di sekitar 50-60 tahun. Sedangkan di negara-
negara yang frekuensinya tinggi banyak dijumpai pada umur lebih muda, di Asia
tenggara seperti Singapura kebanyakan penderita berumur 20-40 tahun. Di
Indonesia angka kejadian karsinoma hepatoselular belum dapat dikemukakan.
Penelitian Noer dkk, menunjukkan karsinoma hepatoselular di Indonesia paling
banyak ditemukan pada umur antara 50-60 tahun laki-laki lima kali lebih banyak
dibanding wanita.1,3

2.3 Faktor Risiko


Karsinoma hepatoselular terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan
multifasik, melalui inisiasi, akselerasi, dan transformasi, serta peran onkogen dan
gen terkait. Penyakit hepar kronis dan sirosis tetap faktor risiko yang paling
penting untuk pengembangan karsinoma hepatoselular, yang mana hepatitis virus
dan konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan faktor risiko utama di seluruh
dunia. Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain:1,3,4

1. Virus hepatitis B (HBV)


Karsinogenitas virus hepatitis B terhadap hepar terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke
dalam DNA sel penjamu dan aktifitas protein spesifik-HBV berintegrasi
dengan gen hepar. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenitas hepar. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hepar atau akibat
dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat
HBV.
2. Virus hepatitis C (HCV)
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hepatis. Dalam penelitian meta analisis,
disimpulkan bahwa risiko terjadinya hepatoma pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan risiko pada bukan pengidap
infeksi HCV. Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau
dengan peminum alkohol meliputi 20% dari kasus karsinoma hepatoselular.
infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis karsinoma hepatoselular
pada pasien yang bukan pengidap HBV.
3. Sirosis hepatis
Sirosis hepatis merupakan faktor resiko utama karsinoma
hepatoselular di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus karsinoma
hepatoselular. Setiap tahun 3-5% dari pasien sirosis hepatis akan menderita
karsinoma hepatoselular, dan karsinoma hepatoselular merupakan penyebab
utama kematian pada sirosis hepatis. Otopsi pada pasien sirosis hepatis
didapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Pada 60-80% dari
sirosis hepatis makronodular dan 3-10% dari sirosis hepatis mikronodular
dapat ditemukan adanya karsinoma hepatoselular.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus, ditemukan pada biji-bijian, jagung, kacang tanah atau
kacang kedelai. Dari percobaan pada binatang, diketahui bahwa AFB1
bersifat karsinogenik. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan
karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan
dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesis-
nya adalah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen
supresor tumor p53.
5. Obesitas
Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty
liver disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH)
yang dapat berkembang menjadi sirosis hepatis dan kemudian dapat
berlanjut menjadi karsinoma hepatoselular.
6. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan faktor resiko baik untuk penyakit hati
kronik maupun untuk karsinoma hepatoselular melalui terjadinya
perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Disamping itu,
diabetes mellitus dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial
untuk kanker.
7. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum
berat alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk
menderita hepatoma melalui sirosis hepatis alkoholik. Alkoholisme juga
meningkatkan resiko terjadinya sirosis hepatis dan karsinoma hepatoselular
pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya pada sirosis alkoholik
terjadinya karsinoma hepatoselular juga meningkat secara bermakna pada
pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif. Seringkali penyalah-
gunaan alkohol merupakan prediktor bebas untuk terjadinya karsinoma
hepatoselular pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi
HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent,
sehingga asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya
karsinoma hepatoselular.
8. Faktor risiko lain
Jenis kelamin berperan dalam perkembangan kanker hati. Karsinoma
hepatoselular lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 2: 1-
4: 1; Namun, ini tidak karena jenis kelamin saja. Laki-laki lebih mungkin
terinfeksi dengan virus hepatitis, mengkonsumsi jumlah yang lebih besar
dari alkohol, asap rokok, dan memiliki indeks massa tubuh lebih tinggi
daripada wanita. Mungkin kadar testosteron yang lebih tinggi yang
menjelaskan insiden yang lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini diketahui
bahwa kadar testosteron tinggi telah dikaitkan dengan karsinoma
hepatoselular pada karier hepatitis B dan fibrosis hati lanjutan pada laki-laki
dengan infeksi hepatitis C kronis. Peningkatan testosteron atau asupan
steroid anabolik telah dikaitkan dengan peningkatan insiden karsinoma
hepatoselular dan adenoma hati. Bahan atau kondisi lain yang merupakan
faktor risiko hepatoma namun lebih jarang ditemukan, antara lain:
a. Penyakit hati autoimun : hepatitis autoimun, PBS/sirosis bilier primer
b. Penyakit hati metabolik : hemokromatosis genetik, defisiensi antiripsin-
alfa1, penyakit Wilson, tyrosinemia, glycogen-storage disease types I
and II, and porfiria.
c. Kontrasepsi oral
d. Senyawa kimia: thorotrast, vinil klorida, nitrosamine, insektisida
organoklorin, asam tanik.
e. Tembakau
2.4 Patogenesis

Karsinoma hepatoselular merupakan keganasan yang heterogen yang


dihasilkan dari beragam penyebab cedera hepar kronis, hepatitis virus menjadi
etiologi yang paling umum. Perubahan di berbagai jalur sinyal terjadi pada
kanker, dan beberapa jalur tertentu telah diamati untuk disregulasi karsinoma
hepatoselular. Perubahan jaringan hepar yang disebabkan oleh infeksi virus kronis
atau oleh paparan agen hepatotoksik menyebabkan peningkatan regulasi
komponen dari sejumlah jalur sinyal seluler.1,5
Jalur utama yang terlibat dalam patogenesis karsinoma hepatoselular
termasuk jalur yang mengatur sinyal growth factor seperti insulin like growth
factor (IGF), epidermal growth factor (EGF), PDGF, fibroblast growth factor
(FGF) dan hepatocyte growth factor (HGF / MET), jalur yang berhubungan
dengan diferensiasi sel seperti WNT, Hedgehog, dan jalur Notch; dan jalur yang
terkait dengan angiogenesis seperti vascular endothelial growth factor (VEGF)
dan jalur FGF. Mediator sinyal utama reseptor tirosin kinase adalah Ras / Raf /
MEK / ERK dan P13K / AKT / mTOR cascade. Ada kontribusi besar
karsinogenesis hepar melalui jalur tumor micro environment dan jalur yang
mengganggu kekebalan anti-tumor.5
Mekanisme perkembangan karsinoma hepatoselular berbeda-beda sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Infeksi HBV dapat menyebabkan karsinoma
hepatoselular tanpa melalui sirosis, meskipun sebagian besar pasien dengan
karsinoma hepatoselular yang terkait HBV memiliki penyakit sirosis. Sebaliknya,
karsinoma hepatoselular yang terkait HCV hampir selalu terjadi fibrosis lanjut
atau sirosis.5
Paparan kronis dari virus hepatitis yang merusak hepar, penyalahgunaan
alkohol atau NASH menyebabkan kerusakan hepatosit berulang dan membuat
sebuah lingkaran kematian sel dan regenerasi yang akhirnya menghasilkan sirosis.
Ketidakstabilan genomik dihasilkan menyebabkan inisiasi karsinoma hepato-
selular. Akumulasi dari beberapa peristiwa genetik termasuk penyusunan ulang
gen, mutasi somatik, perubahan jumlah copy, perubahan epigenetik dan perubahan
jalur growth factor akhirnya menyebabkan perkembangan tumor dan metastasis
seperti terlihat pada gambar 1.5
Gambar 1. Patogenesis Karsinoma Hepatoselular5

2.5 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hepatoselular diperlukan


pemeriksaan klinis, laboratorium termasuk penanda tumor seperti alfa-fetoprotein,
pencitraan seperti ultrasonografi, CT scan dan MRI. Mengingat hubungan yang
erat antara karsinoma hepatoselular, hepatitis B dan C, serta sirosis, diperlukan
pemeriksaan rutin untuk mencari karsinoma hepatoseluler pada fase dini. Akan
tetapi karsinoma hepatoselular jarang ditemukan pada tahap dini karena
pertumbuhan cepat dengan waktu ganda sel 10 hari, gejala dan tanda tidak nyata
karena tumor tersembunyi di dalam hepar, tidak menyebabkan gangguan faal
hepar, penyebaran intrahepatik, perkembangan multifokal, penyebaran ekstra-
hepatik agak lambat dan tanda biokimia samar-samar atau tidak khas.6,7

2.5.1 Gambaran Klinis


Gambaran umum karsinoma hepatoselular beragam, dapat tidak bergejala
hingga adanya gejala berat berupa nyeri hebat dengan atau tanpa hepatomegali,
gejala gagal faal hepar, perdarahan varises, asites hemoragik, perdarahan
intraperitoneal mendadak tanpa trauma, akut abdomen mendadak, syok
hipovolemik dan metastasis jauh di tempat lain dengan atau tanpa gejala klinis.
Gejala dan tanda klinis yang dijumpai dapat dilihat pada tabel 1.2

Tabel 1. Gejala dan tanda klinis karsinoma hepatoselular


menurut Flickinger2
Gejala Insidens %
Nyeri abdomen 91
Massa abdomen 43
Penurunan berat badan 35
Lemah 31
Penurunan nafsu makan dan rasa penuh 27
Muntah 8
Ikterus 7
Tanda klinis
Hepatomegali 89
Splenomegali 65
Asites 52
Ikterus 41
Febris 38
Bising hepar (hepatic bruit) 28

Umumnya tampak benjolan di perut bagian atas, disertai dengan nyeri terus
menerus yang menembus ke belakang atau ke daerah bahu. Nyeri meningkat jika
penderita bernapas dalam karena rangsangan peritoneum pada permukaan
benjolan. Berat badan cepat menurun, kadang terdapat asites atau perdarahan
saluran cerna bagian atas karena varises esofagus. Keadaan ini biasanya
menunjukkan karsinoma hepatoselular stadium lanjut. Oleh karena karsinoma
hepatoselular sering berhubungan dengan sirosis, dapat dijumpai tanda sirosis,
berupa pembuluh darah kolateral di dinding perut atau spider nevi, splenomegali,
eritema palmaris dan ginekomastia. Pada keadaan lebih lanjut, dapat timbul
ikterus yang menunjukkan perjalanan penyakit yang progresif. Perdarahan
intraperitoneal mendadak dapat terjadi akibat karsinoma hepatoselular yang pecah
spontan.2
Pada pemeriksaan fisik umumnya didapati pembesaran hepar yang
berbenjol, keras, kadang terasa nyeri bila ditekan. Palpasi menunjukkan adanya
gesekan permukaan peritoneum viseral yang kasar akibat rangsang dan infiltrasi
tumor ke permukaan hepar dengan dinding perut. Gesekan ini dapat didengarkan
juga melalui stetoskop. Pada auskultasi diatas benjolan kadang ditemukan suara
bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan fase
lanjut karsinoma hepatoselular.2

2.5.2 Pemeriksaan Laboratorium


Evaluasi laboratorium dari pasien karsinoma hepatoselular yang baru
didiagnosis harus mencakup pengujian untuk menentukan keparahan penyakit dan
untuk menjelaskan etiologi penyakit yang mendasari. Penelitian laboratorium
mencakup pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, studi koagulasi
misalnya INR, PT dan APTT serta AFP.7
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel
hepar fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. Kadar AFP meningkat pada 60-
70% pada pasien hepatoma, dan kadar lebih dari 400 ng/mL adalah diagnostik
atau sangat sugestif hepatoma.7,8
Diagnosis dini karsinoma hepatoselular sangat penting dalam memberikan
pengobatan yang efektif. Diagnosis dini karsinoma hepatoselular umumnya hasil
dari skrining rutin pasien berisiko tinggi, termasuk pasien dengan sirosis karena
hepatitis virus B atau C, pasien dengan hemokromatosis, defisiensi 1-antitrypsin,
atau pasien alkoholik. Pasien sirosis saat ini direkomendasikan untuk melakukan
skrining pencitraan cross-sectional setiap 6-12 bulan dan pemeriksaan serum AFP.
Meskipun karsinoma hepatoselular berisiko mengalami kekambuhan bahkan pada
pasien yang diobati, protokol skrining tampaknya mengefektifkan biaya pada
populasi ini.7

Serum AFP menjadi pilihan terbaik skrining karsinoma hepatoselular untuk


menghemat biaya dan morbiditasnya rendah. Sensitivitas AFP hanya 40-64%
karena banyak tumor tidak menghasilkan AFP sama sekali atau mengahasilkan
AFP pada stadium lanjut. AFP merupakan hasil produksi tumor atau regenerasi
hepatosit. Oleh karena itu, kadar AFP juga sering meningkat pada hepatitis kronik
C aktif (kadar 200-300 ng / mL), tetapi cenderung fluktuatif dan tidak semakin
bertambah. Kadar AFP juga dapat meningkat karena kondisi lain, seperti reseksi
hepar (transient sampai regenerasi lengkap), pemulihan setelah cedera toksik, atau
serokonversi setelah infeksi hepatitis B (biasanya menginduksi eksaserbasi
sementara dari inflamasi). Sensitivitas AFP adalah 75-91% dan nilai lebih besar
dari 400 ng / mL umumnya dianggap diagnostik karsinoma hepatoselular dalam
konteks klinis yang tepat termasuk temuan radiologis yang sesuai.7,8

Hasil laboratorium sugestif atau indikasi dari keparahan penyakit karsinoma


hepatoselular adalah sebagai berikut:7
Anemia - hemoglobin rendah berhubungan dengan perdarahan dari varises atau
sumber lain.
Trombositopenia - jumlah trombosit di bawah 100.000 / uL sangat sugestif
hipertensi portal signifikan / splenomegali.
Hiponatremia umumnya ditemukan pada pasien dengan sirosis dan asites dan
dapat menjadi penanda penyakit hati lanjut.
Peningkatan kadar kreatinin serum mencerminkan penyakit ginjal intrinsik atau
sindrom hepatorenal.
PT / INR memanjang mencerminkan penurunan yang signifikan dari fungsi
hati yang mungkin menghalangi reseksi
Peningkatan enzim hati mencerminkan hepatitis aktif karena infeksi virus,
penggunaan alkohol saat ini, atau penyebab lainnya.
Peningkatan tingkat bilirubin biasanya menunjukkan penyakit hati lanjut
Hipoglikemia mungkin merupakan penyakit hati stadium akhir (tidak ada
cadangan glikogen)

Temuan laboratorium yang berhubungan dengan etiologi penyakit tertentu sebagai


berikut:7
Antigen permukaan Hepatitis B (HBsAg) / Antibodi core hepatitis B (anti-
HBc), anti-HCV - Hepatitis virus (saat ini / sebelumnya)
Peningkatan saturasi besi (> 50%) - mendasari hemokromatosis
Tingkat 1-antitripsin rendah - defisiensi 1-Antitrypsin
Tumor / fenomena paraneoplastik
Peningkatan AFP lebih tinggi dari 400 ng / mL dianggap diagnostik karsinoma
hepatoselular dengan pencitraan yang tepat
Hiperkalsemia - produksi hormon paratiroid ektopik mungkin terjadi dalam 5-
10% dari pasien dengan karsinoma hepatoselular
Trombositosis (jumlah trombosit normal / meningkat cepat pada pasien dengan
riwayat trombositopenia)

2.5.3 Pencitraan
Pemeriksaan penunjang dengan modalitas pencitraan pada karsinoma
hepatoselular antara lain:

a. USG
Modalitas pencitraan terbaik untuk skrining karsinoma hepatoselular masih
menjadi perdebatan. Ultrasonografi (USG) menawarkan metode skrining yang
relatif murah dibandingkan magnetic resonance imaging (MRI) atau paparan
radiasi dan zat kontras berpotensi nefrotoksik pada computed tomography (CT).
USG sebagai metode skrining dilaporkan memiliki sensitivitas 70-80% dan
spesifisitas 97% pada populasi sirosis. Temuan pada pemeriksaan USG kemudian
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan lebih lanjut dan berpotensi untuk
dilakukan biopsi.9
Secara umum pada USG sering ditemukan adanya hepar yang membesar,
permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intra hepatik dengan struktur
echo yang berbeda dengan parenkim hati normal. Secara umum, karsinoma
hepatoselular tampak sebagai massa bulat atau oval yang jelas dan batas-batas
halus. Lesi memiliki berbagai ekogenitas, dari hipoekoik hingga hiperekoik,
tergantung pada parenkim sekitarnya dan tingkat infiltrasi lemak. Biasanya
menunjukkan struktur eko yang lebih tinggi disertai nekrosis sentral berupa
gambaran hipoekoik sampai anekoik akibat adanya nekrosis, tepinya irregular.
Sangat sulit menentukan hepatoma pada stadium awal di mana gambaran struktur
echo yang masih isoekoik dengan parenkim hepar normal.
Pada pasien dengan peningkatan AFP dan karakteristik pencitraan yang
konsisten dapat diobati dugaan karsinoma hepatoselular tanpa biopsi. Pasien juga
harus menjalani evaluasi untuk penyakit ekstrahepatik (metastasis terutama paru)
dengan pencitraan cross-sectional, karena akan menghalangi terapi locoregional
kuratif.9
Modalitas pencitraan lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang
diperlukan untuk mendeteksi hepatoma, namun karena kelebihannya, USG masih
tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat. Gambaran
USG karsinoma hepatoselular dapat dilihat seperti gambar 2.7

Gambar 2. Ultrasonografi pada karsinoma hepatoselular7

b. CT Scan
CT scan telah menjadi parameter pemeriksaan rutin penting untuk diagnosis
lokasi dan sifat hepatoma. CT scan dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hepar, hubungannya
dengan pembuluh darah dan penentuan modalitas terapi.7.9

CT scan triple-fase (termasuk fase arteri, fase vena portal, dan fase
washout akhir) telah ditemukan sangat akurat dalam diagnosis dan karakteristik
karsinoma hepatoselular, tetapi mungkin kehilangan lesi yang lebih kecil sama
seperti pada pemeriksaan ultrasonografi. Pada umumnya CT scan karsinoma
hepatoselular muncul sebagai nodul fokal dengan enhancement awal fase arteri
dengan washout cepat vena portal pada fase kontras dari tiga fase kontras CT
scan.
Sensitivitas CT scan triple-fase 68% dan spesifisitas 93%. Kerugian CT
antara lain biaya yang mahal, paparan radiasi, dan kebutuhan untuk kontras
iodinasi. Gambaran CT scan dapat dilihat pada gambar 3.7

Gambar 3. CT scan fase arterial menunjukkan enhancement karsinoma


hepatoselular (kiri) CT fase vena porta menunjukkan washout karsinoma
hepatoselular (kanan)7

Karakteristik lain yang mendukung diagnosis karsinoma hepatoselular


termasuk visualisasi kapsul tumor, demonstrasi mosaik internal yang dihasilkan
dari variabel pelemahan dalam tumor, dan invasi cabang vena portam, tetapi
semua karakteristik ini lebih mudah ditunjukkan pada lesi besar. Akibatnya, lesi
kecil sering terlewatkan pada pemeriksaan CT scan.7

c. MRI
MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai kontras
berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan
saluran empedu dalam hepar, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal
jaringan hepar dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivtas berbagai
terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1 cm. MRI memberikan metode yang sangat baik untuk menandai
karsinoma hepatoselular tanpa radiasi dan kebutuhan untuk kontras iodinasi. MRI
mempunyai sensitivitas 81% dan spesifisitas 85%. Karsinoma hepatoselular
menunjukkan berbagai bentuk pada MRI tergantung pada arsitektur tumor, kelas,
dan jumlah lemak intratumor dan glikogen. Lesi berkisar antara isointens ke
hiperintens (terang). Gambaran MRI karsinoma hepatoselular dapat dilihat pada
gambar 4.7,9

Gambar 4. MRI
hepar dengan karsinoma hepatoselular.7

d. Biopsi hepar
Biopsi hepar perkutan dapat menjadi modalitas diagnostik jika sampel
diambil dari daerah lokal dengan ultrasound atau CT. Biopsi diindikasikan pada
pasien dengan karsinoma hepatoselular dengan ukuran lebih dari 2 cm dengan
kadar AFP rendah atau merupakan kontraindikasi pengobatan ablatif dan
transplantasi. Tumor ini cenderung akan ke pembuluh darah, sehingga biopsi
perkutan harus dilakukan dengan hati-hati. Pemeriksaan sitologi cairan asites
selalu negatif untuk tumor. Biopsi hepar dapat menggunakan laparoskopi atau
minilaparatomi. Pendekatan ini memiliki keuntungan mengidentifikasi pasien
yang cocok untuk hepatektomi parsial.9,10
2.6 Diagnosis Banding

Massa yang besar di perut kanan atas tidak selalu merupakan tumor primer
hepar, mungkin juga metastasis. Keadaan lain yang serupa tumor hepar antara lain
abses, hematoma dan kista hepar.2

2.7 Stadium dan klasifikasi

Beberapa sistem staging telah digunakan untuk karsinoma hepatoselular,


Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) merupakan sistem staging yang paling
banyak digunakan dalam praktek klinis. Sistem BCLC meliputi evaluasi stadium
tumor, tahap sirosis, status penampilan fungsional (PS) dan hubungan staging
dengan algoritma pengobatan. Selain itu, BCLC diperkenalkan oleh American
and European liver society disahkan dan divalidasi dalam kohort Eropa dan
Amerika. Algoritma BCLC dapat dilihat pada gambar 5.11

Gambar 5. Algoritma sistem staging Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC)11

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1. Terapi bedah
a. Reseksi hepar
Pengobatan yang paling berhasil untuk pasien non-sirosis dengan karsinoma
hepatoselular adalah reseksi hepar. Reseksi hepar adalah operasi pilihan untuk
pasien dengan ukuran tumor kurang dari 5 cm. Reseksi hati dapat ditolerir hingga
50% dari total volume hepar. Reseksi hepar adalah pengobatan yang ditetapkan
untuk karsinoma hepatoselular dengan signifikan menurunkan angka kematian.3,12

b. Transplantasi hati
Transplantasi hati orthotopic (OLT) adalah pilihan kuratif terbaik untuk
pasien dengan sirosis dekompensasi. Karsinoma hepatoselular merupakan satu-
satunya kanker padat yang dapat diobati dengan transplantasi. Pedoman
transplantasi hati dalam kriteria Milan yaitu tumor soliter <5 cm dan diameter
hingga <3cm tiga nodul tumor. Keuntungan transplantasi hati yaitu mencakup
eksisi luas margin tumor, membuang metastasis intrahepatik, menyembuhkan
penyakit sirosis yang mendasari dan menentukan stadium patologis yang akurat
serta pemeriksaan histologi dari seluruh bagian hepar.3,6

2.8.2 Terapi Non Bedah

Terapi non bedah diberikan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk
transplantasi hati atau reseksi. Terapi non bedah yang dapat dilakukan antara lain:

a. Kemoembolisasi Arteri Transkateter

Transcatheter arterial chemoembolization (TACE) dilakukan intervensi oleh


ahli radiologi yang menghubungkan aliran arteri ke tumor dan memberikan
kemoterapi lokal dosis tinggi, diantaranya doxorubicin, cisplatin, atau mitomycin
C. Untuk mencegah toksisitas sistemik, aliran arteri disumbat dengan busa gel
atau kumparan (coils) untuk mencegah aliran darah. TACE merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan sirosis tahap lanjut dan dekompensasi hepar,
karena kerusakan iskemik terkait dengan embolisasi dapat menyebabkan
penurunan cepat fungsi hati dengan ensefalopati yang memburuk, meningkatkan
ascites, dan berpotensi kematian.11,12

b. Radiasi Transartetial
Transartetial radioembolisasi adalah bentuk kateter langsung radiasi internal
yang memberikan mikrosfer kecil dengan radioisotop langsung ke tumor.
Mikrosfer Yttrium-90 (Y-90) atau Iodine-131-label lipiodol diberikan dalam
prosedur yang sama dengan TACE. Prosedur ini terbukti aman dan efektif pada
pasien sirosis dengan karsinoma hepatoselular. Salah satu keuntungan utama Y-90
daripada TACE adalah pada kasus trombosis neoplastik vein porta, dimana
merupakan kontraindikasi dilakukan TACE.11,12

c. Ablasi Lokal Perkutan


Ablasi lokal perkutan mencakup radio frequency ablation (RFA) dan injeksi
etanol perkutan, adalah standar perawatan untuk tahap BCLC 0-A karsinoma
hepatoselular tidak memenuhi kriteria untuk operasi. RFA adalah terapi pilihan
untuk destruksi lokal dari tumor hepar. RFA menghasilkan nekrosis koagulatif
tumor dengan meninggalkan margin aman disekitar tumor, yang menyebabkan
terapi ini paling umum digunakan. RFA dapat dilakukan secara perkutan dibawah
panduan radiologi dengan menggunakan CT scan atau USG atau secara intra
operatif dipandu oleh USG. Ablasi lengkap dapat dilakukan dengan ukuran tumor
2 cm pada 90% kasus.11,12

d. Ablasi Gelombang Mikro


Microwave ablation (MWA) dapat digunakan baik secara perkutan dan
intraoperatif dan prosedur ablatif berpotensi kuratif. Metode ini sangat mirip
dengan RFA, bedanya MWA memanfaatkan gelombang elektromagnetik dengan
frekuensi 900 kHz untuk menyinari dan mengikis fokus tumor. Hal ini
menyebabkan peningkatan cepat suhu dalam bidang MWA lebih dari 100C tanpa
merusak impedansi jaringan, mengarah ke ablasi lebih cepat dan beraturan. Hal ini
meningkatkan risiko cedera yang lebih parah pada struktur yang berdekatan jika
dibandingkan dengan RFA.11,12

e. Kemoterapi

Karsinoma hepatoselular berespon minimal terhadap kemoterapi sistemik


dibandingkan dengan kemoterapi regional. Di antara percobaan agen kemoterapi,
regimen berbasis doxorubicin memiliki manfaat terbesar dengan tingkat respon
20-30% dan dampak minimal pada kelangsungan hidup. Juga tidak ada manfaat
nyata untuk kemoterapi sebagai terapi adjuvan pada reseksi hepar atau RFA.
Dalam upaya untuk memberikan perawatan pada populasi yang sulit, berbagai
agen hormonal dan biologis telah dicoba dengan hasil minimal, termasuk
tamoxifen, antiandrogen (misalnya cyproterone, ketoconazole), interferon,
interleukin (IL) -2, dan octreotide. Saat ini terapi langsung ke hepar (misalnya
reseksi, transplantasi, RFA) meningkatkan harapan hidup pada pasien dengan
karsinoma hepatoselular stadium lanjut. Kombinasi gemcitabine dan oxaliplatin
(GEMOX) membantu untuk mengecilkan hepatoma besar ke titik di mana
beberapa kasus dapat direseksi, menurut sebuah penelitian retrospektif
multicenter.13

f. Sorafenib

Sorafenib adalah obat oral pertama dengan mekanisme inhibitor multi-


kinase yang disetujui oleh FDA pada tahun 2007 untuk pengobatan karsinoma
hepatoselular yang tidak bisa dilakukan pembedahan. Berdasarkan penelitian
sorafenib memiliki efek menghambat pertumbuhan sel, menginduksi apoptosis,
dan menurunkan regulasi dari anti-apoptosis protein Mcl-1 dalam model preklinis.
Sorafenib juga ditemukan dapat mengurangi angiogenesis tumor, mengurangi
sinyal sel tumor, dan pertumbuhan tumor bergantung dosis pada percobaan model
xenograft tikus dengan memblok jalur Raf / MEK / ERK dan reseptor
ekstraseluler tirosin kinase lainnya karsinoma hepatoselular. Sorafenib 400 mg
diberikan dua kali sehari dalam enam siklus minggu. Tidak ada poin akhir yang
ditetapkan tetapi secara keseluruhan meningkatkan kelangsungan hidup. Waktu
progresivitas, waktu untuk perkembangan gejala, tingkat pengendalian penyakit
dan keamanan dinilai pada setiap siklus.13

g. Terapi anti virus

Infeksi HBV dikaitkan dengan kejadian karsinoma hepatoselular dan


memiliki pengaruh yang tidak menguntungkan pada terapi antikanker. Selama
kemoterapi dan pengobatan imunosupresif lainnya, HBV akan diaktifkan kembali
pada pasien karsinoma hepatoselular dengan virus kronis karier. Oleh karena itu
terapi anti virus sangat penting terutama pada pasien dengan karsinoma
hepatoselular. Pertama, terapi anti virus dapat mengurangi risiko mengembangkan
kanker hepar. Kedua, terapi anti virus dapat mengurangi risiko kekambuhan dan
meningkatkan kelangsungan hidup pasien karsinoma hepatoselular post operasi,
atau pengobatan dengan sorafenib. Ketiga, terapi antivirus dapat mengurangi
risiko reaktivasi dan gagal hepar.13

2.8.3 Terapi paliatif

Pasien karsinoma hepatoselular dengan sirosis hepatis kelas Child-Pugh C


kontraindikasi untuk dilakukan transplantasi. Pilihan terapi sangat terbatas selain
pengobatan paliatif. Bebagai intervensi memiliki potensi untuk menghasilkan
dekompensasi hepar yang progresif. Pada pasien ini, pengobatan berfokus pada
kontrol nyeri, asites, edema, dan manajemen ensefalopati portosistemik.7

Pada pasien yang sensitif terhadap zat narkotika dan benzodiazepin,


manajemen kontrol nyeri dapat menimbulkan perburukan ensefalopati
portosistemik. Insomnia dapat timbul karena depresi dan ketakutan, tetapi juga
dapat menjadi gambaran ensefalopati portosistemik. Hal lain yang dapat
diperburuk oleh induksi narkotik yaitu konstipasi. Laktulosa dapat membantu
mengatasi konstipasi, dosis ideal harus mengarah pada tidak lebih dari dan tidak
kurang dari dua atau tiga buang air besar setiap hari.7

Aspirin dan aspirin-like product merupakan kontraindikasi pada pasien


dengan retensi cairan karena penghambatan prostaglandin dapat meningkatkan
retensi air dan garam. Selain itu dapat terjadi disfungsi platelet. Kelebihan cairan
diterapi dengan kombinasi spironolakton (50-400 mg / hari), diganti amiloride
(10-20 mg/hari) pada kasus ginekomastia yang nyeri, dan furosemid (40-160
mg/hari). Diuresis berlebihan yang mengarah ke penurunan berat badan lebih dari
1 kg/hari dapat memperburuk ginjal dan gangguan elektrolit. Parasintesis dalam
jumlah besar lebih dari 5-7 L, bahkan disertai dengan albumin intravena, dapat
mengakibatkan dekompensasi ginjal dan memburuknya ensefalopati porto-
sistemik.7

Pada pasien terminal, hipoglikemia dapat dikelola dengan infus glukosa.


Pasien dengan tumor besar memiliki harapan hidup yang pendek, dan setiap upaya
harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup. Rujukan awal untuk
perawatan paliatif harus dipertimbangkan.7

2.9 Pencegahan
Vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi dan gejala sisa, dan pengurangan
karsinoma hepatoselular telah terlihat di Taiwan dengan pengenalan vaksinasi
anak. Terapi Interferon mengurangi kejadian gagal hepar, kematian, dan
karsinoma hepatoselular pada pasien yang terinfeksi HBV. Terapi antivirus dengan
lamivudine, adefovir, atau agen lainnya akan mengurangi risiko kanker hepar pada
pasien sirosis yang terinfeksi HBV tidak diketahui. Interferon dapat menurunkan
risiko kanker hepar pada pasien dengan hepatitis C terkait sirosis, tapi bukti
terutama dari studi retrospektif dikacaukan oleh lead-time bias. Percobaan
prospektif memberikan hasil yang bertentangan. Interferon juga dapat mengurangi
risiko HCV terkait kekambuhan karsinoma hepatoselular setelah reseksi atau
ablasi perkutan.4
BAB III
PEMBAHASAN

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat


disimpulkan bahwa pasien ini menderita hepatosplenomegali ec susp karsinoma
hepatoselular + hepatitis B + dislipidemia. Diagnosis susp karsinoma
hepatoselular ditegakkan dari klinis adanya keluhan nyeri perut kanan atas, nafsu
makan menurun, perut terasa penuh, mual, muntah, kembung, berat badan
menurun serta demam sejak 7 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesan JVP meningkat, perut tampak sedikit cembung, hepar teraba 6 jari di bawah
arcus costae dextra dan 4 jari dari procesus xyphoideus, konsistensi padat,
permukaan tidak rata, tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di Schuffner 2, nyeri
tekan epigastrium dan hipokondrium dekstra (+). Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar Alfa Feto Protein (AFP) yang meningkat yaitu 370 IU/ml.
Pemeriksaan USG hepar didapatkan karsinoma hepatoselular. Kriteria diagnosis
karsinoma hepatoselular menurut Barcelona EASL Conference yaitu:1
1. Kritera sitohistologis
2. Kriteria noninvasif
a. Kriteria radiologis: koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-
spiral/MRI/Angiografi)
Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial
b. Kriteria kombinasi: satu cara imaging dengan kadar AFP serum
Lesi fokal >2cm dengan hipervaskularisasi arterial
Kadar AFP serum 400 ng/ml.
Meskipun pada pasien hanya dilakukan pemeriksaan USG dan kadari AFP
<400 ng/ml sehingga belum memenuhi kriteria non invasif kombinasi diagnosis
karsinoma hepatoselular, namun dari gambaran klinis dan pemeriksaan fisik
mendukung kearah keganasan hepar. Pada pasien diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut seperti CT Scan, MRI dan biopsi hepar untuk menegakkan diagnosis pasti
dan menentukan staging sehingga dapat diberi terapi yang tepat.
Hepatoma dapat terjadi melalui dua cara, baik dari proses penyakit hepar
kronis menjadi sirosis hepatis sampai dengan hepatoma. Selain itu juga dapat
melalui jalur non sirosis dari hepatitis menjadi hepatoma. Pada pasien mungkin
terjadi hepatoma tanpa melalui proses sirosis hepatis. Penyebab hepatoma pada
pasien ini disebabkan oleh infeksi hepatitis B karena dari hasil laboratorium
didapatkan hasil reaktif dan didukung oleh kadar SGOT dan SGPT yang
meningkat. Diagnosis dislipidemia ditegakkan dari pemeriksaan laboratorium
pasien kadar kolesterol total: 626 mg/dl, HDL: 22 mg/dl, LDL: 530 mg/dl,
trigliserida: 372 mg/dl.
Karsinoma hepatoselular merupakan tumor yang jarang terjadi pada dewasa
muda. Angka kejadian karsinoma hepatoselular pada dewasa muda sekitar 33%
dibanding dengan usia tua 70-90%. Pada pasien usia tua, faktor predisposisi
utama adalah sirosis hepatis dengan penyakit hepar kronik infeksi HBV dan HCV.
Pasien diketahui hepatitis B positif setelah dirawat di rumah sakit Petala Bumi.
Pada pasien dilakukan penatalaksaan secara farmakologi dan non
farmakologi. Secara farmakologis pasien diberikan infus D5% : NaCl 0,9% 2:1 20
tpm. Pasien diberikan antipiretik oral paracetamol tab 500mg 3x1. Untuk
mengatasi gejala gastrointestinal pasien diberikan inj ranitidin 50mg/8 jam dan
magalat sirup 3x1C. Untuk mengatasi dislipidemia pasien diberikan rosufer tab 10
mg 1x1 dan fenofibrat caps 100 mg 1x1. Pengobatan hepatitis pada pasien ini
bersifat simptomatik, biocurliv kapl 3x1 dan Hepa Q caps 3x1 diberikan sebagai
hepatoprotektor. Untuk penatalaksanaan non farmakologis, pasien diharapkan
melakukan bed rest dan diet makanan lunak yang dilakukan berangsur angsur
dan sering untuk mencegah teradinya muntah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budihusodo U. Karsinoma hati. Dalam: Sudoyo


AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 1. edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009. h. 685-691.

2. Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsudihajat R,


Syukur A. Saluran empedu dan hati. Dalam: Sjamsudihajat R, et al. Buku ajar
ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010. h.
696-701.

3. Balogh J, Victor D, Asham EH, Burrough SG,


Boktour M, Ghobrial RM, et al. Hepatocellular carcinoma: a review. Journal
of Hepatocellular Carcinoma 2016:3 41-53.

4. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Tumors of the liver and


biliary tract. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL. Harrisons Principles Of Internal Medicine. 16 th editon. New
York: McGraw Hill. 2005. p. 533-535.

5. Dhanasekaran R, Bandoh S, Roberts LR. Molecular


pathogenesis of hepatocellular carcinoma and impact of therapeutic advance.
F1000Research2016,5(F1000 Faculty Rev):879. Last updated: 12 May 2016.

6. Schlachterman A, Craft WW, Hilgenfeldt E, Mitra


A, Cabrera R. Current and future treatments for hepatocellular carcinoma.
World J Gastroenterol 2015 July 28; 21(28): 8478-8491.

7. Cicalese L, Geibel J. Hepatocellular Carcinoma.


2015. [cited 2016 Dec 12] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview.

8. Tsuchiya N, Sawada Y, Endo I, Saito K, Uemura Y,


Nakatsura T. Biomarker for the early diagnosis of hepatocellular carcinoma.
World J Gastroenterol 2015 October 7; 21(37): 10573-10583.

9. Sun H, Song T. Hepatocellular carcinoma: advances


in diagnostic imaging. Drug Discoveries & Therapeutics. 2015; 9(5): 310-
318.

10. Carrilho FJ, Mattos AAD, Vianey AF, Vezozzo DCP,


Marinho F, Souto F, et al. Brazilian society of hepatology recommendation
for the diagnosis and treatment of hepatocellular carcinoma. Arq
Gastroenterol v. 52-suplemento-2015. p 2-14.

11. Soldera J, Balbinot SS, Balbinot RA, Cavalcanti


AG. Diagnostic and therapeutic approaches to hepatocellular carcinoma:
understanding the barcelona clinic liver cancer protocol. Clinical Medicine
Insights: Gastroenterology 2016:9 67-71.

12. Bellissimo F, Pinzone MR, Cacopardo B, Nunnari


G. Diagnostic and therapeutic management of hepatocellular carcinoma.
World J Gastroenterol 2015 November 14; 21(42): 12003-12021.

13. Ge S, Huang D. Systemic therapies for


hepatocellular carcinoma. Drug Discoveries & Therapeutics. 2015; 9(5): 352-
362.
Laporan kasus

KARSINOMA HEPATOSELULAR

Disusun oleh:
dr. Dhiya Ul Azka

Pembimbing:
dr. Arjunaidi, SpPD

RSUD PETALA BUMI


PEKANBARU
2016

Anda mungkin juga menyukai