Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi
masalah global yang melanda dunia. HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari masalah HIV/AIDS. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia. HIV membunuh satu jenis sel darah putih yang disebut sel CD4. Sel ini adalah
bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Jika jumlah sel ini berkurang, sistem tersebut
menjadi terlalu lemah untuk melawan infeksi (Sari, F; Dewi, E.K; Kahija, Y.F.L, 2014).
Penggunaan ARV (antiretroviral) pada pasien dengan hasil tes HIV positif me-
rupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup penderita HIV-AIDS yang dikenal
dengan istilah ODHA (orang dengan HIV AIDS). ARV bekerja melawan infeksi dengan cara
memperlambat reproduksi HIV dalam tubuh. Umumnya ARV efektif digunakan dalam
bentuk kombinasi, bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk memper-panjang hidup ODHA,
membuat mereka lebih sehat, dan lebih produktif dengan mengurangi viraemia dan
meningkatkan jumlah sel-sel CD4+ ( Yuniar, Y; Handayani, R.S; Aryastami, N.K, 2012).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia lalu menimbulkan AIDS (acquired immunodefisiency
syndrome). AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia (Novianto, A.K, 2016).
HIV merupakan retrovirus yang menyerang dan menghancurkan atau
mengganggu fungsi sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4 positive T-cel dan
macrophages yang merupakan komponen-komponen utama sistem kekebalan tubuh.
Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan secara terus-
menerus, yang mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Orang yang kekebalan
tubuhnya menurun (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam
infeksi, yang biasanya jarang mengakibatkan penyakit. Kondisi ini dikenal sebagai
infeksi oportunistik. Melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena
turunnya sel CD4 merupakan pertanda HIV sudah berkembang menjadi AIDS. Waktu
yang diperlukan HIV menjadi AIDS cukup lama, tergantung kondisi kesehatan
masing-masing individu ( Karyati, S, 2011). Bila sistem kekebalan tubuh telah
menutun, maka serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya dapat menjadi
berbahaya hingga meninggal. Penderita AIDS yang meninggal bukan semata-mata
disebabkan oleh virus, tetapi oleh penyakit lain yang sebenarnya bisa ditolak,
seandainya daya tahan tubuh tidak dirusak oleh HIV ( Luthfiana, Y, 2012).
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam kriteria penyakit
kronis. Penyakit kronis merupakan penyakit yang dapat dikontrol perkembangannya,
namun tidak dapat disembuhkan, sehingga semua kegiatan pemulihan dapat dilakukan
seumur hidup yang membawa dampak besar dalam kehidupan manusia. AIDS
ditularkan melalui cairan tubuh, terutama karena hubungan seksual dan pengguanaan
narkoba suntik (Sari, F; Dewi, E.K; Kahija, Y.F.L, 2014).

2
2.2 Epidemiologi

Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan


menjadi masalah global yang melanda dunia. Menurut UNAIDS dibeberapa negara
terjadi penurunan infeksi baru dari tahun ke tahun, tetapi di beberapa negara terjadi
percepatan epidemik HIV. Beberapa Negara mengalami penurunanan infeksi baru
seperti kamboja., Malaysia, Myanmar, Nepal, dan Thailand. Di beberapa negara
masih terjadi Peningkatan kejadiaan infeksi termasuk Indonesia, Bangladesh, dan
philifina. Di Indonesia terdapat 380.000 orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA)
pada akhir tahun 2011, dan 55.000 terinfeksi HIV baru pada tahun
2011(Askandar,2015).

Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2012, penemuan


kasus HIV (Human Immunodefiency Virus) di dunia pada tahun 2012 mencapai 2,3
juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita meninggal karena AIDS (Acquired
Immunodefiency Syndrome) dan 210.000 penderita berusia di bawah 15 tahun
(Novianto, A.K, 2016).
Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI, secara kumulatif kasus HIV & AIDS
di Indonesia hingga 30 September 2014, terdiri dari 150.296 (HIV) dan 55799
(AIDS). Sedangkan Jawa Tengah menempati urutan pertama pada sepuluh provinsi
yang melaporkan jumlah AIDS terbanyak hingga bulan September 2014. Dengan
jumlah penderita sebanyak 428 yang kemudian disusul dengan urutan kedua dan
ketiga yaitu Bali sebanyak 276 serta Jatim dengan jumlah 251 penderita.
Pada tahun 2014 persentasi pada laki-laki sebesar 54% dan perempuan 29%
sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin. Persentasi faktor resiko kasus
AIDS tertinggi adalah hubungan seks tidak aman melalui heteroseksual (61,5%),
penasun (15,2%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%) dan homoseksual (2,4%).
Jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan September
2014 sebanyak 45.631 orang (Novianto, A.K, 2016).

3
2.3 Morfologi Virus HIV

HIV termasuk golongan virus pengguna RNA sebagai molekul pembawa


informasi genetik. Virus ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam
ribonukleat rantai tunggal yang identik dan suatu enzim yang disebut reverse
transcriptase yang mampu mengubah informasi genetic dari RNA menjadi DNA
sehingga terbentuk provirus (Askandar, 2015).

kapsul HIV terdiri dari dua lapis lipid, dimana pada lapisan ini tertanam
glikoprotein virus yang disebut gp41 dan pada bagian luar protein ini terikat gp120.
Molekul gp120 ini akan berkaitan dengan reseptor CD4 pada saat menginfeksi
limfosit T4 atau sel lainnya yang mempunyai reseptor tersebut. Pada elektroforesis,
kompleks antara molekul gp41 dan gp120 akan membentuk pita yang disebut gp160
(Askandar, 2015).

Inti dari HIV secara umum mengandung genom virus terkait dengan protein
nukleokapsid (NC), protein kapsid (PK), protein matrik (MA), dan protein posporilasi
(P12) (Askandar, 2015 ; Hoffmann, Rockstroh, & Kamps dalam Kusuma,H , 2011).

2.4 Imunopatogenesis Infeksi HIV


Penyebab penyakit AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
merupakan mikroorganisme intraseluler obligat yang berkembang biak dalam sel
dengan mendapat dukungan asam nukleat dan sitesis protein host. Target utama
adalah sel imun, terutama yang mengekspresikan CD4, akibatnya terjadi defisiensi
imun. Imunodefisiensi sebagai dampak langsung dari infeksi HIV pada sel imun
(Askandar, 2015).

4
Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan
fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan
tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh dari limfosit
terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag, dan cairan otak penderita AIDS
(Price & Wilson, 2006).

CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4 pada orang dengan sistem
kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500
sel per ml darah. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu
(misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin
menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (Nursalam & Kurniawati,
dalam Kusuma,H ,2011).

5
Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk
melawan berbagai macam sumber infeksi. Di sekitar kita banyak sekali sumber
infeksi yang beredar, baik yang berada di udara, makanan ataupun minuman. Namun
kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan baik
untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen di
sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit
pada tubuh manusia (Nursalam & Kurniawati, dalam Kusuma,H ,2011).

Sel T4 dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-
sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi di
kelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
menginfeksi sel melalui pengikatan dengan protein perifer CD4, dengan bagian virus
yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam
respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel
yang terinfeksi (Hoffmann, Rockstroh, & Kamps, dalam Kusuma,H ,2011).

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang
membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga
keberadaan virus HIV di dalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper.
Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4
helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius (Price
& Wilson, 2006)

2.5 Cara Penularan


Penularan HIV sendiri hanya akan terjadi bila: (a) Virus HIV berhasil hidup
di dalam tubuh manusia, (b) Virus harus dalam jumlah besar, (c) HIV harus masuk ke
tubuh orang melalui cara penularan tertentu (Aggleton, dalam Kusuma,H 2011).

6
HIV ditularkan melalui tiga jalur, yaitu: (a) melalui hubungan seksual yang
tidak aman (heteroseksual atau homoseksual), (b) melalui penerimaan darah atau
produk darah melalui transfusi darah (saat ini sudah jarang karena darah donor
sebelumnya telah melalui skrining), penggunaan narkoba suntik atau Injecting Drug
User (IDU), alat medis, dan alat tusuk lain (tato, tindik, akupuntur, pisau cukur, dan
lain-lain) yang sudah tercemar HIV, penerimaan organ, jaringan atau air mani, dan (c)
melalui ibu yang hidup dengan HIV kepada janin di kandungannya atau bayi yang
disusuinya (Bare & Smeltzer, dalam Kusuma,H, 2011).

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu.
Sehingga, penularan dapat terjadi melalui media cairan tubuh seorang pengidap HIV
tersebut dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain. Sedangkan, melalui
cairan-cairan tubuh yang lain (seperti air mata, keringat, air liur, air seni, dan lain-
lain) tidak pernah dilaporkan adanya kasus penularan HIV. Sampai saat ini juga belum
terbukti penularan melalui gigitan serangga, minuman, makanan, batuk/bersin,
merawat pasien, atau kontak biasa (seperti bersalaman, bersentuhan, berpelukan)
dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum, atau tempat kerja dengan
penderita AIDS (Sudoyo, dkk, dalam Kusuma,H, 2011).

2.6 Perjalanan Penyakit


Dalam tubuh penderita HIV/AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel
penderita, sehingga satu kali penderita terinfeksi HIV, seumur hidup akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, mula-mula sedikit saja yang menjadi
penderita AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS dan kemudian meninggal (Sudoyo, dkk, dalam Kusuma,H,
2011).

Sel tubuh manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah CD4 yaitu limfosit
dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap kuman
penyakit. Bila jumlah dan fungsi CD4 berkurang, maka sistem kekebalan orang yang
bersangkutan akan rusak, sehingga mudah dimasuki dan diserang oleh berbagai
kuman penyakit. Segera sesudah terinfeksi HIV, jumlah limfosit CD4 akan berkurang
sedikit demi sedikit (Djoerban, dalam Kusuma,H, 2011).

7
Dengan menurunnya jumlah CD4, maka sistem imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya
fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun.
Selama waktu ini, jumlah CD4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah
sebelum infeksi sampai mencapai sekitar 200-300 per ml darah. Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur opportunistik)
muncul, jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi (Zein, dalam Kusuma,H, 2011).

Hitungan CD4 dalam waktu beberapa tahun akan semakin menurun dengan
laju penurunan yang lebih cepat pada 1,5 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam
keadaan AIDS. Dengan berlanjutnya infeksi pada fase akhir penyakit akan ditemukan
3
hitung sel CD4<200/mm yang biasanya terjadi infeksi opportunistik yang parah,
kanker seperti sarkoma kaposi, limfoma, dan karsinoma serviks, dan dimensia AIDS
(Zein, dalam Kusuma,H, 2011).

Ada beberapa tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala
AIDS (Sudoyo, dalam Kusuma,H, 2011):
1) Tahap 1: Periode Jendela
- HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi
terhadap HIV dalam darah (4-8 minggu setelah infeksi
primer)
- Pada fase akut sering timbul gejala seperti flu (demam, sakit
kepala, nyeri otot, mual, keringat di malam hari) yang terjadi
pada 2-4 minggu setelah infeksi primer kemudian hilang atau
menurun setelah beberapa hari
- Tes HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini

2) Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun


- HIV berkembang biak dalam tubuh
- Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa
sehat, serta dapat menularkan virus ke orang lain
- Tes HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah
terbentuk antibodi terhadap HIV
- Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya
tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun; di negara berkembang lebih

8
pendek)
3) Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
- Sistem kekebalan tubuh semakin turun
- Mulai muncul gejala kostitusi, misalnya: pembengkakan kelenjar
limfa lebih dari satu tempat pada area tubuh, diare terus menerus,
demam, dan gejala-gejala minor
- Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya
tahan tubuhnya
4) Tahap 4: AIDS
- Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
- Keadaan disertai berbagai penyakit antara lain : penyakit
konstitusional, infeksi opportunistik, penyakit saraf, dan keganasan

2.7 Pemeriksaan Infeksi HIV


Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang
terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat
baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan
laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat
dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus
HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien (Sudoyo, dkk,dalam Kusuma,H,
2011).
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap
antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA, aglutinasi, atau
dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah
dengan ELISA. Jika pemerikaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif,
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah Western Blot (WB).
(Sudoyo, dkk,dalam Kusuma,H, 2011).
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini
yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV
sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi
mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes
HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil
yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi cukup tinggi,
perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian (Sudoyo, dkk,dalam

9
Kusuma,H, 2011).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun
hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena
orang yang dites tidak akan diberitahu hasilnya (Sudoyo, dkk,dalam Kusuma,H,
2011).
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil
tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai
pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan
penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak beresiko (Sudoyo,
dkk,dalam Kusuma,H, 2011).

2.8 Tanda dan Gejala


Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 2
minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan, di saat fase supresi imun
simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat di malam hari,
penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit, limpanodenopati,
penurunan kognitif, dan lesi oral (Price & Wilson, 2006).

Dan, di saat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi


AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat
gejala infeksi opportunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC),
pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk
meningitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, dan atipikal (Price &
Wilson, 2006).

Secara umum, gejala AIDS dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gejala Mayor
(umum terjadi) dan gejala Minor (tidak umum terjadi). WHO menetapkan diagnosis
AIDS dapat ditegakkan bila ditemui 2 gejala mayor dan 1 gejala minor (Merati,

10
1999). Lebih lengkapnya gajala penyakit AIDS dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Gelaja Penyakit AIDS
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan menurun lebih dari o Batuk menetap lebih dari 1 bulan
10% dalam 1 bulan
Diare kronis yang berlangsung o Dermatitis generalisata
lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan lebih o Adanya herpes
dari bulan zoster multisegmental dan
herpes zoster berulang

Penurunan kesadaran dan o Kandidiasis orofaringeal


gangguan neurologis
Tuberkulosis o Herpes simpleks kronis
progresif

o Limfadenopati generalisata

o Infeksi jamur berulang pada


alat kelamin wanita

o Retinitis virus sitomegalo

Sumber: (Merati dalam Kusuma, H 2011)

11
2.9 Klasifikasi Penyakit
Terdapat beberapa klasifikasi HIV/AIDS. Adapun sistem klasifikasi yang biasa
digunakan untuk dewasa adalah menurut WHO (World Health Organization) dan CDC
(Center for Diasease Control and Prevention) (Nursalam & Kurniawati, 2009).
1) Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada dewasa berdasarkan dua sistem, yaitu
dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang ditampilkan oleh limfosit
CD4 dan kategori klinis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel. 2
Klasifikasi Penyakit menurut CDC

CD4 Kategori Klinis


Total % A B C
(Asimptomatik, (Simptomatik) (AIDS)
Infeksi Akut)
500/ml 29% A1 B1 C1
200-499/ml 14-28% A2 B2 C2
< 200/ml < 14% A3 B3 C3
Sumber : Depkes, 2003 (dalam Kusuma, H, 2011)

Klasifikasi CDC yang biasa digunakan untuk survailans penyakit adalah


menurut kategori klinis yang dikategorikan sebagai AIDS adalah kelompok A3,
B3, dan C1-3.
Kategori Klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik),
limfadenopati generalisata yang menetap, dan infeksi akut primer dengan
penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi akut.
Kategori Klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) yang tidak
termasuk dalam kondisi C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa
kriteria tersebut:
a. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan
kekebalan dengan perantara sel; atau
b. Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Contoh berikut
ini termasuk dalam kategori tersebut, tetapi tidak terbatas pada contoh ini saja:
- Angiomatosis basilari
- Kandidiasis orofaringeal
- Kandidiasis vulvovaginal
- Displasia leher rahim
o
- Demam 38,5 C atau diare lebih dari satu bulan
- Oral hairy leukoplakia
- Herpes zoster
- Purpura idiopatik trombositopeni
- Listeriosis
- Penyakit radang panggul
- Neuropati perifer
Kategori Klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada
tahap ini, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan
infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan, misalnya:

Kandidiasis bronki, Sarkoma kaposi


trakea, dan paru Kriptokokosis ekstrapulmonal
Kandidiasis Retinitis virus sitomegalo
esophagus Mikobakterium yang menyebar
Kanker leher rahim atau di luar paru
invasif Pneumonia pneumocytis carinii
Coccidiodomycosis Leukoensefalopathy multiofokal
menyebar atau di progresif
paru Toksoplasmosis otak
Herpes simpleks Septikemia Salmonella yang
Ensefalopati HIV berulang
Limfoma

2) Klasifikasi menurut WHO


WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS menjadi klasifikasi
laboratorium dan klinis.
a. Klasifikasi Laboratorium

Tabel. 3
Klasifikasi Laboratorium menurut WHO

3
Limfosit CD4/mm Stadium Klinis Stadium Stadium Stadium
1:Asimptomatik Klinis 2: Klinis 3: Klinis 4:
Awal Intermedi Lanjut
> 2000 > 500 1A 2A t 3A 4A
1000-2000 200-500 1B 2B 3B 4B
< 1000 < 200 1C 2C 3C 4C
Sumber : Depkes, 2003 (dalam Nursalam & Kurniawati,
2009)

b. Klasifikasi Klinis
Bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia maka dalam hal ini pasien dapat dikategorikan
berdasarkan gambaran klinis dan skala aktivitas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut:

Tabel 4
Klasifikasi Klinis menurut WHO

Stadium Gambaran Klinis Skala


Aktivitas
I 1. Asimptomatik Asimptomatik
aktivitas normal
2. Limfadenopati generalisata

II 1. BB menurun < 10% Simptomatik


2. Kelainan kulit dan mukosa aktivitas normal
yang ringan seperti
dermatitis seroboik,

prurigo, onikomikosis, ulkus


oral yang rekuren, kheilitis
angularis.
3. Herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir
4. ISPA

III 1. BB menurun > 10% Pada umumnya


2. Diare kronis > 1 bulan lemah, aktivitas
3. Demam berkepanjangan di tempat tidur
4. Kandidiasis orofaringeal
5. Oral lairy leucopenia < 50%
6. TB paru dalam 5 tahun
terakhir
7. Infeksi
bakterial

yang

berat seperti pneumoni,


piomiositis

IV 1. HIV wasting syndrome*


2. Pneumonia pneumocytis Pada umumnya
carinii sangat lemah,
3. Toksoplasmosis otak
4. Kriptokokosis aktivitas di
ekstrapulmonal tempat tidur >
5. Diare kriptosporidiosis >1 50%
bulan
6. Retinitis virus sitomegalo
7. Herpes simpleks mukokutan
> 1 bulan
8. .Leukoensefalopathy
multiofokal progresif
9. Mikosis diseminata
10. Kandidiasis di esophagus
11. Mikobakteriosis tipikal
diseminata
12. Septisemia salmonelosus non
tifoid
13. Tuberkulosis di luar paru
14. Limfoma
15. Sarkoma kaposii
16. Ensefalopati HIV*

Sumber : Depkes, dalam Kusuma,H, 2011


2.10 Konseling dan Tes HIV
Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV menurut Pedoman Nasional
Pengobatan Antiretrovirat, 2011 :
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
klinis diduga terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko
(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL lelaki seks dengan lelaki), pasien
IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan
pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua
pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C counseling, consent, confidentiality)
Tabel 5. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC)
yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Kulit

PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan
HIV
Infeksi
Infeksi jamur Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik*
Kandidiasis vagina berulang
Infeksi viral Herpes zoster (berulang atau melibatkan
lebih dari satu dermatom)*
Herpes genital (berulang)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan pernafasan Batuk lebih dari satu bulan
Sesak nafas
Tuberkulosis
Pneumonia berulang
Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus
menerus dan tidak jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Sumber : WHO SEARO 2007 dikutip dari Pedoman Nasional Pengobatan
Antiretrviral, 2011

2.11 Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV


Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan
reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan
tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2
dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). (Pedoman Nasional
Pengobatan Antiretrviral, 2011).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam
masa jendela menunjukkan hasil negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila
masih terdapat perilaku yang berisiko. (Pedoman Nasional Pengobatan Antiretrviral,
2011).
Gambar 1. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
Tabel 6. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut


A1 (-) Non-reaktif Bila yakin tidak ada faktor risiko dan
atau atau perilaku berisiko dilakukan LEBIH
A1 (-) A2 (-) A3 (-) DARI tiga bulan sebelumnya maka
pasien diberi konseling cara menjaga
tetap negatif
Bila belum yakin ada tidaknya faktor
risiko dan atau perilaku berisiko
dilakukan DALAM tiga bulan terakhir
maka dianjurkan untuk TES ULANG
dalam 1 bulan
A1 (+) A2 (+) A3 (-) Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan
Atau Konseling cara menjaga agar tetap negatif ke
A1 (+) A2 (-) A3 (-) depannya
A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif atau Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk
Positif untuk mendapatkan paket layanan PDP

2.12 Tatalaksana Terapi ARV


a. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV
Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis
adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium.
Untuk menentukan stadium infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 3 dan 4. (PERMENKES,
2014).
Definisi Kasus HIV berdasarkan Stadium WHO untuk Dewasa dan Anak
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF
Stadium klinis 1
Asimtomatik Tidak ada keluhan maupun -
Tanda
Limfadenopati Kelenjar limfe membesar atau Histologi
generalisata membengkak >1 cm pada 2 atau
persisten lebih lokasi yang tidak berdekatan
(selain inguinal), sebabnya tidak
diketahui bertahan selama 3 bulan
atau lebih
Stadium klinis 2
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat
badan derajat berat badan. Pada kehamilan, badan dari
sedang yang tidak berat badan gagal naik pemeriksaan fisik
dapat dijelaskan sebesar <10%
(<10% BB)
Infeksi saluran Kumpulan gejala ISPA, Pemeriksaan
napas atas berulang seperti nyeri wajah laboratorium bila
(episode saat ini, unilateral dengan sekret ada, misal kultur
ditambah 1 episode nasal (sinusitis), nyeri dan cairan tubuh yang
atau lebih dalam 6 radang di membran timpani terkait
bulan) (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa tanda
infeksi virus (coryza, batuk)
Herpes zoster Vesikel nyeri dengan distribusi Diagnosis klinis
dermatomal, dengan dasar eritem
atau hemoragik, tidak
menyeberangi garis tengah

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS


DEFINITIF
Keilitis angularis Sariawan atau robekan pada sudut Diagnosis klinis
mulut bukan karena defisiensi
vitamin atau besi, membaik dengan
terapi antifungal
Sariawan berulang (2 Ulserasi aptosa dengan bentuk Diagnosis klinis
episode atau lebih khas halo dan pseudomembran
dalam 6 bulan) berwarna kuning-keabuan, nyeri

Erupsi Papular Lesi papular pruritik, Diagnosis klinis


Pruritik seringkali dengan
pigmentasi pasca inflamasi.
Sering juga ditemukan pada
anak yang tidak terinfeksi,
kemungkinan skabies atau
gigitan serangga harus
Disingkirkan
Dermatitis seboroik Kondisi kulit bersisik dan Diagnosis klinis
gatal, umumnya di daerah
berambut (kulit kepala,
aksila, punggung atas,
selangkangan)
Infeksi jamur pada Paronikia (dasar kuku Kultur jamur dari
Kuku membengkak, merah dan kuku
nyeri) atau onikolisis
(lepasnya kuku dari dasar
kuku) dari kuku (warna
keputihan, terutama di
bagian proksimal kuku,
dengan penebalan dan
pelepasan kuku dari dasar
kuku). Onikomikosis
proksimal berwarna putih
jarang timbul tanpa disertai
Imunodefisiensi
Hepatosplenomegali Pembesaran hati dan limpa Diagnosis klinis
persisten yang tidak tanpa sebab yang jelas
dapat dijelaskan
Eritema linea gingiva Garis/pita eritem yang Diagnosis klinis
mengikuti kontur garis
gingiva yang bebas, sering
dihubungkan dengan
perdarahan spontan
Infeksi virus wart Lesi wart khas, tonjolan Diagnosis klinis
Luas kulit berisi seperti buliran
beras ukuran kecil, teraba
kasar, atau rata pada
telapak kaki (plantar warts)
wajah, meliputi > 5%
permukaan kulit dan
merusak penampilan
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
Moluskum Lesi: benjolan kecil sewarna Diagnosis klinis
kontagiosum luas kulit, atau keperakan atau
merah muda, berbentuk
kubah, dapat disertai
bentuk pusat, dapat diikuti
reaksi inflamasi, meliputi
5% permukaan tubuh dan
ganggu penampilan
Moluskum raksasa
menunjukkan imunodefiensi
lanjut
Pembesaran kelenjar Pembengkakan kelenjar Diagnosis klinis
parotis yang tidak parotis bilateral asimtomatik
dapat dijelaskan yang dapat hilang timbul,
tidak nyeri, dengan sebab
yang tidak diketahui
Stadium klinis 3
Penurunan berat Anamnesis adanya Penurunan berat
badan derajat penurunan berat badan dan badan dari
sedang yang tidak terlihat penipisan di wajah, pemeriksaan fisik
dapat dijelaskan pinggang dan ekstremitas sebesar <10%
(<10% BB) disertai wasting yang
kentara atau Indeks Massa
Tubuh (IMT) <18,5. Dapat
terjadi masking penurunan
berat badan pada kehamilan
Diare kronik selama Anamnesis adanya diare Tidak diharuskan,
>1 bulan yang tidak kronik (feses lembek atau namun perlu untuk
dapat dijelaskan cair 3 kali sehari) selama konfirmasi apabila 3
lebih dari 1 bulan feses tidak cair dan
2 analisis feses
tidak ditemukan
patogen
Demam persisten Dilaporkan sebagai demam Pemeriksaan fisik
yang tidak dapat atau keringat malam yang menunjukkan suhu
dijelaskan berlangsung >1 bulan, baik >37.6 0C, dengan
(>37,5oC intermiten intermiten atau konstan, kultur darah negatif,
atau konstan, > 1 tanpa respons dengan Ziehl-Neelsen negatif,
bulan) pengobatan antibiotik atau slide malaria negatif,
antimalaria. Sebab lain Rontgen toraks
tidak ditemukan pada normal atau tidak
prosedur diagnostik. Malaria berubah, tidak ada
harus disingkirkan pada fokus infeksi yang
daerah endemis nyata
Kandidiasis oral Plak kekuningan atau putih Diagnosis klinis
(di luar masa 6-8 yang persisten atau
minggu pertama berulang, dapat diangkat
kehidupan) (pseudomembran) atau
bercak kemerahan di lidah,
palatum atau garis mulut,
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
umumnya nyeri atau tegang
(bentuk eritematosa)
Oral hairy Lesi putih tipis kecil linear Diagnosis klinis
leukoplakia atau berkerut pada tepi
lateral lidah, tidak mudah
diangkat
TB Paru Gejala kronik (bertahan Isolasi
selama 2-3 minggu): batuk, Mycobacterium
hemoptisis, sesak napas, tuberculosis pada
nyeri dada, penurunan berat kultur sputum atau
badan, demam, keringat histopatologi biopsi
malam, ditambah: paru (sejalan dengan
Sputum BTA negatif gejala yang muncul)
ATAU
Sputum BTA positif
DAN
Gambaran radiologis
(termasuk infiltrat di lobus
atas, kavitasi, fibrosis
pulmoner, pengecilan, dan
lain-lain). Tidak ada bukti
gejala ekstrapulmoner
Infeksi bakterial Demam disertai gejala atau Isolasi bakteri dari
berat (seperti tanda spesifik yang spesimen klinis yang
pneumonia, melokalisasi infeksi dan sesuai (di lokasi yang
meningitis, merespons terhadap terapi seharusnya steril)
empiema, antibiotik yang sesuai
piomiositis, infeksi
tulang atau sendi,
bakteremia, radang
panggul berat.
Stomatitis, Nyeri hebat, ulserasi papila Diagnosis klinis
ginggivitis, atau gusi, gigi lepas, perdarahan
periodontitis spontan, bau busuk,
ulseratif nekrotikans hilangnya jaringan lunak
akut dan/atau tulang dengan
cepat
Anemi yang tidak Tidak ada diagnosis klinis Diagnosis dengan
dapat dijelaskan presumtif pemeriksaan
(<8g/dl), netropenia laboratorium, tidak
(<1000/mm3) disebabkan oleh
dan/atau atau kondisi non-HIV lain,
trombositopenia tidak berespons
kronik (<50,000/ dengan terapi
mm3, >1 bulan) standar hematinik,
antimalaria atau
antihelmintik sesuai
pedoman nasional,
WHO IMCI atau
pedoman lainnya
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
Malnutrisi sedang Penurunan berat badan: Pemetaan pada grafik
yang tidak dapat Berat di bawah - 2 SD pertumbuhan, BB
dijelaskan menurut umur, bukan terletak dibawah
karena pemberian asupan 2SD, berat tidak naik
makan yang kurang dan dengan tata laksana
atau adanya infeksi lain, standar dan sebab
dan tidak berespons secara lain tidak dapat
baik pada terapi standar diketahui selama
proses diagnosis
TB kelenjar Limfadenopati tanpa rasa Dipastikan dengan
nyeri, tidak akut, lokasi pemeriksaan
terbatas satu regio. histologik pada
Membaik dengan terapi TB sediaan dari aspirat
standar dalam 1 bulan dan diwarnai dengan
pewarnaan atau
kultur Ziehl neelsen
Pneumonitis Tidak ada pemeriksaan Diagnosis dengan Ro
interstisial limfoid presumtif dada: infiltrat,
(PIL) simtomatik interstisial,
retikulonodular
bilateral,
berlangsung > 2
bulan, tanpa ada
respons pada terapi
antibiotik, dan tidak
ada patogen lain
ditemukan. Saturasi
oksigen tetap di <
90%. Mungkin
terlihat bersama cor
pulmonale dan
kelelahan karena
peningkatan aktivitas
fisik. Histologi
memastikan
diagnosis
Penyakit paru Riwayat batuk produktif, Pada Ro paru dapat
berhubungan lendir purulen (pada diperlihatkan adanya
dengan HIV, bronkiektasis) dengan atau kista kecil-kecil dan
termasuk tanpa disertai bentuk jari atau area persisten
bronkiektasis tabuh, halitosis dan opasifikasi dan /atau
krepitasi dan atau mengi destruksi luas paru
pada saat auskultasi dengan fibrosis, dan
kehilangan volume
paru
Stadium klinis 4
HIV wasting Anamnesis adanya Pemeriksaan fisik
syndrome penurunan berat badan menunjukkan
(>10% BB) dengan wasting adanya penurunan
yang jelas atau IMT <18,5, berat badan (>10%
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
ditambah: BB) ditambah
Diare kronik yang tidak patogen negatif pada
dapat dijelaskan (feses dua atau lebih feses
lembek atau cair 3 kali ATAU
sehari) selama >1 bulan Pemeriksaan fisik
ATAU menunjukkan
Demam atau keringat adanya peningkatan
malam selama >1 bulan suhu melebihi 37,6C
tanpa penyebab lain dan tanpa penyebab lain.
tidak merespons terhadap Kultur darah negatif,
antibiotik atau antimalaria. slide malaria negatif,
Malaria harus disingkirkan dan radiografi normal
pada daerah endemis atau tidak berubah
Pneumonia Sesak saat aktivitas atau Sitologi atau
Pneumocystis (PCP) batuk kering onset baru gambaran
(dalam 3 bulan terakhir), mikroskopik
takipneu, demam imunofluoresens dari
DAN sputum terinduksi
Rontgen toraks atau bilasan
menunjukkan infiltrat bronkoalveolar atau
interstisial bilateral difus histopatologi jaringan
DAN paru
Tidak ada gejala dan tanda
pneumonia bakterial. Pada
asukultasi terdengar
krepitasi bilateral dengan
atau tanpa penurunan
inspirasi
Pneumonia bakterial Episode saat ini ditambah Kultur positif atau
berulang (episode satu episode atau lebih tes antigen dari
saat ini ditambah dalam 6 bulan. Gejala (misal organisme yang
satu episode atau demam, batuk, dispneu, sesuai
lebih dalam 6 bulan nyeri dada) memiliki onset
terakhir) akut (<2 minggu)
DAN
Pemeriksaan fisik atau
radiografi menunjukkan
konsolidasi baru, berespons
dengan antibiotik
Infeksi herpes Ulserasi anogenital atau Kultur positif atau
simpleks kronik orolabial progresif disertai DNA (PCR) HSV atau
(orolabial, genital nyeri; lesi disebabkan oleh sitologi atau histologi
atau anorektal) infeksi HSV berulang dan yang sesuai
selama >1 bulan, sudah dikeluhkan >1 bulan.
atau viseral tanpa Ada riwayat episode
melihat lokasi sebelumnya. HSV viseral
ataupun durasi. memerlukan diagnosis
definitif
Kandidiasis Onset baru, nyeri Gambaran
esophageal retrosternal atau sulit makroskopik pada
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
menelan (makanan dan endoskopi atau
cairan) bersamaan dengan bronkoskopi, atau
kandidiasis oral mikroskopik atau
histopatologi
TB ekstraparu Gejala sistemik (misal Isolasi M.
demam, keringat malam, tuberculosis atau
malaise, penurunan berat histopatologi yang
badan). Gejala atau tanda sesuai dari lokasi
TB ekstraparu atau infeksi terkait,
diseminata tergantung dari disertai dengan
lokasi: pleuritis, perikarditis, gejala atau tanda
peritonitis, meningitis, yang sesuai (bila
limfadenopati mediastinal kultur atau
atau abdominal, osteitis. hisopatologi dari
TB milier: foto toraks spesimen
menunjukkan bayangan pernapasan, harus
milier kecil atau mikronodul ada bukti penyakit
yang terdistribusi merata ekstraparu lainnya)
dan difus. Infeksi TB di KGB
servikal umumnya dianggap
sebagai TB ekstraparu yang
lebih ringan
Sarkoma Kaposi Gambaran khas di kulit Gambaran
atau orofaring berupa makroskopik pada
bercak datar, persisten, endoskopi atau
berwarna merah muda atau bronkoskopi atau
merah lebam, lesi kulit mikroskopik melalui
biasanya berkembang histopatologi
menjadi plak atau nodul
Infeksi Retinitis CMV: dapat Histopatologi yang
sitomegalovirus didiagnosis oleh klinisi sesuai atau CMV
(retinitis atau infeksi berpengalaman. Lesi mata ditemukan di cairan
CMV pada organ lain khas pada pemeriksaan serebrospinal melalui
kecuali liver, limpa funduskopi: bercak diskret kultur atau DNA
dan KGB) keputihan pada retina (PCR)
berbatas tegas, menyebar
sentrifugal, mengikuti
pembuluh darah, dikaitkan
dengan vaskulitis retina,
perdarahan dan nekrosis
Toksoplasmosis otak Onset baru gejala neurologis Antibodi toksoplasma
fokal atau penurunan positif di serum
kesadaran DAN
DAN (Bila tersedia) lesi
Merespons dalam 10 hari massa intrakranial
dengan terapi spesifik tunggal atau multipel
pada CT atau MRI
Ensefalopati HIV Adanya disfungsi kognitif Diagnosis eksklusi
dan/atau motorik yang dan, bila ada, CT
menyebabkan disabilitas atau MRI
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
pada aktivitas sehari-hari,
progresif dalam beberapa
minggu atau bulan, tanpa
adanya penyakit atau
kondisi lainnya selain HIV
yang dapat menyebabkan
manifestasi klinis tersebut
Kriptokokosis Meningitis: biasanya Isolasi Cryptococcus
ekstrapulmonar subakut, demam dengan neoformans dari
(termasuk sakit kepala yang bertambah lokasi ekstraparu
meningitis) berat, meningismus, atau tes antigen
bingung, perubahan kriptokokus (CRAG)
perilaku, dan respons positif di LCS atau
dengan terapi kriptokokus darah
Infeksi mikobakteria Tidak ada diagnosis klinis Penemuan
non-tuberkulosis presumtif mikobakterium
diseminata atipikal di feses,
darah, cairan tubuh
atau jaringan lainnya
selain paru
Progressive multi Tidak ada diagnosis klinis Kelainan neurologis
focal presumtif progresif (disfungsi
leukoencephalopathy kognitif,
(PML) bicara/berjalan,
visual loss,
kelemahan tungkai
dan palsi saraf
kranial) disertai
gambaran hipodens
di substansi alba
otak pada
pencitraan, atau PCR
poliomavirus (virus
JC) positif di LCS
Kriptosporidiosis Tidak ada diagnosis klinis Identifikasi kista
kronik presumtif pada pemeriksaan
mikroskopik feses
menggunakan
modifikasi Ziehl-
Neelsen
Isosporiasis kronik Tidak ada diagnosis klinis Identifikasi Isospora
presumtif
Mikosis diseminata Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi, deteksi
(histoplasmosis, presumtif antigen atau kultur
coccidiomycosis) dari spesimen klinis
atau kultur darah
Septisemia berulang Tidak ada diagnosis klinis Kultur darah
(termasuk presumtif
Salmonella non-
tifoid)
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS
DEFINITIF
Limfoma (sel B non- Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi
Hodgkin atau presumtif spesimen terkait
limfoma serebral) atau, untuk tumor
atau tumor solid SSP, pencitraan otak
terkait HIV lainnya
Karsinoma serviks Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi atau
invasive presumtif sitologi
Leishmaniasis Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi
diseminata atipikal presumtif (penampakan
amastigot) atau
kultur dari spesimen
terkait
Nefropati terkait HIV Tidak ada diagnosis klinis Biopsi ginjal
(HIVAN) presumtif
Kardiomiopati Tidak ada diagnosis klinis Kardiomegali dan
terkait HIV presumtif adanya gangguan
fungsi ventrikel kiri
pada ekokardiografi
Malnutrisi, wasting Penurunan berat badan Tercatatnya berta
dan stunting berat persisten, tidak disebabkan menurut tinggi atau
yang tidak dapat oleh pola makan yang buruk berat menurut umur
dijelaskan dan tidak atau inadekuat, infeksi lain kurang dari 3 SD
berespons terhadap dan tidak berespons +/- edema
terapi standar adekuat dengan terapi
standar selama 2 minggu.
Ditandai dengan : wasting
otot yang berat, dengan atau
tanpa edema di kedua kaki,
dan/atau nilai BB/TB
terletak 3SD, sesuai
dengan pedoman IMCI WHO
Infeksi bakterial Demam disertai gejala atau Diagnosis dengan
berat yang berulang tanda spesifik infeksi lokal. kultur spesimen
(misalnya empiema, Berespons terhadap klinis yang sesuai
piomiositis, infeksi antibiotik. Episode saat ini
tulang dan sendi, ditambah 1 atau lebih
meningitis, kecuali episode lain dalam 6 bulan
pneumonia) terakhir
Kandidiasis esofagus Sulit menelan, atau nyeri Diagnosis dengan
(atau trakea, saat menelan (makanan penampilan
bronkus, atau paru) padat atau cairan). Pada makroskopik saat
bayi, dicurigai bila terdapat endoskopi,
kandidiasis oral dan anak mikroskopik dari
menolak makan dan/atau jaringan atau
kesulitan atau menangis makroskopik dengan
saat makan bronkoskopi atau
histologi
Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4

Jumlah CD4 menurut umur


Imunodefisiensi < 11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan > 5 tahun -
(%) (%) (%) dewasa
(sel/mm3)
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 35 25 30 20 25 350499
Sedang 25 30 2025 1520 200349
Berat <25 <20 <15 <200 atau
<15%
Tabel 8. Klasifikasi Imunodefisiensi

CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Jika digunakan


bersamaan dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit
karena jumlah CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4
dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat
berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 kali
hasil pemeriksaan CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai (PERMENKES, 2014).

Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan
persentase CD4. Bila 5 tahun, jumlah CD4 absolut dapat digunakan. Pada anak < 1
tahun jumlah CD4 tidak dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas, karena risiko
kematian dapat terjadi bahkan pada jumlah CD4 yang tinggi (PERMENKES, 2014).

2. 13 Target terapi ARV

Target Uraian

Klinis Kualitas hidup dan dipertahankan


Memperpanjang umur dari penderita
Imunologis Memulihkan status imun
Jumlah limfosit total diusahakan dan dipertahankan >1200
Dan atau CD4 ditingkatkan dan dipertahankan > 500 sel per
mm3
Virologis Jumlah virus dapat ditekan < 400 kopi per mililiter atau
idealnya < 50 kopi permililiter dan dipertahankan
Terapeutik Efek samping dan resistensi ARV minimal

Epidemiologis Transmisi infeksi HIV menurun secara bermakna

2.14 Rekomendasi memulai terapi ARV menurut WHO, 2013

Populasi ODHA Rekomendasi

Dewasa ODHA stadium 3 atau 4 dan CD4 <350 sel/mm3 prioritas ARV
Dapat dimulai bila CD4 350 sel/mm3 dan 500 sel/mm3 tanpa
memperhatikan stadium klinis
Keadaan khusus : ODHA dengan TB aktif, koinfeksi HBV disertai
penyakit liver berat, pasangan terinfeksi HIV (transmisi kepasangan)
Wanita hamil Semua ODHA harus dimulai pemberian ARV, dilanjutkan selama ada
Dan menyusui faktor resiko transmisi HIV dari ibu ke anak
Di daerah endimik, pemberian ARV jangka panjang
ARV Ibu terinfeksi HIV, tetap menyusui ekslusif disertai pemberian ARV
Dan menyusui agar dapat menurukan transmisi HIV dari ibu ke anak
Ibu terinfeksi HIV (anak tidak/belum diketahui status infeksi), harus
menyusui ekslusif ,minimal hingga 6 bulan pertama, kemudian
disertai makanan tambahan yang sesuai, dan melanjutkan menyusui
hingga 12 bulan pertama.

2.15 Pilihan rejimen terapi menurut WHO,2013; Goodman dan Gilmans,2014

Populasi Rekomendasi

ARV lini ARV lini pertama merupakan kombinasi dua nucleoside reverse-
pertama transcriptase inhibitor (NRTIs) + satu non-nucleoside reverse
pada transcriptase inhibitor (NNRTI).
ODHA TDF + 3 TC(FTC)+ EFV
dewasa Bila TDF + 3TC (FTC) + EFV terdapat K.I atau ta tersedia, pilihan
yang direkomendasikan :
AZT+3TC+EFV
AZT+3TC+NVP
TDF+3TC(FTC)+NVP
ARV lini Kombinasi TDF+3TC(FTC)+EFV direkomendasikan sebagai ARV lini
pertama pertama bagi wanita hamil, menyusui, termasuk trimester pertama
pada kehamilan dan menyesui
ODHA
hamil dan
menyusui

2.16 Pemantauan Respon ARV dan Kegagalan Terapi


Pemeriksaan beban virus direkombinasi untuk memantau respon terpi, termasuk
penentu kegagalan terapi ARV
Bila beban virus tidak dapat dilakukan secar rutin, pemeriksaan CD4 dan pemantauan
klinis dapat dipakai untuk menentukan respon terapi dan menilai kegagalan terapi.

Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4


Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut
bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak terjadi,
terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi.
Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat mencapai
pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang lebih lama (PERMENKES,
2014).
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100
sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian
turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya
keadaan gagal terapi secara imunologis. Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan
perkembangan CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan
adanya gagal terapi secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut
dan jumlah CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4 tidak
meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis (PERMENKES, 2014).

2.17 ARV lini kedua (Penggantian ARV)

Bila gagal dengan TDF+3TC(FCT) berdasar rejimen lini pertama, penggunaan


AZT+3TC, maka NRTI menjadi andalan rejemen lini-kedua

Bila gagal AZT atau d4T+ 3TC-berdasarkan rejimen lini pertama, penggunaan
TDF+3TC(FTC) sebagai NRTI andalan rejimen lini kedua.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional Tata Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral.

Kusuma, Henni. 2011. Hubungan Antara Depresi dan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas
Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjalani Perawatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Luthfiana, Y. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku Berisiko HIV/AIDS
pada Pekerja Bangunan di Proyek World Class University Tahun 2012.

Novianto, A. E. 2016. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Konsumsi ARV


pada ODHA di BKPM Wilayah Semarang.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES). 2014. Pedoman Pengobatan


Antiretroviral.

Price, S., & Wilson, L. M. (2006). Pathofysiology Clinical Concepts of Disease Processes.
(6th Ed.). St. Louis: Mosby Year Book. Inc.

Sari, F; Dewi, E.K; Kahija, Y. F. L. 2014. Makna Perilaku Minum Obat pada Pasien HIV/AIDS
Rawat Jalan di VCT RSUP dr.Kariadi Semarang.

Yuniar, Y; Handayani, R. S ; Aryastami, N. K. 2012. Faktor-faktor Pendukung Kepatuhan Orang


dengan HIV AIDS (ODHA) dalam Minum Obat Antiretroviral di Kota Bandung dan Cimahi.

Anda mungkin juga menyukai