00
Keluhan tambahan : -
RIWAYAT KEBIASAAN :
Frekuensi makan 3x sehari. Pasien merokok sejak kurang lebih 30 tahun
yang lalu, tidak pernah minum alkohol. Pasien jarang melakukan olahraga.
RIWAYAT PENGOBATAN :
Tidak ada diberikan penanganan SMRS.
Kepala : Normocephali
Rambut : Warna hitam, terdapat uban, persebaran
merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
pupil isokor, diameter 3mm, reflek
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
Hidung : Simetris, sekret -/-, deviasi septum (-),
nafas cuping hidung (-)
Telinga : Normotia, sekret -/-
Tenggorokan : Arkus faring tidak hiperemis, simetris,
tonsil T1-T1
Leher : Trakea letak di tengah, Deviasi trachea
(-), pembesaran KGB (-)
Paru
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : fremitus lapang paru kanan dan kiri sama kuat
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Auskultasi : lapang paru kanan dan kiri vesikuler,
rhonki (-/-) dan wheezing(-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di 1 jari lateral sela iga 5
MCL Sinistra tidak kuat angkat.
Perkusi :Batas atas ICS II Parasternal Line Sinistra
Batas bawah kiri 1 cm lateral ICS V MCL
Sinistra
Batas bawah kanan ICS IV Sternal Line Dekstra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, kontur tampak simetris , hernia
umbilikalis (-), inflamasi umbilicalis (-), ekskoriasi (-), ulkus (-),
striae (-) , skar (-), hematom (-), gerakan peristaltic tidak tampak,
pulsasi di epigastrium tidak tampak
Palpasi : Supel, defans muskular tidak ada, hepar dan
limpa tidak teraba , nyeri tekan supra pubik, supra pubik teraba
penuh.
Perkusi : Timpani, shifting dullness tidak ada
Auskultasi : bising usus (+) 12kali/menit, peristaltic normal
Pemeriksaan Rectal Toucher: tonus sfingter ani baik, terdapat massa prostat yang
membesar, perabaan 2 buku jari, teraba kenyal, tidak terdapat nodul.
III. Resume
Pasien datang dengan keluhan tidak bisa BAK sejak subuh hari jam 03.00.
Pasien mengatakan sebelumnya memang sudah sulit dalam berkemih. Pasien biasanya
berkemih terputus-putus dan urin yang keluar hanya menetes. Pasien merasa BAK
yang keluar tidak lampias. Pasien juga mengatakan bahwa pancaran urinnya lemah.
Pasien juga mengatakan nyeri ketika berkemih. Pasien juga mengatakan sering BAK
pada saat malam hari. Pasien juga memiliki keluhan nyeri pada supra pubik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan supra pubik. Dan pada perabaan
didapatkan kandung kemih teraba penuh. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan
massa prostat yang membesar.
IV. Diagnosa
Retensio Urin ec Benign Prostat Hyperplasia
V. Terapi
Pasang DC
Asam mefenamat 3 x 500 mg tab
Ranitidin 2 x 150 mg tab
VI. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad fungtionam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Benign Prostat Hyperplasia
DEFINISI
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Benign Prostat Hipertrofi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika
Hiperplasia kelenjar prostat adalah suatu pertumbuhan yang cepat sehingga
kelenjar prostat membengkak dengan penyebabnya diduga karena adanya
ketidakseimbangan hormonal yaitu kadar testoteron yang tinggi dalam darah.
Pembesaran kelenjar prostat demikian hebat sehingga mengarah ke dalam rongga perut.
Kelenjar prostat yang membesar mungkin rata, tetapi dapat juga membentuk benjolan
yang berisi kista. Dinding kista dapat mengalami pengapuran. Jika terbentuknya
benjolan tidak berisi kista maka kotoran yang keluar melalui preputium bersifat nanah.
Akan tetapi jika terbentuk kista maka kotoran yang keluar dari penis berwarna keabu-
abuan atau kemerahan berisi darah.
Kelainan kelenjar prostat ini sering disertai dengan konstipasi, hernia
perinealis dan urin yang tertahan. Gejala lain yang tampak dari hiperplasia kelenjar
prostat adalah penurunan berat badan dan anorexia. Hiperplasia kelenjar prostat
menyebabkan retensi urine di dalam vesika urinaria dan dalam keadaan ini cenderung
menyebabkan sistitis yaitu radang pada vesika urinaria. Pemeriksaan melalui rektal
menunjukkan adanya pembesaran pada kelenjar prostat yang bersifat rata atau benjolan.
Kondisi kelenjar bervariasi dari lunak sampai keras. Pada kondisi normal ukuran
diameter kelenjar prostat 2,5 - 3 cm sedangkan pada kondisi hyperplasia dapat
mencapai 5 - 6 cm atau lebih besar lagi bila ada kista di dalamnya 4.
EPIDEMIOLOGI
Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia,
seperti halnya rambut yang memutih. Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia
harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris
telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa
tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991,
diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031.
Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat diketemukan
pada sebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak
semua pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH).
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%.
Angka ini me-ningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun mencapai angka sekitar
43%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan
Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus.
ETIOLOGI
BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari glandula prostat yang
sering didapatkan gejala voiding.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron ( DHT ) dan proses aging
( menjadi tua ). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah :
1. Teori dihidrotestosteron
2. adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
3. interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
5. teori stem sel 4
PATOFISIOLOGI
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi serta iritasi. Gejala dan tanda
obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas
sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala
obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika
sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk
menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat
vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra vesika terus
meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. pada waktu miksi, penderita harus selalu
mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi
pielonefritis6.
Hiperplasia Prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal
GEJALA KLINIS
Biasanya gejala gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary
Tract Symptoms ( LUTS ), dan dapat dibedakan menjadi :
1. Gejala obstuktif
Pancaran melemah
Rasa tidak puas setelah miksi
Terminal dribbling : menetes setelah miksi
Terminal dribbling dan rasa belum puas setelah miksi terjadi karena
jumlah residu urin yang banyak dalam buli buli.
Hesitancy : bila mau miksi harus menunggu lama
Terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
melawan resistensi uretra.
Straining : harus mengedan jika miksi
Intermittency : kencing terputus putus
Terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai
akhir miksi
Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
2. Gejala iritatif
Frekuensi : sering miksi
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari ( nokturia ) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
Nokturia : terbangun untuk miksi pada malam hari
Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap
pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
Urgensi : perasaan miksi yang sangat mendesak
Disuria: nyeri pada saat miksi
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh
ketidaksatabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
PEMERIKSAAN KLINIS
1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan
di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus
diperhatikan :
- Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
- Adakah asimetri
- Adakah nodul pada prostat
- Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas
atas masih dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan < 60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau normal
,permukaan licin dan konsistensi kenyal.
Pada akut retensi, buli-buli penuh ( ditemukan massa supra pubis ) yang
nyeri dan pekak pada perkusi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhatikan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4
ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4 10 ng/ml, hitunglah Prostate
Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat.
Bila PSAD 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai
PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intra
vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli - buli dan volume
residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun
tidak dengan BPH.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis
dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berbelok-
belok di vesica ), indentansi pada dasar buli buli, divertikel, residu urin, atau
filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini untuk
prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena ketepatannya
dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak adanya bahaya radiasi dan juga relatif
murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara trans abdominal atau transrektal
( TRUS = Trans Rectal Ultrasonografi ). TRUS dianggap lebih baik untuk
pemeriksaan kelenjar prostat apalagi bila menggunakan transducer yang biplane.
Selain untuk mengetahui adanya pembesaran prostat pemeriksaan USG dapat pula
mendeteksi volume buli, mengukur sisa urin, dan patologi lain seperti divertikel,
tumor buli yang besar, batu buli. TRUS dapat pula mengukur besarnya prostat yang
diperlukan untuk menentukan jenis terapi yang tepat yaitu apabila besarnya lebih
dari 60 gr digolongkan besar sehingga kalau akan dilakukan operasi dipilih operasi
buka. Perkiraan besarnya prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik atau
trans urethral tetapi cara transuretral dianggap terlalu invasif. Pengukuran volume
prostat sering disebut volumetri dan biasanya memakai rumus volume = 0,52 x d 1 x
d2 x d3, bila kita anggap bahwa bentuk prostatelipsoid dan d adalah jarak panjang,
lebar ( pada potongan transversal ), dan panjang prostat adalah potongan sagital.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi
residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli buli.
3. Sistoskopi
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya hematuri atau
pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri, untuk mengetahui adanya
kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber perdarahan dari atas yang dapat
dilihat apabila darah datang dari muara ureter, atau adanya batu kecil yang
radiolusent di dalam vesica. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan
mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat
penonjolan prostat kedalam uretra.
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh:
- daya kontraksi otot detrusor
- tekanan intravesica
- resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6
8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat
obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi
otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
3. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG2,4.
DIAGNOSIS
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai
prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan
menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas
atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi.
4. Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti
mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat
yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin
yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap sebagai
batas indikasi untuk melakukan intervensi)7.
PENATALAKSANAAN
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan keluhan
klinis. Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan
pada colok dubur dan sisa volume urin.
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang
disebut WHO PSS ( WHO Prostate Symptom Score ). Skor ini dihitung berdasarkan
jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.
Terapi nonbedah dilakukan jika WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan
bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan.
DERAJAT I
Belum memerlukan tindak bedah, diberikan tindakan konservatif, misalnya
dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin dan terazosin.
Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikit pun.
Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
DERAJAT II
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection = TUR ). Mortalitas TUR sekitar
1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan
konservatif.
DERAJAT III
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak
akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau
perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah
menurut pfannenstiel ; kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya. Keuntungan
teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli buli atau
divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara pembedahan
retropubik menurut milin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstiel dengan
membuka kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Cara ini mempunyai
keunggulan yaitu tanpa membuka kandung kemih sehingga pemasangan kateter tidak
lama seperti bila membuka vesika. Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau
diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara
pembedahan terbuka tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR, yaitu
morbiditasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat
endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal
tidak dikerjakan lagi.
DERAJAT IV
Tindakan yang pertama harus dikerjakan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan
TUR atau pembedahan terbuka.
2. Medikamentosa
Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan
uretra. Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang
pertama kali diketahui mampu memper-baiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena
menyebab-kan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah
hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Diketemukannya obat antagonis adrenergik-1 dapat mengurangi penyulit
sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-2 dari fenoksibenzamin.
Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang selektif mempunyai
durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang
diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan
tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Antagonis adrenergik- terbukti dapat memperbaiki gejala BPH,
menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup, dan
meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki
skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dibandingkan dengan
sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan
obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat
ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti
terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis
adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan
dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa
pemberian kombinasi antagonis adrenergik- dengan finasteride tidak berbeda
jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik- saja. Sebelum
pemberian antagonis adrenergik- tidak perlu memper-hatikan ukuran prostat
serta memperhatikan kadar PSA.
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang hampir sama
dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir
sama, namun masing-masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat
sebagai hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan
pasien menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya
adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan
menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20%
pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, <
5% setelah pemberian tamsulosin. Hipotensi postural terjadi pada 2-8% setelah
pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian
tamsulosin. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak
tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik
yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-1A.
Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan
banyak terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10%.
Efektifitas obat golongan antagonis adrenergik- tergantung pada dosis
yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin nyata,
namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem kardiovaskuler
semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat
yang akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya
secara perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif.
Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik-1A
(tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang
lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6
tahun.
3. Operatif
a. Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)
- Transperineal
b. Endourologi
- Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer
ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan
berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil
dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh
membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi
urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi
dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan
perlu tidaknya dilakukan TUR.
KOMPLIKASI
Apabila buli buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli buli tidak mapu menampung
urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis
dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli buli.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan shingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid5,6.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis penyakit ini baik jika diobati dengan cepat dan tepat.
Beberapa kasus BPH dapat menyebabkan masalah serius di sepanjang waktu. Retensi
urin dan tekanan pada buli-buli mengakibatkan terjadinya infeksi saluran kemih,
kerusakan ginjal, batu buli-buli, inkontinensia urine (ketidakmampuan mengontrol
urine). Jika kerusakan buli-buli sudah permanen, pengobatan BPH sudah tidak efektif
lagi. Bila BPH dapat dideteksi lebih dini akan bisa mencegah komplikasi yang lebih
lanjut.
Penderita yang mempunyai keluhan pada BPH sering membutuhkan
pengobatan. Tetapi, beberapa peneliti mempertanyakan apakah pengobatan dini
dibutuhkan pada beberapa kasus BPH yang ringan. Hasil dari penelitian ini menyatakan
bahwa pengobatan dini mungkin tidak dibutuhkan karena keluhan-keluhan penderita
bisa hilang sendiri tanpa pengobatan pada kasus BPH ringan. Meskipun demikian,
mereka menyarankan untuk melakukan check up untuk memantau perkembangan dini.
Jika kondisi ini berlanjut ke hal yang bisa membahayakan pasien, maka dibutuhkan
segera pengobatan.
Pada BPH terjadi penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista
yang dilapisi oleh epitel silindris atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk
papila-papila ke dalam lumen. Membrana basalis masih utuh. kadang-kadang terjadi
penambahan kelenjar kecil-kecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Di dalam
lumen sering ditemukan deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler dan kadang-kadang
corpora arnylacea (hyaline concretion). Dalam stroma sering ditemukan infiltrasi sel
limfosit.
Perubahan yang terjadi masih bersifat irreversible. Oleh karena itu, jika diobati
dengan cepat dan tepat, hal ini masih bisa diperbaiki. Meskipun akan menimbulkan
jaringan parut. Terkadang pula, keluhan yang dirasakan penderita bisa muncul lagi.
Oleh karena itu, diperlukan penangan operasi. Pada operasi, jaringan yang membesar
akan dibuang sehingga hanya akan meninggalkan jaringan yang sehat pada tubuh
penderita10.
DAFTAR PUSTAKA