Anda di halaman 1dari 10

I.

EPIDEMIOLOGI
Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering terjadi di daerah dengan
iklim tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan
Barat, terutama Amerika Serikat bagian tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika
Pusat, India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun banyak dijumpai.
Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena tingginya mobilitas dan tamasya.
Dilaporkan adanya outbreak insiden CLM di perkemahan anak-anak di Miami, Florida pada
tahun 2006. Dilaporkan 22 orang (33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita CLM
setelah 2,5 minggu berada di perkemahan. Dari analisa didapatkan 22 orang tersebut berain di
kotak pasir selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari 1 jam per hari, 17 dari 22
orang yag terkena ternyata tidak mengenakan sandal pada saat bermain pasir. Banyak yang
mengakui adanya kucing yang bekeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar perkemahan.
Cara infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah. Orang dari berbagai jenis
umur, seksa dan ras bisaterinfeksi jika terpajan larva. Grup yang beresiko adalah mereka yang
pekerjaan atau hobinya berkontak dengan tanah berpasir yang lembab dan hangat antara lain
sebagai berikut:
1. Orang yang tidak memakai alas kaki di pantai
2. Anak-anak yang bermain pasir
3. Petani
4. Tukang kebun
5. Pembersih septic tank
6. Pemburu
7. Tukang kayu
8. Penyemprot serangga

II. ETIOLOGI
Sreeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan cacing tambang dengan
hospes non manusia. Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang
binatang anjing dan kucing, yaitu ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum.
Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di Asia Timur umumnya disebabkan
oleh Gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus,
Strongyloides stercoralis, Dermatobia maziales dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly)
dan cattle fly.
Penyebab yang umum:
1. Ancylostoma braziliense
2. Ancylostoma caninum
3. Uncinaria phlebotonum

Penyebab yang jarang:


1. Ancylostoma ceylonicum
2. Ancylostoma tubaeforme
3. Necator amricanus
4. Strongyloides papillosus
5. Strongyloides westeri
6. Ancylostoma duondenale

III. SIKLUS HIDUP


Siklus hidup ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan serupa dengan
ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup parasit dimulai saat telur keluar
bersama kotoran binatang ke tanah berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi
kelembaban dan temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh cepat
menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di tanah dan berganti
buluh dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva stadium tiga). Pada hospes alami
binatang, larva mampu penetrasi sampai ke dermis dan ditranspor melalui sistem limfatik
dan vena sampai ke paru-paru. Kemudian menembus samai ke alveoli dan trakea dimana
kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara seksual, dan siklus baru dimulai
saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat tetap hidup pada tanah selama
beberapa minggu.

IV. PATOGENESIS
Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang didapat
dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing.
Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan ke
dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasiryang hangat dan lembab. Kemudian
terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk infektif (larva stdaium tiga).
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva
menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak. Setelah
penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu
beberapa hari.
Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya
antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan
tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik
setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit.
Larva bemigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke
dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase
yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini
menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan inflamasi
sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum
untuk melengkapi siklus hidup, larva seringkali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat
paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan eosinofil pada sputumnya.
Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari
sampai beberapa bulan.

V. MANIFESTASI KLINIK
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul papul,
kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang
eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam
atau hari.
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok,
polisiklik, sepriginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang
beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung
lesi yang bertambah panjang karena terdapat larva. Lebar lesi berkisar antara 3 mm dan
panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa
juga nyeri.
Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, paha, juga di bagian
tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larve berada.
Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri. Larva terbatas hanya pada lapisan
epidermis. Penyakit ini self limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua
bulan. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi akibat garukan pada lesi.
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria) pernah dilaporkan pada pasien
dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer dan peningkatang kadar
IgE. Pada kasus creeping eruption bisaterjadi sindrom loeffler dan mtositis namun jarang
dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan enteritis eosinofilik.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan riwayat pajanan epidemiologi dan
penemuan lesi karakteristik. Bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang
lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di atasnya. Biopsi
spesimen diambil pada ujung jalur yang mungkin mengandung larva.
Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer, sindrom loeffler
(infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya sedikit pasien yang
menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit yang diambil tepat di atas
lesi menunjukkan larva (tes periodik asam schiff positif) di terowongan suprabsalar,
terowongan pada membran basalis, spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis
keratinosit dan infiltrat kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada penyakit ini. bila melihat
bentuk yang polisiklis sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa
papul, marena itu sering diduga insect bite. Bila invasi larvayang multipel timbul serentak,
papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster stadium permulaan. Diagnosis banding
mencakup serkaria atau dermatitis kontak, infeksi bakteri atau jamur, skabies, myiasis, loiasis
dan beberapa parasit migran lainnya.

VIII. PENATALAKSANAAN
Infeksi cacing tambang binatang dicegah dengan menghindari kontak kulit langsung dengan
tanah yang tercemar kotoran binatang. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan anjing
merupakan hal yang utama untuk mencegah creeping eruption. Kotoran binatang harus
dipindahkan secara benar dari area aktivitas manusia. Creeping eruption bisa dicegah dengan
mudah dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat.
Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan diabsorbsi. Meskipun penyakit ini
self limited, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk
berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Jika perlu dapat
diberikan secara topikal. Pengobatan topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisasi.
Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral untuk lesi yang
luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal. Jika terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.
Sejak tahun 1963 telah diketahui bahwa antihelminthes berspektrum luas, misalnya
tiabendazol ternyata efektif. Dosisnya 50 mg/kgBB/hari, dua kali sehari, diberikan berturut-
turut selama dua hari. Dosis maksimum 3 gr sehari. Jika belum sembuh dapat diulangi setalah
beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingnya mual,pusing dan muntah. Eyster
mencoba pengobatan topikal solusio tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif.
Demikian pula pengobatan secara oklusi selama 34-48 jam telah dicoba oleh Davis. Obat lain
ialah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai obat dosis tunggal, oral atau thiabendazole
topikal merupakan terapi yang direkomendasikan. Namun pengobatan ini mempunyai efek
samping seperti nausea, diare, anoreksia, pusing, sakit kepala, pembesaran KBG dan reaksi
alergi. Keamanan pengobatan ini selama kehamilan masih belum diketahui.
Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dr ice) dengan
b.penakanan 45 detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut. Penggunaan N2 cair juga pernah
dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak
sulit karena kita tidak mengetahui secara oasti di mana larva berada, dan bila terlalu lama
dapat merusak jaringan di sekitarnya. Pengobatan cara lama dan sudah ditinggalkan adalah
dengan preparat antimony. Penggunaan topikal spray etil klorida, nirtogen cair, fenl, Co2
beku, piperazin sitrat, elektrokauter dan radiasi tidak behasil karena larva bisa lolos.
Kemoterapi dengan klorokuin, antimony, dan dietilkarbamazin juga tidak berhasil.

1. Tiabendazol
Merupakan drog of choice. Menghambat enzim fumarat reduktase sehingga menginhibisi
pembentukan mikrotubuli. Akan terjadi gangguan ambilan glukosa dan inhibisi malat
dehidrogenase. Merupakan anihelminthes heterosiklik generasi ketiga.
a. Dewasa
-topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur dengan krim kortikosteroid) secara
oklusi, 2 kali sehari, selama minimal 1 minggu
-oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5 hari

b. Anak-anak
Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam. Tidak lebih dari 3 gr/hari
Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol lainnya dan ivermectin sehingga
lebih dipilih agen yang lain. Efek sampign yang sering berupa pusing, anoreksia,
nausea dan muntah. Permasalahan yang lebih jarang seperti nyeri epigastrium, kram
abdomen, diare, pruritus, nyeri kepala, mengantuk, dan simtom neuroleptik. Pernah
dilaporkan kerusakan hati yang ireversibel dan sindrom steven johnson. Tiabendazol
pada anak di bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini tidak boleh
digunakan untuk ibu hamil atau yang menderita penyakit hati maupun ginjal.

2. Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Cara
kerjanya dengan menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal klorida yang
diperantarai glutamat. Mungkin merupakan drug of choice karena keamanan,
toksisitas rendah dan dosis tunggal.

a. Dewasa
12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal
b. Anak-anak
-<5tahun: 150 ug/kgBB dosis tunggal
->5 tahun: sama dengan dewasa
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea, muntah, nyeri perut dan bercak
kemerahan. Hindari penggunaan bersama obat yang meningkatkan aktivitas GABA seperti
barbiturat, benzodiazepin dan asam valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu
hamil.

3. Albendazol
Antihelmintas bersepektrum luas yang mengganggu ambilan glukosa dan agregasi
mikrotubuli. Sebagai alternatif pengganti tiabendazol.
a. Dewasa
- 400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau
- 2x200 mg sehari selama 5 hari
b. Anak-anak
<2tahun: 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang 3 minggu kemudian jika perlu
>2 tahun: sama seperti dewasa
Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas efek samping. Bisa terjadi gejala ringan
distres epigastrium, diare, sakit kepala, nausea, pusing, lesu dan insomnia. Pada pemakaian
jangka panjang harus dicek darah dan fungsi hati. Tidak bileh diberikan pada orang yang
hipersensitif terhadap benzimidazol lainnya atau orang dengan sirosis. Kemanan pada ibu
hamil dan anak kurang dari 2 tahun masih belum diketahui.

4. Mebendazol
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan mikrotubuli dan memblok ambilan
glukosa sehingga terjdai deplesi cadangan glikogen parasit.
a. Dewasa
200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
b. Anak-anak
<2 tahun: tidak disarankan
>2 tahun: seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri abdominal. Efek samping yang jarang berupa
reaksi hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan peningkatan enzim hati. Mebandazol
teratogenik pada binatang sehingga tidak disarankan untuk ibu hamil. Pada anak kurang dari
2 tahun harus berhati-hati karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bisa berkurang
pada penggunaan bersama karbamazepin atau fenitoin. Meningkat ada penggunaan bersama
simetidin. Harus berhati-hati pada orang dengan sirosis.
Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim, Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn
mendapatkan bahwa ivermectin dosis tunggal 12 mg pada studi acak 21 pasien didapat hasil
lebih efektif daripada albendazol 400 mg dosis tunggal. Tiabendazol juga merupakan
pengobatan yang efektif untuk CLM. Namun ivermectin dan tiabendazol sukar didapat
sehingga disarankan pengobatan dengan albendazol dosis tunggal.

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat
garukan. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes. Bisa juga terjadi
selulitis dan reaksi alergi.

X. PROGNOSIS
Prognosis bisanyan baik. Ini merupakan penyakit yang self limited. Manusia merupakan
hospes aksidental yang dead end di mana larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8
minggu. Dengan pengobatan progresi lesi danrasa gatal akan hilang dalam waktu 48 jam.
Bisa terjadi reaksi hipersensitivitas. Sering terjadi eosinofilia perifer. Tidak terjadi imunitas
protektif sehingga bisa terjadi infeksi berulang pada pajanan berikutnya.

XI. KESIMPULAN
Creeping eruption merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang
binatang dan bersfiat self limited. Penyakit ini sering dijumpai di daerah tropis dan subtropis.
Orang yang beresiko terinfeksi adalah mereka yang sering berhubungan dengan tanah
berpasir dan tidak memakai alas kaki.
Penyebab kelainan ini adalah ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum. Penyebab
tersering adalah ancylostoma braziliense.
Manusia terinfeksi melalui kontak kulit denga tanah yang terkontaminasi ini.manusia
merupakan hospes aksidental di mana larva jarang sekali namun dapat ditemukan infiltrat
paru yang disebut sindrom loeffler.
Gejala klinis yang timbul berupa gatal, papul eritematosa, kadang disertai rasa nyeri, serta
lesi khas yang berbentuk linear berkelok-kelok. Dapat terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder
yang umumnya disebabkan oleh streptokokkus pyogenes. Ditemukan eosinofilia perifer dan
peningkatan kadar IgE. Tempat pedileksi di bagian tubuh mana saja yang sering berkontak
dengan tempat larva berada.
Penatalaksanaan yang baik adalah edukasi mengenai pencegahan. Pengobatan dapat
diberikan antiheliminthes topikal maupun oral, digunakan antihelminthes berspektrum luas.
Ivermectin dosis tubggal 12 mg, Albendazol 400 mg dosis tunggal, Tiabendazol 50 mg/kgbb
dalam 2 dosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Peris,M. Pruritic, serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ 2008;179:51-


52.diunduh dari: http//:www.cmaj.ca/cgi/content/full/179/1/51
2. Djuanda. A,Hamzah. Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keempat,
cetakan pertama, Jakarta: Baai Penerbit FKUI.2005; 125-126.
3. Tierney,M, Papadakis.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam: Current medical
diagnosis & treatment 45th ed[ebook]. San Francisco:Mc Graw Hill.2003.pg 1520.
4. Gerd P,Thomas J.Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam: Fitzpatrick`s dermatology
in general medicine 6th ed[ebook]. New York:Mc Graw Hill;2003.ch 236.
5. Ngan,V. Cutaneous larva migran. DermNetNZ:New Zealand.2007. diunduh dari:
http://www.dermnetnz.org/arthropods/larva-migrans.html
6. Lydia,M.Cutaneous larva migran. Emdeicine.2008.Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com/article/1108784
7. Baron, S, cuatneous larva migran. Terdapat dalam: medical mirobiology 4th ed.
Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?call=bv
8. Carlson,Amy Olivia. Cutaneous larva migran. 2005. Diunduh dari:
http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2005/CLM
9. CDC. Outbreak of cutaneous larva migrans at a children`s campMiami Florida,
2006. Diunduh dari: htttp://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5649a2.htm
10. Hotez et al. Hookworm Infection. N England J Med 2004;352:799-807. Diunduh dari:
http://www.nejm.org
11. Kim,Lee Sohn. Three clinical cases of cutaneous larva migrans. Korean J
Parasitol.2006 June;44(2):145-149. Diunduh
dari:http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2532628

Anda mungkin juga menyukai