Anda di halaman 1dari 13

Definisi

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue
(DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai
leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik
(Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

1. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar
di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di
daerah endemik (Gubler, 2002).

Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian


lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang
mana ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas
epidemiknya (WHO, 2000).
Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat
14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu
diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.

2. Faktor Risiko
Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan spektrum
luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang serius. Pada
area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak spesifik, terutama
pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi virus pada umumnya.
Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien yang
mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya strain dan
serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap individu, usia
penderita, faktor genetik dari pasien (WHO, 1997; Gubler, 1998).

3. Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106 (Suhendro, 2006). Virus ini termasuk genus flavivirus dari family
Flaviviridae. Ada 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe
DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah.
Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur
hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak
4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari.
Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita
seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit
DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes albopictus
(didaerah pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air
seperti kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain lain.
Jarak terbang 100 meter
Nyamuk betina bersifat multiple biters (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi

4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue sampai saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue (Suhendro, 2006).
Virus dengue (Aedes aegypti), setelah memasuki tubuh akan melekat pada
monosit dan masuk ke dalam monosit. Kemudian terbentuk mekanisme aferen
(penempelan beberapa segmen dari sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit
yang mengandung virus menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang, dan
terjadi viremia (mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang
telah terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai system humoral,
seperti system komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi,
pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktifasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme
efektor.
Selain itu masuknya virus dengue akan membangkitakn respons imun
melalui system pertahanan alamiah (innate immune system), pada system ini
komplemen memegang peran utama. Aktifitas komplemen tersebut dapat
memalui monnosa-binding protein, maupun melaui antibody. Komponen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, dekstruksi dan lisis
virus dengue.
Untuk menghambat laju intervensi virus dengue, interferon dan
interferon berusaha mencegah replikasi virus dengue di intraselular. Pada sisi
lain limfosit B, sel plasma akan merespons melalui pembentukan antibodi.
Limfosit T mengalami ekpresi oleh indikator berbagai molekul yang berperan
sebagai regulator dan efektor.
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan
yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B,
makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai tersebut. CD40L
merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T helper,
termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi makrofag untuk
menghancurkan virus dengue.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon
gamma akn mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang
seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang
dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

5. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue, atau
syndrome syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat (Suhendro, 2006). Bintik-bintik perdarahan di kulit
sering terjadi, kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan
konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu
hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
manifestasi perdarahan
hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi
perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik
perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota
gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, perdarahan
gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.

6. Langkah Diagnostik
Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes laboratorium
dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-spesifik virus dengue
dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan mendeteksi antibody pada serum
pasien (Guzman, 2004).
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin 20% dari
hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas, seperti nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table
berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam Leukopenia Serologi
disertasi 2 atau Trombositopenia, dengue
lebih tanda : tdk ada kebocoran (+)
sakit kepala, plasma
nyeri retro-
orbital, mialgia,
artralgia
DBD I Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn (<100.000), bukti
uji bendung (+) ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas, Trombositopenia
ditambah dgn (<100.000), bukti
perdarahan ada kebocoran
spontan plasma
III Gejala diatas Trombositopenia
ditambah (<100.000), bukti
dengan ada kebocoran
kegagalan plasma
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab, serta
gelisah)
IV Syok berat Trombositopenia
disertai dengan (<100.000), bukti
tekanan darah ada kebocoran
dan nadi tidak plasma
terukur
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah
ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab
serta gelisah.

8. Tata Laksana
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat
Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht,
leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk
segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat

2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag


Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah
seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg 20 )

Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24


jam:
Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka
pemberian cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD
dengan peningkatan Ht >20%.

3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam.
Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun,
frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka
jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila
dalam pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48
jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi
bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse
dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien
ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan

4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria,
perdarahan otak atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok.
Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID).
Taranfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang
memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan
massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID

5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa


Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa
renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD
mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7
ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-
48 jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil
srta dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan.
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi
renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri
tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis
(diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit.

Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.


Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum
30ml/kgBB ( maksimal 1-1,5/hari) dengan sasaran tekanan vena
sentral 15-18cmH2O
- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder.
- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target
tetapu renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik / vasopresor.
Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.

9. Prognosis
Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi

10. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi :
1. Pembersihan jentik
- Program pemberantasan serang nyamuk (PSN)
- Menggunakan ikan (cupang, sepat)
2. Pencegahan gigitan nyamuk
- Menggunakan kelambu
- Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
- Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung
baju)
- Penyemprotan

REFERENSI

Epstein, Judith E. dan Stephen Hoffman. 2006. Tropical Infection Disease


Principles, Pathogens, and Practice: Typhoid Fever. Elsevier Inc.
Widodo, Djoko. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sinha A, Sazawal S, Kumar R, et al: 1999. Typhoid fever in children aged less
than 5 years. Lancet 354:734737.18.
Lin FY, Vo AH, Phan VB, et al: The epidemiology of typhoid fever inthe Dong
Thap Province, Mekong Delta region of Vietnam. Am J Trop Med Hyg
62:644648, 2000.
Crump JA, Luby SP, Mintz ED: The global burden of typhoid fever. Bull World
Health Org 82:346353, 2004.
Departemen Kesehatan RI. Data Surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995 p43. Data
Surveialns tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan
Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2996. P. 37.
Gubler, DJ: Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social
and economic problem in the 21st century. Trends Micriobiol 10:100,
2002.
Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
World Health Organization: Strengthening implementation of the global strategy
for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and control.
Report of the Informal Consultation, World Health Organization,
October 1820, 1999, Geneva, 2000.
World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment
and Control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 1997.
Gubler DJ: Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev 11:480,
1998.
Guzman MG, Kouri G: Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect
Dis 8:69, 2004.

Anda mungkin juga menyukai