Pemeriksaan
Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada
yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor
resiko antara lain hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok, stress serta sakit jantung
koroner pada keluarga.1
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.1
Nyeri dada1
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah, dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.1
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang dokter
harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.1
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk,
rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau oabat nitrat.
Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, lemas.1
Dapat juga ditanyakan: Riwayat penyakit terdahulu, obat-obatan yang pernah dikonsumsi,
alergi terhadap sesuatu, riwayat penyakit keluarga2
Pemeriksaan Fisik2
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3
gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara
1
karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.1
Kemudian pada pemeriksaan fisik lain, dapat dilihat;2
Apakah pasien tampak sakit berat?
Apakah pasien kesakitan, tertekan, nyaman, muntah, cemas, berkeringat, pucat, sianosis,
atau takipnea?
Apakah perfusi pasien cukup ataukah perifer teraba dingin?
Adakah stigmata kolesterolemia atau merokok?
Adakah anemia atau sianosis atau parut bedah (misalnya bekas CABG)?
Nadi: perhatikan kecepatan, irama, isi, dan sifat. Apakah nadi perifer teraba dan sama kuat?
TD: apakah sama di kedua lengan?
JVP: meningkat atau tidak?
Gerak dada: apakah mengembang simetris?
Apakah nyeri timbul/diperberat bila dada ditekan?
Auskultasi: apakah lapang paru bersih? Adakah bunyi tambahanronki, rub, atau
wheezing? Periksa bunyi jantung untuk mencari murmur, gesekan perikard, dan irama
gallop.
Periksa edema perifer, pergelangan tungkai, dan sakrum. Abdomen: adakah nyeri tekan,
tahanan, nyeri lepas, bising
usus, organomegali, aneurisma? Adakah keluaran urin? SSP: adakah kelemahan, defisit
fokal?
EKG sangat vital dalam diagnosis MI
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior.
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.1
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil
atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan
2
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark
(mural/ transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/ nontransmural.1
3
Anterior V3 dan V4 LAD
Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 V2 sebagi mirror image dari perubahan
sedapan V7 V9.
LAD = Left Anterior Descending artery; PL = PosteriorDescending Artery.4
LCX = Left Circumflex.; RCA= Right Coronary Artery.
Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasoen dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera meungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.1
Peningkatn nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.1,5
cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5- 14 hari,
sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.1,5
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu1,5:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8 jam.
Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.
4
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung.6
Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner.6
5
2. Angina Pectoris Tak Stabil
Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: (1) pasien dengan angina yang masih
baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali
per hari. (2) pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil,
lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor
presipitasi makin ringan. (3) pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.6,7
Menurut pedoman American College of ( (ACC) dan America Heart Association (AHA)
angina tak stabil dan infark tanpa elevasi (NSTEMI = non ST elevation myocardial
infarktion) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga menimbulkan kerusakan
pada miokardium, sehingga petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina
tak stabil bila pasien mempunyai keluhan sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun
dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk seperti adanya depresi segmen ST ataupun
elavasi sebentar atau adanya gelombang T yang negatif kenaikan enzim biasanya dalam waktu
12 jam tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bias dibedakan dari NSTEMI.6
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-
tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh
darah 100% terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil.6,7
4. Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, iseralis atau keduanya. Respons
perikard terhadap eradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah Efusi perikard),
deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa, embentukan granuloma atau kalsifikasi. Itulah
sebabnya manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari yang tidak khas sampai yang
khas.10
Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder perkardium
parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi bervariasi luas dari virus, bakteri, tuberkulosis,
jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung sampai ke idiopatik.1
Nyerinya bersifat khas yaitu retrosternal dan prekordial kiri, menjalar ke belakang dari
tepi trapezius. Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam, retrosternal atau
sebelah kiri. Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan.6 Keluhan lainnya rasa sulit
bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi perikard. Pemeriksaan jasmani
didapatkan friction rub presistolik, sistolik atau diastolik. Bila efusi banyak atau cepat
terjadi,akan didapatkan tanda tamponad. Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST.
Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi).7,10
Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi perikard). Foto paru dapat normal
atau menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC, dan lain-lain).
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan: leukosit, ureum, kreatinin, enzim jantung,
mikrobiologis parasitologis, serologis, virologis, patologis dan imunologis untuk mencari
penyebab peradangan dari sediaan darah, ciran perikard dan atau jaringan biopsy perikard.10
7
5. Miokarditis
Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa disebabkan karena
infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti.
Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau lespons autoimun pasca infeksi viral.
Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan patogen spesifik.11
Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimptomatik (self-limited
disease) sampai syok kardiogenik. Gejala paling jelas yang menunjukkan miokarditis adalah
sindrom infeksi viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar
pasien tidak mempunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki
kelainan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan
sampai dengan 35 persen pasien dan mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya
perikardial. Nyeri dada biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang
dikarenakan adanya iskemia miokard.11
Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinik serupa dengan infark miokard akut,
dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG. Disfungsi pada ventrikel kiri
mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan cenderung bersifat difus. Vasopasme
koroner juga dihubungkan dengan miokarditis akut.11
8
trombus yang terbentuk pada plak aterosklerosis yang tidak stabil. Ini semua juga sering
mengikuti ruptur plak pada arteri koroner dengan stenosis ringan. Penurunan aliran darah
koroner dapat juga disebabkan oleh syok dan hemoragic. Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen miokard merupakan dasar dari terjadinya proses iskemik tersebut.1,14
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.1
V. Epidemiologi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh
kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun
sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada
perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA. 1 Di Inggris penyakit
kardiovaskular membunuh 1 dari 2 penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hamper
sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998.15
VI. Patofisiologi
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya
tidak metnicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi ipjuri vaskular, di mana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.1
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.1,14 Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respons terhadap trombolitik.1
9
Keterangan gambar:
1) Lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraselular dalam intima;
2) Evolusi stadium fibrofatty,
3) Lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner
akut berkembang jika plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalami disrupsi pada fibrous
cap.
4) Disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis. Resorpsi trombus dilanjutkan
dengan akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos.
5) Selanjutnya disrupsi plak vulnerabel atau plak risiko tinggi mengakibatkan pasien
mengalami nyeri iskemia akibat penurunan aliran arteri koroner epikardial yang terlibat.
Reduksi aliran dapat menyebabkan oklusi trombus total (bawah kanan) atau oklusi trombus
subtotal (bawah kiri) Pasien dengan nyeri iskemia dapat berupa elevasi ST atau tanpa
elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi ST sebagian besar berkembang
menjadi infark miokard gelombang Q, sebagian kecil berkembang menjadi infark miokard
gelombang non Q. Pasien tanpa elevasi segmen ST dapat mengalami angina pektoris tak
stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan NSTEMI
berkembang menjadi infark miokard non Q, dan sebagian kecil menjadi infark miokard
gelombang Q.1
Dari keterangan diatas dapat kita ketahui bahwa proses aterosklerosis atau dapat disebut
aterogenesis merupakan hal yang berperan penting dalam penyakit sindroma koroner akut
termasuk di dalamnya infark miokard akut dengan elevasi ST. Berikut ini akan dibahas
selanjutnya mengenai aterosklerosis dan patofisiologinya.
10
Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria yang
paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa
dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila
lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan
aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan
diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar.
Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen menjadi tidak
stabil sehingga membahayakan miokardium.14
Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan lesi komplikata
(Gbr. 31-3), sebagai berikut:
1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis, dicirikan dengan
penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi lemak (terutama kolesterol oleat) pada
daerah fokal tunika intima (lapisan terdalam arteri). Makrofag tersebut akan memfagosit
lemak dan berubah menjadi foam sel. Sebagian endapan lemak berkurang, tetapi yang lain
berkembang menjadi plak fibrosa.14
2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan tunika intima yang
meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling khas aterosklerosis. Biasanya,
plak fibrosa berbentuk kubah dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul ke
arah lumen sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat lipid dan
11
debris sel nekrotik yang ditutupi pleh jaringan fibromuskular mengandung banyak sel-sel
otot polos dan kolagen. Sejalan dengan semakin matangnya lesi, terjadi pembatasan aliran
darah koroner dari ekspansi abluminal, remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah
itu terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan timbulnya
fenomena yang disebut "ruptur plak" dan akhirnya trombosis vena.14
3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan mengalami gangguan
akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis, atau ulserasi dan dapat
menyebabkan infark miokardium.14
Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan pembuluh darah
untuk berespons juga berkurang, manifestasi klinis penyakit belum tampak sampai proses
aterogenik mencapai tingkat lanjut. Lesi bermakna secara klinis yang mengakibatkan iskemia
dan disfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah.2,4
Penting diketahui bahwa lesi-lesi aterosklerotik biasanya berkembang pada segmen
epikardial di sebelah proksimal dari arteria koronaria, yaitu pada tempat lengkungan tajam,
percabangan, atau perlekatan. Lesi-lesi ini cenderung terlokalisasi dan fokal dalam
penyebarannya tetapi, pada tahap lanjut, lesi-lesi yang tersebar difus menjadi menonjol.14
Patogenesis Aterosklerosis
Patogenesis aterosklerosis merupakan suatu proses interaksi yang kompleks, dan hingga
saat ini masih belum dimengerti sepenuhnya. Interaksi dan respons komponen dinding
pembuluh darah dengan pengaruh unik berbagai stresor (sebagian diketahui sebagai faktor
risiko) yang terutama dipertimbangkan. Dinding pembuluh darah terpajan berbagai iritan yang
terdapat dalam hidup keseharian. Diantaranya adalah faktor-faktor hemodinamik, hipertensi,
hiperlipidemia, serta derivat merokok dan toksin (misal, homosistein atau LDL-C teroksidasi).
Dari kesemua agen ini, efek sinergis gangguan hemodinamik yang menyertai fungsi sirkulasi
normal yang digabungkan dengan efek merugikan hiperkolesterolemia dianggap merupakan
factor terpenting dalam pathogenesis aterosklerosis. Berikut ini gambaran terjadinya proses
aterosklerosis yang berperan penting dalam patofisiologi infark miokard secara umum.13,14
12
VII. Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
13
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika pada pramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk mengintepretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali
komando medis online yang bertanggung jawab pasa pemberian terapi. Di Indonesia saat ini
pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.1,16
2. Tatalaksanan di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup : mengurangi /
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruang yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.1
Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.1
2. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan smapai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral.1
3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada
a. Morfin
Morfin sangan efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.1
b. Aspirin
Inhibisi cepat sikooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.1,16
c. Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
100 mg tiap 12 jam.1,6
4. Inhibitor ACE
14
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahanaspirin dan penyekat beta. Pemberian inhibitor ACE
harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung.1,16
15
IX. Komplikasi
1. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setalah infark ventrikel kiri mengalami
dilatasi.. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan
yang disproposional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan
yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan. 1
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit
pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.1
3. Syok Kardiogenik
Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri
koroner multivesel.1,16
6. Ekstrasistol Ventrikel
Depolarisasi pematur ventrikel sporadic yang tidak sering, dapat terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Hipokalemia dan hipomagnesimia
merupakan factor resiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum
diupayakan mencapai 4,5 mmol?liter dan magnesium 2,0 mmol/liter.1
X. Preventive
Sepertinya yang sering disinggung sebelumnya etiologi utama STEMI ini adalah karena
thrombus yang diinduksi oleh pembentukan plak aterosklerotik. Oleh sebab itu, upaya
preventif atau pencegahan yang dapata dilakukan ialah lebih diutamakan pada pencegahan
pembentukan aterosklerotik dalam pembukuh darah koroner. Sekarang dianggap terdapat
banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat proses aterogenik. Telah ditemukan
beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap
terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu.1,14 Tiga faktor risiko biologis yang
tidak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat keluarga. Faktor risiko
tambahan lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi memperlambat proses aterogenik.
Faktor risiko utama yang dapat diubah adalah: peningkatan kadar lipid serum; hipertensi;
merokok sigaret; diabetes melitus; gaya hidup yang tidak aktif, obesitas (terutama ripe
17
abdominal), dan peningkatan kadar homosistein.14 Oleh sebab itu, tentunya untuk mencegah
terjadinya penyakit ini, perlu memperbaiki factor-faktor resiko yang dapat diubah, seperti
tidak merokok, gaya hidup sehat, dan pola makan yang baik.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembelajaran yang telah dijabarkan diatas, maka saya dapat
menyimpulkan bahwa pria dalam scenario kasus tersebut dapat didiagnosis menderita
sindroma koroner akut dengan jenis infark miokard dengan elevasi ST. Jadi berdasarkan
semua hal yang telah dipelajari, dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1741-54.
2. Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.166;170-71;112-3
3. Hudak, Gallo, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, EGC : Jakarta; 1995
4. Dharma Surya. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. EGC: Jakarta; 2009
5. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostic. Edisi 6. Jakarta. EGC:
2007. h.149-5;295-7
6. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Tak Stabil. Hanafi B. Trisnohadi(eds). Buku ajar
IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1728-32.
7. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (eds 13). Volume 3.
Jakarta: EGC;2008.h.1201-44.
8. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Stabil. A. Muin Rahman(eds). Buku ajar IPD. Jilid
2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1735-9.
9. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. A. Muin Rahman(eds).
Buku ajar IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2009.h.1757-65.
10. Sudoyo Aru W, et all. Perikarditis. Marulam M. Panggabean(eds). Buku ajar IPD. Jilid 2.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1725-26.
11. Sudoyo Aru W, et all. Miokarditis. Idrus Alwi, Lukman H. Makmun(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1711-3.
12. Corry Catharina Silaen. Perbandingan Kadar Adiponektin Antara Angina Pektoris Stabil
Dengan Sindroma Koroner Akut. Makalah. Medan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Sumatera Utara;2008.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins. Buku ajar patologi robbins. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC; 2007.h.408-15
14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2005.h.578-87.
15. H Gray, Keith D, Morgan. Lecture Notes Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlanga;2005.h.107-50
19
16. Diana Lyrawati. Sindrom Koroner Akut - Farmakologi. 30 Oktober 2010. Diunduh dari:
http//yrawati.files.wordpress.com.pdf
20