(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram
atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar
encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai
lendir dan darah. 1,2
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang
dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang
terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan
Parasit.3
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.4,5
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya
kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne
infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni,
Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali
setiap tahun.6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
1
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan
Salmonella paratyphi A.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
2
dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang
air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa
disertai lendir dan darah. 1,2
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang
dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang
terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan
Parasit.3
2.2 Epidemiologi
3
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989
jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45%
pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di
Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan
Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery,
kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan
Enteroinvasive E.coli ( EIEC).11
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12
4
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri
atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel
disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma
usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif
mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus.
a. Adhesi
Adhesi Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel
epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor
antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E.
Coli (ETEC).
5
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
a. Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta
kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti
leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala
disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.
b. Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan
kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V.
Parahemolyticus.
c. Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin
kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang
aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi
inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan
HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
6
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal
dan mengaktifkan sekresi klorida.
d. Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik.
CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang
bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.
2.4 Diagnosis
a. Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat
perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,3,13 Pendekatan umum
Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1
7
Gambar1. Pendekatan umum Diare infeksi Bakteri. Dikutip dari 1
b. Manifestasi Klinis8,14,15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang,
8
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi
ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik
kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan
kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia
jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi
paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien
yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan
feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu
dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena
netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit
feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis
patogennya.3
9
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya
dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang
minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji
agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 93 % dan
spesifisitas 61 100 % terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau
Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin
positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan
kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan
harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas
darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya
biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.
10
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam
mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala
muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut
mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala
diare terjadi pada 8 16 jam setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala
diare cair dan kejang abdomen. Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan
rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora.
Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan
biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 24 jam setelah asupan
produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium,
kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan
berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 5
organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C
perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear,
pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Vibrio cholerae
11
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah
3 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi
transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan
menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan dan air yang
terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi
diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume
darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan,
dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan
V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan
cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai
dosis tunggal merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan
cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral
memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.
12
5 Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala
ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang
terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam.
Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien.
Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih.
Lekositosis sangat jarang terjadi. ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self
limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses
jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat
diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada
penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole
atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui
akan mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus
dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
2. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons
inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen,
demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri
abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 5 hari
kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus
yang lebih parah menetap selama 3 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai
kolitis ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome.
13
Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya
disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah.
Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan
untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan
antibiotik yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Sallmonela nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika
Serikat. Salmonella enteriditis dan Slmonella typhimurium merupakan penyebab awal
penyakit dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah,
dan kejang abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya
kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih. Kultur
darah positip pada 5 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi
HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi
dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 7
hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat
diberi oral.
Salmonella typhi
14
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid.
Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium,
nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu
penyakit sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus.
Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau
perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari.
Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan
peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal.
Pada minggu kedua terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul
penurunan kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada
minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada
minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosis ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada
90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada
minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu
penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat
menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika
terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan
sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga
menunjukkan effikasi sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama
7-10 hari, Kuinolon seperti ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah
menunjukkan efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral
(ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
15
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus,
sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin
dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis
sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme
masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses
berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual,
muntah dan malaise. Masa berlangsungnya penyakit ini adalah 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat
ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan
quinolon, namun pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan
untuk pasien yang berat atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika
terapi antibiotik diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari
cukup efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit
merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir
kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses yang memerlukan
media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak
memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun pasien dengan diare parah atau
diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai
dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel
usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah
yang paling sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
16
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat
diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses
berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi
pada mulut. Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri
berakhir dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak
diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia.
Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik
pada sepsis.
17
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare.
Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan
penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60%
pasien dengan HUS akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke
penyakit ginjal tahap akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria.
Trombosit trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan
vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi
infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat
meningkatkan resiko HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari.
Fosfomisin dapat memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi
yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi,
penyakit hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah
trimetroprim sulfametoksazole.
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah
dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam,
muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa
ditegakkan dari kultur feses.
18
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah
trimetoprim sulfametoksazole.
2.7 Penatalaksanaan
a. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat
minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang
membahayakan jiwa.17
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5
g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.2,4 Cairan
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan sendok teh garam, sendok teh
baking soda, dan 2 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus
jeruk diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3
Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline
normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana
panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika
diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar
dikutip
dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara :
dari 8
19
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor
seperti tabel di bawah ini :
20
Na2 X BW2 = Na1 X BW1, dimana :
Na1 = Kadar Natrium plasma normal; BW1 = Volume air badan normal, biasanya 60%
dari berat badan untuk pria dan 50% untuk wanita ; Na2 = Kadar natrium plasma
sekarang ; BW2 = volume air badan sekarang
b. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian
anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi
dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi,
diare pada pelancong, dan pasien immunokompomise. Pemberian antibiotik secara
empiris dapat dilakukan ( tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan
berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16
Tabel 2. Antibiotik empiris untuk Diare infeksi Bakteri dikutip dari 1
21
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase
sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama hidrasec
sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula digunakan lebih
aman pada anak.14
- Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 4 mg/ 3 4x sehari dan lomotil 5mg 3 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan
sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi diare. Bila
diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi
frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri obat ini tidak dianjurkan.10
- Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit
diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau
toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung
dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
- Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi
feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya
adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul
atau tablet.9
- Probiotik
22
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna
akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare
harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.3,7,19
2.8 Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis,
dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain Barre, 20 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan
motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan.
Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain Barre tetap belum
diketahui. Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare
karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1
23
2.8 Prognosis
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada
infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.1
2.9 Pencegahan1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran
manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga
dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika
ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil
dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika
berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau
hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan
sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang
dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan
dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel
terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia
adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu
24
efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih
efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama
hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru
juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek
samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1
kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan efikasi yang mirip dengan dua
vaksin lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry
NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New
York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
25
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management
of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2 nd edition. New
York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management of
acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17:
S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg
2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996.
451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea).
Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi
Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi.
Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian
Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
26
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal
Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK
UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease,
New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current
Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books,
2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-
hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II
27
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : Fitria / Perempuan/ 29 tahun
b. Pekerjaan/pendidikan : Wiraswasta
c. Alamat : Jl. Tanah Datar No. 45, Naggalo, Padang
4. Keluhan Utama
Berak-berak encer sejak tadi malam
28
- Pasien juga disertai muntah sejak tadi malam sebanyak 4 kali dengan
jumlah lebih kurang setengah gelas. Berisi apa yang dimakan maupun
yang diminum.
- Demam sejak semalam disertai menggigil
- Nyeri perut tidak ada
- Nafsu makan berkurang semenjak sakit
- Pasien merasa letih, tidak bertenaga, pusing, sehingga harus digotong ke
Puskesmas oleh adiknya.
- Sebelumnya pasien mengaku minum teh es yang dibelinya di pinggir
jalan, kira-kira 5 jam setelah minum the es yang dibelinya tersebut, gejala
ini muncul.
- Perubahan suara menjadi serak tidak ada
7. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Nadi : 94 x/ menit
Nafas : 19x/menit
TD : 110/70 mmHg
Suhu : 37,8 0C
BB : 56 Kg ( tidak ada penurunan berat badan)
TB : 155 cm
29
Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Kanan : LSD
Atas : RIC II
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : Hati dan lien tidak teraba, Nyeri Tekan tidak ada, Nyeri lepas
tidak ada, defans muskular tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) N
Anggota gerak
Akral hangat, perfusi baik, Refleks fisiologis (++/++), Reflek Patologis (-/-),
edem -/-
8. Pemeriksaan Laboratorium:
Tidak dilakukan
12. Manajemen
a. Preventif :
- Tidak membeli jajanan sembarangan
- Pengolahan makanan dan alat-alat makan dan minum dengan baik
30
- Menutup makanan atau minuman agar tidak dihinggapi lalat
- Mencuci tangan sebelum makan
- Menghindari makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, dan makanan yang
bisa mengiritasi saluran cerna
b. Promotif :
- Hidup dengan pola makan gizi seimbang
- Olahraga untuk menjaga vitalitas tubuh sehingga tidak mudah terserang
penyakit
- Istirahat yang cukup setiap hari
c. Kuratif :
- Oralit sacht , 1 sacht saat sampai dirumah dan 1 sacht setiap habis buang
air besar encer
- Tablet zinc 1x20 mg selama 10 hari
- Paracetamol ( bila demam)
- Vit B complek 3 x 1 tablet
d. Rehabilitatif :
- Kontrol diare, jika diare semakin sering atau disertai tanda dehidrasi
(penurunan kesadaran, turgor kembali lambat, akral dingin, nadi melemah)
segera bawa ke rumah sakit atau Puskesmas
Resep
Dinas Kesehatan Kodya Padang
Puskesmas Nanggalo
31
Dokter : Madona, Maulidya, Silfia
Tanggal : 25 Desember 2012
BAB III
DISKUSI
32
Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 29 tahun dengan diagnosis
kerja diare akut non spesifik tanpa dehidrasi. Diagnosis kerja ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis didapatkan berak-berak encer sejak tadi malam frekuensi
lebih kurang 6 kali sejak tadi malam, sekali berak sebanyak lebih kurang satu gelas.
Berak berwarna kuning encer tidak disertai darah maupun lendir. Pasien juga disertai
muntah sejak tadi malam sebanyak 4 kali dengan jumlah lebih kurang setengah gelas.
Berisi apa yang dimakan maupun yang diminum. Demam sejak semalam disertai
menggigil. Nafsu makan berkurang ada. Pasien merasa letih, tidak bertenaga, pusing,
sehingga harus digotong ke Puskesmas oleh adiknya. Sebelumnya pasien mengaku
minum teh es yang dibelinya di pinggir jalan, 5 jam setelah mengonsumsi minuman
yang dibelinya tersebut, gejala ini muncul. Perubahan suara menjadi serak tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, nadi 94 x/ menit, nafas 19x/menit, tekanan darah 110/70
mmHg, suhu 37,8 0C, mata tidak cekung, kulit turgor kulit baik dan akral hangat.
Karena kejadian berak encer dan muntah baru tadi malam ( kurang dari 14
hari) dan berak tidak berdarah dan tidak berlendir dan tidak ditemukan tanda
dehidrasi pada pasien ini maka pasien ini didiagnosis kerja dengan diare akut non
spesifik tanpa dehidrasi. Karena pada pasien ini skor Daldiyono hanya satu dan tidak
ada tanda syok, maka hanya diberikan cairan peroral sebanyak mungkin dan sedikit
demi sedikit. Pada pasien ini diberikan terapi Oralit sacht. Oralit diberikan dengan
tujuan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang lewat berak-berak encer dan
muntah. Cara pemberiannya 1 sacht saat sampai dirumah dan 1 sacht setiap habis
buang air besar encer. Pasien juga diberikan tablet zinc 1x20 mg, pemberian tablet
zink ini bertujuan untuk meningkatkan sistem imun dan mempercepat perbaikan
epitel saluran cerna sehingga bisa meningkatkan absorbsi cairan, tablet Zn ini
diberikan selama 10 hari, paracetamol ( bila demam), Vit B complek 3 x 1 tablet
bertujuan untuk meningkatkan imun dan menambah nafsu makan.
Supaya kejadian ini tidak berulang lagi pada pasien ini dianjurkan untuk tidak
membeli jajanan sembarangan. Pengolahan makanan dan alat-alat makan dan minum
33
dengan baik. Menutup makanan atau minuman agar tidak dihinggapi lalat. Mencuci
tangan sebelum makan, tidak memakan makanan yang sudah basi, menghindari
makanan yang terlalu pedas, terlalu asam, dan makanan yang bisa mengiritasi saluran
cerna. Jika diare semakin sering atau disertai tanda dehidrasi berat (penurunan
kesadaran, turgor kulit lambat, akral dingin, nadi melemah) pasien haru segera
dibawa ke Puskesmas/RS.
34