PENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun
1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 %
dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti
terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO
tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus Ka
(Ribu)
Pembagian daerah WHO Semua kasus (%) Sputum positif Semua kasus
BAB II
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan
terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
2.
perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya
. atau tertelan
c Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
. tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
B. TUBERKULOSIS POSTPRIMER
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya
terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul
dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan
penyembuhannya
BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b
Tuberkulosis paru BTA (-)
.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b
Kasus kambuh (relaps)
.
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani
kasus tuberkulosis
c
Kasus defaulted atau drop out
.
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d
Kasus gagal
.
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e
Kasus kronik
.
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik
f
Kasus Bekas TB:
.
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi
paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis
BAB IV
DIAGNOSIS
A. GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ
yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup
berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta
daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura.
Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi cold abscess
Gambar 3. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior
BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7
bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino
o PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
2 RHZE/ 4R3H3
TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin,
ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan
tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil
uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil
uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon,
betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak
perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin
(vertigo dan nistagmus) dihentikan
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik
menghilang dan boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(suspected drug-induced pre- dan lakukan uji fungsi
icteric hepatitis) hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan rifampisin
syok dan purpura
BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT
lainnya
Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan
sebelumnya atau tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS
yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO
tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis
yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
- Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut
telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH
saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua
bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop
lagi, demikian seterusnya
- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang
pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang
resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu
bioavailabiliti obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada
pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk
kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif
memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
- Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan
proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason,
galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap etionamid dan proteonamid.
Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason
pada lebih dari 70% kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang
resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten
terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua fluorokuninolon.
Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif
(levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang.
- Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan
lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB. Pemberian
pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal
4 OAT masih sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1 ditambah dengan
obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau ofloksasin 600 800 mg (obat dapat
diberikan single dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu
minimal 18 bulan
- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-HIV, konversi
hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan
pada 56% kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu kunci
penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan
salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB
Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB
Rasio kadar puncak serum terhadap
Tingkatan Obat Dosis harian Aktiviti antibakteri
MIC
1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid
a. Streptomisin menghambat 20-30
b. Kanamisin atau organisme yang 5-7.5
amikasin multiplikasi aktif
c. Kapreomisin 10-15
2 Thiomides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
(Etionamid protionamid)
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH 7.5-10
asam
4 Ofloksasin 7.5-15 mg/kg Bakterisid mingguan 2.5-5
5 Etambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan,
maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien
DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral antidiabetes
(sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka
konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan
rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada
pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV,
misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA
dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat
dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier / interstisial
Adenopati hilus/ mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada
BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa
pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
BAB IX
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan
tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena
itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO:
1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan
melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu
2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan
pendekatan-pendekatan lain yang relevan
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan
pelayanan umum
4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan
berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care
5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan
kesehatan yang efektif
6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan
vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program
A. Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi
sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi
dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1. Petugas kesehatan
2. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat :
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai perawatan
untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan
OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader
PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat
Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai
Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat
Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
Melakukan kunjungan rumah
Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :
Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di
apotik saat mengambil obat dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien,
masyarakat pengunjung rumah sakit dll
Cara memberikan penyuluhan
. Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
. Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk
penatalaksanaan selanjutnya
. Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
. Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga
(brosur, leaflet dll)
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi
penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta
menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :
1. Kartu pengobatan TB (01)
2. Kartu identiti penderita TB (TB02)
3. Register laboratorium TB (TB04)
4. Formulir pindah penderita TB (TB09)
5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03).
Catatan :
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan pasien
tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada organ yang
penyakitnya paling berat
. Contoh formulir terlampir
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
ALUR DIAGNOSIS P2TB
LAMPIRAN II
.INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline program
penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat
internasional dan baru dilaunching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar untuk diagnosis , 9
estndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17
standar tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat
dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak anak yang dapat
mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-
kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan
berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak) harus
menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia
fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang
pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks
menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga
memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan
pemeriksaan biakan. Pada pasien denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan BTA
negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau
uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada
fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan
lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat
memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh
terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan
obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan. Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan
paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai
tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan
pemberian alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat
antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose
combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu
INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung
saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan suatu
pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan
yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan
harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan sesuai dengan
intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan
konseling pasien. Elemen utama pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah
penggunaan pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat
menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat
khusus untuk keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien
maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan
serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik
adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan
fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada
bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan
modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons terapi pada pasien TB
paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks
untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading)
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis
dan efek samping harus ada untuk semua pasien
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan co
infeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien
sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang
rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan
dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai indikasi
untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai
untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan antara obat
antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar
di bidang tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit
apa yang muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda.
Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi
lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua pasien yang
berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang
mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji sensitifity terhadap INH,
rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obat-obat lini
kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan
diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan
pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR
harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang punya
kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan
penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus infeksius harus
dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan ulang dan
keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan
ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at: http//www.who.Tuberculosis.htm.
Accesed on March 3, 2004.
2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.
3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A, Tjokronegoro A.
Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI,
1985:1-11.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2005.
5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis, eds 2.
Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for Tuberculosis,
2002.
6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray JF,
Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2 nd ed. Philadelphia, WB Saunders Co,
1994;1095-100.
7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology 3rd ed. New
York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.
8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium tuberculosis. In: Bloom
BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;285-301.
9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev Respir Dis
1986;134:1062-71.
10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium Tuberculosis. In: In:
Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;307-32.
11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai Polimerasa /
Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang Ilmu Kesehatan Ilmu Biomedik
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.
12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of medical
illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.
13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-
TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI,
Palembang 1997.
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir
Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China, 1997;1-9.
16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid
immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium
tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.
17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat
Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT. Enseval
Putera Megatrading.
18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan
tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003.
19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of Respiratory
Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-
Indonesia.
20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug
Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS
Persahabatan - Jakarta.
21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.
22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3rd ed. WHO Geneva,
2003.
23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi.
Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998.
25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 2015. Available
at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.
Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998. 12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB,
Brass A. The Ciba colletion of medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company,
1979:189. 13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat (MDR-
TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI, Palembang
1997. 14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med,
1997;155:1804-14. 15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China, 1997;1-
9. 16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid immunochromatographic
assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-
8. 17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam
mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading. 18. Kelompok
Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV /
AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003. 19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion.
Departemen of Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-
Indonesia. 20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR).
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS Persahabatan - Jakarta. 21. Khaled NA, Enarson D.
Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003. 22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National
Programmes 3rd ed. WHO Geneva, 2003. 23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
2004. 24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis terintegrasi. Kegiatan
dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998. 25. Strategic directions. The global plan to stop TB
2006 2015. Available at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.